Wednesday 4 September 2013

Aristoteles, Kota, dan Rumah bagi Orang Miskin




Aristoteles, Kota, dan Rumah bagi Orang Miskin

OPINI | 04 September 2013 | 08:57 Dibaca: 49   

Oleh: Arif Rohman


Ladang dan pepohonan tidak menarik bagiku, tetapi tidak demikian halnya dengan manusia yang ada di kota (Aristoteles)

Kata-kata filusuf Aristoteles di masa lampau menunjukkan bahwa isu-isu perkotaan selalu menarik untuk dibahas, apalagi berkaitan dengan manusia-manusia yang tinggal di dalamnya. Salah satu masalah yang dianggap penting dalam kajian perkotaan adalah rumah bagi orang miskin. Tulisan ini khusus menyoroti fungsi dan makna rumah bagi orang miskin dan bagaimana kesulitan-kesulitan yang dialami orang miskin dalam mengakses rumah yang layak di perkotaan.

Kota-kota di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, telah mengalami berbagai permasalahan berkenaan dengan pertumbuhannya. Salah satu masalah yang timbul adalah adalah masalah pemukiman. Masalah tersebut tidak terlepas dari berbagai masalah lain yang ada di perkotaan, seperti masalah wilayah komersial, industri, tempat-tempat umum, monumen-monumen, jalan dan lalu lintas, rekreasi dan olah raga, sanitasi, kesehatan umum, pekuburan, dan lain sebagainya. Disamping itu, masalah jalur kereta api dan pola pertumbuhan pemukiman pita (ribbon building), yaitu pola pembangunan bangunan hunian, toko-toko dan tempat-tempat berjualan, bangunan-bangunan pemerintah, yang dilakukan di sepanjang tepi-tepi jalan dan jalur-jalur kereta api di perkotaan. Di daerah perkotaan, pola pemukiman pita ini menyebabkan keruwetan dan ketidakteraturan yang sudah ada menjadi lebih kompleks lagi. Wertheim (1958), mengatakan bahwa untuk mengatasinya bahwa untuk mengatasinya, maka cara pertama-tama yang harus dilakukan adalah membuat kebijakan perencanaan atau tata ruang kota yang terintegrasi dan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Menurutnya, tata ruang kota tersebut harus mencakup juga model tata ruang kota yang terbukti cukup canggih dalam mengatasi berbagai permasalahan perkotaan.

Pertumbuhan kota yang tidak terencana, tidak terkoordinasi dan terpencar disejumlah kawasan mengakibatkan beberapa bagian kota menjadi tertinggal. Pemerintah kota akhirnya tidak mampu menyediakan prasarana dan fasilitas publik sesuai dengan harapan masyarakat. Akibatnya adalah semakin meningkatnya jumlah keluarga miskin, dengan akses yang serba minim, termasuk ruang hunian atau tempat tinggal yang tidak layak, tidak memenuhi derajat kesehatan, dan terkesan apa adanya (Evers & Korff, 2002). Sulitnya masyarakat miskin untuk mendapatkan rumah yang layak huni tentu merupakan persoalan yang mendesak untuk diatasi. Kesepakatan masyarakat global yang tertuang dalam Agenda Habitat, mengamanatkan pentingnya penyediaan hunian yang layak untuk semua lapisan masyarakat, dengan mengedepankan strategi pemberdayaan (enabling strategy ). Plan of implementation dari World Summit on Sustainable Developement di Johanesburg 2002, menargetkan bahwa pada tahun 2015, sekitar 50% penduduk miskin di dunia harus sudah terentaskan dari kemiskinannya. Kondisi ini antara lain harus ditandai oleh terpenuhinya kebutuhan mereka akan perumahan yang layak.

