Showing posts with label Peraturan Perundang-undangan. Show all posts
Showing posts with label Peraturan Perundang-undangan. Show all posts

Sunday 20 February 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No. 1, 1974 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara;

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973;

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.

BAB I
DASAR PERKAWINAN

Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.

Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.

Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

BAB II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Pasal 6
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 10
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 11
(1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

Pasal 12
Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

BAB III
PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal l3
Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 14
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

Pasal 15
Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 16
(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.
(2) Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 17
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberi tahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.

Pasal 18
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.

Pasal 19
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

Pasal 20
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

Pasal 21
(1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan. oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas.
(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.

BAB IV
BATALNYA PERKAWINAN

Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 23
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 25
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.

Pasal 26
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Pasal 27
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal 28
(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap:
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

BAB V
PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 29
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI

Pasal 30
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Pasal 32
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.

Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.

BAB VII
HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN

Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

BAB VIII
PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA

Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena:
a. kematian,
b. perceraian dan c. atas keputusan Pengadilan.

Pasal 39
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
(3) Tatacara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Pasal 40
(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2) Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

BAB IX
KEDUDUKAN ANAK

Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Pasal 43
(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 44
(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

BAB X
HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK

Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal 46
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.

Pasal 47
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan betas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Pasal 49
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:
a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. la berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

BAB XI
PERWALIAN

Pasal 50
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.

Pasal 51
(1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.
(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
(3) Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.
(4) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.
(5) Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.

Pasal 52
Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini.

Pasal 53
(1) Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang-undang ini.
(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.

Pasal 54
Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan Keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.

BAB XII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN

Bagian Pertama
Pembuktian asal-usul anak

Pasal 55
(1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.
(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Bagian Kedua
Perkawinan di luar Indonesia

Pasal 56
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.

Bagian Ketiga
Perkawinan Campuran

Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.

Pasal 59
(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.
(2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini.

Pasal 60
(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.
(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
(3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.
(4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3).
(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.

Pasal 61
(1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
(2) Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.
(3) Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.

Pasal 62
Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini.

Bagian Keempat
Pengadilan

Pasal 63
(1) Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah:
a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam;
b. Pengadilan Umum bagi lainnya.
(2) Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 64
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.

Pasal 65
(1) Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut:
a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya;
b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;
c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.
(2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 67
(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 1974
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO
JENDERAL TNI.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 1974
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO, SH.
MAYOR JENDERAL TNI.

TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI
No. 3019 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1)

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR I TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN

PENJELASAN UMUM

1. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.

2. Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara dan berbagai daerah seperti berikut:
a. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresiplir dalam Hukum Adat;
b. bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat;
c. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijksordonnantie Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74);
d. bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan;
e. bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum Adat mereka;
f. bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

3. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini disatu fihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan dilain fihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.

4. Dalam Undang-undang ini ditentukan Prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai perkayanan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Undang-undang ini adalah sebagai berikut:
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, aear masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil dan materiil.
b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.
d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih di bawah umur.
Di samping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.
Berhubung dengan itu, maka Undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi, wanita.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan.
f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah-tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.

5. Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah.
Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal Undang-undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1
Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, di mana Sila yang pertamanya ialah ke Tuhanan Yang Mahaesa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

Pasal 2
Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

Pasal 3
(1) Undang-undang ini menganut asas monogami.
(2) Pengadilan dalam memberi putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut Pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami.

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6
(1) Oleh karena perkawinan mempuryai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang ini.
(2) Cukup jelas.
(3) Cukup jelas.
(4) Cukup jelas.
(5) Cukup jelas.
(6) Cukup jelas.

Pasal 7
(1) Untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.
(2) Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang dimaksud pada ayat (1) seperti diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (S. 1933 Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku.
(3) Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Ketentuan Pasal 12 ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954.

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Pengertian "dapat" pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas

Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Yang dimaksud dengan "perjanjian" dalam pasal ini tidak termasuk tak'lik - talak.

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Cukup jelas

Pasal 32
Cukup jelas

Pasal 33
Cukup jelas

Pasal 34
Cukup jelas

Pasal 35
Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut Hukumnya masing-masing.

Pasal 36
Cukup jelas

Pasal 37
Yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39
(1) Cukup jelas.
(2) Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun bertutut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
(3) Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Cukup jelas

Pasal 43
Cukup jelas

Pasal 44
Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah.

Pasal 45
Cukup jelas

Pasal 46
Cukup jelas

Pasal 47
Cukup jelas

Pasal 48
Cukup jelas

Pasal 49
Yang dimaksud dengan "kekuasaan" dalam pasal ini tidak termasuk kekuasaan sebagai wali-nikah.

Pasal 50
Cukup jelas

Pasal 51
Cukup jelas

Pasal 52
Cukup jelas

Pasal 53
Cukup jelas

Pasal 54
Cukup jelas

Pasal 55
Cukup jelas

Pasal 56
Cukup jelas

Pasal 57
Cukup jelas

Pasal 58
Cukup jelas

Pasal 59
Cukup jelas

Pasal 60
Cukup jelas

Pasal 61
Cukup jelas

Pasal 62
Cukup jelas

Pasal 63
Cukup jelas

Pasal 64
Cukup jelas

Pasal 65
Cukup jelas

Pasal 66
Cukup jelas

Pasal 67
Cukup jelas

ke atas

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 1975
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk kelancaran pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3019), dipandang perlu untuk
mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur
ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang
tersebut;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
a. Undang-undang adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan ;
www.djpp.depkumham.go.id
b. Pengadilan adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam
dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya ;
c. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum;
d. Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian.
BAB II
PENCATATAN PERKAWINAN
Pasal 2
(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk.
(2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan
oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana
dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan
perkawinan.
(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi
tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang
berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah
ini.
Pasal 3
(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan
dilangsungkan.
(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan
sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati
Kepala Daerah.
Pasal 4
Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau
oleh orang tua atau wakilnya.
Pasal 5
Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat
kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah
kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 6
(1) Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan
telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut
Undang-undang.
(2) Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1)Pegawai
Pencatat meneliti pula :
a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam
hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat
dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul
calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat
dengan itu;
b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan
tempat tinggal orang tua calon mempelai;
c. Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6
ayat(2),(3),(4) dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon
mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun;
d. Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam hal
calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunya isteri;
e. Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2)
Undang-undang;
f. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal
perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua
kalinya atau lebih;
g. Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau
keduanya anggota Angkatan Bersenjata ;
h. Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh Pegawai
Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak
dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga
mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 7
(1) Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat ditulis
dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.
(2) Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan
sebagai dimaksud Undang-undang dan atau belum dipenuhinya
persyaratan tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini,
keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada
orang tua atau kepada wakilnya.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 8
Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada
sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan
pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan
dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang
ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah
ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
Pasal 9
Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat :
a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari
calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai; apabila salah seorang
atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau suami
mereka terdahulu ;
b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.
BAB III
TATACARA PERKAWINAN
Pasal 10
(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman
kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam
Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.
(2) Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu.
(3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing
hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan
dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Pasal 11
(1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuanketentuan
Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai
menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai
Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
(2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu,
selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat
yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang
mewakilinya.
(3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah
tercatat secara resmi.
www.djpp.depkumham.go.id
BAB IV
AKTA PERKAWINAN
Pasal 12
Akta perkawinan memuat :
a. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan
tempat kediaman suami-isteri;
Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama
isteri atau suami terdahulu ;
b. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua
mereka;
c. Izin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan.(5) Undangundang;
d. Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;
e. Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang;
f. Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang;
g. Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB bagi
anggota Angkatan Bersenjata;
h. Perjanjian perkawinan apabila ada;
i. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para
saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam ;
j. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa
apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
Pasal 13
(1) Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan
oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan
dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada.
(2) Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta
perkawinan.
BAB V
TATACARA PERCERARIAN
Pasal 14
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam,
yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di
tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud
menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada
Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 15
Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi Surat yang dimaksud dalam Pasal
14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil
pengirim Surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu.
Pasal 16
Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk
menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 14 apabila memang
terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan
Pemerintah ini, dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang
bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Pasal 17
Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang
dimaksud dalam Pasal 16, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang
terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada
Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan
perceraian.
Pasal 18
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan
sidang pengadilan.
Pasal 19
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 20
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
(2) Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau
tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat.
(3) Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan
perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat.
Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat
melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 21
(1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf b,
diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat.
(2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampau 2 (dua)
tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.
(3) Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan
sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.
Pasal 22
(1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf f,
diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat.
(2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas
bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu
dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat
dengan suami-isteri itu.
Pasal 23
Gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami-isteri mendapat
hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai
dimaksud dalam Pasal 19 huruf c maka untuk mendapatkan putusan perceraian
sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang
memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 24
(1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat
atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin
ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-isteri tersebut untuk
tidak tinggal dalam satu rumah.
www.djpp.depkumham.go.id
(2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat
atau tergugat, Pengadilan dapat :
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak ;
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya
barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barangbarang
yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi
hak isteri.
Pasal 25
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya
putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu.
Pasal 26
(1) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan
perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan
dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.
(2) Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita; bagi
Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk oleh
Ketua Pengadilan Agama.
(3) Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang
bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan melalui
Lurah atau yang dipersamakan dengan itu.
(4) Panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan
secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau
kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka.
(5) Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan.
Pasal 27
(1) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20
ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada
papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu
atau beberapa surat, kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh
Pengadilan.
(2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass
media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang
waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.
(3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2)
dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
(4) Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2)
dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa
hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak
www.djpp.depkumham.go.id
beralasan.
Pasal 28
Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (3) panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia
setempat.
Pasal 29
(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim selambatlambatnya
30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas/surat gugatan
perceraian.
(2) Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan
perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan
diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau
kuasa mereka.
(3) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20
ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurangkurangnya
6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan
perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan.
Pasal 30
Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri datang sendiri
atau mewakilkan kepada kuasanya.
Pasal 31
(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua
pihak.
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan
pada setiap sidang pemeriksaan.
Pasal 32
Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian
baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan
telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.
Pasal 33
Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian
dilakukan dalam sidang tertutup.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 34
(1) Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya
terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor
pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama
Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 35
(1) Panitera Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban
mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud
Pasal 34 ayat (1) yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/yang
telah dikukuhkan, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat ditempat
perceraian itu terjadi, dan Pegawai Pencatat mendaftar putusan
perceraian dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.
(2) Apabila perceraian dilakukan pada daerah hukum yang berbeda dengan
daerah hukum Pegawai Pencatat dimana perkawinan dilangsungkan, maka
satu helai salinan putusan dimaksud ayat (1) yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap/telah dikukuhkan tanpa bermeterai
dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat tempat perkawinan
dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat tersebut dicatat pada bagian
pinggir dari daftar catatan perkawinan, dan bagi perkawinan yang
dilangsungkan di luar negeri, salinan itu disampaikan kepada Pegawai
Pencatat di Jakarta.
(3) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi
tanggungjawab Panitera yang bersangkutan apabila yang demikian itu
mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya.
Pasal 36
(1) Panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah
perceraian diputuskan menyampaikan putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap itu kepada Pengadilan Negeri untuk
dikukuhkan.
(2) Pengukuhan dimaksud ayat (1) dilakukan dengan membubuhkan kata-kata
"dikukuhkan" dan ditandatangani oleh hakim Pengadilan Negeri dan
dibubuhi cap dinas pada putusan tersebut.
(3) Panitera Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah
diterima putusan dari Pengadilan Agama, menyampaikan kembali putusan
itu kepada Pengadilan Agama.
www.djpp.depkumham.go.id
BAB VI
PEMBATALAN PERKAWINAN
Pasal 37
Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan.
Pasal 38
(1) Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang
berhak mengajukannya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal
kedua suami-isteri, suami atau isteri.
(2) Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai
dengan tatacara pengajuan gugatan perceraian.
(3) Hal-hal yang berhubungan dengan pemeriksaan pembatalan perkawinan
dan putusan Pengadilan, dilakukan sesuai dengan tatacara tersebut dalam
Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah ini.
BAB VII
WAKTU TUNGGU
Pasal 39
(1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut :
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan
130 (seratus tiga puluh) hari
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang
masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurangkurangnya
90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang
bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari ;
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan
hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
(2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena
perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum
pernah terjadi hubungan kelamin.
(3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena
kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
www.djpp.depkumham.go.id
BAB VIII
BERISTERI LEBIH DARI SEORANG
Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia
wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai :
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi,
ialah :
- bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
- bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
- bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun
tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan,
persetujuan itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan.
c. ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan :
i. surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani
oleh bendahara tempat bekerja; atau
ii. surat keterangan pajak penghasilan; atau
iii. surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan;
d. ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari
suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Pasal 42
(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41,
Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.
(2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambatlambatnya
30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan
beserta lampiran-lampirannya.
Pasal 43
Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk
beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang
berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 44
Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang
suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan
seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 45
(1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku, maka :
a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10
ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda
setinggi-tingginya Rp. 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah);
b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal
6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) diatas merupakan
pelanggaran.
BAB X
PENUTUP
Pasal 46
Tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, maka
ketentuan-ketentuan lainnya yang berhubungan dengan pengaturan tentang
perkawinan dan perceraian khusus bagi anggota Angkatan Bersenjata diatur
lebih lanjut oleh Menteri HANKAM/PANGAB.
Pasal 47
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka ketentuan-ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 48
Petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang masih dianggap perlu untuk kelancaran
pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini, diatur lebih lanjut oleh Menteri
Kehakiman, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama, baik bersama-sama
maupun dalam bidangnya masing-masing.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 49
(1) Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975;
(2) Mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, merupakan pelaksanaan
secara efektif dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 April 1975
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 April 1975
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SUDHARMONO,SH.
www.djpp.depkumham.go.id
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 1975
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN
UMUM :
Untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secara
efektif masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksanaan, antara lain
yang menyangkut masalah pencatatan perkawinan, tatacara pelaksanaan
perkawinan, tatacara perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian,
tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan,
pembatalan perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami
beristeri lebih dari seorang dan sebagainya.
Peraturan Pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan tentang
masalah-masalah tersebut, yang diharapkan akan dapat memperlancar
dan mengamankan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut. Dengan
keluarnya Peraturan Pemerintah ini maka telah pastilah saat mulainya
pelaksanaan secara efektif dari Undang-undang Nomor 1 tersebut, ialah
pada tanggal 1 Oktober 1975.
Karena untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini diperlukan
langkah-langkah persiapan dan serangkaian petunjuk petunjuk
pelaksanaan dari berbagai Departemen/Instansi yang bersangkutan,
khususnya dari Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan
Departemen Dalam Negeri, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib
dan lancar, maka perlu ditetapkan jangka waktu enam bulan sejak
diundangkannya Peraturan Pemerintah ini untuk mengadakan langkahlangkah
persiapan tersebut.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
(1) dan (2) Dengan adanya ketentuan tersebut dalam pasal ini maka
pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi,
yakni Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, dan Kantor
Catatan Sipil atau instansi/ pejabat yang membantunya.
(3) Dengan demikian maka hal-hal yang berhubungan dengan
tatacara pencatatan perkawinan pada dasarnya dilakukan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut dari Pasal 3
www.djpp.depkumham.go.id
sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini, sedangkan
ketentuan-ketentuan khusus yang menyangkut tatacara
pencatatan perkawinan yang diatur dalam berbagai
peraturan, merupakan pelengkap bagi Peraturan Pemerintah
ini.
Pasal 3
(1) Cukup jelas.
(2) Cukup jelas.
(3) Apabila terdapat alasan yang sangat penting untuk segera
melangsungkan perkawinan meskipun belum lampau 10 (sepuluh)
hari, misalnya karena salah seorang dari calon mempelai akan segera
pergi ke luar negeri untuk melaksanakan tugas negara, maka yang
demikian itu dimungkinkan dengan mengajukan permohonan
dispensasi.
Pasal 4
Pada prinsipnya kehendak untuk melangsungkan perkawinan harus
dilakukan secara lisan oleh salah satu atau kedua calon mempelai, atau
oleh orang tuanya atau wakilnya. Tetapi apabila karena sesuatu alasan
yang sah pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan secara
lisan itu tidak mungkin dilakukan, maka pemberitahuan dapat dilakukan
secara tertulis. Selain itu maka yang dapat mewakili calon mempelai
untuk memberitahukan kehendak melangsungkan perkawinan adalah
wali atau orang lain yang ditunjuk berdasarkan kuasa khusus.
Pasal 5
Bagi mereka yang memiliki nama kecil dan nama keluarga, maka dalam
pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, dicantumkan baik
nama kecil maupun nama keluarga. Sedangkan bagi mereka yang tidak
memiliki nama keluarga, maka cukup mencantumkan nama kecilnya saja
ataupun namanya saja.
Tidak adanya nama kecil atau nama keluarga sekali-kali tidak dapat
dijadikan alasan untuk penolakan berlangsungnya perkawinan.
Hal-hal yang harus dimuat dalam pemberitahuan tersebut merupakan
ketentuan minimal, sehingga masih dimungkinkan ditambahkannya halhal
lain, misalnya mengenai wali nikah, bagi mereka yang beragama
Islam.
Pasal 6
(1) Cukup jelas.
(2) Huruf f : Surat kematian diberikan oleh Lurah/Kepala Desa yang
meliputi wilayah tempat kediaman suatu atau isteri
terdahulu. Apabila Lurah/Kepala Desa tidak dapat
memberikan keterangan dimaksud berhubung tidak adanya
laporan mengenai kematian itu, maka dapat diberikan
www.djpp.depkumham.go.id
keterangan lain yang sah, atau keterangan yang diberikan
dibawah sumpah oleh yang bersangkutan dihadapan
Pegawai Pencatat.
Pasal 7
(1) Cukup jelas.
(2) Yang dimaksud dengan "diberitahukan kepada mempelai atau
kepada orang tua atau kepada wakilnya", adalah bahwa
pemberitahuan mengenai adanya halangan perkawinan itu harus
ditujukan dan disampaikan kepada salah satu daripada mereka itu
yang datang memberitahukan kehendak untuk melangsungkan
perkawinan.
Pasal 8
Maksud pengumuman tersebut adalah untuk memberi kesempatan
kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan
bagi dilangsungkannya suatu perkawinan apabila yang demikian itu
diketahuinya bertentangan dengan hukum agamanya dan
kepercayaannya itu yang bersangkutan atau bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 9
Pengumuman dilakukan :
- di kantor pencatatan perkawinan yang daerah hukumnya meliputi
wilayah tempat perkawinan dilangsungkan, dan
- di kantor/kantor-kantor pencatatan perkawinan tempat kediaman
masing-masing calon mempelai.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Hal-hal yang harus dimuat dalam Akta Perkawinan yang ditentukan di
dalarn pasal ini merupakan ketentuan minimal sehingga masih
dimungkinkan ditambahkannya hal-hal lain, misalnya mengenai nomor
akta; tanggal, bulan, tahun pendaftaran; jam, tanggal, bulan dan tahun
pernikahan dilakukan; nama dan jabatan dari Pegawai Pencatat;
tandatangan para mempelai Pegawai Pencatat, para saksi, dan bagi yang
beragama Islam wali nikah atau yang mewakilinya; bentuk dari mas
kawin atau izin Balai Harta Peninggalan bagi mereka yang
memerlukannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Huruf f; Persetujuan yang dimaksud disini dinyatakan secara
tertulis atas dasar sukarela, bebas dari tekanan, ancaman atau paksaan.
www.djpp.depkumham.go.id
Huruf g; Menteri HANKAM/PANGAB mengatur lebih lanjut mengenai
Pejabat yang ditunjuknya yang berhak memberikan izin bagi anggota
Angkatan Bersenjata.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Pasal ini berikut Pasal-pasal 15, 16, 17, dan 18 mengatur tentang cerai
talak.
Pasal 15.
Cukup jelas.
Pasal 16
Sidang Pengadilan tersebut, setelah meneliti dan berpendapat adanya
alasan-alasan untuk perceraian dan setelah berusaha untuk
mendamaikan kedua belah pihak dan tidak berhasil, kemudian
menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami itu dalam sidang
tersebut.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
(1) Gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh seorang isteri
yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh
seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan
perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain
agama Islam.
(2) Cukup jelas.
(3) Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
(1) Cukup jelas.
(2) Sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu hendaknya
dipertimbangkan oleh hakim apakah benar-benar berpengaruh dan
www.djpp.depkumham.go.id
prinsipiil bagi keutuhan kehidupan suami-isteri.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 24
(1) Izin Pengadilan untuk memperkenankan suami-isteri tidak berdiam
bersama dalam satu rumah hanya diberikan berdasarkan
pertimbangan demi kebaikan suami-isteri itu beserta anak-anaknya.
(2) Bahwa proses perceraian yang sedang terjadi antara suami-isteri
tidak dapat dijadikan alasan bagi suami untuk melalaikan tugasnya
memberikan nafkah kepada isterinya. Demikian pula tugas kewajiban
suami-isteri itu terhadap anak-anaknya. Harus dijaga jangan sampai
harta kekayaan baik yang dimiliki bersama-sama oleh suami-isteri,
maupun harta kekayaan isteri atau suami menjadi terlantar atau
tidak terurus dengan baik, sebab yang demikian itu bukan saja
menimbulkan kerugian kepada suami-isteri itu melainkan mungkin
juga mengakibatkan kerugian bagi pihak ketiga.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
(1) Cukup jelas.
(2) Cukup jelas.
(3) Cukup jelas.
(4) Meskipun tergugat atau kuasanya tidak hadir, tetapi yang demikian
itu tidak dengan sendirinya merupakan alasan bagi dikabulkannya
gugatan perceraian apabila gugatan tersebut tidak didasarkan pada
alasan atau alasan-alasan sebagaimana dimaksud Pasal 19 Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
(1) Penetapan waktu yang singkat untuk mengadakan sidang
pemeriksaan gugatan perceraian adalah sebagai usaha mempercepat
proses penyelesaian perkara perceraian. Karena makin cepat perkara
itu dapat diselesaikan oleh Pengadilan makin baik, bukan saja bagi
kedua suami-isteri itu melainkan bagi keluarga, dan apabila mereka
mempunyai anak terutama bagi anak-anaknya.
(2) Hendaknya jangka waktu antara penyampaian panggilan dan sidang
www.djpp.depkumham.go.id
diatur agar baik pihak-pihak maupun saksi-saksi mempunyai waktu
yang cukup untuk mengadakan persiapan guna menghadapi sidang
tersebut. Terutama kepada tergugat harus diberi waktu yang cukup
untuk memungkinkannya mempelajari secara baik isi gugatan.
(3) Cukup jelas.
Pasal 30
Dalam menghadapi perkara perceraian, pihak yang berperkara, yaitu
suami dan isteri, dapat menghadiri sendiri sidang atau didampingi
kuasanya atau sama sekali menyerahkan kepada kuasanya dengan
membawa surat nikah/rujuk, akta perkawinan, surat keterangan lainnya
yang diperlukan.
Pasal 31
(1) Cukup jelas.
(2) Usaha untuk mendamaikan suami-isteri yang sedang dalam
pemeriksaan perkara gugatan untuk mengadakan perceraian tidak
terbatas pada sidang pertama sebagaimana lazimnya dalam perkara
perdata, melainkan pada setiap saat sepanjang perkara itu belum
diputus oleh hakim. Dalam mendamaikan kedua belah pihak
Pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang atau badan lain
yang dianggap perlu.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Apabila pengadilan telah berusaha untuk mencapai perdamaian, akan
tetapi tidak berhasil, maka gugatan perceraian diperiksa dalam sidang
tertutup. Pemeriksaan dalam sidang tertutup ini berlaku juga bagi
pemeriksaan saksi-saksi.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat alasan-alasan yang
dapat dijadikan dasar perceraian, hakim mengabulkan kehendak suami
atau isteri untuk melakukan perceraian.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
(1) Pengukuhan oleh Pengadilan Negeri terhadap suatu putusan
Pengadilan Agama hanya dilakukan apabila putusan itu telah
mempunyai kekuatan hakim yang tetap.
Dengan perkataan lain, maka terhadap suatu putusan Pengadilan
www.djpp.depkumham.go.id
Agama yang dimintakan banding atau kasasi, masih belum dilakukan
pengukuhan.
Pengukuhan tersebut bersifat administratip; Pengadilan Negeri tidak
melakukan pemeriksaan ulang terhadap putusan Pengadilan Agama
dimaksud.
(2) Cukup jelas.
(3) Cukup jelas.
Pasal 37
Mengingat, bahwa pembatalan suatu perkawinan dapat membawa akibat
yang jauh baik terhadap suami isteri maupun terhadap keluarganya,
maka ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya
pembatalan suatu perkawinan oleh instansi lain di luar Pengadilan.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
(1) Cukup jelas.
(2) Bagi wanita yang kawin kemudian bercerai, sedangkan antara wanita
itu dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin,
maka bagi wanita tersebut tidak ada waktu tunggu; ia dapat
melangsungkan perkawinan setiap saat setelah perceraian itu.
(3) Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Huruf c sub iii : Apabila tidak mungkin diperoleh surat keterangan
sebagaimana dimaksud pada sub i atau ii, maka dapat diusahakan suatu
surat keterangan lain yakni sepanjang Pengadilan dapat menerimanya.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Dalam pasal ini diatur tentang sanksi hukuman denda bagi pihak
mempelai yang melanggar ketentuan Pasal 3, 10 ayat (3) dan 40 dan
sanksi hukuman kurungan atau denda bagi pejabat pencatat perkawinan
www.djpp.depkumham.go.id
yang melanggar ketentuan Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, dan 44.
Pejabat Yang melanggar ketentuan tersebut dihukum dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp. 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah).
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini maka ketentuanketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
perkawinan yang telah ada, apabila telah diatur di dalam Peraturan
Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
Selain hal yang tersebut diatas maka dalam hal suatu ketentuan yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah ini telah diatur didalam peraturan
perundangan tentang perkawinan yang ada maka diperlakukan Peraturan
Pemerintah ini yakni apabila :
a. peraturan perundangan yang telah ada memuat pengaturan yang sama
dengan Peraturan Pemerintah;
b. peraturan perundangan yang telah ada belum lengkap pengaturannya;
c. peraturan perundangan yang telah ada bertentangan dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
www.djpp.depkumham.go.id

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No. 13, 1983 ADMINISTRASI. LEMBAGA NEGARA. LEMBAGA PEMERINTAH. PEGAWAI NEGERI. Aparatur. Kesejahteraan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3250)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 1983
TENTANG
IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN
BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 telah diatur ketentuan tentang perkawinan yang berlaku bagi segenap warga negara dan penduduk Indonesia;
b. bahwa Pegawai Negeri Sipil wajib memberikan contoh yang baik kepada bawahannya dan menjadi teladan sebagai warga negara yang baik dalam masyarakat, termasuk dalam menyelenggarakan kehidupan berkeluarga;
c. bahwa dalam rangka usaha meningkatkan disiplin Pegawai Negeri Sipil dalam melakukan perkawinan dan perceraian, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Pemerintah mengenai izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil;

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2906);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019);
4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1975 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, Dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3058);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1976 tentang Keanggotaan Pegawai Negeri Sipil Dalam Partai Politik dan Golongan Karya;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3176);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL.

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
a. Pegawai Negeri Sipil adalah:
1. Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974;
2. Yang dipersamakan dengan Pegawai Negeri Sipil yaitu:
(a) Pegawai Bulanan di samping pensiun;
(b) Pegawai Bank milik Negara;
(c) Pegawai Badan Usaha milik Negara;
(d) Pegawai Bank milik Daerah;
(e) Pegawai Badan Usaha milik Daerah;
(f) Kepala Desa, Perangkat Desa, dan petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di Desa;
b. Pejabat adalah:
1. Menteri;
2. Jaksa Agung;
3. Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen;
4. Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara 5. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I;
6. Pimpinan Bank milik Negara;
7. Pimpinan Badan Usaha milik Negara;
8. Pimpinan Bank milik Daerah;
9. Pimpinan Badan Usaha milik Daerah;

Pasal 2
(1) Pegawai Negeri Sipil yang melangsungkan perkawinan pertama, wajib memberitahukannya secara tertulis kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah perkawinan itu dilangsungkan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi Pegawai-Negeri Sipil yang telah menjadi duda/janda yang melangsungkan perkawinan lagi.

Pasal 3
(1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(2) Permintaan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.
(3) Dalam surat permintaan izin perceraian harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin perceraian itu.

Pasal 4
(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.
(3) Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(4) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diajukan secara tertulis.
(5) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat.

Pasal 5
(1) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 diajukan kepada Pejabat melalui saluran tertulis.
(2) Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian atau untuk beristeri lebih dari seorang, maupun untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat, wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud.

