Showing posts with label Puisi Populer. Show all posts
Showing posts with label Puisi Populer. Show all posts

Friday 12 November 2010

POTRET DI BERANDA

POTRET DI BERANDA

-Taufiq Ismail-



Di beranda rumah nenekku, di desa Baruh
Potretku telah tergantung 26 tahun lamanya
Bersama gambar-gambar sulaman ibuku
Dibuatnya tatkala maslh perawan

Di dapur rumah nenekku, nenekku renta
Tergolek drum tua pemasak kerupuk kulit
Di atasnya sepasang tanduk hitam berdebu
Kerbau bajak kesayangan kakekku

Kerupuk kulit telah mengirim ibuku
Sekolah ke kota, jadi guru
Padi, lobak dan kentang ditanam kakekku
Yang disulap subur dalam hidayat
Dijunjung dan dipikul ke pasar
Dalam dingin dataran tinggi
Karena ibuku yang mau jadi guru

Dan ibuku bertemu ayahku
Yang dikirim nenekku ke surau menyabit ilmu
Dengan ikan kolam, bawang dan wortel
Di ujung cangkul kakekku kukuh
Yang kembang dan berisi dalam rahmat
Terbungkuk-bungkuk dijunjung di hari pekan
Karena ayahku mau jadi guru

Maka lahirlah kami berenam
Dalam rahman
Dalam kesayangan
Dalam kesukaran

Di beranda rumah nenekku, di desa Baruh
Potretku telah tergantung 26 tahun lamanya
Bersama gambar-gambar buatan ibuku
Disulamnya tatkala masih perawan.

SURAT RICARDA HUCH (9 APRIL 1933) KEPADA PRESIDEN AKADEMI KESENIAN & ILMU PENGETAHUAN, PRUSIA

SURAT RICARDA HUCH (9 APRIL 1933) KEPADA PRESIDEN AKADEMI KESENIAN & ILMU PENGETAHUAN, PRUSIA


-Taufiq Ismail-



Tuan Presiden yang terhormat,
Terhadap pengangkatan saya sebagai anggota Akademi
Seyogyanyalah saya ucapkan terima kasih
Namun nampaknya disini perlu dijelaskan
Saya tak dapat mengabulkan kehendak Tuan

Bahwasanya seorang Jerman adalah seorang Jerman
Bahwa pakalannya, siul lagaknya
Siu] dan lagak Jerman
Adalah wajar dan layak
Tetapi, apakah makna Jerman
Dan belapa sikap Jerman
Beragam adanya pendapat dan jawaban
Apa yang diucapkan sebagai kesadaran nasional
Dewasa ini. Ialah sentralisasi, paksaan-paksaan
Cara-cara tak berkeadaban. Seribu fitnahan
Terhadap siapa yang memlliki fikiran
Lain. Dan jiwa yang habis-habisan onani!
Wahai kesombongan dan pemujian diri sendiri
Di depan bentangan peta bumi

Akademi mengatakan tak ada rintangan
Pada pendapat yang berkebebasan
Tapi semua radio, majalah dan koran
Senyap sunyi dari luasan opini
Hingar bingar oleh tunggal opini

Sikap Jerman dewasa ini, ialah
Bahana malapetaka

Jermanku. Saya mengenalmu
Terbuka, jujur dan sopan
Tapi sorak pemerintah
Sorak histeris orang-orang supernasionalis
Setiap engkau lewat di berbagai jalanan
Dalam pawai panji mengusungi slogan demi slogan
Saya bertanya ragu: betulkah engkau itu

Demikianlah. Terhadap keadaan begini
Yang meminta kesanggupan menyesuaikan diri
Maka, Tuan Presiden Akademi
Kesanggupan itu tak ada pada saya
Ini akan dimaklumi mereka yang kenal saya pribadi
Atau pembaca buku-buku saya

Bersama ini saya menyatakan diri
Keluar dari Akademi.

SURAT RICARDA HUCH (MASA PERANG 4 NOPEMBER 1941) KEPADA USKUP DARI MUNSTER, PANGERAN VON GALEN

SURAT RICARDA HUCH (MASA PERANG 4 NOPEMBER 1941) KEPADA USKUP DARI MUNSTER, PANGERAN VON GALEN


-Taufiq Ismail-



Uskup yang mulia, jika saya
Yang tidak Tuan kenal dan asing
Saya menulis surat ini, adalah
Sebagai rasa terima kasih dan hormat
Pada Tuan

Pada bangsa kita selama
Tahun-tahun terakhlr ini
Ada hal yang paling getir keadaannya
Kehilangan hak kemanusiaan
Lenyapnya rasa kemanusiaan
Dan di bawah kelabu mendung ini
Tuan Uskup telah berdiri
Menentang pengagung-agungan kezaliman
Dan tegak di pihak korban
Terang-terangan
Rupanya masih ada kesadaran bahwa
Tuntutan bersih suara hati
Lebih bernilai dari

Sejuta tepukan tangan
Wahai. Semoga Tuan akan merasa gembira
Bahwa banyak orang-orang lainnya
Terikat Tuan hati dan kalbu mereka
Walau tak terucapkan, tak bersuara
Sudilah kiranya Tuan menganggap saya
Dari orang-orang banyak itu, sebagai
Satu suara.

SUARA

SUARA

-Taufiq Ismail-


Deretkan awan, pelangi, dengan rambutmu merah-ungu
Taburkan pelan, pelangi, sepanjang lengkung lenganmu
Panorama yang kemarau teramat kering
Daunan berjuta. Angin menjadi hening

Tiada terasa lagi di mana suara memanggil-manggil
Tiada suara lagi betapa cahaya makin mengecil
Pohon-pohon redup dan berbunga di bukit dan pesisir
Kemarauku siang, dinginku maJam yang menggigil

Di sanalah dia bersimpuh, bulan yang tua dan setia
Ketika langit seolah menutup dan kau amat pucat
Di hutan selatan cahayamu pelan berlinangan
Melintas jua ke ambang pasar, pada bayang-bayang jambatan

Tiada terasa lagi di mana cahaya berhenti mengalir
Tiada bintik lagi ketika bintang dalam fajar
Dan pada pilar-pilar langit
Awan pun bersandar

Di sanalah kau bersimpuh, bulan yang tua dan setia
Setiap terasa lagi suara memanggil-manggil
Pada pilar-pilar langit. Di puncak-puncaknya
Suara Engkau yang merdu
Suara sepi yang biru.

SAJAK SEBOTOL BIR

SAJAK SEBOTOL BIR

-W.S. Rendra-



Menenggak bir sebotol,
menatap dunia,
dan melihat orang-orang kelaparan.
Membakar dupa,
mencium bumi,
dan mendengar derap huru-hara.

Hiburan kota besar dalam semalam,
sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa!
Peradaban apakah yang kita pertahankan?

Mengapa kita membangun kota metropolitan?
Dan alpa terhadap peradaban di desa?
Kenapa pembangunan menjurus kepada penumpukan,
Dan tidak kepada pengedaran?

Kota metropolitan di sini tidak tumbuh dari industri,
Tapi tumbuh dari kebutuhan negara industri asing
Akan pasaran dan sumber pengadaan bahan alam
Kota metropolitan di sini,
adalah sarana penumpukan bagi Eropa, Jepang, Cina, Amerika,
Australia, dan negara industri lainnya.

Di manakah jalan lalu lintas yang dulu?
Yang neghubungkan desa-desa dengan desa-desa?
Kini telah terlantarkan.
Menjadi selokan atau kubangan.
Jalan lalu lintas masa kini,
Mewarisi pola rencana penjajah tempo dulu,
Adalah alat penyaluran barang-barang asing dari
Pelabuhan ke kabupaten-kabupaten dan
Bahan alam dari kabupaten-kabupaten ke pelabuhan.

Jalan lalu lintas yang diciptakan khusus,
Tidak untuk petani,
Tetapi untuk pedagang perantara dan cukong-cukong.

Kini hanyut di dalam arus peradaban yang tidak kita kuasai.
Di mana kita hanya mampu berak dan makan,
Tanpa ada daya untuk menciptakan.
Apakah kita akan berhenti saampai di sini?

Apakah semua negara yang ingin maju harus menjadi negara industri?
Apakah kita bermimpi untuk punya pabrik-pabrik
Yang tidak berhenti-hentinya menghasilkan
Harus senantiasa menghasilkan….
Dan akhirnya memaksa negara lain
Untuk menjadi pasaran barang-barang kita?

Apakah pilihan lain dari industri hanya pariwisata?
Apakah pemikiran ekonomi kita
Hanya menetek pada komunisme dan kapitalisme?
Kenapa lingkungan kita sendiri tidak dikira?
Apakah kita akan hanyut saja
Di dalam kekuatan penumpukan
Yang menyebarkan pencemaran dan penggerogosan
Terhadap alam di luar dan alam di dalam diri manusia ?

Kita telah dikuasai satu mimpi
Untuk menjadi orang lain.
Kita telah menjadi asing
di tanah leluhur sendiri.
Orang-orang desa blingsatan, mengejar mimpi,
Dan menghamba ke Jakarta.
Orang-orang Jakarta blingsatan, mengejar mimpi
Dan menghamba kepada Jepang,
Eropa, atau Amerika.

DENGAN KASIH SAYANG

DENGAN KASIH SAYANG

-W.S. Rendra-


Dengan kasih sayang
Kita simpan bedil dan kelewang
Punahlah gairan pada darah

Jangan!
Jangan dibunuh pada lintah dara
Ciumlah mesra anak jadah tak berayah
Dan sumbat jarimu pada mulut peletupan
Karena darah para bajak dan perompak
Akan mudah mendidih oleh pelor

Mereka bukan tapir atau budak
Hatinya pun berurusan dengan cinta kasih
Seperti jendela yang terbuka bagi angin sejuk

Kita sering kehabisan cinta untuk mereka
Cuma membenci yang nampak rompak
Hati tak bisa berpelukan dengan hati mereka,
Terlampau terbatas pada lahiriah masing pihak

Lahiriah yang terlalu banyak meminta
Terhadap sajak yang paling utopis
Bacalah dengan senyuman yang sabar

Jangan dibenci para pembunuh
Jangan dibiarkan anak bayi mati sendiri
Kere-kere jangan mengemis lagi
Dan terhadap penjahat yang paling laknat
Pandanglah dari jendela hati yang bersih

SAJAK MATA-MATA

SAJAK MATA-MATA

-W.S. Rendra-


Ada suara bising di bawah tanah.
Ada suara gaduh di atas tanah.
Ada ucapan-ucapan kacau di antara rumah-rumah.
Ada tangis tak menentu di tengah sawah.
Dan, lho, ini di belakang saya
ada tentara marah-marah.

Apaa saja yang terjadi? Aku tak tahu.

Aku melihat kilatan-kilatan api berkobar.
Aku melihat isyarat-isyarat.
Semua tidak jelas maknanya.
Raut wajah yang sengsara, tak bisa bicara,
menggangu pemandanganku.

Apa saja yang terjadi? Aku tak tahu.

Pendengaran dan penglihatan
menyesakkan perasaan,
membuat keresahan -
Ini terjadi karena apa-apa yang terjadi
terjadi tanpa kutahu telah terjadi.
Aku tak tahu. Kamu tak tahu.
Tak ada yang tahu.

Betapa kita akan tahu,
kalau koran-koran ditekan sensor,
dan mimbar-mimbar yang bebas telah dikontrol.
Koran-koran adalah penerusan mata kita.
Kini sudah diganti mata yang resmi.
Kita tidak lagi melihat kenyataan yang beragam.
Kita hanya diberi gambara model keadaan
yang sudah dijahit oleh penjahit resmi.

Mata rakyat sudah dicabut.
Rakyat meraba-raba di dalam kasak-kusuk.
Mata pemerintah juga diancam bencana.
Mata pemerintah memakai kacamata hitam.
Terasing di belakang meja kekuasaan.
Mata pemerintah yang sejati
sudah diganti mata-mata.

Barisan mata-mata mahal biayanya.
Banyak makannya.
Sukar diaturnya.
Sedangkan laporannya
mirp pandangan mata kuda kereta
yang dibatasi tudung mata.

Dalam pandangan yang kabur,
semua orang marah-marah.
Rakyat marah, pemerinta marah,
semua marah lantara tidak punya mata.
Semua mata sudah disabotir.
Mata yangbebas beredar hanyalah mata-mata.

SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA

SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA

-W.S. RENDRA-


Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja.
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan.
Amarah merajalela tanpa alamat.
Ketakutan muncul dari sampah kehidupan.
Pikiran kusut membentuk simpul-simpul sejarah.
O, jaman edan!
O, malam kelam pikiran insan!

Koyak-moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan.
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan.
O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!

Dari sejak jaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara.
O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!

Berhentilah mencari ratu adil!
Ratu adil itu tidak ada. Ratu adil itu tipu daya!
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil.

Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara.
Bau anyir darah yag kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata:
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan,
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa,
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.

Wahai, penguasa dunia yang fana!
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?
Apakah masih akan menipu diri sendiri?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran gelap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan!

Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini.

SAJAK PEPERANGAN ABIMANYU (Untuk puteraku, Isaias Sadewa)

SAJAK PEPERANGAN ABIMANYU (Untuk puteraku, Isaias Sadewa)

-W.S. Rendra-


Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru.
Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya.
Hatinya damai,
Di dalam dadanya yang bedah dan berdarah,
Karena ia telah lunas
Menjalani kewjiban dan kewajarannya.

Setelah ia wafat
Apakah petani-petani akan tetap menderita,
Dan para wanita kampung
Tetap membanjiri rumah pelacuran di kota?
Itulah pertanyaan untuk kita yang hidup.
Tetapi bukan itu yang terlintas di kepalanya
Ketika ia tegak dengan tubuh yang penuh luka-luka.
Saat itu ia mendengar
Nyanyian angin dan air yang turun dari gunung.

Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa.
Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayatan.
Di saat badan berlumur darah,
Jiwa duduk di atas teratai.

Ketika ibu-ibu meratap
Dan mengurap rambut mereka dengan debu,
Roh ksatria bersetubuh dengan cakrawala
Untuk menanam benih
Agar nanti terlahir para pembela rakyat tertindas
Dari zaman ke zaman

ORANG-ORANG MISKIN

ORANG-ORANG MISKIN

-W.S. Rendra-


Orang-orang miskin di jalan,
Yang tinggal di dalam selokan,
Yang kalah di dalam pergulatan,
Yang diledek oleh impian,
Janganlah mereka ditinggalkan.

Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
Mengandung buah jalan raya.

Orang-orang miskin.
Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin.
Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.

Bila kamu remehkan mereka,
Di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
Dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.

Jangan kamu bilang negara ini kaya
Karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
Bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
Agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

Orang-orang miskin di jalan
Masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
Menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
Meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
Yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
Akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
Akan hinggap di gorden presidenan
Dan buku programma gedung kesenian.

Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
Bagai udara panas yang selalu ada,
Bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
Tertuju ke dada kita,
Atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
Orang-orang miskin
Juga berasal dari kemah Ibrahim

Dalam Doaku

Dalam Doaku

-Sapardi Djoko Damono-


Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang
semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening
siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening
karena akan menerima suara-suara

Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,
dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang
hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya
mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau entah dari mana

Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung
gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu
bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan
terbang lalu hinggap di dahan mangga itu

Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang
turun sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat
di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku

Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit
yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia
demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi
bagi kehidupanku

Aku mencintaimu.
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan
keselamatanmu

Yang Fana Adalah Waktu

Yang Fana Adalah Waktu

-Sapardi Djoko Damono-


Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.





Hatiku selembar daun...

Aku Ingin

Aku Ingin

-Sapardi Djoko Damono-


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada










Hatiku selembar daun...

Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari

Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari


A Morning Westward Walk

Sapardi Djoko Damono


waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang

aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan

aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang

aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.




Hatiku selembar daun...

NOKTURNO

NOKTURNO

Sapardi Djoko Damono



Kubiarkan cahaya bintang memilikimu

Kubiarkan angin yang pucat dan tak habis-habisnya

Gelisah, tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu …

Entah kapan kau bisa kutangkap

Thursday 11 November 2010

HATIKU SELEMBAR DAUN

HATIKU SELEMBAR DAUN

Sapardi Djoko Damono



hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.


Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.



Hatiku selembar daun...

PERTAPA

PERTAPA

Sapardi Djoko Damono




Jangan mengganggu:
aku, satria itu, sedang bertapa dalam sebuah gua, atau sebutir telur, atau. sepatah kata -- ah, apa ada bedanya. Pada saatnya nanti, kalau aku sudah dililit akar, sudah merupakan benih, sudah mencapai makna -- masih beranikah kau menyapaku, Saudara?


Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.




Hatiku selembar daun...

TEGAR

TEGAR

Rieke Dyah Pitaloka




Apakah tegar itu
seperti nyiur yang bergeming dalam badai,
tak beranjak dari hempasan ombak
Ataukah seperti tetes air yang tak henti
jatuh tetes demi tetes setiap waktu
mampu melubangi bebatuan
Ataukan nyanyian para pekerja
diantara deru mesin yang selalu terjaga
Barangkali…




Hatiku selembar daun...

Saut Kecil Bicara dengan Tuhan

Saut Kecil Bicara dengan Tuhan

Saut Situmorang


bocah laki laki itu
duduk sendiri
di tanah kering
di belakang rumah

diangkatnya wajahnya
yang kuning langsat
ke langit
yang kebiru biruan

matanya yang hitam
tak terpejam
asyik mengikuti gumpalan gumpalan awan
yang dihembus angin pelan pelan

dia tahu tuhan tinggal di situ
di langit biru di balik awan awan itu
karena begitulah kata Ibu
tiap kali dia bertanya ingin tahu

bocah kecil itu
masih terus memandangi langit biru
matanya yang hitam
masih terus tak terpejam

tapi dia tak mengerti
kenapa kadang kadang turun hujan ke bumi
membuat becek jalan di depan rumah
membuat dia tak boleh main di luar rumah

kalau di atas ada langit
apakah yang ada di bawah tanah ini
bocah kecil itu bertanya tanya dalam hati

mungkin di bawah tanah ini
sama seperti di atas sini, serunya dalam hati
ada pohon ada rumah rumah
ada tanah lapang di mana orang
main layang layang
dan tentu mereka mengira
di atas sini tinggal tuhan mereka!

dia mulai tersenyum
dia tahu sekarang kenapa kadang kadang turun hujan
tentu saja hujan turun dari langit
karena di atas sana tuhan sedang pesta
dan air hujan itu
tentu air yang dipakai mencuci piring gelas
sehabis pesta
sama seperti Ibu waktu cuci piring gelas
dan airnya hilang masuk ke dalam tanah

senyumnya makin lebar sekarang
dibayangkanNya anak anak mandi hujan
di bawah sana!



Hatiku selembar daun...

dengan tiga tanda seru!!!

dengan tiga tanda seru!!!

Saut Situmorang



aku melamarMu jadi istriKu
dan Kau terima dengan tiga tanda seru!!!

lihatlah!!! Tiga tanda seru menari nari
terhuyung tak mampu tahan pecahnya kata kata

dalam puisi puisi cinta
hanya untukMU!!!


Denpasar, 30 September 2001
6:45pm


Buku Puisi ‘Otobiografi’ Saut Situmorang