program
Bantuan Sosial merupakan salah satu komponen Program Jaminan Sosial yang
menjadi bentuk pengejawantahan/expresi tanggung jawab pemerintah/ pemerintah
daerah yang sangat peduli terhadap kondisi masyarakat yang miskin dan terlantar
di aras akar rumput (grass root level).
Program ini merupakan implementasi
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan bahwa fakir miskin
dipelihara oleh Negara. Program Bantuan Sosial
bersifat hibah atau kompensasi dengan memanfaatkan sumber dana yang
didapat dari individu, kelompok anggota masyarakat dan atau pemerintah. Dengan
perkembangan sosial ekonomi suatu Negara, Program bantuan sosial yang semula
hanya berbentuk hibah saja berubah orientasinya menjadi program yang lebih
memberikan manfaat berkelanjutan melalui bantuan pemberdayaan dan atau
stimulant agar sasaran program bantuan bisa menjadi mandiri kecuali bagi
sasaran program yang memang sudah tidak potensial sama sekali seperti lanjut
usia yang jompo, miskin terlantar dan lain-lain.
1.
Undang-Undang Dasar R.I. Tahun 1945 Pasal 27, Pasal 28
huruf H ayat (3) dan pasal 34 ayat (1)
dan ayat (2).
2.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, khususnya Pasal 22 huruf b dan huruf h yang mewajibkan pemerintah
daerah menyelenggarakan Jaminan Sosial dalam rangka melaksanakan Otonomi
Daerah.
3.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
4.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan
Sosial.
5.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(Lembaran Negara tahun 1974 Nomor 53; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3039)
khususnya pasal 1, pasal 4 ayat (1) dan pasal 5 ayat (1) Pasal 52 Bab Ketentuan Peralihan.
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Kabupaten sebagai daerah otonomi.
7.
Keputusan Presiden R.I. Nomor 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan
Bencana dan Penanganan Pengungsi (BAKORNAS– PBP).
8.
Keputusan Menteri Sosial R.I. Nomor 1/HUK/1995 MS
tentang Pengumpulan Sumbangan untuk
Korban Bencana.
9.
Keputusan Direktur
Jendral Bantuan dan Jaminan Sosial,
Departemen Sosial R.I. Nomor 09B/BIS/2002 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan
Program Bantuan dan Jaminan Sosial.
10. Keputusan
Direktur Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial, Departemen Sosial nomor
57/BIS/2003 tentang Pedoman Umum Bantuan Sosial Korban Bencana Alam.
Program Jaminan Bantuan Sosial secara konseptual kembali
secara falsafah kepada nama asalnya yaitu ”Bantuan
Sosial”. Secara konseptual program Jaminan Bantuan Sosial dimaksudkan untuk
meringankan anggota masyarakat yang tidak mampu dan terlantar agar masih bisa
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya (Basic
Living Needs) dan mengembangkan dirinya sebagai manusia sesuai dengan
kemanusiaan yang bermartabat sebagai pelaksanaan amanat konstitusional bagi
pemerintah Pusat dan atau Daerah. Ada tiga bentuk dengan fungsinya masing-masing,
yaitu:
a
Jaminan Bantuan Sosial Permanen
diarahkan kepada PMKS kategori fakir miskin dan anak-anak terlantar. Karena
fakir miskin dan anak-anak terlantar menjadi kewajiban negara untuk
memeliharanya.
b
Jaminan bantuan Sosial kepada Korban Bencana seperti
bencana banjir, bencana gempa bumi, bencana gunung meletus, bencana kebakaran
dan lain-lain.
c
Program Jaminan Bantuan Sosial Pemberdayaan adalah
ditujukan kepada para PMKS yang masih berpotensi untuk mengembangkan dirinya
sendiri. Bantuan Sosial disini bersifat
stimulan dan permodalan serta kepelatihan ketrampilan sesuaui dengan perminatan
dan usaha kecil mikro yang sudah dikerjakannnya. Contoh yang klasik antara lain
Program Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS BKKBN), Program
PMPK dan Program Subsidi Langsung Tunai Bersyarat hasil rekomendasi evaluasi
dampak Program SLT. Ada lagi Program Askesos dari Departemen Sosial yang
dikhususkan untuk para pekerja sektor informal.
Kebijakan Umum
a.
Meningkatkan kualitas dan efectivitas pelayanan sosial
kepada Publik untuk mendukung tumbuhnya
sikap dan perilaku mandiri masyarakat sebagai bagian dari pembangunan sumber
daya manusia;
b.
Memperluas jangkauan dan pelayanan sosial yang adil dan
merata baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun sebagai upaya
masyarakat;
c.
Meningkatkan kualitas profesionalisme pelayanan sosial
yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun oleh masyarakat;
d.
Meningkatkan peran serta aktip (Partisipasi) masyarakat
dalam pelayanan sosial sebagai dasar rasa kesetiakawanan masyarakat.
KebijakanTeknis
a.
Peningkatan pemahaman pengetahuan Program Bantuan Sosial;
b.
Pemantapan dan peningkatan kualitas kemampuan para
petugas dan unsur masyarakat dalam
pengelolaan Program Bantuan Sosial;
c.
Penataan Sistem Informasi dan jaringan komunikasi
penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan Bantuan Sosial;
d.
Peningkatan jenis, jumlah dan kualitas perangkat
pengelolaan Program Bantuan Sosial sesuai dengan kondisi dan kemampuan
masing-masing daerah;
e.