Secara hipotesis, permasalahan perkotaan yang dihadapi Indonesia dewasa ini disebabkan oleh kompleksitas masalah, yaitu pertambahan penduduk kota yang kurang terkendali, pertumbuhan kota yang serba cepat dan kompleks dalam hal pengembangan fungsi-fungsinya sebagai pusat-pusat kegiatan industri, komersial, jasa-jasa pelayanan ekonomi, pemerintahan, pendidikan, dan berbagai fungsi sosial, ekonomi dan budaya. Kesemuanya ini belum dapat tertampung secara semestinya di dalam ruang-ruang yang diperuntukkan kegiatan-kegiatan tersebut sesuai rencana tata ruang kota yang dibuat, dan juga disebabkan oleh pengembangan kegiatan-kegiatan ekonomi, komersial dan industri, serta hunian di perkotaan yang serba modern dan kompleks yang telah tidak memungkinkan dimantapkannya pelaksanaan penataan kegiatan-kegiatan kehidupan perkotaan secara ketat sesuai tata ruang yang berlaku. Akibat yang paling nampak dari faktor-faktor tersebut adalah pada kondisi pemukiman perkotaan yang menghasilkan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh kota-kota yang bersangkutan.

Secara ringkas, kota dapat didefinisikan sebagai sebuah tempat tinggal manusia yang dihuni secara permanen, dimana warga atau penduduknya membentuk sebuah kesatuan kehidupan yang lebih besar pengelompokannya dari pada kelompok klan atau keluarga. Kota juga merupakan sebuah tempat dimana terdapat adanya kesempatan-kesempatan dan permintaan-permintaan yang mewujudkan terciptanya sistem pembagian kerja, kelas-kelas atau lapisan sosial yang mengakui adanya perbedaan-perbedaan dalam hal fungsi, hak, keistimewaan-keistimewaan, dan tanggung jawab diantara golongan-golongan sosial yang ada; dan adanya berbagai bentuk serta corak spesialisasi pembagian kerja sesuai dengan tingkat perkembangan dan macamnya kota, yang sesuai dengan peranan khusus dari kota dalam kedudukan fungsionalnya dengan daerah-daerah pedesaan atau pedalaman yang terletak di sekelilingnya dan berada dalam kekuasaannya (Mumford, 1961). Selanjutnya, kota itu ada dan hidup karena bisa memberikan pelayanan yang penting artinya bagi mereka yang ada di dalam kota, maupun yang tinggal di wilayah sekeliling kota, atau juga mereka yang mengadakan perjalanan dan harus singgah atau berdiam sementara di kota tersebut. Pelayanan ini dapat berupa pelayanan-pelayanan keagamaan, administrasi, komersial, politik, pertahanan dan keamanan, atau dapat pula berupa pelayanan yang berkenaan dengan pengaturan suplai makanan dan air. Pelayanan tersebut harus betul-betul diperlukan oleh para warga yang bersangkutan atau para musafir yang melewati kota tersebut, sehingga pengendalian kota atas wilayah-wilayah di sekelilingnya dapat dimantapkan.

Kompleksitas kehidupan ekonomi di perkotaan jauh lebih tinggi dari pada di pedesaan. Hal ini terlihat dari sistem ekonomi kota yang terbebas dari kegiatan mengolah tanah atau mengeluarkan energi tubuh, guna memperoleh bahan mentah, telah menyebabkan tumbuh dan berkembangnya sistem produksi dan industri yang tidak terbatas, tergantung pada macam dan tingkat kebutuhan konsumen. Sedangkan macam dan tingkat kebutuhan konsumen terhadap barang hasil produksi atau industri dapat diciptakan dari hasil interaksi sosial, ekonomi, politik dan budaya yang terwujud melalui teknologi komunikasi pasar (Suparlan, 1996). Kompleksitas dalam struktur kehidupan ekonomi perkotaan ini mempengaruhi terwujudnya kompleksitas dalam struktur perkotaan. Berbagai bentuk dan macam spesialisasi ekonomi dan kerja berkembang sesuai dengan kebutuhan dan permintaan; dari yang terspesialisasi hingga yang sangat umum, dari yang sangat tergantung pada keahlian dan keterampilan pemikiran serta teknologi, sampai dengan yang menggunakan tenaga otak manusia, dan dari yang digolongkan sebagai terhormat dengan penghasilan besar, sampai dengan yang tidak terhormat dengan penghasilan yang terbatas. Sistem pelapisan sosial terbentuk berdasarkan atas macam pekerjaan dan pendapatan, yang coraknya sangat kompleks, dikarenakan beraaneka ragamnya macam dan bentuk kerja yang ada di perkotaan. Tingkat kompleksitas sistem pelapisan sosial tersebut, tergantung dari tingkat perkembangan kota dan kedudukannya dalam sistem administrasi negara.

