Prof. Parsudi Suparlan, Ph.D : Pendekar Antropologi Perkotaan Indonesia
Prof.Dr.Parsudi Suparlan memiliki kepakaran dibidang Antropologi perkotaan, Kemiskinan perkotaan dan multikulturalisme Beliau lahir di Jakarta pada 3 April 1938. Pendidikan S1 Antropologi Fakultas Sastra UI diselesaikannya pada tahun 1964. Pada tahun 1970 memperoleh kesempatan belajar di University of Illinois, Amerika Serikat, yang kemudian menyelesaikan MA pada tahun 1972 serta Ph.D dalam bidang Antropologi pada tahun 1976. Pada tahun 1961 diangkat sebagai asisten Dosen dari Prof. Harsya W. Bahtiar di Fakultas Sastra UI dan sebagai dosen tetap sejak tahun 1963. kegiatan mengajar tetap dilakukan hingga sekarang pada program S1, S2, S3 Antropologi FISIP UI; di PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian), Program S2 dan S3 Ilmu Kepolisian, UI; Program S2 Kajian Wilayah Amerika UI dan menjabat sebagai Ketua Program Kajian tersebut sejak 1998.
Sebagian besar dari karya-karya tulisannya telah diterbitkan (lebih dari 200 tulisan sejak tahun 1964), antara lain The Javanese Suriname: Ethnicity in sn ethnically plural society (Arizona State University, 1995). Orang Sakai di Riau: Masyarakat terasing dalam masyarakat Indonesia (Yayasan Obor 1995), Hubungan Antar Suku Bangsa, Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan, diterbitkan oleh YPKIK, 2004. Pada tahun 1999, Parsudi Suparlan mendirikan Jurnal Polisi Indonesia dan menjadi Pimpinan Redaksinya sejak saat itu.
Showing posts with label Parsudi Suparlan. Show all posts
Showing posts with label Parsudi Suparlan. Show all posts
Wednesday 15 December 2010
Monday 13 December 2010
Prof. Parsudi Suparlan Ph.D: Ilmuwan Humanis yang Pergi dalam Kesendirian
Prof. Parsudi Suparlan Ph.D: Ilmuwan Humanis yang Pergi dalam Kesendirian
parsudisuparlanDEPOK, NETSAINS – “Sejak dulu dia tidak punya pembantu. Dia biasa bekerja keras dua tiga hari, lalu sudah itu tidur istirahat total seminggu penuh,” sayup suara para sahabat meningkahi acara pelepasan jelazah Prof. Parsudi Suparlan PhD, Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia (UI) di FISIP UI, Depok.
Yang paling menyentuh hati adalah penurutan Herman Lantang, sahabat terdekat lelaki kelahiran 3 April, 69 tahun silam tersebut. Kepada hadirin, Herman yang pendiri Mapala UI bertutur bagaimana Parsudi mengajarkan hidup menggembel di ibukota kendati berasal dari keluarga berrada.
Menggembel
“Ia mengajak saya bergaul dengan gelandangan dan pelacur, walaupun saya tinggal di Menteng yang elit. Ia mengajarkan saya nilai-nilai kesederhanaan dan kejujuran,” ujar Herman Lantang yang berssahabat dengan almarhum sejak 1960-an.
Parsudi Suparlan telah mengabdikan diri lebih dari 30 tahun untuk bidang antropologi. Selama itu ayah dari dua anak ini menulis lebih dari 30 judul paper di jurnal ilmiah dalam dan luar negeri. Bukunya bertajuk Orang Sakai di Riau dinobatkan menjadi buku terbaik ilmu sosial oleh Depdiknas tahun 1976. Parsudi yang juga menjadi Tim Ahli POLRI ini banyak dipercaya melakukan studi daerah konflik seperti konflik berdarah di Ambon tahun 1999, konflik antar sukubangsa di Sambas, Kalimantan Barat, Maret 1999. Parsudi juga terlibat dalam penanganan terorisme internasional dan perubahan corak politik luar negeri Amerika Serikat bersama Departemen Luar Negeri.
Tak heran jika kepeduliannya terhadap sekitar cukup tinggi, sebab Parsudi memang banyak memotret kondisi sosial Indonesia. Karya terkenalnya antara lain Hubungan Antar Suku Bangsa, Kemiskinan di Perkotaan, The Javanese in Surinam, Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan. Lelaki yang diketahui mengidap diabetes ini kabarnya ditemukan dalam kondisi sudah tak bernyawa di rumahnya kompleks dosen UI Ciputat, Banten, sekitar pukul 9.00 pagi, Kamis (22/11). Penyebab kematiannya belum diketahui. Dari para sahabat terbetik berita bahwa almarhum memang tinggal seorang diri tanpa pembantu dan ditemani keluarga.
Mengkritik Megalopolis
Walau sudah berusia senja, Parsudi masih cukup aktif dan bersemangat mentransfer ilmunya kepada siapa saja. Ia juga cukup peduli dengan pembangunan kota Jakarta.
Dalam tulisannya bertajuk “Megalopolis, Sebuah Peluang vs Ancaman Bagi Peningkatan Kesejahteraan Rakyat”, Parsudi mengktritik rencana Sutiyoso yang saat itu menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta untuk menyulap Jakarta menjadi kota megalopolis.
“Saya tidak sepenuhnya percaya kepada kata-kata saya yang visioner tersebut diatas mengenai megapolitan yang memberi peluang untuk kesejahteraan masyarakatnya dan bagi masyarakat di daerah Bodetabejur melalui prinsip trickle down effects. Karena penyakit KKN masih diderita oleh para pejabat dan birokrat, yang dapat menghambat proses-proses pembiayaan dan pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan untuk megapolitan dan administrasi pengelolaanya. Perbedaan ekonomi dan kesempatan-kesempatan memperoleh keuntungan ekonomi antara kota megapolitan Jakarta dengan daerah penyengga akan sangat besar, sehingga arus dan tingkat urbanisasi ke Jakarta akan menjadi semakin meningkat,” ungkap Parsudi dalam tulisannya yang dibawakan dalam seminar Why Megalopolis”, yang berlangsung pada April 2006 silam.
Pekerja keras, tekun dan konsisten dalam profesi keilmuannya, itulah yangn tersirat dari pribadi seorang Parsudi. Selamat jalan, ilmuwan yang humanis. Kau boleh pergi dalam kesendirian, tapi kepergianmu takkan pernah tergantikan oleh siapapun.
http://netsains.com/2007/11/prof-parsudi-suparlan-phd-ilmuwan-humanis-yang-pergi-dalam-kesendirian/
parsudisuparlanDEPOK, NETSAINS – “Sejak dulu dia tidak punya pembantu. Dia biasa bekerja keras dua tiga hari, lalu sudah itu tidur istirahat total seminggu penuh,” sayup suara para sahabat meningkahi acara pelepasan jelazah Prof. Parsudi Suparlan PhD, Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia (UI) di FISIP UI, Depok.
Yang paling menyentuh hati adalah penurutan Herman Lantang, sahabat terdekat lelaki kelahiran 3 April, 69 tahun silam tersebut. Kepada hadirin, Herman yang pendiri Mapala UI bertutur bagaimana Parsudi mengajarkan hidup menggembel di ibukota kendati berasal dari keluarga berrada.
Menggembel
“Ia mengajak saya bergaul dengan gelandangan dan pelacur, walaupun saya tinggal di Menteng yang elit. Ia mengajarkan saya nilai-nilai kesederhanaan dan kejujuran,” ujar Herman Lantang yang berssahabat dengan almarhum sejak 1960-an.
Parsudi Suparlan telah mengabdikan diri lebih dari 30 tahun untuk bidang antropologi. Selama itu ayah dari dua anak ini menulis lebih dari 30 judul paper di jurnal ilmiah dalam dan luar negeri. Bukunya bertajuk Orang Sakai di Riau dinobatkan menjadi buku terbaik ilmu sosial oleh Depdiknas tahun 1976. Parsudi yang juga menjadi Tim Ahli POLRI ini banyak dipercaya melakukan studi daerah konflik seperti konflik berdarah di Ambon tahun 1999, konflik antar sukubangsa di Sambas, Kalimantan Barat, Maret 1999. Parsudi juga terlibat dalam penanganan terorisme internasional dan perubahan corak politik luar negeri Amerika Serikat bersama Departemen Luar Negeri.
Tak heran jika kepeduliannya terhadap sekitar cukup tinggi, sebab Parsudi memang banyak memotret kondisi sosial Indonesia. Karya terkenalnya antara lain Hubungan Antar Suku Bangsa, Kemiskinan di Perkotaan, The Javanese in Surinam, Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan. Lelaki yang diketahui mengidap diabetes ini kabarnya ditemukan dalam kondisi sudah tak bernyawa di rumahnya kompleks dosen UI Ciputat, Banten, sekitar pukul 9.00 pagi, Kamis (22/11). Penyebab kematiannya belum diketahui. Dari para sahabat terbetik berita bahwa almarhum memang tinggal seorang diri tanpa pembantu dan ditemani keluarga.
Mengkritik Megalopolis
Walau sudah berusia senja, Parsudi masih cukup aktif dan bersemangat mentransfer ilmunya kepada siapa saja. Ia juga cukup peduli dengan pembangunan kota Jakarta.
Dalam tulisannya bertajuk “Megalopolis, Sebuah Peluang vs Ancaman Bagi Peningkatan Kesejahteraan Rakyat”, Parsudi mengktritik rencana Sutiyoso yang saat itu menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta untuk menyulap Jakarta menjadi kota megalopolis.
“Saya tidak sepenuhnya percaya kepada kata-kata saya yang visioner tersebut diatas mengenai megapolitan yang memberi peluang untuk kesejahteraan masyarakatnya dan bagi masyarakat di daerah Bodetabejur melalui prinsip trickle down effects. Karena penyakit KKN masih diderita oleh para pejabat dan birokrat, yang dapat menghambat proses-proses pembiayaan dan pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan untuk megapolitan dan administrasi pengelolaanya. Perbedaan ekonomi dan kesempatan-kesempatan memperoleh keuntungan ekonomi antara kota megapolitan Jakarta dengan daerah penyengga akan sangat besar, sehingga arus dan tingkat urbanisasi ke Jakarta akan menjadi semakin meningkat,” ungkap Parsudi dalam tulisannya yang dibawakan dalam seminar Why Megalopolis”, yang berlangsung pada April 2006 silam.
Pekerja keras, tekun dan konsisten dalam profesi keilmuannya, itulah yangn tersirat dari pribadi seorang Parsudi. Selamat jalan, ilmuwan yang humanis. Kau boleh pergi dalam kesendirian, tapi kepergianmu takkan pernah tergantikan oleh siapapun.
http://netsains.com/2007/11/prof-parsudi-suparlan-phd-ilmuwan-humanis-yang-pergi-dalam-kesendirian/
Subscribe to:
Posts (Atom)