PENGETAHUAN, PERILAKU SEKSUAL SUKU BANGSA MARIND-ANIM
A.E. Dumatubun
Staf Dosen Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih
Abstract
In this article, the writer explain how the knowledge and the sexual behaviour of
Marind-Anim people. Structurally and functionally this knowledge and
behaviour have a meaning in their culture.
“Sperm Culture” for the Marind-Anim represent the strongness, vertility and
beauty and can be used as a “medicine” to kill their enemy. In their sperm
consep the also knew the consep of homosexuality and heterosexuality and this
knowledge can help to boost the spread of HIV/AIDS among them.
A. PENDAHULUAN
Pemilihan aspek pengetahuan dan perilaku seksual, dalam kebudayaan di Papua,
khususnya suku bangsa Marind-Anim sebagai obyek kajian dalam studi ini
dilakukan atas dua alasan pokok. Alasan pertama berupa alasan teori dan alasan
kedua berupa alasan praktis. Adapun alasan pertama didasarkan pada asumsi
bahwa aspek perilaku seksual, sangat erat dengan aspek budaya lainnya, sehingga
pemahaman tentang kebudayaan dapat dicapai melalui pengkajian aspek
pengetahuan dan perilaku seksual. Sedangkan alasan kedua berupa alasan praktis
ialah belum banyak studi tentang kebudayaan Papua khususnya suku bangsa
Marind-Anim yang menjadikan aspek pengetahuan dan perilaku seksual sebagai
tema khusus dalam kajian-kajiannya. Pemahaman tentang aspek pengetahuan dan
perilaku seksual, suku bangsa Marind-Anim sangat penting sebab berguna bagi
kebijaksanaan pembangunan di bidang kesehatan terutama didaerah-daerah yang
menjadi sasaran pengembangan kesehatan, yang berhubungan dengan penyakit
menular seksual.
Pada abad ke-20 ini para ahli antropologi mulai lebih kritis melihat secara
sempurna ciri-ciri kunci antara hubungan studi etnografi daerah-daerah dengan
masalah pengembangan “big man”, sistem perubahan kompetisi, kekerabatan, dan
heterosexualitas yang berhubungan dengan “seorang pemimpin besar”
(Lindenbaum, 1984, 1987; Feil 1987:ch.7; Herdt 1984a; Whitehead 1986; Godelier
dan Strathern 1991). Kajian ini membuat para ahli antropologi mulai melihat
daerah di sebelah selatan New Guinea (Papua) menjadi suatu perhatian tentang
masalah seksualitas ditinjau dari sesi antropologi. Daerah ini dilihat sebagai pusat
wilayah “homoseksual” dimana penduduknya dikategorikan sebagai “masyarakat
homoseksual” (Feil 1987:ch.7; Lindenbaum 1984, 1987;cf. Herdt 1984a, 1991).
Praktek nyata homoseksual dari beberapa peristiwa khusus masyarakat dapat
dikategorikan sebagai tindakan utama dari kebiasaan, adat istiadat serta
kepercayaan di sebagian besar wilayahnya. Sebagai fakta, sebagian besar
penduduk di sebelah selatan New Guinea (Papua) termasuk masyarakatnya, dimana
praktek seks berupa homoseksualitas dijadikan sebagai bagian dari upacara adat.
Hal ini dapat dilihat disepanjang pantai selatan New Guinea (Papua), bahwa
upacara adat yang berhubungan dengan heteroseksual sangat merata pada upacara
homoseksualitas atau “boy-insemination” (Knauft 1993:80).
Suatu hasil kerja yang penting dari Gilbert Herdt (1981, 1984a, 1991, 1992)
menggambarkan secara khusus tentang adat istiadat homoerotik pada orang
Melanesia. Ia menggambarkan bahwa homoseksualitas pada orang Melanesia
berbeda secara adat istiadat dan kepercayaan dengan orang luar, dalam suatu
penelitian yang dilakukan mulai pada tahun 1980. Ia menemukan bahwa
hubungan seks sebelum menikah yang menjurus pada heteroseksual itu
berkembang secara luas bila dibandingkan dengan orientasi hubungan seks secara
homoseksual. Herdt menegaskan bahwa kepercayaan-kepercayaan dan kegiatan
nyata homoseksual dan homoerotik merupakan pusat perhatian khusus kajian
antropologi. Hal ini karena analisa penting tentang adat istiadat serta kepercayaan
orang Melanesia telah banyak dikaji oleh ahli antropologi dalam beberapa periode
yang lampau. Lebih jauh Foucault (1980a:154) dan Hence menegaskan bahwa
varian-varian dari kegiatan seksual dan hubungan gender sebagai suatu dimensi
yang besar dari formasi sosio-kultural. (Knauft 1993:8). Dalam analisis Bruce M.
Knauft (1993:45) menganggap bahwa aktivitas homoseksual laki sebagai suatu
konsep termasuk dalam pandangan perubahan kompetisi, desentralisasi
kepemimpinan, perkawinan tukar yang terbatas, dan rendahnya status perempuan.
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Herdt’s (ed.1984) menegaskan bahwa inisial pada upacara homoseksualitas di
selatan New Guinea (Papua), merupakan suatu fakta, bahwa homoseksualitas
pada orang Melanesia sudah tertanam dalam jangka waktu lama di dalam
kebudayaan mereka. Lindenbaum (1984:342) memposisikan masyarakat
Pegunungan Tinggi dan dataran rendah di New Guinea (Papua) dengan
kebudayaan Melanesia, dimana ia kemukakan bahwa “kelompok semen” atau
“kelompok air mani” dari kebudayaan dataran rendah dan pegunungan tinggi
dalam beberapa “semen” atau “air mani” itu tidak mengisi aktivitas upacara dalam
kehidupan. Ia menekankan bahwa ”kelompok semen” atau “kelompok air mani”
dalam perilaku homoseksual laki muncul dalam upacara inisiasi dan masyarakat
dengan heteroseksual di belahan tengah dan barat pegunungan tinggi, pada
perubahan “air mani / semen”. (Lindenbaum 1987: 222). Analogi dari
Schiefenhovel (1990:415) mengkategorikan sebagai “sperm cultures” atau
“budaya sperma” seperti pada masyarakat Melanesia dengan bentuk praktek
upacara homoseksualitas. Lindenbaum (1987) juga berpendapat bahwa
“masyarakat homoseksual” ada pada masyarakat di selatan New Guinea (Papua),
demikian pula dengan Herdt (1991: 606) juga telah menetapkannya demikian.
Lebih jauh Herdt (1984a) menulis satu volume khusus tentang “Ritualized
Homosexuality in Melanesian” menempatkan suatu konsep yang lebih tepat
sebagai suatu gelar bagi dimensi ritual tentang praktek homoseksual.
Homoseksual pada orang Melanesia digariskan sebagai kosmologi yang baik
sebagai suatu orientasi erotik , tugas kepercayaan kehidupan yang kuat bahwa
insiminasi seks selalu mengikuti perkembangan seorang anak laki menjadi dewasa.
Praktek homoseksual selalu dilakukan bersamaan dalam praktek ritual, khusus
sebagai pelopor dalam upacara inisiasi laki-laki dalam konteks budaya keperkasaan
laki, dan menjadi suatu kegiatan yang universal dalam lingkaran kehidupan lakilaki
pada Masyarakat Melanesia, khususnya juga di sebelah selatan New Guinea
(Papua) (lihat Herdt 1984a, 1987a:ch.7, 1987b, 1991:pt.2).
Konsep Herdt tentang homoseksual orang Melanesia sebagai suatu upacara sangat
penting, karena terjadi suatu transmisi aktual tentang “semen” atau “air mani”
dalam suatu upacara orgasmus , dan dipertegas oleh Dundes (1976, 1978) bahwa
birahi homoseksual mewujudkan tingkah laku seksual secara nyata. Sejauh ini
praktek homoseksual yang ada pada “boy-insemination juga dinyatakan sebagai
upacara homoseksual. Umumnya, upacara homoseksual terdapat pada suku
bangsa-suku bangsa di sebelah pantai selatan New Guinea (Papua) antara Pantai
Kasuari Asmat, Kolepom, Marind-Anim dan beberapa tempat di sungai Fly (Papua
Niguni/PNG) dalam (Knauft 1993: 49-50).
Bruce M. Knauft (1993: 51-53) mengemukakan bahwa hubungan tidak sah dalam
bentuk persetubuhan secara heteroseksual sebelum menikah atau penerimaan
upacara heteroseksual itu nyata ada pada semua wilayah kebudayaan Papua di
daerah pantai selatan New Guinea (Papua). Kebanyakan dari praktek heteroseksual
sangat tinggi dalam kegiatan upacara, sebagaimana dikemukakan berikut ini:
(a) Diantara orang Purari, persetubuhan sebelum menikah selalu
diupacarakan secara rutin dan inti dari upacara ini yaitu pengelompokkan antara
laki dan perempuan. Upacara heteroseksualitas, khusus dinyatakan dalam
keberhasilan mengayau dan penerimaan gelang tangan kerang dari pasangan
seksual perempuan (Williams 1924:211-214; Holmes 1924:172,175)
(b) Dikalangan orang Kiwai, persetubuhan ditegaskan untuk menghasilkan
cairan seksual guna meningkatkan kesuburan. Persetubuhan dilakukan dengan
siapa saja. Dalam hubungan seksual, yang pada initinya lebih penting dalam
ritual kesuburan, mouguru, dan digabungkan dengan peristiwa lain yaitu dengan
pengelompokan heteroseksual (Landtman 1927:ch.24). Upacara persetubuhan juga
dilakukan oleh suami dan isteri yang tua guna menghasilkan cairan seksual di
dalam kepentingan spiritual yang lain.
(c) Pada orang Marind, persetubuhan secara heteroseksual sebelum menikah
banyak terdapat pada upacara, beberapa pesta adat besar untuk maksud
meningkatkan kesuburan (van Baal 1966: 808-818). Beberapa dari upacara
seksual ini dilakukan oleh lekaki yang sudah menikah dan ibu-ibu, bahkan dapat
berhubungan seksual dengan laki-laki yang memperoleh keberhasilan dengan satu
atau dua orang perempuan muda. Laporan dari A South Pacific Commission
(1952-1953, 1955) menyatakan bahwa frekuensi yang terbesar dari upacara
heteroseksualitas mengakibatkan adanya suatu tingkatan yang tinggi dalam
sterilisasi, terutama pada wanita Marind di jaman sebelum kolonial (lihat Vogel
dan Richens 1989). Orang Marind, biasanya sebelum menikah, laki dan perempuan
tinggal terpisah pada rumah laki dan rumah perempuan. Setelah dewasa, mereka
mulai mengenal, dalam suatu pesta yang berhubungan dengan upacara seksual. Hal
ini selalu dikaitkan dengan konsep religius, karena untuk meningkatkan
kesuburan adalah sangat penting. Dalam segala hal yang berhubungan dengan
kesuburan, kehidupan dalam perkawinan, membuka kebun, awal dari kegiatan
pengayauan, maka sebuah pesta yang berkaitan dengan hubungan seksual
selalu dilakukan. Upacara hubungan seks (otiv bombari) dilakukan secara religius.
Dalam peristiwa perkawinan, biasanya calon penganten perempuan harus
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
berhubungan seks terlebih dahulu dengan sepuluh laki-laki dari kerabat suaminya
sebelum diserahkan kepada suaminya. Hal ini dikaitkan dengan konsep
kesuburan, yaitu harus diberikan “cairan sperma” agar wanita tersebut subur
(Overweel, 1993:15)
(d) Diantara penduduk Trans Fly, upacara homoseksual, biasanya dilakukan
dengan menukarkan istrinya kepada laki-laki lain, itu menjadi kenyataan
(Williams 1936: 24,159-160).
(e) Pada orang Kolepom, hubungan seksual dalam upacara, biasanya antara
seorang laki yang sudah menikah dengan seorang perempuan puber yang
memasuki masa dewasa dalam suatu inisiasi. Hubungan seksual sebagai suatu
pelengkap dalam upacara inisiasi untuk membuktikan bahwa ia telah dewasa.
Sedangkan hubungan seks secara heteroseksual dapat dilakukan dengan siapa saja
diantara wanita yang telah menikah, setelah mengakhiri suatu kegiatan pesta
kematian, dan kegiatan mengayau (Serpenti 1968,1977, 1984)
(f) Dikalangan orang Asmat, terjadi penukaran istri dengan lelaki yang
disenangi, kadang-kadang dalam jumlah kecil pada suatu upacara. Secara umum
persetubuhan secara heteroseksual bebas dengan wanita pilihannya, yang
menghias dirinya dalam mengikuti kegiatan mengayau. Di lain pihak hubungan
seks terjadi setelah laki-laki bebas dari rumah laki-laki, dan pada saat
diadakan pengukiran patung nenek moyang (bis), (Zegwaard dan Boelaars 1982:
21-23; Eyde 1967: 205-210; Schneebaum 1988: 83; Kuruwaip 1984: 14; Sowada
1961: 95; van Kampen 1956: 73-76).
Bukan saja alasan-alasan teori seperti tersebut di atas yang menjadi sebab untuk
melakukan studi ini, karena ada juga alasan-alasan yang bersifat lebih praktis.
Dengan didasarkan pada pengetahuan, dan perilaku seksual dan lebih
menjurus pada praktek-praktek ritual , struktur sosial, serta aktivitas-aktivitas pesta
dan status kepemimpinan berdasarkan kegiatan pengayauan menurut struktur
kebudayaan, membawa pada pertanyaan pokok: “Bagaimana bentuk perilaku
seksual suku bangsa Marind-Anim”? Pertanyaan-pertanyaan ini menimbulkan
pertanyaan seperti; bagaimana suatu sistem perilaku seksual terbentuk serta
berfungsi dan faktor-faktor apa yang turut mendukungnya sehingga perilaku
seksual tersebut berkembang. Dengan didasarkan pada alasan-alasan tersebut
yang telah dikemukakan di atas, maka studi ini bertujuan memberikan suatu
deskripsi dan penjelasan tentang sistem pengetahuan, dan perilaku seksual yang
ada pada suku bangsa Marind-Anim berkenaan dengan berkembangnya penularan
PMS dan HIV/AIDS yang semakin tinggi di Papua khususnya di kabupaten
Merauke.
B. KONSEP KEBUDAYAAN DAN PERILAKU SEKSUAL
Sub disiplin antropologi kesehatan boleh dikatakan masih relatif muda
dibandingkan dengan usia disiplin antropologi sendiri, namun sejak munculnya
spesialisme ini hingga sekarang telah dikembangkan sejumlah model analisis
untuk mengkaji fenomena kesehatan. Sejak awal tujuan utama dari sub disiplin ini
ialah mengembangkan pemahaman fenomena kesehatan dalam kerangka
kebudayaan tertentu, artinya apa makna serta fungsi kesehatan sebagai salah satu
aspek budaya yang membentuk suatu kebudayaan. Hingga kini telah
dikembangkan pendekatan atau model analisis dalam kajian kesehatan khususnya
seksualitas, yang antara lain adalah dengan pendekatan analisis kebudayaan;
model evolusi; model struktural-fungsionalisme; model konflik; dan model
interaksi simbolik. Penjelasan yang lebih rinci tentang pendekatan-pendekatan dan
model analisis tersebut banyak dilakukan oleh ahli-ahli antropologi dan sosiologi.
Dalam rangka studi seksualitas ini, dipilih dua pendekatan, yaitu pendekatan
kebudayaan dan pendekatan struktural-fungsionalisme. Pemilihan dua pendekatan
ini didasarkan atas sifat studi ini sendiri, yaitu studi tentang pengetahuan, dan
perilaku seksualitas untuk memahami dan mempelajari dimensi masyarakat tentang
seksualitas.
Sebelum menjelaskan pendekatan-pendekatan tersebut di atas ada baiknya terlebih
dahulu menjelaskan konsep yang menjadi konsep dasar dalam pendekatan ini.
Konsep seksualitas seperti yang dijelaskan (Kottak, 1979:249-250; Bock,1979:85-
92; Howard,1993:171-180; Gross,1992:333-342; Ferraro,1995:222-238) yang
dikaji berdasarkan analisa Scholars, bahwa ekspresi seksual itu ditentukan oleh
faktor biologi, dimana terjadi perbedaan keseimbangan hormon heteroseksual dari
homoseksual. Tetapi semua kebudayaan dimana nilai homoseksual melebihi
heteroseksual, kadangkala ada pada beberapa orang dalam waktu dan tempat
tertentu, berdasarkan karakteristik hormon yang abnormal. Perbedaan antara
pilihan seksual dan tingkah laku seksual tergantung pada perbedaan lingkungan
alam dan kebudayaan bukan pada variasi biologi. Studi yang dilakukan oleh
Clellan S. Ford dan Frank A. Beach (1951) di dalam studi lintas kebudayaan
“Patterns of Sexual Behavior”, menemukan bahwa suatu variasi yang luas dalam
bentuk-bentuk seksual terdapat dalam kebudayaan. Untuk dapat memahami
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
bagaimana refleksi praktek seksual dipelajari, kami dapat berhubungan dengan
variasi sosio-kultural dalam sikap tentang masturbasi, interspecific sex, dan
homoseksualitas. Suatu keputusan sosial tentang homoseksual, masturbasi dan sifat
interspecific sex dalam kebudayaan itu berbeda satu sama lainnya. Menurut
beberapa ahli, (Ford, Beach, Howard, Ferraro, Gross, Bock), bahwa sebagian besar
perilaku homoseksual tinggi di kalangan perempuan berdasarkan kebudayaan.
Dengan didasarkan pada beberapa pendapat para ahli tersebut di atas, dapat
dikatakan bahwa faktor seksualitas tidak hanya ditentukan oleh kematangan
biologis saja, tetapi faktor kebudayaan dan lingkungan sangat besar pengaruhnya
dalam menentukan perilaku seksual individu-individu terutama dalam perilaku
homoseksual, heteroseksual, masturbasi, dan sifat interspecific sex. Berdasarkan
konteks kebudayaan dalam membentuk perilaku seksual individu-individu
penyandang kebudayaannya, maka perlu dianalisis bagaimana interpretasi perilaku
seksual dilihat berdasarkan pendekatan kebudayaan. Dalam model analisis
kebudayaan lebih ditekankan pada “ideasionalisme” (ideationalism)
(Keesing,1981; Sathe,1985). Berbicara tentang perilaku seksual menurut
kebudayaan, maka unsur pengetahuan merupakan dasar utama pada perilaku
seksual individu. Pengetahuan merupakan unsur yang mengisi akal dan alam jiwa
seseorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya. Dari
pengetahuan tersebut akan melahirkan berbagai dorongan naluri seperti halnya
dorongan sex yang timbul pada tiap individu yang normal tanpa terkena pengaruh
pengetahuan, dan memang dorongan ini mempunyai landasan biologi yang
mendorong mahluk manusia untuk membentuk keturunan guna melanjutkan
jenisnya (Koentjaraningrat,1980:117-124). Hal ini secara kebudayaan didukung
dalam satu sistem kognitif seperti dikemukakan oleh (Goodenough, dalam Casson,
1981:17) bahwa kebudayaan adalah suatu sistem kognitif, itu berarti suatu sistem
yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai dan yang berada dalam
pikiran anggota-anggota individu masyarakat. Bila dikaji lebih lanjut, hal ini berarti
kebudayaan berada dalam “tatanan kenyataan yang ideasional” atau kebudayaan
merupakan perlengkapan mental yang oleh anggota-anggota masyarakat
dipergunakan dalam proses-proses orientasi, transaksi, perumusan gagasan,
penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial nyata dalam masyarakat.
Lebih jauh (Sathe, 1985:10) sebagai penganut ideasionalisme mengemukakan
bahwa “ kebudayaan terdiri dari gagasan-gagasan dan asumsi-asumsi penting yang
dimiliki suatu masyarakat dan mempengaruhi komunikasi, pembenaran, dan
perilaku anggota-anggotanya”
Pada gilirannya dilandasi pada pemahaman budaya dengan berbagai konsep seperti
“dimensi kognitif”, “pengetahuan”, “materi ideasional” atau “fenomena mental”
yang dikemukakan oleh Goodenough, Keesing dan Moore, Barth dan Vayda
(dalam Borofsky, 1994) itu terwujud dalam aktivitas individu atau kelompok.
Perwujudan budaya dalam praktek dimaksudkan bahwa ide, pengetahuan,
keyakinan, nilai, tujuan dan keinginan akan membimbing dan menentukan tindakan
setiap pelaku seksual yang pada gilirannya bisa membawa akibat yang diinginkan
atau tidak diinginkan.
Teori yang berkaitan dengan idesionalisme menekankan konsep utama adalah
kebudayaan, bukan perilaku, tetapi perilaku merupakan konsekuensi logis yang
tidak terpisahkan dari kebudayaan. Bila dikaitkan dengan pendapat James P.
Spradley (1997-11), seorang aliran antropologi kognitif menjelaskan bahwa
kebudayaan adalah sebagai sistem pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan
orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku
sosial sekeliling mereka, dan sekaligus untuk menyusun strategi perilaku dalam
menghadapi dunia sekeliling mereka. Ini berati bahwa dengan membatasi defenisi
kebudayaan dengan pengetahuan yang dimiliki bersama, kita tidak menghilangkan
perhatian pada tingkah laku, adat, objek, atau emosi. Sedangkan konsep
kebudayaan sebagai sistem simbol yang mempunyai makna banyak, mempunyai
persamaan dengan interaksionisme simbolik, sebuah teori yang berusaha
menjelaskan tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan makna interaksionisme
simbolik berakar dari karya Cooley, Mead, dan Thomas. Berdasarkan hal tersebut
maka Blumer (1969) (1997:6-8) mengidentifikasikan tiga premis sebagai landasan
teori, yaitu (1) premis pertama, manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna
yang diberikan oleh berbagai hal itu bagi mereka. Misalnya para pelaku seksual
melakukan berbagai hal atas dasar makna yang terkandung dalam berbagai hal itu
kepada mereka, dimana orang bertindak terhadap berbagai hal itu, tetapi
terhadap makna yang dikandungnya; (2) premis kedua, yang mendasari
interaksionisme simbolik adalah bahwa makna berbagai hal itu berasal dari, atau
muncul dari interaksi seseorang dengan orang lain. Berarti kebudayaan sebagai
suatu sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan
dan didefenisikan dalam konteks orang yang berinteraksi. Seksualitas mempunyai
defenisi yang sama mengenai tingkah laku seksualitas melalui interaksi satu sama
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
lain dan melalui hubungan dengan perilaku seksualitas dimasa lalu. Hal ini berarti
budaya masing-masing kelompok dalam perilaku seksual, terikat dengan kehidupan
sosial komunitas mereka yang khas; (3) premis ketiga, dari interaksionisme
simbolik adalah bahwa makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses
penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang
dihadapi. Ini berarti perilaku seksual dilakukan dengan menggunakan kebudayaan
untuk menginterpretasi situasi seksualitas tersebut. Pada suatu saat seseorang akan
menginterpretasikan perilaku seksual itu berbeda dengan cara yang agak berbeda
sehingga memunculkan reaksi yang berbeda pula. Dapatlah dilihat aspek
penafsiran perilaku seksual itu secara lebih jelas apabila kita menganggap
kebudayaan sebagai suatu peta berulang-ulang dalam kehidupan sehari-hari. Peta
kognitif berperan sebagai pedoman untuk bertindak dan menginterpretasikan
pengalaman, dan tidak memaksakan untuk mengikuti suatu urutan tertentu.
Dengan demikian kebudayaan memberikan prinsip-prinsip untuk
menginterpretasikan dan memberikan respon terhadap perilaku seksual di kalangan
individu-individu dalam suatu masyarakat penyandang kebudayaannya.
Untuk lebih memahami perilaku seksual secara struktural dan fungsional
berdasarkan pemahaman kebudayaan masyarakat, suatu pendekatan yang perlu
digunakan untuk mengkaji masalah pengetahuan dan perilaku pada suku bangsa
Marind-Anim, yaitu dengan pendekatan Struktural-Fungsional. Model-model
analisis atau pendekatan bagi studi antropologi kesehatan diletakkan pada gagasangagasan
yang berasal dari tokoh-tokoh struktural-fungsionalisme Radcliffe-Brown
dan Malinowski. Radcliffe-Brown melihat struktur sosial sebagai jaringan
hubungan dari relasi-relasi yang nyata ada antar individu atau kelompok dalam
masyarakat (Baal, 1987:91-98). Dalam hubungan dengan seksualitas, pendapat
demikian adalah bahwa tingkah laku seksual merupakan satu aspek dari tingkah
laku sosial yang ditentukan oleh hubungan-hubungan antara individu sehingga
dengan demikian tingkah laku seksual merupakan bagian dari struktur masyarakat.
Dengan kata lain pemahaman tentang pengetahuan dan perilaku seksual termasuk
dalam pengetahuan tentang mekanisme perilaku sosial atau akan terwujudnya
tindakan sosial dan tatanan sosial untuk memahami realitas bersama seperti
dikatakan oleh Clifford Geerzt, (1989:75). Budaya merupakan pabrik pengertian,
dengan apa manusia menafsirkan pengalaman dan menuntun tindakan mereka;
struktur sosial ialah bentuk yang diambil tindakan itu, jaringan hubungan sosial.
Jadi budaya dan struktur sosial adalah abstraksi yang berlainan dari fenomena yang
sama.
Selanjutnya Malinowski memberikan penekanan pentingnya arti elemen satu
terhadap elemen-elemen budaya lainnya dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti
bahwa setiap unsur atau setiap aspek mempunyai fungsi-fungsi dalam
hubungannya dengan unsur atau aspek lainnya dalam kerangka kebudayaan
tertentu. Akibatnya, bila terjadi perubahan, yang terjadi pada satu unsur dari
organisasi sosial dalam rangka penegakan tatanan sosial (Baal, 1989:49-51).
Menurut pendekatan ini jika hendak memahami suatu bagian atau struktur tertentu
maka kita harus melihat fungsi-fungsinya terhadap keseluruhan sistem. Model ini
tidak mempersoalkan sejarah terbentuknya “suatu kebiasaan atau praktek dalam
masyarakat akan tetapi yang dilihat adalah konsekuensinya” bagi kehidupan
dan perkembangan masyarakat seperti apa yang dikemukakan oleh Spencer
dan Durkheim (Muzaham,1995:9-10). Hal ini berarti bahwa segala praktek serta
struktur dalam masyarakat mempunyai manfaat tertentu bagi kelangsungan hidup
suatu kelompok sosial. Misalnya dalam tatanan adat bahwa budaya perilaku
seksual homoseksual dan heteroseksual pada orang Marind-Anim berkaitan dengan
fungsi dan struktur sosial masyarakat khususnya dalam simbol kesuburan, dan
keperkasaan, itu bisa berubah, akibatnya keseimbangan struktur dan fungsi sosial
secara adat akan terganggu dan ini bisa tertata kembali secara otomatis.
C. GAMBARAN BEBERAPA KASUS SEKSUALITAS DI PAPUA
Kebanyakan studi antropologi mengenai masyarakat pedesaan menggunakan
metode etnografi yang hampir sebagian besar digunakan oleh para ahli antropologi
untuk dapat memahami kebudayaan masyarakat yang diteliti. Holmes John H.
(1924: 172, 175) In Primitive New Guinea: An Account of a Quarter of a Century
Spent Amongs the Primitive Ipi and Namau groups of Tribes of the Gulf of Papua,
with an Interesting description of their Manner of Living, their Customs and
Habits, Feasts and Festivals,Totems and Cults. London: Seeley Service. Penelitian
tersebut merupakan kajian etnografi yang mendeskripsikan tentang kelompok
primitif Ipi dan Namau di teluk Papua. Penekanannya pada persoalan kehidupan
dan perilaku seksual (heteroseksual), adat istiadat dan kebiasaannya, pesta-pesta
dan festival-festival, totem dan yang berhubungan dengan perilaku kebudayaan,
terutama dalam aktivitas pesta-pesta serta kehebatan dalam mengayau.
Williams, Francis E., (1924: 211-214) The Natives of the Purari Delta. Territory of
Papua, Anthropology Report No.5. Port Moresby: Government Printer. Penelitian
tersebut merupakan penelitian etnografi pada penduduk asli Delta Purari. Lebih
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
banyak mendeskripsikan kondisi kebudayaan yang berhubungan dengan orang
Purari, persetubuhan sebelum menikah yang dikaitkan dengan upacara secara
rutin. Pokok upacara heteroseksual khusus digarap secara cermat dengan
mengikuti tingkat keberhasilan dalam mengayau dan termasuk perolehan nilai
gelang tangan kerang dari pasangan hubungan seksual perempuan. Williams,
Francis E. (1936:24,159-160). Papuans of the Trans-Fly, Oxford: Clarendon
Press. Dalam penelitian etnografi ini, Williams mendeskripsikan penduduk yang
berada di daerah Trans-Fly sebelah selatan Papua Niguni. Dalam salah satu
bagian, dikemukakan tentang bagaimana situasi homoseksual yang dijalankan
oleh penduduk berdasarkan konsep kebudayaan. Penduduk Trans Fly, melakukan
hubungan seksual berdasarkan hubungan upacara homoseksual dengan suka sama
suka, dan istrinya bisa ditukarkan kepada laki-laki lain untuk berhubungan
seksual, dan itu menjadi kenyataan.
Landtman, Gunnar (1927:ch.24). The Kiwai Papuans of British New Guinea: A
Nature-born Instance of Rousseau’s Ideal Community. London. Macmillan
(Reprinted, 1970, Johnson Reprint Co). Penelitian tersebut merupakan penelitian
etnografi pada orang Kiwai di Papua Niguni yang menggambarkan situasi
hubungan seks lebih banyak mengarah pada aktivitas kebudayaan. Pengungkapan
secara nyata tentang perilaku seks berdasarakan kebudayaan masyarakat tersebut
dinyatakan secara detail. Persetubuhan dilakukan dengan siapa saja dan ditegaskan
terutama untuk menghasilkan cairan seks (sperma) guna meningkatkan
kesuburan. Dalam hubungan seksual, ini lebih penting dalam ritual kesuburan,
mouguru. Upacara persetubuhan juga dilakukan oleh suami dan isteri yang tua
bertujuan untuk menghasilkan cairan sperma untuk maksud perluasan spiritual.
Baal, Jan van (1966: 808-818). Dema: Description and Analysis of Marind-Anim
Culture (South New Guinea), The Hague. Dalam penelitian etnografi ini, Jan van
Baal mendeskripsikan dan menganalisa Dema dalam konteks kebudayaan orang
Marind-Anim di selatan Papua. Lebih jauh dijelaskan dalam salah satu bagian
tentang konsep seks heteroseksual yang ada dalam kebudayaan orang Marind-
Anim dengan penekanan pada persetubuhan secara heteroseksual sebelum
menikah banyak terdapat pada upacara dan beberapa pesta adat besar untuk
maksud peningkatan kesuburan. Beberapa dari upacara seksual ini
dikelompokkan pada kaum lekaki yang sudah menikah dan ibu-ibu, bahkan dapat
berhubungan seksual dengan laki-laki yang memperoleh keberhasilan dalam
mengayau dengan satu atau dua orang perempuan muda. Laporan dari A South
Pacific Commission (1952-1953, 1955) menyatakan bahwa frekuensi yang
terbesar dari upacara heteroseksualitas membuat suatu tingkat tertinggi dari
bentuk sterilisasi wanita Marind-Anim pada jaman sebelum kolonial.
Serpenti, Laurent M (1968) Headhunting and Magic on Kolepom (Frederik-
Hendrik Island, Irian Barat) Tropical Man 1:116-139. Dalam penelitian etnografi
ini lebih ditekankan pada kebudayaan mengayau pada orang Kolepom, dimana
kehebatan seseorang dalam mengayau akan dinyatakan dalam upacara dan pada
saat itu dapat berhubungan seks secara heteroseksual dengan wanita yang telah
menikah atau wanita yang telah memasuki masa puber dan dilakukan dalam
upacara inisiasi. Serpenti, Laurent M (1984). The Ritual Meaning of Homosexuality
and Pedophilia among the Kimam-Papuans of South Irian Jaya. In Ritualized
Homosexuality in Melanesia. Edited by Gilbert H. Herdt. Pp.292-336. Berkeley:
University of California Press. Dalam penelitian etnografi ini Serpenti lebih
menekankan pada arti upacara homoseksual dan pedohilia diantara orang Papua
Kimam. Di sini digambarkan bahwa persetubuhan dalam upacara seksual antara
seorang laki yang sudah menikah dengan seorang perempuan puber yang
memasuki masa dewasa dalam kegiatan inisiasi. Hubungan seksual sebagai suatu
pelengkap dalam upacara inisiasi untuk membuktikan masa kedewasaan
perempuan. Sedangkan hubungan seks secara heteroseksual dapat dilakukan
dengan siapa saja bagi wanita yang telah menikah, dalam akhir dari kegiatan suatu
pesta kematian, dan dalam akhir kegiatan mengayau.
Zegwaard, Gerard A. dan J.H.M.C. Boelaars (1982:21-23). Social Structure of the
Asmat People. (Annotated translation by Frank A. Trenkenschuh and J.
Hoggebrugge of “De Sociale Structuur van de Asmat-bevolking”) dalam An Asmat
Sketch Book No.1. Edited by Frank A. Trenkenschuh, pp.13-29. Hastings, NE:
Crosier Missions. Dalam penelitian etnografi ini dijabarkan secara deskriptif
tentang struktur sosial orang Asmat. Di dalamnya disajikan uraian tentang
bagaimana hubungan seks secara heteroseksual yang berkaitan dengan status
seseorang dalam kepemimpinannya. Kehebatannya dalam mengayau sebagai
simbol keperkasaannya, sehingga dapat berhubungan seks secara bebas dengan
menukarkan istri, atau dengan laki-laki yang disenangi (bagi wanita). Di antara
orang Asmat, terjadi penukaran istri dalam pesta Papiis kadang dalam skala
kecil suatu upacara. Secara umum persetubuhan secara heteroseksual bebas
dengan pilihan wanita yang menghias dirinya guna mengikuti kegiatan
pengayauan, atau laki-laki sesudah lulus dari rumah laki-laki, dan pada saat
diadakan upacara pengukiran patung nenek moyang (bis).
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Eyde, David B. ( 1967: 205-210) Cultural Correlates of Warfare among the Asmat
of South-West New Guinea. Ph.D dissertation, Departement of
Anthropology, Yale University. New Haven. CT. Dalam penelitian etnografi ini
dideskripsikan korelasi kebudayaan tentang peperangan pada orang Asmat di
selatan Papua. Dalam salah satu bagian dijelaskan tentang hubungan peperangan
dengan hubungan seks secara heteroseksual. Konsep kepemimpinan membawa
status seseorang untuk dinilai lebih hebat dan dapat berhubungan seks secara bebas
dengan wanita lain yang disenangi atau istri orang lain yang disenangi.
Schneebaum, Tobias (1988: 83). Where the Spirits Dwell: An Odyssey in the New
Guinea Jungle. New York: Grove Weidenfeld. Dalam penelitian etnografi ini
dideskripsikan tentang dimana roh itu tinggal, sebuah pengembaraan di hutan
Papua. Di salah satu bagian dijabarkan tentang kehidupan roh yang dikaitkan
dengan kosmologi serta status seseorang. Di sini dengan adanya perubahan sosial
tersebut mengundang mereka untuk melakukan hubungan seks secara
heteroseksual dengan perempuan serta ibu-ibu yang disenangi. Konteks ini lebih
menjelaskan pada konsep kebudayaan orang Asmat dalam kehidupan mereka.
Kuruwaip, Abraham (1984: 14) The Asmat Bis Pole: Its Background and
Meaning. In An Asmat Sketch Book No.4. Edited by Frank Trenkenschuh, pp.11-30.
Hastings, NE: Crosier Missions. Dalam penelitian etnografi ini dideskripsikan
tentang latar belakang dan arti dari pada suatu patung Bis pada orang Asmat. Di
dalam salah satu bagian dijabarkan bagaimana hubungan upacara pembuatan
patung bis dengan kegiatan heteroseksual. Upacara pembuatan patung bis bagi
orang Asmat akan didahului dengan bentuk upacara yang akan dihubungkan
dengan perilaku seks diantara mereka secara heteroseksual. Sowada, Alphonse
(Msgr.) (1961: 95) Socio-Economic Survey of the Asmat Peoples of Southwestern
New Guinea . M.A. Thesis, Department of Anthropology, Catholic University of
America, Washington, DC. Dalam penelitian etnografi ini dijelaskan tentang sosioekonomi
pada orang Asmat di selatan Papua. Dalam uraiannya disajikan juga
aktivitas seks di kalangan orang Asmat dalam kegiatan sosio-ekonominya.
Kampen, A. van (1956: 73-76). Wilkende Wildernis: Onder Kannibalen en
Christen-Papoeas’s. Amsterdam: Uitgeverij C. de Boer, Jr. Dalam penelitian
etnografi ini mendeskripsikan bagaimana keinginan kehidupan rimba raya di
bawah kanibal dan Kristen Papua. Kehidupan budaya dalam konsep kanibal selalu
dikaitkan dengan adanya suatu hubungan seks secara heteroseksual yang
umumnya terdapat pada orang Papua.
Herdt, Gilbert H. (1984a) Ritualized Homosexual Behavior in the Male Cults of
Melanesia; (1992), Retrospective on Ritualized Homosexuality in Melanesia:
Introduction to the New Edition. In Ritualized Homosexuality in Melanesia, 2nd
edn. Berkeley: University of California Press. Dalam penelitian etnografi dengan
deskripsinya tentang perilaku seksual pada orang Melanesia yang penekanannya
pada dimensi ritual tentang praktek homoseksual. Homoseksual pada orang
Melanesia ditentukan oleh kosmologi secara baik sebagai suatu orientasi erotik,
ditentukan oleh kepercayaan hidup yang kuat bahwa insiminasi selalu terjadi ketika
seorang anak laki memasuki kedewasaannya. Praktek homoseksual secara reguler
dilakukan dalam praktek ritual khususnya didalam inisiasi kaum laki dalam
konteks pengayauan dan menjadi praktis di dalam lingkaran kehidupan laki-laki
yang ditegaskan dalam masyarakat Melanesia. Studi ini lebih banyak menyajikan
analisa kebudayaan dengan melihat pada aspek seksual secara ritual dan
dideskripsikan dengan analisa etnografi kebudayaan orang Melanesia.
Bruce M. Knauft (1993), South Coast New Guinea Cultures: History, Comparison,
Dialectic, New York. Cambridge University Press. Dalam penelitian etnografinya,
mendeskripsikan kondisi budaya masyarakat di selatan Papua dengan studi
perbandingan perilaku seksual dari suku bangsa di Papua Niguni bagian selatan,
Asmat dan Marind-Anim dengan analisa karakteristik regional dan simbolik serta
permutasian sosio-politik berdasarkan latar belakang sejarah dan konfigurasi
regional. Analisisnya lebih banyak didasarkan pada analisa interpretasi etnografi
dengan penekanan pada kebudayaan masyarakatnya.
Kajian kebudayaan yang berhubungan dengan Pandangan, Kepercayaan, Sikap
dan Perilaku Seksual (PMS) pada Masyarakat Dani (1997), yang dilakukan oleh
Nico A. Lokobal; G. Yuristianti; Deri M. Sihombing; dan Susana Srini, melakukan
pengkajian dengan menggunakan data kebudayaan dengan analisa Rapid
Assessment Procedures (RAP) atau Rapid Ethnographic Assessment (REA).
Kajian lebih mengarah pada gambaran kebudayaan masyarakat Dani tentang
seksualitas mencakup persepsi, sikap, kepercayaan dan perilaku yang dihubungkan
dengan penyakit menular seksual. Hasil analisisnya lebih mengutamakan kerangka
berpikir masyarakat berdasarkan konsep kebudayaan mereka.
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Penelitian seksual pada suku bangsa Arfak juga dilakukan oleh David Wambrauw
dengan judul Perilaku Seksual Suku Arfak (2001), Jayapura. Pusat Studi
Kependudukan Universitas Cenderawasih, lebih banyak menyoroti latar
belakang kebudayaan suku Arfak dengan pendekatan Rapid Ethnographic
Assessment (REA). Analisisnya ditujukan pada latar belakang kebudayaan suku
Arfak khusunya berkaitan dengan pemahaman mereka tentang perilaku seksual dan
ditambah dengan analisa pemahaman tentang PMS, HIV/AIDS serta bentukbentuk
industri seks. Perilaku seksual ini lebih banyak dikaitkan dengan
pemahaman adat-istiadat, faktor penunjang serta jaringan penularan yang
mendukung adanya perilaku seksual yang dapat menimbulkan penyakit menular
seksual serta HIV/AIDS. Hal yang sama dalam penelitiannya berjudul Perilaku
Seks Sebagai Peluang Penularan Penyakit AIDS di Jayapura, (1994). Jayapura.
Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih, lebih banyak menggunakan
observasi langsung ke lokasi-lokasi penelitian dan dikemukakan kondisi perilaku
seks dikalangan wanita penghibur Non-Papua dan etnis Papua serta
menggambarakan lokasi-lokasi beropersinya penjaja seks. Analisis dikaitkan
dengan faktor penunjang kemungkinan timbulnya PMS, HIV/AIDS secara mudah
melalui sarana-sarana seperti pertumbuhan lokasi prostitusi, migran ulang alik
lintas negara, tingkat pendidikan yang rendah, wanita panggilan, laki-laki
pelanggan seks, serta kondisi ekonomi yang rendah.
Beberapa artikel yang ditulis oleh Dr. Gunawan Ingkokusuma, MPH, MA yang
berjudul “Peranan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dalam Penanggulangan
Epidemi HIV” dalam Buletin Populasi Papua. Edisi 2/Desember 2000. Jayapura,
Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih. Tulisannnya lebih
menyoroti tentang perkembangan situasi HIV/AIDS di tanah Papua, faktor-faktor
penyebaran epidemi HIV serta peranan Lembaga Masyarakat Adat dalam
nenanggulangi masalah HIV/AIDS di tanah Papua. Tulisan yang sama tentang
HIV/AIDS yang ditulis oleh Dr. La Pona Msi yang berjudul “Determinan
Penanggulangan Penularan HIV/AIDS dalam Masyarakat Majemuk di Papua”
dalam Buletin Populasi Papua. Edisi 2/Desember 2000. Jayapura, Pusat Studi
Kependudukan Universitas Cenderawasih. Juga tulisan yang dikemukakan oleh
Drs. John Rahail MKes., dengan berjudul “Desentralisasi dan Penanggulangan
AIDS di Papua” dalam Buletin Populasi Papua.Vol.1,No.3 April 2001. Tulisannya
lebih menyoroti tentang pertumbuhan HIV/AIDS di Papua dengan melihat pada
faktor-faktor pendukung. Kajian yang sama tentang perilaku seksual juga ditulis
oleh Drs. Djekky R. Djoht MKes., yang berjudul “Perilaku Seksual, PMS dan
HIV/AIDS di Kecamatan Sarmi dan Pantai Timur Tanah Papua” dalam Buletin
Populasi Papua. Edisi 2/Desember 2000. Jayapura, Pusat Studi Kependudukan
Universitas Cenderawasih. Pendekatan yang digunakan adalah analisa etnografi
dengan model Rapid Ethnographic Assessment (REA) dan sasaran analisa lebih
banyak dikaitkan dengan konteks kebudayaan yang berhubungan dengan masalah
seksual di kalangan suku bangsa Sarmi. Melihat bagaimana konteks kebudayaan
dapat mendukung perilaku seksual di kalangan masyarakat yang pada akhirnya
dapat merupakan faktor pendukung untuk timbulnya penyakit menular seksual,
HIV/AIDS dengan mudah.
Suatu penelitian tentang Program Seksualitas Orang Papua (The Papuan
Sexuality Program ,2002) yang dilakukan pada tiga kabupaten (Merauke,
Jayapura, dan Jayawijaya) oleh USAID-FHI Aksi Stop AIDS kerjasama Lembaga
Penelitian Universitas Cenderawasih, ed. Leslie Butt, Ph.D. mengahsilkan suatu
gambaran tentang kondisi HIV/AIDS di Papua dengan menggunakan metode
Antropologi dan pendekatan Rapid Anthropological Assessment Procedures
(RAAP). Kajian lebih ditekankan pada kajian etnografi dengan penekanan pada
latar belakang kebudayaan orang Papua yang menjadi sasaran penelitian
seksualitas. Penelitian ini lebih menekankan pada analisa terapan guna mengatasi
masalah HIV/AIDS dengan program AKSI Stop AIDS, melalui aksi penggunaan
kondom. Analisa faktor budaya dan faktor pendukung lainnya juga dikaji
(ekonomi, narkoba, adat-istiadat, pendidikan rendah, kondisi keluarga/ orang tua
cerai dan meninggal) sebagai pendukung cepatnya meningkat penderita HIV/AIDS
melalui perilaku seks bebas.
D. SUKU BANGSA MARIND-ANIM DAN PERILAKU SEKSUAL
Seperti halnya suku bangsa Papua lainnya, suku bangsa Marind-Anim juga
mempunyai konsep seksualitas berdasarkan pemahaman kebudayaan mereka.
Secara struktural-fungsional, konsep seksualitas dalam kebudayaannya,
memainkan peranan penting dalam menata aktivitas hidup mereka. Hal ini berarti
perilaku seksual mempunyai makna yang penting dalam kehidupan warganya
sesuai kebudayaan mereka.
D.1. PERILAKU SEKSUAL DALAM MITE NDIWA.
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Suku bangsa Marind-Anim menggambarkan filsafat hidup yang lebih tinggi,
dimana mereka menata dunia ini dan diungkapkan dalam mitologi, upacara, dan
praktek magi. Penataan ini terdapat dalam pembagian mahluk-mahluk menjadi satu
susunan yang rapih, dinamis dalam tatanan hidup (dema – totem – klen). Karena itu
bagi mereka akan terjadi keseimbangan antar kosmos bisa terjaga dan membawa
kesuburan antara lingkungan mistik dan masyarakat. Dalam budaya Mayo, Imo,
Sosom, ada upacara-upacara yang dilakukan secara religius, yang dimaksudkan
untuk menhadirkan roh ilahi yang ada dalam diri Ndiwa. Makna dari upacara ini
salah satunya untuk mendidik kaum pria remaja guna mendapat kekuatan ilahi
dalam menjaga tatanan hidup yang seimbang antara manusia dan lingkungan.
Lambang fisik dari Ndiwa adalah kelapa muda (onggat) sedangkan roh yang
berbicara adalah bunyi meraung yang dihasilkan oleh Tangg ( benda keramat yang
terbuat dari belahan nipah). Dalam kepercayaan ini, Ndiwa dibunuh lalu dagingnya
yang sudah dicampur dengan sperma hasil sanggama terputus laki-laki dengan
perempuan , lalu dibagikan kepada semua peserta untuk diminum supaya mendapat
kekuatan ilahi. Inti dari upacara ini adalah: (a) inisiasi bagi para remaja supaya
menjadi anggota masyarakat secara penuh; (b) membawa kesuburan dan dan
keseimbangan hidup manusia; (c) mengadakan hubungan dengan para leluhur.
D.2. PERILAKU SEKSUAL DALAM UPACARA BAMBU PEMALI
(BARAWA)
Bambu Pemali adalah suatu proses belajar seks menurut aliran Mayo. Menurut
aliran Mayo, manusia pertama adalah “Geb” yang diberikan tanggung jawab untuk
melestarikan alam dengan makan buah Kawalik yang mengembara sampai ke kali
Goroka dan mengganti kulit (Ibahu) . Sewaktu mengembara ada tanah (Tanawu
Geize) yaitu “setan purba”. Sewaktu tidur ada dewa dari atas yang melindungi
kamu, maka diperintahkan oleh Tanawi Geize untuk menghilangkan dewa dari atas
dengan cara mengosok tiang-tiang rumah dengan sperma agar tidak suci lagi.
Pada saat itulah diajarkan untuk laki-laki dan perempuan berhubungan seks supaya
bisa keluar spermanya melalui hubungan antara “perai” = vagina dengan “ezom” =
penis. Melalui perai inilah yang akan melahirkan manusia. Pada saat itulah mereka
mulai melakukan hubungan seks secara bebas.
D.3. PERILAKU SEKSUAL DALAM UPACARA EZAM UZUM
Adat suku bangsa Marind-Anim dalam upacara Ezam Uzum dalam aliran Mayo,
maka setiap hiasan ada hubungan dengan seks. Setiap melakukan upacara, maka
kepala adat atau pemimpin upacara selalu akan melakukan hubungan seksual
dengan ibu-ibu janda sebanyak tiga sampai lima orang ibu. Tujuan dari hubungan
seksual tersebut guna mendapatkan sperma, yang akan dipakai dalam kepentingan
upacara tersebut, karena sperma tersebut melambangkan kesucian guna mengusir
setan. Biasanya dikaitkan pula dengan upacara “Yawal” atau “beralih tidak mati”
D.4. PERILAKU SEKSUAL DALAM UPACARA SUBAWAKUM
Dalam upacara subawakum biasanya semua perempuan memasukkan “bambu gila”
atau “welu” di celah pangkal paha dan dipegang ramai-ramai sepanjang malam .
Biasanya pasangan perempuan dari dua paroh yang berbeda yang memegang yaitu
dari Gebze dan Sami. Kalau klen Sami memegang bambu gila pada malam hari,
maka menjelang hampir siang akan dibantu oleh klen Gebze, maka terjadilah
proses tolong menolong yang disebut “Subawakum”. Akhir dari proses tolong
menolong inilah maka terjadilah hubungan seksual dengan penukaran pasangan.
D.5. PERILAKU SEKSUAL DALAM UPACARA KAMBARA
Menurut aliran Mayo, ada Allah atau “Alawi” yang mengatur keseimbangan. Ada
seseorang yang diutus Alawi untuk mengatur alam semesta yaitu seseorang yang
disebut “Tik-Anem”. Tik-Anem menyebarkan epidemi kepada manusia dan
binatang yang sudah tidak seimbang lagi dengan alam semesta, dan akan
membunuh manusia yang sudah berlebihan dalam satu desa dengan menggunakan
kekuatan hipnotis. Biasanya sebelum dibunuh ada peradilan yang diputuskan oleh
orang tua (Zambanem) pada upacara Kambara. Kekuatan yang dipakai untuk
membunuh orang-orang tersebut dengan menggunakan sperma. Untuk
mendapatkan sperma tersebut, maka orang tua yang perkasa dan kuat akan
mengadakan hububngan seksual dengan wanita dari kampung itu. Jadi seorang
wanita bisa bersetubuh dengan lima orang laki-laki perkasa untuk mengumpulkan
spermanya. Menurut suku bangsa Marind-Anim sperma dipakai untuk membunuh
karena mempunyai kekuatan, bisa membunuh dan menyembuhkan orang.
D.6. PERILAKU SEKSUAL DALAM ADAT PERKAWINAN
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Orang Marind, biasanya sebelum menikah, laki dan perempuan tinggal terpisah
pada rumah laki dan rumah perempuan. Setelah dewasa, mereka mulai mengenal,
dalam suatu pesta yang berhubungan dengan upacara seksual (berhubungan seks).
Hal ini selalu dikaitkan dengan konsep religius, karena untuk meningkatkan
kesuburan adalah sangat penting. Dalam segala hal yang berhubungan dengan
kesuburan, kehidupan dalam perkawinan, membuka kebun, awal dari kegiatan
pengayauan, maka sebuah pesta yang berkaitan dengan hubungan seksual
selalu dilakukan. Upacara heteroseksual yang disebut “aili” atau “arih” dimana
sejumlah besar laki-laki dan perempuan terlibat dalam suatu hubungan seks
heteroseksual bebas. Dalam upacara khusus hubungan seks (otiv bombari)
dilakukan secara religius dalam peristiwa
perkawinan. Biasanya calon penganten perempuan harus berhubungan seks
terlebih dahulu dengan sepuluh laki-laki dari kerabat suaminya sebelum
diserahkan kepada suaminya. Hal ini dikaitkan dengan konsep kesuburan, yaitu
harus diberikan “cairan sperma” agar wanita tersebut subur dan bertambah kuat
(Overweel, 1993:15)
Pada orang Marind, persetubuhan secara heteroseksual sebelum menikah banyak
terdapat pada upacara, beberapa pesta adat besar untuk maksud meningkatkan
kesuburan dan menambah kecantikan bagi wanita (van Baal 1966: 808-818).
Beberapa dari upacara seksual ini dilakukan oleh lekaki yang sudah menikah
dan ibu-ibu, bahkan dapat berhubungan seksual dengan laki-laki yang memperoleh
keberhasilan dengan satu atau dua orang perempuan muda. Laporan dari A South
Pacific Commission (1952-1953, 1955) menyatakan bahwa frekuensi yang
terbesar dari upacara heteroseksualitas mengakibatkan adanya suatu tingkatan
yang tinggi dalam sterilisasi, terutama pada wanita Marind di jaman sebelum
kolonial (lihat Vogel dan Richens 1989).
Di samping itu hubungan seks secara heteroseksual, bagi wanita Marind
mempunyai makna tersendiri pula dalam hal, dimana cairan sperma yang tinggal
dalam tumbuhnya itu akan membantu pertumbuhan badannya.
Bila dihubungkan kegiatan homoseksual dan heteroseksual yang ada pada orang
Melanesia, khususnya pada orang Papua di belahan selatan New Guinea (Papua),
nampaknya kegiatan ini lebih banyak berhubungan dengan konteks kebudayaan
mereka. Dampak dari hubungan seks secara homoseksual dan heteroseksual ini,
timbullah berbagai masalah yang berhubungan dengan penyakit kelamin baik itu
Penyakit Menular Seksual, HIV/AIDS.
Pada tahun 1913, di daerah suku bangsa Marind-Anim, timbul suatu jenis
penyakit yang ganas dan mulai melanda penduduk di kampung-kampung sepanjang
pantai dan sungai-sungai di pedalaman . Penyakit ini timbul akibat pergaulan intim
yang bebas antara laki-laki dan perempuan ditambah lagi dengan pergaulan ritual
mengakibatkan bencana besar yang mengancam dan memusnahkan suku bangsa
Marind-Anim. Pada saat itu pastor Johanes van de Kooy MSC sibuk merawat
pasien dalam rumah sakit. Pada tahun 1921 datanglah seorang dokter ahli kelamin,
dokter Cnopius dan dapat menolong musibah besar yang menimpa suku bangsa
Marind-Anim sehingga menurunkan secara drastis jumlah orang yang sakit.
Ternyata penyakit yang diderita suku bangsa Marind-Anim, adalah sejenis penyakit
kelamin yang disebut granolome ( Duivenvoorde 1999:19-25).
Hal yang sama sekarang ini terjadi di belahan selatan Papua, khususnya di
kalangan suku bangsa Marind-Anim, dimana telah dilanda suatu musibah
besar dengan munculnya jenis penyakit kelamin yang lebih dahsyat lagi bila
dibandingkan dengan granolome pada tahun 1913. Penyakit kelamin
tersebut adalah jenis HIV/AIDS. Human Immunodeficiency Virus/ Acquired
Immuno Deficiency Syndrome. Dunia pada umumnya, khususnya Afrika, Amerika
dan Eropa pada dasawarsa 1980-an diguncang oleh suatu jenis virus yang dikenal
dengan nama virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) AIDS (Acquired Immuno
Deficiency Syndrome) . Virus ini melemahkan daya pertahanan tubuh manusia,
sehingga mudah terserang berbagai macam penyakit.
Penyakit ini sangat mengganas, karena sejak ditemukan di Afrika, Eropa, dan
Amerika, telah diupayakan mencari obat penangkalnya, tetapi belum ditemukan.
Virus ini dapat ditularkan oleh penderita kepada orang lain melalui hubungan
seksual (homoseksual maupun heteroseksual), transfusi darah, injeksi/suntikan, dan
juga melalui alat-alat seperti: alat tato, pisau cukur: bila digunakan oleh penderita
dan tidak disterilkan.
Meningkatnya kasus HIV/AIDS dan meluasnya daerah yang melaporkan kasus
HIV/AIDS di Indonesia menjadi tantangan bagi program pencegahan HIV/AIDS.
Berdasarkan prevalensi HIV/AIDS dapat dikatakan di Indonesia masih
dikategorikan dalam “low level epidemic”. Namun pada sub populasi tertentu (PS
dan IDU) di beberapa propinsi (Papua, DKI Jakarta) prevalensi HIV/AIDS secara
konsisten masuk dalam concentrated level >5%. Jumlah kumulatif kasus AIDS
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
yang dilaporkan hingga Juli 2001 di Indonesia 630 orang, sehingga dapat
meningkat kasus AIDS 1 per 100.000 penduduk. Papua prevalensinya
dilaporkan 38 kali angka Nasional, diikuti Jakarta (9 kali) dan Bali (2 kali).
Peningkatan tajam ini terjadi sejak tahun 1998.
Sejak ditemukannya kasus AIDS pertama kali di Indonesia pada tahun 1987,
proporsi kasus AIDS pada perempuan dibandingkan pria terus meningkat dari 1
per 10 menjadi 1 per 4. Faktor dominan yang mempengaruhi perubahan juga
mengalami perubahan dari pola hubungan homoseksual/biseksual menjadi
heteroseksual. Di samping itu pula dikejutkan oleh hal lainnya adalah pesatnya
peningkatan proporsi kasus AIDS pada pengguna NAPZA dengan jarum suntik
(IDU/Injecting Drug Users) dari 0-1% pada tahun 1997-1998 meningkat tajam
menjadi 13% hingga Juli 2000. Sedangkan TBC adalah infeksi oportunistik
terpenting karena menyerang 50% penderita AIDS.
Kelompok-kelompok berperilaku resiko tinggi seperti Pekerja Seks Wanita yang di
Merauke, Sorong, Karimun lebih dari 5%; sedangkan 1-5% untuk Riau,
Yogyakarta, Sumatera Selatan, dan Jawa Timur; dan dibawah 1% untuk propinsi
lainnya. Angka lebih dari 5% secara konsisten pada sub populasi tertentu
mengidentifikasikan wilayah tersebut dapat dikategorikan pada concentrated level
epidemic.(Aksi Stop AIDS, Program Pencegahan Infeksi Menular Seksual dan
HIV/AIDS., Kerjasama Pemerintah Republik Indonesia dan Amerika Serikat.
Oktober 2001. GOI-USAID/FHI Ditjen PPM & PL. Jakarta).
Situasi AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah keadaan seseorang
yang mempunyai bermacam-macam gejala penyakit yang disebabkan turunnya
kemampuan sistem kekebalan dalam tubuh. Sistem kekebalan tubuh
manusia ditentukan oleh sel-sel darah putih, khususnya limphocit T atau CD-4.
HIV (Human Immunodeficiency Virus) menyerang limphosit T, yang dalam
keadaan normal tubuh manusia terdapat 500-1500 limphosit T/mikroliter. Jika
limphosit T ini turun menjadi <200/mikroliter, maka pada orang tersebut akan
timbul gejala-gejala AIDS.(Gunawan, 2000: 25-26).
Mengingat masa inkubasi penyakit ini, maka dipastikan penduduk di wilayah
Papua telah tertular virus HIV/AIDS pada tahun 1992 yang berarti 11 tahun
kemudian sejak penyakit ini ditemukan pertama kali tahun 1981 di Amerika
Serikat. Pada bulan Desember 1992 diambil 112 sampel darah di Merauke dan 6
sampel darah memberikan hasil pemeriksaan yang positif dengan metode
aglutinasi. Kemudian 6 sampel darah tersebut dikirim ke Jakarta untuk
dikonfirmasi dengan metode Western Blot. Hasil umpan balik dari Jakarta pada
bulan Januari 1993 menyatakan ke-enam sampel tersebut semuanya positif.
Dengan demikian sejak saat itu secara resmi Papua, khususnya kota Merauke
dinyatakan terlanda wabah AIDS. Pengidap HIV ini terdiri dari 2 orang WPSK
(Wanita Pekerja Seks Komersial) Indonesia dan 4 orang nelayan berasal dari
Thailand, (Gunawan,2000: 27-28). Data Kanwil Kesehatan Propinsi Papua bulan
April 2000, tercatat 315 orang dan pertengahan bulan Mei 2000 bertambah menjadi
389 Odha (Orang Dengan HIV atau AIDS), dan pada akhir September 2000,
terdapat 394 Odha, maka pada akhir tahun 2001 sudah mencapai 629 Odha (ASALemlit
Uncen, 2001: 2). Bila dihubungkan dengan teorifenomena “gunung es”,
maka memasuki tahun 2002 jumlah Odha diperkirakan bisa mencapai 70.000
orang sampai 140.000 Odha yang hidup ditengah-tengah masyarakat Papua (La
Pona, 2000: 3-4).
Dengan munculnya masalah penyakit HIV/AIDS di Papua sejak tahun 1992, maka
daerah Kabupaten Merauke sudah menjadi daerah epidemi AIDS, karena dari 201
kasus HIV/AIDS yang terdeteksi hingga akhir tahun 1998, ternyata 73,63% atau
148 kasus HIV/AIDS ditemukan di Merauke. (Yasanto,1999). Berdasarkan data
terakhir hasil RAAP (Rapid Anthropology Assessment Procedure) Juli 2001 di
Merauke terdapat 310 penderita HIV/AIDS. Berdasarkan hasil seminar HIV/AIDS
yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah Papua kerjasama ASA Papua, telah
tercatat bahwa sampai bulan Juni 2002 ini sudah mencapai angka sangat
mengkhawatirkan. Menurut Chief Representative Aksi Stop AIDS (ASA) Papua, dr
Gunawan Ingkokusumo, maka kasus HIV/AIDS berdasarkan data terakhir di
Papua pada bulan Mei, berjumlah 840 kasus dan pada bulan Juni 2002 sudah
menembus angka 993 kasus. Kasus HIV/AIDS yang ditemukan di Papua masih
dominan disebabkan oleh hubungan seks (Gunawan 2002). Dari kasus tersebut di
atas ternyata Merauke menempati urutan teratas, dimana pada Juli 2002 kasus
HIV/AIDS telah menembus angka tertinggi yaitu 457 kasus yang semuanya
masih dominan disebabkan oleh hubungan seks
( Rinta 2002). Menurut hasil Serosuvei, Desember 2002 untuk Merauke Januari
2003 menunjukkan angka terakhir pengidap HIV 220 orang dan AIDS sebanyak
307 orang dengan total kasus 527 orang. Sedangkan angka keseluruhan untuk
Papua pengidap HIV sebesar 724 orang dan AIDS sebesar 539 orang dengan total
keseluruhannya 1263 orang (Gunawan, Maret 2003).
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
E. PENUTUP
Suku Bangsa Marind-Anim, sebagaimana suku bangsa lainnya di Papua secara
cultural memiliki seperangkat pengetahuan yang mewujudkan perilaku seksual
mereka. Secara nyata aktivitas seksual yang terwujud dalam perilaku itu
terstuktur serta berfungsi secara baik dalam mendukung akvitas mereka
berdasarkan interpretasi kebudayaannya. Konteks ini secara konkrit muncul
dalam berbagai aktivitas hidup yang tertata baik dalam kebudayaan, baik dalam
aktivitas inisiasi, perkawinan, mite, keseimbangan lingkunggan, pengobatan,
kekuatan magi, kepemimpinan, pengayauan, serta upacara-upacara adat lainnya.
Secara struktural-fungsional konteks tersebut lahir berdasarkan konteks
kebudayaan yang mempunyai makna dan arti yang dapat menata secara baik
kehidupan warganya.
Dasar utama dari berbagai aktivitas seksual baik secara homoseksual maupun
heteroseksual di kalangan suku bangsa Marind-Anim itu berlandaskan pada
konsep “kebudayaan semen “ atau “kebudayaan sperma”. Sperma bagi suku
bangsa Marind-Anim merupakan suatu kekuatan yang diperoleh dari seorang pria
yang perkasa, kuat. Sperma secara konseptual mempunyai makna yang kuat,
sebagai konsep kesuburan, kecantikan, kekuatan menyembuhkan dan kekuatan
mematikan. Sehingga di dalam aktivitas hidup suku bangsa Marind-Anim konsep
sperma ini memainkan peranan penting dan terstruktur serta berfungsi secara baik
dalam kehidupan kebudayaan. Perwujudan konkrit dari konsep sperma tersebut,
terrealisasi dalam berbagai bentuk aktivitas adat dalam berbagai bentuk upacaraupacara
secara religius.
Konsekuensi dari pengetahuan dan perilaku seksual suku bangsa Marind-Anim
berdasarkan konteks kebudayaan mereka, apakah akan berdampak pada
tumbuhnya berbagai penyakit menular di kalangan mereka? Tentu saja pertanyaan
ini belum bisa terjawab, karena perlu dipertimbangkan pula bahwa kebudayaan
tidak statis, karena bersifat dinamis. Hal ini berarti konsep tersebut dapat
mengalami perubahan, tetapi konsep dasar secara hakiki masih dipegang teguh
sebagai dasar kontrol kebudayaan mereka. Suku bangsa Marind-Anim tentu telah
mengalami perubahan dalam berbagai aspek kehidupan kebudayaannya. Untuk
itu perlu dikaji lebih mendalam lagi tentang aspek cultural yang berhubungan
dengan perilaku seksual, apakah berubah dalam konteks yang lain dan disesuaikan
dengan kehidupan dewasa ini, apakah berdampak terhadap penyakit menular
seksual dan HIV/AIDS yang tinggi di kota Merauke.
F. KEPUSTAKAAN
Baal, J van. 1988. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya: hingga
dekade 1970. jilid 1. (terjemahan: J.Piry) Jakarta. PT. Gramedia.
__________, 1988. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya: hingga
dekade 1970. jilid 2. (terjemahan: J.Piry) Jakarta. PT. Gramedia.
__________, 1966. Dema: Description and Analysis of Marind-Anim Culture
(South New Guinea). The Hague: Martinus Nijhoff.
Bock, Philip K. 1979. Modern Cultural Anthropology. An Introduction. New
York. Alfred A knopf.
Boelaars, Y. 1984. Kepribadian Indonesia Modern. Jakarta. PT. Gramedia.
Butt, Leslie. 2002. The Papuan Sexuality Program. Jayapura. Lembaga Penelitian
Universitas Cenderawasih dan USAID-FHI.
Djoht, D.R., G.E. Djopari, G. Finthay. 1998. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Masyarakat Sarmi dan Pantai Timur Terhadap Seksualitas, Penyakit Menular
Seksual dan HIV/AIDS. Jayapura. Yayasan Kesehatan Bethesda dan PATH
Indonesia.
Duivenvoorde, Jacobus Mgr. MSC.1999. Sejarah Gereja Katolik di Irian Selatan:
Menghantarakan suku-suku Irian kepada Kristus. Merauke. Keuskupan Agung
Merauke.
Dumatubun, A.E., M.T. Siregar, Enos Rumansara. 1997. Laporan Penelitian
Pemetaan Sosial Budaya di Kabupaten Daerah Tingkat II Merauke, Fakfak dan
Jayawijaya. Jayapura. Pusat Penelitian Universitas Cenderawasih dan Dinas
Kebudayaan Propinsi Dati I. Irian Jaya.
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Durbin, Marshall. 1973. “Cognitive Anthropology” dalam Handbook of Social
and Cultural Anthropology. Editor John J. Honigmann. Chicago. Rand McNally
College Publishing Company. Halaman 447-478.
Eyde, David B. (1967:205-210).”Cultural Correlates of Warfare Among the
Asmat of South-West New Guinea. PhD. Dissertation” dalam Bruce M. Knauft.
South Coast New Guinea Cultures: History, comparison, dialectic. Cambridge.
Cambridge University Press.
Feil, Daryl K. 1984. Ways of Exchange: The Enga Tee of Papua New Guinea. St.
Lucia: University of Queensland Press.
Ferraro, Gary. 1995. Cultural Anthropology: An Applied Perspective. Second
edition. New York. West Publishing Company.
Foster, George M. 1986. Antroplogi Kesehatan.(terjemahan: Priyanti Pakan
Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono). Jakarta. UI Press Universitas
Indonesia.
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan (terjemahan: Francisco Budi
Hardiman). Yogyakarta. Penerbit Kanisius
Generasi and PATH. 1999. Laporan Hasil Studi Kwantitatif Pengetahuan, Sikap
dan Perilaku di Kalangan PSK di Lokalisasi Samabusa dan Pendukung Emas
Rakyat di Topo Sehubungan dengan Seks, PMS dan HIV/AIDS. Nabire. Generasi
dan PATH.
Godelier, Maurice and Marilyn Strathern. 1991. Big Men and Great
Men:Personifications of Power in Melanesia. Cambridege. Cambridege
University Press.
Goode, William J. 1983. Sosiologi Keluarga. Jakarta. Bina Aksara.
Gross, Daniel R. 1992. Discovering Anthropology. London. Mayfield Publishing.
Company.
Hammar, L. 1998 (ed.) Modern Papuan New Guinea. Kirksville, MO. Thomas
Jefferson University Press.
Haviland, William A. 1988. Antropologi. Edisi keempat jilid 1. (terjemahan: R.G.
Soekardijo) Jakarta. Penerbit Erlangga.
Herdt, Gilbert H. 1984a. “Ritualized Homosexual Behavior in the Male Cults of
Melanesia, 1862-1983: An Introduction”. In Ritualized Homosexuality in
Melanesia. Edited by Gilbert H. Herdt. Pp.1-81. Berkeley: University of
California Press
Holmes, John H. (1924:172-175). “In Primitive New Guinea: An Account of a
Quarter of a Century Spent Among the Primitive Ipi and Namau Groups of Tribes
of the Gulf of Papua, with an Interesting Description of their Manner of Living,
their Customs and Habits, Feasts and Festivals, Totems and Cults” dalam Bruce
M. Knauft. South Coast New Guinea Cultures: History, comparison, dialectic.
Cambridge. Cambridge University Press.
Honigmann, John J. 1976. The Development of Anthropological Ideas. Illinois.
The Dorsey Press.
Howard, Michael C. 1993. Contemporary Cultural Anthropology. Fourth edition.
New York. Harper Collins College Publishers.
Ingkokusumo, G. 2000. Sexually Transmitted Illness: Perception and
Healthseeking behaviour among the Dani Men, in Wamena Jayaweijaya District,
Papua Province, Indonesia. MA. Thesis, University of Amsterdam, That
Netherlands.
__________, 2000. “Peranan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Dalam
Penanggulangan Epedemi HIV” dalam Buletin Populasi Papua. Edisi 2/Desember
2000. Jayapura. Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih.
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Johnson, Thomas M. and Carolyn F. Sargent. 1990. Medical Anthropology.
Contemporary Theory and Method. New York. Praeger Publishers.
Kalangie, Nico S. 1994. Kebudayaan dan Kesehatan: Pengembangan Pelayanan
Kesehatan Primer Melalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta. Megapoin Kesaint
Blanc.
Kalmbacher, C.J. “Being an Mpur Women: First Menstruation through Infant
Care”. In Symbolism and Ritual in Irian Jaya, ed. Gregersons, M. and J. Sterner.
Jayapura: Cenderawasih University, p. 103-114.
Kaldor, J. et.al. 1999. External HIV/AIDS Assessment. Jakarta: Ministry of Healt.
Kampen, A. van. (1956:73-76). “Wilkende Wildernis: Onder Kannibalen en
Christen Papoea’s” dalam Bruce M. Knauft. South Coast New Guinea Cultures:
History, comparison, dialectic. Cambridge. Cambridge University Press.
Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer.
Edisi kedua, jilid 1 (terjemahan: Semuel Gunawan). Jakarta. Penerbit Erlangga.
__________, 1989. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Edisi
kedua, jilid 1 (terjemahan: Semuel Gunawan). Jakarta. Penerbit Erlangga.
Knauft, B. 1993. South Coast New Guinea Cultures: History, comparison,
dialectic. Cambridge. Cambridge University Press.
Koeswinarno. 1996. Waria dan Penyakit Menular Seksual: Kasus Dua Kota di
Jawa. Yogyakarta. Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gajah Mada.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Republik Indonesia. 2001. HIV/AIDS dan
Infeksi Menular Seksual Lainnya di Indonesia: Tantangan dan Peluang untuk
Bertindak. Jakarta. Komisi Penaggulangan AIDS Nasional Republik Indonesia.
Kottak, Conrad Phillip. 1979. Cultural Anthropology. Second edition. New York.
Random House.
Kuruwaip, Abraham. 1984. “The Asmat Bis Pole: Its Background and Meaning”.
In An Asmat Sketch Book No. 4. Edited by Frank Trenkenschuh, pp.11-30.
Hastings, NE: Crosier Missions.
Kusmariyati, A. 2000. Laporan Hasil Studi Kwantitatif Pengetahuan, Sikap dan
Perilaku Sehubungan dengan PMS dan HIV/AIDS di kalangan PSKJ dan Klien.
Wamena. Yasukhogo dan PATH. Indonesia.
Landtman, Gunnar. (1927:ch.24). “The Kiwai Papuans of British New Guinea: An
Nature-born Instance of Rousseau’s Ideal Community” dalam Bruce M. Knauft.
South Coast New Guinea Cultures: History, comparison, dialectic. Cambridge.
Cambridge University Press.
Lieban, Richard W. 1973. “Medical Anthropology” dalam Handbook of Social
and Cultural Anthropology. Editor. John J. Honigmann. Chicago. Rand McNally
College Publishing Company.
Linggasari, D. et.al. 2000. Laporan Hasil Penelitian Tentang Pengetahuan, Sikap
dan Perilaku Seksualitas Suku Asmat. Merauke (Rumpun Bismam) Terhadap PMS
dan HIV/AIDS di Kecamatan Agats. Merauke. Yayasan Almamater.
Lindenbaum, Shirley. 1984. “Variation on a Sociosexual Theme in Melanesia”. In
Ritualized Homosexuality in Melanesia. Edited by Gilbert H. Herdt. Pp.337-361.
Berkeley: University of California Press.
Little, Daniel. 1991. Varieties of Social Explanation. An Introduction to the
Philosophy of Social Science. Oxford. West view Press.
Lokobal, Nico A., G. Yuritianti, Deri, M. Sihombing, Susana, Srini. 1997.
Pandangan, Kepercayaan, Sikap dan Perilaku Masyarakat Dani Tentang
Seksualitas dan Penyakit Menular Seksual (PMS). Jayapura. Kantor Wilayah
Departemen Kesehatan Irian Jaya.
Overweel, Jeroen A. 1993. The Marind in a Changing Enviroment: A Study on
Social-economic Change in Marind Society to Assist in the Formulation of a long
term Strategy for the Foundation for Social Economic and Enviromental
Development. Merauke. YAPSEL.
Polama, Margaret M. 1979. Sosiologi Kontemporer (terjemahan Yasogama).
Jakarta. CV. Rajawali.
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Rahail, John. 2001. “Desentralisasi dan Penanggulangan AIDS di Papua” dalam
Buletin Populasi Papua. Vol.1. No.3 April 2001. Jayapura. Pusat Studi
Kependudukan Universitas Cenderawasih.
Sarwono, Solita. 1993. Sosiologi Kesehatan: Beberapa Konsep Beserta
Aplikasinya. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
Serpenti, Laurent M. 1984. “The Ritual Meaning of Homosexuality and
Pedophilia among the Kimaam Papuas of South Irian Jaya”. In Ritualized
Homosexsuality in Melanesia. Edited by Gilbert H. Herdt. Pp. 292-336. Berkeley.
Univ. of California Press.
__________, 1968. “Head Hunting ang Magic on Kolepom (Fredrik Hendrik
Island. Irian Barat)”. Tropical Man. Pp.116-139).
Schlegel, Alice (editor) 1977. Sexual Stratification. New York. Columbia Univ.
Press.
Schneebaum, Tobias (1988:83) “Where the Spirits Dwell: An Odyssey in the
Newm Guinea Jungle” dalam Bruce M. Knauft. South Coast New Guinea
Cultures: History, comparison, dialectic. Cambridge. Cambridge University Press.
Scrimshaw, S.C.M., M. Carballo, L. Ramos, B. Blair. 1991. The AIDS Rapid
Anthropological Assessment Procedures: A Tool for Health Education Planning
and Evaluation. Health Education Quarterly 18, 1: 111-123.
___________,1987. RAP. Rapid Assessment Procedures for Nutrition and
Primary Health Care. Anthropological Approaches to Improsing Programme
Effectiveness. Japan. The United Nations University.
Slamet, Soemirat, Juli. 2000. Kesehatan Lingkungan. Cetakan keempat.
Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi (terjemahan: Misbah Zulfa Elizabeth).
Yogyakarta. PT.Tiara Wacana Yogya.
_______________, 1972. Culture and Cognition: Rules, Maps, and Plans.
London. Chandler Pubhising Company.
Stoller, Robert J. and Gilbert H. Herdt. 1985b. “Theories of Origins of Male-
Homosexuality: A Cross-Cultural look”. In Observing the Erotic Imagination, by
Robert J. Stoller, pp. 104-134. New Haven. Yale Univ. Press.
South, Pacific Commission. 1952-53. Marind-Anim Report: An Investigation into
the Medical and Social Causes of the Depopulation among the Marind-
Anim.Sorum, Arve. 1984. “Growth and Decay: Bedamini Nations of Sexuality”. In
Ritualized Homosexuality in Melanesia. Edited by Gilbert H. Herdt. Pp. 337-361.
Berkeley. Univ. of California.
Souter, Gavin. 1963. New Guine. The Last Unknown. London. Angus and
Robertson.
Sowada, Alphonse (Msgr.) 1961. Socio-Economic Survey of the asmat Peoples of
Southwestern New Guinea. M.A. Thesis, Departement of Anthropologu, Catholic
University of America, Washington, DC.
Tomagola, Tamrin, Amal. 1987. “Telaah Sosiologis Terhadap Kasus-kasus
Perkosaan di Lokasi Transmigran Merauke” dalam Jurnal Penelitian Sosial
No.1.Thn.XI, Mei 1987. Jakarta. Lembaga Penelitian FISIP-UI. Halaman 42-51.
Tyler, Stehen A. 1969. Cognitive Anthropology. New York. Holt Rinehart and
Winston, Inc.
Wambrauw, David. 2001. Perilaku Seksual Suku Arfak. Jayapura. Pusat Studi
Kependudukan Universitas Cenderawasih.
__________, 1994. Perilaku Seks Sebagai Peluang Penularan Penyakit AIDS di
Jayapura. Jayapura. Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih.
Warip, M. and Abrar, A.N. 2000. “Papisj: Perilaku Seks Masyarakat Asmat”. In
Konstruksi Seksualitas Indonesia. Jakarta, p. 143-167.
Warwer, O. 2000. “Perilaku Seks Bebas Pria dan Wanita Lajang Suku Dani”. In
Konstruksi Seksualitas di Indonesia. Jakarta, p.119-141.
Whitehead, Harriet. 1985. “Review of Ritualized Homosexuality in Melanesia”.
Edited by Gilbert H. Herdt. Journal of Homosexuality. 11: 201-205.
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Williams, Francis E. (1924:211-214). “The Natives of the Purari Delta. Territory
of Papua, Anthropology Report. No5”. Port Moresby, dalam Bruce M. Knauft.
South Coast New Guinea Cultures: History, comparison, dialectic. Cambridge.
Cambridge University Press.
__________, (1936:24, 159-160). “Papuans of the Trans-Fly” dalam Bruce M.
Knauft. South Coast New Guinea Cultures: History, comparison, dialectic.
Cambridge. Cambridge University Press.
Yasanto and PATH.2000. Laporan Akhir Program Pencegahan HIV/AIDS pada
Kelompok Berperilaku Resiko Tinggi di Merauke, Papua. Merauke. Yasanto dan
PATH Indonesia.
Zegwaard, Gerard A. 1982. “An Asmat Mission History (A Translation by Joseph
de Louw of De Missie Geschiedenis Asmat Missie)” dalam An Asmat Skecth book
No.2 Edited by Frank A. Trenkenschuh. Pp.5-15. Hastings. N.E. Crosier Missions.
__________,1978. 1953. “Data on the asmat People. (Translation of Zegwaard
(1953) by M.van Roosmalen and F. Trenkenschuh)’ dalam An Asmat Skecth Book
No.6. Edited by Frank A. Trenkenschuh. Pp.15-31. Hastings. NE. Crosier
Missions.
_________, 1959. “Headhunting Practices of the Asmat of West, New Guinea”
dalam. American Anthropologist 61: 1020-1041.
__________, 1954. Ein Bis-Paal uit Sjuru: Legende en Ritueel of Nieuw-Guinea.
Nederlands Nieuw Guinea 2 (1): 11-13.
__________, 1953. Bevolkingsgegevens van de Asmatters Holandia: Bureau for
Native Affairs.
Zegwaard, Gerard A. and J.H.M.C. Boelaars. 1982. “Sociale Structure of the
Asmat People (Annotated translation by Frank A. Trenkenschuh and J.
Hoggebrugge of De Sociale Structuur van de Asmat-bevolking)” in An Asmat
Skecth Book No.1. Edited by Frank A. Trenkenschuh. Pp. 13-29. Hastings NE.
Crosier Missions.
__________,1955. De Sociale Structuur van de Asmat-bevolking.
Adatrechtbundel 45: 244-302.
Wednesday, 10 November 2010
SISTEM POLITIK TRADISIONAL ETNIS BYAK: Kajian tentang Pemerintahan Tradisional
SISTEM POLITIK TRADISIONAL ETNIS BYAK: Kajian tentang Pemerintahan Tradisional
Dr. J.R. Mansoben, MA
Dosen Tetap di Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih dan Kepala
Lembaga Penelitian UNCEN Jayapura
Abstract
In this article, the writer explain the Byak traditional political system;
Politically and economically the Byak tribe has a full autonomy in a village
(mnu), because the village is segmendivide into clans and the clan divided
into families (sim-sim).
Based an the segmentation the Byak knows some leaders such as, Manawir
Mnu; Mambri, Konor or Mon and Korano.
A. Gambaran Umum tentang Daerah dan Penduduk
A.1. Letak dan Lingkungan Alam.
Kepulauan Biak-Numfor yang merupakan tempat asal dan tempat tinggal
orang Biak terletak di sebelah utara Teluk Cenderawasih dan terdiri dari
tiga pulau besar dan puluhan pulau-pulau kecil. Tiga pulau besar adalah
Pulau Biak, Pulau Supiori dan Pulau Numfor. Sedangkan pulau-pulau kecil
adalah gugusan Kepulauan Padaido, yang terdapat di sebelat timur Pulau
Biak, Pulau-pulau Rani dan Insumbabi yang terdapat di sebelah selatan
Pulau Supiori, Pulau-pulau Meosbefandi dan Ayau yang terdapat di sebelah
utara Pulau Supiori dan Kepulauan Mapia yang letaknya jauh di sebelah
utara Pulau Ayau.
Secara geografis Kepulauan Biak-Numfor terletak antara 134043’-137050’
Bujur Timur dan antara 010-10045’ Lintang Selatan. Luas seluruh pulaupulau
yang tergabung dalam gugusan Kepulauan Biak-Numfor adalah 2.500
km2 dengan perincian Pulau Biak dengan luas 1.832 km2, Pulau Supiori
dengan luas 434 km2 dan Pulau Numfor dengan luas 324 km2.
Kecuali Pulau Supiori, yang merupakan salah satu punggung sisi luar dari
lipatan sedimen formasi zone Pasifik Utara yang merupakan lanjutan dari
lipatan Kepala Burung, pulau-pulau lainnya dari gugusan Kepualaun Biak-
Numfor, secara geologis merupakan pulau-pulau karang yang masih dalam
proses pertumbuhan. Hal ini dapat dilihat selain pada formasi-formasi abrasi
atau erosi ombak laut pada tebing-tebing karang di pantai Biak Selatan, yang
menjulang ± 200 m di atas permukaan air laut, juga dapat dilihat pada terasteras
berganda dengan ketinggian antara 6 sampai 10 m yang terdapat
dibagian selatan dan timur Pulau Biak. Keadaan fisis demikian
memungkinkan tidak terdapat lahan tanah yang cukup luas serta subur bagi
usaha pertanian atau perladangan. Beberapa tempat yang memungkinkan
orang untuk melakukan pekerjaan berladang hanya terdapat di utara Pulau
Supiori. Di Pulau Biak tempat-tempat yang cukup baik untuk lahan
berkebun terdapat di sebelah utara, barat, dan timur serta lembah-lembah
sempit di bagian selatan.
Topografi Pulau Supiori berbentuk barisan gunung yang disebut
Pengunungan Supiori, dengan puncak Wombonda sebagai puncak tertinggi
yang mencapai 1.034 m di atas permukaan air laut. Sebaliknya Pulau Biak
mempunyai topografi yang berbentuk teras dan bergelombang tidak teratur.
Di sebalah utara terdapat Gunung Sombunem dengan puncak Poi yang
tingginya ± 740 m di atas permukaan air laut (Van Bemmelen. 1953:266).
Pulau Numfor secara geologis masih muda sekali umurnya (Van Bemmelen.
1953; cf. Groenewegen & Van de Kaa 1965:74). Pulau ini juga terbentuk
dari karang laut dan bentuk topografinya menyerupai sebuah cakram bulat
panjang yang berbukit-bukit di bagian tengah dengan ketinggian tidak lebih
dari 225 m di atas permukaan air laut. Pada celah-celah yang ada di antara
bukit-bukit terdapat tanah-tanah yang cukup baik untuk usaha pertanian.
Keadaan tanah yang relatif subur ini menyebabkan sejak dahulu hingga
sekarang mata pencaharian pokok penduduknya adalah mengusahakan
ladang dengan berbagai tanaman umbi-umbian dan kacang hijau.
A.2. Nama dan Latar Belakang Sejarah.
Pada waktu pemerintah Belanda berkuasa di daerah Papua hingga awal
tahun 1960-an nama yang dipakai untuk menamakan Kepulauan Biak-
Numfor adalah Schouten Eilanden, menurut nama orang Eropa pertama
berkebangsaan Belanda, yang mengunjungi daerah ini pada awal abad keAntropologi
Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
17. Nama-nama lain yang sering dijumpai dalam laporan-laporan tua untuk
penduduk dan daerah kepuluan ini adalah Numfor atau Wiak. Fonem w pada
kata wiak sebenarnya berasal dari fonem v yang kemudian berubah menjadi
b sehingga muncullah kata biak seperti yang digunakan sekarang. Dua nama
terakhir itulah kemudian digabungkan menjadi satu nama yaitu Biak-
Numfor, dengan tanda garis mendatar di antara dua kata itu sebagai tanda
penghubung antara dua kata tersebut, yang dipakai secara resmi untuk
menamakan daerah dan penduduk yang mendiami pulau-pulau yang
terletak disebelah utara Teluk Cenderawasih itu. Dalam percakapan seharihari
orang hanya menggunakan nama Biak saja yang mengandung
pengertian yang sama juga dengan yang disebutkan di atas.
Tentang asal-usul nama serta arti kata tersebut ada beberapa pendapat.
Pertama ialah bahwa nama Biak yang berasal dari kata v’iak itu yang pada
mulanya merupakan suatu kata yang dipakai untuk menamakan penduduk
yang bertempat tinggal di daerah pedalaman pulau-pulau tersebut. Kata
tersebut mengandung pengertian orang-orang yang tinggal di dalam hutan’,
‘orang-orang yang tidak pandai kelautan’, seperti misalnya tidak cakap
menangkap ikan di laut, tidak pandai berlayar di laut dan menyeberangi
lautan yang luas dan lain-lain. Nama tersebut diberikan oleh penduduk
pesisir pulau-pulau itu yang memang mempunyai kemahiran tinggi dalam
hal-hal kelautan. Sungguhpun nama tersebut pada mulanya mengandung
pengertian menghina golongan penduduk tertentu, nama itulah kemudian
diterima dan dipakai sebagai nama resmi untuk penduduk dan daerah
tersebut.
Pendapat lain, berasal dari keterangan ceritera lisan rakyat berupa mite, yang
menceritakan bahwa nama itu berasal dari warga klen Burdam yang
meninggalkan Pulau Biak akibat pertengkaran mereka dengan warga klen
Mandowen. Menurut mite itu, warga klen Burdam memutuskan berangkat
meninggalkan Pulau Warmambo (nama asli Pulau Biak) untuk menetap di
suatu tempat yang letaknya jauh sehingga Pulau Warmambo hilang dari
pandangan mata. Demikianlah mereka berangkat, tetapi setiap kali mereka
menoleh ke belakang mereka melihat Pulau Warmambo nampak di atas
permukaan laut. Keadaan ini menyebabkan mereka berkata, v’iak wer’, atau
‘v’iak’, artinya ia muncul lagi. Kata v’iak inilah yang kemudian dipakai oleh
mereka yang pergi untuk menamakan Pulau Warmambo dan hingga
sekarang nama itulah yang tetap dipakai (Kamma 1978:29-33).
Kata Biak secara resmi dipakai sebagai nama untuk menyebut daerah dan
penduduknya yaitu pada saat dibentuknya lembaga Kainkain Karkara Biak
pada tahun 1947 (De Bruijn 1965:87). Lembaga tersebut merupakan
pengembangan dari lembaga adat kainkain karkara mnu yaitu suatu lembaga
adat yang mempunyai fungsi mengatur kehidupan bersama dalam suatu
komnunitas yang disebut mnu atau kampung. Penjelasan lebih luas tentang
kedua lembaga itu diberikan pada pokok yang membicarakan organisasi
kepemimpinan di bawah.
Nama Numfor berasal dari nama pulau dan golongan penduduk asli Pulau
Numfor. Penggabungan nama Biak dan Numfor menjadi satu nama dan
pemakaiannya secara resmi terjadi pada saat terbentuknya lembaga dewan
daerah di Kepulauan Schouten yang diberi nama Dewan daerah Biak-
Numfor pada tahun 1959.
Dalam tulisan ini saya menggunakan nama Biak-Numfor untuk menyebut
daerah geografisnya dan daerah administrasi pemerintahannya. Nama Biak
digunakan untuk menyebut bahasa dan orang yang memeluk kebudayaan
Biak yang bertempat tinggal di daerah Kepulauan Biak-Numfor sendiri
maupun yang bertempat tinggal di daerah-daerah perantauan yang terletak di
luar kepulauan tersebut.
Tentang sejarah orang Biak, baik sejarah asal usul maupun sejarah
kontaknya dengan dunia luar, tidak diketahui banyak karena tidak tersedia
keterangan tertulis. Satu-satunya sumber lokal yang memberikan keterangan
tentang asal-usul orang Biak seperti halnya juga pada suku-suku bangsa
lainnya di Papua, adalah mite. Menurut mite moyang orang Biak berasal
dari satu daerah yang terletak di sebelah timur, tempat matahari terbit.
Moyang pertama datang ke daerah kepulauan ini dengan menggunakan
perahu. Ada beberapa versi ceritera kedatangan moyang pertama itu. Salah
satu versi mite itu menceriterakan bahwa moyang pertama dari orang Biak
terdiri dari sepasang suami isteri yang dihanyutkan oleh air bah di atas
sebuah perahu dan ketika air surut kembali terdampar di atas satu bukit yang
kemudian diberi nama oleh kedua pasang suami isteri itu Sarwambo. Bukit
tersebut terdapat di bagian timur laut Pulau Biak (di sebelah selatan
kampung Korem sekarang). Dari bukit sarwambo, moyang pertam itu
bersama anak-anaknya berpindah ke tepi Sungai Korem dan dari tempat
terakhir inilah mereka berkembang biak memenuhi seluruh Kepulauan Biak-
Numfor.
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Selanjutnya tentang sejarah kontak orang Biak dengan dunia luar, baik
menurut ceritera lisan tentang tokoh-tokoh legendaris Fakoki dan Pasrefi
maupun sumber keterangan dari Tidore diketahui bahwa kontak itu telah
terjadi jauh sebelum kedatangan orang Eropa pertama di daerah Papua pada
awal abad ke-16 (Kamma 1953:151). Hubungan tersebut terjadi dengan
penduduk di daerah pesisir utara Kepala Burung, Kepulauan Raja Ampat
dan dengan penduduk di Kepulauan Maluku.
Kontak orang Biak dengan orang luar itu terjadi terutama melalui hubungan
perdagangan dan ekspedisi-ekspedisi perang. Bukti terlihat pada adanya
pemukiman-pemukiman orang Biak yang sampai sekarang dapat dijumpai di
berbagai tempat seperti tersebut di atas. Rupanya pada masa sebelum
kedatangan orang Eropa di Kepulauan Maluku dan daerah Papua awal abad
ke-16, orang Biak telah menjelajah ke berbagai wilayah Indonesia lainnya
baik melalui ekspedisi-ekspedisi perdagangan dan perang yang dilakukan
oleh orang-orang Biak sendiri maupun bersama dengan sekutu-sekutunya,
misalnya dengan Kesultanan Tidore atau dengan Kesultanan Ternate.
Kejayaan orang Biak untuk melakukan berbagai ekspedisi itu menghilang
pada akhir abad ke-15 (Kamma 1952:151). Tidak lama sebelum kedatangan
orang Eropa pertama di kawasan Maluku dan Kepulauan Raja Ampat pada
awal abad ke-16.
Bahasa. Orang Biak, baik yang bertempat tinggal di daerah Kepulauan
Biak-Numfor maupun yang berdomisili di tempat-tempat perantauan,
menggunakan satu bahasa, yaitu bahasa Biak.
Walaupun mereka mengngunakan satu bahasa yang sama juga, terdapat
perbedaan dialek antara penduduk pada satu daerah dengan daerah yang
lainnya. Namun, secara prinsip dialek-dialek yang berbeda itu tidak
menghalangi mereka untuk saling mengerti satu sama yang lain. Di
Kepulauan Biak-Numfor sendiri terdapat sepuluh dialek sedangkan di
daerah-daerah migrasi atau perantauan terdapat tiga dialek.
Secara linguistik, bahasa Biak adalah salah satu bahasa di Papua yang
dikategorikan dalam keluarga bahasa Austronesia (Muller 1876-1888;
Wurm & Hattori 1982) dan khususnya termasuk pada subgrup South-
Halmahera-West New Guinea (Blust 1978). Oleh karena bahasa tersebut
digunakan oleh para migran Biak di daerah-daerah perantauan, maka ia
berfungsi di tempat-tempat itu sebagai bahasa pergaulan antara orang-orang
asal Biak dengan penduduk asli. Jumlah penduduk yang menggunakan
bahasa Biak di daerah Kepulauan Biak-Numfor sendiri pada saat sekarang
berjumlah ± 70.000 orang. Membandingkan jumlah penduduk yang
menggunakan bahasa Biak dengan bahasa-bahasa daerah lainnya di Papua,
maka bahasa Biak termasuk dalam kelompok bahasa-bahasa daerah di
Papua yang jumlah penuturnya lebih dari 10.000 orang. Kecuali itu, jika
dilihat dari segi luas wilayah pesebarannya maka bahasa Biak merupakan
bahasa yang paling luas wilayah pesebarannya di seluruh Papua.
A.3. Pemerintahan.
Sungguhpun pemerintah Belanda telah memproklamasikan daerah Papua
sebagai daerah jajahannya pada tanggal 24 Agustus 1828, dan kegiatan
pemerintahannya dilakukan secara resmi pada tahun 1898, namun perhatian
Belanda untuk mengadakan pasifikasi di Kepulauan Biak-Numfor baru
terjadi ketika pos pemerintah pertama yang dipimpin oleh seorang BA
(Bestuurs Assistant) di buka di Bosnik pada tahun 1913. Pos-pos pemerintah
lainnya di Warsa (Biak Utara), Korido (Supiori) dan Namber (Numfor)
dibuka kemudian pada tahun 1919 di bawah pimpinan Letnan Feuilletau de
Bruyn. Masing-masing pos baru itu dipimpin oleh seorang HBA (Hulp
Bestuurs Assistant).
Bersamaan dengan pembukaan pos-pos pemerintah itu, diangkat pemimpinpemimpin
kampung, yang disebut kepala kampung. Tugas utama kepala
kampung ialah sebagai perantara pemerintah untuk menyampaikan perintahperintahnya
kepada rakyat. Agar tugas tersebut dapat dilakukan dengan
berhasil dan baik, maka syarat utama bagi mereka yang diangkat menjadi
kepala kampung adalah orang-orang yang dapat mengerti atau setidaktidaknya
dapat berbicara bahasa Melayu. Penguasaan terhadap bahasa
Melayu memang penting sebab pada waktu itu bahasa Melayu merupakan
bahasa resmi yang digunakan oleh aparat pemerintah jajahan Hindia
Belanda.
Demikianlah pada waktu itu dilantik sebanyak 167 kepala kampung untuk
152 kampung di Biak, 53 kepala kampung untuk 17 kampung di Supiori dan
35 kepala kampung untuk 31 kamping di Numfor (Mampioper 1986:18).
Ketika Keresidenan daerah Papua, yang ditetapkan pada tahun 1921,
dihapus pada tahun 1923, dan daerah itu dijadikan bagian dari Gubernuran
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Maluku, maka pos-pos pemerintah di daerah Biak Numfor itu berstatus
distrik (distric), masing-masing distrik Bosnik (Biak Selatan), distrik Warsa
(Biak Utara) dan distrik Korido (Supiori) berada di bawah onderafdeling
Japen dengan ibu kota di Serui, dan distrik Namber berada di bawah
onderafdeling Manokwari. Keadaan pembagian daerah perintahan seperti ini
berlangsung terus hingga Perang Dunia II. Orang Jepang yang mengambil
alih kekuasaan di Hindia Belanda pada umumnya dan khususnya
Nederlands Nieuw Guinea berada di daerah Kepulauan Biak-Numfor dari
bulan Mei 1942 hingga Mei 1944, ketika Sekutu membebaskan daerah
tersebut, tidak memberikan perhatian kepada bidang pemerinthan di daerah
ini, sehingga keadaan seperti tersebut tidak berubah.
Ketika Perang Dunia II berakhir dan pemerintah Belanda kembali
menguasai daerah Papua, mula-mula dengan status Keresidenan kemudian
dengan status Wilayah Gubernuran berdasarkan Gouvernementstblad (GB)
1950 No. 2.20 Selanjutnya berdasarkan GB 1950 No. 14, Wilayah
Gubernuran Nieuw Guinea (Papua) dibagi menjadi empat wilayah
Keresidenan, masing-masing Keresidenan Noord Nieuw Guinea, West
Nieuw Guinea, Zuid Nieuw Guinea, dan Centraal Bergland.
Berdasarkan pembagian baru itu, wilayah Keresidenan Noord Nieuw Guinea
membawahi enam onderafdeling, yaitu onderafdeling Hollandia (Jayapura),
onderafdeling Genyem, onderafdeling Sarmi, onderafdeling Waren,
onderafdeling Serui dan onderafdeling Biak. Selanjutnya onderafdeling Biak
dibagi menjadi lima distrik, termasuk distrik Namber (Numfor) yang
sebelumnya berada di bawa onderafdeling West Nieuw Guinea, dan di
bawah masing-masing distrik dibentuk daerah tingkat pemerintahan yang
disebut onderdistrict sebanyak lima buah. Pada tahun-tahun berikutnya
terjadi lagi perubahan dalam pembagian wilayah kekuasaan, nmun hal itu
hanya terjadi pada tingkat atas saja. Jadi situasi pembagian daerah
pemerintahan di Kepulauan Biak-Numfor sesudah Perang Dunia II hingga
tahun 1962, ketika terjadi peralihan kekuasaan di daerah Papua dari
pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia lewat UNTEA, adalah
sebanyak lima distrik dan lima subdistrik (onderdistrict) yang membawahi
250 kampung dengan 225 kepala kampung (Mampioper 1986:27).
Menurut struktur organisasi pemerintahan sekarang. Kepulauan Biak-
Numfor membentuk suatu daerah pemerintahan berstatus daerah Tingkat II
di propinsi Papua dengan nama Daerah Tingkat II Kabupaten Biak-Numfor.
Daerah Tingkat II tersebut selanjutnya dibagi ke dalam dua belas wilayah
kecamatan, dan 153 desa. Ibu kota daerah tingkat II Kabupaten Biak-
Numfor adalah Kota Biak yang berpenduduk ± 60.111 jiwa. Selain
berfungsi sebagai ibu kota pemerintahan, kota Biak juga berfungsi sebagai
pusat pendidikan dan perekonomian daerah tersebut. Di Kota Biak terdapat
suatu lapangan terbang internasional yang dapat menghubungkan daerah
Papua dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia maupun dengan dunia luar
terutama ke Hawaii dan Los Angeles di Amerika Serikat.
A.4. Kependudukan.
Orang Biak yang berdomisili di Kepulauan Biak-Numfor pada tahun 1999
berjumlah ± 115.134 orang. Mereka tersebar pada 153 desa/kelurahan yang
terbagi atas dua belas wilayah kecamatan. Jumlah penduduk terbanyak
terdapat pada Kecamatan Biak Kota (36.098 jiwa) dan Kecamatan Biak
Timur (10.121 jiwa), sedangkan kecamatan yang paling sedikit yang paling
sedikit jumlah penduduknya adalah Kecamatan Numfor Barat yang hanya
berpenduduk 3.656 jiwa. Perincian jumlah penduduk menurut kecamatan
adalah seperti pada tabel 1. Perbandingan jumlah penduduk (115.134 orang)
dengan luas wilayah (±2.595 km2), menunjukkan bahwa kepadatan
penduduk di Kabupaten Biak-Numfor adalah sebesar 40,48 orang tiap km2.
Angka tersebut menunjukkan bahwa Kepulauan Biak-Numfor merupakan
kabupaten yang paling tinggi kepadatan penduduknya dibandingkan dengan
kabupaten-kabupaten lainnya di Papua.
Tabel 1
Jumlah Penduduk Kabupaten Biak-Numfor menurut kecamatan, dan
Desa Tahun 1999
No. Nama Kecamatan Jumlah
Desa/Kecamatan
Jumlah
Penduduk
(Orang)
1. Numfor Barat 9 3.656
2. Numfor Timur 11 5.018
3. Yendidori 10 5.979
4. Samofa 7 18.034
5. Biak Kota 11 36.098
6. Padaido 13 3.834
7. Biak Timur 20 10.121
8. Biak Utara 11 6.975
9. Biak Barat 20 8.076
10. Warsa 14 6.296
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
11. Supiori Utara 13 4.348
12. Supiori Selatan 14 6.793
J u m l a h 153 115.134
Sumber: Biak-Numfor dalam Angka, 1999 (Bappeda dan BPS Kabupaten Biak-
Numfor)
A.5. Mata Pencaharian.
Orang Biak, terutama yang tinggal di pedesaan, hidup terutama dari
berladang dan menangkap ikan. Jenis matapencaharian hidup yang disebut
pertama, berladang, dilakukan oleh sebagian besar penduduk, sedangkan
matapencaharian yang kedua, menangkap ikan, dilakukan terutama oleh
penduduk yang bertempat tinggal di Kepulauan Padaido, Biak Timur dan di
Desa Rayori (Sowek), Supiori Selatan.
Teknik berladang yang digunakan ialah berpindah-pindah. Suatu bidang
tanah yang hendak dijadikan ladang pertama-tama dibersihkan dari semaksemak
dan pohon-pohon kecil di dalamnya kemudian ditanami, biasanya
dengan talas dan keladi. Apabila kebun sudah siap ditanami, maka segera
pohon-pohon besar itu ditebang. Setelah itu dahan-dahan dari pohon-pohon
besar yang sudah rubuh itu dipotong-potong dan diratakan tersebar dalm
kebun. Batang pohon, dahan dan daun dibiarkan membusuk menjadi
kompos penyubur bagi tanaman yang sudah ditanami itu. Jenis-jenis
tanaman lain berupa buah-buahan misalnya pepaya, pisang dan sayur-sayur
ditanam kemudian, dicelah-celah tanaman pokok. Pekerjaan berikut adalah
membuat pagar keliling. Fungsinya utama dari pagar ialah untuk mencegah
babi hutan yang merupakan hama utama bagi petani-petani di daerah ini.
Hasil suatu kebun dipanen setelah kurang lebih 8 bulan sejak ditanami.
Sesudah panen pertama kebun masih digunakan lagi sekali, sesudah itu
ditinggalkan dan pindah untuk membuka kebun baru di lahan lain.
Pembukaan kebun baru dengan melakukan pekerjaan yang sama menurut
tahap-tahap tersebut di atas terjadi tidak lama sesudah hasil pada kebun
pertama dipanen. Setelah kurang lebih 10 tahun, lahan yang telah digunakan
pertama itu dibuka lagi dan oleh karena telah ditinggalkan sekian lama maka
secara alamiah kesuburan tanah pulih kembali sehingga dapat memberikan
hasil yang cukup baik seperti halnya pada penggunaan pertama.
Pada umumnya penduduk yang melakukan pekerjaan berladang sebagai
pekerjaan pokok, juga melakukan penangkapan ikan sebagai
matapencaharian tambahan. Hal ini terjadi karena belum ada pembagian
kerja yang bersifat spesialisasi. Seperti halnya di daerah Papua lainnya, di
daerah Biak-Numfor, terutama di daerah pedesaan, tiap keluarga inti
berfungsi unit produksi yang menghasilkan semua kebutuhan pokok bagi
kehidupan angngota keluarganya sendiri, tidak tergantung pada keluarga
lain. Hasil yang diperoleh dari berladang dipakai terutama untuk memenuhi
kebutuhan keluarga sendiri, jika ada kelebihan, maka dibagikan kepada
anggota keluarga yang lain (di waktu lalu) atau di jual ke pasar (di waktu
sekarang).
Di masa lampau matapencaharian lain yang sangat penting dalam kehidupan
orang Biak adalah perdagangan. Barang-barang perdagangan utama pada
waktu itu adalah hasil laut, piring, budak dan alat-alat kerja yang dibuat dari
besi seperti parang dan tombak. Perlu dicatat disini bahwa kepandaian besi
sudah dikenal orang Biak melalui penduduk Maluku jauh sebelum orang
Eropa pertama datang di daerah ini pada awal abad ke-16 sehingga peralatan
kerja tersebut di atas merupakan hasil produksi sendiri (Kamma &
Kooijman 1974).
Sistem perdagangan yang dilakukan pada waktu lampau ialah melalui cara
tukar menukar barang atau barter (dalam bahasa Biak disebut farobek),
tanpa mata uang tertentu seperti halnya orang Me dan Muyu yang
menggunkan kulit kerang sebagai alat pertukaran yang terbaku dalam
kebudayaannya.. Sungguhpun demikian, melalui sistem barter, orang Biak
telah menciptakan suatu institusi yang disebut sistem manibob atau sistem
rekanan dagang di berbagai daerah pesisir Kepala Burung sampai ke
Kepulauan Raja Ampat. Oleh karena sistem manibob merupakan salah satu
media yang digunkan untuk mencapai kedudukan pemimpin dalam
masyarakat maka perlu diberikan penjelasan singkat tentang sistem tersebut.
Sistem manibob adalah suatu sistem dimana dua individu yang berasal dari
dua kampung atau dua tempat yang berbeda lokasi saling bertemu melalui
hubungan dagang. Pertemuan antara dua individu yang berbeda itu dapat
tumbuh dan membawa dua individu bersangkutan pada hubungan yang lebih
akrab dan berlangsung lama.
Cara menciptakan hubungan manibob atau rekanan dagang itu ialah melalui
bentuk pertukaran. Dalam satu transaksi orang yag menjual benda-benda
berharga tertentu kepada orang yag lain tidak menuntut pembayaran penuh,
melainkan mengharapkan pihak pembeli memberikan bantuan kepadanya di
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
saat memerlukan pertolongan. Relasi manibob atau partner dagang antara
dua orang yang mengikat diri dalam waktu yang lama dapat meningkat erat
sedemikian rupa sehingga relasi tersebut bukan terbatas hanya pada segi
perdagangan saja melainkan pada bidang yang lebih luas.
Wujud nyata dalam hubungan yang bersifat lebih luas itu dapat dilihat
misalnya pada saat mereka saling memperingatkan dalam keadaan bahaya
perang atau mereka saling membantu pada saat terjadi kelaparan karena
musim kemarau yang berkepanjangan. Biasanya untuk memperkuat dan
melestarikan relasi yang sudah ada, antara dua belah pihak terjadi
perkawinan. Relasi pertemanan yang mula-mula terdiri dari hubungan
perdagangan dan kemudian diperkuat dengan kepentingan-kepentingan lain
yang mengikat dua individu untuk jangka waktu yang tidak terbatas itulah
yang disebut sistem manibob (cf. Feuilletau de Bruyn 1920).
Melalui sistem manibob kaum kerbat dan kenalan-kenalan dari dua belah
pihak dapat saling tukar menukar barangnya dengan aman, mudah dan
lancar. Hal ini dapat terjadi karena adanya saling pengertian dan
kepercayaan antara mereka atas dasar hubungan pertemanan atau manibob
tadi. Demikianlah individu-individu yang mempunyai relasi tersebut dan
yang berhasil dengan baik memenuhi kepetingan-kepentingan kaum kerabat
dan kenalan-kenalannya dalam berbagai transaksi, di satu pihak dapat
meningkatkan prestise sendiri di muka mereka dan pada pihak yang lain
keberhasilan itu membawa pengakuan dari mereka terhadap
kepemimpinannyan. Atas dasar pengakuan inilah seseorang dapat tampil
sebagai pemimpin dalam masyarakatnya.
Dalam kaitannya dengan aktivitas perdagangan orang Biak dengan sukusuku
bangsa lain di daerah pantai utara Papua sampai ke daerah Kepala
Burung dan Kepulauan Raja Ampat, ialah dikembangkannya pengetahuan
pelayaran yang amat baik oleh orang-orang Biak. Sistem pengetahuan
pelayaran yang dimaksud di sini adalah pengetahuan tentang teknik
membuat perahu, pengetahuan astronomis, pengetahuan tentang gelombang
dan arus-arus laut. Pemilikan pengetahuan ini memungkinkan orang Biak
berhubungan dengan banyak suku-suku bangsa lainnya di berbagai tempat
di daerah pesisir Papua dan akhirnya sebagian orang-orang Biak menetap di
tempat-tempat itu seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya di atas.
B. Struktur Sosial
B.1. Kesatuan sosial dan tempat tinggal.
Baik pada waktu lampau maupun masa kini kesatuan sosial yang paling
penting dalam kehidupan bermasyarakat orang Biak adalah keret, atau klen
kecil. Suatu keret terdiri dari sejumlah keluarga batih yang disebut sim.
Wujud nyata dari keatuan sosial tersebut pada waktu lalu adalah rumah
besar yang disebut rumah keret. Rumah keret merupakan suatu bangunan
yang berbentuk segi empat panjang dengan ukuran kurang lebih 30-40 m
panjang dan 15 m lebar. Rumah keret itu dibangun di ats tiang dan dibagibagi
kedalam sejumlah kamar atau sim yag letaknya disisi kiri-kanan dan
dipisahkan oleh suatu ruang kosong di bagian tengah rumah yang
memanjang mulai dari depan sampai ke belakang. Fungsi utama ruang
tengah yang kosong itu adalah sebagai tempat menaruh perahu milik keret
dan juga sebagai tempat menerima tamu dan tempat berapat anggota
keluarga keret. Jumlah kamar atau bilik dalam suatu rumah keret adalah
sama banyak dengan keluarga batih yang ada dalam keret dan tiap kamar
didiami oleh satu keluarga batih. Oleh karena dalam rumah besar tiap
keluarga batih menempati kamar atau bilik tertentu yang disebut sim, maka
keluarga batih disebut juga sim. Satu rumah keret seperti itu disebut
aberdado dan dapat menampung semua anggota klen, jika jumlahnya kecil
dan dengan demikian dalam satu rumah keret terdapat anggota-anggota
keluarga yang berasal dari tiga bahkan empat generasi, yaitu ayah bersama
keluarganya dan keluarga-keluarga dari anak-anaknya sendiri maupun
keluarga-keluarga dari anak-anak mereka.
Apabila jumlah anggota keluarga demikian banyaknya sehingga tidak dapat
termuat dalam satu rumah keret lagi maka sebagian anggotanya, biasanya
adik dari kepala rumah keret bersama isterinya dan anak-anaknya yang
sudah kawin dengan anggota-anggota keluarganya, memisahkan diri dan
membangun rumah keret baru di samping rumah keret yang lama. Bentuk
rumah keret seperti tersebut di atas tidak dibangun lagi sejak pemerintah
Belanda berkuasa di daerah Kepulauan Biak-Numfor akhir abad lalu. Pada
masa sekarang masing-masing keluarga batih, sim, mempunyai rumah
sendiri, tetapi biasanya berkelompok menurut keret.
Di mana terdapat satu rumah keret atau lebih tempat itu disebut mnu. Pada
dasarnya tiap mnu hanya didiami oleh anggota-anggota masyarakat yang
berasal dari satu keret saja, namun dalam perkembangan selanjutnya,
misalnya melalui hubungan perkawinan dan perdagangan atau juga karena
oleh bahaya perang yang sering terjadi antar penduduk, maka keret-keret
dari tempat-tempat pemukiman, mnu, yang berlainan tempat letaknya
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
bergabung menetap pada tempat pemukiman dari keret tertentu. Dengan
demikian jumlah keret dalam satu tempat pemukiman yang disebut mnu itu
dapat bertambah menjadi lebih dari satu. Inilah sebabnya jumlah keret
bervariasi antara satu mnu dengan mnu yang lainnya.
Pada waktu pemerintah Belanda aktif melakukan pemerintahannya di daerah
Kepulauan Biak-Numfor pada akhir abad ke-20, banyak mnu yang jumlah
anggota masyarakatnya kecil dan terpencar letaknya digabungkan menjadi
kesatuan pemukiman yang lebih bear dan disebut kampung sehingga mudah
dijangkau dan diawasi oleh aparat pemerintah. Penggabungan sejumlah mnu
merupakan juga faktor yang menambah jumlah keret dalam suatu mnu atau
tempat pemukiman. Dengan demikian konsep mnu adalah sama dengan
konsep kampung seperti yang kita kenal di daerah Biak-Numfor masa
sekarang, meskipun alasan penggabungan keret-keret dalam kesatuan
pemukiman yang disebut mnu itu berbeda.
Tiap kesatuan pemukiman yang disebut mnu itu mempunyai wilayah atau
teritorium tertentu dengan batas-batas alam yang jelas seperti bukit, gunung,
sungai, tanjung, pohon besar atau batas alam lainnya. Tanah dan hutan
dalam wilayah kekuasaan mnu yang belum diolah tetapi merupakan tempat
mengumpulkan hasil-hasil hutan berupa rotan dan kayu untuk keperluan
membangun rumah, perahu atau keperluan peralatan lainnya serta tempat
berburu, disebut karmggu, bekas tanah yang digunakan untuk berkebun,
disebut yapur dan marires, daerah hutan sagu, disebut serdan tempat-tempat
yang sedang dibuka menjadi kebun, yaf. Di samping itu termasuk wilayah
kekuasaan satu mnu juga daerah perairan yang menjadi tempat mencari dan
menangkap ikan, meliputi daerah pesisir pantai yang menjadi kering pada
waktu pasang surut, tempat-tempat laut yang dangkal, disebut bosen raswan.
Batas-batas antara satu bosen raswan milik satu mnu dengan bosen raswan
milik mnu lainnya ditandai dengan suatu tanjung atau batu besar yang
terdapat diantara dua mnu tersebut.
Berbeda dengan hak pemilikan tanah yang terdapat di dalam suatu wilayah
kekuasaan mnu, yang akan dibicarakaan segera di bawah ini, bosen raswan
merupakan milik bersama semua keret dalam suatu mnu. Dengan demikian
tiap anggota warga mnu berhak untuk menangkap ikan atau mengumpulkan
berbagai hasil laut berupa kerang dan rumput laut di bosen milik mnu tanpa
dibatasi pada tempat-tempat tertentu.
Pada prinsipnya tanah di tempat satu pemukiman atau mnu adalah milik
keret pertama yang membuka tempat tersebut menjadi pemukiman.
Demikian pula tanah, hutan dan sumber-sumber daya lain yang bermanfaat
bagi kehidupan yang terdapat disekitar tempat pemukiman itu adalah milik
keret pendiri mnu yang disebut Manseren mnu. Pada mulanya keret-keret
yang datang bergabung kemudian mendapat hak pakai saja, bukan hak
milik, dari pendiri kampung untuk memanfaatkan sumber-sumber daya
yang ada pada tempat-tempat tertentu dalam wilayah kekuasaan mnu bagi
pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Hak pakai tersebut dalam perkembangan waktu dapat berubah menjadi hak
milik. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti misalnya ikatan
keluarga (biasanya karena hubungan perkawinan) yang kuat antara keret
pendatang dan keret pendiri serta masih luasnya tanah-tanah kosong
sedangkan jumlah penduduknya masih sedikit, sehingga keret pendiri rela
melepaskan sebagian tanah di tempat pemukimannya untuk digunakan dan
dimiliki oleh keret-keret pendatang. Pertimbangan pelepasan hak milik
lahan kepada keret lain karena faktor-faktor tersebut di atas biasanya
pelepasan tersebut diperkuat oleh faktor kerugian berupa tenaga kerja dan
ongkos-ongkos yag dikeluarkan untuk membuka suatu hutan primer menjadi
lahan.
Demikianlah hak milik atas satu wilayah atau teritorium tertenu yang pada
mulanya bersifat tunggal kemudian berubah menjadi hak milik dari banyak
golongan. Masing-masing golongan atau keret berhak mencari nafkah
hidupnya di tempat yang menjadi hak miliknya saja, bukan ditempat hak
milik pihak lain. Perlu ditegaskan pula di sini bahwa hak milik tersebut di
atas biasanya diberikan kepada keret-keret pertama yang datang bergabung
dengan keret pendiri, sedangkan keret-keret lain yang datang kemudian
biasanya menadapt hak pakai saja, bukan hak milik. Apabila seseorang
individu dari keret tertentu hendak mencari hasil hutan atau membuka kebun
di lokasi yang merupakan hak milik keret lain, maka ia harsu meminta izin
pada kepala keret pemilik dengan persetujuan dari individu yang
menggunakan lokasi tersebut terlebih dahulu.
B.2. Stratifikasi Sosial.
Dalam masyarakat Biak tidak terdapat pembagian menurut lapisan sosial
yang jelas, namun ada perbedaan antara golongan masyarakat bebas dengan
golongan masyarakat budak. Golongan pertama, masyarakat bebas disebut
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
manseren, artinya yang dipertuan, pemilik, yang membuat putusan dan yang
berkuasa, tetapi bukan dalam arti bangsawan atau ningrat yang sesungguhya
seperti yang terdapat pada orang Jawa atau orang Bugis, misalnya.
Golongan masyarakat bebas atau manseren itu terdiri dari golongan
masyarakat yang berasal dari keret pendiri kampung dan golongan
masyaraakat yang berasal dari keret-keret lain yang bergabung kemudian.
Perbedaan antara kedua golongan manseren itu ialah bahwa golongan
pertama disebut manseren mnu, artinya golonan pendiri dan pemilik
kampung, sedangkan golongan kedua hanya disebut golongan manseren
saja.
Golongan masyarakat yang disebut budak atau women berasal dari tawanantawanan
perang. Mereka ini tidak berhak untuk membentuk rumah keret
sendiri seperti yang sudah dijelaskan di atas, tetapi mendapat kamar atau
bilik tertentu di rumah keret. Tugas utama golongan ini adalah membantu
melakukan pekerjaan-pekerjaan bagi siapa mereka dipertuan, seperti
berkebun, mencari ikan, membangun rumah dan lain-lain. Oleh karena tugas
yang demikian maka seorang budak sering dinamakan juga dalam bahasa
Biak manfanwan, artinya yang dapat disuruh untuk melaksanakan pekerjaan
tertentu. Tidak jarang terjadi bahwa seorang budak dapat merubah statusnya
menjadi anggota masyarakat keret asli, tetapi untuk membedakannya dengan
anggota masyarakat keret asli maka ia dan keturunannya mendapat sebutan
keret kasun, atau keret kecil. Dengan demikian mereka berhak
menggunakan nama keret, namun tidak mendapat hak penuh atas hak-hak
keret seperti yang dipegang oleh anggota-anggota asli keret.
B.3. Perkawinan dan pola menetap sesudah kawin.
Prinsip perkawinan yang dianut oleh kesatuan sosial yang disebut keret itu
adalah eksogami, artinya antara anggota-anggota warga satu keret tidak
boleh terjadi perkawinan. Dengan demikian isteri harus diambil dari keret
lain, apakah keret lain itu berada pada mnu yang sama atau bukan.
Selanjutnya pola perkawinan ideal menurut orang Biak , terutama pada
waktu lampau, adalah perkawinan yang disebut indadwer, atau exchange
marriage, yaitu pertukaran perempuan antara dua keluarga yang berasal dari
dua keret yang berbeda. Di samping pola perkawinan ideal tersebut, orang
Biak mengenal juga bentuk perkawinan lainnya seperti perkawinan melalui
peminangan dan perkawinan ganti tikar baik yang bersifat levirate maupun
sororate. Bentuk perkawinan yang paling banyak terjadi adalah perkawinan
melalui peminangan, fakfuken.
Menurut tradisi pihak laki-lakilah yang berkewajiban untuk melakukan
peminangan pada pihak perempuan. Unsur-unsur penting dalam proses
peminangan adalah penentuan jumlah maskawin yag dibayarkan oleh pihak
laki-laki kepada pihak perempuan dan penetuan waktu pelaksanaan
perkawinan, apabila pihak yang disebut terakhir setuju dengan peminangan
tersebut. Tentang pernyataan setuju atau tidak baik dari pihak calon
penganten pria maupun calon penganten putri terhadap siapa ia akan
dinikahkan tidak dipersoalkan dalam peminangan. Dengan kata lain orang
itulah yang menentukan siap calon isteri atau calon suami anaknya.
Keadaan yang dilukiskan di atas ini pada waktu sekarang sudah berubah,
sebab anak-anak sendiri yang menentukan sendiri siapa yang akan menjadi
calon pasangan hidupnya nanti. Biasanya penetuan pilihan itu didasarkan
atas hubungan yang terjalin antar seorang pemuda dengan seorang pemudi
sebelumnya. Penentuan pilihan itu kemudian disampaikan kepada pihak
orang tua, terutama dari pihak laki-laki, yang selanjutnya diproses sampai
kepada upacara perkawinan lewat peminangan biasa seperti tersebut di atas.
Pola menetap sesudah kawin yang dianut adalah patrilokal, yaitu pasangan
baru yang menikah menetap di rumah atau lokasi tempat asal suami. Sering
terjadi juga bahwa sesudah menikah, pasangan baru itu menetap untuk
waktu tertentu di rumah orang tua atau wali isteri. Hal ini disebabkan oleh
karena sang suami dari keluarga baru itu harus melakukan pekerjaanpekerjaan
tertentu misalnya membantu membuka kebun baru, membangun
rumah baru atau melakukan suatu pekerjaan lain bagi orang tua isterinya
sebagai pengganti maskawin yang belum lunas dibayar. Biasanya apabila
pekerjaan tersebut sudah selesai dan dianggap tenaga yang dikeluarkan
untuk melakukan pekerjaan itu layak sebagai pengganti sisa maskawin,
maka pasangan baru itu kembali menetap di tempat asal sang suami.
B.4. Sistem kekerabatan.
Dalam hubungan kekerabatan, orang Biak mengusut keturunannya melalui
garis ayah, jadi bersiaf patrilineal. Sedangkan tipe pokok kekerabatan yang
dianut menuurut pembagian yang dibuat oleh Murdock (1949) adalah sistem
Iroquois, yaitu penggunaan satu istilah yang sama untuk menyebut kelas
kerabat tertentu. Misalnya istilah naek digunakan untuk saudara-saudara
kandung dengan sudara-saudara sepupu paralel (anak-anak saudar laki-laki
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
ayah, dan anak-anak dari saudara perempuan ibu), yang berbeda dari istilah
napirem untuk menyebut semua saudara sepupu silang (anak-anak dari
saudara perempuan ayah dan anak-anak dari saudara laki-laki ibu) pada
generasi Ego. Kecuali itu semua saudara laki-laki ayah disebut juga dengan
istilah ayah, kma, dan semua saudara perempuan ibu disebut, sna.
Sebaliknya semua saudara perempuan ayah disebut bibi, mébin, dan semua
saudara laki-laki ibu disebut paman, mé.
Dalam kaitannya dengan pengklasifikasian anggota kerabat seperti tersebut
di atas adalah adanya larangan perkawinan antara saudara-saudara sepupu,
baik saudara-saudara sepupu sejajar maupun saudara-saudara silang.
Larangan tersebut merupakan ketentuan adat yang menetapkan perkawinan
tersebut sebagai perkawinan inses. Ada baiknya diberikan penjelasan
singkat tentang mengapa hal demikian bisa terjadi.
Menurut pengklasifikasian tersebut di atas, semua saudara sepupu sejajar,
dikelompokkan ke dalam satu kelas dengan saudara-saudara kandung ego
sendiri. Hal itu terlihat pada penggunaan istilah yang sama untuk menyebut
saudara-saudara kandung sendiri dengan saudara-saudara sepupu sejajar.
Konsekwensi dari penyamaan saudara-saudara sepupu sejajar dengan
saudara-saudara kandung sendiri adalah bahwa di anatara mereka tidak
mungkin akan dilakukan ikatan perkawinan. Fenomena larangan terhadap
perkawinan antara saudara-saudara sekandung merupakan gejala universal,
juga terdapat pada orang Biak, sehingga tidak menarik perhatian kita di sini
untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan apa yang menjadi alasan
larangan tersebut.
Hal yang menarik perhatian kita di sini adalah larangan terhadap perkawinan
antara anggota-anggota saudara sepupu silang dalam kebudayaan orang
Biak. Pada banyak kebudayaan di tempat lain baik di luar Papua maupun di
Papua sendiri, misalnya pada orang Waropen, perkawinan antara saudaradaudara
sepupu silang justru merupakan preferensi.
Menurut hemat penulis, larangan tersebut merupakan manifestasi dari
hubungan avunkulat (atau relasi paman-keponakan) yang disimbolisasikan
dalam upacara inisiasi pemuda yang disebut war k’bor. Dalam upacara
tersebut terjadi bahwa saudara perempuan makan makanan yang telah
dicampurkan dengan tetesan darah yagn diambil dari kulit bagian atas alat
kelamin saudara laki-laki yang menjadi inisiandus. Tindakan ini
mengungkapkan secara symbolik penyatuan dua person (inisiandus dan
saudara perempuannya). Akibat pengidentifikasian diri ini ialah bahwa
anak-anak saudara laki-laki adalah juga anak-anak saudara perempuan atau
sebaliknya. Konsekwensinya ialah bahwa di antara mereka tidak boleh
diadakan ikatan perkawinan.
Bantuk-bentuk manifestasi lain dari hubungan avunkulat (relasi pamankeponakan)
ialah peranan paman sebagai mentor bagi keponakannya
(keponakan laki-laki) untuk berkebun, menangkap ikan berburu dan teknikteknik
berperang. Jika paman kebetulan memiliki keahlian tertentu seperti
misalnya pandai besi, atau ahli membuat perahu, maka keahlian-keahlian ini
dapat diajarkan juga kepada keponakannya (Kamma & Kooijman 1973:32).
Juga hubungan tersebut diwujudkan dalam bentuk hak waris, ialah
pewarisan gelar paman kepada keponakan laki-laki yang sulung (Kamma
1955:537), suatu tindakan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
umum yang biasanya berlaku dalam masyarakat yang menganut prinsip
kekerabatan yang bersifat patrilineal.
C. SISTEM KEPEMIMPINAN
Kesatuan masyarakat terkecil yang secara politis dan ekonomis mempunyai
otonomi penuh di kalangan suku-bangsa Biak adalam mnu atau kampung.
Kampung merupakan suatu segmen yang terbagi-bagi dalam keret-keret atau
klen-klen kecil dan selanjutnya dalam sim-sim atau keluarga-keluarga batih.
Dasar-dasar yang menyatukan para warga suatu kampung adalah faktor
kesamaan keturunan dan kepentingan ekonomi dan politik.
Selain unsur-unsur fisik seperti penduduk, bangunan-bangunan berupa
rumah-rumah keret, aberdado, rumah-rumah upacara, rumsram, dan
wilayah tertentu yang jelas batas-batasnya yang merupakan ciri-ciri nyata
suatu komunitas yang disebut mnu atau kampung, unsur lain yang bukan
merupakan unsur fisik tetapi penting sehingga mendapat perhatian khusus
dalam uraian berikut adalah unsur kepemimpinan masyarakat dalam
kampung.
Seperti dikatakan sebelumnya satu kampung dibentuk oleh penduduk yang
berasal dari satu atau lebih keret. Masing-masing-masing keret itu dikepalai
oleh seorang pemimpin yang disebut mananwir keret. Tugas seorang
mananwir adalah pertama, sebagai kepala dan hakim yang menangani
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
berbagai urusan yang menyangkut kepentingan warga golongannya sendiri,
seperti misalnya sebagai kepala untuk mengatur izin penggunaan tanah hak
milik keret di antara warga keret dan sebagai hakim untuk menyelesaikan
berbagai sengketa yang timbul antara warga keret sendiri. Peranan kedua
dari seorang mananwir adalah sebagai wakil golongannya sendiri untuk
untuk menangani masalah-masalah yang menyangkut kepentingan
golongannya dengan golongan yang lain dalam kampung dan bersama-sama
dengan mananwir-mananwir dari keret-keret lain menjaga dan mengawasi
kepentingan warga kampungnya terhadap pihak luar (kampung lain).
Kedudukan menjadi mananwir atau kepala keret itu tidak didasarkan atas
umur, tetapi ditentukan oleh kemampuan memperjuangkan kepentingan
golongan, kerelaan mengorbankan diri demi kepentingan anggota warga
keret, memiliki pengetahuan luas tentang aturan-aturan yang berlaku dalam
keret, mempunyai pengalaman yang lebih banyak dibandingkan dengan
anggota lain dari keret-nya seperti sering mengikuti ekspedisi pelayaran dan
perang ke tempat-tempat yang jauh dan pandai berbicara di muka umum.
Kedudukan seorang mananwir di antara saudara-saudaranya adalah sebagai
primus inter pares dan kedudukan tersebut tidak diteruskan oleh anak lakilaki
sulungnya melainkan oleh salah seorang adik laki-laki. Apabila tidak
ada adik laki-laki maka kedudukan itu dapat diemban oleh anak laki-laki
sulung jika yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat yang dituntut untuk
kedudukan tersebut seperti sudah dikemukakan di atas (Kamma 1995:148).
Di atas kepala keret, pada tiap mnu atau kampung, terdapat seorang kepala
yang disebut mananwir mnu. Seorang mananwir mnu tidak dipilih,
melainkan diangkat oleh penduduk kampung dari salah seorang mananwir
keret berdasarkan dua kriteria pokok: pertama berdasarkan sejarah asal
usulnya yaitu harus berasal dari golongan keret pendiri kampung (Van
Gendt 1955:374) dan kedua berdasarkan kemampuan dari salah seorang
mananwir yang melebihi kemampuan yang ditunjukkan oleh mananwir lain
dalam lingkungan kampungnya. Kriteria terakhir ini lebih penting dari
kriteria pertama, karena seorang mananwir yang berasal dari golongan
manseren mnu atau keret pendiri kampung tetap mempunyai wewenang
untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan penggunaan tanah dan
pemanfaatan hasil-hasil hutan dalam wilayah kekuasaan kampungnya
(Mampioper 1986:7).
Adapun pengutamaan jenis kemampuan yang diharapkan dari seorang
pemimpin cenderung berubah-ubah sesuai dengan kepentingan kelompok
yang pada gilirannya ditentukan oleh situasi tertentu. Dengan demikian pada
waktu perang kedudukan seorang pemimpin kampung didasarkan atas
keberanian memimpin perang, disebut mambri, pada waktu keadaan
ekonomi memburuk, kedudukan tersebut didasarkan atas kemampuan
hubungan ekonomi, manibob, dan pada waktu krisis moral atau bencana
wabah, kedudukan tersebut didasarkan atas kemampuan sebagai mediator
antara orang hidup dan orang mati, mon atau konor.
Kedudukan mananwir mnu adalah sebagai kepala atas kepala-kepala keret
lain dalam kampung. Tugasnya ialah mengkoordinasikan kepala-kepala
keret bersama tokoh-tokoh masyarakat lain dalam pengambilan keputusan
tertentu yang menyangkut kepentingan komunitas kampung lewat lembaga
masyarakat yang disebut kainkain karkara mnu atau seriar mnu, serta
memimpin dengan langsung pelaksanaan keputusan tersebut. Sebelum
memberikan uraian tentang keanggotaan dan fungsi lembaga tersebut
terlebih dahulu diberikan penjelasan singkat mengenai tokoh-tokoh
masyarakat yang tampil sebagai pemimpin kampung, mananwir mnu.
Manseren mnu sebagai mananwir mnu. Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, tiap mnu, kampung, terdiri dari satu atau beberapa keret, klen
kecil. Klen-klen kecil itu dibedakan atas dua golongan yaitu golongan
pendiri kampung, manseren mnu, dan golongan pendatang. Masing-masing
klen kecil mempunyai seorang kepala yang disebut mananwir dan diantara
mereka bertindak seorang sebagai kepala kampung, disebut mananwir mnu.
Seorang kepala dari golongan manseren mnu yang pandai berorganisasi,
memiliki pengetahuan tentang upacara-upacara adat dan berani serta pandai
membangkitkan semangat hidup anggota komunitinya mempunyai
kemungkinan yang lebih besar diangkat sebagai kepala kampung, mananwir
mnu, dibandingkan dengan seorang kepala lain yang memiliki tingkat
kemampuan yang sama tetapi bukan berasal dari golongan manseren mnu
atau keret pendiri kampung.
Selain kedudukan kepala dalam pemerintahan kampung yang dipegang oleh
seorang berasal dari golongan manseren mnu, kedudukan tersebut dapat
diemban juga oleh seseorang yang bukan berasal dari golongan tersebut. Hal
ini sangat erat kaitannya dengan situasi tertentu yang sedang dihadapi oleh
penduduk kampung, seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya di atas.
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Di bawah ini diberikan uraian singkat tentang mananwir mnu, pemimpin
kampung, yang bukan di dasarkan atas keturunan melainkan atas dasar
keahlian tertentu.
Pemimpin perdagangan sebagai mananwir mnu. Pada bagian-bagian yang
membicarakan lingkungan alam serta struktur sosial di atas, telah
dikemukakan bahwa kehidupan penduduk di daerah Biak-Numfor pada
waktu lampau sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan alam yang relatif
kurang subur. Kendala ini menyebabkan penduduk tidak menggatungkan
kehidupannya semata-mata pada hasil pertanian saja melainkan juga pada
jenis mata pencaharian lain seperti berdagang. Dalam kaitannya dengan
sistem perdagangan itu individu-individu yang berhasil memimpin warga
komunitinya untuk melakukan suatu ekspedisi perdagangan (faduren)
muncul sebagai mananwir mnu atau pemimpin masyarakat kampungnya.
Biasanya orang yang berhasil memimpin suatu ekspeidi perdagangan adalah
orang yang mempunyai hubungan manibob atau teman dagang di tempat
lain. Pengakuan terhadap kemampuan memimpin seseorang dengan
kualifikasi seperti ini bersumber dari harapan dan penghargaan yang
diberikan kepadanya. Karena dibawah pimpinannya warga kampung dapat
berhubungan dengan pihak lain untuk memperoleh berbagai kepentingan
yang tidak terdapat dalam lingkungannya sendiri. Juga karena berkat jasanya
warga kampung dapat diselamatkan dari bahaya tertentu misalnya bahaya
kelaparan atau bahaya perang.
Mambri atau pemimpin perang sebagai pemimpin. Dalam pemerintahan
tradisional di daerah ini terdapat juga individu-individu yang dapat muncul
sebagai pemimpin masyarakat atas dasar kualifikasi mambri atau pemimpin
perang. Orang-orang yang mendasarkan kekuasaannya atas kualifikasi ini
sekaligus memiliki sifat berani dan kejam. Di samping itu mereka memiliki
juga pengetahuan mengenai strategi perang serta kemampuan untuk
menyatukan dan membangkitkan semangat pengikut-pengikutnya. Sejak
masa remaja para pemimpin perang diberi makan sejenis daun yang disebut
ui mambri. Menurut kepercayaan orang Biak daun tersebut dapat
memberikan tenaga dan keberanian besar kepada siapa yang memakannya.1
1 Nama ui mambri adalah nama umum untuk beberapa jenis daun yang menurut kepercayaan
orang Biak mengandung khasiat-khasiat tertentu. Misalnya memberikan keberanian kepada
orang (dalam arti percaya diri untuk bertindak dengan keras terhadap lawan) dan juga
mengandung kekuatan untuk menyembuhkan luka-luka berat yang diderita pada waktu
bertempur. Jenis-jenis tanaman yang tergolong dalam ui mambri itu hanya diketahui oleh
Sebelum kehadiran Zending (1855) dan pemerintah Belanda (1898) di
Papua pemimpin perang itu seringkali menimbulkan situasi tidak aman dan
damai di Teluk Cenderawasih, daerah pesisir Kepala Burung dan Kepulauan
Raja Ampat.2 Pada waktu itu orang-orang Biak terkenal sebagai pembajak
laut dikawasan tersebut. Beberapa catatan yang dibuat oleh pekabar-pekabar
injil di daerah itu menunjukkan hal tersebut. Misalnya Kamma menyamakan
orang Biak dengan orang Viking di Teluk Cenderawasih (1976:661), 3
sedang pendeta-pendeta Agter dan Ten Kate mengatakan bahwa kata Biaksi
atau orang Biak, adalah kata yang menakutkan penduduk di pantai utara
Papua sebab kata itu sering diasosiasikan dengan pembunuhan dan
perburuan budak (1953:87).4
Situasi tidak aman yang selalu terjadi di daerah ini menyebabkan penduduk
mendambakan munculnya seorang mambri dari keret-nya atau kampungnya
untuk melindungi penduduk terhadap musuh dari kampung lain. Itulah
sebabnya apabila seseorang yang menunjukkan sifat-sifat mambri, seperti
tersebut di atas, segera diakui sebagai pemimpin mereka baik oleh anggota
kerabatnya sendiri maupun warga kampung lainnya.
orang-orang tertentu saja, tidak oleh umum. Daun tersebut diberi makan hanya kepada anakanak
yang menurut penilaian orang-orang tua (mantan mambri) memiliki bakat untuk
menjadi mambri di kemudian hari. Bakat untuk kualifikasi itu dilihat pada sifat keberanian
yang ditunjukkan oleh seorang anak diantara teman-temannya, misalnya berani mewakili
teman-temannya untuk menyampaikan sesuatu kepada orang-orang dewasa atau berani
mengambil risiko untuk membantu teman yang berada dalam kesulitan, misalnya jatuh di
jurang, atau membantu menyelamatkan teman yang dikejar babi hutan pada waktu berburu
atau memimpin teman-teman untuk melakukan suatu aktivitas tertentu. Selain itu bakat
tersebut dapat diamati dari seorang anak pada waktu berada dalam pendidikan rum sram.
Pengetahuan tentang daun tersebut biasanya diwarikan dalam keret atau klen kecil.
2 Beberapa diantara pemimpin-pemimpin perang itu sangat terkenal dan akhirnya dimitoskan
dalam sejarah kepahlawanan orang Biak, seperti misalnya tokoh-tokoh legendaris Pasrefi dan
Faroki serta Kurabesi (Gurabesi). Wilayah pengruh tokoh-tokoh ini amat luas, meliputi
daerah Teluk Cenderawasih sampai ke Kepulauan Raja Ampat.
3 Dalam kata-katanya sendiri Kamma dalam bukunyanya Dit Wonderlijke Werk II, 1976:661
mencatat: de Biakkers ‘de Vikings van de Geelvinkbaai’
4 Agter dan Ten Kate dalam laporan tentang pembajak-pembajak laut ini mencatat seperti
berikut: ‘Biaksi! Een schrik voer door de dorpen aan de noordkust van nieuw Guinea.
Dadelijk wekt het associaties van moord en slaven jagen’ (lihat Kruis en Korwar, Kamma,
ed. 1953:87).
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Konor atau Mon sebagai pemimpin. Di samping tipe-tipe pemimpin yang
telah diterangkan di atas, terdapat juga pemimpin-pemimpin yang
mendasarkan kekuasaannya pada religi.5 Pemimpin-pemimpin seperti ini
dalam bahasa Biak disebut konor atau mon. Mereka ini mengaku diri
sebagai utusan dari tokoh mite Mananarmakeri atau Manseren Manggundi
yang diutus untuk datang lebih dahulu menyiapkan masyarakat dalam
rangka menyambut kedatangan Manseren Manggundi. Manseren
Manggundi adalah tokoh dalam mite masyarakat Biak yang, menurut
kepercayaannya, telah meninggalkan mereka karena sifat-sifat tidak adil,
dendam, serta pertumpahan darah dan penyelewengan terhadap nilai-nilai
dan norma-norma adat, namun pada suatu waktu akan kembali untuk
mendirikan koreri atau kerajaan abadi bagi orang Biak (Kamma 1972).6
Oleh karena keyakinan orang Biak akan mite tersebut, para ‘utusan’ itu
diakui sebagai pemimpin dalam masyarakat. Kepemimpinan seorang
pemimpin konor atau mon bersifat pergerakan, dan oleh karena tujuan
pergerakan itu adalah mendirikan kerajaan adil dan makmur yang bersifat
abadi, dan juga oleh karena bertujuan mendatangkan kekayaan material bagi
pengikutnya, maka secara umum wujud bentuk kepemimpinan itu dikenal
dengan nama gerakan mesianik atau ratu adil dan gerakan kargoisme.
Penampilan seorang sebagai konor biasanya diawali dengan suatu
pengalaman luar biasa, misalnya sembuh dari penyakit tanpa pengobatan,
pengalaman peristiwa ajaib tertentu, atau bermimpi bertemu dengan
Manseren Manggundi. Pengalaman-pengalaman luar biasa itu kemudian
disusul dengan penyembuhan orang-orang sakit oleh konor. Pengalaman
luar biasa yang disertai dengan tindakan penyembuhan orang sakit itu
membuat membuat masyarakat yakin bahwa orang yang bersangkutan
benar-benar adalah utusan dari Manseren Manggundi. Keyakinan demikian
memudahkan seorang konor untuk membangkitkan semangat banyak orang
guna melaksanakan kemauannya yang merupakan ‘pesan’ dari Manseren
Manggundi.
5 Konsep religi di sini saya artikan menurut pengertian yang diajukan oleh van Baal: ‘all
explicit and implicit notions and ideas, accepted as true, which relate to a reality which can
not be verified empirically’(1973:3).
6 Penjelasan luas tentang mite tersebut dibuat oleh Kamma dalam disertasinya yang berjudul
De Messiaanse Koreri Beweging in het Biaks-Numfoorsche Cultuurgebied (1954). Edisi
berbahasa Inggris berjudul Koreri: Messianic Movements in the Biak-Numfor Culture area
(1972).
Pelaksanaan kemauan sang konor sering disertai dengan sangsi-sangsi berat
terhadap para pembangkang. Pengerahan massa orang yang efektif dengan
menggunakan sangsi-sangsi berat menyebabkan kekuasaan seorang konor
yang pada mulanya terbatas ruang lingkupnya pada warga keret dan warga
kampung sendiri dan hanya bersifat gerakan sosial yang bertujuan
memurnikan nilai-nilai dan norma adat setempat guna mempercepat
kedatangan Manseren Manggundi itu kemudian dapat meluas meliputi
wilayah yang luas serta berubah sifat seperti menentang pengaruh asing.
Contoh konor-konor yang muncul sebagai pemimpin masyarakat dengan
menggunakan mite Manseren Manggundi sebagai alat pengabsahan
kekuasaannya adalah Steven Dawan, Stefanus Simopiaref dan Korinus
Birmor, yang muncul sebagai pemimpin Gerakan Koreri sesudah
Angganitha, pendiri gerakan tersebut. Kecuali Korinus Birmor yang dibunuh
di Biak, para konor lainnya ditahan oleh orang Jepang kemudian dibawa dan
dieksekusi di Manokwari.7
Korano sebagai pemimpin. Tipe pemimpin lain yang dikenal juga dalam
masyarakat Biak adalah pemimpin-pemimpin yang disebut korano.
Sebetulnya istilah korano dalam lingkungan masyarakat Biak mengandung
pengertian gelar yang diperoleh seseorang sebagai hadiah atas upeti atau
sumbangan yang dibawa kepada Sultan di Tidore atau Ternate (Kamma
1947-49). Istilah korano sebetulnya berasal dari istilah kolano dalam bahasa
Tidore atau Ternate yang berarti raja atau pangeran (Kamma 1947/9; Van
Fraassen 1987). Unsur kepemimpinan yang disebut korano itu baru terjadi
pada waktu pemerintah Belanda secara efektif melakukan pemerintahannya
di daerah Papua, khususnya di daerah Biak-Numfor pada dekade kedua abad
ini. Tokoh-tokoh yang diangkat menjadi wakil pemerintah Belanda untuk
menjalankan roda pemerintahannya pada tingkat kampung diberi jabatan
korano. Syarat utama untuk mengangkat seorang korano adalah kemampuan
berbicara bahasa Melayu. Banyak pemimpin korano itu tidak didasarkan
atas kriteria tradisi yang sudah membeku (Burger 19928:90-91).
Pada waktu sebelum pemerintahan Belanda berkuasa, banyak tokoh-tokoh
masyarakat memang menggunakan gelar korano, bukan semata-mata
sebagai jabatan, tetapi juga sebagai gelar penghormatan. Gelar tersebut dan
gelar-gelar lainnya seperti mayor, dimara, sanadi, kapisa, dan rejau pada
waktu itu memberikan kekuasaan dan wibawa sehingga mereka yang
7 Penjelasan tentang sejarah Gerakan Koreri serta pemimpin-pemimpin gerakan tersebut
dimuat dalam Kamma (1972) dan Mansoben (1980).
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
memilikinya mempunyai pengaruh dalam masyarakat, terutama dalam
lingkungan keret dan kampungnya, meskipun dalam kehidupan pribadi
sehari-hari tidak ada pengaruhnya (Mampioper 1986:14). Seperti halnya
gelar korano, gelar-gelar lainpun berasal dari Maluku.8 Dalam lingkungan
orang Biak gelar-gelar itu mempunyai nilai yang sama, artinya penggunaan
satu gelar oleh orang tertentu tidak menyebabkan kedudukannya lebih tinggi
dari orang yang menggunakan gelar yang lain, tidak seperti halnya di
Maluku. Gelar-gelar itu biasanya dipakai di depan nama keret, misalnya
Mayor Namber (dari Numfor), Korano Arwakon (dari kampug Sowek),
Sanadi Mofu (dari kampung Ampombukor), dan Rejau Kasiepo (dari
kampung Wardo).9
Lembaga Kainkain Karkara Mnu. Dalam struktur pemerintahan mnu, atau
kampung pada orang Biak dikenal suatu lembaga yang disebut kainkain
karkara mnu atau dewan kampung. Dewan tersebut dipimpin oleh mananwir
mnu dan anggota-anggotanya terdiri dari para mananwir keret ialah kepalakepala
keret, para sinan keret atau tokoh-tokoh tua keret, para mampapok
(pemuda-pemuda yang kuat baik fisik maupun mental dan yang berani serta
berpengalaman) dan perempuan-perempuan dewasa yang berpengalaman
luas.
Tempat berapat atau berunding lembaga tersebut biasanya di halaman
terbuka dalam kampung. Itulah sebabnya lembaga itu disebut juga seriar,
artinya berkumpul atau berapat di luar.
Lembaga tersebut selain berfungsi sebagai wadah untuk merundingkan
segala aktivitas yang menyangkut bidang pemerintahan, juga berfungsi
sebagai badan pengadilan yang memutuskan hukuman bagi mereka yang
melanggar ketentuan-ketentuan adat. Masalah-masalah yang dirundingkan
8 Gelar mayor berasal dari bahasa Belanda mayoor. Di Maluku istilah tersebut dipakai untuk
jenjang kepangkatan tertentu di dalam angkatan perang Sultan, seperti halnya dalam
pemerintahan Belanda. Di Biak istilah tersebut tidak berhubungan dengan jenjang
kepangkatan tertentu. Istilah itu dipakai sebagai gelar kemudian dirubah menjadi nama keret,
klen kecil dan digunakan sampai sekarang. Demikian juga dengan gelar-gelar lainnya yang
kemudian berubah menjadi nama keret seperti gelar dimara yang berasal dari bahasa Tidore
gimalaha dan bahasa Ternate Kimalaha yang berarti kepala soa. Kata tersebut merupakan
kependekan dari kata-kata giki ma-laha yang berarti orang baik (Van Fraasssen
1987:638;641).
9 Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada Feuilletau de Bruyn (1920:42) dan Mampioper
(1986:14).
dalam bidang pemerintahan itu meliputi aspek keamanan dan gengsi, aspek
ekonomi dan aspek agama.
Dalam aspek keamanan dan gengsi, dewan bertugas untuk memutuskan halhal
seperti : (a) berperang terhadap musuh atau tidak; (b) melakukan
ekspedisi pengayauan dan pengkapan budak ke tempat lain (yang jauh atau
dekat); (c) menerima atau menolak tawaran kampung lain untuk membantu
dalam perang menghadapi lawannya; (d) bersaing dengan kampung lain
untuk berlayar ke tempat-tempat yang jauh yang belum pernah didatangi
oleh orang lain; 10 (e) merundingkan pemberian gelar kepada keponakan
atau menerima gelar dari paman.
Dalam aspek ekonomi, dewan memutuskan hal-hal seperti: (a) membuat
perahu dagang baru; (b) melakukan pelayaran perdagangan; (c) melakukan
perburuan atau penangkapan ikan untuk kepentingan umum tertentu; (d)
membuka kebun baru.
Dalam aspek agama, dewan bertugas untuk merundingkan hal-hal seperti:
(a) pembangunan atau perbaikan rumah pemuda, rum sram; (b) upacara ern
k’bor dan insos yaitu upacara inisiasi pemuda dan pemudi; (c) upacara fan
nanggi (nangki) atau upacara persembahan kepada ‘tuhan langit’: (d)
upacara mansorandak yaitu upacara selamatan bagi seseorang yang untuk
pertama kalinya pergi ke tempat asing.
Selanjutnya kedudukan lembaga kainkain karkara mnu sebagai lembaga
pengadilan ialah bertugas untuk menyelesaikan atau memutuskan hal-hal
seperti: (a) penetapan pembalasan atau pembayaran atas pembunuhan
tertentu; (b) pembayaran denda karena perbuatan zina; (c) pembayaran
kembali maskawin karena isteri menyeleweng; (d) menyelesaikan sengketa
yang timbul antara warga kampung karena masalah tanah atau hasil hutan;
(e) pembayaran denda karena menghina orang lain.
Perlu ditegaskan di sini bahwa inisiatif untuk merundingkan sesuatu
masalah tertentun dalam dewan boleh berasal dari mananwir mnu, tetapi
keputusan didasarkan atas kesepakatan anggota dewan kampung (biasanya
10 Unsur bersaing untuk melebihi orang atau kelompok lain sangat kuat dalam kebudayaan
orang Biak. Hal itu disebut fanandi atau korfandi. Wujud fanandi itu antara lain dinyatakan
dalam hal mengunjugi tempat-tempat yang jauh letaknya dari Kepulauan Biak-Numfor,
seperti Kepulauan Raja Ampat, Ternate, Tidore atau Seram. Keret atau kampung yang
warganya mengunjugi tempat-tempat yang lebih jauh letaknya dan belum pernah didatangi
mengangkat prestise dimuka kelompok lawan atau orang lain.
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
secara musyawarah). Jadi peranan mananwir mnu dalam kedudukannya
sebagai ketua dewan adalah membuat keputusan berdasarkan kesepakatan
bersama, bukan atas kehendak sendiri. Dengan demikian sifat autonomous
atau mandiri yang terdapat pada pemimpin-pemimpin pria berwibawa yang
mendasarkan kekuasaannya atas kriteria kemampuan pribadi seperti halnya
yang dituntut juga dari seorang mananwir mnu, tidak terdapat di sini.
Tiap mnu atau kampung mempunyai lembaga kainkain karkara mnu sendiri
dan bukan merupakan bagian dari lembaga yang sama pada kampung lain.
Ruang lingkupnya hanya meliputi satu kampung yang berbeda, maka
persoalan itu diselesaikan oleh paling sedikit tiga lembaga kainkain karkara
mnu, yaitu dua dari kampung-kampung yang terlibat dan yang satunya lagi
dari kampung yang tidak terlibat. Peranan dari pihak ketiga adalah sebagai
juri, biasanya pihak ketiga itu diundang oleh pihak yang menjadi korban.
Keterlibatan tiga pihak dalam suatu persoalan itu menyebabkan biasanya
banyak peserta yang nampak hadir dalam sidang kainkain karkara mnu
seperti itu.
Ketika pemerintah Belanda berkuasa, lembaga tersebut kurang berperan dan
akhirnya hampir hilang. Namun setelah Perang Dunia II berakhir atas
inisiatif De Bruijn, yang menjadi HPB (Hoofd van Plaatselijk Bestuur)
Biak-Numfor pada waktu itu, lembaga tersebut dihidupkan kembali sebagai
organ fungsional bagi pemerintahan tingkat kampung (De Bruijn 1948/9:71-
75). Sayang, bahwa usaha untuk menghidupkan kembali lembaga tersebut
di kampung Sorido sebagai contoh itu tidak berhasil karena kepentingankepetingan
pribadi tokoh-tokoh masyarakat yang berkedudukan sebagai
mananwir keret dalam kampung tersebut (De Bruijn 1965:86). Meskipun
demikian usaha pada tahun 1947 untuk mendirikan lembaga seperti ini pada
tingkat yang lebih tinggi, yang dikenal dengan nama kainkain karkara Biak,
menurut De Bruijn lebih berhasil (1965:87). Lembaga kainkain karkara
Biak yang didirikan itu berfungsi sebagai dewan penasihat bagi pemerintah
formal daerah onderdistrikt Kepulauan Biak-Numfor. Anggotanya
berjumalh 20 orang, 15 di antaranya dipilih dan 5 orang lain ditunjuk oleh
pemerintah. Mereka semuanya berasal dari kampung tetapi ketuanya adalah
seorang pamong praja pemerintah (De Bruijn 1965:87). Lembaga ini
kemudian pada tahun 1959 berubah menjadi Persekutuan Masyarakat Biak-
Numfor (pada waktu itu disebut Streekgemeenschap Biak-Numfor) dan
diwakili oleh suatu lembaga berupa dewan daerah yang beranggotakan 13
orang, 10 dari mereka dipilih dan 3 yang lainnya diangkat. Dewan tersebut
bersidang dua kali dalam satu tahun dan dibuka untuk pertama kalinya pada
tanggal 10 November 1959. Adapun badan Persekutuan Masyarakat Biak-
Numfor, merupakan badan kemasyarakatan pertama yang didirikan oleh
pemerintah Belanda di Papua berdasarkan Artikel 122 dari Bewindsregeling
Nieuw Guinea (BNG).11
D. Sistem Tradisional dalam Sistem Modern (Otonomi Daerah)
1. Memperhatikan pola-pola kepemimpinan adat (tradisional) orang
Bik seperti yang telah diuraikan sebelumnya di atas dan pola-pola
kepemimpinan dalam sistem kepemimpinan formal (modern) yang
sekarang berlaku di Indonesia termasuk di Kabupaten Biak-Numfor,
kita dapat mencatat bahwa pada prinsipnya kedua sistem tersebut
tidak berbeda karena kedudukan pemimpin didasarkan atas prinsip
pencapaian melalui kualitas pribadi seorang dan atas dasar
kompetisi atau persaingan. Perbedaan yang ada antara kedua sistem
kepemimpinan tadi hanya terletak pada bentuk dari syarat-syarat
yag dituntut pada seseorang yang hendak ditampilkan sebagai
pemimpin. Misalnya pada waktu lampau salah satu syarat yang
sangat penting adalah pengetahuan yang luas tentang adat istiadat
masyarakat, sedangkan diwaktu sekarang pengetahuan tersebut
merupakan syarat mutlak melainkan pengetahuan tentang masalahmasalah
kemasyarakatan kontemporer (misalnya masalah kesehatan,
pendidikan) merupakan prasyarat utama. Oleh karena adanya
kesamaan prinsip tersebut maka kita tidak dapat ragu-ragu untuk
menyatakan bahwa masyarakat Biak-Numfor tidak mengalami
kesulitan dalam menerima sistem pemerintahan modern.
2. Peranan Sistem Kepemimpinan Adat (Tradisional) Orang Biak
dalam Sistem Modern.
“Kainkain karkara” seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di atas
merupakan lembaga kepemimpinan dalam masyarakat Biak-Numfor
yang sangat penting. Oleh karena kehadiran lembaga ini
mencerminkan sifat demokrasi dalam membuat keputusankeputusan
yang menyangkut kepentingan masyarakat umum maka
lembaga tersebut hendaknya dihidupkan kembali dan di integrasikan
ke dalam struktur pemerintahan formal baik di tingkat mnu (desa),
maupun di tingkat kecamatan dan tingkat kabupaten.
11 Lihat De Bruijn 1965:89 dst.
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Fungsi dari lembaga kainkainkarkara dalam tingkat tingkat
pemerintahan formal tersebut di atas adalah sebagai lembaga yang
memberikan pertimbangan dan nasihat bagi penyelenggara
pemerintah formal dalam hal membuat kebijakan-kebijakan yang
menyangkut program-program pembangunan masyarakat. Agar
lembaga kainkain karkara dapat benar-benar berperan dalam
menjalankan fungsinya seperti tersebut maka harus ada pengakuan
resmi dari pemerintah formal terhadap kehadiran lembaga tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Baal, J. van
1975 Reciprocity and the Position of Women. Assen: Van Gorcum
Bemmelen, R.W. van
1953 Geologie. Dalam: W.C. Klein (ed.), 1953(1):259-284.
Blust, R.
1980a Early Austronesian Social Organization: The Evidence of
Language. Current Anthroplogy 21:205-248.
Bruijn, J.V. de
1948/9 Een Proeve tot de Ontwikkeling van de Biakse Menoe of
Kampong. TNG 9:9-16, 39-43, 71-76
Burger, E.J.
1928 Aatekeningen over het Volksbestuur op Noord Nieuw-Guinea.
KS 12:340-352.
Feuilletau de Bruyn, W.K.H.
1920 De Schouten-en Padaido-eilanden. Batavia:Javasche Drukkerij.
1937/9 Welke Afstanden kunnen de Papoea’s van de Schouteneilanden
over Zee Afleggen? TNG 2:306-314; 3:347-355.
1940/1a De Biaksche Tijdrekening naar de Sterrenbeelden. TNG 5:1-10.
Fraassen, Ch. F. van
1987 Ternate, de Molukken en de Indonesische Archipel. Van Soa-
Organisatie en Vierdeling: Een Studie van Traditionele
Samenleving en Cultuur in Indonesië, 2 Vol. Leiden: Disertasi.
Gendt, G.J. van
1955 Kampong-Grenzen; Een grondengeschil op Biak;
Beschouwingen over het begrip Grondvoogd. Adatrechtbundel
45: Nieuw Guinea. ‘s-Gravenhage: Nijhoff, pp. 369-376.
Goenewegen, K. & D. J. van de Kaa (eds)
1964/7 Resultaten van het Demografisch Onderzoek Westelijk Nieuw
Guinea. Delen I t/m VI. The Hague: Government Printing and
Publishing Office.
Jens, F.J.
1916 Het Insos-en het K’bor Feest op Biak en Soepiori. BKI 72:404-
411.
Kamma, F.C.
1955a Volksordening op Biak; Biakse titels. Adatrechtbundel 45:
Nieuw Guinea. ‘s-Gravenhage: Nijhoff, pp. 148-152.
1955b Kruis en Korwar. Den Haag: Voorhoeve.
1972 Koreri: Messianic Movements in the Biak-Numfor Cultuur Area.
The Hague:Nijhoff.
1976 Dit Wonderlijke Werk [2 Vol.]. Oegstgeest: Raad voor de
Zending de Nederlandse Hervormde Kerk.
1975 Religious Texts of the Oral Tradition from Western New Guinea
(Papua). I. The Origin and Sources of life. Leiden: Brill.
1978 Religious Texts of the Oral Tradition from Western New Guinea
(Papua). II. The Threat to Life and its Defence Against Natural
and Supernatural Phenomena.
Kamma, F.C. & S. Kooijman
1974 Romawa Forja, Child of the Fire: Iron Working and Role of
Iron in West New Guinea. Leiden: Brill.
Klein, W.C. (ed.)
1953/4 Nieuw Guinea: De Ontwekkeling op Economisch, Sociaal en
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Cultuur Gebied, in Nederlands en Australisch Nieuw Guinea [3
Vol.]. ‘s-Gravenhage: Statsdrukkerij- en Uitgeverijbedrijf.
Mampioper, A.
1986 ‘Sistem Pemerintahan Tradisional Suku Biak: Beberapa Catatan
tentang Perubahan-Perubahan yang terjadi sebagai Akibat dari
Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Desa berdasarkan Undang-
Undang No. 5 tahun 1979’. Jayapura: Yayasan Bhakti
Cenderawasih & Pusat Studi Papua [Naskah].
Mansoben, J.R.
1980 Gerakan Koreri di daerah Biak antara 1938-1943. Prisma
8(19):78-91.
1985a Ritus K’bor dan Arti Simboliknya dalam Kebudayaan Biak-
Numfor, Papua. Ritus Peralihan di Indonesia. Koentjaraningrat
(ed.). Jakarta: Balai Pustaka, hal. 128-146.
1995 Sistem Politik Tradisional di Papua. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Leiden University. Jakarta.
Mansoben, J.R. & M.T. Walker
1990b Indigenous Political Structure and Leadership Pattern in Papua.
IBIJD 18:17-24.
Müller, F.
1876-88 Grundrisse der Sprachwissenschaft [4 Vols]. Vienna: Hölder.
Murdock, G.P.
1949 Social Structure. New York: MacMillan.
Wurm, S.A. & S. Hattori
1981 Language Atlas of the Pacific Area. Canberra: Australian
Academy of Humanities.
Dr. J.R. Mansoben, MA
Dosen Tetap di Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih dan Kepala
Lembaga Penelitian UNCEN Jayapura
Abstract
In this article, the writer explain the Byak traditional political system;
Politically and economically the Byak tribe has a full autonomy in a village
(mnu), because the village is segmendivide into clans and the clan divided
into families (sim-sim).
Based an the segmentation the Byak knows some leaders such as, Manawir
Mnu; Mambri, Konor or Mon and Korano.
A. Gambaran Umum tentang Daerah dan Penduduk
A.1. Letak dan Lingkungan Alam.
Kepulauan Biak-Numfor yang merupakan tempat asal dan tempat tinggal
orang Biak terletak di sebelah utara Teluk Cenderawasih dan terdiri dari
tiga pulau besar dan puluhan pulau-pulau kecil. Tiga pulau besar adalah
Pulau Biak, Pulau Supiori dan Pulau Numfor. Sedangkan pulau-pulau kecil
adalah gugusan Kepulauan Padaido, yang terdapat di sebelat timur Pulau
Biak, Pulau-pulau Rani dan Insumbabi yang terdapat di sebelah selatan
Pulau Supiori, Pulau-pulau Meosbefandi dan Ayau yang terdapat di sebelah
utara Pulau Supiori dan Kepulauan Mapia yang letaknya jauh di sebelah
utara Pulau Ayau.
Secara geografis Kepulauan Biak-Numfor terletak antara 134043’-137050’
Bujur Timur dan antara 010-10045’ Lintang Selatan. Luas seluruh pulaupulau
yang tergabung dalam gugusan Kepulauan Biak-Numfor adalah 2.500
km2 dengan perincian Pulau Biak dengan luas 1.832 km2, Pulau Supiori
dengan luas 434 km2 dan Pulau Numfor dengan luas 324 km2.
Kecuali Pulau Supiori, yang merupakan salah satu punggung sisi luar dari
lipatan sedimen formasi zone Pasifik Utara yang merupakan lanjutan dari
lipatan Kepala Burung, pulau-pulau lainnya dari gugusan Kepualaun Biak-
Numfor, secara geologis merupakan pulau-pulau karang yang masih dalam
proses pertumbuhan. Hal ini dapat dilihat selain pada formasi-formasi abrasi
atau erosi ombak laut pada tebing-tebing karang di pantai Biak Selatan, yang
menjulang ± 200 m di atas permukaan air laut, juga dapat dilihat pada terasteras
berganda dengan ketinggian antara 6 sampai 10 m yang terdapat
dibagian selatan dan timur Pulau Biak. Keadaan fisis demikian
memungkinkan tidak terdapat lahan tanah yang cukup luas serta subur bagi
usaha pertanian atau perladangan. Beberapa tempat yang memungkinkan
orang untuk melakukan pekerjaan berladang hanya terdapat di utara Pulau
Supiori. Di Pulau Biak tempat-tempat yang cukup baik untuk lahan
berkebun terdapat di sebelah utara, barat, dan timur serta lembah-lembah
sempit di bagian selatan.
Topografi Pulau Supiori berbentuk barisan gunung yang disebut
Pengunungan Supiori, dengan puncak Wombonda sebagai puncak tertinggi
yang mencapai 1.034 m di atas permukaan air laut. Sebaliknya Pulau Biak
mempunyai topografi yang berbentuk teras dan bergelombang tidak teratur.
Di sebalah utara terdapat Gunung Sombunem dengan puncak Poi yang
tingginya ± 740 m di atas permukaan air laut (Van Bemmelen. 1953:266).
Pulau Numfor secara geologis masih muda sekali umurnya (Van Bemmelen.
1953; cf. Groenewegen & Van de Kaa 1965:74). Pulau ini juga terbentuk
dari karang laut dan bentuk topografinya menyerupai sebuah cakram bulat
panjang yang berbukit-bukit di bagian tengah dengan ketinggian tidak lebih
dari 225 m di atas permukaan air laut. Pada celah-celah yang ada di antara
bukit-bukit terdapat tanah-tanah yang cukup baik untuk usaha pertanian.
Keadaan tanah yang relatif subur ini menyebabkan sejak dahulu hingga
sekarang mata pencaharian pokok penduduknya adalah mengusahakan
ladang dengan berbagai tanaman umbi-umbian dan kacang hijau.
A.2. Nama dan Latar Belakang Sejarah.
Pada waktu pemerintah Belanda berkuasa di daerah Papua hingga awal
tahun 1960-an nama yang dipakai untuk menamakan Kepulauan Biak-
Numfor adalah Schouten Eilanden, menurut nama orang Eropa pertama
berkebangsaan Belanda, yang mengunjungi daerah ini pada awal abad keAntropologi
Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
17. Nama-nama lain yang sering dijumpai dalam laporan-laporan tua untuk
penduduk dan daerah kepuluan ini adalah Numfor atau Wiak. Fonem w pada
kata wiak sebenarnya berasal dari fonem v yang kemudian berubah menjadi
b sehingga muncullah kata biak seperti yang digunakan sekarang. Dua nama
terakhir itulah kemudian digabungkan menjadi satu nama yaitu Biak-
Numfor, dengan tanda garis mendatar di antara dua kata itu sebagai tanda
penghubung antara dua kata tersebut, yang dipakai secara resmi untuk
menamakan daerah dan penduduk yang mendiami pulau-pulau yang
terletak disebelah utara Teluk Cenderawasih itu. Dalam percakapan seharihari
orang hanya menggunakan nama Biak saja yang mengandung
pengertian yang sama juga dengan yang disebutkan di atas.
Tentang asal-usul nama serta arti kata tersebut ada beberapa pendapat.
Pertama ialah bahwa nama Biak yang berasal dari kata v’iak itu yang pada
mulanya merupakan suatu kata yang dipakai untuk menamakan penduduk
yang bertempat tinggal di daerah pedalaman pulau-pulau tersebut. Kata
tersebut mengandung pengertian orang-orang yang tinggal di dalam hutan’,
‘orang-orang yang tidak pandai kelautan’, seperti misalnya tidak cakap
menangkap ikan di laut, tidak pandai berlayar di laut dan menyeberangi
lautan yang luas dan lain-lain. Nama tersebut diberikan oleh penduduk
pesisir pulau-pulau itu yang memang mempunyai kemahiran tinggi dalam
hal-hal kelautan. Sungguhpun nama tersebut pada mulanya mengandung
pengertian menghina golongan penduduk tertentu, nama itulah kemudian
diterima dan dipakai sebagai nama resmi untuk penduduk dan daerah
tersebut.
Pendapat lain, berasal dari keterangan ceritera lisan rakyat berupa mite, yang
menceritakan bahwa nama itu berasal dari warga klen Burdam yang
meninggalkan Pulau Biak akibat pertengkaran mereka dengan warga klen
Mandowen. Menurut mite itu, warga klen Burdam memutuskan berangkat
meninggalkan Pulau Warmambo (nama asli Pulau Biak) untuk menetap di
suatu tempat yang letaknya jauh sehingga Pulau Warmambo hilang dari
pandangan mata. Demikianlah mereka berangkat, tetapi setiap kali mereka
menoleh ke belakang mereka melihat Pulau Warmambo nampak di atas
permukaan laut. Keadaan ini menyebabkan mereka berkata, v’iak wer’, atau
‘v’iak’, artinya ia muncul lagi. Kata v’iak inilah yang kemudian dipakai oleh
mereka yang pergi untuk menamakan Pulau Warmambo dan hingga
sekarang nama itulah yang tetap dipakai (Kamma 1978:29-33).
Kata Biak secara resmi dipakai sebagai nama untuk menyebut daerah dan
penduduknya yaitu pada saat dibentuknya lembaga Kainkain Karkara Biak
pada tahun 1947 (De Bruijn 1965:87). Lembaga tersebut merupakan
pengembangan dari lembaga adat kainkain karkara mnu yaitu suatu lembaga
adat yang mempunyai fungsi mengatur kehidupan bersama dalam suatu
komnunitas yang disebut mnu atau kampung. Penjelasan lebih luas tentang
kedua lembaga itu diberikan pada pokok yang membicarakan organisasi
kepemimpinan di bawah.
Nama Numfor berasal dari nama pulau dan golongan penduduk asli Pulau
Numfor. Penggabungan nama Biak dan Numfor menjadi satu nama dan
pemakaiannya secara resmi terjadi pada saat terbentuknya lembaga dewan
daerah di Kepulauan Schouten yang diberi nama Dewan daerah Biak-
Numfor pada tahun 1959.
Dalam tulisan ini saya menggunakan nama Biak-Numfor untuk menyebut
daerah geografisnya dan daerah administrasi pemerintahannya. Nama Biak
digunakan untuk menyebut bahasa dan orang yang memeluk kebudayaan
Biak yang bertempat tinggal di daerah Kepulauan Biak-Numfor sendiri
maupun yang bertempat tinggal di daerah-daerah perantauan yang terletak di
luar kepulauan tersebut.
Tentang sejarah orang Biak, baik sejarah asal usul maupun sejarah
kontaknya dengan dunia luar, tidak diketahui banyak karena tidak tersedia
keterangan tertulis. Satu-satunya sumber lokal yang memberikan keterangan
tentang asal-usul orang Biak seperti halnya juga pada suku-suku bangsa
lainnya di Papua, adalah mite. Menurut mite moyang orang Biak berasal
dari satu daerah yang terletak di sebelah timur, tempat matahari terbit.
Moyang pertama datang ke daerah kepulauan ini dengan menggunakan
perahu. Ada beberapa versi ceritera kedatangan moyang pertama itu. Salah
satu versi mite itu menceriterakan bahwa moyang pertama dari orang Biak
terdiri dari sepasang suami isteri yang dihanyutkan oleh air bah di atas
sebuah perahu dan ketika air surut kembali terdampar di atas satu bukit yang
kemudian diberi nama oleh kedua pasang suami isteri itu Sarwambo. Bukit
tersebut terdapat di bagian timur laut Pulau Biak (di sebelah selatan
kampung Korem sekarang). Dari bukit sarwambo, moyang pertam itu
bersama anak-anaknya berpindah ke tepi Sungai Korem dan dari tempat
terakhir inilah mereka berkembang biak memenuhi seluruh Kepulauan Biak-
Numfor.
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Selanjutnya tentang sejarah kontak orang Biak dengan dunia luar, baik
menurut ceritera lisan tentang tokoh-tokoh legendaris Fakoki dan Pasrefi
maupun sumber keterangan dari Tidore diketahui bahwa kontak itu telah
terjadi jauh sebelum kedatangan orang Eropa pertama di daerah Papua pada
awal abad ke-16 (Kamma 1953:151). Hubungan tersebut terjadi dengan
penduduk di daerah pesisir utara Kepala Burung, Kepulauan Raja Ampat
dan dengan penduduk di Kepulauan Maluku.
Kontak orang Biak dengan orang luar itu terjadi terutama melalui hubungan
perdagangan dan ekspedisi-ekspedisi perang. Bukti terlihat pada adanya
pemukiman-pemukiman orang Biak yang sampai sekarang dapat dijumpai di
berbagai tempat seperti tersebut di atas. Rupanya pada masa sebelum
kedatangan orang Eropa di Kepulauan Maluku dan daerah Papua awal abad
ke-16, orang Biak telah menjelajah ke berbagai wilayah Indonesia lainnya
baik melalui ekspedisi-ekspedisi perdagangan dan perang yang dilakukan
oleh orang-orang Biak sendiri maupun bersama dengan sekutu-sekutunya,
misalnya dengan Kesultanan Tidore atau dengan Kesultanan Ternate.
Kejayaan orang Biak untuk melakukan berbagai ekspedisi itu menghilang
pada akhir abad ke-15 (Kamma 1952:151). Tidak lama sebelum kedatangan
orang Eropa pertama di kawasan Maluku dan Kepulauan Raja Ampat pada
awal abad ke-16.
Bahasa. Orang Biak, baik yang bertempat tinggal di daerah Kepulauan
Biak-Numfor maupun yang berdomisili di tempat-tempat perantauan,
menggunakan satu bahasa, yaitu bahasa Biak.
Walaupun mereka mengngunakan satu bahasa yang sama juga, terdapat
perbedaan dialek antara penduduk pada satu daerah dengan daerah yang
lainnya. Namun, secara prinsip dialek-dialek yang berbeda itu tidak
menghalangi mereka untuk saling mengerti satu sama yang lain. Di
Kepulauan Biak-Numfor sendiri terdapat sepuluh dialek sedangkan di
daerah-daerah migrasi atau perantauan terdapat tiga dialek.
Secara linguistik, bahasa Biak adalah salah satu bahasa di Papua yang
dikategorikan dalam keluarga bahasa Austronesia (Muller 1876-1888;
Wurm & Hattori 1982) dan khususnya termasuk pada subgrup South-
Halmahera-West New Guinea (Blust 1978). Oleh karena bahasa tersebut
digunakan oleh para migran Biak di daerah-daerah perantauan, maka ia
berfungsi di tempat-tempat itu sebagai bahasa pergaulan antara orang-orang
asal Biak dengan penduduk asli. Jumlah penduduk yang menggunakan
bahasa Biak di daerah Kepulauan Biak-Numfor sendiri pada saat sekarang
berjumlah ± 70.000 orang. Membandingkan jumlah penduduk yang
menggunakan bahasa Biak dengan bahasa-bahasa daerah lainnya di Papua,
maka bahasa Biak termasuk dalam kelompok bahasa-bahasa daerah di
Papua yang jumlah penuturnya lebih dari 10.000 orang. Kecuali itu, jika
dilihat dari segi luas wilayah pesebarannya maka bahasa Biak merupakan
bahasa yang paling luas wilayah pesebarannya di seluruh Papua.
A.3. Pemerintahan.
Sungguhpun pemerintah Belanda telah memproklamasikan daerah Papua
sebagai daerah jajahannya pada tanggal 24 Agustus 1828, dan kegiatan
pemerintahannya dilakukan secara resmi pada tahun 1898, namun perhatian
Belanda untuk mengadakan pasifikasi di Kepulauan Biak-Numfor baru
terjadi ketika pos pemerintah pertama yang dipimpin oleh seorang BA
(Bestuurs Assistant) di buka di Bosnik pada tahun 1913. Pos-pos pemerintah
lainnya di Warsa (Biak Utara), Korido (Supiori) dan Namber (Numfor)
dibuka kemudian pada tahun 1919 di bawah pimpinan Letnan Feuilletau de
Bruyn. Masing-masing pos baru itu dipimpin oleh seorang HBA (Hulp
Bestuurs Assistant).
Bersamaan dengan pembukaan pos-pos pemerintah itu, diangkat pemimpinpemimpin
kampung, yang disebut kepala kampung. Tugas utama kepala
kampung ialah sebagai perantara pemerintah untuk menyampaikan perintahperintahnya
kepada rakyat. Agar tugas tersebut dapat dilakukan dengan
berhasil dan baik, maka syarat utama bagi mereka yang diangkat menjadi
kepala kampung adalah orang-orang yang dapat mengerti atau setidaktidaknya
dapat berbicara bahasa Melayu. Penguasaan terhadap bahasa
Melayu memang penting sebab pada waktu itu bahasa Melayu merupakan
bahasa resmi yang digunakan oleh aparat pemerintah jajahan Hindia
Belanda.
Demikianlah pada waktu itu dilantik sebanyak 167 kepala kampung untuk
152 kampung di Biak, 53 kepala kampung untuk 17 kampung di Supiori dan
35 kepala kampung untuk 31 kamping di Numfor (Mampioper 1986:18).
Ketika Keresidenan daerah Papua, yang ditetapkan pada tahun 1921,
dihapus pada tahun 1923, dan daerah itu dijadikan bagian dari Gubernuran
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Maluku, maka pos-pos pemerintah di daerah Biak Numfor itu berstatus
distrik (distric), masing-masing distrik Bosnik (Biak Selatan), distrik Warsa
(Biak Utara) dan distrik Korido (Supiori) berada di bawah onderafdeling
Japen dengan ibu kota di Serui, dan distrik Namber berada di bawah
onderafdeling Manokwari. Keadaan pembagian daerah perintahan seperti ini
berlangsung terus hingga Perang Dunia II. Orang Jepang yang mengambil
alih kekuasaan di Hindia Belanda pada umumnya dan khususnya
Nederlands Nieuw Guinea berada di daerah Kepulauan Biak-Numfor dari
bulan Mei 1942 hingga Mei 1944, ketika Sekutu membebaskan daerah
tersebut, tidak memberikan perhatian kepada bidang pemerinthan di daerah
ini, sehingga keadaan seperti tersebut tidak berubah.
Ketika Perang Dunia II berakhir dan pemerintah Belanda kembali
menguasai daerah Papua, mula-mula dengan status Keresidenan kemudian
dengan status Wilayah Gubernuran berdasarkan Gouvernementstblad (GB)
1950 No. 2.20 Selanjutnya berdasarkan GB 1950 No. 14, Wilayah
Gubernuran Nieuw Guinea (Papua) dibagi menjadi empat wilayah
Keresidenan, masing-masing Keresidenan Noord Nieuw Guinea, West
Nieuw Guinea, Zuid Nieuw Guinea, dan Centraal Bergland.
Berdasarkan pembagian baru itu, wilayah Keresidenan Noord Nieuw Guinea
membawahi enam onderafdeling, yaitu onderafdeling Hollandia (Jayapura),
onderafdeling Genyem, onderafdeling Sarmi, onderafdeling Waren,
onderafdeling Serui dan onderafdeling Biak. Selanjutnya onderafdeling Biak
dibagi menjadi lima distrik, termasuk distrik Namber (Numfor) yang
sebelumnya berada di bawa onderafdeling West Nieuw Guinea, dan di
bawah masing-masing distrik dibentuk daerah tingkat pemerintahan yang
disebut onderdistrict sebanyak lima buah. Pada tahun-tahun berikutnya
terjadi lagi perubahan dalam pembagian wilayah kekuasaan, nmun hal itu
hanya terjadi pada tingkat atas saja. Jadi situasi pembagian daerah
pemerintahan di Kepulauan Biak-Numfor sesudah Perang Dunia II hingga
tahun 1962, ketika terjadi peralihan kekuasaan di daerah Papua dari
pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia lewat UNTEA, adalah
sebanyak lima distrik dan lima subdistrik (onderdistrict) yang membawahi
250 kampung dengan 225 kepala kampung (Mampioper 1986:27).
Menurut struktur organisasi pemerintahan sekarang. Kepulauan Biak-
Numfor membentuk suatu daerah pemerintahan berstatus daerah Tingkat II
di propinsi Papua dengan nama Daerah Tingkat II Kabupaten Biak-Numfor.
Daerah Tingkat II tersebut selanjutnya dibagi ke dalam dua belas wilayah
kecamatan, dan 153 desa. Ibu kota daerah tingkat II Kabupaten Biak-
Numfor adalah Kota Biak yang berpenduduk ± 60.111 jiwa. Selain
berfungsi sebagai ibu kota pemerintahan, kota Biak juga berfungsi sebagai
pusat pendidikan dan perekonomian daerah tersebut. Di Kota Biak terdapat
suatu lapangan terbang internasional yang dapat menghubungkan daerah
Papua dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia maupun dengan dunia luar
terutama ke Hawaii dan Los Angeles di Amerika Serikat.
A.4. Kependudukan.
Orang Biak yang berdomisili di Kepulauan Biak-Numfor pada tahun 1999
berjumlah ± 115.134 orang. Mereka tersebar pada 153 desa/kelurahan yang
terbagi atas dua belas wilayah kecamatan. Jumlah penduduk terbanyak
terdapat pada Kecamatan Biak Kota (36.098 jiwa) dan Kecamatan Biak
Timur (10.121 jiwa), sedangkan kecamatan yang paling sedikit yang paling
sedikit jumlah penduduknya adalah Kecamatan Numfor Barat yang hanya
berpenduduk 3.656 jiwa. Perincian jumlah penduduk menurut kecamatan
adalah seperti pada tabel 1. Perbandingan jumlah penduduk (115.134 orang)
dengan luas wilayah (±2.595 km2), menunjukkan bahwa kepadatan
penduduk di Kabupaten Biak-Numfor adalah sebesar 40,48 orang tiap km2.
Angka tersebut menunjukkan bahwa Kepulauan Biak-Numfor merupakan
kabupaten yang paling tinggi kepadatan penduduknya dibandingkan dengan
kabupaten-kabupaten lainnya di Papua.
Tabel 1
Jumlah Penduduk Kabupaten Biak-Numfor menurut kecamatan, dan
Desa Tahun 1999
No. Nama Kecamatan Jumlah
Desa/Kecamatan
Jumlah
Penduduk
(Orang)
1. Numfor Barat 9 3.656
2. Numfor Timur 11 5.018
3. Yendidori 10 5.979
4. Samofa 7 18.034
5. Biak Kota 11 36.098
6. Padaido 13 3.834
7. Biak Timur 20 10.121
8. Biak Utara 11 6.975
9. Biak Barat 20 8.076
10. Warsa 14 6.296
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
11. Supiori Utara 13 4.348
12. Supiori Selatan 14 6.793
J u m l a h 153 115.134
Sumber: Biak-Numfor dalam Angka, 1999 (Bappeda dan BPS Kabupaten Biak-
Numfor)
A.5. Mata Pencaharian.
Orang Biak, terutama yang tinggal di pedesaan, hidup terutama dari
berladang dan menangkap ikan. Jenis matapencaharian hidup yang disebut
pertama, berladang, dilakukan oleh sebagian besar penduduk, sedangkan
matapencaharian yang kedua, menangkap ikan, dilakukan terutama oleh
penduduk yang bertempat tinggal di Kepulauan Padaido, Biak Timur dan di
Desa Rayori (Sowek), Supiori Selatan.
Teknik berladang yang digunakan ialah berpindah-pindah. Suatu bidang
tanah yang hendak dijadikan ladang pertama-tama dibersihkan dari semaksemak
dan pohon-pohon kecil di dalamnya kemudian ditanami, biasanya
dengan talas dan keladi. Apabila kebun sudah siap ditanami, maka segera
pohon-pohon besar itu ditebang. Setelah itu dahan-dahan dari pohon-pohon
besar yang sudah rubuh itu dipotong-potong dan diratakan tersebar dalm
kebun. Batang pohon, dahan dan daun dibiarkan membusuk menjadi
kompos penyubur bagi tanaman yang sudah ditanami itu. Jenis-jenis
tanaman lain berupa buah-buahan misalnya pepaya, pisang dan sayur-sayur
ditanam kemudian, dicelah-celah tanaman pokok. Pekerjaan berikut adalah
membuat pagar keliling. Fungsinya utama dari pagar ialah untuk mencegah
babi hutan yang merupakan hama utama bagi petani-petani di daerah ini.
Hasil suatu kebun dipanen setelah kurang lebih 8 bulan sejak ditanami.
Sesudah panen pertama kebun masih digunakan lagi sekali, sesudah itu
ditinggalkan dan pindah untuk membuka kebun baru di lahan lain.
Pembukaan kebun baru dengan melakukan pekerjaan yang sama menurut
tahap-tahap tersebut di atas terjadi tidak lama sesudah hasil pada kebun
pertama dipanen. Setelah kurang lebih 10 tahun, lahan yang telah digunakan
pertama itu dibuka lagi dan oleh karena telah ditinggalkan sekian lama maka
secara alamiah kesuburan tanah pulih kembali sehingga dapat memberikan
hasil yang cukup baik seperti halnya pada penggunaan pertama.
Pada umumnya penduduk yang melakukan pekerjaan berladang sebagai
pekerjaan pokok, juga melakukan penangkapan ikan sebagai
matapencaharian tambahan. Hal ini terjadi karena belum ada pembagian
kerja yang bersifat spesialisasi. Seperti halnya di daerah Papua lainnya, di
daerah Biak-Numfor, terutama di daerah pedesaan, tiap keluarga inti
berfungsi unit produksi yang menghasilkan semua kebutuhan pokok bagi
kehidupan angngota keluarganya sendiri, tidak tergantung pada keluarga
lain. Hasil yang diperoleh dari berladang dipakai terutama untuk memenuhi
kebutuhan keluarga sendiri, jika ada kelebihan, maka dibagikan kepada
anggota keluarga yang lain (di waktu lalu) atau di jual ke pasar (di waktu
sekarang).
Di masa lampau matapencaharian lain yang sangat penting dalam kehidupan
orang Biak adalah perdagangan. Barang-barang perdagangan utama pada
waktu itu adalah hasil laut, piring, budak dan alat-alat kerja yang dibuat dari
besi seperti parang dan tombak. Perlu dicatat disini bahwa kepandaian besi
sudah dikenal orang Biak melalui penduduk Maluku jauh sebelum orang
Eropa pertama datang di daerah ini pada awal abad ke-16 sehingga peralatan
kerja tersebut di atas merupakan hasil produksi sendiri (Kamma &
Kooijman 1974).
Sistem perdagangan yang dilakukan pada waktu lampau ialah melalui cara
tukar menukar barang atau barter (dalam bahasa Biak disebut farobek),
tanpa mata uang tertentu seperti halnya orang Me dan Muyu yang
menggunkan kulit kerang sebagai alat pertukaran yang terbaku dalam
kebudayaannya.. Sungguhpun demikian, melalui sistem barter, orang Biak
telah menciptakan suatu institusi yang disebut sistem manibob atau sistem
rekanan dagang di berbagai daerah pesisir Kepala Burung sampai ke
Kepulauan Raja Ampat. Oleh karena sistem manibob merupakan salah satu
media yang digunkan untuk mencapai kedudukan pemimpin dalam
masyarakat maka perlu diberikan penjelasan singkat tentang sistem tersebut.
Sistem manibob adalah suatu sistem dimana dua individu yang berasal dari
dua kampung atau dua tempat yang berbeda lokasi saling bertemu melalui
hubungan dagang. Pertemuan antara dua individu yang berbeda itu dapat
tumbuh dan membawa dua individu bersangkutan pada hubungan yang lebih
akrab dan berlangsung lama.
Cara menciptakan hubungan manibob atau rekanan dagang itu ialah melalui
bentuk pertukaran. Dalam satu transaksi orang yag menjual benda-benda
berharga tertentu kepada orang yag lain tidak menuntut pembayaran penuh,
melainkan mengharapkan pihak pembeli memberikan bantuan kepadanya di
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
saat memerlukan pertolongan. Relasi manibob atau partner dagang antara
dua orang yang mengikat diri dalam waktu yang lama dapat meningkat erat
sedemikian rupa sehingga relasi tersebut bukan terbatas hanya pada segi
perdagangan saja melainkan pada bidang yang lebih luas.
Wujud nyata dalam hubungan yang bersifat lebih luas itu dapat dilihat
misalnya pada saat mereka saling memperingatkan dalam keadaan bahaya
perang atau mereka saling membantu pada saat terjadi kelaparan karena
musim kemarau yang berkepanjangan. Biasanya untuk memperkuat dan
melestarikan relasi yang sudah ada, antara dua belah pihak terjadi
perkawinan. Relasi pertemanan yang mula-mula terdiri dari hubungan
perdagangan dan kemudian diperkuat dengan kepentingan-kepentingan lain
yang mengikat dua individu untuk jangka waktu yang tidak terbatas itulah
yang disebut sistem manibob (cf. Feuilletau de Bruyn 1920).
Melalui sistem manibob kaum kerbat dan kenalan-kenalan dari dua belah
pihak dapat saling tukar menukar barangnya dengan aman, mudah dan
lancar. Hal ini dapat terjadi karena adanya saling pengertian dan
kepercayaan antara mereka atas dasar hubungan pertemanan atau manibob
tadi. Demikianlah individu-individu yang mempunyai relasi tersebut dan
yang berhasil dengan baik memenuhi kepetingan-kepentingan kaum kerabat
dan kenalan-kenalannya dalam berbagai transaksi, di satu pihak dapat
meningkatkan prestise sendiri di muka mereka dan pada pihak yang lain
keberhasilan itu membawa pengakuan dari mereka terhadap
kepemimpinannyan. Atas dasar pengakuan inilah seseorang dapat tampil
sebagai pemimpin dalam masyarakatnya.
Dalam kaitannya dengan aktivitas perdagangan orang Biak dengan sukusuku
bangsa lain di daerah pantai utara Papua sampai ke daerah Kepala
Burung dan Kepulauan Raja Ampat, ialah dikembangkannya pengetahuan
pelayaran yang amat baik oleh orang-orang Biak. Sistem pengetahuan
pelayaran yang dimaksud di sini adalah pengetahuan tentang teknik
membuat perahu, pengetahuan astronomis, pengetahuan tentang gelombang
dan arus-arus laut. Pemilikan pengetahuan ini memungkinkan orang Biak
berhubungan dengan banyak suku-suku bangsa lainnya di berbagai tempat
di daerah pesisir Papua dan akhirnya sebagian orang-orang Biak menetap di
tempat-tempat itu seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya di atas.
B. Struktur Sosial
B.1. Kesatuan sosial dan tempat tinggal.
Baik pada waktu lampau maupun masa kini kesatuan sosial yang paling
penting dalam kehidupan bermasyarakat orang Biak adalah keret, atau klen
kecil. Suatu keret terdiri dari sejumlah keluarga batih yang disebut sim.
Wujud nyata dari keatuan sosial tersebut pada waktu lalu adalah rumah
besar yang disebut rumah keret. Rumah keret merupakan suatu bangunan
yang berbentuk segi empat panjang dengan ukuran kurang lebih 30-40 m
panjang dan 15 m lebar. Rumah keret itu dibangun di ats tiang dan dibagibagi
kedalam sejumlah kamar atau sim yag letaknya disisi kiri-kanan dan
dipisahkan oleh suatu ruang kosong di bagian tengah rumah yang
memanjang mulai dari depan sampai ke belakang. Fungsi utama ruang
tengah yang kosong itu adalah sebagai tempat menaruh perahu milik keret
dan juga sebagai tempat menerima tamu dan tempat berapat anggota
keluarga keret. Jumlah kamar atau bilik dalam suatu rumah keret adalah
sama banyak dengan keluarga batih yang ada dalam keret dan tiap kamar
didiami oleh satu keluarga batih. Oleh karena dalam rumah besar tiap
keluarga batih menempati kamar atau bilik tertentu yang disebut sim, maka
keluarga batih disebut juga sim. Satu rumah keret seperti itu disebut
aberdado dan dapat menampung semua anggota klen, jika jumlahnya kecil
dan dengan demikian dalam satu rumah keret terdapat anggota-anggota
keluarga yang berasal dari tiga bahkan empat generasi, yaitu ayah bersama
keluarganya dan keluarga-keluarga dari anak-anaknya sendiri maupun
keluarga-keluarga dari anak-anak mereka.
Apabila jumlah anggota keluarga demikian banyaknya sehingga tidak dapat
termuat dalam satu rumah keret lagi maka sebagian anggotanya, biasanya
adik dari kepala rumah keret bersama isterinya dan anak-anaknya yang
sudah kawin dengan anggota-anggota keluarganya, memisahkan diri dan
membangun rumah keret baru di samping rumah keret yang lama. Bentuk
rumah keret seperti tersebut di atas tidak dibangun lagi sejak pemerintah
Belanda berkuasa di daerah Kepulauan Biak-Numfor akhir abad lalu. Pada
masa sekarang masing-masing keluarga batih, sim, mempunyai rumah
sendiri, tetapi biasanya berkelompok menurut keret.
Di mana terdapat satu rumah keret atau lebih tempat itu disebut mnu. Pada
dasarnya tiap mnu hanya didiami oleh anggota-anggota masyarakat yang
berasal dari satu keret saja, namun dalam perkembangan selanjutnya,
misalnya melalui hubungan perkawinan dan perdagangan atau juga karena
oleh bahaya perang yang sering terjadi antar penduduk, maka keret-keret
dari tempat-tempat pemukiman, mnu, yang berlainan tempat letaknya
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
bergabung menetap pada tempat pemukiman dari keret tertentu. Dengan
demikian jumlah keret dalam satu tempat pemukiman yang disebut mnu itu
dapat bertambah menjadi lebih dari satu. Inilah sebabnya jumlah keret
bervariasi antara satu mnu dengan mnu yang lainnya.
Pada waktu pemerintah Belanda aktif melakukan pemerintahannya di daerah
Kepulauan Biak-Numfor pada akhir abad ke-20, banyak mnu yang jumlah
anggota masyarakatnya kecil dan terpencar letaknya digabungkan menjadi
kesatuan pemukiman yang lebih bear dan disebut kampung sehingga mudah
dijangkau dan diawasi oleh aparat pemerintah. Penggabungan sejumlah mnu
merupakan juga faktor yang menambah jumlah keret dalam suatu mnu atau
tempat pemukiman. Dengan demikian konsep mnu adalah sama dengan
konsep kampung seperti yang kita kenal di daerah Biak-Numfor masa
sekarang, meskipun alasan penggabungan keret-keret dalam kesatuan
pemukiman yang disebut mnu itu berbeda.
Tiap kesatuan pemukiman yang disebut mnu itu mempunyai wilayah atau
teritorium tertentu dengan batas-batas alam yang jelas seperti bukit, gunung,
sungai, tanjung, pohon besar atau batas alam lainnya. Tanah dan hutan
dalam wilayah kekuasaan mnu yang belum diolah tetapi merupakan tempat
mengumpulkan hasil-hasil hutan berupa rotan dan kayu untuk keperluan
membangun rumah, perahu atau keperluan peralatan lainnya serta tempat
berburu, disebut karmggu, bekas tanah yang digunakan untuk berkebun,
disebut yapur dan marires, daerah hutan sagu, disebut serdan tempat-tempat
yang sedang dibuka menjadi kebun, yaf. Di samping itu termasuk wilayah
kekuasaan satu mnu juga daerah perairan yang menjadi tempat mencari dan
menangkap ikan, meliputi daerah pesisir pantai yang menjadi kering pada
waktu pasang surut, tempat-tempat laut yang dangkal, disebut bosen raswan.
Batas-batas antara satu bosen raswan milik satu mnu dengan bosen raswan
milik mnu lainnya ditandai dengan suatu tanjung atau batu besar yang
terdapat diantara dua mnu tersebut.
Berbeda dengan hak pemilikan tanah yang terdapat di dalam suatu wilayah
kekuasaan mnu, yang akan dibicarakaan segera di bawah ini, bosen raswan
merupakan milik bersama semua keret dalam suatu mnu. Dengan demikian
tiap anggota warga mnu berhak untuk menangkap ikan atau mengumpulkan
berbagai hasil laut berupa kerang dan rumput laut di bosen milik mnu tanpa
dibatasi pada tempat-tempat tertentu.
Pada prinsipnya tanah di tempat satu pemukiman atau mnu adalah milik
keret pertama yang membuka tempat tersebut menjadi pemukiman.
Demikian pula tanah, hutan dan sumber-sumber daya lain yang bermanfaat
bagi kehidupan yang terdapat disekitar tempat pemukiman itu adalah milik
keret pendiri mnu yang disebut Manseren mnu. Pada mulanya keret-keret
yang datang bergabung kemudian mendapat hak pakai saja, bukan hak
milik, dari pendiri kampung untuk memanfaatkan sumber-sumber daya
yang ada pada tempat-tempat tertentu dalam wilayah kekuasaan mnu bagi
pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Hak pakai tersebut dalam perkembangan waktu dapat berubah menjadi hak
milik. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti misalnya ikatan
keluarga (biasanya karena hubungan perkawinan) yang kuat antara keret
pendatang dan keret pendiri serta masih luasnya tanah-tanah kosong
sedangkan jumlah penduduknya masih sedikit, sehingga keret pendiri rela
melepaskan sebagian tanah di tempat pemukimannya untuk digunakan dan
dimiliki oleh keret-keret pendatang. Pertimbangan pelepasan hak milik
lahan kepada keret lain karena faktor-faktor tersebut di atas biasanya
pelepasan tersebut diperkuat oleh faktor kerugian berupa tenaga kerja dan
ongkos-ongkos yag dikeluarkan untuk membuka suatu hutan primer menjadi
lahan.
Demikianlah hak milik atas satu wilayah atau teritorium tertenu yang pada
mulanya bersifat tunggal kemudian berubah menjadi hak milik dari banyak
golongan. Masing-masing golongan atau keret berhak mencari nafkah
hidupnya di tempat yang menjadi hak miliknya saja, bukan ditempat hak
milik pihak lain. Perlu ditegaskan pula di sini bahwa hak milik tersebut di
atas biasanya diberikan kepada keret-keret pertama yang datang bergabung
dengan keret pendiri, sedangkan keret-keret lain yang datang kemudian
biasanya menadapt hak pakai saja, bukan hak milik. Apabila seseorang
individu dari keret tertentu hendak mencari hasil hutan atau membuka kebun
di lokasi yang merupakan hak milik keret lain, maka ia harsu meminta izin
pada kepala keret pemilik dengan persetujuan dari individu yang
menggunakan lokasi tersebut terlebih dahulu.
B.2. Stratifikasi Sosial.
Dalam masyarakat Biak tidak terdapat pembagian menurut lapisan sosial
yang jelas, namun ada perbedaan antara golongan masyarakat bebas dengan
golongan masyarakat budak. Golongan pertama, masyarakat bebas disebut
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
manseren, artinya yang dipertuan, pemilik, yang membuat putusan dan yang
berkuasa, tetapi bukan dalam arti bangsawan atau ningrat yang sesungguhya
seperti yang terdapat pada orang Jawa atau orang Bugis, misalnya.
Golongan masyarakat bebas atau manseren itu terdiri dari golongan
masyarakat yang berasal dari keret pendiri kampung dan golongan
masyaraakat yang berasal dari keret-keret lain yang bergabung kemudian.
Perbedaan antara kedua golongan manseren itu ialah bahwa golongan
pertama disebut manseren mnu, artinya golonan pendiri dan pemilik
kampung, sedangkan golongan kedua hanya disebut golongan manseren
saja.
Golongan masyarakat yang disebut budak atau women berasal dari tawanantawanan
perang. Mereka ini tidak berhak untuk membentuk rumah keret
sendiri seperti yang sudah dijelaskan di atas, tetapi mendapat kamar atau
bilik tertentu di rumah keret. Tugas utama golongan ini adalah membantu
melakukan pekerjaan-pekerjaan bagi siapa mereka dipertuan, seperti
berkebun, mencari ikan, membangun rumah dan lain-lain. Oleh karena tugas
yang demikian maka seorang budak sering dinamakan juga dalam bahasa
Biak manfanwan, artinya yang dapat disuruh untuk melaksanakan pekerjaan
tertentu. Tidak jarang terjadi bahwa seorang budak dapat merubah statusnya
menjadi anggota masyarakat keret asli, tetapi untuk membedakannya dengan
anggota masyarakat keret asli maka ia dan keturunannya mendapat sebutan
keret kasun, atau keret kecil. Dengan demikian mereka berhak
menggunakan nama keret, namun tidak mendapat hak penuh atas hak-hak
keret seperti yang dipegang oleh anggota-anggota asli keret.
B.3. Perkawinan dan pola menetap sesudah kawin.
Prinsip perkawinan yang dianut oleh kesatuan sosial yang disebut keret itu
adalah eksogami, artinya antara anggota-anggota warga satu keret tidak
boleh terjadi perkawinan. Dengan demikian isteri harus diambil dari keret
lain, apakah keret lain itu berada pada mnu yang sama atau bukan.
Selanjutnya pola perkawinan ideal menurut orang Biak , terutama pada
waktu lampau, adalah perkawinan yang disebut indadwer, atau exchange
marriage, yaitu pertukaran perempuan antara dua keluarga yang berasal dari
dua keret yang berbeda. Di samping pola perkawinan ideal tersebut, orang
Biak mengenal juga bentuk perkawinan lainnya seperti perkawinan melalui
peminangan dan perkawinan ganti tikar baik yang bersifat levirate maupun
sororate. Bentuk perkawinan yang paling banyak terjadi adalah perkawinan
melalui peminangan, fakfuken.
Menurut tradisi pihak laki-lakilah yang berkewajiban untuk melakukan
peminangan pada pihak perempuan. Unsur-unsur penting dalam proses
peminangan adalah penentuan jumlah maskawin yag dibayarkan oleh pihak
laki-laki kepada pihak perempuan dan penetuan waktu pelaksanaan
perkawinan, apabila pihak yang disebut terakhir setuju dengan peminangan
tersebut. Tentang pernyataan setuju atau tidak baik dari pihak calon
penganten pria maupun calon penganten putri terhadap siapa ia akan
dinikahkan tidak dipersoalkan dalam peminangan. Dengan kata lain orang
itulah yang menentukan siap calon isteri atau calon suami anaknya.
Keadaan yang dilukiskan di atas ini pada waktu sekarang sudah berubah,
sebab anak-anak sendiri yang menentukan sendiri siapa yang akan menjadi
calon pasangan hidupnya nanti. Biasanya penetuan pilihan itu didasarkan
atas hubungan yang terjalin antar seorang pemuda dengan seorang pemudi
sebelumnya. Penentuan pilihan itu kemudian disampaikan kepada pihak
orang tua, terutama dari pihak laki-laki, yang selanjutnya diproses sampai
kepada upacara perkawinan lewat peminangan biasa seperti tersebut di atas.
Pola menetap sesudah kawin yang dianut adalah patrilokal, yaitu pasangan
baru yang menikah menetap di rumah atau lokasi tempat asal suami. Sering
terjadi juga bahwa sesudah menikah, pasangan baru itu menetap untuk
waktu tertentu di rumah orang tua atau wali isteri. Hal ini disebabkan oleh
karena sang suami dari keluarga baru itu harus melakukan pekerjaanpekerjaan
tertentu misalnya membantu membuka kebun baru, membangun
rumah baru atau melakukan suatu pekerjaan lain bagi orang tua isterinya
sebagai pengganti maskawin yang belum lunas dibayar. Biasanya apabila
pekerjaan tersebut sudah selesai dan dianggap tenaga yang dikeluarkan
untuk melakukan pekerjaan itu layak sebagai pengganti sisa maskawin,
maka pasangan baru itu kembali menetap di tempat asal sang suami.
B.4. Sistem kekerabatan.
Dalam hubungan kekerabatan, orang Biak mengusut keturunannya melalui
garis ayah, jadi bersiaf patrilineal. Sedangkan tipe pokok kekerabatan yang
dianut menuurut pembagian yang dibuat oleh Murdock (1949) adalah sistem
Iroquois, yaitu penggunaan satu istilah yang sama untuk menyebut kelas
kerabat tertentu. Misalnya istilah naek digunakan untuk saudara-saudara
kandung dengan sudara-saudara sepupu paralel (anak-anak saudar laki-laki
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
ayah, dan anak-anak dari saudara perempuan ibu), yang berbeda dari istilah
napirem untuk menyebut semua saudara sepupu silang (anak-anak dari
saudara perempuan ayah dan anak-anak dari saudara laki-laki ibu) pada
generasi Ego. Kecuali itu semua saudara laki-laki ayah disebut juga dengan
istilah ayah, kma, dan semua saudara perempuan ibu disebut, sna.
Sebaliknya semua saudara perempuan ayah disebut bibi, mébin, dan semua
saudara laki-laki ibu disebut paman, mé.
Dalam kaitannya dengan pengklasifikasian anggota kerabat seperti tersebut
di atas adalah adanya larangan perkawinan antara saudara-saudara sepupu,
baik saudara-saudara sepupu sejajar maupun saudara-saudara silang.
Larangan tersebut merupakan ketentuan adat yang menetapkan perkawinan
tersebut sebagai perkawinan inses. Ada baiknya diberikan penjelasan
singkat tentang mengapa hal demikian bisa terjadi.
Menurut pengklasifikasian tersebut di atas, semua saudara sepupu sejajar,
dikelompokkan ke dalam satu kelas dengan saudara-saudara kandung ego
sendiri. Hal itu terlihat pada penggunaan istilah yang sama untuk menyebut
saudara-saudara kandung sendiri dengan saudara-saudara sepupu sejajar.
Konsekwensi dari penyamaan saudara-saudara sepupu sejajar dengan
saudara-saudara kandung sendiri adalah bahwa di anatara mereka tidak
mungkin akan dilakukan ikatan perkawinan. Fenomena larangan terhadap
perkawinan antara saudara-saudara sekandung merupakan gejala universal,
juga terdapat pada orang Biak, sehingga tidak menarik perhatian kita di sini
untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan apa yang menjadi alasan
larangan tersebut.
Hal yang menarik perhatian kita di sini adalah larangan terhadap perkawinan
antara anggota-anggota saudara sepupu silang dalam kebudayaan orang
Biak. Pada banyak kebudayaan di tempat lain baik di luar Papua maupun di
Papua sendiri, misalnya pada orang Waropen, perkawinan antara saudaradaudara
sepupu silang justru merupakan preferensi.
Menurut hemat penulis, larangan tersebut merupakan manifestasi dari
hubungan avunkulat (atau relasi paman-keponakan) yang disimbolisasikan
dalam upacara inisiasi pemuda yang disebut war k’bor. Dalam upacara
tersebut terjadi bahwa saudara perempuan makan makanan yang telah
dicampurkan dengan tetesan darah yagn diambil dari kulit bagian atas alat
kelamin saudara laki-laki yang menjadi inisiandus. Tindakan ini
mengungkapkan secara symbolik penyatuan dua person (inisiandus dan
saudara perempuannya). Akibat pengidentifikasian diri ini ialah bahwa
anak-anak saudara laki-laki adalah juga anak-anak saudara perempuan atau
sebaliknya. Konsekwensinya ialah bahwa di antara mereka tidak boleh
diadakan ikatan perkawinan.
Bantuk-bentuk manifestasi lain dari hubungan avunkulat (relasi pamankeponakan)
ialah peranan paman sebagai mentor bagi keponakannya
(keponakan laki-laki) untuk berkebun, menangkap ikan berburu dan teknikteknik
berperang. Jika paman kebetulan memiliki keahlian tertentu seperti
misalnya pandai besi, atau ahli membuat perahu, maka keahlian-keahlian ini
dapat diajarkan juga kepada keponakannya (Kamma & Kooijman 1973:32).
Juga hubungan tersebut diwujudkan dalam bentuk hak waris, ialah
pewarisan gelar paman kepada keponakan laki-laki yang sulung (Kamma
1955:537), suatu tindakan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
umum yang biasanya berlaku dalam masyarakat yang menganut prinsip
kekerabatan yang bersifat patrilineal.
C. SISTEM KEPEMIMPINAN
Kesatuan masyarakat terkecil yang secara politis dan ekonomis mempunyai
otonomi penuh di kalangan suku-bangsa Biak adalam mnu atau kampung.
Kampung merupakan suatu segmen yang terbagi-bagi dalam keret-keret atau
klen-klen kecil dan selanjutnya dalam sim-sim atau keluarga-keluarga batih.
Dasar-dasar yang menyatukan para warga suatu kampung adalah faktor
kesamaan keturunan dan kepentingan ekonomi dan politik.
Selain unsur-unsur fisik seperti penduduk, bangunan-bangunan berupa
rumah-rumah keret, aberdado, rumah-rumah upacara, rumsram, dan
wilayah tertentu yang jelas batas-batasnya yang merupakan ciri-ciri nyata
suatu komunitas yang disebut mnu atau kampung, unsur lain yang bukan
merupakan unsur fisik tetapi penting sehingga mendapat perhatian khusus
dalam uraian berikut adalah unsur kepemimpinan masyarakat dalam
kampung.
Seperti dikatakan sebelumnya satu kampung dibentuk oleh penduduk yang
berasal dari satu atau lebih keret. Masing-masing-masing keret itu dikepalai
oleh seorang pemimpin yang disebut mananwir keret. Tugas seorang
mananwir adalah pertama, sebagai kepala dan hakim yang menangani
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
berbagai urusan yang menyangkut kepentingan warga golongannya sendiri,
seperti misalnya sebagai kepala untuk mengatur izin penggunaan tanah hak
milik keret di antara warga keret dan sebagai hakim untuk menyelesaikan
berbagai sengketa yang timbul antara warga keret sendiri. Peranan kedua
dari seorang mananwir adalah sebagai wakil golongannya sendiri untuk
untuk menangani masalah-masalah yang menyangkut kepentingan
golongannya dengan golongan yang lain dalam kampung dan bersama-sama
dengan mananwir-mananwir dari keret-keret lain menjaga dan mengawasi
kepentingan warga kampungnya terhadap pihak luar (kampung lain).
Kedudukan menjadi mananwir atau kepala keret itu tidak didasarkan atas
umur, tetapi ditentukan oleh kemampuan memperjuangkan kepentingan
golongan, kerelaan mengorbankan diri demi kepentingan anggota warga
keret, memiliki pengetahuan luas tentang aturan-aturan yang berlaku dalam
keret, mempunyai pengalaman yang lebih banyak dibandingkan dengan
anggota lain dari keret-nya seperti sering mengikuti ekspedisi pelayaran dan
perang ke tempat-tempat yang jauh dan pandai berbicara di muka umum.
Kedudukan seorang mananwir di antara saudara-saudaranya adalah sebagai
primus inter pares dan kedudukan tersebut tidak diteruskan oleh anak lakilaki
sulungnya melainkan oleh salah seorang adik laki-laki. Apabila tidak
ada adik laki-laki maka kedudukan itu dapat diemban oleh anak laki-laki
sulung jika yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat yang dituntut untuk
kedudukan tersebut seperti sudah dikemukakan di atas (Kamma 1995:148).
Di atas kepala keret, pada tiap mnu atau kampung, terdapat seorang kepala
yang disebut mananwir mnu. Seorang mananwir mnu tidak dipilih,
melainkan diangkat oleh penduduk kampung dari salah seorang mananwir
keret berdasarkan dua kriteria pokok: pertama berdasarkan sejarah asal
usulnya yaitu harus berasal dari golongan keret pendiri kampung (Van
Gendt 1955:374) dan kedua berdasarkan kemampuan dari salah seorang
mananwir yang melebihi kemampuan yang ditunjukkan oleh mananwir lain
dalam lingkungan kampungnya. Kriteria terakhir ini lebih penting dari
kriteria pertama, karena seorang mananwir yang berasal dari golongan
manseren mnu atau keret pendiri kampung tetap mempunyai wewenang
untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan penggunaan tanah dan
pemanfaatan hasil-hasil hutan dalam wilayah kekuasaan kampungnya
(Mampioper 1986:7).
Adapun pengutamaan jenis kemampuan yang diharapkan dari seorang
pemimpin cenderung berubah-ubah sesuai dengan kepentingan kelompok
yang pada gilirannya ditentukan oleh situasi tertentu. Dengan demikian pada
waktu perang kedudukan seorang pemimpin kampung didasarkan atas
keberanian memimpin perang, disebut mambri, pada waktu keadaan
ekonomi memburuk, kedudukan tersebut didasarkan atas kemampuan
hubungan ekonomi, manibob, dan pada waktu krisis moral atau bencana
wabah, kedudukan tersebut didasarkan atas kemampuan sebagai mediator
antara orang hidup dan orang mati, mon atau konor.
Kedudukan mananwir mnu adalah sebagai kepala atas kepala-kepala keret
lain dalam kampung. Tugasnya ialah mengkoordinasikan kepala-kepala
keret bersama tokoh-tokoh masyarakat lain dalam pengambilan keputusan
tertentu yang menyangkut kepentingan komunitas kampung lewat lembaga
masyarakat yang disebut kainkain karkara mnu atau seriar mnu, serta
memimpin dengan langsung pelaksanaan keputusan tersebut. Sebelum
memberikan uraian tentang keanggotaan dan fungsi lembaga tersebut
terlebih dahulu diberikan penjelasan singkat mengenai tokoh-tokoh
masyarakat yang tampil sebagai pemimpin kampung, mananwir mnu.
Manseren mnu sebagai mananwir mnu. Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, tiap mnu, kampung, terdiri dari satu atau beberapa keret, klen
kecil. Klen-klen kecil itu dibedakan atas dua golongan yaitu golongan
pendiri kampung, manseren mnu, dan golongan pendatang. Masing-masing
klen kecil mempunyai seorang kepala yang disebut mananwir dan diantara
mereka bertindak seorang sebagai kepala kampung, disebut mananwir mnu.
Seorang kepala dari golongan manseren mnu yang pandai berorganisasi,
memiliki pengetahuan tentang upacara-upacara adat dan berani serta pandai
membangkitkan semangat hidup anggota komunitinya mempunyai
kemungkinan yang lebih besar diangkat sebagai kepala kampung, mananwir
mnu, dibandingkan dengan seorang kepala lain yang memiliki tingkat
kemampuan yang sama tetapi bukan berasal dari golongan manseren mnu
atau keret pendiri kampung.
Selain kedudukan kepala dalam pemerintahan kampung yang dipegang oleh
seorang berasal dari golongan manseren mnu, kedudukan tersebut dapat
diemban juga oleh seseorang yang bukan berasal dari golongan tersebut. Hal
ini sangat erat kaitannya dengan situasi tertentu yang sedang dihadapi oleh
penduduk kampung, seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya di atas.
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Di bawah ini diberikan uraian singkat tentang mananwir mnu, pemimpin
kampung, yang bukan di dasarkan atas keturunan melainkan atas dasar
keahlian tertentu.
Pemimpin perdagangan sebagai mananwir mnu. Pada bagian-bagian yang
membicarakan lingkungan alam serta struktur sosial di atas, telah
dikemukakan bahwa kehidupan penduduk di daerah Biak-Numfor pada
waktu lampau sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan alam yang relatif
kurang subur. Kendala ini menyebabkan penduduk tidak menggatungkan
kehidupannya semata-mata pada hasil pertanian saja melainkan juga pada
jenis mata pencaharian lain seperti berdagang. Dalam kaitannya dengan
sistem perdagangan itu individu-individu yang berhasil memimpin warga
komunitinya untuk melakukan suatu ekspedisi perdagangan (faduren)
muncul sebagai mananwir mnu atau pemimpin masyarakat kampungnya.
Biasanya orang yang berhasil memimpin suatu ekspeidi perdagangan adalah
orang yang mempunyai hubungan manibob atau teman dagang di tempat
lain. Pengakuan terhadap kemampuan memimpin seseorang dengan
kualifikasi seperti ini bersumber dari harapan dan penghargaan yang
diberikan kepadanya. Karena dibawah pimpinannya warga kampung dapat
berhubungan dengan pihak lain untuk memperoleh berbagai kepentingan
yang tidak terdapat dalam lingkungannya sendiri. Juga karena berkat jasanya
warga kampung dapat diselamatkan dari bahaya tertentu misalnya bahaya
kelaparan atau bahaya perang.
Mambri atau pemimpin perang sebagai pemimpin. Dalam pemerintahan
tradisional di daerah ini terdapat juga individu-individu yang dapat muncul
sebagai pemimpin masyarakat atas dasar kualifikasi mambri atau pemimpin
perang. Orang-orang yang mendasarkan kekuasaannya atas kualifikasi ini
sekaligus memiliki sifat berani dan kejam. Di samping itu mereka memiliki
juga pengetahuan mengenai strategi perang serta kemampuan untuk
menyatukan dan membangkitkan semangat pengikut-pengikutnya. Sejak
masa remaja para pemimpin perang diberi makan sejenis daun yang disebut
ui mambri. Menurut kepercayaan orang Biak daun tersebut dapat
memberikan tenaga dan keberanian besar kepada siapa yang memakannya.1
1 Nama ui mambri adalah nama umum untuk beberapa jenis daun yang menurut kepercayaan
orang Biak mengandung khasiat-khasiat tertentu. Misalnya memberikan keberanian kepada
orang (dalam arti percaya diri untuk bertindak dengan keras terhadap lawan) dan juga
mengandung kekuatan untuk menyembuhkan luka-luka berat yang diderita pada waktu
bertempur. Jenis-jenis tanaman yang tergolong dalam ui mambri itu hanya diketahui oleh
Sebelum kehadiran Zending (1855) dan pemerintah Belanda (1898) di
Papua pemimpin perang itu seringkali menimbulkan situasi tidak aman dan
damai di Teluk Cenderawasih, daerah pesisir Kepala Burung dan Kepulauan
Raja Ampat.2 Pada waktu itu orang-orang Biak terkenal sebagai pembajak
laut dikawasan tersebut. Beberapa catatan yang dibuat oleh pekabar-pekabar
injil di daerah itu menunjukkan hal tersebut. Misalnya Kamma menyamakan
orang Biak dengan orang Viking di Teluk Cenderawasih (1976:661), 3
sedang pendeta-pendeta Agter dan Ten Kate mengatakan bahwa kata Biaksi
atau orang Biak, adalah kata yang menakutkan penduduk di pantai utara
Papua sebab kata itu sering diasosiasikan dengan pembunuhan dan
perburuan budak (1953:87).4
Situasi tidak aman yang selalu terjadi di daerah ini menyebabkan penduduk
mendambakan munculnya seorang mambri dari keret-nya atau kampungnya
untuk melindungi penduduk terhadap musuh dari kampung lain. Itulah
sebabnya apabila seseorang yang menunjukkan sifat-sifat mambri, seperti
tersebut di atas, segera diakui sebagai pemimpin mereka baik oleh anggota
kerabatnya sendiri maupun warga kampung lainnya.
orang-orang tertentu saja, tidak oleh umum. Daun tersebut diberi makan hanya kepada anakanak
yang menurut penilaian orang-orang tua (mantan mambri) memiliki bakat untuk
menjadi mambri di kemudian hari. Bakat untuk kualifikasi itu dilihat pada sifat keberanian
yang ditunjukkan oleh seorang anak diantara teman-temannya, misalnya berani mewakili
teman-temannya untuk menyampaikan sesuatu kepada orang-orang dewasa atau berani
mengambil risiko untuk membantu teman yang berada dalam kesulitan, misalnya jatuh di
jurang, atau membantu menyelamatkan teman yang dikejar babi hutan pada waktu berburu
atau memimpin teman-teman untuk melakukan suatu aktivitas tertentu. Selain itu bakat
tersebut dapat diamati dari seorang anak pada waktu berada dalam pendidikan rum sram.
Pengetahuan tentang daun tersebut biasanya diwarikan dalam keret atau klen kecil.
2 Beberapa diantara pemimpin-pemimpin perang itu sangat terkenal dan akhirnya dimitoskan
dalam sejarah kepahlawanan orang Biak, seperti misalnya tokoh-tokoh legendaris Pasrefi dan
Faroki serta Kurabesi (Gurabesi). Wilayah pengruh tokoh-tokoh ini amat luas, meliputi
daerah Teluk Cenderawasih sampai ke Kepulauan Raja Ampat.
3 Dalam kata-katanya sendiri Kamma dalam bukunyanya Dit Wonderlijke Werk II, 1976:661
mencatat: de Biakkers ‘de Vikings van de Geelvinkbaai’
4 Agter dan Ten Kate dalam laporan tentang pembajak-pembajak laut ini mencatat seperti
berikut: ‘Biaksi! Een schrik voer door de dorpen aan de noordkust van nieuw Guinea.
Dadelijk wekt het associaties van moord en slaven jagen’ (lihat Kruis en Korwar, Kamma,
ed. 1953:87).
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Konor atau Mon sebagai pemimpin. Di samping tipe-tipe pemimpin yang
telah diterangkan di atas, terdapat juga pemimpin-pemimpin yang
mendasarkan kekuasaannya pada religi.5 Pemimpin-pemimpin seperti ini
dalam bahasa Biak disebut konor atau mon. Mereka ini mengaku diri
sebagai utusan dari tokoh mite Mananarmakeri atau Manseren Manggundi
yang diutus untuk datang lebih dahulu menyiapkan masyarakat dalam
rangka menyambut kedatangan Manseren Manggundi. Manseren
Manggundi adalah tokoh dalam mite masyarakat Biak yang, menurut
kepercayaannya, telah meninggalkan mereka karena sifat-sifat tidak adil,
dendam, serta pertumpahan darah dan penyelewengan terhadap nilai-nilai
dan norma-norma adat, namun pada suatu waktu akan kembali untuk
mendirikan koreri atau kerajaan abadi bagi orang Biak (Kamma 1972).6
Oleh karena keyakinan orang Biak akan mite tersebut, para ‘utusan’ itu
diakui sebagai pemimpin dalam masyarakat. Kepemimpinan seorang
pemimpin konor atau mon bersifat pergerakan, dan oleh karena tujuan
pergerakan itu adalah mendirikan kerajaan adil dan makmur yang bersifat
abadi, dan juga oleh karena bertujuan mendatangkan kekayaan material bagi
pengikutnya, maka secara umum wujud bentuk kepemimpinan itu dikenal
dengan nama gerakan mesianik atau ratu adil dan gerakan kargoisme.
Penampilan seorang sebagai konor biasanya diawali dengan suatu
pengalaman luar biasa, misalnya sembuh dari penyakit tanpa pengobatan,
pengalaman peristiwa ajaib tertentu, atau bermimpi bertemu dengan
Manseren Manggundi. Pengalaman-pengalaman luar biasa itu kemudian
disusul dengan penyembuhan orang-orang sakit oleh konor. Pengalaman
luar biasa yang disertai dengan tindakan penyembuhan orang sakit itu
membuat membuat masyarakat yakin bahwa orang yang bersangkutan
benar-benar adalah utusan dari Manseren Manggundi. Keyakinan demikian
memudahkan seorang konor untuk membangkitkan semangat banyak orang
guna melaksanakan kemauannya yang merupakan ‘pesan’ dari Manseren
Manggundi.
5 Konsep religi di sini saya artikan menurut pengertian yang diajukan oleh van Baal: ‘all
explicit and implicit notions and ideas, accepted as true, which relate to a reality which can
not be verified empirically’(1973:3).
6 Penjelasan luas tentang mite tersebut dibuat oleh Kamma dalam disertasinya yang berjudul
De Messiaanse Koreri Beweging in het Biaks-Numfoorsche Cultuurgebied (1954). Edisi
berbahasa Inggris berjudul Koreri: Messianic Movements in the Biak-Numfor Culture area
(1972).
Pelaksanaan kemauan sang konor sering disertai dengan sangsi-sangsi berat
terhadap para pembangkang. Pengerahan massa orang yang efektif dengan
menggunakan sangsi-sangsi berat menyebabkan kekuasaan seorang konor
yang pada mulanya terbatas ruang lingkupnya pada warga keret dan warga
kampung sendiri dan hanya bersifat gerakan sosial yang bertujuan
memurnikan nilai-nilai dan norma adat setempat guna mempercepat
kedatangan Manseren Manggundi itu kemudian dapat meluas meliputi
wilayah yang luas serta berubah sifat seperti menentang pengaruh asing.
Contoh konor-konor yang muncul sebagai pemimpin masyarakat dengan
menggunakan mite Manseren Manggundi sebagai alat pengabsahan
kekuasaannya adalah Steven Dawan, Stefanus Simopiaref dan Korinus
Birmor, yang muncul sebagai pemimpin Gerakan Koreri sesudah
Angganitha, pendiri gerakan tersebut. Kecuali Korinus Birmor yang dibunuh
di Biak, para konor lainnya ditahan oleh orang Jepang kemudian dibawa dan
dieksekusi di Manokwari.7
Korano sebagai pemimpin. Tipe pemimpin lain yang dikenal juga dalam
masyarakat Biak adalah pemimpin-pemimpin yang disebut korano.
Sebetulnya istilah korano dalam lingkungan masyarakat Biak mengandung
pengertian gelar yang diperoleh seseorang sebagai hadiah atas upeti atau
sumbangan yang dibawa kepada Sultan di Tidore atau Ternate (Kamma
1947-49). Istilah korano sebetulnya berasal dari istilah kolano dalam bahasa
Tidore atau Ternate yang berarti raja atau pangeran (Kamma 1947/9; Van
Fraassen 1987). Unsur kepemimpinan yang disebut korano itu baru terjadi
pada waktu pemerintah Belanda secara efektif melakukan pemerintahannya
di daerah Papua, khususnya di daerah Biak-Numfor pada dekade kedua abad
ini. Tokoh-tokoh yang diangkat menjadi wakil pemerintah Belanda untuk
menjalankan roda pemerintahannya pada tingkat kampung diberi jabatan
korano. Syarat utama untuk mengangkat seorang korano adalah kemampuan
berbicara bahasa Melayu. Banyak pemimpin korano itu tidak didasarkan
atas kriteria tradisi yang sudah membeku (Burger 19928:90-91).
Pada waktu sebelum pemerintahan Belanda berkuasa, banyak tokoh-tokoh
masyarakat memang menggunakan gelar korano, bukan semata-mata
sebagai jabatan, tetapi juga sebagai gelar penghormatan. Gelar tersebut dan
gelar-gelar lainnya seperti mayor, dimara, sanadi, kapisa, dan rejau pada
waktu itu memberikan kekuasaan dan wibawa sehingga mereka yang
7 Penjelasan tentang sejarah Gerakan Koreri serta pemimpin-pemimpin gerakan tersebut
dimuat dalam Kamma (1972) dan Mansoben (1980).
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
memilikinya mempunyai pengaruh dalam masyarakat, terutama dalam
lingkungan keret dan kampungnya, meskipun dalam kehidupan pribadi
sehari-hari tidak ada pengaruhnya (Mampioper 1986:14). Seperti halnya
gelar korano, gelar-gelar lainpun berasal dari Maluku.8 Dalam lingkungan
orang Biak gelar-gelar itu mempunyai nilai yang sama, artinya penggunaan
satu gelar oleh orang tertentu tidak menyebabkan kedudukannya lebih tinggi
dari orang yang menggunakan gelar yang lain, tidak seperti halnya di
Maluku. Gelar-gelar itu biasanya dipakai di depan nama keret, misalnya
Mayor Namber (dari Numfor), Korano Arwakon (dari kampug Sowek),
Sanadi Mofu (dari kampung Ampombukor), dan Rejau Kasiepo (dari
kampung Wardo).9
Lembaga Kainkain Karkara Mnu. Dalam struktur pemerintahan mnu, atau
kampung pada orang Biak dikenal suatu lembaga yang disebut kainkain
karkara mnu atau dewan kampung. Dewan tersebut dipimpin oleh mananwir
mnu dan anggota-anggotanya terdiri dari para mananwir keret ialah kepalakepala
keret, para sinan keret atau tokoh-tokoh tua keret, para mampapok
(pemuda-pemuda yang kuat baik fisik maupun mental dan yang berani serta
berpengalaman) dan perempuan-perempuan dewasa yang berpengalaman
luas.
Tempat berapat atau berunding lembaga tersebut biasanya di halaman
terbuka dalam kampung. Itulah sebabnya lembaga itu disebut juga seriar,
artinya berkumpul atau berapat di luar.
Lembaga tersebut selain berfungsi sebagai wadah untuk merundingkan
segala aktivitas yang menyangkut bidang pemerintahan, juga berfungsi
sebagai badan pengadilan yang memutuskan hukuman bagi mereka yang
melanggar ketentuan-ketentuan adat. Masalah-masalah yang dirundingkan
8 Gelar mayor berasal dari bahasa Belanda mayoor. Di Maluku istilah tersebut dipakai untuk
jenjang kepangkatan tertentu di dalam angkatan perang Sultan, seperti halnya dalam
pemerintahan Belanda. Di Biak istilah tersebut tidak berhubungan dengan jenjang
kepangkatan tertentu. Istilah itu dipakai sebagai gelar kemudian dirubah menjadi nama keret,
klen kecil dan digunakan sampai sekarang. Demikian juga dengan gelar-gelar lainnya yang
kemudian berubah menjadi nama keret seperti gelar dimara yang berasal dari bahasa Tidore
gimalaha dan bahasa Ternate Kimalaha yang berarti kepala soa. Kata tersebut merupakan
kependekan dari kata-kata giki ma-laha yang berarti orang baik (Van Fraasssen
1987:638;641).
9 Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada Feuilletau de Bruyn (1920:42) dan Mampioper
(1986:14).
dalam bidang pemerintahan itu meliputi aspek keamanan dan gengsi, aspek
ekonomi dan aspek agama.
Dalam aspek keamanan dan gengsi, dewan bertugas untuk memutuskan halhal
seperti : (a) berperang terhadap musuh atau tidak; (b) melakukan
ekspedisi pengayauan dan pengkapan budak ke tempat lain (yang jauh atau
dekat); (c) menerima atau menolak tawaran kampung lain untuk membantu
dalam perang menghadapi lawannya; (d) bersaing dengan kampung lain
untuk berlayar ke tempat-tempat yang jauh yang belum pernah didatangi
oleh orang lain; 10 (e) merundingkan pemberian gelar kepada keponakan
atau menerima gelar dari paman.
Dalam aspek ekonomi, dewan memutuskan hal-hal seperti: (a) membuat
perahu dagang baru; (b) melakukan pelayaran perdagangan; (c) melakukan
perburuan atau penangkapan ikan untuk kepentingan umum tertentu; (d)
membuka kebun baru.
Dalam aspek agama, dewan bertugas untuk merundingkan hal-hal seperti:
(a) pembangunan atau perbaikan rumah pemuda, rum sram; (b) upacara ern
k’bor dan insos yaitu upacara inisiasi pemuda dan pemudi; (c) upacara fan
nanggi (nangki) atau upacara persembahan kepada ‘tuhan langit’: (d)
upacara mansorandak yaitu upacara selamatan bagi seseorang yang untuk
pertama kalinya pergi ke tempat asing.
Selanjutnya kedudukan lembaga kainkain karkara mnu sebagai lembaga
pengadilan ialah bertugas untuk menyelesaikan atau memutuskan hal-hal
seperti: (a) penetapan pembalasan atau pembayaran atas pembunuhan
tertentu; (b) pembayaran denda karena perbuatan zina; (c) pembayaran
kembali maskawin karena isteri menyeleweng; (d) menyelesaikan sengketa
yang timbul antara warga kampung karena masalah tanah atau hasil hutan;
(e) pembayaran denda karena menghina orang lain.
Perlu ditegaskan di sini bahwa inisiatif untuk merundingkan sesuatu
masalah tertentun dalam dewan boleh berasal dari mananwir mnu, tetapi
keputusan didasarkan atas kesepakatan anggota dewan kampung (biasanya
10 Unsur bersaing untuk melebihi orang atau kelompok lain sangat kuat dalam kebudayaan
orang Biak. Hal itu disebut fanandi atau korfandi. Wujud fanandi itu antara lain dinyatakan
dalam hal mengunjugi tempat-tempat yang jauh letaknya dari Kepulauan Biak-Numfor,
seperti Kepulauan Raja Ampat, Ternate, Tidore atau Seram. Keret atau kampung yang
warganya mengunjugi tempat-tempat yang lebih jauh letaknya dan belum pernah didatangi
mengangkat prestise dimuka kelompok lawan atau orang lain.
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
secara musyawarah). Jadi peranan mananwir mnu dalam kedudukannya
sebagai ketua dewan adalah membuat keputusan berdasarkan kesepakatan
bersama, bukan atas kehendak sendiri. Dengan demikian sifat autonomous
atau mandiri yang terdapat pada pemimpin-pemimpin pria berwibawa yang
mendasarkan kekuasaannya atas kriteria kemampuan pribadi seperti halnya
yang dituntut juga dari seorang mananwir mnu, tidak terdapat di sini.
Tiap mnu atau kampung mempunyai lembaga kainkain karkara mnu sendiri
dan bukan merupakan bagian dari lembaga yang sama pada kampung lain.
Ruang lingkupnya hanya meliputi satu kampung yang berbeda, maka
persoalan itu diselesaikan oleh paling sedikit tiga lembaga kainkain karkara
mnu, yaitu dua dari kampung-kampung yang terlibat dan yang satunya lagi
dari kampung yang tidak terlibat. Peranan dari pihak ketiga adalah sebagai
juri, biasanya pihak ketiga itu diundang oleh pihak yang menjadi korban.
Keterlibatan tiga pihak dalam suatu persoalan itu menyebabkan biasanya
banyak peserta yang nampak hadir dalam sidang kainkain karkara mnu
seperti itu.
Ketika pemerintah Belanda berkuasa, lembaga tersebut kurang berperan dan
akhirnya hampir hilang. Namun setelah Perang Dunia II berakhir atas
inisiatif De Bruijn, yang menjadi HPB (Hoofd van Plaatselijk Bestuur)
Biak-Numfor pada waktu itu, lembaga tersebut dihidupkan kembali sebagai
organ fungsional bagi pemerintahan tingkat kampung (De Bruijn 1948/9:71-
75). Sayang, bahwa usaha untuk menghidupkan kembali lembaga tersebut
di kampung Sorido sebagai contoh itu tidak berhasil karena kepentingankepetingan
pribadi tokoh-tokoh masyarakat yang berkedudukan sebagai
mananwir keret dalam kampung tersebut (De Bruijn 1965:86). Meskipun
demikian usaha pada tahun 1947 untuk mendirikan lembaga seperti ini pada
tingkat yang lebih tinggi, yang dikenal dengan nama kainkain karkara Biak,
menurut De Bruijn lebih berhasil (1965:87). Lembaga kainkain karkara
Biak yang didirikan itu berfungsi sebagai dewan penasihat bagi pemerintah
formal daerah onderdistrikt Kepulauan Biak-Numfor. Anggotanya
berjumalh 20 orang, 15 di antaranya dipilih dan 5 orang lain ditunjuk oleh
pemerintah. Mereka semuanya berasal dari kampung tetapi ketuanya adalah
seorang pamong praja pemerintah (De Bruijn 1965:87). Lembaga ini
kemudian pada tahun 1959 berubah menjadi Persekutuan Masyarakat Biak-
Numfor (pada waktu itu disebut Streekgemeenschap Biak-Numfor) dan
diwakili oleh suatu lembaga berupa dewan daerah yang beranggotakan 13
orang, 10 dari mereka dipilih dan 3 yang lainnya diangkat. Dewan tersebut
bersidang dua kali dalam satu tahun dan dibuka untuk pertama kalinya pada
tanggal 10 November 1959. Adapun badan Persekutuan Masyarakat Biak-
Numfor, merupakan badan kemasyarakatan pertama yang didirikan oleh
pemerintah Belanda di Papua berdasarkan Artikel 122 dari Bewindsregeling
Nieuw Guinea (BNG).11
D. Sistem Tradisional dalam Sistem Modern (Otonomi Daerah)
1. Memperhatikan pola-pola kepemimpinan adat (tradisional) orang
Bik seperti yang telah diuraikan sebelumnya di atas dan pola-pola
kepemimpinan dalam sistem kepemimpinan formal (modern) yang
sekarang berlaku di Indonesia termasuk di Kabupaten Biak-Numfor,
kita dapat mencatat bahwa pada prinsipnya kedua sistem tersebut
tidak berbeda karena kedudukan pemimpin didasarkan atas prinsip
pencapaian melalui kualitas pribadi seorang dan atas dasar
kompetisi atau persaingan. Perbedaan yang ada antara kedua sistem
kepemimpinan tadi hanya terletak pada bentuk dari syarat-syarat
yag dituntut pada seseorang yang hendak ditampilkan sebagai
pemimpin. Misalnya pada waktu lampau salah satu syarat yang
sangat penting adalah pengetahuan yang luas tentang adat istiadat
masyarakat, sedangkan diwaktu sekarang pengetahuan tersebut
merupakan syarat mutlak melainkan pengetahuan tentang masalahmasalah
kemasyarakatan kontemporer (misalnya masalah kesehatan,
pendidikan) merupakan prasyarat utama. Oleh karena adanya
kesamaan prinsip tersebut maka kita tidak dapat ragu-ragu untuk
menyatakan bahwa masyarakat Biak-Numfor tidak mengalami
kesulitan dalam menerima sistem pemerintahan modern.
2. Peranan Sistem Kepemimpinan Adat (Tradisional) Orang Biak
dalam Sistem Modern.
“Kainkain karkara” seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di atas
merupakan lembaga kepemimpinan dalam masyarakat Biak-Numfor
yang sangat penting. Oleh karena kehadiran lembaga ini
mencerminkan sifat demokrasi dalam membuat keputusankeputusan
yang menyangkut kepentingan masyarakat umum maka
lembaga tersebut hendaknya dihidupkan kembali dan di integrasikan
ke dalam struktur pemerintahan formal baik di tingkat mnu (desa),
maupun di tingkat kecamatan dan tingkat kabupaten.
11 Lihat De Bruijn 1965:89 dst.
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Fungsi dari lembaga kainkainkarkara dalam tingkat tingkat
pemerintahan formal tersebut di atas adalah sebagai lembaga yang
memberikan pertimbangan dan nasihat bagi penyelenggara
pemerintah formal dalam hal membuat kebijakan-kebijakan yang
menyangkut program-program pembangunan masyarakat. Agar
lembaga kainkain karkara dapat benar-benar berperan dalam
menjalankan fungsinya seperti tersebut maka harus ada pengakuan
resmi dari pemerintah formal terhadap kehadiran lembaga tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Baal, J. van
1975 Reciprocity and the Position of Women. Assen: Van Gorcum
Bemmelen, R.W. van
1953 Geologie. Dalam: W.C. Klein (ed.), 1953(1):259-284.
Blust, R.
1980a Early Austronesian Social Organization: The Evidence of
Language. Current Anthroplogy 21:205-248.
Bruijn, J.V. de
1948/9 Een Proeve tot de Ontwikkeling van de Biakse Menoe of
Kampong. TNG 9:9-16, 39-43, 71-76
Burger, E.J.
1928 Aatekeningen over het Volksbestuur op Noord Nieuw-Guinea.
KS 12:340-352.
Feuilletau de Bruyn, W.K.H.
1920 De Schouten-en Padaido-eilanden. Batavia:Javasche Drukkerij.
1937/9 Welke Afstanden kunnen de Papoea’s van de Schouteneilanden
over Zee Afleggen? TNG 2:306-314; 3:347-355.
1940/1a De Biaksche Tijdrekening naar de Sterrenbeelden. TNG 5:1-10.
Fraassen, Ch. F. van
1987 Ternate, de Molukken en de Indonesische Archipel. Van Soa-
Organisatie en Vierdeling: Een Studie van Traditionele
Samenleving en Cultuur in Indonesië, 2 Vol. Leiden: Disertasi.
Gendt, G.J. van
1955 Kampong-Grenzen; Een grondengeschil op Biak;
Beschouwingen over het begrip Grondvoogd. Adatrechtbundel
45: Nieuw Guinea. ‘s-Gravenhage: Nijhoff, pp. 369-376.
Goenewegen, K. & D. J. van de Kaa (eds)
1964/7 Resultaten van het Demografisch Onderzoek Westelijk Nieuw
Guinea. Delen I t/m VI. The Hague: Government Printing and
Publishing Office.
Jens, F.J.
1916 Het Insos-en het K’bor Feest op Biak en Soepiori. BKI 72:404-
411.
Kamma, F.C.
1955a Volksordening op Biak; Biakse titels. Adatrechtbundel 45:
Nieuw Guinea. ‘s-Gravenhage: Nijhoff, pp. 148-152.
1955b Kruis en Korwar. Den Haag: Voorhoeve.
1972 Koreri: Messianic Movements in the Biak-Numfor Cultuur Area.
The Hague:Nijhoff.
1976 Dit Wonderlijke Werk [2 Vol.]. Oegstgeest: Raad voor de
Zending de Nederlandse Hervormde Kerk.
1975 Religious Texts of the Oral Tradition from Western New Guinea
(Papua). I. The Origin and Sources of life. Leiden: Brill.
1978 Religious Texts of the Oral Tradition from Western New Guinea
(Papua). II. The Threat to Life and its Defence Against Natural
and Supernatural Phenomena.
Kamma, F.C. & S. Kooijman
1974 Romawa Forja, Child of the Fire: Iron Working and Role of
Iron in West New Guinea. Leiden: Brill.
Klein, W.C. (ed.)
1953/4 Nieuw Guinea: De Ontwekkeling op Economisch, Sociaal en
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Cultuur Gebied, in Nederlands en Australisch Nieuw Guinea [3
Vol.]. ‘s-Gravenhage: Statsdrukkerij- en Uitgeverijbedrijf.
Mampioper, A.
1986 ‘Sistem Pemerintahan Tradisional Suku Biak: Beberapa Catatan
tentang Perubahan-Perubahan yang terjadi sebagai Akibat dari
Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Desa berdasarkan Undang-
Undang No. 5 tahun 1979’. Jayapura: Yayasan Bhakti
Cenderawasih & Pusat Studi Papua [Naskah].
Mansoben, J.R.
1980 Gerakan Koreri di daerah Biak antara 1938-1943. Prisma
8(19):78-91.
1985a Ritus K’bor dan Arti Simboliknya dalam Kebudayaan Biak-
Numfor, Papua. Ritus Peralihan di Indonesia. Koentjaraningrat
(ed.). Jakarta: Balai Pustaka, hal. 128-146.
1995 Sistem Politik Tradisional di Papua. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Leiden University. Jakarta.
Mansoben, J.R. & M.T. Walker
1990b Indigenous Political Structure and Leadership Pattern in Papua.
IBIJD 18:17-24.
Müller, F.
1876-88 Grundrisse der Sprachwissenschaft [4 Vols]. Vienna: Hölder.
Murdock, G.P.
1949 Social Structure. New York: MacMillan.
Wurm, S.A. & S. Hattori
1981 Language Atlas of the Pacific Area. Canberra: Australian
Academy of Humanities.
Subscribe to:
Posts (Atom)