Rumah adalah sebuah satuan tata ruang yang paling baku dan selalu ada dalam kehidupan manusia di masyarakat manapun. Rumah berfungsi bebagai tempat untuk kegiatan-kegiatan melangsungkan kehidupan manusia, yang mencakup kegiatan reproduksi, ekonomi, pengsuhan dan pendidikan anak, perawatan terhadap orang tua atau jompo, kehidupan sosial, emosi, dan lain sebagainya (Suparlan, 1996). Karena majemuknya fungsi-fungsi yang harus dilaksanakan dalam rumah, maka rumah juga sebagai sebuah satuan tata ruang, juga dibagi-bagi dalam satuan-satuan tata ruang yang lebih kecil yang saling berkaitan antara satu sama lainnya, sebagai satu keseluruhan tata ruang rumah. Rumah merupakan medium atau perantara bagi manusia dengan lingkungan alam atau fisik, merupakan perluasan dari organ tubuh manusia, dan merupakan sebuah lingkungan budaya dimana manusia penghuninya merupakan sebuah unsurnya.

Dengan demikian, menurut Sukamto (2001) penghuni akan memperlakukan ruang huniannya sesuai dengan kriteria sebagai berikut : (1) Rumah sebagai wadah kehidupan manusia secara universal. Rumah sebagai tempat hidup manusia maka rumah juga menjadi wadah kehidupan manusia dalam melakukan kegiatan untuk pemenuhan kebutuhan. Satuan ruang rumah dengan demikian menampung berbagai fungsi kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup manusia secara universal, yang meliputi : (a) Kebutuhan primer, sebagai kebutuhan yang bersumber pada aspek biologis manusia yang dalam pemenuhannya memerlukan wadah tindakan-tindakan di dalam satu ruang. Dengan asumsi klarifikasi satu ruang untuk satu tindakan pemenuhan kebutuhan, maka ruang yang diperlukan adalah ruang-ruang sebagai wadah untuk kegiatan makan dan minum, buang air besar/kecil, istirahat dan tidur, pelepasan dorongan seksual, perlindungan iklim/suhu udara, dan kebutuhan kesehatan yang baik; (b) Kebutuhan sekunder, sebagai hasil usaha untuk pemenuhan kebutuhan primer yang memerlukan ruang untuk berkomunikasi dengan sesama anggota keluarga, melakukan kegiatan bersama dengan keluarga, menaruh untuk benda-benda material dan kekayaan dan tempat untuk mendidik anak; dan (c) Kebutuhan integratif, berfungsi mengintegrasikan berbagai unsur kebudayaan menjadi satu sistem yang masuk akal baginya, mencakup cara-cara mengatur dan menggunakan ruang, tempat mengatur dan menjalankan fungsi keluarga, sebagai tempat melakukan kegiatan rekreasi dan hiburan, dan religius; (2) Rumah untuk menampung fungsi keluarga. Keluarga sebagai satuan sosial terkecil, fungsinya antara lain untuk berkembang biak, mensosialisasi atau mendidik anak dan menolong serta melindungi yang lemah, maka rumah juga disebut sebagai : (a) Satuan ruang sosial; (b) Ruang hunian sebagai satuan kehidupan untuk reproduksi dan pengembangbiakan; dan (c) Ruang hunian sebagai ruang sosialisasi dan pendidikan anak; (3) Rumah sebagai wujud pernyataan diri. Rumah sebagai sebuah bangunan fisik tidak hanya dilihat dan diperlakukan sebagai satuan material fisik, tetapi juga sebagai satuan simbol yang mencerminkan identitas diri penghuninya. Setiap penghuni rumah memberi isi berupa benda-benda pada ruangan dengan makna-makna yang terwujud sebagai simbol pencerminan kemampuan diri dalam memanfaatkan peluang dan sumber daya lingkungan.

Kemiskinan tidak lahir dengan sendirinya (given), ia tidak muncul bukan tanpa sebab. Argumen para penganut teori konservatif dan liberal telah lama dipatahkan. Orang-orang miskin muncul bukan karena mereka malas atau boros. Mereka miskin bukan pula karena nasibnya yang sedang sial sehingga menjadi miskin. Mereka menjadi orang miskin karena dibuat miskin oleh struktur ekonomi, politik dan sosial. Mereka miskin karena memang sengaja dilestarikan untuk menjadi miskin. Mereka menjadi kaum tertindas karena memang disengaja, direkayasa dan diposisikan sedemikian rupa untuk ditindas. Mereka miskin karena dieksploitasi, diperas, dijarah dan dirampok hak-haknya. Mereka miskin karena dipaksa oleh sistem ekonomi dan politik yang tidak adil. Kemiskinan penting untuk dipelihara dan dilestarikan karena besar manfaatnya, yakni menunjang kepentingan kelompok dominan, elite penguasa (the ruling elites) atau kaum kapitalis.
Hal tersebut di ataslah yang membuat kemiskinan sulit diatasi karena kaum miskin tidak memiliki daya tawar terhadap kebijakan yang selama ini tidak berpihak kepada mereka. Kaum miskin hanya menjadi alat produksi semata-mata. Pendapatan mereka hanya sekadar mencukupi kebutuhan hidup saja. Inilah yang selama ini membuat kaum miskin tak berdaya untuk memiliki daya tawar terhadap pengambilan keputusan, dan membuat yang kaya semakin berada di puncak. Kebijakan politik yang ada selama ini sering (dan sebagian besar) hanya berpihak kepada mereka yang memiliki alat produksi dan modal. Kaum miskin diperas tenaganya hanya sekadar menjadi buruh kasar dengan dalih keterampilan mereka terbatas. Tetapi pemerintah, di sisi lain, tidak mampu berbuat bagaimana seharusnya meningkatkan keterampilan mereka agar bisa berkompetisi lebih adil dengan lainnya (Suparlan, 1993).

Kaum miskin selalu dilihat sebelah mata dalam berbagai proses pembuatan kebijakan. Kebijakan yang dilahirkan penguasa tidak terlalu banyak memerhatikan poros warga negara. Warga negara yang miskin dianggap tidak memiliki kedaulatan tertinggi di dalam sebuah negara. Pelanggaran konstitusi ini terus terjadi tanpa adanya kemauan untuk memperbaikinya dengan melahirkan sebuah kebijakan yang sungguh-sungguh mengapresiasi dan melibatkan kaum miskin untuk berperan sebagai warga negara normal. Struktur kemiskinan masyarakat kita tidak terlepas dari persoalan utama, yakni adanya dosa struktur. Dosa struktur yang dimaksud adalah menyangkut bagaimana distribusi yang adil dan menjangkau semua pihak. Dengan demikian, keadilan yang sedang kita bicarakan di sini adalah menyangkut keadilan untuk semua.

Perumahan bagi keluarga miskin seringkali tidak memberikan kepastian hukum bagi penghuninya, atas tanah dan bangunan yang mereka tempati. Bagi perempuan, kurangnya kepastian hukum ini bahkan terjadi pada barang dan aset formal lainnya. Kampung-kampung tempat kelompok masyarakat miskin tinggal dapat dengan mudah beralih fungsi menjadi kawasan bisnis atau kawasan lainnya. Sebaliknya, kawasan perkotaan sangat sulit menyediakan lahannya untuk keperluan perumahan masyarakat miskin. Hal ini menyebabkan masyarakat miskin di mana banyak terdapat perempuan di dalamnya semakin tergusur ke kawasan pinggiran yang jauh dari kota.

Kegiatan relokasi terhadap warga korban penggusuran, atau pembangunan perumahan untuk kelompok miskin, biasanya dilakukan di daerah pinggiran. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi keluarga miskin yang bekerja, dalam bentuk peningkatan biaya transportasi, dan berkurangnya waktu untuk mengasuh anak. Kegiatan penggusuran terhadap kelompok masyarakat miskin, biasanya tidak disertai dengan pemberian tenggang waktu untuk membuat masyarakat siap untuk menempati lokasi dan rumah baru.

Pendapatan masyarakat miskin sangat rendah. Setelah dipakai untuk membayar makanan, pakaian, dan keperluan sehari-hari lainnya, mereka hanya memiliki sangat sedikit sisa penghasilan untuk mengurus keperluan rumah mereka. Akibatnya, keluarga-keluarga miskin, tidak mampu lagi untuk menyediakan rumah bagi diri mereka sendiri.