Pemantapan bantuan kepada penduduk dan atau keluarga
miskin serta terlantar melalui Bantuan Sosial Permanen maupun Program Bantuan
Sosial secara darurat transient kepada korban bencana, bantuan pasca bencana
alam (Rehabilitasi dan Bantuan Bahan Rumah), maupun bantuan pada tahap
resosialisasi;
f.
Peningkatan kerja sama dan kemitraan dengan organisasi
sosial didalam negeri maupun dengan organisasi internasioanl diluar negeri.
Secara umum Program Bantuan Sosial ada 3 (tiga) bentuk
dengan tujuan, sasaran program dan fungsi masing-masing yang berbeda-beda yaitu:
1.
Program Bantuan Sosial Permanen.
2.
Program Bantuan Sosial bagi Korban Bencana Alam.
3.
Program Bantuan Sosial Pemberdayaan.
Ketiga bentuk dan fungsinya masing-masing akan
dibahas di dalam Bab berikutnya.
Sebagai
salah satu contoh pelaksanaan Program Jaminan Bantuan Sosial berikut dipaparkan
ringkasan hasil Kajian Pemanfaatan Subsidi Langsung Tunai oleh Rumah Tangga
Miskin dalam bentuk survey
Cross–Sectional. Survey ini dilaksanakan di empat (4) kategory masyarakat:
1.
Rumah
Tangga Miskin daerah Wisata dilakukan oleh Universitas Udayana di Provinsi Bali;
2.
Rumah
Tangga Miskin daerah Pertanian dilakukan oleh Universitas Sebelas Maret Solo di
Provinsi Jawa Tengah;
3.
Rumah
Tangga Miskin daerah Nelayan oleh Universitas Riau di Provinsi Riau;
4.
Rumah
Tangga Miskin daerah Kumuh dilakukan oleh Yayasan Cakra Kinarya Bangsa di DKI Jakarta.
Di DKI Jakarta dilakukan
terhadap 1.008 RTM di Wilayah Kota Jakarta Utara dan Jakarta Timur serta kepada
para Stakeholdersnya. Dari survey dimaksud untuk wilayah DKI Jakarta
diketemukan:
1.
59%
RTM tidak memiliki rumah sendiri;
2.
96% tidak memiliki lahan untuk mencari pendapatan;
3.
92% tidak memiliki perhiasan (sebagai asset);
4.
98% tidak memiliki tabungan;
5.
Hanya 4,5% punya motor dan 26 % memilki sepeda sebagai
alat transportasi.
6.
Dengan memakai batas biaya hidup sebesar RP. 480.000,-
per bulan per keluarga, diketahui 99% responden tergolong Rumah Tangga sangat miskin dan 71% merupakan pasangan suami istri, sedangkan
24% merupakan janda dan 4% merupakan duda;
7.
Hampir 98% menyatakan bahwa dana SLT sangat meringankan
pengeluaran rumah tangga khususnya untuk makanan dan biaya pendidikan anaknya.
Berbeda dengan Program Asuransi Sosial yang mewajibkan peserta
mengiur kontribusi, maka Program Bantuan
Sosial merupakan hibah sejumlah dana dari pemerintah untuk penduduknya dalam
rangka memenuhi kewajiban pemerintah Pusat maupun Daerah berupaya
mensejahterakan masyarakat yang miskin dan
membantu memberdayakan masyarakat agar keluarga miskin masih dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya sesuai dengan kemanusiaan yang bermartabat.
Program Bantuan Sosial Permanen merupakan upaya pelayanan
sosial pemerintah kepada masyarakat tidak mampu atau miskin dan terlantar.
Upaya ini dimaksudkan sebagai perlindungan dan sekaligus pemberian jaminan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan yang bermatabat. Salah satu bentuk
Program Bantuan Sosial Permanen adalah Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen
(BKSP) yang menjadi tanggung jawab Departemen Sosial R.I. Penyelenggaraan
Program Bantuan Sosial Permanen BKSP dilaksanakan dalam kemitraan dengan dan
oleh Organisasi Sosial Masyarakat (Orsos) dan Kelompok Usaha Bersama (Kube) yang telah menjangkau 214 orsos/kube
diseluruh provinsi di Indonesia.
2.
Undang-Undang Dasar R.I. Tahun 1945 Pasal 27, Pasal 28
huruf H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1)
dan ayat (2).
3.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, khususnya Pasal 22 huruf b dan huruf h yang mewajibkan pemerintah
daerah menyelenggarakan Jaminan Sosial dalam rangka melaksanakan Otonomi
Daerah.
4.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
5.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan
Sosial.
6.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (Lembaran Negara Tahun 1974 nomor 53; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3039) khususnya Pasal 1, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1), Pasal 52
Bab Ketentuan Peralihan.
7.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun1997 tentang Penyandang CACAT.
8.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Lanjut Usia.
9.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Kabupaten sebagai Daerah Otonomi.
10.
Peraturan Pemerintah Tomor 42 Tahun 1981 tentang
Pelayanan Sosial bagi Fakir Miskin.
11.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya
Peningkatan Kesejahteraan sosial Penyandang CACAT.
12.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004 tentang Upaya
Peningkatan Kesejahteraan Lanjut Usia.
13.
Keputusan Menteri Sosial R.I. Nomor 49/HUK/2001 tentang
Program Jaminan Sosial bagi Masyarakat Rentan dan Tidak Mampu Melalui Asuransi
Kesejahteraan Sosial dan Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen.
14.
Keputusan Menteri
sosial R.I. Nomor 44/HUK/2004
tentang Pelaksanaan Jaminan Sosial bagi
Masyarakat Tidak Mampu melalui Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen.
15.
Keputusan Direktur
Jendral Bantuan dan Jaminan Sosial,
Departemen Sosial R.I. Nomor 09B/BIS/2002 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan
Program Bantuan dan Jaminan Sosial.
16.
Keputusan Direktur Jendral Bantuan dan Jaminan Sosial
Nomor 26/B/BJS/V/2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jaminan Kesejahteraan Sosial
bagi Masyarakat Tidak Mampu melalui
Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen.
Prinsip Penyelenggaraan dan Peraturan Pelaksanaannya
Program
Bantuan Sosial Permanen pada prinsipnya merupakan pelaksanaan kewajiban
pemerintah Pusat maupun Daerah dalam memelihara kesejahteraan rakyatnya agar
mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya (Basic
Living Needs) Program Bantuan Sosial Permanen merupakan pelaksanaan
Undang-Undang Dasar 1945 (Amendemen) Pasal 34 ayat 1 yang mengamanatkan bahwa:
Fakir Miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Sedangkan pada
ayat (2) menyebutkan bahwa Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang tidak mampu. Beberapa
pokok prinsip penyelenggaraan adalah sebagai berikut:
1.
Program Bantuan Sosial Permanen dilaksanakan agar
masyarakat miskin terlantar masih dapat terpenuhi kebutuhan hidup dasarnya.
2.
Penyelenggaaran dilakukan dengan berbasis masyarakat.
3.
Meningkatkan kepedulian dan solidaritas sosial masyarakat
luas.
4.
Pelaksanaannya dilakukan secara kemitraan dengan
Organisasi Sosial Masyarakat.
5.
Agar tepat sasaran pelakasaan dilakukan disertai dengan
pendampingan sekaligus untuk menumbuhkan motivasi masyarakat dan memelihara
konsistensi serta sustainabilitas program.
Salah satu bentuk kegiatan program bantuan sosial
permanen adalah Program Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen (BKSP) yang
dikelola oleh jajaran Departemen Sosial. Komponen Bantuan Sosial Permanen dalam
bentuk kegiatan Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen (BKSP) ditujukan kepada
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang tidak potensial untuk
memelihara kesejahteraan sosial yang
bersangkutan dalam jangka waktu hampir tak terbatas. Kelompok PMKS yang
dikategorikan menjadi sasaran komponen Bantuan Sosial Permanen ini adalah :
para Lanjut Usia terlantar, Cacat phisik dan cacat mental, dan eks penyandang
penyakit kronis. Sampai dengan tahun 2002 Program Bantuan Sosial Permanen
semacam itu ditanggani oleh pemerintah bekerjasama dengan unsur masyarakat
melalui sistem panti dan non panti. Dari hasil pantauan dan analisa situasi
selama itu ada beberapa masaalah antar lain:
1.
Besar luas dan kompleksnya permasaalahan PMKS non
potensial.
2.
Masih sangat terbatasnya model pendekatan yang sesuai
dengan keberagaman suku bangsa kita.
3.
Terbatasnya jangkauan pendekatan semacam itu.
4.
Serta masih besarnya potensi masyarakat yang belum
tergali dan didayagunakan secara optimal.
maka diperkenalkan
model pendekatan baru yang dikenal dengan nama Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen (BKSP). Pendekatan
baru ini memiliki beberapa ciri antara lain:
1.
BKSP dilaksanakan dalam kemitraan dengan komponen
masyarakat dalam bentuk Organisasi Sosial Masyarakat (Orsosmas).
2.
Kemitraan oleh ORSOSMAS tersebut dalam bentuk lokal atau
lembaga lokal atau kelompok binaan.
3.
Anggota Orsosmas dimaksud akan berfungsi sebagai
pendamping PMKS non potensial sasaran program sekaligus menjadi lembaga
pelaksana program BKSP tersebut.
a. Lanjut
Usia dengan kreteria:
1) Usia 60 tahun
keatas;
2) Dari keluarga
miskin;
3) Tidak dan belum
mendapatkan santuan permanen lainnya;
4) Sudah tidak
mungkin lagi diberdayakan kembali;
5) Sebagai anggota
masyarakay yang berdomisili di RT/RW setempat.
b. Penyandang
cacat fisik dan atau mental, dengan kreteria:
1)
Dari keluarga miskin;
2)
Tidak sedang mendapatkan bantuan sosial permanen lain;
3)
Sudah tidak mungkin untuk diberdayakan;
4)
Sebagai anggota komunitas/masyarakat RT/RW setempat.
c.
Penyandang gangguan kejiwaan (psikotik) terlantar dengan kreteria:
1)
Berada didalam
keluarga miskin:
2) Tidak
sedang dalam perawatan medis;
3) Sudah
tidak mungkin lagi disembuhkan;
4) Tidak
sedang mendapatkan bantuan sosial permanen lainnya;
5) Sebagai
anggota komunitas/masyarakat RT/RW dan berdomisili setempat.
d. Penyandang eks
Penyakit Kronis terlantar dengan kreteria:
1)
Berada didalam keluarga miskin;
2)
Tidak sedang didalam perawatan medis;
3)
Sudah tidak mungkin disembuhkan kembali;
4)
Tidak sedang mendapatkan bantuan sosial permasnent lainnya;
5)
Sebagai anggota komunitas/masyarakat yang berdomisili di
RT/RW setempat.
a.
Keluarga sasaran pelayanan sosial.
b.
Masyarakat,yakni individu, kelompok, Orsosmas, LSM yang
berada dilingkungan yang sama dengan sasaran pelayanan sosial.
c.
Lembaga/Instansi terkait.
d.
Dunia usaha.
Sasaran lokasi pelaksanaan program BKSP berada di
provinsi, kabupaten dan kota yang memiliki data penduduk dan sasaran
penyantunan serta adanya Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) untuk menjadi
pelaksana kegiatan BKSP.
Kebijakan dan berbagai petunjuk pengelolaan dan
pelaksanaannya dilandasi oleh surat keputusan DirJen Bantuan dan Jaminan Sosial
Nomor 26/BJS/V/2005 tertanggal 26 Mei 2005.
1) Tujuan
a) Untuk memberikan pembekalan pengetahuan dan
pemahaman tentang kegiatan Program BKSP;
b) Menyamakan persepsi dan sikap dalam
mengelola Program Bantuan Sosial
Permanen.
2) Sasaran
Sasaran sosialisasi dan deseminasi adalah
semua stakeholders, petugas lintas sektoral dan unsur masyarakat terkait yang
peduli massalah sosial serta para calon pengurus dan atau pelaksana program.
1) Lokasi kegiatan;
2) Calon lembaga pengelola dan pelaksana
kegiatan;
3) Calon sasaran penyantunan;
4) Sumber
pendukung lainnya.
1) Para petugas instansi terkait dan unsur masyarakat.
2) Bimbingan dan pendampingan secara berkala.
3) Pemberian motivasi penguatan.
Bantuan stimulan sebagai bahan pemicu dan pemacu kegiatan
merupakan pemberian hibah pemerintah baik secara langsung tunai maupun tidak
langsung atau dana dekonsentrasi kepada lembaga pengelola dan pelaksana
kegiatan. Pemberian bantuan dana stimulan ini diharapkan memberikan penguatan
motivasi lembaga dimaksud serta meningkatkan motivasinya dalam mengelola dan
melaksanakan kegiatan Program BKSP.
Pemberian santunan merupakan fokus dan inti kegiatan
BKSP. Santunan dapat berupa uang tunai maupun in natural atau barang pelayanan
psiko sosial kepada sasaran kegiatan Program BKSP.
Monitoring
dan assessement kegiatan program
penting untuk perbaikan sambil berjalan. Program BKSP dirancang sebagai suatu
rancang bangun Research Operational yang terdiri dari tahapan:
a. Assesement awal sebagai
baseline survey sederhana (PO);
b. Pelaksanaan kegiatan;
c.
Monitoring secara
berkala /periodik (P1);
d.
Analisa hasil monitoring ……….> rekomendasi alternatip;
e.
Replanning kegiatan dengan instrument assement yang sama;
f. Re-operasionalisasi baru.
Program Bantuan Sosial Permanen ditujukan kepada
kelompok masyarakat yang rentan dan miskin serta tidak mampu serta tidak lagi
mempunyai potensi untuk berkembang
ataupun dikembangkan Program ini diberikan kepada anggota masyarakat perorangan
ataupun keluarga melalui organisasi sosial yang mengelolanya dengan ketentuan
kreteria yang sudah ditetapkan oleh Departemen Sektoral yaitu Departemen
Sosial. Segmen penduduk masyarakat yang menjadi sasaran program ini adalah
Masyarakat yang digolongkan PMKS tidak potensial atau Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
yang tidak potensial untuk bidang dibantu berkembang seperti kelompok Lansia
Jompo, Anak-anak jalanan terlantar, dan lain-lain.
Komponen Bantuan Sosial Korban
Bencana Alam
Indonesia juga dikenal sebagai salah satu Negara
rawan bencana karena letak geografisnya sekaligus karena keaneka-ragamannya.
Hal ini semakin menjadi kompleks dikaitkan dengan tingkat pertumbuhan penduduk
yang sangat tinggi dibeberapa daerah seperti pulau Jawa dan Sumatra. Sebagai
akibatnya terjadi ketidak seimbangan antara daya dukung lingkungan dengan beban
kebutuhan hidup penduduk. Ketidak seimbangan ekosistem tersebut mengakibatkan
terjadinya berbagai bencana alam
disertai dengan terjadinya risiko sosial ekonomi seperti pengungsi,
hilangnya harta benda, kerusakan infra struktur pelayanan sosial publik,
timbulnya berbagai macam penyakit pasca bencana dan lain-lain.
Kejadian bencana Alam sangat sulit untuk diperkirakan/diprediksi,
meskipun selama ini sudah dikembangkan berbagai teknology canggih sebagai alat
pemindai maupun alat peringatan dini untuk mengantisipasi kejadiannya. Kesulitan
utama karena faktor sikap dan perilaku manusia sendiri. Akibat terjadinya bencana
alam menimbulkan kerugian aspek sosial dan ekonomi. Program Bantuan Sosial
untuk Korban Bencana Alam merupakan upaya perlindungan dan penyelamatan manusia
sebagai sumber daya pembangunan dari risiko bencana alam tersebut. Program
Bantuan Sosial untuk Korban Bencana Alam terdiri dari perangkat penangkal dan
pencegahan Pra Bencana serta Penanggulangan saat terjadinaya bencana alam itu
sendiri serta upaya pemulihan pasca terjadinya bencana. Oleh karena itu
diperlukan upaya penanggulangan secara terencana untuk mencegah, menghindari
dan mengatasi kejadian bencana alam semacam itu. Pada hakekatnya upaya
penanggulangan bencana alam merupakan upaya aspek kemanusiaan untuk melindungi, menyelamatkan berbagai sumber
daya pembangunan dari terjadinya bencana
alam yang sebahagian besar sebagai risiko ulah manusia sendiri. Selain beraspek
kemanusiaan penanggulangan akibat bencana sekaligus juga merupakan upaya
pemulihan kehidupan sosial ekonomi penduduk korban bencana alam tersebut untuk
memulihkan dan atau mengembalikan kerugian harta benda, kerusakan
infrastruktur, sarana sosial dan lain-lain.
a. Meningkatkan
kualitas pelayanan kesejahteraan sosial kepada
masyarakat agar mampu tumbuh
sikap dan tekad kemandirian di dalam bingkai upaya peningkatan sumber daya
manusia Indonesia.
b. Memperluas
jangkauan pelayanan sosial kepada masyarakat yang adil dan merata yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.
c Meningkatakan
peran serta aktif (partisipasi aktif) masyarakat secara terencana,
terorganisasikan secara terarah menuju melembaganya atas dasar kesetiakawanan
sosial, gotong royong dan swadaya masyarakat.
a. Penanganan
korban bencana alam diprioritaskan kepada penduduk yang bermukim di daerah rawan bencana.
b. Pemantapan
petugas dan relawan masyarakat untuk peningkatan kesiap-siagaan dalam
menghadapi dan menanggulangi kejadian bencana alam, melalui pelatihan
berjenjang dan bimbingan berkala.
c. Penataan sistem
jaringan informasi dan komunikasi penanggulangan bencana.
d. Peningkatan
jenis, jumlah dan kualitas perangkat penanggulangan bencana sesuai dengan
kondisi dan kemampuan penanganan dari masing-masing daerah.
e Peningkatan
bantuan kepada korban bencana alam, baik bantuan pada tahap tanggap
darurat bencana alam (bantuan pangan,
sandang), maupun bantuan pada tahap pasca bencana alam (bantuan rehabilitasi,
rumah/ bantuan BBR) serta bantuan tahap resosialisasi dan rujukan untuk
pemberdayaan korban dan kemitraan.
f. Pemetaan
daerah rawan bencana alam.
g. Peningkatan dan
perluasan kerjasama dan kemitraan organisasi sosial baik dalam negeri maupun
luar negeri dalam upaya penaggulangan bencana alam.
1) Pendataan Daerah Rawan Bencana.
a) Sasaran pendataan:
(1)
Lokasi kemungkinan terjadinya bencana RT/RW, Desa/
Kelurahan, Kecamatan;
(2)
Jumlah KK dan penduduk yang terpapar bencana, bermukim
didaerah rawan bencana;
(3)
Jumlah rumah penduduk, sarana sosial/umum dan pra
sarananya;
(4)
Potensi sosial ekonomi di daerah rawan bencana.
b) Methoda pendataan.
(1)
Pengumpulan data primer langsung;
(2)
Pemetaan dan
inventarisasi potensi sosial;
(3)
Pengamatan langsung/observasi dan diskusi partisipatif
dengan masyarakat daerah rawan;
(4)
Dokumentasi dan pemetaan.
2) Penyiapan perangkat penanggulangan
a.
Penyusunan pedoman umum, petunjuk penanggulangan bagi
aparat dan partisipasi masyarakat;
b.
Sosialisasi petunjuk penanggulangan;
c.
Pengadaan sarana dan peralatan penanggulangan bencana
seperti perahu karet, dll;
d.
Penyiapan buffer sembako dan peralatan dapur umum.
1) Rekruitmen
petugas dan masyarakat peduli bencana;
2) Pelatihan
petugas;
3) Pembentukan
Tim Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana.
Tindak
penyuluhan dan law enforcement
sebagai langkah pencegahan kejadian ulang bencana yang sama, seperti pemberian
penyuluhan pembuangan sampah, penertiban pemukinan DAS.
Langkah-langkah
kegiatan pada saat terjadinya bencana alam meliputi:
a.
Mobilisasi Tim Gerak Cepat.
b. Pendataan dan Pemetaan Daerah Bencana:
1) Jumlah areal bencana, penduduk korban
bencana;
2) Jumlah kerusakan rumah
penduduk, fasilitas umum seperti masjid, gereja, pasar, akibat bencana;
3) Jumlah pengungsi (KK, LK/P);
4) Data dan lokasi fasilitas sosial dan fasilitas umum yang
memungkinkan untuk dijadikan posko pengungsian.
c. Penyiapan dan distribusi bantuan:
1)
Pangan dan sembako;
2)
Sandang khususnya untuk bayi dan balita;
3)
Peralatan dapur keluarga.
d. Penyiapan Posko Korban Bencana:
1) Mobilisasi Tim Penanggulangan Bencana.
2) Penyelenggaraan
Pusat Informasi dan Tim Komunikasi
dan
Informasi Bencana.
3) Penyelenggaraan
Tempat Penampungan sementara.
4) Penyiapan dan
Penyelenggaraan Dapur umum.
5) Penerimaan dan Penyaluran Bantuan dari pemerintah
maupun dari masyarakat.
a. Jumlah
korban bencana sebagai bahan penyiapan pemberian bantuan darurat.
b. Data
dan peta kerusakan rumah tinggal penduduk sebagai bahan perhitungan penyiapan
Bantuan Bangunan Rumah.
c. Koordinasi
dengan seluruh potensi penanggulangan bencana.
Program Rehabilitasi Bencana dan Korban Bencana ada
beberapa tahapan kegiatan meliputi:
a. Penentuan Sasaran Bantuan Bangunan Rumah.
Kegiatan
Bantuan Bangunan Rumah dilaksanakan segera setelah selesainya kejadian bencana
dan sesudah tahap tanggap darurat. Sasaran BBR ditujukan kepada:
1) Keluarga
dengan kondisi sosial ekonomi tergolong kurang dan tidak mampu disertai
kerusakan rumah tinggal dengan klasifikasi kerusakan total atau rusak
parah/berat;
2) Keluarga
yang bekas bertempat tinggal di daerah rawan bencana alam dan Sedang
direlokasi/dipindahkan ketempat tinggal yang aman bencana.
b. Prinsip Bantuan
Bangunan Rumah.
1) BBR
merupakan wujud upaya pemerintah dan atau masyarakat mengurangi penderitaan
korban akibat terjadinya bencana alam;
2) BBR
merupakan kewajiban bersama pemerintah dan masyarakat berdasarkan semangat
gotong-royong dengan rasa kesetiakawanan sosial;
3) Bantuan
BBR adalah bantuan stimulan kepada masyarakat agar selanjutnya upaya dilakukan
secara gotong-royong;
4) BBR
harus diusahakan secara tepat waktu, tepat sasaran, tepat jenis kebutuhan.
c. Penetapan
kebutuhan BBR.
Dilakukan
dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1)
Jumlah korban bencana yang mengalami kerusakan rumah
tinggal total dan atau rusak berat minimal 30 KK per lokasi kejadian.
2)
Korban bencana yang tahun kejadiannya bencana pada tahun
anggaran berjalan, kecuali relokasi penduduk yang bermukim didaerah rawan
bencana.
3)
Untuk relokasi korban bencana, status tanah dilokasi baru
harus ada kejelasan hukum dari pemerintah setempat.
d. Resosialisasi
dan Rujukan Korban Bencana.
1)
Pemberdayaan kembali keluarga dan masyarakat korban
bencana antara lain dengan pemberian Bantuan Sosial Pemberdayaan berupa usaha
ekonomi produktip mikro dibidang perternakan, pertanian, pertukangan,
perikanan. kerajinan tangan untuk home industri dan lain-lain.
2)
Kerja sama dan kolaborasi dengan berbagai lembaga
pemerintah sector pembangunan, unsur swasta maupun dengan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) di bidang penanggulangan bencana.
3)
Membantu sorban melalui kemitraan dengan BUMN/BUMD,
Lembaga donor, Perusahaan Swasta yang peduli Korban Bencana.
4)
Rujukan sorban ke instansi terkait seperti instalasi
kesehatan.
a.
Sasaran pelaporan.
b.
Laporan kejadian bencana dan bilamana mungkin analisa
penyebabnya.
c.
Laporan keluasan akibat bencana disertai data terakhir
jumlah korban, kerusakan fasilitas sosial, fasilitas umum.
d.
Laporan kegiatan penanggulangan bencana sendiri khususnya
tanggap darurat dan rehabilitasi.
e.
Laporan administrasi penerimaan dan distribusi bantuan
baik dari sumber pemerintah maupun yang diterima dari sumbangan masyarakat
luas.
f.
Masalah dan kendala selama proses penanggulangan.
g.
Jangan lupa dokumentasi kejadian dan lain-lain.
a. Pendataan
daerah rawan bencana alam
1)
Luas areal rawan bencana.
2)
Jumlah penduduk yang terancam bencana.
3)
Potensi kerusakan kalau terjadi bencana.
4)
Karakteristik bencana dan perkiraan besarnya bencana.
5)
Analisa penyebab.
6)
Dampak sosial ekonomi kalau terjadi bencana.
7)
Potensi sumber bantuan serta ketersediaan sarana
peralatan.
8)
Kesiapan dan kemampuan masyarakat untuk menghadapi dan
atau mengatasi bencana dan atau akibatnya.
9)
Data jaringan akses, jaringan kerjasama, jaringan
komunikasi.
10)
Data personel penanggulangan bencana, Tim gerak cepat,
Tim Tanggap Darurat.
b. Posko
Penanggulangan Bencana
1) Setiap daerah
harus mempunyai Posko Penanggulangan
Bencana
2) Sradarisasi
peralatan Posko Penanggulangan Bencan meliputi:
a)
Telepon dan Facsimile.
b)
Radio Telekomunikasi dengan jarak jangkau ”Long
Distance dan Short Distance”.
c)
Bilamana mmemungkinkan multimedia (website, e-mail).
d)
Alat transportasi untuk caraka.
3) Waktu operasi
Posko Penanggluangan Bemncana setiap hari siaga
(stand by) 24 jam 7 hari
seminggu.
c. Perangkat Kesiap-siagaan Penanggulangan
Bencana PB–BSKBA
1)
Setiap provinsi dan seyogyanya setiap kabupaten/Kota
memiliki perangkat peralatan standar Penanggulangan Bencana. Sebagai bahagian
dari tindak kesiapsiagaan daerah. Terlebih-lebih bagi provinsi dan atau kabupaten
yang sudah ditetapkan atau sudah pernah mengalami musibah bencana.
2)
Beberapa perahu karet dengan motor tempel berkekuatan
sedang serta pelampung dan beberapa ban dalam.
3)
Tenda siap pakai untuk tempat penampungan sementara
korban bencana.
4)
Mobil Unit Dapur Umum Lapangan.
5)
Unit Stasiun bergerak.
6)
Unit Air Bersih.
7)
Alas tidur.
8)
Unit penerangan darurat.
9)
Penyiapan ”Buffer
Stock” bantuan kesiap-siagaan berupa barang bantuan.
Standar Tanggap Darurat Bencana diadakan untuk setiap kejadian
bencana alam dan meliputi :
a.
Sikap antisipasi Sistem Penangkal Bencana termasuk
pemindaian dan peringatan dini dalam bentuk Sistem Komunikasi dan Informasi
Bencana (early warning System).
b.
Menghimpun data risiko/rawan bencana dan data bencana
1)
Jenis dan besarnya bencana.
2)
Waktu dan lokasi kejadian.
3)
Dampak bencana dan tingkat kerugian negara dan mayarakat.
4)
Kebutuhan bantuan yang darurat mendesak.
c.
SOP Pencarian dan Evakuasi Penyelamatan (Search And Rescue).
d.
Posko Penampungan Korban Bencana sementara.
e.
Penyelenggaraan Dapur umum.
f.
Penyiapan Bantuan permakaman kepada korban.
a.
Rehabilitasi pemukiman penduduk korban bencana.
b.
Rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur sosial dan
umum daerah bencana.
c.
Pembersiah lingkungan serta upaya pencegahan
penyakita pasca bencana.
d.
Resettlement/Pemukiman kembali penduduk korban
bencana.
Negara Indonesia adalah salah satu negara yang paling
rentan terhadap bahaya Bencana Alam dan Bencana konflik sosial sebagai akibat
keragaman suku bangsanya serta keletakan baik secara Geophisik maupun secara
Geopolitik. Oleh sebab itu kejadian bencana alam dan atau bencana konflik
sosial sangat sering terjadi seperi gempa bumi, banjir maupun kerusuhan konflik
sosial. Karena itu pula pemerintah meletakan kebijakan penanggulangan bencana
alam semacam itu sebagai reaksi terhadap
risiko kejadian bencana. Di dalam materi ini dipaparkan berbagai tahapan aksi
tindak pemerintah dan masyarakat menanggapai kejadian bencana alam atau konflik
sosial baik itu tahapan Pra Kejadian Bencana maupun Tahapan saat Kejadian
Bencana Alam.
Komponen Bantuan Sosial Pemberdayaan
Program Bantuan Sosial Pemberdayaan merupakan
bahagian upaya pemerintah merealisasikan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal
34 ayat (2) yang menyatakan
bahwa:................................................................................................
Negara
mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat dn memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.........................................................................................
Program Bantuan Sosial Pemberdayaan ini mempunyai
banyak bentuk dan dilaksanakan oleh banyak pihak baik pemerintah maupun unsur
masyarakat swasta dari berbagai sektor pembangunan namun sangat tidak
terkoordinasikan dan hampir tidak pernah mennjukkan hasil yang effektif apalagi
effisien berkat arogansi sektoral masing - masing. Di BKKBN ada UPPKS, di
Departemen Sosial ada Kube, di Departemen Pertanian ada PM2K, sedangkan di
swasta ada program yang disebut sebagai Social Responsibility Program dari
pada perusahaan bersangkutan, Participatory Community Development dll.
Secara struktur program Bantuan
Sosial Pemberdayaan biasanya terdiri atas:
1.
Identifikasi dan seleksi sasaran program.
2.
Kepelatihan kegiatan bersangkutan.
3.
Pemberian bantuan stimulan dan atau permodalan kerja.
4.
Pendampingan dan bimbingan.
5.
Monitoring evaluasi kegiatan program.
Kebijakan dan
Tujuan
Adalah kebijakan kebijakan publik dari pemerintah dalam
upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat lemah dan tidak mampu melalui
pendekatan pemberdayaan keluarga.
Program Bantuan Sosial Pemberdayaan adalah Program
Bantuan pemerintah yang ditujukan kepada orang dan keluarga yang lemah dan atau
tidak mampu yang memiliki potensi untuk berkembang atau dikembangkan agar
menjadi pribadi atau keluarga yang maju dan mandiri dengan memberikan
perlindungan jaminan sosial pemberdayaan.
1.
Program Jaminan Bantuan Sosial Pemberdayaan difokuskan
kepada keluarga miskin atau yang tidak mampu namun masih berpotensi untuk
berkembang dengan stimulan dan bantuan tertentu. Yang krusial didalam
penyelenggaraannya adalah penentuan calon penerima manfaat program serta
penentuan kriteriannya. Disarankan penentuan calon penerima manfaat melalui
PPA, atau memakai sumber data keluarga miskin yang sudah ada namun disepakati
oleh setiap stakeholders yang terkait
dan terlibat dalam program.
2.
Pada prinsipnya Program Bantuan Sosial Pemberdayaan
merupakan salah satu upaya pemerintah mengentaskan pribadi dan atau keluarga
daripada masalah kesejahteraan sosial dengan memberikan pembekalan
kemampuan pengetahuan dan ketrampilan tertentu
disertai dengan bantuan permodalan sebagai bekal memulai usaha produktif.
Program Bantuan Sosial ini berbentuk hibah atau suatu kompensasi terhadap
terjadinya suatu resiko sosial sebagai akibat adanya perubahan mendadak karena
musibah bencana maupun perubahan krisis ekonomi keluarga maupun masyarakat.
Penyelenggaraan operasional Program Bantuan Sosial Pemberdayaan biasanya
merupakan urutan kegiatan sebagai berikut:
Tahap 1 :
Penentuan Calon Penerima Manfaat (Beneficiery)
Tahapan ini dimulai dengan identifikasi orang atau Rumah
Tangga Miskin (RTM) sebagai daftar calon panjang calon penerima manfaat. Daftar
panjang semacam ini bisa didapatkan atau diakses dari hasil pendaatn RTM oleh BPS atau dari data
hasil pendataan keluarga Pra Sejahtera
Alasan Ekonomi (Alek) oleh BKKBN atau atas usulan rekomendasi suatu LSM
tertentu. Biasanya daftar semacam ini sangat besar atau banyak jumlahnya
melebihi kemampuan sumber dana yang tersedia, sehingga memerlukan proses
prioritasi kelompok sasaran.
Tahap
2: Prioritasisasi Kelompok Sasaran Penerima Manfaat
Tahap ini dilakukan berdasarkan atas pertimbangan
keterbatasan sumber dana dibandingkan dengan daftar RTM yang ada. Melalui
proses JISAMAR dan analisinya, daftar panjang calon penerima manfaat dapat
difokuskan kepada kelompok prioritas misalnya berdasarkan gender, macam
ketrampilan usahanya atau RTM korban bencana alam seperti gempa bumi, banjir,
kebakaran dll. Sebagai salah satu teknik yang cukup memadai dan banyak dikenal
dikalangan LSM adalah memakai Teknik Participatory Wealth Ranking. Teknik
ini diperkenalkan didalam suatu workshop untuk mengkampanyekan Program Kredit
Mikro sebagai alat/perangkat lunak identifikasi tingkat kemiskinan keluarga.
Teknik ini semula dikembangkan oleh Small Enterprise Foundation South Africa
yang diadopsi selanjutnya oleh Yayasan Bina Swadaya & Micro Credit Campaign.
Tahap 3:
Penetapan Penerima Manfaat Program
Tahap ini dilakukan dengan mengeluarkan suatu Surat
Keputusan Penetapan oleh Bupati/Walikota berdasarkan usulan rekomendasi dinas
teknis dari atau atas rekomendasi dari lapangan (kecamatan/desa).
Tahap 4 :
Kepelatihan
Tahap kepelatihan pada umumnya mempunyai 2 ( dua )
tujuan, yaitu:
1.
Menyamakan pemahaman dan persepsi penerima manfaat
tentang bantuan yang akan diterimanya. Tujuan dan pendekatan ini penting untuk
menghindarkan pandangan atau persepsi masyarakat bahwa pemerintah sinterklas
penyebar rezeki yang tidak perlu dikembalikan;
2.
Berusaha untuk membekali penerima manfaat dengan
kemampuan mengelola usaha kecil produktip dan mengelola keuangannya serta
latihan berorganisasi. Didalam kepelatihan semacam perlu ditekankan bahwa
bantuan permodalan tersebut tidak diperuntukkan hanya kepada si anu saja,
tetapi perlu digulirkan agar RTM anggota masyarakat lainnya juga ikut
mendapatkan manfaat adanya program bantuan ini. Aspek ini sekaligus bertujuan
untuk memberikan motivasi kemandirian kepada para penerima manfaat dan tidak
selalu hanya menggantungkan diri kepada “rezeki pemberian” saja.
3.
Pelatihan pengelolaan keuangan disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakatnya yang pada umumnya berpendidikan rendah, oleh karena itu
pelatihan biasanya dirancang dalam bentuk sederhana dan singkat selanjutnya
akan diikuti dengan pendampingan Pelatihan juga dirancang untuk merangsang motivasi pesertanya agar mau
mempergunakan potensi dirinya dengan dibantu orang lain sehingga mampu mandiri.
Tahap : 5 Monitoring dan Evaluasi
Tahapan
monitoring merupakan tahapan yang krusial karena akan sangat bergantung dengan
sikap dan perilaku yang melakukan monitoringnya
Beberapa aspek yang perlu mendapatkan perhatian didalam melakukan
monitoring adalah:
a.
Adakah penerima
manfaat program merupakan RTM kelompok yang sesuai dengan kreteria yang sudah
ditetapkan; tepat sasaran?
b.
Bagaimana penggunaan bantuan permodalan dimanfaatkan oleh
RTM? Apakah untuk usaha produktip atau untuk konsumtip?
c.
Bagaimana usaha pendampingan oleh LSM atau ORSOS, cukup
berhasil?
d.
Bagaimana dampak sosialnya terhadap lingkungannya?
Tahap 6 : Tahap Evaluasi
Assessment
Tahapan ini merupakan bagian
yang hasilnya sangat penting sebagai bahan asupan pengambilan keputusan
berikutnya. Evaluasi bisa dipandang dari aspek manejerialnya, tetapi bisa juga
sampai ketahap dampak sosial. Untuk Assessement dipaparkan didalam modul 5.
Program Bantuan Sosial Pemberdayaan seringkali
menimbulkan komentar dan keluhan masyarakat. Perimbangan antara ketersediaan
sumber dana dengan jumlah keluarga rentan yang masih potensial dan layak
menjadi sasaran sering tidak match. Karena itu analisa calon sasaran penerima
manfaat menjadi bagian yang penting didalam tahapan pelaksanaan program di
lapangan. Program ini dari segi APBN harus merupakan hibah, meskipun secara
manajemen perlu dikelola sedemikian rupa agar jumlah sumber dana yang terbatas
tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dengan cara bergulir.
REFERENSI
Undang-Undang
Dasar 1945 R.I.
Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Saosil Nasional.
Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Pedoman
Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin Tahun 2006 (Surat Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 332/Menkes/ SK/V/2006 dan draft
Pedoman Pelaksanaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin tahun
2007).
*Dari berbagai sumber
1 comment:
Semoga,terlaksana semua program jaminan sosial yang dicanangkan oleh pemerintah merata dari pusat hingga daerah,demi terciptanya masyarakat adil makmur dan sejahtera..
Post a Comment