Showing posts with label Kritik Sastra. Show all posts
Showing posts with label Kritik Sastra. Show all posts

Thursday 6 January 2011

KEGUNDAHAN SASTRA SAUT SITUMORANG (WAWANCARA)

http://www.wartaone.com/articles/13125/1/Kegundahan-Sastra-Saut-Situmorang/Halaman1.html






wartastyle

Jum'at, 10 Jul 2009 10:00 WIB



Kegundahan Sastra Saut Situmorang



Zamakhsyari Abrar - wartaone



Jakarta - Saut Situmorang, nama penyair ini, dalam beberapa tahun belakangan mencuat namanya dalam panggung sastra negeri ini. Lewat kritik-kritiknya yang tajam dan keras, ia menyerang Goenawan Mohamad dan kawan-kawan atas apa yang disebutnya sebagai politik sastra Teater Utan Kayu.



Bersama dengan penyair Wowok Hesti Prabowo, sastrawan yang lahir di Tebing Tinggi, Sumatra Utara, pada 29 Juni 1966, ini lalu menerbitkan jurnal Boemipoetra, sebuah jurnal yang terbit dwibulanan, wadah tempat mereka untuk menulis dan mengekspresikan tulisan untuk "menyerang" politik sastra Goenawan cs.



Terkait banyaknya reaksi yang kaget ketika membaca Boemipoetra, Saut menilainya hal itu wajar-wajar saja. Menurut pria berambut gimbal ini, selama pemerintahan Orde Baru, seniman kita memang tidak terbiasa berpolitik dalam kesenian.



Apa dan bagaimana Boemipoetra? Bagaimana tanggapan Saut terhadap pernyataan Goenawan yang beberapa waktu sebelumnya menyebut Boemipoetra tak lebih dari coret-coretan di toilet? Berikut petikan perbincangan WartaOne.com dengan Saut di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (9/7).



WartaOne (WO): Salah satu pemicu berdirinya Boemipoetra adalah karena sakit hati penyair Wowok Hesti Prabowo yang gagal masuk dalam pemilihan anggota Dewan Kesenian Jakarta pada 2006?



Saut Situmorang (SS): Seandainya pun itu benar, tak apa-apa toh. Karena kita tahu Dewan Kesenian Jakarta yang kemudian terbentuk, itu kan Dewan Kesenian Goenawan Mohammad. Mulai dari ketuanya yang namanya Marco K itu (Marco Kusumawijaya), sampai ke dalam bidang-bidang dalam Dewan Kesenian Jakarta. Misalnya sastra, di situ ada Ayu Utami, Nukila Amal, dan di situ juga ada yang kusebut antek-antek Goenawan Mohamad atau TUK, Zen Hae. Dan (kelompok Goenawan) itu juga ada di teater dan film.



Jadi Dewan Kesenian Jakarta yang kemudian terbentuk itu, semua orang bisa melihat bahwa jelas sekali itu Dewan Kesenian Jakarta versi Teater Utan Kayu. Kita tahu permainan Goenawan Mohamad di Akademi Jakarta mempengaruhi anggota-anggota lain supaya mereka itu terpilih. Dan bukan hanya Wowok saja itu yang ketendang keluar dari pemilihan itu, ada juga Ahmadun Y. Herfanda, dan juga Radhar Panca Dahana.



Jadi kalau misalnya itu dibuat semacam ejekan bahwa Wowok akhirnya memulai jurnal Boemipoetra karena sakit hati itu, ya ndak apa-apa. Itu wajar saja, sebab itu sebuah perlawanan terhadap manipulasi yang terjadi pada pemilihan anggota Dewan Kesenian Jakarta pada periode tersebut. Sebuah perlawanan yang konkret karena melahirkan jurnal Boemipoetra, yang kau tahu efeknya ya, sekarang Boemipoetra sudah terbit sekitar dua tahunlah.



WO: Boemipoetra mencoba menandingi wacana kebudayaan Goenawan Mohamad cs. Goenawan cs menurut saya menguasai wacana kebudayaan Indonesia, misalnya sastra, teater dan agama. Boemipoetra apa yang ditawarkan untuk menandingi mereka? Saya kok melihat Boemipoetra tidak menawarkan apa-apa?



SS: Aku sangat tidak setuju dengan pendapat itu bahwa kami tidak menawarkan apa-apa. Sekarang kita bicarakan apa yang kau bilang dominasi wacana kebudayaan Goenawan. Itu buktinya mana? Kalau Goenawan menguasai wacana teater, maksudnya apa? Kalau hanya sekadar mengerti teater, semua orang mengerti teater, mengerti sastra, semua orang mengerti sastra. Tapi kalau kau bilang menguasai wacana, maksudnya apa pernah dia menulis kritik sastra dan teater? Tidak pernah. Banyak orang seperti kau mengenal Goenawan Mohamad karena ia itu menjadi mitos dari catatan pinggirnya di Tempo. Mayoritas hanya mengenalnya dari catatan pinggirnya tadi. Sebagian besar mereka juga adalam pembaca Tempo, majalah kelas menengah ke atas. Bahasa catatan pinggir itu bahasa kelas menengah. Kalau kau benar-benar mau membahas catatan pinggir, itu enggak ada yang dibicarakan oleh Goenawan. Dia itu cuma bermain-main dalam retorika yang berbudi indah. Silahkan kau baca, tidak ada yang dibicarakan. Ia mengelak membicarakan isu yang merupakan judul dari setiap catatan pinggirnya. Ia bermain-main dalam retorika bahasa yang kosong.



Jadi kalau kau bilang Goenawan Mohamad itu menguasai macam-macam itu, begini aja, silahkan saja Goenawan Mohamad itu diskusi dengan Saut Situmorang dari Boemipoetra, topik apa aja, untuk membuktikan (pernyataan) itu. Karena justru mitos besar yang kosong inilah salah satu tujuan (berdirinya) Boemipoetra. Jadi pembaca itu disadarkan. Sebab kalau kalian baca tulisan, apalagi tulisan seperti Goenawan Mohamad, kalian tidak bisa membaca seperti membaca berita di koran. Karena kita berbicara soal politik retorika. Kebanyakan pembaca kita bacaannya paling-paling majalah Tempo, atau Kompas. Itu tidak cukup. Kalau Anda mau bergerak di dunia baca-membaca, apalagi seperti Goenawan yang dengan sadar mempermainkan retorika, enggak cukup. Bacaan harus lebih canggih lagi man.



WO: Wacana agama, misalnya, kelompok Teater Utan Kayu memiliki Ulil Abshar-Abdalla cs dengan JIL-nya?



SS: Kau salah. Kalau kau melihat komposisi redaksi Boemipoetra, itu macam-macam. Wowok itu orang buruh, saya Marxist, Kusprihyanto Namma itu Islam. Anda boleh ngomong macam-macam tentang Islam dengan Kusprihyanto. JIL itu apa? JIL itu labelnya aja yang Islam. Kalau kau mengerti apa yang disebut dengan Islam liberal, kau akan kaget bahwa itu adalah sebuah proyek besar disebut orientalisme, terutama oleh Amerika Serikat untuk mengacaukan Islam. Tokoh-tokohnya seperti Bernard Lewis dan lain-lain, orang yang mengaku Islam tapi menghina Islam. Jadi kalau berbicara JIL, Anda tak bisa melihat apa yang mereka omongkan. Anda harus tahu mereka berasal dari mana. Nah bacalah (buku) Edwar W. Said (Orientalisme), Anda akan tahu apa itu Islam liberal.



WO: Bukankah gejala kelompok seperti ini bukan gejala baru dalam sastra Indonesia. Di luar juga seperti itu?



SS: Ya, makanya. Itulah harus ada counter. Jadi kenapa ada Boemipoetra, seolah-olah dianggap anomali, aneh. Karena orang kita itu selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, selama itu berkuasa Horison-Manikebu. Orang Indonesia itu sudah terlalu biasa untuk tidak berpolitik dalam kesenian. Jadi kalau melihat munculnya fenomena Boemipoetra yang menentang Goenawan Mohamad dengan Teater Utan Kayunya dalam perspektif sastra secara luas, bukan hanya karya ya, baik politik karya, politik kanonisasi sastra, informasi tentang sastra di dalam maupun luar negeri, orang pada kaget karena belum pernah terjadi sebelumnya (dalam sejarah sastra Indonesia). Banyak sekali polemik-polemik STA (Sutan Takdir Alisyahbana) dengan lawan-lawannya termasuk yang terakhir itu perdebatan sastra kontekstual, itu hanya membicarakan karya. Belum membicarakan sebuah isu. Sosiologi sastra, politik sastra, bukan semacam itu.



Nah ini sesuatu hal yang baru yang dibawa oleh jurnal Boemipoetra. Kalau Anda ingin tahu tentang perspektif yang lebih luas tentang perlawanan Boemipoetra terhadap Goenawan Mohamad dan TUKnya, saya baru menerbitkan kumpulan esei saya judulnya Politik Sastra.



Dalam buku itu, jelas sekali yang kami tawarkan, sesuatu yang selama ini dikoar-koarkan oleh GM yaitu pluralisme. Baik pluralisme dalam berpikir, pluralisme dalam berkarya. Mereka kan tidak. Lihat saja seleksi pengarang. Yang mereka undang, yang sama gaya menulisnya dengan mereka. Pernahkah mereka mengundang dalam acara bienale sastra itu pengarang Islam seperti Helvy Tiana Rosa? Atau pengarang yang mewakili suara buruh. Banyak sekali kan. Tidak hanya Wowok. Pernah gak? Kan enggak. Tapi yang diundang hanya pengarang-pengarang yang mengangkat cerita seks, sesuatu yang abstrak yang tidak ada dalam persoalan kehidupan sehari-hari. Berarti mereka itu menyeragamkan topik, menyeragamkan style of writing. Di sisi lain mereka berkoar-koar soal pluralisme dan macam-macam. Mereka tidak plural sama sekali. Mereka antipluralisme. Seperti Jaringan Islam Liberal. Kenapa rupanya kalau ada FPI (Front Pembela Islam), dan kelompok fundamentalis? Anda kan plural, Anda kan liberal, liberal itu kan plural. Siapa aja silahkan, atheis juga silahkan. Tapi kan tidak.



WO: Jadi yang diomongkan tak sesuai dengan perbuatan?



SS: Terbukti kan? Anda yang berseberangan ide, ideologi, style dengan mereka, dikucilkan. Buktinya Boemipoetra tidak setuju dengan mereka. Harus terima dong, kan mereka plural. Kalau mereka hanya menerima orang yang setuju dengan mereka, itu bukan plural. Itu seragam. Itu fasis namanya.



WO: Yang menonjol dari jurnal Boemipoetra adalah bencinya itu?



SS: Ya, kita harus benci waktu kita melawan sesuatu, bukan sayang, karena kalau sayang itu kan munafik. Kita benci dengan segala sesuatu yang mereka presentasikan. Seperti yang saya bilang tadi. Di Islam itu ada JIL, di sastra itu ada TUK, di dunia kesenian mereka itu ada Salihara. Ya, kita benci itu karena (mereka) tidak konsisten. Itulah politik kesenian.



Jadi pretensi orang selama ini bahaslah karya. Coba kita lihat. Selama ada sastra Indonesia, tidak ada kritik sastra. Coba sekarang bahas karya, GM tidak mampu. Apalagi Sitok (Srengenge), Nirwan Dewanto, tidak mampu apa-apa itu. Jadi mereka itu berpolitik sastra. Semuanya itu berpolitik sastra.



WO: Saya pernah mewawancarai Sapardi Djoko Damono terkait tidak adanya kritik sastra seperti yang dikeluhkan oleh Bang Saut. Menurut Sapardi, hal itu tidak benar. Banyak kritik sastra diproduksi dalam bentuk tesis dan disertasi.



SS: Itu tugas kuliah, bukan kritik sastra. Hahaha... Kalau benar kritik sastra, mereka kritikus dong yang menulisnya. Tapi gak kan? Itu tugas supaya dapat gelar sarjana. Beda. Kritik sastra itu sebuah profesi, seperti kau wartawan, tukang becak dan tukang bajaj. Kalau profesi itu ada karir, mulai dari bawah. Kritik sastra itu karir. Dan Sapardi juga bukan kritikus sastra. Dia gak ngerti apa-apa. Sapardi gak bisa bahas karya, baca aja semua kumpulan tulisan dia. Gak ada. (Tulisan) dia itu seperti opini Kompas aja. Opini itu lain, itu bukan kritik. Kritik itu kau menganalisis sesuatu, kau punya sebuah hipotesis, lalu kau buktikan. Kau bahas. Tidak bisa sekadar, oh temanya begini, tokohnya begini, dan mereka berantem. Itu namanya menceritakan kembali. Mengkritik bukan menceritakan kembali, tapi menganalisis cerita yang kau ceritakan kembali.



WO: Jadi problemnya sumber daya manusia?



SS: Sumber daya manusia kita sangat parah. terutama di dunia seni. tidak ada kritikus seni, baik teater, sastra. Tidak ada itu. tapi memang ini berangkat dari pendidikan yang anjlok itu. Kau lihat misalnya. Berani tidak mahasiswa mendebat dosennya di kelas? Pasti habis dia. Ini persoalannya di sini, kita memang diadakan untuk tidak kritis, kalau sistem pendidikan seperti ini di mana debat antara mahasiswa dan dosen, murid dan gurunya tidak diperbolehkan sama sekali, bagaimana akan ada kritik seni atau kritik kebudayaan? Itu awalnya, pendidikan kita diciptakan oleh Soeharto seperti itu untuk menurut. Siswa kerjanya sekolah, sks, lulus, mudah-mudahan dapat kerjaan, kemudian kawin mati.



WO: Saya sepakat dengan hal itu.



SS: Ya, gak akan mungkin ada satu elemen dari kebudayaan yang anjlok aja. Ini semua, struktural. Jadi kalau misal ada kerusakan ekonomi, di dunia politik partai, gak ada di situ aja. Itu gak akan terjadi kalau gak didukung oleh unsur-unsur lain, dalam berpikir, dalam cara orang beragama, bersekolah. Itu mendukung sistem ini.



WO: GM menganggap Boemipoetra cuma coret-coretan di toilet? Tanggapan Anda?



SS: Sama aja. Kami mengggap semua tulisannya juga cuma coret-coretan toilet di terminal bis umum. Gak apa-apa. Tapi persoalannya ketika dia ngomong begitu, apa pernah dia buktikan? Apa pernah dia kasih alasan? Kan gak pernah kan.



WO: Anda pernah menyamakan jurnal Boemipoetra dengan manifesto kaum Dada dan Surealisme Prancis? Apa itu tidak berlebihan?



SS: Lho, sekarang Anda sudah pernah baca manifesto kaum Dada dan Surealisme tersebut? Belum. Kalau belum, sulit saya menjelaskannya. Coba Anda baca manifesto mereka, seperti apa bahasa mereka? Itu majalah kecil juga, mereka juga menyebutnya jurnal. Nanti kalau saya jelaskan, Anda anggap pembelaan lagi.



WO: Jadi konkretnya seperti apa agenda kebudayaan jurnal Boemipoetra?




SS: Pertama pluralisme. Selama ini Utan Kayu mengklaim dirinya pluralis. Nah, kami itu mengkritik itu. Mereka itu sebenarnya antipluralis. Kedua, kita antiideologi Goenawan cs bahwa seks adalah satu-satunya standar estetika kesenian Indonesia. Orang kan bisa menulis tentang Islam, makanan, kan gak apa-apa dong. Mengapa harus seks yang dianggap paling hot? Semua oke, persoalannya bagaimana kau menuliskannya. Dan ketiga, kita antifunding asing. Kalau mereka sudah masuk, kacau dunia kesenian. Contohnya ya Teater Utan Kayu itu. (mak/mak)

Friday 12 November 2010

Saman dalam 'Kebohongan' Politik Sastra (1)

Saman dalam 'Kebohongan' Politik Sastra (1)



Saman dalam 'Kebohongan' Politik Sastra

First section from three writings.

by Katrin Bandel

Akhir tahun 2007 novel Saman karya Ayu Utami diterbitkan dalam terjemahan bahasa Jerman oleh penerbit Horlemann. Tentu saja penerbitan Saman tersebut bukanlah sebuah peristiwa besar, sebab Horlemann hanya penerbit kecil dan nama Ayu Utami hanya dikenal segelintir orang di Jerman. Namun, peristiwa penerbitan novel itu, seperti hampir setiap penerbitan buku baru, diresensi di beberapa media, dan buku itu diiklankan oleh penerbitnya.

Wacana seputar Ayu Utami di Jerman itu ingin saya bicarakan di sini, karena saya merasa terganggu dengan representasi Ayu Utami (dan khususnya novel Saman) yang sangat tidak tepat, dalam arti tidak sesuai dengan apa yang saya ketahui tentang (peran) Ayu Utami, teks novel Saman, dan reaksi pembaca terhadapnya di Indonesia.

Rasa terganggu tersebut saya anggap relevan dibagi dengan masyarakat sastra di Indonesia, bukan hanya karena resepsi karya sastra Indonesia di luar negeri menarik untuk diikuti oleh orang Indonesia, tapi lebih-lebih karena tampaknya representasi Ayu Utami yang sangat tendensius dan "melenceng" itu bisa terjadi bukan hanya karena ketidaktahuan atau kesalahpahaman penerbit, peresensi dan pembaca Jerman tentang Indonesia dan dunia sastranya atau pada strategi pemasaran penerbit Horlemann, tapi juga karena politik sastra yang dilakukan oleh orang Indonesia sendiri, khususnya Komunitas Utan Kayu (KUK).

Saya ingin memulai dengan membahas sebuah laporan wawancara dengan Ayu Utami oleh Katrin Figge dari Goethe Institut Jakarta. Laporan singkat yang diterbitkan di majalah sastra berbahasa Jerman, LiteraturNachrichten (Nr 94, musim gugur 2007), itu berjudul Wilde Ehe, Bier und Pornographie (Perkawinan Liar, Bir dan Pornografi).

Pada awal tulisan tersebut Katrin Figge menceritakan bagaimana dia bertemu dengan Ayu Utami di kafe KUK untuk melakukan wawancara, sesuai dengan janji yang dibuat sebelumnya. Namun ketika mereka bertemu, Ayu lalu mengusulkan agar wawancara dilakukan di rumahnya saja karena di kafe KUK "terlalu bising". Sebelum berangkat, dengan suara lantang Ayu memesan empat botol bir untuk dibawa pulang.

Katrin Figge berkomentar (dalam bahasa Jerman), "Di banyak negara lain hal itu tidak akan dianggap istimewa, meskipun baru jam 12 siang. Tapi kita berada di Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia. Di sini tidak ada perempuan yang minum bir, paling tidak di ruang publik. Dalam konteks itu tidak penting bahwa Ayu Utami bukan orang Muslim, tapi Katolik. Dia tersenyum simpul ketika menerima tas plastik yang berisi botol bir. Pandangan mata heran dari pengunjung kafe yang lain tidak mengusiknya sedikit pun."

Sudah jelas pesan apa yang ingin disampaikan Figge lewat penilaian stereotipikalnya tentang bir, perempuan dan agama dalam masyarakat Indonesia itu: bahwa Ayu Utami merupakan perempuan yang luar biasa berani - seorang pemberontak sejati. Dengan nada yang sama Figge membicarakan keputusan Ayu Utami untuk hidup serumah dengan pasangannya tanpa menikah yang konon sangat sulit diterima masyarakat Indonesia, dan pandangan Ayu mengenai RUU-APP.

Lebih jauh lagi, Ayu Utami digambarkannya bukan hanya sebagai pemberontak terhadap nilai-nilai moral yang "kolot", tapi juga sebagai bagian dari gerakan perlawanan di dunia politik, khususnya sebelum jatuhnya Soeharto. Figge melaporkan keterlibatan Ayu Utami di Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dengan keterangan bahwa disebabkan oleh keterlibatan tersebut Ayu Utami "kehilangan pekerjaannya di majalah Matra dan selanjutnya terpaksa menerbitkan artikel dan eseinya di majalah-majalah underground."

Tentang isi novel Saman Figge hanya memberi komentar singkat, yaitu bahwa novel tersebut membicarakan "penyiksaan dan kekerasan yang dilakukan pemerintah, konflik etnis, minoritas agama - dan seks", dan bahwa banyak penganut "Islam konservatif" kaget dan tidak bisa menerima novel yang "terlalu terbuka" itu. Pesan yang serupa tentang novel Saman sebagai sebuah pemberontakan dan perlawanan yang luar biasa berani kita temukan pada "ringkasan" novel di website penerbit Horlemann, antara lain lewat klaim (dalam bahasa Jerman) berikut:

"Novel pertamanya, Saman, dirayakan sebagai sensasi literer di Indonesia: Novel itu terbit tidak lama sebelum jatuhnya Jenderal Soeharto, seakan-akan menjadi pertanda perubahan politis. Novel itu mempersoalkan tabu-tabu masyarakat dengan terbuka, seperti yang belum pernah dilakukan dalam sastra Indonesia sampai saat itu." Konon, begitu keterangan selanjutnya, dalam novel Saman Ayu Utami "membicarakan seksualitas dengan terbuka, dan mempersoalkan relasi yang problematis antara orang Muslim dan orang Kristen dan kebencian pada minoritas Tionghoa."


Sangat ganjil

Bagi saya -- dan saya yakin juga bagi sebagian besar pembaca Indonesia -- imaji Ayu Utami dan novel Saman yang disampaikan lewat kedua teks Jerman tersebut terasa sangat ganjil. Bagaimana mungkin pengarang yang kita kenal sebagai bagian dari mainstream sastra saat ini dan sebagai anggota komunitas sastra yang dominan, tiba-tiba seakan-akan menjadi pemberontak yang subversif?

Selain itu, mengapa tema-tema seperti relasi antar-agama dan minoritas Tionghoa yang tidak dipersoalkan atau hanya disinggung sekilas dalam novel Saman, tiba-tiba seakan-akan menjadi tema utamanya?

Apakah pencitraan Ayu Utami yang ganjil tersebut merupakan sesuatu yang baru, mungkin imej yang sengaja diciptakan oleh Horlemann sebagai bagian dari strategi pemasaran novel Saman? Ternyata tidak. Pada dua sumber berbahasa Jerman yang berasal dari beberapa tahun sebelum novel Saman terbit di Jerman saya menemukan keterangan yang hampir sama.

Sumber pertama adalah website Internationales Literaturfestival Berlin yang memperkenalkan Ayu Utami sebagai salah satu pengarang yang diundang ke festival sastra tersebut pada tahun 2004. Keterangan tentang isi novel Saman di situ hampir sepenuhnya sama dengan keterangan dari penerbit Horlemann yang saya kutip di atas.

Keterlibatan Ayu di AJI dan kegiatan jurnalistiknya yang "terpaksa dilanjutkannya di bawah tanah" pun disebut, dengan tambahan bahwa di masa Orde Baru Ayu Utami pernah menulis buku anonim tentang korupsi rejim Soeharto. Mungkin tambahan itu dirasakan perlu karena selain membaca dari novelnya, di Berlin Ayu Utami juga dijadikan pembicara di sebuah forum diskusi berjudul Was ist Korruption? (Apa itu Korupsi?).

Sumber kedua lebih tua lagi. Pada tahun 2002 Ayu Utami menjadi salah satu pengajar di sebuah program pelajaran mengarang on-line di Vienna, Austria (vienna poetry school), dengan latihan mengarang cerita masokis mengomentari seri-foto tentang permainan sado-masokis (dengan Ayu Utami sendiri dalam peran penyiksa).

Selain foto tersebut dan sebuah tulisan Ayu Utami tentang masokisme, website itu memuat dua teks lain sebagai informasi latar belakang tentang Ayu Utami, yaitu tulisan Peter Sternagel (penerjemah Saman) dan Martin Amanshauser (pengarang Austria). Semua teks itu singkat saja, yaitu 2-3 halaman.

Tulisan Sternagel merupakan ringkasan Saman, sekaligus pujian terhadap novel itu yang jelas-jelas ditulis antara lain dalam rangka menemukan penerbit untuk buku yang sedang diterjemahkannya tersebut (rupanya Sternagel dan Ayu Utami awalnya berharap menemukan penerbit yang lebih "bergengsi" daripada Horlemann, tapi tidak berhasil).

Antara lain dia mengatakan bahwa Ayu Utami "memperlihatkan struktur penindasan politis di negaranya, mengungkapkan pendapatnya, menuntut tanggung jawab etis dan moral". Entah di mana semua itu dilakukan Ayu jawabannya pun tidak saya temukan dalam tulisan Sternagel tersebut.


Katrin Bandel

Kritikus sastra asal Jerman

Membongkar Kasus 'Politik Sastra Gombal' (2)

Membongkar Kasus 'Politik Sastra Gombal' (2)



Membongkar Kasus 'Politik Sastra Gombal'

Second section from three writings.

by Katrin Bandel

Tulisan Amanshauser tentang novel Saman juga penuh pujian gombal yang membosankan terhadap Ayu Utami, tapi sambil lalu dia memberi informasi yang sangat menarik. Dua kali Amanshauser mengutip sebuah teks yang dijadikannya rujukan untuk "membuktikan" kehebatan Ayu Utami, yaitu pidato yang disampaikan pada saat Ayu Utami menerima penghargaan Prince Claus Award di Belanda pada tahun 2000.

Pidato tersebut ditulis oleh seseorang yang namanya tentu tidak asing lagi bagi kita: Goenawan Mohamad. Berikut salah satu dari kedua kutipan tersebut:

"the novel is a new departure from the tradition of indonesian prose writing also in its treatment of god, politics and sexuality. underlying its lyricism is an urge to discover freedom at each stage of writing and reading. one can see the novel as a story of liberation in which the words are no longer sacrificial horses -- as if to anticipate the historical moment of 1998, when suharto's dictatorship collapsed." (Pemakaian huruf kecil adalah bagian dari gaya sok eksentrik Amanshauser.)

Sudah jelaslah sekarang dari mana asal klaim tentang Saman sebagai pertanda perubahan politis dan gagasan bahwa Saman sama sekali berbeda dari karya-karya sastra Indonesia sebelumnya!

Setelah menemukan kutipan tersebut, saya berusaha mencari keseluruhan pidato Goenawan Mohamad tersebut lewat internet, tapi tidak berhasil menemukannya. Di website Prince Claus Fund saya hanya menemukan penjelasan yang sangat singkat tentang alasan kemenangan Ayu Utami. Bahwa Goenawan Mohamad terlibat pembuatan pidato pemberian penghargaan sama sekali tidak disebut-sebut.

Entah kegagalan saya mencari informasi dan mencari teks pidato tersebut disebabkan oleh kekurangtelitian saya dalam pencarian, atau pidato itu memang sengaja disembunyikan dari kita agar kita tidak sadar akan keterlibatan Goenawan Mohamad dalam pemberian Prince Claus Award pada Ayu Utami, sejarah nanti yang akan membuktikannya.

Kutipan dari Goenawan Mohamad yang kedua lebih pendek, menceritakan peristiwa Ayu Utami kehilangan pekerjaan karena keterlibatannya di AJI.

Berkaitan dengan kegiatan Ayu Utami sebelum Saman terbit, disamping pekerjaannya sebagai wartawan, Amanshauser menyebut bahwa "di masa perjuangannya sebagai disiden tersebut dia menulis beberapa novel yang semuanya ditolak oleh penerbit".

Sejauh mana Ayu Utami memang mengalami pemecatan dan pencekalan akibat tanda tangannya di Deklarasi Sirnagalih (pembentukan AJI) tidak bisa saya nilai -- mungkin hal semacam itu lebih tepat dilakukan wartawan Indonesia yang bergelut di dunia jurnalistik pada masa itu.

Tapi terlepas dari benar atau tidaknya informasi yang diberikan seputar hal itu, saya rasa menarik untuk direnungkan mengapa kegiatan tulis-menulis Ayu Utami di masa Orde Baru begitu banyak disebut-sebut dalam teks-teks berbahasa Jerman itu. Dalam keterangan tentang penulis di edisi Saman berbahasa Indonesia yang saya miliki (cetakan ke-15, Agustus 2000) hanya dikatakan:

"Sekitar tahun 1991 menulis kolom mingguan Sketsa di Berita Buana edisi Minggu. Ia pernah bekerja sebagai wartawan di Matra, Forum Keadilan dan D&R. Tak lama setelah penutupan Tempo, Editor dan Detik tahun 1994, Ayu ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang memprotes pembredelan, dan setahun kemudian dipecat dari Forum Keadilan sehubungan dengan itu."

Mengapa di Jerman dan Austria tambahan mengenai artikel dan esei di media underground, buku anonim tentang rejim Soeharto dan novel-novel yang tidak pernah diterbitkan (bertentangan dengan keterangan dalam edisi Indonesia bahwa Ayu Utami "jarang menulis fiksi") dirasakan perlu?

Sepertinya kesan yang ingin ditimbulkan adalah bahwa sejak dulu Ayu Utami sudah giat menulis, tapi karena tulisan dan kegiatan lainnya terlalu "subversif", dia baru dapat menampakkan bakatnya secara terbuka setelah Orde Baru tumbang.

Mungkin keterangan-keterangan itu dirasakan perlu untuk menjustifikasi apresiasi yang diberikan padanya, antara lain pemberian penghargaan Prince Claus, yang akan terasa janggal kalau dipertimbangkan bahwa Ayu Utami saat itu baru menerbitkan satu novel saja dan namanya pun tidak dikenal secara luas sebelumnya. (Dan akan terkesan lebih janggal lagi kalau kita mengetahui bahwa terjemahan ke dalam bahasa Belanda belum selesai pada waktu Ayu Utami memenangkan Prince Claus Award, dan versi bahasa Inggrisnya pun belum ada.)

Mengapa di Indonesia sendiri tulisan-tulisan "bawah tanah" Ayu Utami itu jarang atau tidak pernah disebut? Saya tidak tahu jawabannya. Tapi saya yakin bahwa seandainya tulisan-tulisan itu disebut, pasti publik Indonesia, khususnya orang yang punya kepedulian terhadap sastra Indonesia, akan bertanya: di manakah tulisan yang begitu banyak dan beragam itu? Di media underground mana Ayu Utami menulis, di mana buku anonim tentang korupsi rejim Soeharto itu, di mana novel-novel yang ditolak penerbit itu?

Saya rasa bukan tidak mungkin bahwa tulisan-tulisan "bawah tanah" itu sengaja tidak disebut di Indonesia karena Ayu Utami tidak siap menghadapi pertanyaan-pertanyaan semacam itu!

Dengan latar belakang informasi tentang politik pencitraan Ayu Utami sebagai pemberontak yang subversif di atas bisa dipahami mengapa novel Saman bisa muncul di sebuah website yang menurut pandangan saya sama sekali bukan tempatnya, yaitu website amnesty international.

Buku Saman dengan keterangan singkat mengenai isinya saya temukan di website kelompok Verfolgte AutorInnen und JournalistInnen (pengarang dan wartawan yang dicekal/terancam secara politis, atau persecuted writers and jounalists dalam bahasa Inggris) yang menjadi bagian dari amnesty international Jerman. Ayu Utami sebagai pengarang yang terancam secara politis? Sebagai pengarang yang berhak dan perlu dibela amnesty international? Bukan main!

Kasus amnesty international itu menunjukkan betapa jauh pengaruh politik sastra KUK. Saya tidak tahu atas usul siapa Saman dimasukkan ke website tersebut, dan saya tidak bermaksud menuduh Ayu Utami, KUK atau penerbit Horlemann melakukan rekayasa agar Saman dimasukkan. Tapi masuknya Ayu Utami ke dalam daftar buku di halaman website amnesty international itu tentu tidak bisa dilepaskan dari politik pencitraan dirinya sebagai "disiden" dan "pemberontak" yang saya bicarakan di atas.

Dan, dengan adanya pidato Goenawan Mohamad yang saya sebut di atas, semakin nyata bahwa citra itu tidak timbul begitu saja, atau hanya diciptakan penerbit dan penerjemahnya, tapi bahwa KUK pun mendukung dan dengan aktif dan sengaja mengarahkan pencitraan Ayu Utami yang demikian rupa di luar Indonesia.

Pencitraan Ayu Utami tersebut menyebabkan terciptanya reputasi yang tidak sesuai dengan kenyataan dan tidak adil bagi sastra Indonesia secara umum -- bukankah banyak pengarang Indonesia lain yang juga (atau malah lebih) layak mendapat perhatian?

Lebih jauh lagi, pencitraan itu juga menjadi bagian dari representasi Indonesia di mata orang asing yang cenderung sangat negatif. Mari kita kembali sejenak pada laporan wawancara Katrin Frigge yang sudah saya bicarakan di awal tulisan ini. Figge membuka laporannya dengan kedua kalimat:

"Ayu Utami kommt zu spaet. Eine typisch indonesische Angewohnheit -- aber wohl ihre einzige." (Ayu Utami datang terlambat. Kebiasaan yang khas Indonesia -- tapi sepertinya satu-satunya kebiasaannya yang khas Indonesia.")
Bukankah penggambaran tersebut luar biasa rasis?



Katrin Bandel

Kritikus sastra asal Jerman

Representasi Menyesatkan tentang Peran KUK (3)

Representasi Menyesatkan tentang Peran KUK (3)



Representasi Menyesatkan tentang Peran KUK

Last section from three writings

by Katrin Bandel*


Keterlambatan Ayu Utami dalam memenuhi janjinya dengan Figge merupakan satu-satunya hal negatif yang dilaporkan, sebelum Figge kemudian mulai memuji keberanian Ayu sebagai pemberontak. Dan keterlambatan itulah yang diakuinya sebagai satu-satunya ciri Ayu Utami yang "Indonesia"!

Berarti semua sikap Ayu Utami yang dipujinya sebagai sikap yang maju, berani, pemberontak atau feminis merupakan sesuatu yang "bukan Indonesia"!

Laporan mengenai bir, "perkawinan liar" dan pornografi yang sudah saya kutip sebagian di atas pun kemudian mengukuhkan imaji stereotipikal Indonesia sebagai negara (bermayoritas) Muslim yang kolot, restriktif, patriarkal dan tertinggal.

Kasus tersebut menunjukkan betapa pencitraan Ayu Utami sebagai pemberontak dan disiden tidak bisa dilepaskan dari pencitraan Indonesia sebagai negara kolot dan tertutup. Hanya kalau Indonesia digambarkan sebagai negara di mana "tidak ada perempuan yang minum bir", misalnya, maka aksi demonstratif Ayu Utami memesan bir dengan suara lantang di cafe KUK bisa diinterpretasi sebagai sebuah perlawanan. (Di sini kita belum lagi mempertanyakan apakah memang tepat tindakan minum bir dihubungkan dengan kemajuan dan keterbukaan.)

Maka kalau kita pertimbangkan bahwa Ayu Utami (dan KUK pada umumnya) tampaknya dengan sengaja menimbulkan dan menjaga reputasi semacam itu, saya rasa kata "antek-antek imperialis" yang digunakan Jurnal Sastra Boemipoetra untuk mendeskripsikan KUK tidak terlalu berlebihan.

Kelihatannya Ayu Utami adalah anggota KUK yang paling "laku" dipasarkan sebagai "pengarang" di luar negeri, dibandingkan misalnya dengan Goenawan Mohamad atau Sitok Srengenge.

Saya rasa wajar demikian: Dapat dibayangkan betapa cerita tentang seorang pengarang perempuan muda dari negara Dunia Ketiga yang berani menulis tentang hal-hal yang tabu namun sulit diterima masyarakat negaranya yang kolot, patriarkis dan tertinggal, akan dengan sangat mudah mengundang simpati.

Informasi bahwa Ayu Utami banyak dikritik di Indonesia dalam konteks itu umumnya bukan membuat pembaca waspada dan kritis, tapi justru memancing simpati. Martin Amanshauser, misalnya, dengan sangat emosional berkomentar tentang "spekulasi kotor media-media skandal" yang meragukan kepengarangan Ayu Utami "sebab bagi masyarakat Indonesia yang didominasi laki-laki hampir tidak terbayangkan bahwa seorang perempuan, apalagi perempuan muda, mampu menulis buku sehebat Saman dan Larung!"

Meskipun demikian bukan berarti hanya karya Ayu Utami saja yang mewakili KUK di luar negeri. Citra KUK sendiri sebagai komunitas dan sebagai tempat pun cukup berhasil dikonstruksi sesuai dengan kepentingan komunitas itu sendiri. Di website Prince Claus Fund saya menemukan keterangan bahwa KUK menjadi Network Partner Prince Claus Fund dari tahun 2004 sampai 2007, dan menerima dana sebesar 163.746 Euro selama 3 tahun tersebut.

Sebagai alasan mengapa KUK dianggap pantas didukung serupa itu, antara lain dijelaskan: "Komunitas Utan Kayu operates in a newly democratic Indonesia where freedom of thought has not been fully accepted. Therefore, its political concerns involve combating narrow-mindedness along with its mission to promote quality in the arts. However, even with the changing political landscape it has detected a level of intolerance amongst civil groups that prevents the development of free thought. Most of the recent cases of intolerance are based on the manipulation of religious identity."

Seperti Ayu Utami, KUK direpresentasikan sebagai perkecualian dalam masyarakat Indonesia: Masyarakat Indonesia konon belum mampu hidup demokratis, tidak bisa menerima kebebasan berpikir dan bersifat intoleran, sehingga membutuhkan KUK sebagai contoh kemajuan, demokrasi dan toleransi!

Klaim sejenis yang lebih mencolok lagi kebohongannya muncul di sebuah artikel majalah mingguan Jerman, Der Spiegel, edisi 23 Desember 2005. Setelah mengunjungi KUK dan berbincang dengan Ayu Utami (lagi!), wartawan Jurgen Kremb menulis (dalam bahasa Jerman):

"Di tempat ini (KUK -- pen) dasar-dasar Indonesia modern diletakkan beberapa waktu yang lalu. Pada musim panas 1994 ketika atas perintah Suharto tiga majalah berita dibredel, sekelompok wartawan dan pengarang membeli rumah yang tidak terawat dengan alamat Utan Kayu 68 H dan melawan rejim diktator dengan mendirikan sebuah penerbit. Kelompok alternatif kiri terbentuk, dan demonstrasi massal 1998 yang menyebabkan jatuhnya sang diktator dimulai dari sini."

Kalau kita melihat betapa Ayu Utami dan KUK direpresentasikan dengan cara yang begitu tendensius dan menyesatkan di beberapa media di Jerman dan negara lain di Eropa, wajar kalau kemudian timbul sebuah pertanyaan: Apakah pembaca Eropa memang begitu mudah tertipu?

Dalam kasus representasi KUK di situs web Prince Claus Fund dan di Der Spiegel saya rasa pembaca awam hampir tidak mungkin memeriksa kebenaran informasi yang diberikan. Prince Claus Fund dan Der Spiegel yang seharusnya lebih bertanggung jawab dalam melakukan riset. Dan tentu KUK pun seharusnya bertanggung jawab dalam memberi keterangan mengenai dirinya.

Tapi, bagaimana dalam kasus Saman? Bukankah pembaca Jerman bebas membentuk pendapatnya sendiri dengan membaca novel itu secara langsung? Saya rasa memang demikian, tapi kebebasan itu ada batasnya bagi pembaca Jerman yang tidak mengenal dunia sastra Indonesia.

Contoh yang menarik adalah resensi Birgit Koe di radio Jerman, Deutschlandradio (17 Desember 2007). Koe membandingkan Saman dengan sebuah puzzle yang tidak berhasil diselesaikan sehingga gambar yang utuh dan dapat dipahami tidak terbentuk. Dengan kata lain, Koe bingung, apa sebetulnya yang ingin disampaikan Saman.

Namun kebingungan itu tidak membuatnya menyimpulkan bahwa novel itu kurang berhasil, tapi justru dipahaminya sebagai bagian dari pengalaman baca "sebagai pembaca Barat" yang berhadapan dengan karya sastra asing. Mungkin memang begitulah cara bercerita khas Indonesia, spekulasinya.

Saya yakin bahwa serupa dengan Koe, sebagian pembaca Jerman yang membeli buku terjemahan sejenis Saman membacanya dengan kesiapan untuk menghormati perbedaan tradisi sastra sehingga mereka cenderung menerima hal-hal yang terasa janggal sebagai kekhasan lokal yang tidak bisa sepenuhnya mereka pahami.

Maka, kalau Saman yang dipilih di antara sekian banyak karya sastra Indonesia untuk disuguhkan kepada pembaca Jerman, wajar kalau cara bercerita ala Saman-lah yang akan dianggap pembaca Jerman sebagai cara bercerita "khas Indonesia".

Menurut pandangan saya, penilaian terhadap karya terjemahan itu tidak bisa sepenuhnya dipercayakan atau dibebankan kepada pembaca Jerman. Karena, penilaian mereka sejak awal sudah diarahkan, lewat pilihan karya yang dianggap pantas diterjemahkan, kemudian diarahkan lebih lanjut lewat informasi yang diberikan kepada mereka mengenai pengarang dan latar belakang karya.

Maka, institusi dan orang-orang yang terlibat dalam proses pemilihan karya tersebut memiliki tanggung jawab yang tidak kecil. Dalam kasus Saman, menurut pengamatan saya, tanggung jawab tersebut sudah diselewengkan.



Katrin Bandel

Kritikus sastra asal Jerman