Wednesday 10 November 2010

TOWE : Masyarakat Yang Hampir Punah

TOWE : Masyarakat Yang Hampir Punah


Djekky R. Djoht



Abstract
The first contact between Towe tribe with the world happened in 1986. The
Towe tribe lives in the area of Jayapura in the disrict of Web.
Their living condition is very poor and the believe on supranatural especially
on female ghosts according to the writer makes their population is
decreasing.
Churches and NGOS have been involves so far to increase the Towe’s life but
government intervention is needed to prevent the people from extinction.
1. Identitas Masyarakat Towe
Sebelum menguraikan sejarah orang Towe menempati tempat sekarang, perlu
diketahui identitas dan dimana orang Towe tinggal, agar memudahkan kita
mengenal masyarakat Towe Hitam.
Di tinjau dari aspek Bahasa Orang Towe menggunakan Dua Bahasa yaitu
Bahasa Yetfa yang merupakan Bahasa suku bangsa tetangga meraka di Bias
(kurang lebih empat jam) jalan kaki ke arah selatan berbatasan dengan
kabupaten Jayawijaya. Bahasa ke dua adalah Bahasa Towei. Kedua bahasa ini
mereka pakai bersama-sama karena penduduk Towe sendiri berasal dari
beberapa kampung yang menggunakan 2 (dua) bahasa tersebut.
Berdasarkan tinjauan bahasa ini maka kita dapat menyebut masyarakat ini
dengan sebutan suku bangsa Yetfa/Towe. Namun di kalangan pemerintahan,
gereja dan masyarakat sekitarnya, mereka biasa di panggil dengan nama orang
Towe.
Dalam tulisan ini “Towe” yang dipakai untuk menyebut mereka, karena nama
ini sudah populer di kalangan masyarakat sekitarnya, pemerintahan dan gereja.
Namun jika orientasinya dilihat dari rasa solidaritas penduduknya sendiri, maka
mereka tidak membedakan sebagai orang Yetfa dan orang Towe karena tiap-
1) Dosen tetap di Jurusan Antropologi Uncen dan Sekretaris Laboratorium Antropologi Uncen
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 14
tiap orang mempunyai keterikatan pada struktur budaya yang mereka bangun
sejak dahulu seperti prinsip kekerabatan, pola-pola organisasi sosial yang sama,
dan religiusitas yang sama pula sehingga membentuk rasa integritas budaya
yaitu kebudayaan masyarakat Towe.
Kalau di tinjau dari kesatuan masyarakat yang di batasi oleh garis batas suatu
daerah administratif. Pemerintahan, maka Towe Hitam termasuk dalam wilayah
kecamatan Web, Kabupaten Jayapura. Towe Hitam berada di sebelah selatan
dari pusat Kecamatan Web. Jarak tempuh dari pusat kecamatan adalah empat
hari perjalanan kaki. Towe terletak di perbatasan Jayawijaya dan kabupaten
Jayapura.
Rasa identitas ini, jika ditinjau dari kesatuan masyarakat yang batasnya di
tentukan oleh suatu wilayah geografi yang merupakan kesatuan daerah fisiknya,
maka suku bangsa Towe Hitam meliputi daerah gunung Temar di bagian utara
dan Lenan di sebelah selatan dan antara gunung Menena/Ji di barat daya dan
Saigiri di barat laut (T.R Dendegau, 1994;5).
2. Mencapai Towe
Towe dapat ditempuh melalui transport darat dan udara serta jalan kaki. Lewat
darat, kita harus naik bus selama 6 (enam jam) dari Abepura sampai di daerah
Senggi (tepatnya di jembatan Web Jalan Trans Wamena – Jayapura)
Sampai di sini, bus tidak dapat melanjutkan perjalanan ke Ubrub karena
jembatan rusak. Kemudian kita harus jalan kaki menyusuri hutan belantara dan
bukit-bukit selama 3 hari, baru tiba di Towe Hitam.
Jika lewat udara, pesawat yang bisa mendarat di landasan Towe hanya jenis
pesawat Pilatus Porter dan Cesna karena panjang landasan pesawat di Towe
hanya 300 meter dan kondisi lapangan tanah berbatu yang ditumbuhi rumputrumput
pendek (lihat gambar 2). Biaya yang diperlukan dengan pesawat udara
untuk mencapai daerah ini sebesar Rp. 7.000.000 (tujuh juta rupiah) kalau
mencarter jenis pesawat Pilatus Porter dengan beban 800 (delapan ratus) kg
termasuk 8 (delapan) penumpang. Sedangkan Kalau mencarter jenis pesawat
Cesna dengan beban angkat 400 (empat ratus) kilogram termasuk 4 (empat)
penumpang sebesar Rp. 2.000.000. Perusahaan penerbangan yang melayani
penerbangan di daerah pedalaman Irian Jaya adalah MAF (Mission Aviation
Fellowship), Yajasi (Yayasan Jasa Aviasi Indonesia), AMA (Assosiated
Mission Aviation), RBMU, AAI. Waktu tempuh dari bandara Sentani ke Towe
selama 55 (lima puluh lima) menit dengan Cesna dan Pilatus Porter selama 45
(empat puluh lima) menit.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 15
3. Sejarah Towe Hitam
Sebelum masyarakat dimukimkan pada suatu tempat seperti Towe sekarang
mereka tinggal menyebar di dusun-dusunnya yang berbatasan dengan rumpun
sagunya. Biasanya terdiri dari 3 (tiga) sampai 10 Rumah Tangga tinggal di
suatu dusun1. Pola tempat tinggal menyebar di suatu daerah yang luas ini
sebenarnya sebagai suatu strategi adaptasi terhadap lingkungan ekosistimnya.
Mereka dengan mudah dapat memperoleh makanan tanpa harus berpergian jauh
dan ada rasa aman karena 3 (tiga) sampai 10 rumah tangga ini merupakan suatu
kelompok kekerabatan yang di sebut berdasarkan prinsip patrilinial, sehingga
rasa solidaritas di antara anggota kelompok kerabat tersebut sangat kuat.
Persoalan-persoalan yang timbul di lingkungan tersebut dapat mereka pecahkan
bersama-sama.
Walaupun demikian dusun-dusun ini mempunyai kampung besar yang mereka
sebut kampung Tua Towe. Setiap keluarga yang tinggal di dusun-dusun juga
mempuyai rumah di kampung Tua Towe. Masyarakat lebih banyak
menghabiskan waktunya di dusun-dusun dari pada kampung Tua Towe.
Umumnya mereka hanya beberapa hari di kampung tua dan selanjutnya di
dusun-dusunnya bisa berminggu-minggu atau bahkan sampai berbulan-bulan.
Mereka ke kampung Tua Towe sebenarnya hanya untuk bertemu dengan
kerabat-kerabat yang dari dusun lain karena di kampung Tua Towe mereka
semua sering berkumpul.
Sampai sekarang orang Towe masih mempunyai dusun-dusun tersebut karena di
situlah setiap clan mempunyai tempat mencari makan, walaupun mereka sudah
di beri pemukiman di Towe Hitam.
Aturan mengenai penguasaan sumber daya alam dalam wilayah-wilayah clan
sangat kuat, sehingga membentuk hak-hak dan kewajiban di setiap wilayah
penguasaan sumber daya alam setiap clan. Clan Mus tidak boleh mengambil
sagu di dusun clan Yau. Kalau aturan ini di langgar maka akan terjadi
pertengkaran-pertengkaran dan tuntutan-tuntutan di antara 2 (dua) clan yang
bersengketa.
Dampak dari aturan penguasaan sumber daya alam ini, membuat beberapa clan
tertentu harus berpergian jauh selama 2 sampai 4 hari ke dusun-dusun sagunya
dari Towe Hitam untuk meramu sagu. Akibatnya mereka sering 2 (Dua) sampai
3 (tiga ) minggu atau bahkan sampai 2 (dua) bulan meninggalkan Towe Hitam.
2. Dusun dalam pengertian di sisni bukan sebagai kampung tetapi sebagai suatu daerah luas
yang di tumbuhi hutan sagu sebagai tempat mencari makan masyarakat.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 16
Aktivitas seperti ini membawa dampak negatif yang sangat besar terhadap
Program YKB pada masyarakat ini, karena untuk menggerakkan partisapasi
masyarakat dalam melaksanakan kegiatan program ini menjadi sulit.
Diprediksikan tingkat keberhasilan program kegiatan “Pencegahan Kepunahan
Masyarakat Towe dengan Pemberian Makanan Tambahan dan Pengobatan”
akan rendah karena partisipasi masyarakat rendah akibat mobilitas ke dusun
sagu lebih tinggi daripada berada di dalam kampung.
Dusun-dusun clan yang dapat disebut adalah :
1. Dusun Linan Labro di miliki clan Mus masih terdapat 3 (tiga) keluarga yang
tinggal menetap disitu. Waktu yang ditempuh dari Towe Hitam berjalan kaki
selama 11 ( sebelas ) jam.
2. Dusun Wopma klanan, di miliki clan Yau. Sudah tidak ada penduduk yang
tinggal di sini semua clan Yau sudah pindah ke Towe Hitam. Waktu yang di
tempuh dari Towe Hitam berjalan kaki, selama 2 Hari (18 jam)
3. Kampung tua Towe masih ada 10 keluarga yang tinggal dikampung ini, ke
tempat ini dari Towe membutuhkan waktu selama 2 (dua) hari (21 jam).
Tahun 1986-1987 ketika gejolak penyanderaan pejabat pemerintah oleh
Organisasi Papua Merdeka (OPM) terjadi, banyak masyarakat yang lari
meninggalkan kampungnya menyeberang ke negara tetangga PNG karena takut
terhadap tentara dan juga OPM.
Tahun 1989 ada seorang penginjil dari missi katolik bernama Tobias Dendegau
berusaha mengumpulkan mereka yang tersebar di dusun-dusun kesuatu tempat
(reseltement) agar pelayanan gereja dan pemerintahan pada mereka menjadi
mudah.
Menurut informasi kepala suku bahwa upaya reseltement (pemukiman kembali)
ini datang dari kemauaan masyarakat Towe. Kemauan ini mereka sampaikan
pada camat, kemudian camat mengirimkan 2 (dua) orang stafnya untuk melihat
kelayakan menjadi desa sendiri. Kepala desa tidak setuju kampung tua Towe
Hitam menjadi desa sendiri.
Karena lewat camat tidak bisa, mereka memberi tahu Pater Yanuarius Koot,
OFM untuk mengusahakan buat kampung sendiri agar anak-anak bisa sekolah.
Upaya pertama dikirim 2 (dua) orang guru SD untuk membuka sekolah di
kampung tua Towe (1989).
Tahun 1990 Tobias Dedenggau dengan dipandu kepala suku mencari tempat
untuk pemukiman dan lapangan terbang. Dipilihlah tempat perburuan marga
Mbalu. Clan ini sekarang sudah punah. Kepala suku menghubungi Pater
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 17
Yanuarius dan Pater mengirim Maks Debem untuk melihat kelayakan membuka
lapangan terbang, tempat ini dinyatakan layak karena daerahnya datar dan di
pinggir sungai.
Januari 1990 Tobias dan Martin Kuayo dari keuskupan Jayapura bersama
masyarakat Towe membuka hutan untuk dijadikan pemukiman dan lapangan
terbang. Keuskupan membantu 4 (empat) karung beras dan pakaian. Selama
seminggu bekerja, kemudian dihentikan karena terjadi kecelakaan patah tulang
tangan seorang anak.
Lapangan terbang dibangun selama 4 (empat) tahun sampai selesai pada tahun
1994.
Tahun 1995 keuskupan membantu perumahan sebanyak 20 (dua puluh) buah,
kemudian ditambah 48 (empat puluh delapan) buah rumah bantuan dari Bandes.
Tahun 1997 dibangun 2 (dua) ruang kelas sekolah dasar. Terdapat 2 (dua) orang
guru yang bertugas di sini. Baru dibuka sampai kelas 3 (tiga).
4. Marga Yang Hampir Punah
Daerah Towe Hitam berawa, berbukit, dan gunung-gunung yang merupakan
jajaran dari pegunungan tengah. Puncak yang tertinggi adalah gunung Manena
dan Temar masing-masing 200 (dua ratus) meter dan 1000 (seribu) meter diatas
permukaan laut. Sedangkan Towe Hitam berada di atas 150 (seratus lima puluh)
meter dari permukaan laut. Daerah rawa-rawa di tumbuhi hutan sagu yang lebat
dan luas. Dengan demikian Towe Hitam sangat potensial untuk pengembangan
pertanian.
Karakter daerah terdiri dari hutan primer dengan berbagai jenis pohon seperti:
damar, venus, mlinjo (genemo). Hewan yang hidup di daerah ini seperti babi
hutan, kasuari, kangguru dan berbagai jenis burung seperti kakak tua, jambul
kuning, kakak tua raja, cenderawasih, nuri, dan berbagai jenis burung lainnya.
Sungai-sungai merupakan sumber emas bagi masyarakat dan sering di dulang
secara tradisional dan di jual di kota kecamatan atau Jayapura. Tapi sering juga
pengusaha datang ke sini membeli. Selain sebagai sumber emas, juga merupakan
sumber protein, terutapa ikan-ikan yang hidup di sungai seperti ikan sembilang,
dan kura-kura.
Lingkungan alam Towe merupakan kaya dengan berbagai sumber hayati seperti
terdapat di daerah hutan primer dengan berbagai jenis pohon, memilliki banyak
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 18
aliran sungai, mewarisi berbagai jenis hewan air dan darat, dan hutan sagu yang
sangat luas.
Tanah yang subur terdapat di daerah rendah dan datar serta sepanjang aliran
sungai karena pembusukan daun dan humus yang di bawa air hujan dari daerah
ketinggian ke darah dataran rendah.
Jumlah penduduk Towe Hitam pada tahun 2000 sebanyak 514 orang yang terdiri
dari laki-laki 254 orang dan perempuan 260 orang. Jumlah ini tersebar di
beberapa dusun yang jarak antara dusun yang satu dengan dusun yang lain
berjauhan sedangkan di kampung besar Towe Hitam jumlah penduduknya 133
orang dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 31 KK.
Tabel 1. Distribusi penduduk Towe Hitam Berdasrkan Marga
No Nama Marga Laki-Laki Perempuan Total
1 Anto 17 10 27
2 Kenai 18 8 26
3 Waki 9 9 18
4 Keyao 17 14 31
5 Yao 23 58 81
6 Pul - 1 1
7 Kului 22 16 38
8 Komand - 1 1
9 Yebreb 3 - 3
10 Mus 7 9 16
11 Klaini 7 14 21
12 Doel 14 39 53
13 Wemi - 1 1
14 Kri 23 19 42
15 Lemel 20 11 31
16 Lela 26 18 44
17 Menggete 9 4 13
18 Songge 2 3 5
19 Mente 1 - 1
20 Pofai 8 3 11
21 Kombe 1 1 2
22 Wiku 23 17 40
23 Wuva - 1 1
24 Fengla 4 3 7
Jumlah 254 260 514
Sumber: Laporan Petugas Lapangan YKB Papua, 2001
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 19
Melihat tabel 1 (satu) diatas terdapat marga Pul, Komond, Yebgeb, Wemi,
Songge, Mente, Kombe, dan Wuva yang populasinya sudah hampir punah
karena hanya berjumlah satu orang sampi tiga orang. Diduga menyusutnya
populasi Clan tertentu selain karena rentan terhadap penyakit karena kekurangan
gizi, juga karena kepercayaan terhadap Whichcraft3 yaitu suatu kepercayaan
yang menghubungkan suatu peristiwa yang menimpa seseorang karena sakit
keras dengan kekuatan gaib yang dimiliki oleh orang lain untuk mencelakakan.
Namun anehnya orang yang dituduh memiliki Whichcraft (Suanggi) adalah
perempuan. Para perempuan yang dituduh Whichcraft akan diadili dan kemudian
dihukum dengan membunuh mereka dihutan. Akibatnya di Towe kita banyak
menemukan anak-anak piatu yang dipelihara oleh saudara laki-laki ibunya atau
saudara laki-laki ayahnya yang sudah berkeluarga.
Pengurangan populasi penduduk akibat Kepercayaan pada Whichcraft juga
dipengaruhi oleh pola melahirkan yang beresiko sangat tinggi pada kematian ibu
dan anak. Pola melahirkan yang berlaku pada umumnya dalam masyarakat Towe
bahwa seorang ibu hamil ketika saatnya melahirkan, ia harus pergi sendirian ke
dalam hutan mencari tempat untuk melahirkan. Disana ia sendiri mengumpulkan
daun-daun muda sebagai tempat melahirkan yang di alas di atas tanah dibawah
sebuah pohon kayu besar. Lalu ia sambil jongkok dan memegang batang pohon
itu dan dengan mengendan berusaha supaya bayinya bisa lahir ke bumi. Setelah
bayinya lahir, ia (Ibu) dengan susah payah harus membersihkan bayinya dan
memotong tali pusar bayinya dengan memakai giginya. Baru ia bisa membawa
bayinya ke kampung atau ke rumahnya.
Pola melahirkan seperti ini dipraktekan oleh semua perempuan hamil yang ada
di kampung Towe. Ada suatu kepercayaan pada darah perempuan yang dianggap
sangat kotor dan bisa membuat kekuatan laki-laki melemah sehingga tidak bisa
mencari makan, oleh karena itu perempuan pada saat melahirkan harus
diasingkan dari kampung karena darahnya akibat melahirkan bisa membawa sial
pada laki-laki. Ketika sang ibu sudah melahirkan dan pulang ke kampung ia
dilarang menyentuh barang-barang memasak dan tidak boleh memasak karena ia
masih dianggap kotor. Setelah infeksi akibat melahirkan mengering baru ia bisa
diijinkan memasak untuk keluarganya.
Pola melahirkan seperti ini menyebabkan angka kematian ibu sangat tinggi,
padahal mereka adalah sumber penerus keturunan dan ini yang menyebabkan
kenapa data penduduk menunjukan jumlah marga tertentu semakin menurun dan
cenderung hampir punah.
3 Masyarakat di Papua mengenal kepercayaan tersebut dengan sebutan “Suanggi”
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 20
5. Sistim Mata Pencahariaan Hidup
5.1 Peladangan
Peladangan pada masyarakat Towe Hitam adalah suatu cara bercocok tanam
yang dilakukan dengan :
a. Menebang dan membakar suatu daerah hutan.
b. Tanah di gemburkan dengan tugal kemudian di tanami selama 1 (satu)
sampai 2 (dua) tahun
c. Ladang di tinggalkan untuk waktu antara 10 (sepuluh) sampai 15 (lima
belas) tahun sehingga menjadi hutan kembali.
d. Sesudah itu hutan bekas ladang tadi di buka lagi dengan cara seperti pada
sub a.
Dalam pembagian kerja di ladang, laki-laki biasanya menebang dan membakar
pohon sedangkan wanita menggemburkan tanah, mencari bibit, menanam bibit
dan panen biasanya di lakukan oleh laki-laki maupun perempuan.
Daerah yang di pilih sebagai ladang meraka umumnya di pesisir sungai. Daerah
ini di pilih karena subur dan cocok untuk menanam jenis tanaman utama mereka
seperti sukun biji (gomo) dan pandan (buah merah) dan pisang karena jenis
tanaman ini paling cocok hidup di tepi sungai.
Ladang-ladang mereka ada yang berjarak sehari perjalanan, tetapi ada juga yang
terletak di dekat kampung.
5.2. Meramu Sagu
Rumpun sagu di daerah ini sangat luas dan setiap marga memiliki rumpun sagu
yang jelas batas-batasnya dengan marga yang lain
Letak dusun-dusun sagu marga ini berfariasi jaraknya. Ada yang 4 (empat) jam
jalan kaki untuk mencapai dusun ini, ada yang sehari dari Towe.
Umumnya setiap marga meramu sagu di dusunnya masing-masing. Teknologi
pengolahan membutuhkan lebih dari 2 (dua) orang, oleh sebab itu orang Towe
dalam memproses sagu menjadi tepung sagu biasanya bersama-sama dengan
anggota keluarga lainnya.
Teknologi pengolahan sagu menjadi tepung sagu adalah sebagai berikut :
1. Memilih pohon sagu yang dapat menghasilkan tepung sagu.
2. Menebang pohon sagu.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 21
3. Menguliti batang pohon sagu
4. Membuat alat pengolahan serat sagu menjadi tepung sagu
5. Menghancurkan isi batang pohon sagu menjadi serat-serat
6. Memisahkan serat-serat sagu menjadi tepung sagu dengan cara di remasremas
7. Mengangkut tepung sagu ke kampung
Pembagian kerja dalam proses pengolahan sagu dari tahap 1 (satu) sampai tahap
4 (empat) dilakukan oleh laki-laki tahap 5 (lima) sampai 7 (tujuh) dikerjakan
oleh perempuan.
Waktu yang dibutuhkan dalam pengolahan sagu, biasanya tergantung panjang
batang pohon sagu, tapi umumnya dari seminggu sampai 2 (dua) minggu sampai
menjadi tepung sagu.
Dusun sagu tiap-tiap marga (clan) umumnya mempunyai rumah-rumah tempat
tinggal untuk mengolah sagu. Biasanya terdiri dari 2 (dua) sampai 5 (lima)
rumah-rumah ini di pakai clan untuk menginap selama pengolahan sagu.
6. Pengolahan dan Penyajian Makanan
Makanan menjadi masalah buat orang Towe karena dengan adanya pemukiman
baru ini, tempat mencari makanan (dusun sagu) menjadi jauh. Akibatnya mereka
menjadi menderita kelapran. Jika persediaan sagu keluarga telah habis biasanya
mereka memanfaatkan sukun, buah merah (buah pandan) dan pisang sebagai
makanan mereka karena tersedia di kebun-kebun mereka yang dekat dengan
tempat tinggal mereka. Jika persediaan makanan cukup biasanya orang Towe
makan 3 (tiga) kali sehari atau bahkan lebih, tetapi ketika persediaan makanan
berkurang mereka hanya sekali makan dalam sehari. Jenis makanan pun berubah
dari sagu (persediaan cukup) ke sukun, buah merah (buah pandan) dan pisang
jika persediaan terbatas.
Pengolahan makanan dengan cara batu di bakar hingga panas, kemudian
makanan di letakkan di atas batu panas dan di tindis dengan batu panas lagi
selanjutnya di tutup dengan daun-daunan supaya suhu panas dari batu tidak
keluar.
Cara masak seperti ini biasanya orang Towe lakukan di tepi sungai dekat dengan
kebun mereka dan bahan makanan tersedia. Sukun dan buah merah hanya
dimakan bijinya.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 22
7. Pendidikan
Pendidikan di Towe baru dimulai tahun 1996. Sejak masyarakat mulai tinggal di
Towe. Dari 1992 sampai 1996 kegiatan pendidikan samasekali tidak ada. Hal ini
terjadi karena belum ada tenaga guru dan fasilitas pendidikan seperti gedung
sekolah belum dibuat oleh pemerintah. Baru tahun 1996 gedung sekolah dasar
dibangun dan 2 orang tenaga guru ditempatkan disini. Pendidikan Sekolah Dasar
yang diselenggarakan di Towe masih status Sekolah Kecil karena hanya terdapat
2 ruang kelas dan tingkat pendidikan baru sampai kelas 3. Jumlah murid sampai
Juli 1998 sebanyak 28 murid.
Pengajaran berjalan tersendat-sendat karena Towe terletak di daerah terpencil
dengan sumber daya tenaga pengajar yang terbatas . Sehingga kalau guru pergi
kekota Jayapura maka sekolah di liburkan.
Usia murid-murid sekolah dasar ini, tidak sesuai dengan program pemerintah 7
(tujuh) sampai 12 (dua belas) tahun. Murid-murid SD ini berusia 7 (tujuh)
sampai 22 (duapuluh dua) tahun. Bahkan ada perempuan yang sudah
berkeluarga ikut sekolah.
8 . Kesehatan dan Penyebab Kepunahan
Terdapat sebuah gedung puskesmas pembantu dengan seorang perawat yang
berasal dari daerah ini. Tapi sangat di sayangkan upaya preventif dan kuratif di
Towe terhambat karena petugas pustu ini tidak pernah berada di Towe.
Akibatnya banyak masyarakat yang terserang berbagai penyakit tidak bisa di
obati. Masyarakat Towe menggunakan logikanya sendiri untuk mengatasi
penyakit-penyakit yang mereka alami. Logika yang mereka gunakan dapat di
katagorikan dalam 2 ( dua ) pendekatan yaitu :
1. Pendekatan empiris, yaitu cara-cara pengobatan akibat dari benturanbenturan
atau infeksi pada tubuh manusia seperti luka, scabies, patah
tulang dan bisul atau pembengkakan.
2. Pendekatan Magis, yaitu cara-cara pengobatan akibat gangguan
supranatural ( mahluk halus )sehingga terjadi keseimbangan tubuh
terganggu. Penyakit-penyakit akibat supranatural ini, menurut diagnosa
masyarakat gejala-gejalanya bersifat tidak nampak seperti demam, lemah,
“Sakit Dalam” dan gejala-gejala lain berisifat sama.
Termasuk dalam pendekatan ini, adalah “Tau-tau”. “Tau-tau” adalah suatu
cara mencelakakan atau menyebabkan orang lain sakit dengan
menggunakan kekuatan gaib. Penyakit-penyakit yang mereka katagori
akibat kekuatan supranatural adalah demam, batuk, diare, lemah, mual,
sakit dada, sakit kepala dan semua penyakit yang mereka rasakan sakitnya
dari dalam tubuh.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 23
Tentu saja cara-cara pengobatan yang di lakukan juga berbeda. Cara pengobatan
tipe pertama biasanya menggunakan ramuan dari alam seperti akar, daun, batang
dan buah dari pohon untuk mengobati penyakit. Sedangkan cara pengobatan tipe
kedua selain menggunakan ramuan dari alam juga meminta kekuatan
supranatural untuk menyembuhkan penyakit. Biasanya dalam bentuk doa dan
mantera-mantera.
Pola pengobatan seperti ini tentu saja menyebabkan status kesehatan masyarakat
Towe menjadi rendah (Lihat tabel 3) dan angka kematian karena penyakit juga
cukup tinggi. Hal ini juga sebagai penyebab populasi penduduk Towe
pertumbuhanya sangat lambat dan cenderung ke arah kepunahan ( terutama
beberapa klan, lihat tabel 1)
Bagan 1. Penyebab Kepunahan Suku Towe
9. Pengobatan Tradisional
Sudah di sebutkan diatas bahwa masyarakat Towe mengenal 2 (dua) pendekatan
dalam pengobatan mereka yaitu pendekatan Empiris dan magis. Dalam uraian
sub topik ini akan ditulis cara-caa pengobatannya dan bahan-bahan yang dipakai
sebagai obat.
Terdapat 3 tehnik pengobatan yang di kenal oleh masyarakat Towe yaitu :
1. Tehnik pengobatan minum ramuan obat-obatan yang sudah di ramu di
campur dengan air masak, kemudian air tersebut di minum.
2. Tehnik pengobatan dengan pengurutan, bahan yang dipakai berupa daun
yang dipanasi dengan api kemudian dengan daun tersebut yang masih panas
/ hangat di urutkan pada bagian tubuh yang terasa sakit.
3. Tehnik pengobatan “ UKUP” atau Hidroterapi
Air yang sudah mendidih di masukan ramuan obat berupa daun, kulit,dan
akar pohon, kemudian tubuh sisakit didekatkan pada air mendidih agar uap
Kepunahan
Suku Towe
Kepercayaan
pada Suanggi
Status Kesehatan
Rendah
Pola Pengobatan
yang jelek
Pelayanan
Kesehatan Modern
belum ada
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 24
air mengenai seluruh tubuh sisakit. Biasanya supaya uap air tidak menyebar
kemana-mana badan sisakit dan wadah air yang mendidih itu ditutup
dengan selimut atau tikar.
Jenis tanaman obat yang digunakan adalah :
Somday (daun paku), yegenai, mandoareng, mentremay, cromay, yasvereng,
yangi, mnarekmip, menggiossir, anggor, sagre, kerwat (jahe), dankerpay (daun
gatal). Mengenai fungsi masing-masing tanaman ini untuk pengobatan dapat di
lihat pada tabel 2.
Tabel 2. Tanaman Obat dan Fungsinya
No Tanaman Obat Ciri dan Cara Pengobatan Fungsi
1 Sonday Tanaman paku-pakuan Mengobati demam dan
sakit kepala
2 Yegenai Pohon bercabang ,buah
berwarna hitam. Buah di haluskan lalu
ditabur
Mengobati luka
3 Mondoareng Pohon merambat. Daun di hancurkan
terus di hirup baunya
Mengobati panas, demam,
batuk,dan kepala pusing
4 Mentremay Pohon merambat. Kukit di hancurkan
lalu di hirup bau seperti balsam
Mengobati demam
5 Coromay Pohon merambat. Daun di hirup,
baunya tajam sampai bisa keluar air
mata
Mengobati pilek dan batuk
6 Yasvereng Pohon bercabang perdu. Daun di
gosok di seluru tubuh, terasa seperti
digigit semut. Membaca manteramantera
Mengobati sakit keras
sampai tidak bisa bangun
atau berjalan
7 Yangi Pohon erdu. Daun di hancurkan, rebus
air panas sampai mendidih, daun di
masukkan dalam air mendidih
kemudian di ukup
Mengobati panas dan
badan sakit
8 Mnarek Mip Pohon bercabang dengan daun
berukkuran besar. Daun di panasi di
atas api, kemudian diurutkan pada
seluruh tubuh bayi
Mengobati pertumbuhan
bayi cepat subur ( gemuk
dan besar )
9 Menggio Sir Pohon menjalar, daun berbau seperti
balsam. Kulit batang di kikis sampai
halus terus di letakkan dalam wadah
berisi air, Dua sampai lima buah. Batu
di bakar sampai berwarna merah. Batu
tersebut di masukkan dalam wadah.
Mengobati demam.
10 Anggor Pohon perdu. Cara pengobatan sama
seperti nomer sembilan, hanya bahan
yang di pakai adalah daun
Mengobati demam
11 Sagre Pohon perdu .Daun dipanasi diatas
api terus di tempel pada bisul
Mengobati bisul
12 Kerwat ( jahe ) Pohon berumbi. Umbi di haluskan dan
cara mengobati seperti pada nomer
Mengobati demam, sakit
kepala, pilek dan sakit
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 25
sembilan. perut.
13 Ker Pay ( daun
gatal )
Pohon perdu. Daun bagian bawah
tumbuh duri-duri sangat halus. Cara
mengobati satu tangakai daun di
tepuk-tepuk pada bagian tubuh yang
sakit atau seluruh tubuh .
Mengobati kelelahan, sakit
tulang, sakit perut, sakit
kepala, demam.
Dikalangan masyarakat Towe mereka mengenal seseorang yang ahli dalam
pengobatan Empiris maupun magis. Orang ini mereka sebut dengan istilah
“TOKOAR” atau dalam bahasa Indonesia dukun.
Dari hasil pengobatan di pustu oleh pekerja sosial dari Bethesda pada bulan Juli
– Agustus, penyakit utama pada masyarakat Towe adalah cacingan sebanyak 49
(empat puluh sembilan) orang , kemudian di ikuti oleh penyakit frambusia 37
(tiga puluh tujuh) orang dan mialgia 20 (dua puluh) orang. Sedangkan proporsi
terendah adalah penyakit diare, asma, dan abses, masing-masing 2 (dua) orang.
Tabel 3 Distribusi penyakit menurut golongan umur
pada bulan Juli – Agustus 1998
No Penyakit 0-11
bln
1-4
Thn
5-14
Thn
15-44
Thn
45-59
Thn
60-69
Thn 70 > Jml
1. Frambosia 0 2 6 21 7 1 - 37
2 Cacingan 5 24 2 18 - - - 49
3 Malaria Klinis 1 1 3 - - - - 5
4 MIalgia - - 2 16 1 1 - 20
5 Spalgia - - 3 8 - - - 11
6 Reumatik - - - 10 2 - - 12
7 Scabies - 2 1 2 1 - - 6
8 Stomatitis - - 1 1 - - - 2
9 Luka dan Borok - 1 3 3 4 - - 11
10 Anemia - 2 2 1 - - - 5
11 Diare - - - 1 1 - - 2
12 Asma - - 1 8 2 - - 11
13 Non Pnemonia 1 2 14 13 - 1 - 31
14 Gastritis - - - 2 1 - - 3
15 Abses - - - 1 - - - 1
16 Ibu Hamil - - - 1 - - - 1
17 Sakit Perut - - - 2 1 - - 3
Jumlah 7 34 38 98 17 3 4 197
Sumber data pengobatan petugas sosial YKB 1998
10. Kesimpulan
Penanganan pada masyarakat Towe segera dilakukan apabila kita tidak mau
melihat kehilangan salah satu suku bangsa di Papua yang menghiasai Pulau ini.
Aspek kesehatan, pendidikan dan kemudahan akses mereka ke berbagai tempat
dipulau Papua ini merupakan tugas pemerintah yang segera ditangani untuk
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 26
merubah pandangan kebudayaannya yang berdampak pada kepunahan
masyarakat Towe.
Daftar Pustaka
Djekky R. Djoht, 2000. Profil Masyarakat Towe Hitam, Jayapura, YKB Papua.
Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti.
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, Penerbit
Jambatan.
--------------------. 1994. Papua Membangun Masyarakat Majemuk, Jakarta,
Jambatan.
Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli
kasinya, Yogyakarta, Gadjah Mada Press.
YKB Papua. 1998. Laporan Tahunan Program Perbaikan Gizi dan Kesehatan
Melalui Pertanian, Kesehatan dan Makanan Tambahan untuk Ibu dan Anak,
Jayapura, YKB Papua.

2 comments:

Bonifasius Asa Insain said...

Saya senang membaca artikel ini, saya bekerja sebagai guru SMP Negeri Towe sejak Tahun 2017. dan sekarang lagi menempuh pendidikan master di Amerika, sekarang saya lagi mnegerjakan salah satu tugas di kelas saya, artikel ini bisa menjadi bahasa referesi saya dalam tugas serta nanti menjadi referensi say pada tugs akhir saya nanti.

Anonymous said...

Sangat membantu dlm hal mengenal asal usul masyarakat towe