Pasal 6
(1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk melakukan perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
(2) Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka Pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isteri/suami dari Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin itu atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan.
(3) Sebelum mengambil keputusan, Pejabat berusaha lebih dahulu merukunkan kembali suami isteri yang bersangkutan dengan cara memanggil mereka secara langsung untuk diberi nasehat.

Pasal 7
(1) Izin untuk bercerai dapat diberikan oleh Pejabat apabila didasarkan pada alasan-alasan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2) Izin untuk bercerai karena alasan isteri mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, tidak diberikan oleh Pejabat.
(3) Izin untuk bercerai tidak diberikan oleh Pejabat apabila a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;
b. tidak ada alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan/atau
d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat.

Pasal 8
(1) Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anaknya.
(2) Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas isterinya, dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya.
(3) Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak maka bagian gaji yang wajib diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada bekas isterinya ialah setengah dari gajinya.
(4) Apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri, maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak berlaku, apabila isteri meminta cerai karena dimadu.
(6) Apabila bekas isteri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan kawin lagi, maka haknya atas bagian gaji dari bekas suaminya menjadi hapus terhitung mulai ia kawin lagi.

Pasal 9
(1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
(2) Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka Pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isteri Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan.
(3) Sebelum mengambil keputusan, Pejabat memanggil Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberi nasehat.

Pasal 10
(1) Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal ini.
(2) Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
(3) Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah a. ada persetujuan tertulis dari isteri;
b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan
c. ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(4) Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila:
a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;
b. tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3);
c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau
e. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.

Pasal 11
(1) Izin bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila:
a. ada persetujuan tertulis dari isteri bakal suami;
b. bakal suami mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan
c. ada jaminan tertulis dari bakal suami bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(2) Izin bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), tidak diberikan oleh Pejabat apabila:
a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut oleh Pegawai Negeri Sipil wanita yang bersangkutan atau bakal suaminya;
b. tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan/atau
d. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.

Pasal 12
Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian atau akan beristeri lebih dari seorang yang berkedudukan sebagai:
(1) Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur Bank Indonesia, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, wajib meminta izin lebih dahulu dari Presiden.
(2) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II termasuk Walikota di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Walikota Administratif, wajib meminta izin lebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri.
(3) Pimpinan Bank milik Negara kecuali Gubernur Bank Indonesia dan pimpinan Badan Usaha milik Negara, wajib meminta izin lebih dahulu dari Menteri yang secara teknis membawahi Bank milik Negara atau Badan Usaha milik Negara yang bersangkutan.
(4) Pimpinan Bank milik Daerah dan pimpinan Badan Usaha milik Daerah, wajib meminta izin lebih dahulu dari Kepala Daerah yang bersangkutan.

Pasal 13
Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, untuk beristeri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), dilakukan oleh Pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin tersebut.

Pasal 14
Pejabat dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada Pejabat lain dalam lingkungannya, serendah-rendahnya Pejabat eselon IV atau yang dipersamakan dengan itu, untuk memberikan atau menolak pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, sepanjang mengenai permintaan izin yang diajukan oleh Pegawai Negeri Sipil golongan II ke bawah atau yang dipersamakan dengan itu.

Pasal 15
(1) Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama dengan wanita atau pria sebagai suami isteri tanpa ikatan perkawinan yang sah.
(2) Setiap atasan wajib menegur apabila ia mengetahui ada Pegawai Negeri Sipil bawahan dalam lingkungannya yang melakukan hidup bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 16
Pegawai Negeri Sipil yang melanggar ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Pasal 17
Pegawai Negeri Sipil yang melakukan hidup bersama dengan wanita atau pria sebagai suami isteri, dan setelah ditegur atasannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 masih terus melakukannya, dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Pasal 18
Ketentuan Peraturan Pemerintah ini tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019), Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050), dan peraturan perundang-undanganlainnya.

Pasal 19
Setiap Pejabat atau Pejabat lain yang ditunjuk olehnya membuat dan memelihara catatan perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya masing-masing.

Pasal 20
(1) Pejabat atau Pejabat lain yang ditunjuk olehnya menyampaikan salinan sah surat pemberitahuan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tembusan surat pemberian izin atau penolakan pemberiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, kepada:
a. Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara, sepanjang menyangkut Pegawai Negeri Sipil dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka I dan angka 2 huruf (a);
b. Pimpinan masing-masing Bank milik Negara, Badan Usaha milik Negara, Bank milik Daerah, dan Badan Usaha milik Daerah, sepanjang menyangkut Pegawai Negeri Sipil dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 huruf (b), (c), (d), dan (e);
c. Bupati Kepala Daerah Tingkat II, sepanjang menyangkut Pegawai Negeri Sipil dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 huruf (f).
(2) Berdasarkan salinan dan tembusan surat-surat dimaksud dalam ayat (1) Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara, Pimpinan masing-masing Bank milik Negara, Badan Usaha milik Negara, Bank milik Daerah, Badan Usaha milik Daerah, serta Bupati Kepala Daerah Tingkat II, membuat dan memelihara:
a. catatan perkawinan dan perceraian;
b. kartu isteri/suami.