Aspek dominan yang mempengaruhi perumahan masa kini adalah keberlanjutannya (sustainability). Aspek ini nampak sederhana namun adalah sebuah konsep yang rumit. Rumah yang berkelanjutan harus memenuhi lima syarat dasar yang dinikmati oleh penghuni saat ini serta yang akan datang, yaitu: (1) Mendukung peningkatan mutu produktivitas kehidupan penghuni baik secara sosial, ekonomi dan politik. Artinya setiap anggota penghuni terinspirasi untuk melakukan tugasnya lebih baik; (2) Tidak menimbulkan gangguan lingkungan dalam bentuk apapun sejak pembangunan, pemanfaatan dan kelak bila harus dimusnahkan. Ukuran yang dipakai terhadap gangguan yang terjadi terhadap lingkungan adalah efektivitas konsumsi energi; (3) Mendukung peningkatan mobilitas kesejahteraan penghuninya secara fisik dan spiritual. Berarti penghuni mengalami terus peningkatan mutu kehidupan fisik dan non-fisik; (4) Menjaga keseimbangan antara perkembangan fisik rumah dengan mobilitas sosial-ekonomi penghuninya. Pada awalnya keadaan fisik rumah lebih tinggi dari keadaan non—fisik, namun ini berbalik setelah penghuni mapan di rumah tersebut; dan (5) Membuka peran penghuni/pemilik yang besar dalam pengambilan keputusan terhadap proses pengembangan rumah (lihat diagram proses perkembangan rumah pada lampiran) dan Rukun Warga tempat ia berinteraksi dengan tetangga.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah rumah disebut layak bila ada keterpaduan yang serasi antara: (1) Perkembangan rumah dan penghuninya, artinya rumah bukan hasil akhir yang tetap tetapi proses yang berkembang; (2) Rumah dengan lingkungan (alam) sekitarnya, artinya lingkungan rumah dan lingkungan sekitarnya terjaga selalu baik; (3) Perkembangan rumah dan perkembangan kota, artinya kota yang dituntut makin global dan urbanized memberi manfaat positif bagi kemajuan warga kota di rumah masing-masing; dan (4) Perkembangan antar kelompok warga dengan standar layak sesuai keadaan dan tuntutan masing-masing kelompok, artinya tiap kelompok warga punya kesempatan sama untuk berkembang sesuai dengan tuntutan yang ditetapkan sendiri.

Kondisi kemiskinan membuat keluarga-keluarga miskin seringkali hanya mampu mengakses lingkungan kumuh atau permukiman liar di kota. Lingkungan kumuh yang dicirikan oleh minimnya sarana infrastruktur permukiman, menghadapkan kaum miskin pada buruknya kualitas kehidupan yang harus mereka tanggung di lingkungan permukiman. Dengan demikian, keterbatasan masyarakat miskin dalam mengkases perumahan diperburuk dengan kurang memadainya pelayanan penyediaan prasarana dan sarana dasar lingkungan. Rendahnya kualitas kehidupan di lingkungan permukiman kumuh ini pada gilirannya juga menghambat potensi produktivitas dan kewirausahaan para penghuninya. Pada umumnya mereka kemudian hanya mampu mengakses perekonomian informal kota, yang utamanya dicirikan oleh status hukum yang lemah dan tingkat penghasilannya yang rendah.

Pemukiman kumuh didefinisikan oleh Suparlan (1996), sebagai suatu pemukiman yang kondisi fisik hunian dan tata ruangnya mengngkapkan kondisi kurang mampu atau miskin dari para penghuninya. Penataan ruang hunian yang semrawut yang disebabkan oleh penggunaan ruang yang tinggi tingkat kepadatan volume maupun frekuensinya, dan serba kotor atau tidak terwat dengan baik. Di samping itu, pemukiman kumuh juga kurang memadai fasilitas-fasilitas umum, seperti air bersih, pembuangan air limbah dan sampah, jalan dan berbagai fasilitas untuk kegiatan sosial orang dewasa dan tempat bermain bagi anak-anak. Warga pemukiman kumuh terdiri atas penduduk tetap dan penduduk yang tinggal sementara di pemukiman tersebut. Mereka yang hidup menetap antara lain yang menyewakan kamar atau rumah kepada para pendatang yang tinggal sementara. Seringkali juga berikut dengan pelayanan makan dan cuci pakaian. Kebanyakan dari pendatang ini adalah bujangan yang bekerja untuk proyek-proyek pembangunan gedung-gedung atau jalan-jalan di kota, atau juga yang datang untuk mencari kerja atau yang telah bekerja di sektor-sektor informal. Secara sosial dan ekonomi, sebuah komuniti pemukiman kumuh tidak homogen. Warganya mempunyai mata pencaharian yang beraneka ragam, asal usul yang berbeda, mengenal adanya pelapisan sosial dan kemampuan ekonomi yang berbeda-beda (Rohman, 2004).

Ciri-ciri keluarga miskin yang tinggal di permukiman kumuh ini kembali menampilkan keterbatasan kualitas hidup mereka, dan sekaligus juga menunjukkan betapa fenomena lingkungan kumuh juga menjadi sesuatu yang sulit untuk diatasi. Tidak heran jika keberadaan permukiman kumuh sendiri sesungguhnya merupakan ancaman serius bagi kesehatan dan kesejahteraan kota. Serius bukan hanya dalam pengertian dampak lingkungan kumuh terhadap tingkat produktivitas dan kualitas hidup warga kota. Tetapi juga serius dalam pengertian bahwa keberadaan pemukiman kumuh ini mencerminkan kegagalan pemerintah dalam membangun perumahan. Karena, idealnya disamping untuk memenuhi kebutuhan sosial, pembangunan perumahan harus dapat berperan menjadi instrumen pembangunan yang dinamis. Artinya, pembangunan perumahan dapat juga berperan untuk menggairahkan semangat membangun, mendorong kegiatan swadaya masyarakat, menghidupkan industri rakyat, dan menciptakan lapangan kerja baru. Keberadaan warga miskin kota di perkampungan-perkampungan kumuh yang hampir hanya menawarkan akses ke sektor ekonomi berupah rendah, jelas menunjukkan bahwa di samping gagal menyediakan perumahan yang layak, pemerintah juga gagal menjadikan perumahan sebagai pendorong bagi kegiatan sosial dan ekonomi yang produktif bagi warganya.

Ada dua aspek penting dalam penataan perkotaan. Di satu pihak ada kebijaksanaan penataan ruang perkotaan, ada peraturan legal-formal untuk dijadikan pedoman pelaksanaannya, tetapi tidak pernah kita ketahui bagaimana penggunaan tata ruang kota dan peraturan pelaksanaannya oleh pemerintahan kota. Di samping itu, warga pemukiman perkotaan membangun sendiri ruang-ruang yang tersedia di kota sesuai kepentingan mereka, untuk memperoleh keuntungan ekonomi, sosial dan politik, sehingga terlihat kesan seolah-olah pemerintahan kota tidak mempunyai pedoman pelaksanaan pengaturan kehidupan perkotaan. Bertolak dari kenyataan ini maka perspektif ukuran keberhasilan kinerja pembangunan perkotaan seharusnya mulai digeser dari perspektif kuantitatif ke kualitatif. Dengan melakukan perbaikan sistem pendataan permasalahan perumahan, secara lebih akurat diharapkan pemerintah juga dapat merubah strategi pemecahannya.

Sebagai penutup, permasalahan permukiman penduduk perkotaan, harus dipecahkan dengan melibatkan penduduk setempat, pemerintahan kota, kelompok-kelompok interest, dengan mengacu pada rencana tata ruang kota yang ada dan pada kondisi fisik ruang-ruang yang tersedia serta ada dalam kota yang bersangkutan, yang secara bersama-sama bertujuan untuk membantu memecahkan permasalahan pemukiman khususnya dan permasalahan perkotaan pada umumnya, dan mengendalikan motif-motif pencapaian keuntungan maksimal secara pribadi dari keputusan-keputusan yang diambil. Ingat pepatah lama, jika kota adalah cerminan peradaban maka rumah adalah cerminan kebudayaan. Semoga kita termasuk dalam bangsa yang berbudaya.



Penulis adalah pengamat sosial tinggal di Australia


Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

No comments: