Showing posts with label Pramoedya Ananta Toer. Show all posts
Showing posts with label Pramoedya Ananta Toer. Show all posts

Tuesday 15 February 2011

MANGIR - PRAMOEDYA ANANTA TOER

PARA PELAKU DRAMA
1. Wanabaya, Ki Ageng Mangir, pemuda, + 23 tahun, prajurit, pendekar, panglima Mangir, tua Perdikan Mangir, tampan, tinggi, perkasa dan gagah.
2. Baru Klinting, tetua Perdikan Mangir, pemuda, + 26 tahun, prajurit, ahli siasat, pemikir, organisator.
3. Pambayun, Putri, putri pertama Panembahan Senapati dengan permaisuri, + 16 tahun, telik Mataram, berpikiran masak.
4. Suriwang, pandai tombak, + 50 tahun, pengikut fanatik Baru Klinting.
5. Kimong, telik Mataram, + 30 tahun.
6. Tumenggung Mandaraka, pujangga dan penasihat kerajaan Mataram, + 92 tahun, kepala rombongan telik Mataram.
7. Ki Ageng Pamanahan, ayah Panembahan Senapati, + 90 tahun.
8. Pangeran Purbaya, anak pertama Panembahan Senapati, + 20 tahun.
9. Tumenggung Jagaraga, anggota rombongan telik Mataram, kepala pasukan dari 1000 orang, + 35 tahun.
10. Tumenggung Pringgalaya, anggota rombongan telik Mataram, kepala pasukan dari 1000 orang, + 45 tahun.
11. Panembahan Senapati. Raja Pertama Mataram, + 45 tahun.
12. Demang Pajang, + 42 tahun.
13. Demang Patalan, + 35 tahun.
14. Demang Pandak, + 46 tahun.
15. Demang Jodog, + 55 tahun
16. Pencerita (troubadour).
BABAK PERTAMA
PENCERITA (Troubadour) bercerita dengan iringan gendang kecil sebelum layar diangkat: Siapa belum pernah dengar Cerita lama tentang Perdikan Mangir Sebelah barat daya Mataram?
Dengar, dengar, dengar: aku punya cerita.
Tersebut Ki Ageng Mangir Tua, Tua Perdikan Wibawa ada dalam dadanya Bijaksana ada pada lidahnya Rakyat Mangir hanya tahu bersuka dan bekerja
NASKAH DRAMA
BABAK PERTAMA Drama Mangir.
Tinggal sejengkal lidah
Dijadikannya tombak pusaka
Itulah konon tombak pusaka
Si Baru Klinting….
Layar – terbuka pelan-pelan dalam tingkahan gendang pencerita, mengangakan panggung yang gelap gulita.
Pencerita – berjalan mundur memasuki panggung gelap dengan pukulan gendang semakin lemah, kemudian hilang dari panggung.
Setting – Sebuah ruang pendopo di bawah sokosoko guru terukir berwarna (polichromed), dilengkapi dengan sebuah meja kayu dan beberapa bangku kayu.
Di atas meja berdiri sebuah gendi bercucuk berwarna kehitaman. Dekat pada sebuah soko guru berdiri sebuah jagang tombak dengan tujuh bilah tombak berdiri padanya. Latar – belakang adalah dinding rumah- dalam, sebagian tertutup dengan rana kayu berukir dan sebuah ambin kayu bertilam tikar mendong.
BARU KLINTING : (duduk di sebuah bangku pada ujung meja, menoleh pada penonton). Hmm!
(Dengan perbukuan jari-jari tangan memukul pojokan meja, dalam keadaan masih menoleh pada penonton). Sini, kau Suriwang!
SURIWANG: (memasuki panggung membawa seikat mata tombak tak bertangkai, berhenti; dengan satu tangan berpegang pada sebuah sokoguru).
Inilah Suriwang, pandai tombak terpercaya Baru Klinting. (menghampiri Baru Klinting, meletakkan ikatan tombak di atas meja). Pilih mana saja, Klinting, tak bakal kau dapat mencela.
BARU KLINTING : (mencabut sebilah, melempar-tancapkan pada daun meja, mengangkat dagu): Setiap mata bikinan Suriwang sebelas prajurit Mataram tebusan.
SURIWANG : Ai-ai-ai tak bisa lain. Segala apa yang baik untuk Suriwang, lebih baik lagi untuk Klinting, laksana kebajikan menghias wanita jelita, laksana bintang menghias langit-lebih, lebih baik lagi untuk Wanabaya, Ki Ageng Mangir.
BARU KLINTING : (memberi isyarat dengan kepala). Tinggalkan yang tertancap ini. Singkirkan selebihnya di ambin sana.
SURIWANG : (mengambil ikatan mata tombak, mendekatkan mulut pada Baru Klinting).
Semua usaha kembang, bumi ditanami jadi.
Datanglah hari setelah setahun menanti
Pesta awal Sura
Ronggeng, wayang, persabungan, gelut, lomba tombak,
Dekat-jauh, tua-muda, bujang-perawan, semua datang
Di dapur Ki Ageng Mangir Tua
Habis pisau perajang terpakai.
Datang perawan Mendes mohon pada Ki Ageng:
- Pinjami si Mendes ini pisau sebilah
- Hanya tinggal belati pusaka boleh kau menggunakan, tapi jangan kau lupa
Dipangku dia jadi bahala.
Perawan Mendes terlupa belati pusaka dipangkunya
Ah, ah, bayi mendadak terkandung dalam rahimnya
Lahir ke atas bumi berwujud ular sanca
- Inilah aku, ampuni, Bunda, jasadku begini rupa
Malu pada perdikannya
Malu pada sanak tetangga
Ki Ageng lari seorang diri
Jauh ke gunung Merapi
Mohon ampun pada Yang Maha Kuasa
Ki Ageng Mangir Tua bertapa. Dia bertapa!
Datang seekor ular padanya
Melingkar mengangkat sembah – Inilah Baru Klinting sendiri.
Datang untuk berbakti
Biar menjijikkan begini
Adalah putramu sendiri.
Ki Ageng mengangkat muka
Kecewa melihat sang putra - Tiada aku berputra seekor ular
Kecuali bila berbukti
Dengan kepala sampai ekor
Dapat lingkari Gunung Merapi.
Tepat di hadapan Ki Ageng Mangir Tua
Baru Klinting lingkari Gunung Merapi
Tinggal hanya sejengkal
Lidah dijelirkan untuk penyambung
Ki Ageng memenggalnya dengan keris pusaka.
Ular lari menghilang
Mengapa tak kau perintahkan balatentara
Mangir menusuk masuk ke benteng Matarammelindas raja dan semua calonnya?
BARU KLINTING : (pergi menghindar).
SURIWANG: (membawa ikatan mata tombak, bicara pada diri sendiri). Baru Klinting! Seperti dewa turun ke bumi dari ketiadaan. (menganggukangguk).
Anak desa ahli siasat – dengan Ronggeng
Jaya Manggilingan digilingnya balatentara
Mataram, pulang ke desa membawa kemenangan.
(pada Baru Klinting). Masih kau biarkan
Panembahan Senapati berpongah dengan tahta dan mahkota?
BARU KLINTING : (bersilang tangan). Mataram takkan lagi mampu melangkah ke selatan. Kepungan Mangir sama tajam dengan mata pedang pada lehernya. Pada akhirnya bakal datang dia merangkak pada kaki kita, minta hidup dan nasi.
SURIWANG : (meletakkan ikatan tombak di atas Iantai, menghampiri Baru Klinting). Bakal datang dia merangkak pada kaki kita, minta hidup dan nasi.
BARU KLINTING : Belum mampu pandangmu menembus hari dekat mendatang? Dia akan datang – hari penghinaan itu. Kan meruap hilang impian Panembahan, jadi raja tunggal menggagahi Pulau Jawa. Bakal telanjang diri dia dalam kekalahan dan kehinaan.
SURIWANG : Ai-ai-ai tak bisa lain, Klinting. Perdikan Mangir sudah lima turunan berdiri. Lapanglah jalan bagi Sri Maharatu Dewi Suhita Majapahit.
Demak tak berani raba, Pajang tak pernah jamah. Ai-ai-ai, Panembahan Senapati, anak ingusan kemarin, kini mau coba-coba kuasai Mangir.
BARU KLINTING : Apa pula hendak kau katakan, Suriwang?
SURIWANG: Mataram bernafsu mengangkang di atas Mangir! Ai-ai-ai. Mengangkat diri jadi raja, kirimkan patihnya Singaranu – ke Mangir, Klinting, – menuntut takluk dan upeti, barang gubal dan barang jadi. Perdikan Mangir hendak
dicoba! Pulang tangan hampa, balik kembali dengan balatentara. Kau telah bikin panglima Mataram, Takih Susetya, berantakan dengan supit-urangnya. Ai-ai-ai tak bisa lain, tak bisa lain. Klinting, kau benar-benar dewa turun ke bumi – tumpas mereka dengan Ronggeng Jaya Manggilinganmu. Ke mana panglima Mataram itu kini menghilang larikan malunya?
BARU KLINTING : Bikin kau tombak tambahan – delapan ratus mata senilai ini (menuding pada mata tombak tertancap di atas meja).
SURIWANG : Delapan ratus lagi – bukan cuma Mataram, Ki Ageng Mangir Muda.
BARU KLINTING : (memperingatkan). Mangir akan tetap jadi Perdikan, tak bakal jadi kerajaan.
Semua orang boleh bersumbang suara, semua berhak atas segala, yang satu tak perlu menyembah yang lain, yang lain sama dengan semua.
SURIWANG: (mencari muka Baru Klinting). Dan tom- (a) (b) (c)
(a) Karakter tokoh Baru Klinting; (b) Karakter tokoh Putri Pambayun; (c) Karakter tokoh Wanabaya atau Ki Ageng Mangir.
bak yang delapan ratus lagi?
BARU KLINTING : Masih belum kenal kau apa itu raja? Raja jaman sekarang? Masih belum kenal kau siapa Panembahan Senapati? Mula-mula membangkang pada Sultan Pajang, ayahangkat yang mendidik-membesarkannya, kemudian membunuhnya untuk bisa marak jadi raja Mataram? Adakah kau lupa bagaimana Trenggono naik takhta, hanya melalui bangkai abangnya? Apakah kau sudah pikun tak ingat bagaimana Patah memahkotai diri dengan dusta, mengaku putra Sri Baginda Bhre Wijaya?
SURIWANG : Ai-ai-ai memang tak bisa lain, dengan modal dusta berlaku durjana… hanya untuk bisa jadi raja.
BARU KLINTING : Wanabaya, Ki Ageng Mangir Muda, tak bakal jadi raja.
SURIWANG : Tak bakal jadi raja! Buat apa pula tombak tambahan?
BARU KLINTING : Bukan buat naikkan Wanabaya ke takhta, buat tumpas semua raja dengan nafsu besar dalam hatinya, ingin berkangkang jadi yang dipertuan. Mangir tak boleh dijamah.
SURIWANG : Mangir tak boleh dijamah! Ai-ai-ai, tak bisa lain.
BARU KLINTING : Semakin banyak tombak kau tempa, semakin banyak kau bicara. Panggil sini orang baru pembikin tangkai tombak itu.
SURIWANG : (berpaling dan melambat). Sini kau, orang baru!
KIMONG : (masuk ke panggung, membungkuk-bungkuk, kemudian mengangkat sembah). Kimong, inilah sahaya.
BARU KLINTING dan SURIWANG : (mengangkat dagu dan mata membelalak).
SURIWANG: Dia bersahaya dan bersembah, Klinting.
BARU KLINTING : (meninggalkan Suriwang, pergi ke meja, mecabut mata tombak tertancap dan mengamat-amati).
SURIWANG : (menggertak). Kudengar suaramu seperti keluar dari kerongkongan orang Perdikan, bungkuk dan sembahmu benar-benar Mataram.
KIMONG : (menunduk mengapurancang). Ya, inilah Kimong, datang untuk mengabdi pada Wanabaya Ki Ageng Mangir Muda, juru tangkai tombak pekerjaan sahaya.
SURIWANG: Bicaramu panjang-panjang, lambat dan malas. Bukan tempatmu kau di Perdikan, dari kedemangan tetangga pun kau bukan!
KIMONG : Juru tangkai tombak (menyembah), ahli kayu sono keling jarang bandingan, perawat senjata pusaka lima bupati, demang dan semua nakaya….
SURIWANG : Dari mana kau?
KIMONG : Parangtritis desa sahaya.
BARU KLINTING : (memperdengarkan ketukan perbukuan jari-jari pada meja).
SURIWANG : Kau anggap gampang menipu Perdikan? (mendengus menghinakan). Berapa lama kau membudak di istana Mataram.
KIMONG : Sahaya hanya orang desa.
SURIWANG : Mengaku hanya orang desa! Kalau benar kau dari Parangtritis, berapakah jarak dari Mangir ke Laut-Kidul?
KIMONG : Tujuh ribu lima ratus langkah (menyembah).
SURIWANG : Dari Mangir ke Mataram?
KIMONG : Lima belas ribu langkah.
SURIWANG : Kau takkan balik ke Mataram, karena Laut Kidul lebih dekat untukmu.
KIMONG: Ampuni sahaya, dengar Ki Ageng butuhkan juru tangkai, bergesa sahaya datang untuk mengabdi. Inilah sahaya, tinggal si juru tangkai tombak.
SURIWANG:(mendengus).
BARU KLINTING :(setelah memeriksa tombak-tombak di jagang menghampiri Kimong dengan bersilang tangan, menggeleng-geleng, mengangkat dagu membuang pandang, tersenyum menggigit).
SURIWANG: Datang menghadap arena dengar warta. Dari mana kau dengar Ki Ageng Muda ada di Mangir?
KIMONG : Warta tertiup lalu dari desa ke desa.
SURIWANG: Tak ada mulut Mataram bisa dipercaya.
KIMONG : Orang Parangtritis sahaya, bukan mulut Mataram.
SURIWANG : Bicara kau, Minting. Bukankah tepat kata-kataku?
BARU KLINTING : Apakah kau sudah lupa pada dusta orang yang berbagi kasih pengecer cinta? Sama dustanya dengan pengabdi pada dua majikan.
SURIWANG : Pengabdi pada dua majikan. Ini dia orangnya! (menuding pada Kimong).
BARU KLINTING : Dengan mulutnya yang berdusta, hatinya setia mengabdi hanya pada diri sendiri.
SURIWANG : Ai-ai-ai tak bisa lain.
KIMONG: (bingung menatap mereka berganti-ganti).
Ah-ah.
SURIWANG : Kau mulut yang berdusta, hati hanya mengabdi pada diri sendiri, arah semua gerakan hanya harta.
BARU KLINTING : Hati dalam dadanya compangcamping, Suriwang, seperti sayap elang tua.
SURIWANG : Sedang dadanya bolong seperti tahang kosong. Di mana tempat orang berdada bolong berhati compang-camping, Klinting?
BARU KLINTING : Setidak-setidak bukan di tempat di mana tombak diberi bertangkai.
KIMONG : Sahaya ada ipar di sini, setiap waktu bisa jadi saksi.
SURIWANG : Ipar? Di antara kau dan istrimu ada ipar. Di antara kau dengan Mangir hanya ada Ma-taram. Terkutuk kau, budak raja. (pada Baru Klinting) Bukankah aku benar Klinting?
BARU KLINTING : (bersilang tangan, menganggukangguk).
SURIWANG : Antara Mangir dan Laut Kidul hanya tujuh ribu lima ratus langkah. Antara Mangir Mataram lima belas. Kau tak kembali ke Mataram, tidak berhenti di Mangir.
KIMONG : Ampuni sahaya, jangan beri sahaya Laut Kidul. Beri sahaya kayu sono keling. Empat puluh batang tangkai dalam sehari inilah tangan sahaya, sanggup kerjakan tanpa dusta.
BARU KLINTING : Hmm.
SURIWANG : (menuding pada Kimong) Keluar!
KIMONG: (keluar meninggalkan panggung disambut oleh tangan-tangan yang menangkap. Di atas tangan-tangan itu nampak beberapa tombak telanjang). Ampun! Ampuni sahaya.
BARU KLINTING : (menghampiri Suriwang, dengan isyarat mengajak kembali ke meja): Berapa saja telik dalam seminggu!
SURIWANG: Berapa kiranya yang telah kena tangkap?
BARU KLINTING : Takkan habis-habis, sebelum Mataram batal jadi kerajaan.
SURIWANG : Takkan aku lupakan, Klinting, raja dan telik laksana celeng dengan penciumannya.
BARU KLINTING :(mengambil mata tombak dari atas meja dan mempermain-mainkannya). Mataram telah mengubah diri jadi kerajaan, Suriwang, setiap kerajaan adalah negeri telik.
Panembahan Senapati bunuh ayah-angkatnya, Sultan Pajang, bukankah juga dengan telikteliknya?
Luka parah, dibawa pulang dan mati di bilik sendiri.
SURIWANG : Mangir bukan Pajang, Klinting.
Wanabaya bukan Hadiwijaya. Tua Perdikan bukan Sultan bukan raja. Telik Mataram takkan bisa kiprah di Mangir. Lolos dua empat kena!
Semua akan masuk perangkap. Huh-huh, budak raja bukan orang mardika. Seribu telik
Mataram, tak bakal bikin Mangir merangkak, seperti keong memi-kul upeti persembahan.
Klinting, bukankah tak ada orang Perdikan butuhkan raja?
BARU KLINTING : Bahkan kambing-kambingnya tak butuhkan.
SURIWANG : Baru Klinting yang jenaka.
BARU KLINTING : Di mana pun jua, Suriwang, raja jadi beban semua.
SURIWANG: Ai-ai-ai tak bisa lain, jadi beban semua.
BARU KLINTING : Seorang di atas kepala sekian laksa! Tombakmu jua yang menjungkirkannya.
SURIWANG : Ai-ai-ai tak bisa lain.
Kepala seseorang – (menongol pada tepian seben).
Baru Klinting! Para demang pemimpin rata, Demang
Patalan, Demang Jodog, Demang Pajangan dan
Demang Pandak! (Kepala seseorang itu meninggalkan panggung).
SURIWANG : Kalau para gegeduk rata berdatangan begini, Klinting, tiba saatnya buat Suriwang ini untuk minta diri. (meletakkan ikatan tombak di atas ambin. Mengusapkan telapak tangan pada dada Baru Klinting. Keluar panggung).
DEMANG PATALAN dan DEMANG JODOG :(masuk ke panggung).
DEMANG PATALAN : Kau telah lebih dulu di sini Klinting!
DEMANG JODOG : Aku lihat mata tombak di atas meja.
BARU KLINTING :(memungut mata tombak itu dan melempar-tancapkan pada daun meja): Delapan ratus lagi, harus jadi dalam sepuluh hari.
DEMANG JODOG : Kita menang, pulang, buat mengasoh dari perang. Masih juga tanganmu gerayangan bikin pekerjaan.
BARU KLINTING : Kau masih seperti di medan-perang, masih merah seperti kepiting panggang.
DEMANG JODOG : Ah, kau, Klinting, yang pandai berolok.
BARU KLINTING : Tak mengkerut kehijauan seperti sebelum bertarung lawan Mataram.
DEMANG PATALAN : (tertawa). Pada gelagat pertama, siapa tidak takut pada Mataram. Semua mengkerut kehijauan. Kalau bukan karena kau, kau goncang bangunkan untuk melawan, dan Wanabaya gemilang memimpin serang, semua kami telah ditelan Senapati.
BARU KLINTING : (tertawa terkulum).
DEMANG JODOG : Sekarang bocah angon pun bangkit melawan.
BARU KLINTING : Mana Demang Pajang dan Demang Pandak?
DEMANG JODOG : Masih di luar sana selesaikan pertengkaran.
BARU KLINTING : Kalian berdua, apakah sudah selesai?
DEMANG PATALAN : Kaulah yang selesaikan, Baru Klinting. Aku tarik pergi Demang Jodog, tinggalkan
Ki Ageng Mangir Muda di sana sendiri.
BARU KLINTING : Masih kudengar gamelan berlagu.
DEMANG JODOG : Dan masih menari dia di sana seperti gila, laksana merak jantan, kembangkan bulu kejantanan dan ketampanan; mengigal menggereki si Adisaroh penari. Patalan tidak setuju.
DEMANG PATALAN : Istilah perang bukan mestinya berganti dengan gila menari, biar pun Adisaroh secantik dewi.
DEMANG JODOG : Beri dia kesempatan – seorang perjaka tampan, berani-tangkas di medanperang, lincah di medan tari, baru lepas dari brahmacarya karena kemenangan. Beri dia kesempatan.
BARU KLINTING : Inikah pertengkaran kalian? Juga Demang Pajangan dan Pandak?
DEMANG JODOG : Demang Pajangan berpihak pada Jodog. Demang Pandak berpihak pada Patalan.
DEMANG PATALAN : Wanabaya, Ki Ageng Mangir Muda tidak semestinya terlambat datang.
Hanya karena Adisaroh penari, juga Pajangan dan Pandak terlambat datang.
DEMANG PAJANGAN dan DEMANG PANDAK : (memasuki panggung).
DEMANG PAJANGAN : Apa guna jadi pria kalau bukan untuk mendapatkan wanita?
DEMANG PANDAK : Tidak bisa. Untuk sekarang ini, tidak bisa.
DEMANG PAJANGAN : Apa guna ketampanan pada Wanabaya? Apa guna kecantikan pada Adisaroh?
DEMANG PANDAK : Tidak bisa! Tidak bisa!
DEMANG PAJANGAN : Seperti kau sendiri tak pernah jadi pria.
DEMANG PANDAK : Tak bisa! Tidak bisa!
DEMANG PATALAN : Kau lihat sendiri, Klinting, Pandak sama dengan Patalan – tak bisa terima Ki Wanabaya.
DEMANG PAJANGAN : Baru Klinting, apa warta?
BARU KLINTING : Inilah aku. Bangku-bangku telah menunggu.
DEMANG PANDAK : (pergi ke meja, mengambil gendi dan minum). Panas badan melihat Ki Wanabaya lupa daratan.
DEMANG PAJANGAN : (pergi ke meja, mengambil gendi dari tangan Pandak). Panas kepala ini, melihat Adisaroh hanya mau layani Ki Wanabaya.
DEMANG PATALAN : (mengambil alih gendi dari tangan Pajangan). Panas juga perut ini mesti menung-gu kalian begini lama.
DEMANG JODOG : (tertawa meringis mendudukkan diri di atas bangku). Semua demam panas, yang kepala, yang badan, yang perut. Hanya Jodog ini tinggal tenang, setuju Ki Wanabaya tegak habis istirah-perang, menari gila kitari si Adisaroh. Bagi yang bijaksana hanya ada tawa dan anggukan kepala. (tertawa, kemudian mengambil gendi dan minum juga).
DEMANG PATALAN : Heran aku, Klinting, belum setengah hari kau tinggalkan garis depan, pesta panen telah selesai kau persiapkan.
BARU KLINTING : Mereka yang telah teteskan keringat pada bumi ini, berhak berpesta syukur untuk Sri Dewi. Tak pernah ada tahun lewat sejak leluhur pertama buka Perdikan ini.
DEMANG JODOG : Diawali pesta ini dengan tandak di Balai Perdikan. Luar biasa, tak pernah terjadi sebelumnya.
DEMANG PATALAN : (menghampiri Demang Jodog, menariknya berdiri dari duduknya). Kau beranikan dia datangkan rombongan tandak entah dari mana asalnya, kau biarkan dia mabok kepayang, lupa darat lupa laut, lupa mula lupa wasana.
DEMANG JODOG : (menghindari menghampiri Baru Klinting).
DEMANG PATALAN : (mengikuti Demang Jodog dan menyalahkan). Lupa perang belum selesai, kemenangan mutlak belum lagi di tangan!
DEMANG JODOG : Klinting! – Seorang perjaka tampan dan bergaya, menang perang berlepas
brah-macarya, lelah perang baru pulang dari medan – apakah dia tidak berhak bersuka?
DEMANG PATALAN : Adakah kau hendak lupakan Klinting?
DEMANG PANDAK : Betul. Dia belum lagi melepas brahmacarya. Dia juga perjaka, hanya sayang tak tampan rupa. Tidak bisa, tak ada yang berhak untuk bergila, juga Wanabaya Ki Ageng Mangir Muda tidak. Tidak bisa! Tidak bisa!
DEMANG JODOG : Semua berhak bersuka, tepat pada giliran dan waktunya, juga semua prajurit di garis-depan sana.
DEMANG PATALAN : Jodog dalam hatimu ada pamrih pribadi. Kau sendiri hendak melompat pada kesempatan pertama.
DEMANG PATALAN : Semua kita telah perang. Semua punya hak untuk bersuka. Juga kau, Klinting.
DEMANG PATALAN : Kau, Klinting sang bijaksana, kaulah sekarang yang bicara.
DEMANG JODOG : Sudah lelah kami bertengkar, bicara kau, Klinting.
BARU KLINTING : Boleh saja bertengkar, hanya jangan berkelahi.
DEMANG PAJANGAN : Ada juga harganya bertengkar bertarik urat, membela Wanabaya tampan dan Adisaroh rupawan.
DEMANG PATALAN : Klinting, bukankah dalam lelah perang kita berjumpa, guna rundingkan, langsung masuk Mataram atau tidak? Mestikah acara berkisah jadi Wanabaya dengan si tandak?
BARU KLINTING : Kau Patalan, yang tinggal berbatasan langsung dengan garis depan Mataram, semua prihatin dengan kedemanganmu…
DEMANG PATALAN : Langsung masuk Mataram atau tidak?
BARU KLINTING : Akan datang masanya masuki Mataram dengan tangan berlenggang. Tidak sekarang. Senapati masih terjaga oleh berlapis- lapis balatentara, benteng batu-bata, dusun-dusun bersenjata sekitar benteng, seberangi Code, Gajah Wong sebelum sampai ke istana. Biar dulu Mataram terpagari dari selatannya…
DEMANG PATALAN : Siapa tidak percaya? Di medan perang Klinting perwira, di Perdikan Klinting bijaksana, Ronggeng Jaya Manggilingan dengan dua puluh gegeduk bikin porak-poranda Mataram. Tapi hari Mataram belum dapat dihitung dengan jari. Bukan waktunya untuk bersuka. Kerahkan balatentara Mangir, biar bersuka dalam benteng Mataram, berjoged ronggeng dalam asrama.
DEMANG PANDAK : Jangan bicara lagi tentang si tandak. Wanabaya juga hidup dari semua, tak berhak bersuka sendiri.
DEMANG JODOG : Biar betapa pun Mataram akan jatuh. Jangan biarkan Patalan dan Pandak tidak mengerti, Klinting. Biar Mataram tak bisa dihitung dengan jari, bisa dibilang dengan beberapa kali tenggelamnya matari. Bodoh nian bila tidak sembari berpesta bersukaria.
DEMANG PAJANGAN : Kau kehilangan lidahmu, Klinting.
DEMANG JODOG : Bukan kehilangan lidahnya, Klinting benar kan Wanabaya.
DEMANG PANDAK : Benarkan Wanabaya? Tidak bisa! Tidak bisa!
DEMANG JODOG : Klinting tak benarkan berhati panas serbu Mataram.
DEMANG PATALAN : Diam!
BARU KLINTING : Adakah kalian timbang, dengan menggereki si tandak, Wanabaya belah dua hatinya?
DEMANG PATALAN : Pasti belah dua, untuk perang dan untuk Adisaroh si tandak.
DEMANG PANDAK : Tidak bisa, tidak bisa, Wanabaya tetap panglima terbaik satu-satunya, hanya…
DEMANG PAJANGAN : Kau akui hak Wanabaya, Klinting? Dengan bersuka, dia akan lekang di medan-perang
DEMANG PANDAK : Tidak bi…
BARU KLINTING : Belum selesai kalian bertengkar?
DEMANG PATALAN : Baik, memang tepat pada waktunya kau bicara.
BARU KLINTING : Dengarkan sekarang. Memang Patalan di tempat terdekat dengan Mataram. Dia berhak dapatkan perhatian lebih banyak.
Mangir dan Pajangan berbentengkan sungai Bedog. Itu bukan berarti untuk Patalan semua harus pukul Mataram tanpa perhitungan.
DEMANG PATALAN : Aku mengerti, kau tak setuju itu. Tapi Ki Wanabaya bermain berahi, dalam keadaan belum selesai.
BARU KLINTING : Untuk bersuka sekedarnya tak ada celanya. Dia berhak sebagai panglima, telah selamatkan kalian semua, kedemangan dan semua rakyatnya.
DEMANG PAJANGAN : Jodog, Klinting benarkan kita.
BARU KLINTING : Aku tidak benarkan Wanabaya, selama dia hanya bersuka sekedarnya.
DEMANG PATALAN : Dia bukan sekedar bersuka. Katakan itu, Pandak.
DEMANG PANDAK : Betul dia bukan sekedar bersuka.
Nafasnya terdengar berat, matanya berpandangan jalang.
BARU KLINTING : Benarkah itu, Jodog dan Pajangan?
DEMANG JODOG : Siapa tidak terengah-engah di dekat si jelita semacam itu? Tapi sungguh mati, hati Wanabaya takkan terbelah dua.
DEMANG PANDAK : Siapa tahu hati orang? Nyatanya
nafasnya berat pandangnya jalang.
BARU KLINTING : Kalian semua sudah dengar katakataku. Kenyataan tinggal pada Wanabaya sendiri. Panggil dia kemari.
DEMANG PATALAN : Takkan beranjak dari tempat dia sebelum gong terakhir berhenti.
BARU KLINTING : Panggil dia kemari!
DEMANG JODOG : (pergi ke seben memberi perintah kemudian kembali menghampiri Baru Klinting).
Orang sudah lari memanggilnya.
DEMANG PATALAN : Mari kita periksa hatinya.
DEMANG PANDAK : Aku dengar gamelan telah berhenti.
DEMANG PATALAN : Dengarkan sebelum Wanabaya, Ki Ageng Mangir Muda, tiba. Patalan belum akan diam. Dengarkan. Dalam setiapkarya pen ting dan bahaya, Klinting, kau selalu ada di muka. Dalam setiap suka kau menghilangentah ke mana. Sekarang Wanabaya dipuncak suka, kau ragu termangu-mangu. Kaujuga perjaka, sayang tak setampan Wanabaya.
Lihat ini buktinya… (menuding ke arah jalanan).
Semua – (terdiam mengikuti arah tudingan).
BARU KLINTING danDEMANG PANDAK :(terbelalak).
DEMANG PANDAK : Nah kau lihat sendiri, Pajangan.
DEMANG JODOG : Benar ini keliru. Yang begitu tak dapat ditenggang.
DEMANG PAJANGAN : (menepuk Demang Jodog).
Bagaimana bisa jadi begitu?
Kepala seorang – (menongol dari seben): Baru
Klinting, Wanabaya, Ki Ageng Mangir Muda, datang.
(meninggalkan.panggung).
DEMANG PATALAN : Apa kau bilang sekarang, Klinting?
BARU KLINTING : (bersilang tangan memperhatikan jalanan) . Jangan sambut dia.
DEMANG PANDAK : Adakah dia dibawa kemari diajak berunding tentang perang?
DEMANG JODOG : Memang tidak patut untuk seorang panglima…
BARU KLINTING : Memang tidak patut, yang pandai berperang tapi tak pandai pimpin diri sendiri.
Diam semua sekarang, Wanabaya sudah mulai naiki tangga.
WANABAYA dan PUTRI PAMBAYUN : (memasuki panggung, bergenggaman tangan, teracukan secara demonstratif ke depan untuk dilihat semua orang).
WANABAYA : Inilah Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya, datang menggandeng tandak tanpa tandingan. (menatap mereka seorang demi seorang). Tak ada yang menyambut Ki Wanabaya? Baik Adisaroh yang jaya, berilah hormat pada para tetua Perdikan.
PUTRl PAMBAYUN : (tetap dalam gandengan Wanabaya). Inilah Adisaroh Waranggana bayaran, mengembara dari desa ke desa mencari penghidupan.
(memberi hormat dengan gerak badan).
Di belakang menyusul rombongan wiyaga.
TUMENGGUNG MANDARAKA, PANGERAN
PURBAYA, TUMENGGUNG JAGARAGA, dan
TUMENGGUNG PRINGGALAYA : (masuk ke panggung dalam pakaian samaran orang desa, berdiri di belakang Putri Pambayun, memberi hormat secara Perdikan pada tetua Perdikan).
BARU KLINTING : Dirgahayu kalian semua, Mangir selalu sambut tamu-tamunya, dengan gembira dan tulus hati. Dirgahayu Adisaroh, waranggana tanpa tara dan rombongan. (mengangkat dagu menatap Wanabaya). Dan kau, wajahmu merah seperti masih di medan-perang, menggandeng putri cantik di hadapan kami. Katakan kandungan hati, sebelum salah terka kami menebak isi dadamu.
DEMANG PATALAN, DEMANG JODOG, DEMANG PAJANGAN, dan DEMANG PANDAK : (bergerak mengelilingi Wanabaya dan Putri Pambayun, menaksir dan menimbang-nimbang).
WANABAYA : (masih tetap menggandeng Putri Pam-bayun). Kalian terlongok-longok seperti melihat naga. Mata kalian pancarkan curiga dan hati tak suka. Katakan, siapa tak suka Wanabaya datang menggandeng perawan jelita.
Katakan, ayoh katakan siapa tidak suka.
DEMANG PATALAN : (menghampiri Wanabaya).
Sungguh tidak patut, seakan Perdikan tak bisa berikan untukmu lagi.
WANABAYA : Siapa lagi akan katakan tidak patut?
DEMANG PANDAK : Tidak patut untuk seorang panglima.
DEMANG JODOG : Semula kukira sekedar bersuka.
DEMANG PAJANGAN : Benar Patalan, kalau berkembang begini rupa.
WANABAYA : Juga akan kau katakan tidak patut?
DEMANG PANDAK : Juga tidak patut untuk seorang Tua Perdikan.
DEMANG PAJANGAN : Waranggana masyhur, lenggangnya membelah bumi, lenggoknya menyesak dada, senyumnya menawan hati, tariannya menggemaskan, sekarang tingkahnya bikin susah semua orang.
WANABAYA : Siapa yang jadi susah karena dia?
DEMANG JODOG : Jantannya tampan, gagah-berani di medan-perang. Klinting, bukankah sayang kalau dia tak bisa pimpin diri sendiri.
BARU KLINTING : Wanabaya, Ki Ageng Mangir Muda, bukan hanya perkara suka atau tidak, patut atau tidak, bisa pimpin diri sendiri atau tidak, kau sendiri yang lebih tahu! Perdikan ini milik semua orang, bukan hanya Wanabaya Muda si Tua Perdikan Mangir.
WANABAYA : Kalau bukan aku yang pimpin perang, sudah kemarin dulu kalian terkapar di bawah rumput hijau.
BARU KLINTING : (tertawa, membalik badan punggungi Wanabaya).
DEMANG PATALAN : Dia lupa, semua membikin dia jadi Tua Perdikan dan panglima perang. Sendiri, Wanabaya tak ada arti, sebutir pasir berkelap- kelip sepi di bawah matari.
TUMENGGUNG MANDARAKA : Adisaroh, mari kita pergi. Mereka bertengkar karena kita.
WANABAYA : (menoleh pada Tumenggung Mandaraka).
Tak ada yang bisa larang Wanabaya di rumah ini, menggandeng Adisaroh jaya.
Adisaroh, adakah takut kau hadapi para tetua desa ini?
PUTRI PAMBAYUN : Dalam gandengan tangan Ki Wanabaya Muda, bahkan di bawah bayangbayangnya, semut pun tiada kan gentar.
WANABAYA : Benar sekali, semut pun tiada kan kecut. (mengangkat gandengan tinggi-tinggi).
Inilah Adisaroh, perawan waranggana kubawa kemari akan kuambil untuk diriku sendiri.
BARU KLINTING :(melangkah maju menghampiri Putri Pambayun). Dari mana asalmu, kau, perawan?
TUMENGGUNG MANDARAKA : Anakku dia, penari tanpa tandingan dari berpuluh desa.
BARU KLINTING : Penari tanpa tandingan dari
berpuluh desa. Siapa tak percaya? Bicara dengan
mulut-mu sendiri, kau, perawan jelita!
PUTRI PAMBAYUN : Adapun diri ini, dari sebuah
dukuh sebelah timur, seberang tujuh sungai.
WANABAYA : (menggerutu). Dia periksa Adisaroh seperti pada anaknya sendiri.
BARU KLINTING : Mengapa ikut naik ke pendopo ini?
WANABAYA : Apa guna bertanya-tanya? Ki Wanabaya sudah suka.
PUTRI PAMBAYUN : Digandeng Ki Ageng Mangir Muda begini, siapa dapat lepaskan diri?
DEMANG JODOG : (mengejek). Datang dengan Ki Ageng Mangir Muda dengan semau sendiri.
DEMANG PANDAK : Siapa yang dulu suka? Wanabaya ataukah kau?
DEMANG PAJANGAN : (pada Baru Klinting). Nampaknya dua-duanya.
DEMANG PATALAN : Memang tak ada salahnya perjaka dan perawan saling kasmaran, (menghampiri Wanabaya), tetapi Perdikan bukan milikmu pribadi.
DEMANG PANDAK : Membawa wanita milik semua pria…
TUMENGGUNG MANDARAKA : Anakku bukan tandak sembarang waranggana, dididik baik tahu adab, terlatih tahu sopan setiap waktu, setiap saat.
DEMANG PATALAN : Seperti bukan prajurit perang, tak dapat kendalikan diri lihat kecantikan, jatuh kasmaran lupa daratan.
WANABAYA : (tersenyum). Ayoh, katakan semua. Juga kau, Klinting, apa guna sembunyi di belakang lidah yang lain?
BARU KLINTING : Bicaralah kau sepuas hati.
DEMANG PATALAN : Biar kami tahu apa di hatimu, bisa kami kaji dan uji-Oh, perang belum lagi selesai,
kemenangan belum lagi terakhir… Kasmaran tandak lupa daratan, Mataram masih jaya berdiri.
WANABAYA : Mataram? Apa daya Panembahan
Senapati di hadapan Wanabaya Muda? Supit
Urangnya telah buyar tertadahi Ronggeng Jaya
Manggilingan. Hendak mengepung ganti terkepung.
Dilepaskannya Dirada Keta, gajah yang mengamuk tumpas masuk dalam perut Ronggeng.
Bila dusun-dusun luar benteng kita pukul hari ini…
TUMENGGUNG MANDARAKA : (tertawa terkekeh).
Mataram? Apa arti Mataram? Dijentik dengan kelingking kiri, akan runtuh dia seperti seungguk nasi basi.
DEMANG PANDAK : Diam kau, Pak Tua tak tahu diri.
Padamu belum ada orang tanyakan perkara.
(pada Wanabaya) Wanabaya Muda, Ki Ageng Mangir Muda, bukankah kau datang untuk dapatkan anggukan dari Baru Klinting? Tak patut kau sekasar itu padanya. Pergi kau padanya, tahu diri kalau butuh anggukan.
DEMANG PATALAN : (menggerutu). Perang pun belum diselesaikannya…
WANABAYA : (menggandeng Putri Pambayun meng-hampiri Baru Klinting): Lihatlah ini, Klinting, Ki Ageng Mangir Muda datang padamu menggandeng dara waranggana, untuk dapatkan anggukan kepala darimu, dari Baru Klinting sang bijaksana.
BARU KLINTING : Seperti Mataram miskin putri rupawan. Bedah dulu kratonnya dan kau boleh pondong semua perawannya.
WANABAYA : Yang seorang dalam gandengan tangan ini, Klinting, berlaksa lebih berharga dari semua putri, dari semua jenis wanita, di seluruh Mataram, di seluruh bumi. Wanabaya Ki Ageng Mangir Muda hanya hendaki yang ini.
DEMANG PATALAN : (menghampiri Wanabaya, menyerang). Belum lagi kau injakkan kaki di kraton Mataram – putri-putrinya tak pernah menggarap bumi, dibesarkan hanya untuk kepuasan pria, halus tak pernah kerja, tak kena sinar surya.
BARU KLINTING : Dengarkan kata Demang Patalan.
WANABAYA : Ki Ageng Mangir Muda telah dengarkan semua. Hanya yang ini di atas segala-galanya. Tak pernah Wanabaya sukai wanita. Sekali diperolehnya, tak ada yang mampu kisarkan kemauannya.
BARU KLINTING :(meninggalkan Wanabaya dan Putri Pambayun). Hanya mata buta dan hati batu tak tergiur cair lihat Adisaroh waranggana.
DEMANG PATALAN : (mengikuti Baru Klinting, menegur) Klinting!
BARU KLINTING : Apa pula kau, Patalan. Lihat, menang atas Mataram masih dalam impian, kecantikan dan kemudaan telah tergandeng di tangan.
DEMANG PATALAN : Apa kau akan berikan anggukan?
DEMANG PANDAK : (menghampiri Baru Klinting dari samping). Siapa pun takkan rela wanita sejelita itu tergenggam pria selain Wanabaya. Apakah Mataram akan jadi petaruh?
WANABAYA : Klinting, kau belum lagi memberikan anggukan kepala.
BARU KLINTING : (mendekati Putri Pambayun). Di hadapan tetua dan gegeduk rata Mangir kau gandeng Ki Wanabaya Muda. Kau, perawan dari tujuh sungai seberang timur, berapa pria telah kau remas dalam tanganmu?
PUTRI PAMBAYUN : Ini yang pertama.
BARU KLINTING : Tak patut berbohong di hadapan para tetua. Bukankah semua lihat, bukan kau, hanya Wanabaya gemetar tanpa daya dalam gandengan?
TUMENGGUNG MANDARAKA : Ki Ageng Mangir Muda yang pertama dan satu-satunya. Orang setua aku berani sumpah sampai mati. (menoleh pada rombongannya). Katakan, temanteman wiyaga.
PANGERAN PURBAYA : Sejak bayi dalam penjagaanku, sampai besar tak pernah lepas dari mataku.
TUMENGGUNG JAGARAGA : Semua pengganggu tunggang-langgang oleh lidah, oleh tanganku.
TUMENGGUNG PRINGGALAYA : Pontang-panting, lintang-pukang oleh sepakan kakiku.
DEMANG PANDAK : Bersahut-sahut seperti burung di pagi-hari.
BARU KLINTING : (bersilang tangan menghampiri rombongan wiyaga, menatap mereka seorangdemi seorang. Pada Demang Jodog). Laku mereka seperti pedagang ikan, berjual bangkai berbunga puji.
DEMANG JODOG : (berisik dengan tangan tercorong pada mulut pada Baru Klinting). Aku pun jadi curiga.
WANABAYA : Anggukanmu belum kulihat, Klinting.
Juga kalian, Pantalan, Jodog, Pandak, dan Pajangan.
Keliru kalau kalian anggap, aku datang menggandeng perawan ini, untuk mengemis sepotong kemurahan. Dara Adisaroh hanya untukku seorang. Bumi dan langit tak kan bisa ingkari. (pada Putri Pambayun). Sejak detik ini
kau tinggal di sini, jadi rembulan bagi hidupku, jadi matari untuk rumahku.
TUMENGGUNG MANDARAKA : Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya, siapa tidak gembira jadi mertua, dapatkan menantu panglima perang masyhur gagah-berani, tua Perdikan Mangir?
Hanya saja belum tepat caranya. Adisaroh anakku bukan anak burung, bisa diambil dari sarang di atas pohon.
PANGERAN PURBAYA : (meninggalkan rombongan, menghampiri Wanabaya) Sungguh tidak tepat caranya. Adisaroh bukan selembar daun kering, tertiup angin jatuh di mana saja. (pada Tumenggung Jagaraga). Aku belum bisa terima, anak momongan direnggut seperti rumput.
TUMENGGUNG JAGARAGA : Tanpa Adisaroh waranggana, nasib rombongan akan berantakan, buyar, masing-masing akan terpaksa pergi terbungkuk membawa lapar.
WANABAYA: Takkan kubiarkan kalian lapar. Seluruh rombongan jadi tanggungan di tangan Ki Ageng. Harap jangan kalian anggap rendah Wanabaya Muda. Biar bukan raja, aku masih jaya berlumbung daya.
TUMENGGUNG MANDARAKA : (berunding dengan isyarat dengan rombongangannya; terbatukbatuk minta perhatian).
WANABAYA : (pada Tumenggung Mandaraka). Bapak tua, kau lihat sendiri, Adisaroh sambut tanganku dengan suka sendiri. (memperlihatkan gandengan tangan). Wanabaya tidak lepaskan, Adisaroh mengukuhi.
TUMENGGUNG MANDARAKA : Kapan dimulai sebuah adat, orang tua disisihkan tanpa diajak damai?
DEMANG PATALAN : Lihat Klinting, mereka anggap para tetua ini angin belaka.
DEMANG PANDAK : Dan kau belum atau tidak berikan anggukan kepala.
WANABAYA : (sekali lagi mengangkat tinggi gandengan). Lihatlah ini, aku genggam tangannya, dia genggam tanganku. (memperlihatkan pada setiap orang). Siapa ingkari kenyataan ini?
BARU KLINTING : Biarkan Wanabaya curahkan isi hatinya.
TUMENGGUNG MANDARAKA : Apapun terjadi, bumi dan langit memang tak bisa ingkari, tali hubungan telah terjadi. Hanya caranya belum terpuji. (pada Putri Pambayun) Bicaralah kau, perawan, biar terdengar oleh semua tetua Perdikan.
PUTRI PAMBAYUN : (tanpa ragu-ragu). Inilah diri, dalam gandengan Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya. Telah diulurkan tangannya kepadaku, dan aku menyambutnya. Apalagi masih harus dikatakan? Hendak diambilnya aku untuk dirinya sendiri semata.
DEMANG PANDAK : Bukan begitu cara bicara perempuan desa.
PUTRI PAMBAYUN : Inilah diri, dari dukuh seberang tujuh sungai sebelah timur.
PANGERAN PURBAYA : Tak cukup hanya diambil untuk dirinya sendiri semata.
DEMANG PATALAN : Hendak diambilnya untuk dirinya sendiri semata, seakan seorang tandak pernah hanya untuk seorang saja.
PANGERAN PURBAYA : Jangan menghina! Belum lagi kami setujui maksud Ki Wanabaya Muda.
WANABAYA : (pada Tumenggung Mandaraka) Begini cara di Perdikan Mangir: semua tergantung pada yang muda, orang tua hanya setuju mengiyakan. Katakan padanya, Klinting, di sini tak ada cara lebih terpuji daripada begini.
DEMANG PATALAN : Kita semua bicara tentang nasib Mangir, nasib Mataram, hanya Wanabaya dan rombongan waranggana sibuk tawar-menawar. (pada Baru Klinting) Kau hanya punya kata-putus, putuskan sekarang juga, sebelum berlarut menjadi bencana.
BARU KLINTING : Juga Wanabaya punya hak bicara, tak semestinya kita lindas hasrat dalam hatinya.
Apa jadinya sungai yang tak boleh mengalir?
Dia akan mengamuk melandakan banjir.
DEMANG PATALAN : Tak bisa aku tunggu begini lama.
BARU KLINTING : Patalan takkan dilanda Mataram dalam sebulan ini. Lakumu seperti tertimpa kebakaran.
WANABAYA : Klinting, patutkah seorang tua Perdikan dan panglima dibiarkan menunggu begini lama?
DEMANG PANDAK : Jangan berikan anggukan.
DEMANG PATALAN : Biar Mataram lebih dulu dibereskan.
DEMANG JODOG : Kau sendiri Wanabaya Muda, mulaikah perang kau lupakan?
WANABAYA : Tak patut panglima diuji seperti itu.
DEMANG PATALAN : Menjawab pun kau tidak sudi.
Berat mana Mataram atau Adisaroh waranggana?
WANABAYA : Pertanyaan-pertanyaan ini, apakah berarti Wanabaya bukan panglima lagi?
DEMANG PATALAN : Benar kata Pajangan, menjawab pun kau tidak sudi. Kau lihat itu sendiri, Klinting.
WANABAYA : (melepas gandengan, maju menantang para demang seorang demi seorang).
Dengarkan kalian, orang-orang nyinyir, tak mengerti perkara perang. Setajam-tajamnya senjata, bila digeletakkan takkan ada sesuatu terjadi. Sebagus-bagusnya panglima perang, bila ditinggalkan senjata dan balatentara sebesar- besar pasukan akan binasa. Apakah belum mengerti ini?
BARU KLINTING : Wanabaya Muda, kau mulai memeras untuk dibenarkan, untuk dapat anggukan.
Kau yang diasuh oleh Perdikan sejak pertama kali melihat matari, hatimu mulai terbelah hanya karena waranggana.
WANABAYA: Aku datang bukan untuk dituduh diselidiki.
Aku butuhkan anggukan, bukan gelengan.
Kalau gelengan aku dapatkan jangan sesali Ki Wanabaya Muda ini.
BARU KLINTING : Ingat kalian apa aku katakan tadi?
DEMANG PANDAK : Benar, seorang panglima yang tak dapat pimpin diri sendiri…
WANABAYA : Diam kau, Pandak, Wanabaya Muda tak butuhkan suaramu.
DEMANG PATALAN : Benar hatinya telah belah dua.
DEMANG JODOG : Menyesal aku telah biarkan dia bersuka…
BARU KLINTING : Lebih berat bagimu Adisaroh waranggana.
PANGERAN PURBAYA : Adisaroh adinda, mari tinggalkan rumah sengketa ini.
WANABAYA: Diam kalian rombongan wiyaga! Kalau tak mampu bantu Adisaroh dan aku, jangan melintang di tengah jalan Ki Wanabaya Muda.
BARU KLINTING : Melihat ini, bagimu Adisaroh waranggana sama bobot dalam timbangan dengan perang. Kalau bukan berhati belah, hatimu ti-dak satu lagi.
DEMANG PATALAN : Satu hati dengan satu kesenangan.
BARU KLINTING : (menuding Wanabaya) Bagi dia perang dan Adisaroh memang kesenangan.
WANABAYA : (melepaskan gandengan pada Putri Pambayun, menghadap Baru Klinting; tapi tak keluar suara dari mulutnya).
BARU KLINTING : Demang Pajangan, bawa Adisaroh dan rombongan ke belakang, biar kita selesaikan perkara Ki Wanabaya Muda ini.
DEMANG PAJANGAN : (mengiringkan).
PUTRI PAMBAYUN, TUMENGGUNG MANDARAKA, PANGERAN PURBAYA, TUMENGGUNG JAGARAGA, dan TUMENGGUNG PRINGGALAYA : (meninggalkan panggung).
BARU KLINTING : Memalukan – seorang panglima, karena kecantikan perawan telah relakan perpecahan.
Berapa banyak perawan cantik di atas bumi ini? Setiap kali kau tergila-gila seperti seekor ayam jantan, tahu sarang tapi tak kenal kandang.
WANABAYA : Telah kalian cemarkan kewibawaan Wa-nabaya Muda di hadapan orang luar. Kalian sendiri yang relakan perpecahan.
BARU KLINTING : Jawab keangkuhannya itu Patalan!
DEMANG PATALAN : Kau kira kewibawaan datang padamu dari leluhur dan dewa-dewa? Dia datang padamu berupa pinjaman dari Perdikan Mangir, desamu.
BARU KLINTING : Tanpa Mangir desamu kau juga selembar daun yang akan luruh di mana saja.
Jatuh di Mataram kau akan ikut perangi kami.
Kebetulan di Mangir kau perangi Mataram.
DEMANG PATALAN : Dia belum mengerti, kepanglimaan bisa batal dari dirinya. Tidak percuma orang tua-tua tak boleh diabaikan pengalamannya.
DEMANG PANDAK : Kalau kita benarkan tingkahnya, semua perjaka Mangir dan desa-desa tetangga akan tiru contohnya. Semua perawan akan tinggalkan desa, mengamen cari lelaki siapa saja.
DEMANG PAJANGAN : (masuk ke panggung) Telah kutempatkan mereka di gandok sana. Adisaroh dalam bilik dalam, rawatan nenek tua.
BARU KLINTING : Perang belum lagi selesai, kau beri semua tambahan kerja. Apakah itu patut untuk seorang panglima?
WANABAYA : Sudah kudengar semua suara keluar dari mulut kalian. Juga dalam perkara ini aku seorang panglima. Jangan dikira kalian bisa belokkan Wanabaya. Sekali Wanabaya Muda hendaki sesuatu, dia akan dapatkan untuk sampai selesai.
DEMANG PATALAN : Kau tak lagi pikirkan perang.
WANABAYA : Sudah kalian lupa apa kata Wanabaya ini? Hanya setelah Wanabaya rebah di tanah dia takkan bela Perdikan lagi? Lihat, Wanabaya masih tegak berdiri.
DEMANG PANDAK : Biasanya kau rendah-hati, sehari dengan Adisaroh, kau berubah jadi pongah, tekebur bermulut nyaring, berjantung kembung.
WANABAYA : Diam, kau yang di bawah perintahku di medan perang, tidak percuma Wanabaya disebut Ki Ageng Mangir Muda, tidak sia-sia Mangir angkat dia jadi tua Perdikan dan panglima.
DEMANG JODOG : Benar, dia sudah berubah, Patalan.
WANABAYA : Suaranya yang berubah, hati dalam dadanya tetap utuh seperti Laut Kidul.
BARU KLINTING : Suaranya berubah sesuai dengan hatinya.
WANABAYA : (bergerak ke arah jagang tombak).
DEMANG PAJANGAN : (mengambill mata tombak dari atas meja dan diselitkan pada tentang perutnya).
BARU KLINTING : Apa guna kau coba dekati jagang tombak? Hanya karena wanita hendak robohkan teman sebarisan? Tidakkah kau tahu, dengan jatuhnya semua temanmu kau akan diburu-buru Mataram seperti babi hutan?
DEMANG JODOG : Tenang kau, Wanabaya. Buka hatimu, biar semua selesai sebagaimana dikehendaki.
Memang perjaka berhak dapatkan perawan, tapi bukan cara berandalan macam itu, apa pula bagi seorang panglima. Bukankah aku tidak keliru, Klinting sang bijaksana.
BARU KLINTING : (bersilang tangan, menganggukangguk).
DEMANG PANDAK : Aku masih belum bisa terima, Ki Ageng Mangir Muda mengajak bertengkar di depan orang luar hanya untuk tunjukkan wibawa, di depan Adisaroh dan rombongannya.
BARU KLINTING : Karena mudanya dia ingin berlagak kuasa, memalukan seluruh Perdikan. Tiadakah kau merasa bersalah pada teman-temanmu sendiri, kau, Ki Ageng Mangir Muda. Wanabaya?
Semua – (datang melingkari Wanabaya).
BARU KLINTING : Jawab: apakah artinya Wanabaya tanpa Perdikan tanpa balatentara? Tanpa teman- temanmu sendiri, tanpa kewibawaan yang dipinjamkan?
WANABAYA: Di atas kuda dengan tombak di tangan, bisa pimpin balatentara, menang atas Mataram, Perdikan harus berikan segala kepadaku.
BARU KLINTING : Tuntut semua untukmu di tempat lain! Ludah akan kau dapatinya pada mukamu.
Kau boleh pergi dan coba sekarang juga.
WANABAYA : (menatap para tetua seorang demi seorang). Kalian hinakan Wanabaya Muda.
BARU KLINTING : Tanpa semua yang ada, kau, jawab sendiri. Kau, Wanabaya, apa kemudian arti dirimu?
WANABAYA : (membuang muka, merenung, bicara pada diri sendiri). Sekarang mereka pun dapat usir aku. Apakah kemudian aku jadi anggota waranggana? Berjual suara dari desa ke desa?
Dari panglima jadi tertawaan setiap muka?
Adisaroh pun boleh jadi tolak diriku pula?
BARU KLINTING : Jawab, kau, kepala angin! Kau anggap semua ini bayang-bayang semata?
WANABAYA : (berendah hati). Apakah Wanabaya tak berhak punya istri?
BARU KLINTING : Hanya untuk bertanya seperti itu lagakmu seperti dunia sudah milikmu sendiri.
Jawab, kalian, pertanyaan bocah ingusan ini.
DEMANG JODOG : Tak ada yang sangkal hak setiap perjaka.
DEMANG PAJANGAN : Aku pun tak rela Adisaroh jatuh tidak di tangan kau.
DEMANG PATALAN : Juga menjadi hakmu leburkan Mataram.
WANABAYA : Dengar kalian semua: terhadap Mataram sikap Wanabaya tak berkisar barang sejari. Izinkan aku kini memperistri Adisaroh.
Tanpa mendapatkannya aku rela kalian tumpas di sini juga. Jangan usir aku, terlepas dari Perdikan ini. Beri aku anggukan, Klinting, dan kalian para tetua, gegeduk rata Mangir yang perwira. (berlutut dengan tangan terkembang ke atas pada orang-orang di hadapannya). Aku lihat tujuh tombak berdiri di jagang sana. Tembuskanlah dalam diriku, bila anggukan tiada kudapat. Dunia jadi tak berarti tanpa Adisaroh dampingi hidup ini.
BARU KLINTING : Terlalu banyak kau bicara tentang Adisaroh. Kurang tentang Mangir dan Mataram.
Siapkan tombak-tombak! Lepaskan dari sarungnya.
Para demang – mengambil tombak dari jagang, mengepung Wanabaya dengan mata tombak diacukan padanya.
BARU KLINTING : Tombak-tombak ini akan tumpas kau, bila nyata kau punggungi leluhur, berbelah hati pada Perdikan, khianati teman-teman dan semua. Bicara kau!
WANABAYA: (menatap ujung tombak satu per satu, dan mereka seorang demi seorang). Dengarkan leluhur suara darahmu di atas bumi ini, darahmu sendiri yang masih berdebar dalam tubuhku, Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya. Darah ini tetap murni, ya leluhur di alam abadi, seperti yang lain-lain, lebih dari yang lain-lain dia sedia mati untuk desa yang dahulu kau buka sendiri, untuk semua yang setia, karena dalam hati ini hanya ada satu kesetiaan. Tombak-tombak biar tumpas diri, kalau tubuh ini tak layak didiami darahmu lagi.
DEMANG PATALAN : (melemparkan tombak ke dekat rana, menolong Wanabaya berdiri).
Katakan, Adisaroh takkan bikin kau ingkar pada Perdikan.
WANABAYA : Adisaroh takkan bikin Wanabaya ingkar pada Perdikan.
BARU KLINTING : Kau akan tetap melawan Mataram.
WANABAYA : Leluhur dan siapa saja yang dengar, inilah Wanabaya, akan tetap melawan Mataram.
DEMANG PATALAN : Membela semua kedemangan sahabat Mangir.
WANABAYA: Membela semua kedemangan sahabat Mangir.
DEMANG JODOG : Dengan atau tanpa Adisaroh kau tetap setiawan.
WANABAYA : Dengan atau tanpa Adisaroh Wanabaya tetap setiawan.
DEMANG PAJANGAN : Setiawan sampai mati.
WANABAYA : Setiawan sampai mati.
DEMANG PANDAK : Baru Klinting, bukankah patut sudah dia dapat anggukan? Tunjukan matamu pada Klinting, kau, Wanabaya.
BARU KLINTING: Lihatlah betapa semua temanmu ikut pikirkan kepentinganmu.
WANABAYA : Aku telah bersalah, Baru Klinting yang bijaksana!
BARU KLINTING : Lihatlah aku. (mengangguk perlahan- lahan). Para demang – (merangkul Wanabaya)
BARU KLINTING : Pergi kau dapatkan pengantimu.
WANABAYA: (ragu meninggalkan panggung dalam iringan mata semua yang ditinggalkan).
BARU KLINTING : Kita semua masih curiga siapa waranggana dan rombongannya. Kalau ada Suriwang, dia akan bilang: Ai-ai-ai memang tak bisa lain. Tanpa Wanabaya cerita akan mengambil suara lain. Dilarang dia pun akan berkembang lain. Pukul tengara, pertanda pesta panen boleh dibuka.
Sumber: Drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer

Thursday 13 January 2011

APA KATA PRAMOEDYA???

Kata Pramoedya Untuk Dunia :
1. Keadaan seluruh dunia berubah. Sekarang apa? Negara-negara komunis pun mengakomodasi kapitalisme. Perang Dingin tidak ada lagi. Saya sendiri tetap seperti dahulu, menentang ketidakadilan dan penindasan. Bukan sekadar menentang, tetapi melawan! Melawan pelecehan kemanusiaan. Saya tidak berubah. (Nama Saya Tidak Pernah Kotor. Jawa Pos, 18 April 1999)
2. Saya tutup buku dengan kekuasaan. Mereka selalu bilang, kami tutup buku dengan napol/tapol, nah saya juga bilang begitu, tutup buku dengan kekuasaan. (Suara Independen no.3/I: Augustus 1995)
3. Saya ini kagum kepada Bung Karno. Ia sanggup melahirkan nation, bukan bangsa, tanpa meneteskan darah. Mungkin dia satu-satunya, atau paling tidak satu di antara yang sangat sedikit. Kelahiran nation itu biasanya, dimana saja, mandi darah. (Suara Independen no.3/I: Augustus 1995)
4. Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan. (Rasialisme Anti-Tiong Hoa dan Percobaan Menjawabnya: 22 Oktober 1998)
5. Dalam tahanan di RTM tahun 1960 saya mendapatkan kata baru dari dunia kriminal: brengsek. Sekarang saya dapat kata baru pula: di-aman-kan, yang berarti: dianiaya, sama sekali tidak punya sangkut-paut dengan aman dan keamanan. Sebelum itu saya punya patokan cadangan bila orang bicara denganku: ambil paling banyak 50% dari omongannya sebagai benar. Sekarang saya mendapatkan tambahan patokan: Kalau yang berkuasa bilang A, itu berarti minus A. Apa boleh buat, pengalaman yang mengajarkan. (Surat Terbuka Pramoedya Ananta Toer kepada Keith Foulcher: Jakarta, 5 Maret 1985)
6. Saya pegang ajaran Multatuli bahwa kewajiban manusia adalah menjadi manusia. (aya tidak Pernah Jadi Budak”: Tempo NO. 04/XXVIII/30 Mar - 5 April 1999)

Bumi Manusia :
1. "Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri " (Mama/Nyai Ontosoroh, hal 39)
2. "Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. (Jean Marais, hal 52)
3. "Cinta itu indah, Minke, terlalu indah, yang bisa didapatkan dalam hidup manusia yang pendek ini. (Jean Marais, 55)
4. "Tak ada cinta muncul mendadak, karena dia anak kebudayaan, bukan batu dari langit. (Jean Marais, 55)
5. "Melawan, Minke, dengan segala kemampuan dan ketakmampuan. (Jean Marais, 60)
6. "Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima. (Mama, 73)
7. "Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaran dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput. (Mama, 119)
8. "Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya , tapi tentang surga, dan jelas tidak terjadi di atas bumi kita ini. (Mama, 120)
9. "Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya . (Minke, 135)
10. "Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas. (Bunda, 138)
11. "Kau terpelajar, cobalah bersetia pada katahati. (Jean Marais, 203)
12. "Suatu bangsa yang telah mempertaruhkan jiwa-raga dan harta benda untuk segumpal pengertian abstrak bernama kehormatan. (Miriam de la Croix, 212)
13. "Melawan pada yang berilmu dan berpengetahuan adalah menyerahkan diri pada maut dan kehinaan. (Miriam de la Croix, 213)
14. "Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan. (Magda Peters, 233)
15. "Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai. (Magda Peters, 233)
16. "Tak pernah ada perang untuk perang. Ada banyak bangsa yang berperang bukan hendak keluar sebagai pemenang. Mereka turun ke medan perang dan berguguran berkeping-keping seperti bangsa Aceh sekarang ini...ada sesuatu yang dibela, sesuatu yang lebih berharga daripada hanya mati, hidup atau kalah-menang. (Jean Marais, 250)
17. "Cinta tak lain dari sumber kekuatan tanpa bendungan bisa mengubah, menghancurkan atau meniadakan, membangun atau menggalang. (Dr. Martinet, 279)

Anak Semua Bangsa :
1. "Barang siapa tidak tahu bersetia pada azas, dia terbuka terhadap segala kejahatan: dijahati atau menjahati. (Mama, 4)
2. "Nama berganti seribu kali dalam sehari, makna tetap. (Mama, 20)
3. "Kalau hati dan pikiran manusia sudah tak mampu mencapai lagi, bukankah hanya pada Tuhan juga orang berseru? (Panji Darman/Jan Dapperste, 33)
4. "Kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu. (Jean Marais, 55)
5. "Mendapat upah karena menyenangkan orang lain yang tidak punya persangkutan dengan kata hati sendiri, kan itu dalam seni namanya pelacuran? (Jean Marais, 59)
6. "Jangan kau mudah terpesona oleh nama-nama. kan kau sendiri pernah bercerita padaku: nenek moyang kita menggunakan nama yang hebat-hebat, dan dengannya ingin mengesani dunia dengan kehebatannya—kehebatan dalam kekosongan. Eropa tidak berhebat-hebat dengan nama, dia berhebat-hebat dengan ilmu pengetahuannya. Tapi si penipu tetap penipu, si pembohong tetap pembohong dengan ilmu dan pengetahuannya. (Mama, 77)
7. "Benih yang tidak sempurna akan punah sebelum berbuah. (Mama, 79)
8. "Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat. Di mana pun ada malaikat dan iblis. Di mana pun ada iblis bermuka malaikat, dan malaikat bermuka iblis. Dan satu yang tetap, Nak, abadi : yang kolonial, dia selalu iblis. (Mama, 83)
9. "Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun ? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. (Mama, 84)
10. "Dengan ilmu pengetahuan modern, binatang buas akan menjadi lebih buas, dan manusia keji akan semakin keji. Tapi jangan dilupakan, dengan ilmu-pengetahuan modern binatang-binatang yang sebuas-buasnya juga bisa ditundukkan. (Khouw Ah Soe, 90)
11. "Pernah kudengar orang kampung bilang: sebesar-besar ampun adalah yang diminta seorang anak dari ibunya, sebesar-besar dosa adalah dosa anak kepada ibunya. (Robert Suurhorf, 98)
12. "Inilah jaman modern, Minke, yang tidak baru dianggap kolot, orang tani, orang desa. Orang menjadi begitu mudah terlena, bahwa di balik segala seruan, anjuran, kegilaan tentang yang baru menganga kekuatan gaib yang tak kenyang-kenyang akan mangsa. Kekuatan gaib itu adalah deretan protozoa, angka-angka, yang bernama modal. (Miriam de La Croix, 107)
13. "Apa akan bisa ditulis dalam Melayu? Bahasa miskin seperti itu? Belang bonteng dengan kata-kata semua bangsa di seluruh dunia? Hanya untuk menyatakan kalimat sederhana bahwa diri bukan hewan. (Minke, 114)
14. "Tanpa mempelajari bahasa sendiri pun orang takkan mengenal bangsanya sendiri. (Kommer, 119)
15. "Kartini pernah mengatakan : mengarang adalah bekerja untuk keabadian. (Kommer, 121)
16. "Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit. (Kommer, 199)
17. "Kehidupan lebih nyata daripada pendapat siapa pun tentang kenyataan. (Kommer, 199)
18. "Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia. (Kommer, 204)
19. "Revolusi Perancis, mendudukkan harga manusia pada tempatnya yang tepat. Dengan hanya memandang manusia pada satu sisi, sisi penderitaan semata, orang akan kehilangan sisinya yang lain. Dari sisi penderitaan saja, yang datang pada kita hanya dendam, dendam semata...(Kommer, 204)
20. "Orang rakus harta benda selamanya tak pernah membaca cerita, orang tak berperadaban. Dia takkan pernah perhatikan nasib orang. Apalagi yang hanya dalam cerita tertulis. (Mama, 382)
21. "semua yang terjadi di kolong langit ini adalah urusan setiap orang yang berfikir. (Kommer, 390)
22. "Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana. (Kommer, 390)

Jejak Langkah
1. "...dan modern adalah juga kesunyian manusia yatim-piatu dikutuk untuk membebaskan diri dari segala ikatan yang tidak diperlukan: adat, darah, bahkan juga bumi, kalau perlu juga sesamanya. (Minke, 2)
2. "Ilmu pengetahuan, Tuan-tuan, betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia dia pun tidak berpribadi. Tetapi sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga bangsanya. (Von Kollewijn, 32)
3. "Persahabatan lebih kuat dari pada panasnya permusuhan. (Bunda/Minke, 46)
4. "Dahulu, nenek moyangmu selalu mengajarkan, tidak ada yang lebih sederhana daripada hidup: lahir, makan-minum, tumbuh, beranak-pinak dan berbuat kebajikan. (Bunda, 65)
5. "Setiap hak yang berlebihan adalah penindasan. (Minke, 82)
6. "Orang Belanda sering membisikkan: berbahagialah mereka yang bodoh, karena dia kurang menderita. Berbahagialah juga kanak-kanak yang belum membutuhkan pengetahuan untuk dapat mengerti. (Minke, 113)
7. "Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri. (Minke, 113)
8. "Apa bisa diharapkan dari mereka yang hanya bercita-cita jadi pejabat negeri, sebagai apapun, yang hidupnya hanya penantian datangnya gaji? (Minke, 163)
9. "Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya. (Minke, 202)
10. "Berbahagialah dia yang tak tahu sesuatu. Pengetahuan, perbandingan, membuat orang tahu tempatnya sendiri, dan tempat orang lain, gelisah dalam alam perbandingan. (203, Minke)
11. "Setiap permulaan memang sulit. Dengan memulai setengah pekerjaan sudah selesai, kata pepatah. (Van Heutsz, 264)
12. "...bila akar dan batang sudah cukup kuat dan dewasa, dia akan dikuatkan oleh taufan dan badai. (Raden Tomo, 277)
13. "Jangan Tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya. (Frischboten, 291)
14. "Tetapi manusia pun bisa mengusahakan lahirnya syarat-syarat baru, kenyataan baru, dan tidak hanya berenang diantara kenyataan-kenyataan yang telah tersedia. (Minke, 339)
15. "Semua ditentukan oleh keadaan, bagaimanapun seseorang menghendaki yang lain. Yang digurun pasir takkan menggunakan bahtera, yang di samudera takkan menggunakan onta. (Minke, 394)
16. "Tanpa wanita takkan ada bangsa manusia. Tanpa bangsa manusia takkan ada yang memuji kebesaranMu. Semua puji-pujian untukMu dimungkinkan hanya oleh titik darah, keringat dan erang kesakitan wanita yang sobek bagian badannya karena melahirkan kehidupan. (Minke, 430)
17. "Di balik setiap kehormatan mengintip kebinasaan. Di balik hidup adalah maut. Di balik persatuan adalah perpecahan. Di balik sembah adalah umpat. Maka jalan keselamatan adalah jalan tengah. Jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya. Jalan tengah—jalan ke arah kelestarian. (Minke, 442)

Rumah Kaca
1. "Betapa sederhana hidup ini sesungguhnya yang pelik cuma liku dan tafsirannya. (Pangemanann, 38)
2. "Nilai yang diwariskan oleh kemanusiaan hanya untuk mereka yang mengerti dan membutuhkan. Humaniora memang indah bila diucapkan para mahaguru—indah pula didengar oleh mahasiswa berbakat dan toh menyebalkan bagi mahasiswa-mahasiswa bebal. Berbahagialah kalian, mahasiswa bebal, karena kalian dibenarkan berbuat segala-galanya. (Pangemanann, 39)
3. "Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya. (Pangemanann, 46)
4. "Orang begitu tabah menghadapi kehilangan kebebasannya, akan tabah juga kehilangan segala-galanya yang masih tersisa. (Pangemanann, 53)
5. "Seorang tanpa prinsip adalah sehina-hina orang manusia setengik-tengiknya. (Pangemanann, 73)
6. "...soalnya memang kertas-kertas yang lebih bisa dipercaya. Lebih bisa dipercaya daripada mulut penulisnya sendiri. (Tuan L, 92)
7. "Setiap tulisan merupakan dunia tersendiri, yang terapung-apung antara dunia kenyataan dan dunia impian. (Pangemanann, 138)
8. "...dan apalah artinya kebahagiaan kalau bukan rangkaian kesenangan detik demi detik tanpa nurani berjingkrak-jingkrak menggugat. (Pangemanann, 141)
9. "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. (Minke, 352)
10. "Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya. (Pangemanann, 409)
11. "Sejak jaman nabi sampai kini, tak ada manusia yang bisa terbebas dari kekuasaan sesamanya, kecuali mereka yang tersisihkan karena gila. Bahkan pertama-tama mereka yang membuang diri, seorang diri di tengah-tengah hutan atau samudera masih membawa padanya sisa-sisa kekuasaan sesamanya. Dan selama ada yang diperintah dan memerintah, dikuasai dan menguasai, orang berpolitik. (Minke, 420)
12. "Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka “kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia. (Minke, 436)
13. "Pada akhirnya persoalan hidup adalah persoalan menunda mati, biarpun orang-orang yang bijaksana lebih suka mati sekali daripada berkali-kali. (Pangemanann, 443)
14. "Bagaimanapun masih baik dan masih beruntung pemimpin yang dilupakan oleh pengikut daripada seorang penipu yang jadi pemimpin yang berhasil mendapat banyak pengikut. (Pangemanann, 443)
15. "Gairah kerja adalah pertanda daya hidup; dan selama orang tidak suka bekerja sebenarnya ia sedang berjabatan tangan dengan maut. (Pangemanann, 460)

Monday 13 December 2010

Pramoedya Ananta Toer : Sang Pujangga Telah Berpulang

Pramoedya Ananta Toer : Sang Pujangga Telah Berpulang



Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia Minggu 30 April 2006 sekitar pukul 08.30 WIB di rumahnya Jl Multikarya II No.26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Sang Pujangga kelahiran Blora 6 Februari 1925 yang dipanggil Pram dan terkenal dengan karya Tetralogi Bumi Manusia, itu dimakamkan di TPU Karet Bivak pukul 15.00, Minggu 30/4. Lagu Darah Juang mengiringi prosesi pemakamannya yang dinyanyikan oleh para pengagum dan pelayat.

Sebelumnya, dia dirawat di ICU RS St Carolus Jakarta. Kemudian sejak Sabtu sekitar pukul 19.00 WIB dia meminta pulang dan dokter mengizinkan. Sastrawan yang oleh dunia internasional, sebagaimana ditulis Los Angeles Time, sering dijuluki Albert Camus Indonesia itu termasuk dalam 100 pengarang dunia yang karyanya harus dibaca sejajar dengan John Steinbejk, Graham Greene dan Bertolt Berecht.

Profil Pram juga pernah ditulis di New Yorker, The New York Time dan banyak publikasi dunia lainnya. Karya-karyanya juga sudah diterjemahkan dalam lebih dari 36 bahasa asing termasuk bahasa Yunani, Tagalok dan Mahalayam.

****

Dihargai Dunia Dipenjara Negeri Sendiri

Ia bagaikan potret seorang nabi, yang dihargai oleh bangsa lain tetapi dibenci di negerinya sendiri. Pramoedya Ananta Toer, seorang pengarang yang pantas menjadi calon pemenang Nobel. Ia telah menghasilkan belasan buku baik kumpulan cerpen maupun novel. Kenyang dengan berbagai pengalaman berupa perampasan hak dan kebebasan. Ia banyak menghabiskan hidupnya di balik terali penjara, baik pada zaman revolusi kemerdekaan, zaman pemerintahan Soekarno, maupun era pemerintahan Soeharto.

Di zaman revolusi kemerdekaan ia dipenjara di Bukit Duri Jakarta (1947-1949), dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia, yang menentang peraturan yang mendiskriminasi keturunan Tionghoa.

Setelah pecah G30S-PKI, Pramoedya yang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat - onderbouw Partai Komunis Indonesia - ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru sampai tahun 1979. Siksaan dan kekerasan adalah bagian hari-harinya di tahanan dan terpaksa kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil.

Setelah bebas pun, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan masih menjalani wajib lapor setiap minggu di instansi militer. Meskipun ia sudah ‘bebas’, hak-hak sipilnya terus dibrangus, dan buku-bukunya banyak yang dilarang beredar terutama di era Soeharto. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya.

Ia dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 oleh seorang ibu yang memberikan pengaruh kuat dalam pertumbuhannya sebagai individu. Pramoedya mengatakan bahwa semua yang tertulis dalam bukunya teinspirasi oleh ibunya. Karakter kuat seorang perempuan dalam karangan fiksinya didasarkan pada ibunya, “seorang pribadi yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun’. Ketika Pramoedya melihat kembali ke masa lalu, ia melihat “revolusi Indonesia diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan – ibunya. Meskipun karakter ibunya kuat, fisik ibunya menjadi lemah karena TBC dan meninggal pada umur 34 tahun, waktu itu Pramoedya masih berumur 17 tahun.

Setelah ibunya meninggal, Pramoedya dan adiknya meninggalkan rumah keluarga lalu menetap di Jakarta. Pramoedya masuk ke Radio Vakschool, di sini ia dilatih menjadi operator radio yang ia ikuti hingga selesai, namun ketika Jepang datang menduduki, ia tidak pernah menerima sertifikat kelulusannya. Pramoedya bersekolah hingga kelas 2 di Taman Dewasa, sambil bekerja di Kantor Berita Jepang Domei. Ia belajar mengetik lalu bekerja sebagai stenografer, lalu jurnalis.

Ketika tentara Indonesia berperang melawan koloni Belanda, tahun 1945 ia bergabung dengan para nasionalis, bekerja di sebuah radio dan membuat sebuah majalah berbahasa Indonesia sebelum ia akhirnya ditangkap dan ditahan oleh Belanda tahun 1947. Ia menulis novel pertamanya, Perburuan (1950), selama dua tahun di penjara Belanda (1947-1949).

Setelah Indonesia merdeka, tahun 1949, Pramoedya menghasilkan beberapa novel dan cerita singkat yang membangun reputasinya. Novel Keluarga Gerilya (1950) menceritakan sejarah tentang konsekuensi tragis dari menduanya simpati politik dalam keluarga Jawa selama revolusi melawan pemerintahan Belanda.

Cerita-cerita singkat yang dikumpulkan dalam Subuh (1950) dan Pertjikan Revolusi (1950) ditulis semasa revolusi, sementara Tjerita dari Blora (1952) menggambarkan kehidupan daerah Jawa ketika Belanda masih memerintah. Sketsa dalam Tjerita dari Djakarta (1957) menelaah ketegangan dan ketidakadilan yang Pramoedya rasakan dalam masyarakat Indonesia setelah merdeka. Dalam karya-karya awalnya ini, Pramoedya mengembangkan gaya prosa yang kaya akan bahasa Jawa sehari-hari dan gambar-gambar dari budaya Jawa Klasik.

Di awal tahun 50-an, ia bekerja sebagai editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka. Di akhir tahun 1950, Pramoedya bersimpati kepada PKI, dan setelah tahun 1958 ia ditentang karena tulisan-tulisan dan kritik kulturalnya yang berpandangan kiri. Tahun 1962, ia dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disponsori oleh PKI yang kemudian dicap sebagai organisasi “onderbow” atau “mantel” PKI.

Di Lekra ia menjadi anggota pleno lalu diangkat menjadi wakil ketua Lembaga Sastra, dan menjadi salah seorang pendiri Akademi Multatuli, semua disponsori oleh LEKRA. Pramoedya mengaku bangga mendapat kehormatan seperti itu, meskipun sekiranya Lekra memang benar merupakan organisasi mantel PKI.

Kemudian terjadi peristiwa rasial anti-Tionghoa semasa Indonesia telah merdeka, formal oleh negara, dalam bentuk PP 10 -1960. Buku Hoakiau di Indonesia yang diluncurkan sekarang ini, pertama diterbitkan oleh Bintang Press, 1960, merupakan reaksi atas PP 10 tersebut. Peraturan Pemerintah nomor 10 ini kemudian berbuntut panjang dengan terjadinya tindakan rasial di Jawa Barat pada 1963, yang dilakukan oleh militer Angkatan Darat. Karena buku ini pula ia dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno.

Setelah keluar dari penjara karena soal Hoakiau itu, Profesor Tjan Tjun Sin memintanya “mengajar” di Fakultas Sastra Universitas Res Publica milik Baperki, yang sekarang diubah namanya menjadi Universitas Trisaksi yang kini bukan lagi milik Baperki. Ajakan ini sempat membuatnya merasa tidak enak karena SMP saja ia tidak lulus dan belum punya pengalaman dalam mengajar. Meskipun begitu, Pramoedya mengaku menggunakan caranya sendiri. Setiap mahasiswa ia wajibkan mempelajari satu tahun koran, sejak awal abad ini. Setiap tahun ada sekitar 28 mahasiswa yang ia beri tugas itu, sehingga Perpustakaan Nasional menjadi penuh dengan mahasiswanya.

Dari para mahasiswa-mahasiswi yang sebagian terbesar WNI keturunan Tionghoa, ia menerima sejumlah informasi tentang perlakuan pihak militer terhadap keluarga mereka yang tinggal di Jawa Barat. Ternyata rasialisme formal ini ditempa oleh beberapa orang dari kalangan elit OrBa untuk meranjau hubungan antara RI dengan RRC, yang jelas, sadar atau tidak, menjadi sempalan perang-dingin yang menguntungkan pihak Barat.

Di tahun 1965-an, Suharto memimpin setelah mengambil alih pemerintahan yang didukung oleh Amerika yang tidak suka Sukarno bersekutu dengan Cina. Mengikuti cara Amerika, Suharto mulai membersihkan komunis dan semua orang yang berafiliasi dengan komunis. Suharto memerintahkan hukuman massal, tekanan masal dan memulai Rezim Orde Baru yang dikuasai oleh militer. Akibatnya, ia ikut dipenjara setelah kudeta yang dilakukan komunis tahun 1965.

Meskipun Pramoedya tidak pernah menjadi anggota PKI, ia dipenjara selama 15 tahun karena beberapa alasan: pertama, karena dukungannya kepada Sukarno, kedua, karena kritikannya terhadap pemerintahan Soekarno, khususnya ketika tahun 1959 dikeluarkan dekrit yang menyatakan tidak diperbolehkannya pedagang Cina untuk melakukan bisnis di beberapa daerah. Ketiga, karena artikelnya yang dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul HoaKiau di Indonesia. Dalam buku ini, ia mengkritik cara tentara dalam menangani masalah yang berkaitan dengan etnis Tionghoa. Pemerintah membuat skenario ‘asimilasi budaya’ dengan menghapus budaya Cina. Sekolah-sekolah Cina ditutup, buku-buku Cina dibredel, dan perayaan tahun Baru Cina dilarang.

Pada masa awal di penjara, ia diijinkan untuk mengunjungi keluarga dan diberikan hak-hak tertentu sebagai tahanan. Di masa ini, ia dan teman penjaranya diberikan berbagai pekerjaan yang berat. Hasil tulisan-tulisannya diambil darinya, dimusnahkan atau hilang. Tanpa pena dan kertas, ia mengarang berbagai cerita kepada teman penjaranya di malam hari untuk mendorong semangat juang mereka.

Pada tahun 1972, saat di penjara, Pramoedya ”terpaksa” diperbolehkan oleh rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Setelah akhirnya memperoleh pena dan kertas, Pramoedya bisa menulis kembali apalagi ada tahanan lain yang menggantikan pekerjaannya. Selama dalam penjara (1965-1979) ia menulis 4 rangkaian novel sejarah yang kemudian semakin mengukuhkan reputasinya.

Dua di antaranya adalah Bumi Manusia (1980) dan Anak Semua Bangsa (1980), mendapat perhatian dan kritikan setelah diterbitkan, dan pemerintah membredelnya, dua volume lainnya dari tetralogi ini, Jejak Langkah dan Rumah Kaca terpaksa dipublikasikan di luar negeri.

Karya ini menggambarkan secara komprehensif tentang masyarakat Jawa ketika Belanda masih memerintah di awal abad 20. Sebagai perbandingan dengan karya awalnya, karya terakhirnya ini ditulis dengan gaya bahasa naratif yang sederhana. Sementara itu, enam buku lainnya disita oleh pemerintah dan hilang untuk selamanya.

Beberapa tahun setelah dibebaskan tahun 1969, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan harus melapor setiap minggu kepada militer. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya.

Sebenarnya semenjak tahun 1960-an, minatnya yang besar pada sejarah membuatnya suka mengumpulkan berbagai artikel atau tulisan dari berbagai koran yang kemudian diklipping-nya.

Kini belasan bukunya sudah diterjemahkan lebih dari 30 puluh bahasa termasuk Belanda, Jerman, Jepang, Rusia dan Inggris. Karena prestasinya inilah ia dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh di Asia (selain Iwan Fals dari Indonesia) versi majalah Time dan telah memperoleh berrbagai penghargaan seperti PEN Freedom-to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award (dinilai dengan brilyan menonjolkan kebangkitan dan pengalaman moderen rakyat Indonesia).

Novel-novel sejarah yang dibuat oleh Pramoedya mengungkap sejarah yang tidak tercatat dalam buku-buku sejarah, yang kebanyakan jauh dari kenyataan. Seperti Nelson Mandela, ia menolak untuk memaafkan pemerintah yang telah mengambil banyak hal dalam kehidupannya. Ia khawatir bila ia mudah memaafkan, sejarah akan segera dilupakan. Ia menekankan pentingnya mengetahui sejarah seseorang sehingga orang lain tidak mengulangi kesalahan yang sama di tahun-tahun yang akan datang.

Pramoedya juga menyukai karya sastrawan lain seperti Leo Tolstoy, Anton Chekov, atau John Steinbeck. Kekagumannya pada gaya bercerita Steinbeck yang detail juga mempengaruhinya dalam menulis. Namun, Pramoedya tidak suka dengan karya Ernest Hemingway, yang dianggapnya tidak manusiawi.

Selain membuat novel, ternyata Pramoedya, pengagum peraih Nobel, Gunter Grass ini, pernah juga menyusun syair-syair puisi. ”Tapi saya sudah mulai bosan dengan perasaan,” kata anak Kepala Sekolah Instituut Boedi Oetomo, Blora. Karena itu, dia hanya membuat novel yang rasional, dan sama sekali tak menyukai sastra yang bergaya irasional.

Kini, Pram di usianya yang ke 78 tahun mengaku sudah makin kepayahan. Mencangkul yang dulu bisa dia lakukan enam hingga delapan jam hanya bisa dua jam saja. Bahkan pernah, selama dua tahun, Pram sama sekali tidak bisa mengangkat benda apa pun. Itu mulai dia sadari saat hujan datang, ketika dia masih mencangkul di kebun. Dia hanya ingin bersunyi-sunyi di kediamannya, beternak dan berkebun sembari mengenang masa lalunya di Blora, di daerah bagian kelompok masyarakat Samin yang dikenal antiperaturan kolonialis.

Dia bahkan sudah tidak menulis novel lagi dan hanya sekali-sekali menulis essai. Dalam hidupnya di tengah-tengah sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan kelas, Pramoedya masih meneruskan perjuangannya menuntut tidak hanya kebebasan menulis tetapi juga kebebasan membaca. Sekarang buku-bukunya tidak lagi dibredel, dan dapat dilihat di rak-rak buku setiap toko buku dan perpustakaan di seluruh Indonesia.

Tahun 2002, bersama musisi Iwan Fals dan Pramoedia Ananta Toer juga dinobatkan majalah Time Asia sebagai "Asian Heroes".
Nama:
Pramoedya Ananta Toer
Lahir:
Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925
Meninggal:
Jakarta, 30 April 2006
Isteri:
Maemunah Thamrin

Pendidikan:
SD Institut Boedi Oetomo (IBO), Blora
Radio Vakschool 3 selama 6 bulan, Surabaya
Kelas Stenografi, Chuo Sangi-In, satu tahun, Jakarta
Kelas dan Seminar Perekonomian dan Sosiologi oleh Drs. Mohammad Hatta, Maruto Nitimihardjo
Taman Dewasa: Sekolah ini ditutup oleh Jepang, 1942-1943
Sekolah Tinggi Islam: Kelas Filosofi dan Sosiologi, Jakarta

Pekerjaan:
Juru ketik di Kantor Berita Domei, Jakarta, 1942-1944
Instruktur kelas stenografi di Domei
Editor Japanese-Chinese War Chronicle di Domei
Reporter dan Editor untuk Majalah Sadar, Jakarta, 1947
Editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka, Jakarta, 1951-1952
Editor rubrik budaya di Surat Kabar Lentera, Bintang Timur, Jakarta, 1962-1965
Fakultas Sastra Universitas Res Publica (sekarang Trisakti), Jakarta, 1962-1965
Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai, 1964-1965

Prestasi dan Penghargaan
1951: First prize from Balai Pustaka for Perburuan (The Fugitive)
1953: Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional for Cerita dari Blora (Tales from Blora)
1964: Yamin Foundation Award for Cerita dari Jakarta (Tales form Jakarta) - declined by writer
1978: Adopted member of the Netherland Center - During Buru exile
1982: Honorary Life Member of the International P.E.N. Australia Center, Australia
1982: Honorary member of the P.E.N. Center, Sweden
1987: Honorary member of the P.E.N. American Center, USA
1988: Freedom to Write Award from P.E.N. America
1989: Deutschsweizeriches P.E.N member, Zentrum, Switzerland
1989: The Fund for Free Expression Award, New York, USA
1992: International P.E.N English Center Award, Great Britain
1995: Stichting Wertheim Award, Netherland
1995: Ramon Magsaysay Award, Philliphine
1995: Nobel Prize for Literature nomination (Pramoedya has been nominated constantly since 1981.)
1999: Honorary Doctoral Degree from University of Michigan, Ann Arbor
2000: Chevalier de l'Ordre des Arts et des Lettres Republic of France.
2000: Fukuoka Asian Culture Grand Prize, Fukuoka, Japan.

Buku:
Fiksi:
Krandji-Bekasi Djatuh, 1947
Perburuan, 1950
Keluarga Gerilya, 1950
Subuh, 1950
Pertjikan Revolusi, 1950
Mereka Jang Dilumpuhkan (Bag 1 dan 2), 1951
Bukan Pasar Malam, 1951
Di Tepi Kali Bekasi, 1951
Dia Yang Menyerah, 1951
Tjerita Dari Blora, 1952
Gulat di Djakarta, 1953
Midah Si Manis Bergigi Emas, 1954
Korupsi, 1954
Tjerita Tjalon Arang, 1957
Suatu Peristiwa di Banten Selatan, 1958
Tjerita Dari Djakarta, 1957
Bumi Manusia - HM, 1980
Anak Semua Bangsa - HM,1980
Tempo Doeloe, (ed.) - HM, 1982
Jejak Langkah - HM, 1985
Gadis Pantai - HM,1987
Hikayat Siti Mariah, (ed.) - HM,1987
Rumah Kaca - HM, 1988
Arus Balik - HM, 1995
Arok Dedes - HM, 1999
Mangir - KPG, 1999
Larasati: Sebuah Roman Revolusi - HM, 2000
Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer - KPG, 2001
Cerita Dari Digul - KPG, 2001

Non-Fiksi:
Hoakiau di Indonesia, 1960
Panggil Aku Kartini Saja I & II, 1962
Sang Pemula – HM, 1985, biografi Tirto Adhi Soerjo
Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) - HM, 1995
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I, Lentera, 1995
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II, Lentera, 1997
Kronik Revolusi Indonesia, Bag 1,2,3. 1 & 2: KPG, 1999 - 3: KPG, 2001

Karya Terjemahan ke Bahasa Indonesia
Lode Zielens, Bunda, Mengapa Kami Hidup? (Moeder, waarom leven wij?), 1947
Frits van Raalte, 1946
J.Veth, 1943
John Steinbeck, Tikus dan Manusia (Of Mice and Men), 1950
Leo Tolstoi, Kembali pada Tjinta dan Kasihmu (Return to Your Love and Affection), 1951
Leo Tolstoi, Perdjalanan Ziarah jang Aneh (Strange Pilgrimage), 1954
Mikhail Sholokhov, Kisah Seorang Pradjurit Sovjet (The Fate of a Man), 1956
Maxim Gorki, Ibunda (Mother), 1958
Ho Ching-chih & Ting Yi, Dewi Uban (The White-haired Girl), 1958
Alexander Kuprin, Asmara dari Russia (Love from Russia), 1959
Boris Polewoi, Kisah Manusia Sejati (A Story about a Real Man)
Blaise Pascal, Buah Renungan (Pensees)
Kristoferus
Albert Schweitzer

Cerita Pendek
Karena korek api. Minggoe Merdeka, 6.1, (1947): 6.
Kemana?? Pantja Raja, 5.2, (47): 141-2.
Si Pandir. Pantja Raja, 11-12.2, (47): 405-7.
Kawanku sesel. Mimbar Indonesia, 40.3, (49): 17-19.
Kemelut. Mimbar Indonesia, 14.3, (49): 17-8, 22.
Lemari antik. Mimbar Indonesia, 43-44.3, (49): 18-9.
Masa. Mimbar Indonesia, 39.3, (49): 17-20.
Anak haram. Daya, 5-6.2, (50): 98-101.
Antara laut dan keringat. Siasat, 164, 165.4, (50): 8; 6.
Blora. Indonesia, 1.2, (50): 53-64.
Bukan pasar malam. Indonesia, 6.1, (50): 23-55.
Cahaya telah padam. Siasat, 179-180.4, (50): 18-9.
Demam. Mimbar Indonesia, 32.4, (50): 26-29.
Dia yang menyerah. Poedjangga Baroe, 11-12.11, (50): 245-286.
Fajar merah. Gema Suasana, 1.3, (50): 81-96.
Hadiah kawin. Spektra, 42.1; 1.2, 3.2, (50): 27-31; 27-30; 27-30.
Hidup yang tak diharapkan. Siasat, 188 sd 193.4, (50): passim.
Inem. Mimbar Indonesia, 15.4, (50): 19-20.
Jongos + babu. Mimbar Indonesia, 2, 3.4, (50): 17-8; 17-8.
Keluarga yang ajaib. Gema Suasana, 5.3, (50): 440-8.
Kenang-kenangan pada kawan. Mimbar Indonesia, 9.4, (50): 20-1.
Lemari buku. Mimbar Indonesia, 48.4, (50): 20-1.
Mencari anak hilang. Daya, 2.2, (50): 42-4, 48.
Pelarian yang tak dicari. Mutiara, 16.2, (50): 10-1, 14-9.
Sebuah surat. Spektra, 14.2, (50): 25-30.
Berita dari Kebayoran. Mimbar Indonesia, 11.5, (51): 20-1, 26.
Idulfitri mendapat ilham. Indonesia, 6.2, (51): 17-29.
Kemudian lahirlah dia. Mimbar Indonesia, 8, 9.5, (51): 20-2; 20-2.
Yang sudah hilang. Zenith, 2.1, (51): 112-128.
Kampungku. Mimbar Indonesia, 30.6, (52): 20-1, 24, 26.
Sepku. Waktu, 5.6, (52): 7-8.
Kapal gersang. Zenith, 9.3, (53): 550-6.
Keguguran calon dramawan. Zenith, 11.3, (53): 659-71.
Tentang emansipasi buaya. Zenith, 12.3, (53): 722-30.
Kalil, si opas kantor. Kisah, 3.2, (54): 85-90.
Korupsi. Indonesia, 4.5, (54): 165-245.
Perjalanan. Mimbar Indonesia, 13.8, (54): 20-3.
Suatu pojok di suatu dunia. Prosa, 1.1, (55): 5-7.
Arya Damar. Star Weekly, 551.11, (56): 18-9.
Biangkeladi. Roman, 6.3, (56): 16-8.
Darah Pajajaran. Star Weekly, 546.11, (56): 26-7.
Djaka Tarub. Star Weekly, 562.11, (56): 15-6.
Gambir. Aneka, 3,4,5.7, (56): 12-3; 12-3, 20; 12-3, 19.
Jalan yang amat panjang. Kisah, 7-8.4, (56): 13-5.
Kecapi. Kisah, 2.4, (56): 4-5.
Kesempatan yang kesekian. Zaman baru, 5, (56): 13-8.
Ki Ageng Pengging. Star Weekly, 570.11, (56): 26-7.
Lembaga. Roman, 5.3, (56): 7-8.
Makhluk di belakang rumah. Kontjo, 5.2, (56): 20-1, 33.
Mbah Ronggo dan setan-setannya. Star Weekly, 541.11, (56): 26-8.
Nyonya dokter hewan Suharko. Roman, 9.3, (56): 4-6.
Pelukis Purbangkara. Star Weekly, 549.11, (56): 26-7.
Raden Patah dan Raden Husen. Star Weekly, 555, 556.11, (56): 38-41; 25-7.
Sekali di bulan purnama. Roman, 7.3, (56): 12-4.
Suatu kerajaan yang runtuh karena rajukan permaisuri. Star Weekly, 544.11, (56): 26-7, 35.
Sunyi-senyap di siang hidup. Indonesia, 6.7, (56): 255-268.
Tanpa kemudian. Roman, 3.3, (56): 6-7, 11.
"Djakarta," Almanak Seni 1957, Djakarta: Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional, 1956.
Kasimun yang seorang. Roman, 8.4, (57): 8-10.
Keluarga Mbah Lono Jangkung. Roman, 12.4, (57): 22-6, 42.
Shamrock Hotel 315. Roman, 10.4, (57): 5-6.
Yang cantik dan yang sakit. Pantjawarna, 120.9, (57): 16-7.
Dia yang tidak muncul. Star Weekly, 659.13, (58): 7-9.
Yang pesta dan yang tewas. Zaman Baru, 21-22, (58): 6.
Paman Martil. Jang Tak Terpadamkan (kumpulan tjerita pendek) menjambut ulang tahun ke-45 PKI. Pg. 5-27

Puisi
Antara kita. Siasat, 103.2, (49): 9.
Anak tumpah darah. Indonesia, 12.2, (51): 20.
Kutukan diri. Indonesia, 12.2, (51): 19-20.

Alamat Rumah Keluarga:
= Jalan Multi Karya II Nomor 26, Utan Kayu, Jakarta Timur

= Bojonggede, Bogor


http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/p/pramoedya-ananta-toer/index.shtml

Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer


Pramoedya Ananta Toer (lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 – meninggal di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun), secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.
Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya berdagang nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karier militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.
Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.
• 13 Oktober 1965 - Juli 1969
• Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan
• Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru
• November - 21 Desember 1979 di Magelang
Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.
Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).
Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.
Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.
Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.
Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.
Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.
Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.
Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'.
Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.
Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.
Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.
Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Sint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes.
Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29 April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya.
Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00.
Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram.
Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya.
Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun.
Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sujatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram.
Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.
• Freedom to Write Award dari PEN American Center, AS, 1988
• Penghargaan dari The Fund for Free Expression, New York, AS, 1989
• Wertheim Award, "for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people", dari The Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995
• Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognation of his illuminating with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian people", dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995
• UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violence" dari UNESCO, Perancis, 1996
• Doctor of Humane Letters, "in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom" dari Universitas Michigan, Madison, AS, 1999
• Chancellor's distinguished Honor Award, "for his outstanding literary archievements and for his contributions to ethnic tolerance and global understanding", dari Universitas California, Berkeley, AS, 1999
• Chevalier de l'Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique, Paris, Perancis, 1999
• New York Foundation for the Arts Award, New York, AS, 2000
• Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, 2000
• The Norwegian Authors Union, 2004
• Centenario Pablo Neruda, Chili, 2004
• Anggota Nederland Center, ketika masih di Pulau Buru, 1978
• Anggota kehormatan seumur hidup dari International PEN Australia Center, 1982
• Anggota kehormatan PEN Center, Swedia, 1982
• Anggota kehormatan PEN American Center, AS, 1987
• Deutschsweizeriches PEN member, Zentrum, Swiss, 1988
• International PEN English Center Award, Inggris, 1992
• International PEN Award Association of Writers Zentrum Deutschland, Jerman, 1999
Kecuali judul pertama, semua judul sudah disesuaikan ke dalam Ejaan Yang Disempurnakan.
• Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947
• Kranji–Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi
• Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949 (dicekal oleh pemerintah karena muatan komunisme)
• Keluarga Gerilya (1950)
• Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen
• Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen
• Mereka yang Dilumpuhkan (I & II) (1951)
• Bukan Pasarmalam (1951)
• Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947
• Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak ulang dalam kumpulan cerpen
• Cerita dari Blora (1952), pemenang karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953
• Gulat di Jakarta (1953)
• Midah Si Manis Bergigi Emas (1954)
• Korupsi (1954)
• Mari Mengarang (1954), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
• Cerita Dari Jakarta (1957)
• Cerita Calon Arang (1957)
• Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958)
• Panggil Aku Kartini Saja (I & II, 1963; bagian III dan IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
• Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di berbagai media; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
• Wanita Sebelum Kartini; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
• Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita bersambung, bagian pertama triologi tentang keluarga Pramoedya; terbit sebagai buku, 1987; dilarang Jaksa Agung; jilid kedua dan ketiga dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
• Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964); dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
• Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963)
• Lentera (1965), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
• Bumi Manusia (1980); dilarang Jaksa Agung, 1981
• Anak Semua Bangsa (1981); dilarang Jaksa Agung, 1981
• Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981)
• Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-Indonesia
• Jejak Langkah (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
• Sang Pemula (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
• Hikayat Siti Mariah, (ed.) Hadji Moekti, (1987); dilarang Jaksa Agung, 1987
• Rumah Kaca (1988); dilarang Jaksa Agung, 1988
• Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat, (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
• Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
• Arus Balik (1995)
• Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997)
• Arok Dedes (1999)
• Mangir (2000)
• Larasati (2000)
• Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005)

Buku tentang Pramoedya dan karyanya
• Pramoedya Ananta Toer dan Karja Seninja, oleh Bahrum Rangkuti (Penerbit Gunung Agung)
• Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer, oleh A. Teeuw (Pustaka Jaya)
• Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, oleh Eka Kurniawan (Gramedia Pustaka Utama)
• Membaca Katrologi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, oleh Apsanti Djokosujatno (Tera Indonesia)
• Pramoedya Ananta Toer dan Manifestasi Karya Sastra, Daniel Mahendra, dkk (Penerbit Malka)