Pasal 21
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Pasal 22
Ketentuan-ketentuan teknis pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara.

Pasal 23
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 April 1983
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 April 1983
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO, S.H.

TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI
No. 3250 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 13)

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1O TAHUN 1983
TENTANG
IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN
BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

UMUM

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menurut azas monogami, yaitu seorang pria hanya mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya mempunyai seorang suami. Namun demikian hanya apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan, seorang pria dimungkinkan beristeri lebih dari seorang apabila ajaran agama yang dianutnya mengizinkan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka perceraian sejauh mungkin dihindarkan dan hanya dapat dilakukan dalam hal-hal yang sangat terpaksa. Perceraian hanya dapat dilakukan apabila ada alasan-alasan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan.
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri.
Pegawai Negeri Sipil adalah unsur Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk dapat melaksanakan kewajiban yang demikian itu, maka kehidupan Pegawai Negeri Sipil harus ditunjang oleh kehidupan berkeluarga yang serasi, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya tidak akan banyak terganggu oleh masalah-masalah dalam keluarganya.
Sehubungan dengan contoh dan keteladanan yang harus diberikan oleh Pegawai Negeri Sipil kepada bawahan dan masyarakat, maka kepada Pegawai Negeri Sipil dibebankan ketentuan disiplin yang tinggi.Untuk melakukan perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Pejabat yang bersangkutan. Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang dan Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari seorang yang bukan Pegawai Negeri Sipil diharuskan memperoleh izin terlebih dahulu dari Pejabat. Demikian juga Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Pejabat.
Sedangkan Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.
Ketentuan berupa Keharusan memperoleh izin terlebih dahulu dari Pejabat bagi perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil tersebut tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi lembaga perkawinan dan perceraian itu sendiri.
Keharusan adanya izin terlebih dahulu tersebut mengingat yang bersangkutan mempunyai kedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Dalam Peraturan Pemerintah ini pengertian Pegawai Negeri Sipil meliputi selain Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian termasuk juga Pegawai Bulanan di samping pensiun, Pegawai Bank milik Negara, Pegawai Badan Usaha milik Negara, Pegawai Bank milik Daerah, Pegawai Badan Usaha milik Daerah, dan Kepala Desa, Perangkat Desa, serta petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di Desa.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Setiap atasan yang menerima permintaan izin untuk melakukan perceraian atau untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat, wajib memberikan pertimbangan secara tertulis kepada Pejabat. Pertimbangan itu harus memuat hal-hal yang dapat digunakan oleh Pejabat dalam mengambil keputusan, apakah permintaan izin itu mempunyai dasar yang kuat atau tidak. Sebagai bahan dalam membuat pertimbangan, atasan yang bersangkutan dapat meminta keterangan dari suami/isteri yang bersangkutan atau dari pihak lain yang dipandangnya dapat memberikan keterangan yang meyakinkan.

Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pada dasarnya, dalam rangka usaha merukunkan kembali isteri yang bersangkutan, Pejabat harus memanggil mereka secara langsung dan memberikan nesehat secara pribadi. Tetapi apabila tempat kedudukan Pejabat dan tempat suami/isteri yang bersangkutan berjauhan, maka Pejabat dapat memerintahkan Pejabat lain dalam lingkungannya untuk berusaha merukunkan kembali suami/isteri tersebut.

Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditetapkan bahwa salah satu alasan dapat terjadinya perceraian ialah salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri. Namun demikian, seorang Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perceraian karena alasan isteri tertimpa musibah tersebut tidaklah memberikan keteladanan yang baik, meskipun ketentuan peraturan perundang-undangan memungkinkannya. Oleh karena itu izin untuk bercerai dengan alasan tersebut tidak diberikan. Alasan tersebut hanyalah dapat merupakan salah satu syarat alternatif yang harus disertai syarat-syarat kumulatif lainnya bagi Pegawai Negeri Sipil untuk minta izin beristeri lebih dari seorang. (Lihat Pasal 1O ayat (2).
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 1O
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
huruf a
Yang dimaksud dengan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri, adalah apabila isteri yang bersangkutan menderita penyakit jasmaniah atau rohaniah sedemikian rupa, sehingga ia tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai isteri baik secara biologis maupun lainnya yang menurut keterangan dokter sukar disembuhkan lagi.
huruf b
Yang dimaksud dengan cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, adalah apabila isteri yang bersangkutan menderita penyakit badan yang menyeluruh yang menurut keterangan dokter sukar disembuhkan.
huruf c
Yang dimaksud dengan tidak dapat melahirkan keturunan, adalah apabila isteri yang bersangkutan menurut keterangan dokter tidak mungkin melahirkan keturunan atau sesudah pernikahan sekurang-kurangnya 1O (sepuluh) tahun tidak menghasilkan keturunan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas