Wednesday, 10 November 2010

SISTEM POLITIK TRADISIONAL ETNIS BYAK: Kajian tentang Pemerintahan Tradisional

SISTEM POLITIK TRADISIONAL ETNIS BYAK: Kajian tentang Pemerintahan Tradisional

Dr. J.R. Mansoben, MA

Dosen Tetap di Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih dan Kepala
Lembaga Penelitian UNCEN Jayapura


Abstract
In this article, the writer explain the Byak traditional political system;
Politically and economically the Byak tribe has a full autonomy in a village
(mnu), because the village is segmendivide into clans and the clan divided
into families (sim-sim).
Based an the segmentation the Byak knows some leaders such as, Manawir
Mnu; Mambri, Konor or Mon and Korano.
A. Gambaran Umum tentang Daerah dan Penduduk
A.1. Letak dan Lingkungan Alam.
Kepulauan Biak-Numfor yang merupakan tempat asal dan tempat tinggal
orang Biak terletak di sebelah utara Teluk Cenderawasih dan terdiri dari
tiga pulau besar dan puluhan pulau-pulau kecil. Tiga pulau besar adalah
Pulau Biak, Pulau Supiori dan Pulau Numfor. Sedangkan pulau-pulau kecil
adalah gugusan Kepulauan Padaido, yang terdapat di sebelat timur Pulau
Biak, Pulau-pulau Rani dan Insumbabi yang terdapat di sebelah selatan
Pulau Supiori, Pulau-pulau Meosbefandi dan Ayau yang terdapat di sebelah
utara Pulau Supiori dan Kepulauan Mapia yang letaknya jauh di sebelah
utara Pulau Ayau.
Secara geografis Kepulauan Biak-Numfor terletak antara 134043’-137050’
Bujur Timur dan antara 010-10045’ Lintang Selatan. Luas seluruh pulaupulau
yang tergabung dalam gugusan Kepulauan Biak-Numfor adalah 2.500
km2 dengan perincian Pulau Biak dengan luas 1.832 km2, Pulau Supiori
dengan luas 434 km2 dan Pulau Numfor dengan luas 324 km2.
Kecuali Pulau Supiori, yang merupakan salah satu punggung sisi luar dari
lipatan sedimen formasi zone Pasifik Utara yang merupakan lanjutan dari
lipatan Kepala Burung, pulau-pulau lainnya dari gugusan Kepualaun Biak-
Numfor, secara geologis merupakan pulau-pulau karang yang masih dalam
proses pertumbuhan. Hal ini dapat dilihat selain pada formasi-formasi abrasi
atau erosi ombak laut pada tebing-tebing karang di pantai Biak Selatan, yang
menjulang ± 200 m di atas permukaan air laut, juga dapat dilihat pada terasteras
berganda dengan ketinggian antara 6 sampai 10 m yang terdapat
dibagian selatan dan timur Pulau Biak. Keadaan fisis demikian
memungkinkan tidak terdapat lahan tanah yang cukup luas serta subur bagi
usaha pertanian atau perladangan. Beberapa tempat yang memungkinkan
orang untuk melakukan pekerjaan berladang hanya terdapat di utara Pulau
Supiori. Di Pulau Biak tempat-tempat yang cukup baik untuk lahan
berkebun terdapat di sebelah utara, barat, dan timur serta lembah-lembah
sempit di bagian selatan.
Topografi Pulau Supiori berbentuk barisan gunung yang disebut
Pengunungan Supiori, dengan puncak Wombonda sebagai puncak tertinggi
yang mencapai 1.034 m di atas permukaan air laut. Sebaliknya Pulau Biak
mempunyai topografi yang berbentuk teras dan bergelombang tidak teratur.
Di sebalah utara terdapat Gunung Sombunem dengan puncak Poi yang
tingginya ± 740 m di atas permukaan air laut (Van Bemmelen. 1953:266).
Pulau Numfor secara geologis masih muda sekali umurnya (Van Bemmelen.
1953; cf. Groenewegen & Van de Kaa 1965:74). Pulau ini juga terbentuk
dari karang laut dan bentuk topografinya menyerupai sebuah cakram bulat
panjang yang berbukit-bukit di bagian tengah dengan ketinggian tidak lebih
dari 225 m di atas permukaan air laut. Pada celah-celah yang ada di antara
bukit-bukit terdapat tanah-tanah yang cukup baik untuk usaha pertanian.
Keadaan tanah yang relatif subur ini menyebabkan sejak dahulu hingga
sekarang mata pencaharian pokok penduduknya adalah mengusahakan
ladang dengan berbagai tanaman umbi-umbian dan kacang hijau.
A.2. Nama dan Latar Belakang Sejarah.
Pada waktu pemerintah Belanda berkuasa di daerah Papua hingga awal
tahun 1960-an nama yang dipakai untuk menamakan Kepulauan Biak-
Numfor adalah Schouten Eilanden, menurut nama orang Eropa pertama
berkebangsaan Belanda, yang mengunjungi daerah ini pada awal abad keAntropologi
Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
17. Nama-nama lain yang sering dijumpai dalam laporan-laporan tua untuk
penduduk dan daerah kepuluan ini adalah Numfor atau Wiak. Fonem w pada
kata wiak sebenarnya berasal dari fonem v yang kemudian berubah menjadi
b sehingga muncullah kata biak seperti yang digunakan sekarang. Dua nama
terakhir itulah kemudian digabungkan menjadi satu nama yaitu Biak-
Numfor, dengan tanda garis mendatar di antara dua kata itu sebagai tanda
penghubung antara dua kata tersebut, yang dipakai secara resmi untuk
menamakan daerah dan penduduk yang mendiami pulau-pulau yang
terletak disebelah utara Teluk Cenderawasih itu. Dalam percakapan seharihari
orang hanya menggunakan nama Biak saja yang mengandung
pengertian yang sama juga dengan yang disebutkan di atas.
Tentang asal-usul nama serta arti kata tersebut ada beberapa pendapat.
Pertama ialah bahwa nama Biak yang berasal dari kata v’iak itu yang pada
mulanya merupakan suatu kata yang dipakai untuk menamakan penduduk
yang bertempat tinggal di daerah pedalaman pulau-pulau tersebut. Kata
tersebut mengandung pengertian orang-orang yang tinggal di dalam hutan’,
‘orang-orang yang tidak pandai kelautan’, seperti misalnya tidak cakap
menangkap ikan di laut, tidak pandai berlayar di laut dan menyeberangi
lautan yang luas dan lain-lain. Nama tersebut diberikan oleh penduduk
pesisir pulau-pulau itu yang memang mempunyai kemahiran tinggi dalam
hal-hal kelautan. Sungguhpun nama tersebut pada mulanya mengandung
pengertian menghina golongan penduduk tertentu, nama itulah kemudian
diterima dan dipakai sebagai nama resmi untuk penduduk dan daerah
tersebut.
Pendapat lain, berasal dari keterangan ceritera lisan rakyat berupa mite, yang
menceritakan bahwa nama itu berasal dari warga klen Burdam yang
meninggalkan Pulau Biak akibat pertengkaran mereka dengan warga klen
Mandowen. Menurut mite itu, warga klen Burdam memutuskan berangkat
meninggalkan Pulau Warmambo (nama asli Pulau Biak) untuk menetap di
suatu tempat yang letaknya jauh sehingga Pulau Warmambo hilang dari
pandangan mata. Demikianlah mereka berangkat, tetapi setiap kali mereka
menoleh ke belakang mereka melihat Pulau Warmambo nampak di atas
permukaan laut. Keadaan ini menyebabkan mereka berkata, v’iak wer’, atau
‘v’iak’, artinya ia muncul lagi. Kata v’iak inilah yang kemudian dipakai oleh
mereka yang pergi untuk menamakan Pulau Warmambo dan hingga
sekarang nama itulah yang tetap dipakai (Kamma 1978:29-33).
Kata Biak secara resmi dipakai sebagai nama untuk menyebut daerah dan
penduduknya yaitu pada saat dibentuknya lembaga Kainkain Karkara Biak
pada tahun 1947 (De Bruijn 1965:87). Lembaga tersebut merupakan
pengembangan dari lembaga adat kainkain karkara mnu yaitu suatu lembaga
adat yang mempunyai fungsi mengatur kehidupan bersama dalam suatu
komnunitas yang disebut mnu atau kampung. Penjelasan lebih luas tentang
kedua lembaga itu diberikan pada pokok yang membicarakan organisasi
kepemimpinan di bawah.
Nama Numfor berasal dari nama pulau dan golongan penduduk asli Pulau
Numfor. Penggabungan nama Biak dan Numfor menjadi satu nama dan
pemakaiannya secara resmi terjadi pada saat terbentuknya lembaga dewan
daerah di Kepulauan Schouten yang diberi nama Dewan daerah Biak-
Numfor pada tahun 1959.
Dalam tulisan ini saya menggunakan nama Biak-Numfor untuk menyebut
daerah geografisnya dan daerah administrasi pemerintahannya. Nama Biak
digunakan untuk menyebut bahasa dan orang yang memeluk kebudayaan
Biak yang bertempat tinggal di daerah Kepulauan Biak-Numfor sendiri
maupun yang bertempat tinggal di daerah-daerah perantauan yang terletak di
luar kepulauan tersebut.
Tentang sejarah orang Biak, baik sejarah asal usul maupun sejarah
kontaknya dengan dunia luar, tidak diketahui banyak karena tidak tersedia
keterangan tertulis. Satu-satunya sumber lokal yang memberikan keterangan
tentang asal-usul orang Biak seperti halnya juga pada suku-suku bangsa
lainnya di Papua, adalah mite. Menurut mite moyang orang Biak berasal
dari satu daerah yang terletak di sebelah timur, tempat matahari terbit.
Moyang pertama datang ke daerah kepulauan ini dengan menggunakan
perahu. Ada beberapa versi ceritera kedatangan moyang pertama itu. Salah
satu versi mite itu menceriterakan bahwa moyang pertama dari orang Biak
terdiri dari sepasang suami isteri yang dihanyutkan oleh air bah di atas
sebuah perahu dan ketika air surut kembali terdampar di atas satu bukit yang
kemudian diberi nama oleh kedua pasang suami isteri itu Sarwambo. Bukit
tersebut terdapat di bagian timur laut Pulau Biak (di sebelah selatan
kampung Korem sekarang). Dari bukit sarwambo, moyang pertam itu
bersama anak-anaknya berpindah ke tepi Sungai Korem dan dari tempat
terakhir inilah mereka berkembang biak memenuhi seluruh Kepulauan Biak-
Numfor.
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Selanjutnya tentang sejarah kontak orang Biak dengan dunia luar, baik
menurut ceritera lisan tentang tokoh-tokoh legendaris Fakoki dan Pasrefi
maupun sumber keterangan dari Tidore diketahui bahwa kontak itu telah
terjadi jauh sebelum kedatangan orang Eropa pertama di daerah Papua pada
awal abad ke-16 (Kamma 1953:151). Hubungan tersebut terjadi dengan
penduduk di daerah pesisir utara Kepala Burung, Kepulauan Raja Ampat
dan dengan penduduk di Kepulauan Maluku.
Kontak orang Biak dengan orang luar itu terjadi terutama melalui hubungan
perdagangan dan ekspedisi-ekspedisi perang. Bukti terlihat pada adanya
pemukiman-pemukiman orang Biak yang sampai sekarang dapat dijumpai di
berbagai tempat seperti tersebut di atas. Rupanya pada masa sebelum
kedatangan orang Eropa di Kepulauan Maluku dan daerah Papua awal abad
ke-16, orang Biak telah menjelajah ke berbagai wilayah Indonesia lainnya
baik melalui ekspedisi-ekspedisi perdagangan dan perang yang dilakukan
oleh orang-orang Biak sendiri maupun bersama dengan sekutu-sekutunya,
misalnya dengan Kesultanan Tidore atau dengan Kesultanan Ternate.
Kejayaan orang Biak untuk melakukan berbagai ekspedisi itu menghilang
pada akhir abad ke-15 (Kamma 1952:151). Tidak lama sebelum kedatangan
orang Eropa pertama di kawasan Maluku dan Kepulauan Raja Ampat pada
awal abad ke-16.
Bahasa. Orang Biak, baik yang bertempat tinggal di daerah Kepulauan
Biak-Numfor maupun yang berdomisili di tempat-tempat perantauan,
menggunakan satu bahasa, yaitu bahasa Biak.
Walaupun mereka mengngunakan satu bahasa yang sama juga, terdapat
perbedaan dialek antara penduduk pada satu daerah dengan daerah yang
lainnya. Namun, secara prinsip dialek-dialek yang berbeda itu tidak
menghalangi mereka untuk saling mengerti satu sama yang lain. Di
Kepulauan Biak-Numfor sendiri terdapat sepuluh dialek sedangkan di
daerah-daerah migrasi atau perantauan terdapat tiga dialek.
Secara linguistik, bahasa Biak adalah salah satu bahasa di Papua yang
dikategorikan dalam keluarga bahasa Austronesia (Muller 1876-1888;
Wurm & Hattori 1982) dan khususnya termasuk pada subgrup South-
Halmahera-West New Guinea (Blust 1978). Oleh karena bahasa tersebut
digunakan oleh para migran Biak di daerah-daerah perantauan, maka ia
berfungsi di tempat-tempat itu sebagai bahasa pergaulan antara orang-orang
asal Biak dengan penduduk asli. Jumlah penduduk yang menggunakan
bahasa Biak di daerah Kepulauan Biak-Numfor sendiri pada saat sekarang
berjumlah ± 70.000 orang. Membandingkan jumlah penduduk yang
menggunakan bahasa Biak dengan bahasa-bahasa daerah lainnya di Papua,
maka bahasa Biak termasuk dalam kelompok bahasa-bahasa daerah di
Papua yang jumlah penuturnya lebih dari 10.000 orang. Kecuali itu, jika
dilihat dari segi luas wilayah pesebarannya maka bahasa Biak merupakan
bahasa yang paling luas wilayah pesebarannya di seluruh Papua.
A.3. Pemerintahan.
Sungguhpun pemerintah Belanda telah memproklamasikan daerah Papua
sebagai daerah jajahannya pada tanggal 24 Agustus 1828, dan kegiatan
pemerintahannya dilakukan secara resmi pada tahun 1898, namun perhatian
Belanda untuk mengadakan pasifikasi di Kepulauan Biak-Numfor baru
terjadi ketika pos pemerintah pertama yang dipimpin oleh seorang BA
(Bestuurs Assistant) di buka di Bosnik pada tahun 1913. Pos-pos pemerintah
lainnya di Warsa (Biak Utara), Korido (Supiori) dan Namber (Numfor)
dibuka kemudian pada tahun 1919 di bawah pimpinan Letnan Feuilletau de
Bruyn. Masing-masing pos baru itu dipimpin oleh seorang HBA (Hulp
Bestuurs Assistant).
Bersamaan dengan pembukaan pos-pos pemerintah itu, diangkat pemimpinpemimpin
kampung, yang disebut kepala kampung. Tugas utama kepala
kampung ialah sebagai perantara pemerintah untuk menyampaikan perintahperintahnya
kepada rakyat. Agar tugas tersebut dapat dilakukan dengan
berhasil dan baik, maka syarat utama bagi mereka yang diangkat menjadi
kepala kampung adalah orang-orang yang dapat mengerti atau setidaktidaknya
dapat berbicara bahasa Melayu. Penguasaan terhadap bahasa
Melayu memang penting sebab pada waktu itu bahasa Melayu merupakan
bahasa resmi yang digunakan oleh aparat pemerintah jajahan Hindia
Belanda.
Demikianlah pada waktu itu dilantik sebanyak 167 kepala kampung untuk
152 kampung di Biak, 53 kepala kampung untuk 17 kampung di Supiori dan
35 kepala kampung untuk 31 kamping di Numfor (Mampioper 1986:18).
Ketika Keresidenan daerah Papua, yang ditetapkan pada tahun 1921,
dihapus pada tahun 1923, dan daerah itu dijadikan bagian dari Gubernuran
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Maluku, maka pos-pos pemerintah di daerah Biak Numfor itu berstatus
distrik (distric), masing-masing distrik Bosnik (Biak Selatan), distrik Warsa
(Biak Utara) dan distrik Korido (Supiori) berada di bawah onderafdeling
Japen dengan ibu kota di Serui, dan distrik Namber berada di bawah
onderafdeling Manokwari. Keadaan pembagian daerah perintahan seperti ini
berlangsung terus hingga Perang Dunia II. Orang Jepang yang mengambil
alih kekuasaan di Hindia Belanda pada umumnya dan khususnya
Nederlands Nieuw Guinea berada di daerah Kepulauan Biak-Numfor dari
bulan Mei 1942 hingga Mei 1944, ketika Sekutu membebaskan daerah
tersebut, tidak memberikan perhatian kepada bidang pemerinthan di daerah
ini, sehingga keadaan seperti tersebut tidak berubah.
Ketika Perang Dunia II berakhir dan pemerintah Belanda kembali
menguasai daerah Papua, mula-mula dengan status Keresidenan kemudian
dengan status Wilayah Gubernuran berdasarkan Gouvernementstblad (GB)
1950 No. 2.20 Selanjutnya berdasarkan GB 1950 No. 14, Wilayah
Gubernuran Nieuw Guinea (Papua) dibagi menjadi empat wilayah
Keresidenan, masing-masing Keresidenan Noord Nieuw Guinea, West
Nieuw Guinea, Zuid Nieuw Guinea, dan Centraal Bergland.
Berdasarkan pembagian baru itu, wilayah Keresidenan Noord Nieuw Guinea
membawahi enam onderafdeling, yaitu onderafdeling Hollandia (Jayapura),
onderafdeling Genyem, onderafdeling Sarmi, onderafdeling Waren,
onderafdeling Serui dan onderafdeling Biak. Selanjutnya onderafdeling Biak
dibagi menjadi lima distrik, termasuk distrik Namber (Numfor) yang
sebelumnya berada di bawa onderafdeling West Nieuw Guinea, dan di
bawah masing-masing distrik dibentuk daerah tingkat pemerintahan yang
disebut onderdistrict sebanyak lima buah. Pada tahun-tahun berikutnya
terjadi lagi perubahan dalam pembagian wilayah kekuasaan, nmun hal itu
hanya terjadi pada tingkat atas saja. Jadi situasi pembagian daerah
pemerintahan di Kepulauan Biak-Numfor sesudah Perang Dunia II hingga
tahun 1962, ketika terjadi peralihan kekuasaan di daerah Papua dari
pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia lewat UNTEA, adalah
sebanyak lima distrik dan lima subdistrik (onderdistrict) yang membawahi
250 kampung dengan 225 kepala kampung (Mampioper 1986:27).
Menurut struktur organisasi pemerintahan sekarang. Kepulauan Biak-
Numfor membentuk suatu daerah pemerintahan berstatus daerah Tingkat II
di propinsi Papua dengan nama Daerah Tingkat II Kabupaten Biak-Numfor.
Daerah Tingkat II tersebut selanjutnya dibagi ke dalam dua belas wilayah
kecamatan, dan 153 desa. Ibu kota daerah tingkat II Kabupaten Biak-
Numfor adalah Kota Biak yang berpenduduk ± 60.111 jiwa. Selain
berfungsi sebagai ibu kota pemerintahan, kota Biak juga berfungsi sebagai
pusat pendidikan dan perekonomian daerah tersebut. Di Kota Biak terdapat
suatu lapangan terbang internasional yang dapat menghubungkan daerah
Papua dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia maupun dengan dunia luar
terutama ke Hawaii dan Los Angeles di Amerika Serikat.
A.4. Kependudukan.
Orang Biak yang berdomisili di Kepulauan Biak-Numfor pada tahun 1999
berjumlah ± 115.134 orang. Mereka tersebar pada 153 desa/kelurahan yang
terbagi atas dua belas wilayah kecamatan. Jumlah penduduk terbanyak
terdapat pada Kecamatan Biak Kota (36.098 jiwa) dan Kecamatan Biak
Timur (10.121 jiwa), sedangkan kecamatan yang paling sedikit yang paling
sedikit jumlah penduduknya adalah Kecamatan Numfor Barat yang hanya
berpenduduk 3.656 jiwa. Perincian jumlah penduduk menurut kecamatan
adalah seperti pada tabel 1. Perbandingan jumlah penduduk (115.134 orang)
dengan luas wilayah (±2.595 km2), menunjukkan bahwa kepadatan
penduduk di Kabupaten Biak-Numfor adalah sebesar 40,48 orang tiap km2.
Angka tersebut menunjukkan bahwa Kepulauan Biak-Numfor merupakan
kabupaten yang paling tinggi kepadatan penduduknya dibandingkan dengan
kabupaten-kabupaten lainnya di Papua.
Tabel 1
Jumlah Penduduk Kabupaten Biak-Numfor menurut kecamatan, dan
Desa Tahun 1999
No. Nama Kecamatan Jumlah
Desa/Kecamatan
Jumlah
Penduduk
(Orang)
1. Numfor Barat 9 3.656
2. Numfor Timur 11 5.018
3. Yendidori 10 5.979
4. Samofa 7 18.034
5. Biak Kota 11 36.098
6. Padaido 13 3.834
7. Biak Timur 20 10.121
8. Biak Utara 11 6.975
9. Biak Barat 20 8.076
10. Warsa 14 6.296
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
11. Supiori Utara 13 4.348
12. Supiori Selatan 14 6.793
J u m l a h 153 115.134
Sumber: Biak-Numfor dalam Angka, 1999 (Bappeda dan BPS Kabupaten Biak-
Numfor)
A.5. Mata Pencaharian.
Orang Biak, terutama yang tinggal di pedesaan, hidup terutama dari
berladang dan menangkap ikan. Jenis matapencaharian hidup yang disebut
pertama, berladang, dilakukan oleh sebagian besar penduduk, sedangkan
matapencaharian yang kedua, menangkap ikan, dilakukan terutama oleh
penduduk yang bertempat tinggal di Kepulauan Padaido, Biak Timur dan di
Desa Rayori (Sowek), Supiori Selatan.
Teknik berladang yang digunakan ialah berpindah-pindah. Suatu bidang
tanah yang hendak dijadikan ladang pertama-tama dibersihkan dari semaksemak
dan pohon-pohon kecil di dalamnya kemudian ditanami, biasanya
dengan talas dan keladi. Apabila kebun sudah siap ditanami, maka segera
pohon-pohon besar itu ditebang. Setelah itu dahan-dahan dari pohon-pohon
besar yang sudah rubuh itu dipotong-potong dan diratakan tersebar dalm
kebun. Batang pohon, dahan dan daun dibiarkan membusuk menjadi
kompos penyubur bagi tanaman yang sudah ditanami itu. Jenis-jenis
tanaman lain berupa buah-buahan misalnya pepaya, pisang dan sayur-sayur
ditanam kemudian, dicelah-celah tanaman pokok. Pekerjaan berikut adalah
membuat pagar keliling. Fungsinya utama dari pagar ialah untuk mencegah
babi hutan yang merupakan hama utama bagi petani-petani di daerah ini.
Hasil suatu kebun dipanen setelah kurang lebih 8 bulan sejak ditanami.
Sesudah panen pertama kebun masih digunakan lagi sekali, sesudah itu
ditinggalkan dan pindah untuk membuka kebun baru di lahan lain.
Pembukaan kebun baru dengan melakukan pekerjaan yang sama menurut
tahap-tahap tersebut di atas terjadi tidak lama sesudah hasil pada kebun
pertama dipanen. Setelah kurang lebih 10 tahun, lahan yang telah digunakan
pertama itu dibuka lagi dan oleh karena telah ditinggalkan sekian lama maka
secara alamiah kesuburan tanah pulih kembali sehingga dapat memberikan
hasil yang cukup baik seperti halnya pada penggunaan pertama.
Pada umumnya penduduk yang melakukan pekerjaan berladang sebagai
pekerjaan pokok, juga melakukan penangkapan ikan sebagai
matapencaharian tambahan. Hal ini terjadi karena belum ada pembagian
kerja yang bersifat spesialisasi. Seperti halnya di daerah Papua lainnya, di
daerah Biak-Numfor, terutama di daerah pedesaan, tiap keluarga inti
berfungsi unit produksi yang menghasilkan semua kebutuhan pokok bagi
kehidupan angngota keluarganya sendiri, tidak tergantung pada keluarga
lain. Hasil yang diperoleh dari berladang dipakai terutama untuk memenuhi
kebutuhan keluarga sendiri, jika ada kelebihan, maka dibagikan kepada
anggota keluarga yang lain (di waktu lalu) atau di jual ke pasar (di waktu
sekarang).
Di masa lampau matapencaharian lain yang sangat penting dalam kehidupan
orang Biak adalah perdagangan. Barang-barang perdagangan utama pada
waktu itu adalah hasil laut, piring, budak dan alat-alat kerja yang dibuat dari
besi seperti parang dan tombak. Perlu dicatat disini bahwa kepandaian besi
sudah dikenal orang Biak melalui penduduk Maluku jauh sebelum orang
Eropa pertama datang di daerah ini pada awal abad ke-16 sehingga peralatan
kerja tersebut di atas merupakan hasil produksi sendiri (Kamma &
Kooijman 1974).
Sistem perdagangan yang dilakukan pada waktu lampau ialah melalui cara
tukar menukar barang atau barter (dalam bahasa Biak disebut farobek),
tanpa mata uang tertentu seperti halnya orang Me dan Muyu yang
menggunkan kulit kerang sebagai alat pertukaran yang terbaku dalam
kebudayaannya.. Sungguhpun demikian, melalui sistem barter, orang Biak
telah menciptakan suatu institusi yang disebut sistem manibob atau sistem
rekanan dagang di berbagai daerah pesisir Kepala Burung sampai ke
Kepulauan Raja Ampat. Oleh karena sistem manibob merupakan salah satu
media yang digunkan untuk mencapai kedudukan pemimpin dalam
masyarakat maka perlu diberikan penjelasan singkat tentang sistem tersebut.
Sistem manibob adalah suatu sistem dimana dua individu yang berasal dari
dua kampung atau dua tempat yang berbeda lokasi saling bertemu melalui
hubungan dagang. Pertemuan antara dua individu yang berbeda itu dapat
tumbuh dan membawa dua individu bersangkutan pada hubungan yang lebih
akrab dan berlangsung lama.
Cara menciptakan hubungan manibob atau rekanan dagang itu ialah melalui
bentuk pertukaran. Dalam satu transaksi orang yag menjual benda-benda
berharga tertentu kepada orang yag lain tidak menuntut pembayaran penuh,
melainkan mengharapkan pihak pembeli memberikan bantuan kepadanya di
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
saat memerlukan pertolongan. Relasi manibob atau partner dagang antara
dua orang yang mengikat diri dalam waktu yang lama dapat meningkat erat
sedemikian rupa sehingga relasi tersebut bukan terbatas hanya pada segi
perdagangan saja melainkan pada bidang yang lebih luas.
Wujud nyata dalam hubungan yang bersifat lebih luas itu dapat dilihat
misalnya pada saat mereka saling memperingatkan dalam keadaan bahaya
perang atau mereka saling membantu pada saat terjadi kelaparan karena
musim kemarau yang berkepanjangan. Biasanya untuk memperkuat dan
melestarikan relasi yang sudah ada, antara dua belah pihak terjadi
perkawinan. Relasi pertemanan yang mula-mula terdiri dari hubungan
perdagangan dan kemudian diperkuat dengan kepentingan-kepentingan lain
yang mengikat dua individu untuk jangka waktu yang tidak terbatas itulah
yang disebut sistem manibob (cf. Feuilletau de Bruyn 1920).
Melalui sistem manibob kaum kerbat dan kenalan-kenalan dari dua belah
pihak dapat saling tukar menukar barangnya dengan aman, mudah dan
lancar. Hal ini dapat terjadi karena adanya saling pengertian dan
kepercayaan antara mereka atas dasar hubungan pertemanan atau manibob
tadi. Demikianlah individu-individu yang mempunyai relasi tersebut dan
yang berhasil dengan baik memenuhi kepetingan-kepentingan kaum kerabat
dan kenalan-kenalannya dalam berbagai transaksi, di satu pihak dapat
meningkatkan prestise sendiri di muka mereka dan pada pihak yang lain
keberhasilan itu membawa pengakuan dari mereka terhadap
kepemimpinannyan. Atas dasar pengakuan inilah seseorang dapat tampil
sebagai pemimpin dalam masyarakatnya.
Dalam kaitannya dengan aktivitas perdagangan orang Biak dengan sukusuku
bangsa lain di daerah pantai utara Papua sampai ke daerah Kepala
Burung dan Kepulauan Raja Ampat, ialah dikembangkannya pengetahuan
pelayaran yang amat baik oleh orang-orang Biak. Sistem pengetahuan
pelayaran yang dimaksud di sini adalah pengetahuan tentang teknik
membuat perahu, pengetahuan astronomis, pengetahuan tentang gelombang
dan arus-arus laut. Pemilikan pengetahuan ini memungkinkan orang Biak
berhubungan dengan banyak suku-suku bangsa lainnya di berbagai tempat
di daerah pesisir Papua dan akhirnya sebagian orang-orang Biak menetap di
tempat-tempat itu seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya di atas.
B. Struktur Sosial
B.1. Kesatuan sosial dan tempat tinggal.
Baik pada waktu lampau maupun masa kini kesatuan sosial yang paling
penting dalam kehidupan bermasyarakat orang Biak adalah keret, atau klen
kecil. Suatu keret terdiri dari sejumlah keluarga batih yang disebut sim.
Wujud nyata dari keatuan sosial tersebut pada waktu lalu adalah rumah
besar yang disebut rumah keret. Rumah keret merupakan suatu bangunan
yang berbentuk segi empat panjang dengan ukuran kurang lebih 30-40 m
panjang dan 15 m lebar. Rumah keret itu dibangun di ats tiang dan dibagibagi
kedalam sejumlah kamar atau sim yag letaknya disisi kiri-kanan dan
dipisahkan oleh suatu ruang kosong di bagian tengah rumah yang
memanjang mulai dari depan sampai ke belakang. Fungsi utama ruang
tengah yang kosong itu adalah sebagai tempat menaruh perahu milik keret
dan juga sebagai tempat menerima tamu dan tempat berapat anggota
keluarga keret. Jumlah kamar atau bilik dalam suatu rumah keret adalah
sama banyak dengan keluarga batih yang ada dalam keret dan tiap kamar
didiami oleh satu keluarga batih. Oleh karena dalam rumah besar tiap
keluarga batih menempati kamar atau bilik tertentu yang disebut sim, maka
keluarga batih disebut juga sim. Satu rumah keret seperti itu disebut
aberdado dan dapat menampung semua anggota klen, jika jumlahnya kecil
dan dengan demikian dalam satu rumah keret terdapat anggota-anggota
keluarga yang berasal dari tiga bahkan empat generasi, yaitu ayah bersama
keluarganya dan keluarga-keluarga dari anak-anaknya sendiri maupun
keluarga-keluarga dari anak-anak mereka.
Apabila jumlah anggota keluarga demikian banyaknya sehingga tidak dapat
termuat dalam satu rumah keret lagi maka sebagian anggotanya, biasanya
adik dari kepala rumah keret bersama isterinya dan anak-anaknya yang
sudah kawin dengan anggota-anggota keluarganya, memisahkan diri dan
membangun rumah keret baru di samping rumah keret yang lama. Bentuk
rumah keret seperti tersebut di atas tidak dibangun lagi sejak pemerintah
Belanda berkuasa di daerah Kepulauan Biak-Numfor akhir abad lalu. Pada
masa sekarang masing-masing keluarga batih, sim, mempunyai rumah
sendiri, tetapi biasanya berkelompok menurut keret.
Di mana terdapat satu rumah keret atau lebih tempat itu disebut mnu. Pada
dasarnya tiap mnu hanya didiami oleh anggota-anggota masyarakat yang
berasal dari satu keret saja, namun dalam perkembangan selanjutnya,
misalnya melalui hubungan perkawinan dan perdagangan atau juga karena
oleh bahaya perang yang sering terjadi antar penduduk, maka keret-keret
dari tempat-tempat pemukiman, mnu, yang berlainan tempat letaknya
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
bergabung menetap pada tempat pemukiman dari keret tertentu. Dengan
demikian jumlah keret dalam satu tempat pemukiman yang disebut mnu itu
dapat bertambah menjadi lebih dari satu. Inilah sebabnya jumlah keret
bervariasi antara satu mnu dengan mnu yang lainnya.
Pada waktu pemerintah Belanda aktif melakukan pemerintahannya di daerah
Kepulauan Biak-Numfor pada akhir abad ke-20, banyak mnu yang jumlah
anggota masyarakatnya kecil dan terpencar letaknya digabungkan menjadi
kesatuan pemukiman yang lebih bear dan disebut kampung sehingga mudah
dijangkau dan diawasi oleh aparat pemerintah. Penggabungan sejumlah mnu
merupakan juga faktor yang menambah jumlah keret dalam suatu mnu atau
tempat pemukiman. Dengan demikian konsep mnu adalah sama dengan
konsep kampung seperti yang kita kenal di daerah Biak-Numfor masa
sekarang, meskipun alasan penggabungan keret-keret dalam kesatuan
pemukiman yang disebut mnu itu berbeda.
Tiap kesatuan pemukiman yang disebut mnu itu mempunyai wilayah atau
teritorium tertentu dengan batas-batas alam yang jelas seperti bukit, gunung,
sungai, tanjung, pohon besar atau batas alam lainnya. Tanah dan hutan
dalam wilayah kekuasaan mnu yang belum diolah tetapi merupakan tempat
mengumpulkan hasil-hasil hutan berupa rotan dan kayu untuk keperluan
membangun rumah, perahu atau keperluan peralatan lainnya serta tempat
berburu, disebut karmggu, bekas tanah yang digunakan untuk berkebun,
disebut yapur dan marires, daerah hutan sagu, disebut serdan tempat-tempat
yang sedang dibuka menjadi kebun, yaf. Di samping itu termasuk wilayah
kekuasaan satu mnu juga daerah perairan yang menjadi tempat mencari dan
menangkap ikan, meliputi daerah pesisir pantai yang menjadi kering pada
waktu pasang surut, tempat-tempat laut yang dangkal, disebut bosen raswan.
Batas-batas antara satu bosen raswan milik satu mnu dengan bosen raswan
milik mnu lainnya ditandai dengan suatu tanjung atau batu besar yang
terdapat diantara dua mnu tersebut.
Berbeda dengan hak pemilikan tanah yang terdapat di dalam suatu wilayah
kekuasaan mnu, yang akan dibicarakaan segera di bawah ini, bosen raswan
merupakan milik bersama semua keret dalam suatu mnu. Dengan demikian
tiap anggota warga mnu berhak untuk menangkap ikan atau mengumpulkan
berbagai hasil laut berupa kerang dan rumput laut di bosen milik mnu tanpa
dibatasi pada tempat-tempat tertentu.
Pada prinsipnya tanah di tempat satu pemukiman atau mnu adalah milik
keret pertama yang membuka tempat tersebut menjadi pemukiman.
Demikian pula tanah, hutan dan sumber-sumber daya lain yang bermanfaat
bagi kehidupan yang terdapat disekitar tempat pemukiman itu adalah milik
keret pendiri mnu yang disebut Manseren mnu. Pada mulanya keret-keret
yang datang bergabung kemudian mendapat hak pakai saja, bukan hak
milik, dari pendiri kampung untuk memanfaatkan sumber-sumber daya
yang ada pada tempat-tempat tertentu dalam wilayah kekuasaan mnu bagi
pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Hak pakai tersebut dalam perkembangan waktu dapat berubah menjadi hak
milik. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti misalnya ikatan
keluarga (biasanya karena hubungan perkawinan) yang kuat antara keret
pendatang dan keret pendiri serta masih luasnya tanah-tanah kosong
sedangkan jumlah penduduknya masih sedikit, sehingga keret pendiri rela
melepaskan sebagian tanah di tempat pemukimannya untuk digunakan dan
dimiliki oleh keret-keret pendatang. Pertimbangan pelepasan hak milik
lahan kepada keret lain karena faktor-faktor tersebut di atas biasanya
pelepasan tersebut diperkuat oleh faktor kerugian berupa tenaga kerja dan
ongkos-ongkos yag dikeluarkan untuk membuka suatu hutan primer menjadi
lahan.
Demikianlah hak milik atas satu wilayah atau teritorium tertenu yang pada
mulanya bersifat tunggal kemudian berubah menjadi hak milik dari banyak
golongan. Masing-masing golongan atau keret berhak mencari nafkah
hidupnya di tempat yang menjadi hak miliknya saja, bukan ditempat hak
milik pihak lain. Perlu ditegaskan pula di sini bahwa hak milik tersebut di
atas biasanya diberikan kepada keret-keret pertama yang datang bergabung
dengan keret pendiri, sedangkan keret-keret lain yang datang kemudian
biasanya menadapt hak pakai saja, bukan hak milik. Apabila seseorang
individu dari keret tertentu hendak mencari hasil hutan atau membuka kebun
di lokasi yang merupakan hak milik keret lain, maka ia harsu meminta izin
pada kepala keret pemilik dengan persetujuan dari individu yang
menggunakan lokasi tersebut terlebih dahulu.
B.2. Stratifikasi Sosial.
Dalam masyarakat Biak tidak terdapat pembagian menurut lapisan sosial
yang jelas, namun ada perbedaan antara golongan masyarakat bebas dengan
golongan masyarakat budak. Golongan pertama, masyarakat bebas disebut
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
manseren, artinya yang dipertuan, pemilik, yang membuat putusan dan yang
berkuasa, tetapi bukan dalam arti bangsawan atau ningrat yang sesungguhya
seperti yang terdapat pada orang Jawa atau orang Bugis, misalnya.
Golongan masyarakat bebas atau manseren itu terdiri dari golongan
masyarakat yang berasal dari keret pendiri kampung dan golongan
masyaraakat yang berasal dari keret-keret lain yang bergabung kemudian.
Perbedaan antara kedua golongan manseren itu ialah bahwa golongan
pertama disebut manseren mnu, artinya golonan pendiri dan pemilik
kampung, sedangkan golongan kedua hanya disebut golongan manseren
saja.
Golongan masyarakat yang disebut budak atau women berasal dari tawanantawanan
perang. Mereka ini tidak berhak untuk membentuk rumah keret
sendiri seperti yang sudah dijelaskan di atas, tetapi mendapat kamar atau
bilik tertentu di rumah keret. Tugas utama golongan ini adalah membantu
melakukan pekerjaan-pekerjaan bagi siapa mereka dipertuan, seperti
berkebun, mencari ikan, membangun rumah dan lain-lain. Oleh karena tugas
yang demikian maka seorang budak sering dinamakan juga dalam bahasa
Biak manfanwan, artinya yang dapat disuruh untuk melaksanakan pekerjaan
tertentu. Tidak jarang terjadi bahwa seorang budak dapat merubah statusnya
menjadi anggota masyarakat keret asli, tetapi untuk membedakannya dengan
anggota masyarakat keret asli maka ia dan keturunannya mendapat sebutan
keret kasun, atau keret kecil. Dengan demikian mereka berhak
menggunakan nama keret, namun tidak mendapat hak penuh atas hak-hak
keret seperti yang dipegang oleh anggota-anggota asli keret.
B.3. Perkawinan dan pola menetap sesudah kawin.
Prinsip perkawinan yang dianut oleh kesatuan sosial yang disebut keret itu
adalah eksogami, artinya antara anggota-anggota warga satu keret tidak
boleh terjadi perkawinan. Dengan demikian isteri harus diambil dari keret
lain, apakah keret lain itu berada pada mnu yang sama atau bukan.
Selanjutnya pola perkawinan ideal menurut orang Biak , terutama pada
waktu lampau, adalah perkawinan yang disebut indadwer, atau exchange
marriage, yaitu pertukaran perempuan antara dua keluarga yang berasal dari
dua keret yang berbeda. Di samping pola perkawinan ideal tersebut, orang
Biak mengenal juga bentuk perkawinan lainnya seperti perkawinan melalui
peminangan dan perkawinan ganti tikar baik yang bersifat levirate maupun
sororate. Bentuk perkawinan yang paling banyak terjadi adalah perkawinan
melalui peminangan, fakfuken.
Menurut tradisi pihak laki-lakilah yang berkewajiban untuk melakukan
peminangan pada pihak perempuan. Unsur-unsur penting dalam proses
peminangan adalah penentuan jumlah maskawin yag dibayarkan oleh pihak
laki-laki kepada pihak perempuan dan penetuan waktu pelaksanaan
perkawinan, apabila pihak yang disebut terakhir setuju dengan peminangan
tersebut. Tentang pernyataan setuju atau tidak baik dari pihak calon
penganten pria maupun calon penganten putri terhadap siapa ia akan
dinikahkan tidak dipersoalkan dalam peminangan. Dengan kata lain orang
itulah yang menentukan siap calon isteri atau calon suami anaknya.
Keadaan yang dilukiskan di atas ini pada waktu sekarang sudah berubah,
sebab anak-anak sendiri yang menentukan sendiri siapa yang akan menjadi
calon pasangan hidupnya nanti. Biasanya penetuan pilihan itu didasarkan
atas hubungan yang terjalin antar seorang pemuda dengan seorang pemudi
sebelumnya. Penentuan pilihan itu kemudian disampaikan kepada pihak
orang tua, terutama dari pihak laki-laki, yang selanjutnya diproses sampai
kepada upacara perkawinan lewat peminangan biasa seperti tersebut di atas.
Pola menetap sesudah kawin yang dianut adalah patrilokal, yaitu pasangan
baru yang menikah menetap di rumah atau lokasi tempat asal suami. Sering
terjadi juga bahwa sesudah menikah, pasangan baru itu menetap untuk
waktu tertentu di rumah orang tua atau wali isteri. Hal ini disebabkan oleh
karena sang suami dari keluarga baru itu harus melakukan pekerjaanpekerjaan
tertentu misalnya membantu membuka kebun baru, membangun
rumah baru atau melakukan suatu pekerjaan lain bagi orang tua isterinya
sebagai pengganti maskawin yang belum lunas dibayar. Biasanya apabila
pekerjaan tersebut sudah selesai dan dianggap tenaga yang dikeluarkan
untuk melakukan pekerjaan itu layak sebagai pengganti sisa maskawin,
maka pasangan baru itu kembali menetap di tempat asal sang suami.
B.4. Sistem kekerabatan.
Dalam hubungan kekerabatan, orang Biak mengusut keturunannya melalui
garis ayah, jadi bersiaf patrilineal. Sedangkan tipe pokok kekerabatan yang
dianut menuurut pembagian yang dibuat oleh Murdock (1949) adalah sistem
Iroquois, yaitu penggunaan satu istilah yang sama untuk menyebut kelas
kerabat tertentu. Misalnya istilah naek digunakan untuk saudara-saudara
kandung dengan sudara-saudara sepupu paralel (anak-anak saudar laki-laki
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
ayah, dan anak-anak dari saudara perempuan ibu), yang berbeda dari istilah
napirem untuk menyebut semua saudara sepupu silang (anak-anak dari
saudara perempuan ayah dan anak-anak dari saudara laki-laki ibu) pada
generasi Ego. Kecuali itu semua saudara laki-laki ayah disebut juga dengan
istilah ayah, kma, dan semua saudara perempuan ibu disebut, sna.
Sebaliknya semua saudara perempuan ayah disebut bibi, mébin, dan semua
saudara laki-laki ibu disebut paman, mé.
Dalam kaitannya dengan pengklasifikasian anggota kerabat seperti tersebut
di atas adalah adanya larangan perkawinan antara saudara-saudara sepupu,
baik saudara-saudara sepupu sejajar maupun saudara-saudara silang.
Larangan tersebut merupakan ketentuan adat yang menetapkan perkawinan
tersebut sebagai perkawinan inses. Ada baiknya diberikan penjelasan
singkat tentang mengapa hal demikian bisa terjadi.
Menurut pengklasifikasian tersebut di atas, semua saudara sepupu sejajar,
dikelompokkan ke dalam satu kelas dengan saudara-saudara kandung ego
sendiri. Hal itu terlihat pada penggunaan istilah yang sama untuk menyebut
saudara-saudara kandung sendiri dengan saudara-saudara sepupu sejajar.
Konsekwensi dari penyamaan saudara-saudara sepupu sejajar dengan
saudara-saudara kandung sendiri adalah bahwa di anatara mereka tidak
mungkin akan dilakukan ikatan perkawinan. Fenomena larangan terhadap
perkawinan antara saudara-saudara sekandung merupakan gejala universal,
juga terdapat pada orang Biak, sehingga tidak menarik perhatian kita di sini
untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan apa yang menjadi alasan
larangan tersebut.
Hal yang menarik perhatian kita di sini adalah larangan terhadap perkawinan
antara anggota-anggota saudara sepupu silang dalam kebudayaan orang
Biak. Pada banyak kebudayaan di tempat lain baik di luar Papua maupun di
Papua sendiri, misalnya pada orang Waropen, perkawinan antara saudaradaudara
sepupu silang justru merupakan preferensi.
Menurut hemat penulis, larangan tersebut merupakan manifestasi dari
hubungan avunkulat (atau relasi paman-keponakan) yang disimbolisasikan
dalam upacara inisiasi pemuda yang disebut war k’bor. Dalam upacara
tersebut terjadi bahwa saudara perempuan makan makanan yang telah
dicampurkan dengan tetesan darah yagn diambil dari kulit bagian atas alat
kelamin saudara laki-laki yang menjadi inisiandus. Tindakan ini
mengungkapkan secara symbolik penyatuan dua person (inisiandus dan
saudara perempuannya). Akibat pengidentifikasian diri ini ialah bahwa
anak-anak saudara laki-laki adalah juga anak-anak saudara perempuan atau
sebaliknya. Konsekwensinya ialah bahwa di antara mereka tidak boleh
diadakan ikatan perkawinan.
Bantuk-bentuk manifestasi lain dari hubungan avunkulat (relasi pamankeponakan)
ialah peranan paman sebagai mentor bagi keponakannya
(keponakan laki-laki) untuk berkebun, menangkap ikan berburu dan teknikteknik
berperang. Jika paman kebetulan memiliki keahlian tertentu seperti
misalnya pandai besi, atau ahli membuat perahu, maka keahlian-keahlian ini
dapat diajarkan juga kepada keponakannya (Kamma & Kooijman 1973:32).
Juga hubungan tersebut diwujudkan dalam bentuk hak waris, ialah
pewarisan gelar paman kepada keponakan laki-laki yang sulung (Kamma
1955:537), suatu tindakan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
umum yang biasanya berlaku dalam masyarakat yang menganut prinsip
kekerabatan yang bersifat patrilineal.
C. SISTEM KEPEMIMPINAN
Kesatuan masyarakat terkecil yang secara politis dan ekonomis mempunyai
otonomi penuh di kalangan suku-bangsa Biak adalam mnu atau kampung.
Kampung merupakan suatu segmen yang terbagi-bagi dalam keret-keret atau
klen-klen kecil dan selanjutnya dalam sim-sim atau keluarga-keluarga batih.
Dasar-dasar yang menyatukan para warga suatu kampung adalah faktor
kesamaan keturunan dan kepentingan ekonomi dan politik.
Selain unsur-unsur fisik seperti penduduk, bangunan-bangunan berupa
rumah-rumah keret, aberdado, rumah-rumah upacara, rumsram, dan
wilayah tertentu yang jelas batas-batasnya yang merupakan ciri-ciri nyata
suatu komunitas yang disebut mnu atau kampung, unsur lain yang bukan
merupakan unsur fisik tetapi penting sehingga mendapat perhatian khusus
dalam uraian berikut adalah unsur kepemimpinan masyarakat dalam
kampung.
Seperti dikatakan sebelumnya satu kampung dibentuk oleh penduduk yang
berasal dari satu atau lebih keret. Masing-masing-masing keret itu dikepalai
oleh seorang pemimpin yang disebut mananwir keret. Tugas seorang
mananwir adalah pertama, sebagai kepala dan hakim yang menangani
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
berbagai urusan yang menyangkut kepentingan warga golongannya sendiri,
seperti misalnya sebagai kepala untuk mengatur izin penggunaan tanah hak
milik keret di antara warga keret dan sebagai hakim untuk menyelesaikan
berbagai sengketa yang timbul antara warga keret sendiri. Peranan kedua
dari seorang mananwir adalah sebagai wakil golongannya sendiri untuk
untuk menangani masalah-masalah yang menyangkut kepentingan
golongannya dengan golongan yang lain dalam kampung dan bersama-sama
dengan mananwir-mananwir dari keret-keret lain menjaga dan mengawasi
kepentingan warga kampungnya terhadap pihak luar (kampung lain).
Kedudukan menjadi mananwir atau kepala keret itu tidak didasarkan atas
umur, tetapi ditentukan oleh kemampuan memperjuangkan kepentingan
golongan, kerelaan mengorbankan diri demi kepentingan anggota warga
keret, memiliki pengetahuan luas tentang aturan-aturan yang berlaku dalam
keret, mempunyai pengalaman yang lebih banyak dibandingkan dengan
anggota lain dari keret-nya seperti sering mengikuti ekspedisi pelayaran dan
perang ke tempat-tempat yang jauh dan pandai berbicara di muka umum.
Kedudukan seorang mananwir di antara saudara-saudaranya adalah sebagai
primus inter pares dan kedudukan tersebut tidak diteruskan oleh anak lakilaki
sulungnya melainkan oleh salah seorang adik laki-laki. Apabila tidak
ada adik laki-laki maka kedudukan itu dapat diemban oleh anak laki-laki
sulung jika yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat yang dituntut untuk
kedudukan tersebut seperti sudah dikemukakan di atas (Kamma 1995:148).
Di atas kepala keret, pada tiap mnu atau kampung, terdapat seorang kepala
yang disebut mananwir mnu. Seorang mananwir mnu tidak dipilih,
melainkan diangkat oleh penduduk kampung dari salah seorang mananwir
keret berdasarkan dua kriteria pokok: pertama berdasarkan sejarah asal
usulnya yaitu harus berasal dari golongan keret pendiri kampung (Van
Gendt 1955:374) dan kedua berdasarkan kemampuan dari salah seorang
mananwir yang melebihi kemampuan yang ditunjukkan oleh mananwir lain
dalam lingkungan kampungnya. Kriteria terakhir ini lebih penting dari
kriteria pertama, karena seorang mananwir yang berasal dari golongan
manseren mnu atau keret pendiri kampung tetap mempunyai wewenang
untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan penggunaan tanah dan
pemanfaatan hasil-hasil hutan dalam wilayah kekuasaan kampungnya
(Mampioper 1986:7).
Adapun pengutamaan jenis kemampuan yang diharapkan dari seorang
pemimpin cenderung berubah-ubah sesuai dengan kepentingan kelompok
yang pada gilirannya ditentukan oleh situasi tertentu. Dengan demikian pada
waktu perang kedudukan seorang pemimpin kampung didasarkan atas
keberanian memimpin perang, disebut mambri, pada waktu keadaan
ekonomi memburuk, kedudukan tersebut didasarkan atas kemampuan
hubungan ekonomi, manibob, dan pada waktu krisis moral atau bencana
wabah, kedudukan tersebut didasarkan atas kemampuan sebagai mediator
antara orang hidup dan orang mati, mon atau konor.
Kedudukan mananwir mnu adalah sebagai kepala atas kepala-kepala keret
lain dalam kampung. Tugasnya ialah mengkoordinasikan kepala-kepala
keret bersama tokoh-tokoh masyarakat lain dalam pengambilan keputusan
tertentu yang menyangkut kepentingan komunitas kampung lewat lembaga
masyarakat yang disebut kainkain karkara mnu atau seriar mnu, serta
memimpin dengan langsung pelaksanaan keputusan tersebut. Sebelum
memberikan uraian tentang keanggotaan dan fungsi lembaga tersebut
terlebih dahulu diberikan penjelasan singkat mengenai tokoh-tokoh
masyarakat yang tampil sebagai pemimpin kampung, mananwir mnu.
Manseren mnu sebagai mananwir mnu. Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, tiap mnu, kampung, terdiri dari satu atau beberapa keret, klen
kecil. Klen-klen kecil itu dibedakan atas dua golongan yaitu golongan
pendiri kampung, manseren mnu, dan golongan pendatang. Masing-masing
klen kecil mempunyai seorang kepala yang disebut mananwir dan diantara
mereka bertindak seorang sebagai kepala kampung, disebut mananwir mnu.
Seorang kepala dari golongan manseren mnu yang pandai berorganisasi,
memiliki pengetahuan tentang upacara-upacara adat dan berani serta pandai
membangkitkan semangat hidup anggota komunitinya mempunyai
kemungkinan yang lebih besar diangkat sebagai kepala kampung, mananwir
mnu, dibandingkan dengan seorang kepala lain yang memiliki tingkat
kemampuan yang sama tetapi bukan berasal dari golongan manseren mnu
atau keret pendiri kampung.
Selain kedudukan kepala dalam pemerintahan kampung yang dipegang oleh
seorang berasal dari golongan manseren mnu, kedudukan tersebut dapat
diemban juga oleh seseorang yang bukan berasal dari golongan tersebut. Hal
ini sangat erat kaitannya dengan situasi tertentu yang sedang dihadapi oleh
penduduk kampung, seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya di atas.
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Di bawah ini diberikan uraian singkat tentang mananwir mnu, pemimpin
kampung, yang bukan di dasarkan atas keturunan melainkan atas dasar
keahlian tertentu.
Pemimpin perdagangan sebagai mananwir mnu. Pada bagian-bagian yang
membicarakan lingkungan alam serta struktur sosial di atas, telah
dikemukakan bahwa kehidupan penduduk di daerah Biak-Numfor pada
waktu lampau sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan alam yang relatif
kurang subur. Kendala ini menyebabkan penduduk tidak menggatungkan
kehidupannya semata-mata pada hasil pertanian saja melainkan juga pada
jenis mata pencaharian lain seperti berdagang. Dalam kaitannya dengan
sistem perdagangan itu individu-individu yang berhasil memimpin warga
komunitinya untuk melakukan suatu ekspedisi perdagangan (faduren)
muncul sebagai mananwir mnu atau pemimpin masyarakat kampungnya.
Biasanya orang yang berhasil memimpin suatu ekspeidi perdagangan adalah
orang yang mempunyai hubungan manibob atau teman dagang di tempat
lain. Pengakuan terhadap kemampuan memimpin seseorang dengan
kualifikasi seperti ini bersumber dari harapan dan penghargaan yang
diberikan kepadanya. Karena dibawah pimpinannya warga kampung dapat
berhubungan dengan pihak lain untuk memperoleh berbagai kepentingan
yang tidak terdapat dalam lingkungannya sendiri. Juga karena berkat jasanya
warga kampung dapat diselamatkan dari bahaya tertentu misalnya bahaya
kelaparan atau bahaya perang.
Mambri atau pemimpin perang sebagai pemimpin. Dalam pemerintahan
tradisional di daerah ini terdapat juga individu-individu yang dapat muncul
sebagai pemimpin masyarakat atas dasar kualifikasi mambri atau pemimpin
perang. Orang-orang yang mendasarkan kekuasaannya atas kualifikasi ini
sekaligus memiliki sifat berani dan kejam. Di samping itu mereka memiliki
juga pengetahuan mengenai strategi perang serta kemampuan untuk
menyatukan dan membangkitkan semangat pengikut-pengikutnya. Sejak
masa remaja para pemimpin perang diberi makan sejenis daun yang disebut
ui mambri. Menurut kepercayaan orang Biak daun tersebut dapat
memberikan tenaga dan keberanian besar kepada siapa yang memakannya.1
1 Nama ui mambri adalah nama umum untuk beberapa jenis daun yang menurut kepercayaan
orang Biak mengandung khasiat-khasiat tertentu. Misalnya memberikan keberanian kepada
orang (dalam arti percaya diri untuk bertindak dengan keras terhadap lawan) dan juga
mengandung kekuatan untuk menyembuhkan luka-luka berat yang diderita pada waktu
bertempur. Jenis-jenis tanaman yang tergolong dalam ui mambri itu hanya diketahui oleh
Sebelum kehadiran Zending (1855) dan pemerintah Belanda (1898) di
Papua pemimpin perang itu seringkali menimbulkan situasi tidak aman dan
damai di Teluk Cenderawasih, daerah pesisir Kepala Burung dan Kepulauan
Raja Ampat.2 Pada waktu itu orang-orang Biak terkenal sebagai pembajak
laut dikawasan tersebut. Beberapa catatan yang dibuat oleh pekabar-pekabar
injil di daerah itu menunjukkan hal tersebut. Misalnya Kamma menyamakan
orang Biak dengan orang Viking di Teluk Cenderawasih (1976:661), 3
sedang pendeta-pendeta Agter dan Ten Kate mengatakan bahwa kata Biaksi
atau orang Biak, adalah kata yang menakutkan penduduk di pantai utara
Papua sebab kata itu sering diasosiasikan dengan pembunuhan dan
perburuan budak (1953:87).4
Situasi tidak aman yang selalu terjadi di daerah ini menyebabkan penduduk
mendambakan munculnya seorang mambri dari keret-nya atau kampungnya
untuk melindungi penduduk terhadap musuh dari kampung lain. Itulah
sebabnya apabila seseorang yang menunjukkan sifat-sifat mambri, seperti
tersebut di atas, segera diakui sebagai pemimpin mereka baik oleh anggota
kerabatnya sendiri maupun warga kampung lainnya.
orang-orang tertentu saja, tidak oleh umum. Daun tersebut diberi makan hanya kepada anakanak
yang menurut penilaian orang-orang tua (mantan mambri) memiliki bakat untuk
menjadi mambri di kemudian hari. Bakat untuk kualifikasi itu dilihat pada sifat keberanian
yang ditunjukkan oleh seorang anak diantara teman-temannya, misalnya berani mewakili
teman-temannya untuk menyampaikan sesuatu kepada orang-orang dewasa atau berani
mengambil risiko untuk membantu teman yang berada dalam kesulitan, misalnya jatuh di
jurang, atau membantu menyelamatkan teman yang dikejar babi hutan pada waktu berburu
atau memimpin teman-teman untuk melakukan suatu aktivitas tertentu. Selain itu bakat
tersebut dapat diamati dari seorang anak pada waktu berada dalam pendidikan rum sram.
Pengetahuan tentang daun tersebut biasanya diwarikan dalam keret atau klen kecil.
2 Beberapa diantara pemimpin-pemimpin perang itu sangat terkenal dan akhirnya dimitoskan
dalam sejarah kepahlawanan orang Biak, seperti misalnya tokoh-tokoh legendaris Pasrefi dan
Faroki serta Kurabesi (Gurabesi). Wilayah pengruh tokoh-tokoh ini amat luas, meliputi
daerah Teluk Cenderawasih sampai ke Kepulauan Raja Ampat.
3 Dalam kata-katanya sendiri Kamma dalam bukunyanya Dit Wonderlijke Werk II, 1976:661
mencatat: de Biakkers ‘de Vikings van de Geelvinkbaai’
4 Agter dan Ten Kate dalam laporan tentang pembajak-pembajak laut ini mencatat seperti
berikut: ‘Biaksi! Een schrik voer door de dorpen aan de noordkust van nieuw Guinea.
Dadelijk wekt het associaties van moord en slaven jagen’ (lihat Kruis en Korwar, Kamma,
ed. 1953:87).
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Konor atau Mon sebagai pemimpin. Di samping tipe-tipe pemimpin yang
telah diterangkan di atas, terdapat juga pemimpin-pemimpin yang
mendasarkan kekuasaannya pada religi.5 Pemimpin-pemimpin seperti ini
dalam bahasa Biak disebut konor atau mon. Mereka ini mengaku diri
sebagai utusan dari tokoh mite Mananarmakeri atau Manseren Manggundi
yang diutus untuk datang lebih dahulu menyiapkan masyarakat dalam
rangka menyambut kedatangan Manseren Manggundi. Manseren
Manggundi adalah tokoh dalam mite masyarakat Biak yang, menurut
kepercayaannya, telah meninggalkan mereka karena sifat-sifat tidak adil,
dendam, serta pertumpahan darah dan penyelewengan terhadap nilai-nilai
dan norma-norma adat, namun pada suatu waktu akan kembali untuk
mendirikan koreri atau kerajaan abadi bagi orang Biak (Kamma 1972).6
Oleh karena keyakinan orang Biak akan mite tersebut, para ‘utusan’ itu
diakui sebagai pemimpin dalam masyarakat. Kepemimpinan seorang
pemimpin konor atau mon bersifat pergerakan, dan oleh karena tujuan
pergerakan itu adalah mendirikan kerajaan adil dan makmur yang bersifat
abadi, dan juga oleh karena bertujuan mendatangkan kekayaan material bagi
pengikutnya, maka secara umum wujud bentuk kepemimpinan itu dikenal
dengan nama gerakan mesianik atau ratu adil dan gerakan kargoisme.
Penampilan seorang sebagai konor biasanya diawali dengan suatu
pengalaman luar biasa, misalnya sembuh dari penyakit tanpa pengobatan,
pengalaman peristiwa ajaib tertentu, atau bermimpi bertemu dengan
Manseren Manggundi. Pengalaman-pengalaman luar biasa itu kemudian
disusul dengan penyembuhan orang-orang sakit oleh konor. Pengalaman
luar biasa yang disertai dengan tindakan penyembuhan orang sakit itu
membuat membuat masyarakat yakin bahwa orang yang bersangkutan
benar-benar adalah utusan dari Manseren Manggundi. Keyakinan demikian
memudahkan seorang konor untuk membangkitkan semangat banyak orang
guna melaksanakan kemauannya yang merupakan ‘pesan’ dari Manseren
Manggundi.
5 Konsep religi di sini saya artikan menurut pengertian yang diajukan oleh van Baal: ‘all
explicit and implicit notions and ideas, accepted as true, which relate to a reality which can
not be verified empirically’(1973:3).
6 Penjelasan luas tentang mite tersebut dibuat oleh Kamma dalam disertasinya yang berjudul
De Messiaanse Koreri Beweging in het Biaks-Numfoorsche Cultuurgebied (1954). Edisi
berbahasa Inggris berjudul Koreri: Messianic Movements in the Biak-Numfor Culture area
(1972).
Pelaksanaan kemauan sang konor sering disertai dengan sangsi-sangsi berat
terhadap para pembangkang. Pengerahan massa orang yang efektif dengan
menggunakan sangsi-sangsi berat menyebabkan kekuasaan seorang konor
yang pada mulanya terbatas ruang lingkupnya pada warga keret dan warga
kampung sendiri dan hanya bersifat gerakan sosial yang bertujuan
memurnikan nilai-nilai dan norma adat setempat guna mempercepat
kedatangan Manseren Manggundi itu kemudian dapat meluas meliputi
wilayah yang luas serta berubah sifat seperti menentang pengaruh asing.
Contoh konor-konor yang muncul sebagai pemimpin masyarakat dengan
menggunakan mite Manseren Manggundi sebagai alat pengabsahan
kekuasaannya adalah Steven Dawan, Stefanus Simopiaref dan Korinus
Birmor, yang muncul sebagai pemimpin Gerakan Koreri sesudah
Angganitha, pendiri gerakan tersebut. Kecuali Korinus Birmor yang dibunuh
di Biak, para konor lainnya ditahan oleh orang Jepang kemudian dibawa dan
dieksekusi di Manokwari.7
Korano sebagai pemimpin. Tipe pemimpin lain yang dikenal juga dalam
masyarakat Biak adalah pemimpin-pemimpin yang disebut korano.
Sebetulnya istilah korano dalam lingkungan masyarakat Biak mengandung
pengertian gelar yang diperoleh seseorang sebagai hadiah atas upeti atau
sumbangan yang dibawa kepada Sultan di Tidore atau Ternate (Kamma
1947-49). Istilah korano sebetulnya berasal dari istilah kolano dalam bahasa
Tidore atau Ternate yang berarti raja atau pangeran (Kamma 1947/9; Van
Fraassen 1987). Unsur kepemimpinan yang disebut korano itu baru terjadi
pada waktu pemerintah Belanda secara efektif melakukan pemerintahannya
di daerah Papua, khususnya di daerah Biak-Numfor pada dekade kedua abad
ini. Tokoh-tokoh yang diangkat menjadi wakil pemerintah Belanda untuk
menjalankan roda pemerintahannya pada tingkat kampung diberi jabatan
korano. Syarat utama untuk mengangkat seorang korano adalah kemampuan
berbicara bahasa Melayu. Banyak pemimpin korano itu tidak didasarkan
atas kriteria tradisi yang sudah membeku (Burger 19928:90-91).
Pada waktu sebelum pemerintahan Belanda berkuasa, banyak tokoh-tokoh
masyarakat memang menggunakan gelar korano, bukan semata-mata
sebagai jabatan, tetapi juga sebagai gelar penghormatan. Gelar tersebut dan
gelar-gelar lainnya seperti mayor, dimara, sanadi, kapisa, dan rejau pada
waktu itu memberikan kekuasaan dan wibawa sehingga mereka yang
7 Penjelasan tentang sejarah Gerakan Koreri serta pemimpin-pemimpin gerakan tersebut
dimuat dalam Kamma (1972) dan Mansoben (1980).
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
memilikinya mempunyai pengaruh dalam masyarakat, terutama dalam
lingkungan keret dan kampungnya, meskipun dalam kehidupan pribadi
sehari-hari tidak ada pengaruhnya (Mampioper 1986:14). Seperti halnya
gelar korano, gelar-gelar lainpun berasal dari Maluku.8 Dalam lingkungan
orang Biak gelar-gelar itu mempunyai nilai yang sama, artinya penggunaan
satu gelar oleh orang tertentu tidak menyebabkan kedudukannya lebih tinggi
dari orang yang menggunakan gelar yang lain, tidak seperti halnya di
Maluku. Gelar-gelar itu biasanya dipakai di depan nama keret, misalnya
Mayor Namber (dari Numfor), Korano Arwakon (dari kampug Sowek),
Sanadi Mofu (dari kampung Ampombukor), dan Rejau Kasiepo (dari
kampung Wardo).9
Lembaga Kainkain Karkara Mnu. Dalam struktur pemerintahan mnu, atau
kampung pada orang Biak dikenal suatu lembaga yang disebut kainkain
karkara mnu atau dewan kampung. Dewan tersebut dipimpin oleh mananwir
mnu dan anggota-anggotanya terdiri dari para mananwir keret ialah kepalakepala
keret, para sinan keret atau tokoh-tokoh tua keret, para mampapok
(pemuda-pemuda yang kuat baik fisik maupun mental dan yang berani serta
berpengalaman) dan perempuan-perempuan dewasa yang berpengalaman
luas.
Tempat berapat atau berunding lembaga tersebut biasanya di halaman
terbuka dalam kampung. Itulah sebabnya lembaga itu disebut juga seriar,
artinya berkumpul atau berapat di luar.
Lembaga tersebut selain berfungsi sebagai wadah untuk merundingkan
segala aktivitas yang menyangkut bidang pemerintahan, juga berfungsi
sebagai badan pengadilan yang memutuskan hukuman bagi mereka yang
melanggar ketentuan-ketentuan adat. Masalah-masalah yang dirundingkan
8 Gelar mayor berasal dari bahasa Belanda mayoor. Di Maluku istilah tersebut dipakai untuk
jenjang kepangkatan tertentu di dalam angkatan perang Sultan, seperti halnya dalam
pemerintahan Belanda. Di Biak istilah tersebut tidak berhubungan dengan jenjang
kepangkatan tertentu. Istilah itu dipakai sebagai gelar kemudian dirubah menjadi nama keret,
klen kecil dan digunakan sampai sekarang. Demikian juga dengan gelar-gelar lainnya yang
kemudian berubah menjadi nama keret seperti gelar dimara yang berasal dari bahasa Tidore
gimalaha dan bahasa Ternate Kimalaha yang berarti kepala soa. Kata tersebut merupakan
kependekan dari kata-kata giki ma-laha yang berarti orang baik (Van Fraasssen
1987:638;641).
9 Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada Feuilletau de Bruyn (1920:42) dan Mampioper
(1986:14).
dalam bidang pemerintahan itu meliputi aspek keamanan dan gengsi, aspek
ekonomi dan aspek agama.
Dalam aspek keamanan dan gengsi, dewan bertugas untuk memutuskan halhal
seperti : (a) berperang terhadap musuh atau tidak; (b) melakukan
ekspedisi pengayauan dan pengkapan budak ke tempat lain (yang jauh atau
dekat); (c) menerima atau menolak tawaran kampung lain untuk membantu
dalam perang menghadapi lawannya; (d) bersaing dengan kampung lain
untuk berlayar ke tempat-tempat yang jauh yang belum pernah didatangi
oleh orang lain; 10 (e) merundingkan pemberian gelar kepada keponakan
atau menerima gelar dari paman.
Dalam aspek ekonomi, dewan memutuskan hal-hal seperti: (a) membuat
perahu dagang baru; (b) melakukan pelayaran perdagangan; (c) melakukan
perburuan atau penangkapan ikan untuk kepentingan umum tertentu; (d)
membuka kebun baru.
Dalam aspek agama, dewan bertugas untuk merundingkan hal-hal seperti:
(a) pembangunan atau perbaikan rumah pemuda, rum sram; (b) upacara ern
k’bor dan insos yaitu upacara inisiasi pemuda dan pemudi; (c) upacara fan
nanggi (nangki) atau upacara persembahan kepada ‘tuhan langit’: (d)
upacara mansorandak yaitu upacara selamatan bagi seseorang yang untuk
pertama kalinya pergi ke tempat asing.
Selanjutnya kedudukan lembaga kainkain karkara mnu sebagai lembaga
pengadilan ialah bertugas untuk menyelesaikan atau memutuskan hal-hal
seperti: (a) penetapan pembalasan atau pembayaran atas pembunuhan
tertentu; (b) pembayaran denda karena perbuatan zina; (c) pembayaran
kembali maskawin karena isteri menyeleweng; (d) menyelesaikan sengketa
yang timbul antara warga kampung karena masalah tanah atau hasil hutan;
(e) pembayaran denda karena menghina orang lain.
Perlu ditegaskan di sini bahwa inisiatif untuk merundingkan sesuatu
masalah tertentun dalam dewan boleh berasal dari mananwir mnu, tetapi
keputusan didasarkan atas kesepakatan anggota dewan kampung (biasanya
10 Unsur bersaing untuk melebihi orang atau kelompok lain sangat kuat dalam kebudayaan
orang Biak. Hal itu disebut fanandi atau korfandi. Wujud fanandi itu antara lain dinyatakan
dalam hal mengunjugi tempat-tempat yang jauh letaknya dari Kepulauan Biak-Numfor,
seperti Kepulauan Raja Ampat, Ternate, Tidore atau Seram. Keret atau kampung yang
warganya mengunjugi tempat-tempat yang lebih jauh letaknya dan belum pernah didatangi
mengangkat prestise dimuka kelompok lawan atau orang lain.
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
secara musyawarah). Jadi peranan mananwir mnu dalam kedudukannya
sebagai ketua dewan adalah membuat keputusan berdasarkan kesepakatan
bersama, bukan atas kehendak sendiri. Dengan demikian sifat autonomous
atau mandiri yang terdapat pada pemimpin-pemimpin pria berwibawa yang
mendasarkan kekuasaannya atas kriteria kemampuan pribadi seperti halnya
yang dituntut juga dari seorang mananwir mnu, tidak terdapat di sini.
Tiap mnu atau kampung mempunyai lembaga kainkain karkara mnu sendiri
dan bukan merupakan bagian dari lembaga yang sama pada kampung lain.
Ruang lingkupnya hanya meliputi satu kampung yang berbeda, maka
persoalan itu diselesaikan oleh paling sedikit tiga lembaga kainkain karkara
mnu, yaitu dua dari kampung-kampung yang terlibat dan yang satunya lagi
dari kampung yang tidak terlibat. Peranan dari pihak ketiga adalah sebagai
juri, biasanya pihak ketiga itu diundang oleh pihak yang menjadi korban.
Keterlibatan tiga pihak dalam suatu persoalan itu menyebabkan biasanya
banyak peserta yang nampak hadir dalam sidang kainkain karkara mnu
seperti itu.
Ketika pemerintah Belanda berkuasa, lembaga tersebut kurang berperan dan
akhirnya hampir hilang. Namun setelah Perang Dunia II berakhir atas
inisiatif De Bruijn, yang menjadi HPB (Hoofd van Plaatselijk Bestuur)
Biak-Numfor pada waktu itu, lembaga tersebut dihidupkan kembali sebagai
organ fungsional bagi pemerintahan tingkat kampung (De Bruijn 1948/9:71-
75). Sayang, bahwa usaha untuk menghidupkan kembali lembaga tersebut
di kampung Sorido sebagai contoh itu tidak berhasil karena kepentingankepetingan
pribadi tokoh-tokoh masyarakat yang berkedudukan sebagai
mananwir keret dalam kampung tersebut (De Bruijn 1965:86). Meskipun
demikian usaha pada tahun 1947 untuk mendirikan lembaga seperti ini pada
tingkat yang lebih tinggi, yang dikenal dengan nama kainkain karkara Biak,
menurut De Bruijn lebih berhasil (1965:87). Lembaga kainkain karkara
Biak yang didirikan itu berfungsi sebagai dewan penasihat bagi pemerintah
formal daerah onderdistrikt Kepulauan Biak-Numfor. Anggotanya
berjumalh 20 orang, 15 di antaranya dipilih dan 5 orang lain ditunjuk oleh
pemerintah. Mereka semuanya berasal dari kampung tetapi ketuanya adalah
seorang pamong praja pemerintah (De Bruijn 1965:87). Lembaga ini
kemudian pada tahun 1959 berubah menjadi Persekutuan Masyarakat Biak-
Numfor (pada waktu itu disebut Streekgemeenschap Biak-Numfor) dan
diwakili oleh suatu lembaga berupa dewan daerah yang beranggotakan 13
orang, 10 dari mereka dipilih dan 3 yang lainnya diangkat. Dewan tersebut
bersidang dua kali dalam satu tahun dan dibuka untuk pertama kalinya pada
tanggal 10 November 1959. Adapun badan Persekutuan Masyarakat Biak-
Numfor, merupakan badan kemasyarakatan pertama yang didirikan oleh
pemerintah Belanda di Papua berdasarkan Artikel 122 dari Bewindsregeling
Nieuw Guinea (BNG).11
D. Sistem Tradisional dalam Sistem Modern (Otonomi Daerah)
1. Memperhatikan pola-pola kepemimpinan adat (tradisional) orang
Bik seperti yang telah diuraikan sebelumnya di atas dan pola-pola
kepemimpinan dalam sistem kepemimpinan formal (modern) yang
sekarang berlaku di Indonesia termasuk di Kabupaten Biak-Numfor,
kita dapat mencatat bahwa pada prinsipnya kedua sistem tersebut
tidak berbeda karena kedudukan pemimpin didasarkan atas prinsip
pencapaian melalui kualitas pribadi seorang dan atas dasar
kompetisi atau persaingan. Perbedaan yang ada antara kedua sistem
kepemimpinan tadi hanya terletak pada bentuk dari syarat-syarat
yag dituntut pada seseorang yang hendak ditampilkan sebagai
pemimpin. Misalnya pada waktu lampau salah satu syarat yang
sangat penting adalah pengetahuan yang luas tentang adat istiadat
masyarakat, sedangkan diwaktu sekarang pengetahuan tersebut
merupakan syarat mutlak melainkan pengetahuan tentang masalahmasalah
kemasyarakatan kontemporer (misalnya masalah kesehatan,
pendidikan) merupakan prasyarat utama. Oleh karena adanya
kesamaan prinsip tersebut maka kita tidak dapat ragu-ragu untuk
menyatakan bahwa masyarakat Biak-Numfor tidak mengalami
kesulitan dalam menerima sistem pemerintahan modern.
2. Peranan Sistem Kepemimpinan Adat (Tradisional) Orang Biak
dalam Sistem Modern.
“Kainkain karkara” seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di atas
merupakan lembaga kepemimpinan dalam masyarakat Biak-Numfor
yang sangat penting. Oleh karena kehadiran lembaga ini
mencerminkan sifat demokrasi dalam membuat keputusankeputusan
yang menyangkut kepentingan masyarakat umum maka
lembaga tersebut hendaknya dihidupkan kembali dan di integrasikan
ke dalam struktur pemerintahan formal baik di tingkat mnu (desa),
maupun di tingkat kecamatan dan tingkat kabupaten.
11 Lihat De Bruijn 1965:89 dst.
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Fungsi dari lembaga kainkainkarkara dalam tingkat tingkat
pemerintahan formal tersebut di atas adalah sebagai lembaga yang
memberikan pertimbangan dan nasihat bagi penyelenggara
pemerintah formal dalam hal membuat kebijakan-kebijakan yang
menyangkut program-program pembangunan masyarakat. Agar
lembaga kainkain karkara dapat benar-benar berperan dalam
menjalankan fungsinya seperti tersebut maka harus ada pengakuan
resmi dari pemerintah formal terhadap kehadiran lembaga tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Baal, J. van
1975 Reciprocity and the Position of Women. Assen: Van Gorcum
Bemmelen, R.W. van
1953 Geologie. Dalam: W.C. Klein (ed.), 1953(1):259-284.
Blust, R.
1980a Early Austronesian Social Organization: The Evidence of
Language. Current Anthroplogy 21:205-248.
Bruijn, J.V. de
1948/9 Een Proeve tot de Ontwikkeling van de Biakse Menoe of
Kampong. TNG 9:9-16, 39-43, 71-76
Burger, E.J.
1928 Aatekeningen over het Volksbestuur op Noord Nieuw-Guinea.
KS 12:340-352.
Feuilletau de Bruyn, W.K.H.
1920 De Schouten-en Padaido-eilanden. Batavia:Javasche Drukkerij.
1937/9 Welke Afstanden kunnen de Papoea’s van de Schouteneilanden
over Zee Afleggen? TNG 2:306-314; 3:347-355.
1940/1a De Biaksche Tijdrekening naar de Sterrenbeelden. TNG 5:1-10.
Fraassen, Ch. F. van
1987 Ternate, de Molukken en de Indonesische Archipel. Van Soa-
Organisatie en Vierdeling: Een Studie van Traditionele
Samenleving en Cultuur in Indonesië, 2 Vol. Leiden: Disertasi.
Gendt, G.J. van
1955 Kampong-Grenzen; Een grondengeschil op Biak;
Beschouwingen over het begrip Grondvoogd. Adatrechtbundel
45: Nieuw Guinea. ‘s-Gravenhage: Nijhoff, pp. 369-376.
Goenewegen, K. & D. J. van de Kaa (eds)
1964/7 Resultaten van het Demografisch Onderzoek Westelijk Nieuw
Guinea. Delen I t/m VI. The Hague: Government Printing and
Publishing Office.
Jens, F.J.
1916 Het Insos-en het K’bor Feest op Biak en Soepiori. BKI 72:404-
411.
Kamma, F.C.
1955a Volksordening op Biak; Biakse titels. Adatrechtbundel 45:
Nieuw Guinea. ‘s-Gravenhage: Nijhoff, pp. 148-152.
1955b Kruis en Korwar. Den Haag: Voorhoeve.
1972 Koreri: Messianic Movements in the Biak-Numfor Cultuur Area.
The Hague:Nijhoff.
1976 Dit Wonderlijke Werk [2 Vol.]. Oegstgeest: Raad voor de
Zending de Nederlandse Hervormde Kerk.
1975 Religious Texts of the Oral Tradition from Western New Guinea
(Papua). I. The Origin and Sources of life. Leiden: Brill.
1978 Religious Texts of the Oral Tradition from Western New Guinea
(Papua). II. The Threat to Life and its Defence Against Natural
and Supernatural Phenomena.
Kamma, F.C. & S. Kooijman
1974 Romawa Forja, Child of the Fire: Iron Working and Role of
Iron in West New Guinea. Leiden: Brill.
Klein, W.C. (ed.)
1953/4 Nieuw Guinea: De Ontwekkeling op Economisch, Sociaal en
Antropologi Papua Volume 1. No. 3 Agustus 2003
Cultuur Gebied, in Nederlands en Australisch Nieuw Guinea [3
Vol.]. ‘s-Gravenhage: Statsdrukkerij- en Uitgeverijbedrijf.
Mampioper, A.
1986 ‘Sistem Pemerintahan Tradisional Suku Biak: Beberapa Catatan
tentang Perubahan-Perubahan yang terjadi sebagai Akibat dari
Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Desa berdasarkan Undang-
Undang No. 5 tahun 1979’. Jayapura: Yayasan Bhakti
Cenderawasih & Pusat Studi Papua [Naskah].
Mansoben, J.R.
1980 Gerakan Koreri di daerah Biak antara 1938-1943. Prisma
8(19):78-91.
1985a Ritus K’bor dan Arti Simboliknya dalam Kebudayaan Biak-
Numfor, Papua. Ritus Peralihan di Indonesia. Koentjaraningrat
(ed.). Jakarta: Balai Pustaka, hal. 128-146.
1995 Sistem Politik Tradisional di Papua. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Leiden University. Jakarta.
Mansoben, J.R. & M.T. Walker
1990b Indigenous Political Structure and Leadership Pattern in Papua.
IBIJD 18:17-24.
Müller, F.
1876-88 Grundrisse der Sprachwissenschaft [4 Vols]. Vienna: Hölder.
Murdock, G.P.
1949 Social Structure. New York: MacMillan.
Wurm, S.A. & S. Hattori
1981 Language Atlas of the Pacific Area. Canberra: Australian
Academy of Humanities.

ETNOBOTANI PISANG SUKU KARON: Studi tentang Ekologi Pangan Pokok

ETNOBOTANI PISANG SUKU KARON: Studi tentang Ekologi Pangan Pokok

Djekky R. Djoht
Dosen Tetap di Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih dan Sekretaris Laboratorium Antropologi Universitas Cenderawasih


Abstract
Karon people live in the north part of the head of the bird of Papua
island. They live along the shore and the remote places of the area.
The area where the Karon live is in the Sausapor and Aifat districts
in Sorong regency.
The Karon mostly a farmer with the main crop is banana. They
knew 21 varieties of banana (Musa paradisiacal) and they divide the
banana as banana that can eat freshly (Musa paradisiacal van
spentum) and bananas that have to be cook before eaten (Musa
paradisiacal formatipica)


A. PENDAHULUAN
Pisang bagi Orang Karon merupakan sumber makanan utama (pokok)
dalam pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari. Oleh karena itu pisang
menjadi penting dan fokus utama dalam kebudayaan Swiden
Agriculturenya.
Dalam Artikel ini akan diulas mengenai: Pisang : Pandangan Beberapa
Suku Di Indonesia, Etnografi kebudayaan Karon dan Pandangan dan
pemanfaatan pisang bagi suku Karon.


B. PISANG: PANDANGAN BEBERAPA SUKU DI INDONESIA
Pemanfaatan pisang sebagai penghasil buah,sumber vitamin dan
mineral, telah lama dikenal masyarakat Indonesia. Dan pisang adalah
tanaman asli Indonesia. Namun demikian pisang juga digunakan sebagai
obat tradisional, anyam-anyaman, dan dalam upacara-upacara adat.
1. Pisang sebagai sumber bahan pangan
Pisang umumnya digolongkan sebagai sumber vitamin dan mineral,
sama halnya dengan buah-buahan lainnya. Daging buah pisang
mengandung 70% air, 27% karbohidrat, 0,5% serat, 1,2% protein, dan
0,31% lemak. Disamping itu, daging tersebut juga mengandung unsurunsur
K, Na, serta vitamin-vitamin A, C, Tiamin, ribovlavin dan niasin
(Espino et al. 1991). Buah pisang disuguhkan dalam aneka hidangan.
Ada yang berupa buah segar, pisang goreng, pisang rebus, kripik pisang
dan ada pula yang disuguhkan dalam bentuk kue.
Beberapa suku di Indonesia seperti suku Batak, Minangkabau, Melayu,
Jawa, Sunda menggunakan jantung pisang digunakan sebagai sayur.
Ada juga yang disuguhkan dalam bentuk gulai santan.

2. Sumber Bahan Obat-obatan
Heyne (1988) melaporkan bahwa air perasan rimpang pisang berkasiat
untuk beberapa penyakit seperti diare, dan pencegahan pendarahan
waktu melahirkan. Di Sulawesi Utara perasan batang pisang Jaki (Musa
acuminata Colla var. tomentosa), yang terlebih dahulu
dibakar/dipanaskan kemudian digunakan untuk obat luka baru.
Sedangkan daging buahnya yang ditumbuk dengan sepotong kunyit
digunakan untuk obat gonone, sejenis kutu. Pucuknya sesudah dicacah
dan tambah air sedikit, dipanaskan diatas tiga buah batu yang terlebih
dahulu dibakar, digunakan untuk obat telapak kaki yang pecah-pecah
dengan jalan mencelupkannya kedalam cacahan tersebut. Hati bongkol
pisang goroho (Musa ABB) yang sudah busuk, dibungkus dengan daun
pisang dipanaskan di atas api, lalu ditempelkan pada borok yang
menahun. Getah bersama buah pisang goroho yang sudah dicacah,
digunakan untuk obat ‘muntah ular’ (Herpes) dengan jalan
menempelkannya pada kulit yang terserang.

3. Sumber Pakan Ternak
Di Jawa Timur, yaitu di Nongkojajar, batang pisang serta umbutnya
setelah dicacah, diberikan pada sapi perah terutama pada musim
kemarau pada waktu rumput mulai berkurang. Katanya pemberian
batang pisang tersebut, tidak mengurangi produksi susu sapi tersebut.

4. Upacara Adat
Pada beberapa suku di Jawa dan Sumatera, pada waktu mendirikan
rumah ditambatkan sebatang pisang dibumbungan rumah. Ini suatu
perwujudan harapan agar penghuni rumah baru tersebut kelak
dikaruniai banyak anak, karena banyak anak simbolnya banyak rejeki.
Dalam perkawinan baik pada suku Sunda atau Jawa, pada pintu gerbang
tempat upacara selalu dihiasi dengan sebatang pisang dengan buahnya,
tebu dan seikat padi. Ini adalah perlambang kesejahteraan, kesuburan
dan kemegahan. Sedangkan dalam upacara peminangan, sesisir pisang
selalu diikutsertakan sebagai persembahan. Dan suatu kebiasaan di
masyarakat suku Bali, Sunda, sajen untuk para arwah selalu disuguhkan
dalam racikan daun pisang, atau suatu wadah yang dialasi dengan daun
pisang.

C. ETNOGRAFI KARON
1. Nomencultur
Orang Karon berdomisili didaerah kepala burung Papua, yaitu diwilayah
kecamatan Sausapor kabupaten Sorong. Orang Karon tinggal didaerah
pesisir pantai dan pedalaman daerah tersebut.
Mengenai Nomenculture suku bangsa ini menyebut dirinya dengan
istilah Yenden. Dalam bahasa Karon, Yenden berarti “orang yang
datang dari Pedalaman”, sedangkan istilah Karon berasal dari bahasa
Biak yang berarti “Orang dari Pedalaman” (Sanggenafa, 1984; 30-31)1
Dalam tulisan ini nama Karon dipakai untuk menyebut suku bangsa ini
karena nama tersebut sudah menjadi populer dikalangan suku-suku
bangsa tetangganya dan juga sudah lasim dipakai oleh kalangan ahli
1 Sebutan Karon tidak disenangi oleh suku karon karena berarti merendahkan
antropologi.2 untuk membedakan suku bangsa ini dengan suku bangsa
lain yang berdomisili di daerah kepala burung papua.
2. Ekologi Pangan
Mata pencaharian orang Karon mengenal beberapa jenis pekerjaan yaitu
Sifting Cultivation, Menangkap Ikan dan berburu-meramu. Kegiatan
menangkap ikan merupakan mata pencarian sampingan karena tidak
setiap saat penduduk mencari ikan di laut. Pekerjaan ini hanya dilakukan
purna waktu saja. Tehnik menangkap ikan yang sering dipergunakan
adalah memancing di pinggiran pantai atau melau dengan
menggunakan perahu.Pada malam hari orang Karon juga melakukan
penangkapan ikan dengan menggunakan harpun dan lampu petromaks
untuk menarik ikan karena cahaya yang dipancarkan dari lampu
tersebut. Hasil penangkapan ikan dipakai untuk memenuhi kebutuhan
makan sehari-hari dan sering juga dijual.
Kegiatan berburu juga merupakan mata pencarian sampingan karena
dilakukan waktu senggang saja, ketika kegiatan perladangan pada tahap
perawatan tanaman. Kegiatan berburu bisanya dilakukan bersamaan
dengan meramu atau mengambil buah-buahan dan sayuran yang
dijumpai dalam perjalan perburuan.
Berburu dilakukan oleh dua sampai empat orang laki-laki yang terdiri
dari anggota kerabat sendiri, tetapi lebih banyak dilakukan sendirian.
Metode yang dipakai untuk menangkap binatang buruan adalah
menggunakan anjing penggiring binatang buruan. Anjing-anjing ini
akan mengejar binatang buruan sampai binatang tersebut lelah, dan
pemburu selalu mengikuti kemana anjing mengejar binatang tersebut
dan membunuhnya. Metode lain menangkap binatang buruan adalah
dengan metode perangkap. Orang karon mengenal beberapa jenis
perangkap binatang yaitu Jerat Tali, perangkap burung dan perangkap
lubang.
Jenis binatang yang diburu antara lain: Babi, kangguru pohon, lau-lau,
kasuari dan berbagai macam burung.
2 Beberapa karangan antropologi yang memakai nama Karon adalah: AA Bruyn: Het Land der Karons
(1879), T.A. Hae: Paham Hidup menurut Suku Karon Dori (1981), Naffi Sanggenafa: Sistem Tukar
Menukar Kain Timor Pada Orang Karon di Daerah Kepala Burung Papua (1982)
Antropologi Papua Volume 1. No. 2, Desember 2002
Kegiatan perladangan dilakukan secara berpindah-pindah3 setelah dua
sampai tiga kali panen, ladang ditinggalkan kemudian membuka ladang
baru. Waktu yang diperlukan untuk mengerjakan ladang sampai panen,
sebelum ditinggalkan tergantung pada keadaan tanah dan umur jenis
tanaman. Jika tanah yang diolah sudah kurang subur untuk ditanami dan
tanaman sudah panen, maka ladang akan ditinggalkan dan akan
membuka ladang baru. Pada umumnya ladang diolah satu sampai dua
tahun kemudian ditinggalkan. Sebelum ditinggalkan biasanya ditanam
tanaman sukun dan mangga sebelum ditinggalkan sebagai tanda
pemilikan, sebab setelah beberapa tahun mereka akan membuka tempat
itu sebagai ladang yang baru lagi. Proses pembukaan ladang dilakukan
dengan membersihkan semak-semak dan menebang pohon-pohon besar,
setelah beberapa minggu dibakar pohon-pohon yang telah ditebang..
Hasil pembakaran dibiarkan selama beberapa hari sebagai penyubur
tanah, kemudian ladang dibersihkan. Pekerjaan seperti tersebut di atas
dilakukan oleh laki-laki. Para wanita bertugas mencari bibit tanaman,
menanam bibit, membersihkan dan merawat tanaman. Memanen hasil
ladang biasanya dilakukan bersama.
Sebelum ladang dibuka biasanya ada upacara memohon ijin penebangan
pohon dan penggunaan tanah agar tidak diganggu oleh mahkluk halus
yang disebut Yekbase yaitu mahkluk halus yang menjaga tanah dan
Yekyau, yaitu mahkluk halus yang menjaga tumbuh-tumbuhan. Upacara
ini disebut Upacara Yesombur.
Jenis Tanaman yang ditanam diladang adalah pisang, singkong, tebu,
tebu lilin, gedi, ubu jalar, keladi, pepaya, tembakau dan labu.


3. Organisasi Sosial
a. Kelompok Kekerabatan
Kelompok kekerabatan yang lebih luas pada orang Karon adalah suatu
kelompok kekerabatan yang keanggotaannya disusut melalui garis orang
laki-laki atau berdasarkan prinsip keturunan Patrilinial. Kelompok
kekerabatan seperti ini dalam bahasa Karon disebut Wis. Fungsi dari
Wis ini masih tampak dalam adat perkawinan karena orang masih
3 Ladang berpindah dalam Antropologi disebut dengan beberapa istilah yaitu Slash and Burn Agricuture,
Swiden Agriculture, dan Shifting Cultivation (Koentjaraningrat, 1985; 41)
mengidahkan suatu larangan untuk kawin dengan anggota Wis yang
sama, pembayaran mas kawin, serta dalam aktivitas sehari-hari seperti
tolong-menolong dalam pembuatan rumah, kebun, dan lain-lain.
Selain Wis, ada kelompok kekerabatan yang sangat penting dan juga
terdapat pada masyarakat lain di dunia, yaitu Nuclear Family yang
terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Kelompok kekerabatan seperti ini
dalam bahasa Karon disebut Rus. Fungsi Rus adalah merupakan suatu
kelompok kekerabatan dimana pada dasarnya individu dapat menikmati
bantuan utama dari sesamanya serta keamanan dalam hidupnya dan
merupakan kelompok dimana individu itu waktu masih anak-anak
mendapat pengasuhan dan permulaan dari pendidikan, selain itu juga
berfungsi sebagai kelompok sosial yang menjalankan ekonomi rumah
tangga sebagai kesatuan. Rus ini biasanya tidak tinggal sendiri dalam
satu rumah tetapi bersama-sama dengan kaum kerabat suami seperti
saudara laki-laki suami yang belum menikah, orang tua suami dan kaum
kerabat yang lain.
b. Sistem Kepemimpinan Tradisional
Pemimpin yang tertinggi dalam sistem kepemimpinan tradisional orang
Karon disebut Yekwesu. Dialah yang memimpin Wis secara keseluruhan
dalam satu kampung. Kekuasaan Yekwesu ini meliputi berbagai lapangan
kehidupan masyarakat seperti hukum adat dan sosial ekonomi. Ia juga
mendamaikan pertengkaran-pertengkaran mengenai tanah, pelanggaran adat,
dan menyatakan perang dan damai ketika belum masuknya pemerintah
belanda dan Indonesia. Tetapi fungsi ini sekarang sudah diambil alih
pemerintahan formal.
Ia mendapat kehormatan yang besar dari anggotanya. Setiap Wis
mempunyai pemimpin yang disebut Yehos. Para Yehos ini yang membantu
Yekwesu dalam menjalankan Pemerintahan.
Seorang bisa menjadi Yekwesu adalah atas usahanya sendiri. Dia harus kaya
dalam arti mempunyai banyak kain timor, tetapi harus juga berani,
bijaksana, dermawan dan pandai berdiplomasi. Tetapi persyaratan yang
paling dominan jika seorang jadi Yekwesu adalah memiliki banyak kain
timor (kaya).
Pengangkatan Yekwesu dilakukan dengan berkumpulnya para Yehos untuk
membahas, siapa yang berhak dan patut menjadi Yekwesu. Setelah
mendapat calon Yekwesu, mereka mengukuhkannya lalu diumumkan serta
disebarkan pada setiap warga.

4. Religi
Orang Karon pada saat ini umumnya sudah beragama Kristen, tetapi banyak
juga dari mereka masih memakai unsur-unsur kepercayaan dari religi
mereka yang asli.Kepercayaan mereka yang terpenting adalah kepercayaan
kepada roh-roh yang menempati pohon besar, batu, goa dan gunung atau
dengan kata lain mereka percaya pada roh-roh yang ada disekitar tempat
tinggalnya. Roh-roh ini disebut Gui yaitu roh orang mati dan Dugui roh
mahkluk halus yang bukan berasal dari roh manusia tetapi sebelumnya
memang sudah ada.
Orang Karon percaya bahwa ada sesuatu kekuatan yang membuat manusia
bisa bergerak dan hidup. Kekuatan itu oleh orang karon disebut Gen. Gen
menurut orang Karon bersifat abadi, artinya tidak bisa musnah atau mati.
Jika manusia mati gen ini terlepas dari tubuh dan menjadi burung Ndarat
yang terbang kian kemari di hutan dan lambat laun menjadi Gui. Itulah
sebabnya orang Karon sangat menghormati dan menganggap burung Ndarat
sakral, sehingga tidak boleh dibunuh atau mengucapkan kata-kata kotor
pada burung tersebut sebab mereka percaya akan fatal akibatnya seperti
sakit yang tidak bisa disembuhkan atau akan terjadi suatu musibah pada
dirinya.
Orang Karon percaya bahwa Gui bisa berbuat baik dan berbuat jahat pada
manusia. Itulah sebabnya untuk menjaga hubungan baik dengan Gui orang
Karon selalu memperhatikan kebersihan dan memberi penerangan setiap
malam pada kuburan orang mati. Menurut mereka kalau kuburan itu bersih
dan tidak gelap maka Gui akan senang dan tidak mengganggu, malah
membantu mereka.
Orang Karon juga mengenal bermacam-macam bentuk roh mahkluk halus
yang khusus, dimana masing-masing mempunyai namanya sendiri.

4.1. Kepercayaan pada Suanggi (Yendas)
Suatu kepercayaan lain yang dalam kebudayaan Karon adalah kepercayaan
kepada seorang tokoh sihir yang jahat dalam masyarakatnya. Tokoh
semacam ini disebut Yendas. Tiap-tiap orang yang berkelakuan dan sepak
terjang yang agak aneh seperti menyendiri, jarang bergaul dengan orang
lain, sering keluar malam ketika orang sedang tidur, dapat dipersalahkan
sebagai Yendas. Orang Karon beranggapan bahwa Yendas dapat pergi pada
malam hari, datang ke rumah penduduk lalu membunuh orang dirumah itu,
kemudian menghidupkannya kembali. Beberapa hari kemudian orang itu
akan mati seperti kecelakaan saja, misalnya digigit babi, jatuh dari pohon
atau kecelakaan-kecelakaan lain sehingga penduduk tidak curiga bahwa ia
mati karena kecelakaan bukan dibunuh Yendas. Gejala-gejala mati karena
dibunuh Yendas adalah seluruh tubuh membengkak dan mata terbuka.
Asumsi-asumsi seperti tersebut di atas yang diceritakan dan disebarkan
diantara para warga itu biasanya menimbulkan suasana syakwasangka
seperti ragu-ragu, ketakutan, pokoknya suasana yang tidak sehat dalam
masyarakat. Suasana yang tidak sehat itu bisa sedemikian meluap sehingga
orang bertindak merusak seperti Yendas didatangi, dipukul sampai mati atau
diadili dengan sumpah.

D. ETNOBOTANI PISANG SUKU KARON
Pisang dalam bahasa Karon disebut Weu. Nama Botani tanaman pisang
adalah Musa paradisiaca. Weu adalah makanan pokok orang Karon karena
merupakan makanan yang disajikan setiap hari, oleh karena itu pisang
paling banyak ditanam dikebun-kebun orang karon. Setiap kebun orang
Karon selalu dan pasti ada tanaman pisang4.
1. Identifikasi Musa paradisiaca
Weu merupakan tanaman asli Asia tenggara termasuk Indonesia.Tanaman
ini kemudian tersebar ke berbagai daerah di dunia seperti daerah-daerah
sekitar Laut Tengah, Amerika Selatan, Amerika Tengah, Afrika Barat dan
Madagaskar (Munajin. 1983; 3).
4 Dari pengamatan peneliti pada 10 kebun orang Karon, pisang merupakan tanaman utama dan paling
banyak ditanam dibandingkan dengan jenis tanaman lain.
Weu merupakan tanaman
berumpun dengan akar
rimpang, tinggi bervariasi
antara 3,5 meter sampai 7
meter, batang merupakan semu
yang terdiri dari pelepah daun,
daun berbentuk lanset
memanjang dan mudah koyak.
Panjang daun bervariasi antara satu sampai tiga meter. Buahnya tandan dan
bertangkai, pada ujung tandan terdapat bunga yang merupakan bakal buah
dan berumah, daun pelindung bunga berwarna merah tua serta mudah
rontok. Bentuk buah beraneka ragam.
2. Varitas Musa paradisiaca
Dalam Ilmu botani pisang dapat dibagi dalam dua golongan yaitu:
a. Pisang yang dimakan buahnya setelah masak atau pisang masak segar.
Nama botaninya Musa paradisiaca van
spientum.
b. Pisang yang dimakan buah setelah direbus atau digoreng atau pisang
rebus/goreng. Nama botaninya adalah Musa paradisiaca formatipica
(Munajin. 1988; 6).
Golongan pisang masak segar jika dimakan setelah masak dipohon terasa
nikmat, sebaliknya jika dibakar, direbus atau digoreng tidak terasa nikmat.
Sedangkan golongan pisang rebus atau goreng, akan lebih nikmat rasanya
setelah masak dipohon kemudian direbus atau digoreng (Munajin. 1988;7).
Kedua golongan pisang tersebut di atas masing-masing mempunyai jenisjenis
tertentu. jenis tanaman Weu yang diuraikan dalam tulisan ini bukan
menurut kategori botani tetapi menurut kategori kebudayaan Karon.
Kebudayaan Karon menggolongkan Weu kedalam 21 jenis. Orang Karon
membedakan 21 jenis weu dari bentuk dan warna buah, serta ciri-ciri
khusus.
Tabel 1.
Daftar Jenis Weu dan Ciri-ciri Botani menurut
Kebudayaan Karon
No Nama
Lokal
Nama Lain Ciri
1 Busye Dewaka Bentuk buah gemuk, pendek, bulat. Masih
mudah berwarna hijau setelah masak
berwarna kuning, jumlah sisir bisa sampai 10
sisir
2 Nggaris Tanduk Kecil Bentuk buah seperti tanduk sapi dan
berukuran 25-30 cm serta bulat warna buah
waktu muda hijau setelah masak kuning,
jumlah sisir bisa mencapai 10 sisir
3 Rah Tanduk Besar Sama dengan Nggaris hanya ukurannya lebih
besar
4 Kuit Ambon Bentuk buah melengkung seperti Weu
Nggaris namun ukurannya kecil. Masih muda
berwarna hijau dan setelah masak hijau
kekuning-kuningan. Jumlah sisir dalam
tandan sampai 12 sisir.
5 Raja Raja Bentuk buah bulat lurus dan ukurannya lebih
kecil dari weu kuit, masih muda berwarna
hijau setelah masak berwarna kuning. Jumlah
sisr dalam tandan sampai 8 buah.
6 Bofuf Abu-abu Bentuk buah seperti Weu busye hanya
ukuranya lebih kecil, masih muda berwarna
hijau setelah masak berwarna kuning, jumlah
sisir dalam tandan sampai 8 sisir.
7 Mber Masak cepat Bentuk buah seperti weu raja tetapi
melengkung, ukuran lebih panjang dan besar,
umur panen lebih cepat dari jenis pisang yang
lain yaitu 9 bulan. Waktu muda buahnya
berwarna hijau tua setelah matang berwarna
hijau kekuning-kuningan. Jumlah sisir dalam
tandan bisa mencapai 10 sisir.
8 Ndau - Bentuk buah seperti weu kuit tetapi lebih
panjang, buah berwarna hijau muda setelah
masak berwarna hijau kekuning-kuningan.
Jumlah sisir dalam tandan lebih banyak dari
jenis weu yang lain, yaitu 16 sisir, rasa
buahnya jika sudah masak manis-manis asam.
9 Sion - Bentuk dan warna buah seperti weu Ndau
hanya ukurannya pendek dan kecil, jumlah
sisir dalam tandan sampai 10 sisir, rasa buah
Gambar 1. Musa Paradisiaca (Weu)
Antropologi Papua Volume 1. No. 2, Desember 2002
seperti pisang ambon.
10 Net Nona Ukuran pohon paling kecil dari jenis weu
yang lain, bentuk buah lurus dan pendek,
warna buah masih muda hijau setelah masak
berwarna kuning muda. Jumlah sisir dalam
tandan paling banyak 10 sisir.
11 Mbrim Sepatu Bentuk buah seperti kubus memanjang dan
lurus, warna buah masih muda berwarna hijau
setelah masak berwarna kuning. Jumlah sisir
dalam tandan paling banyak 12 sisir.
12 Sasup Jarum Bentuk buah seperti Weu Kuit hanya lebih
gemuk, warna buah hijau setelah masak
berwrna hijau kekuning-kuningan. Jumlah
sisir dalam tandan paling banyak 8 sisir.
13 Vot Susu Bentuk dan warna buah seperti weu net hanya
ukurannya lebih besar dan panjang. Jumlah
sisir dalam tandan paling banyak 8 sisir.
14 Sanbuer Merah Batang pohon dan tangkai daun berwarna
merah keungu-unguan, bentuk buah gemuk
tidak melengkung, warna buah masih muda
merah, setelah masak berwarna merah
kekuning-kuningan. Jumlah sisir paling
banyak 10 sisir.
15 San
Bobokur
Hijau Bentuk buah dan ukuran sama seperti weu
sanbuer yang membedakan adalah warna
buahnya yaitu hijau setelah masak berwarna
hijau kekuning-kuningan.
16 Pih Tongka Langit Bentuk dan warna buah seperti weu kuit ,
jumlah sisir dalam tandan sampai 8 sisir.
Tandan tidak mengarah kebawah tetapi ke
atas.
17 Kui - Bentuk dan warna buah sama seperti weu
mbrim hanya ukurannya lebih kecil serta
jumlah tandan lebih sedikit yaitu sampai 10
sisir.
18 Jewai - Warna batang dan tangkai daun serta bentuk
dan warna buah sama dengan Weu san buer
hanya ukurannya lebih kecil, jumlah sisir
paling banyak 10 sisir.
19 Yekwam Gaba-gaba Bentuk dan warna buah seperti weu raja
hanya ukurannya lebih besar, Jumlah sisir
bisa mencapai 10 sisir.
20 Yu Noken Ukuran pohon dan bentuk buah sama dengan
weu net, ukuran buah lebih panjang dari weu
net, warna buah masih muda hijau setelah
masak berwarna hijau kekuning-kuningan.
21 Makum - Bentuk buah seperti weu raja, masih muda
berwarna hijau setelah matang berwarna
kuning. Rasa buahnya sepat jika belum terlalu
masak, jumlah sisir bisa sampai 10 sisir.
3. Budidaya dan Panen Weu
Penanaman Weu diambil dari anakannya dikebun lama. Pekerjaan
mengambil weu ditangani wanita. Cara menanam anakan weu adalah
tanah dikebun dibuat lubang sedalam ± 40 cm setelah itu anakan weu
dimasukan kedalam lubang tersebut, kemudian ditutup dengan tanah
bekas galian lubang tersebut.
Pemeliharaan tanaman weu pada awal ditanam sering dikunjungi dan
dibersihkan, setelah itu jarang dibersihkan.
Weu dapat dipanen setelah berumur 9 sampai 12 bulan. Pemetikan
tanaman Weu dapat diakukan bersama-sama oleh wanita maupun lakilaki.
Laki-laki menebang pohon weu dan kemudian wanita memikul
pisang ke rumah. Sering juga pekerjaan ini dilakukan oleh pria saja atau
wanita saja.
4. Pasca Panen Weu
Jenis-jenis weu tertentu dipetik setelah masak. Weu jenis ini biasanya
dimakan langsung setelah dipetik dari pohonnya. Sebab kalau direbus
atau dibakar rasanya kurang enak, jika dibandingkan dengan makan
segar. Sebaliknya ada jenis pisang yang kurang enak jika dimakan
setelah masak segar, lebih enak kalau sudah direbus atau dibakar. Jenis
pisang ini biasanya dipetik setelah masak di atas pohon.
Antropologi Papua Volume 1. No. 2, Desember 2002
Tabel 2
Jenis Pisang yang dimakan masak segar dan
yang dimakan setelah direbus/dibakar
Makan Masak Segar Makan Rebus/Bakar
Kuit Mbusye
Raja Nggaris
Bofuf Rah
Ney Mber
Sasup Ndau
Vot Siwon
Pih Mbrim
Yu San buer
Kui
Jeawi
Makum
Yekman




DAFTAR PUSTAKA

Afriastini. 1990. Daftar Jenis Nama Tanaman, Jakarta. Penebar Swadaya.
Djekky R. Djoht. 1992. Etnobotani Orang Karon, Suatu Tinjauan
Tentang Pengetahuan dan Pemanfaatan Tumbuh-tumbuhan di Desa
Sausapor Kecamatan Sausapor Kabupaten Sorong, Skripsi
Antropologi Uncen, Jayapura.
Kaslan A. Tohir. 1984. Bercocok Tanam Tanaman Buah-buahan, Jakarta,
Pradnya Paramita.
Koentjaraningrat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, PT Dian
Rakyat, Jakarta.
Lembaga Biologi Nasional LIPI. 1980. Buah-buahan, Jakarta, Balai
Pustaka.
Naffi Sanggenafa. 1982. Sistem Tukar Menukar Kain Timor Pada Orang
Karon di Daerah Kepala Burung Papua. Skripsi Universitas Indonesia,
Jakarta.
POLA DAN STRUKTUR JARINGAN SOSIAL- EKONOMI TRANSMIGRAN LOKAL PENDUDUK ASLI PAPUA DI LOKASI KOYA TENGAH KOTAMADYA JAYAPURA

Abdi Frank dan Agus Wenehen

Penulis adalah Dosen tetap di Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih



ABSTRACT
The Effort of increasing local people’s economy is important by
understanding their economic pattern and net. The research aims at
understanding how the sicial economic net of local transmigrator of
native Papuan. Hopefully this can be used as the reference for people who
want to endeavor them in future.
Because there is no constant economic net in their settlement, all
the harvest depend on the transportation that go pass their place.
Consequently, the marketing of the harvest cannot reach the market.
Some outside people buy the harverst in the settlement but, of course with
very low price.
Local people have good social relationship, both among
themselves and with other communities. This relationship is important
because they can help those who need it. They also hold an economic net
in a form of “arisan” (Artemas). The main orientation of the “arisan” is to
help increasing the family income of each member.The institution of
market has a significant function-especially relating to the economic
activities of the people in distributing their harvest. There is no market in
their settlement. There only some kiosks that sell their daily need (sugar,
salt, coffee, etc.) and they cannot accommodate their harvest. Since there
is lack of transportation that can carry their harverst to the market, they
cannot achieve maximum result of marketing. Marketing is only found in
Hamadi central market and Abepura market. It is true that some people
from other areas buy the harvest in the place, but with very low price.
Thus, many of them, despite of the long distance, have to sell the harvest
themselves to the market.

1. Pendahuluan
Hakekat dasar pembangunan yang menempatkan manusia sebagai
pusat segenap upaya perubahan. Secara konseptual dan operasional yang
dituangkan dalam berbagai program yang berimplikasi pada upaya
pembangunan sosial ekonomi penduduk, khususnya di daerah pedesaan
yang masih banyak terbelit dengan persoalan kemiskinan dan
keterbelakangan.
Strategi pembangunan yang secara khusus difokuskan bagi
penduduk di daerah pedesaan, dinilai sangat tepat dan penting. Sebab
bagi Indonesia masih banyak penduduk yang hidup dibawah garis
kemiskinan, dan sebagian besar tinggal di daerah pedesaan. Kondisi
semacam ini, sangat memerlukan keterlibatan berbagai kalangan
pemerintah dan swasta, agar dapat memacu meningkatkan taraf
kehidupan mereka. Upaya peningkatan ini juga berkaitan dengan
dimensi-dimensi lain, misalnya dimensi sosial budaya penduduk yang
dinilai dominan turut berpengaruh.
Mengacu pada berbagai kenyataan dan adanya kemauan baik dari
pemerintah maupun swasta di Papua yang dewasa ini tengah berinisiatif
melancarkan program pengembangan sosial ekonomi masyarakat
melalui kebijakan pelaksanaan program transmigran lokal, yang
melibatkan masyarakat asli Papua, yang nantinya sangat diharapkan
terjadinya peningkatan ekonomi rumah tangga dan taraf kehidupannya,
dengan mengandalkan sektor pertanian sebagai alternatif utama. Strategi
pendekatan dan pengembangan sosial ekonomi masyarakat setempat
yang dilibatkan sebagai transmigran lokal banyak diperhadapkan dengan
berbagai persoalan mendasar yang tentunya sangat berpengaruh pada
tahap pengembangan dan kelangsungan hidup mereka di unit
pemukiman yang telah dibangun, baik dari dimensi ekonomi maupun
non-ekonomi yang secara simultan masih sangat berpengaruh terhadap
kekurang berhasilan program transmigran lokal.
Hasil survey (Bappeda Irja, 1987) untuk mengetahui tingkat
produktifitas transmigran lokal di beberapa tempat di Papua (Sorong,
Merauke, Jayapura, dan Nabire) menunjukkan bahwa tingkat
produktivitas dan ekonomi transmigran lokal sangat rendah. Hal ini
disebabkan karena faktor pilihan jenis tanaman yang dibudidayakan
pada tanaman-tanaman lokal yang produksinya bila dinilai dengan
rupiah sangat kecil. Akibat dari kondisi semacam ini, khususnya dalam
penanganan transmigran lokal di Papua, sangat perlu dipertimbangkan
persoalan orientasi nilai budaya dan pola mata pencaharian hidup
(sebagai kaum peramu, pemburu dan peladang berpindah) dengan
sistem ekonomi subsisten. Faktor-faktor ini, kurang diperhitungkan oleh
para inovator sebagai faktor-faktor yang berpotensi menghambat
program-program pembangunan yang telah dan akan direncanakan.
Hambatan ini terjadi karena penduduk lokal yang dilibatkan menjadi
transmigran lokal masih terikat kuat dengan konsep-konsep budaya
lokalnya, sehingga diperlukan masa transisi yang direncanakan
mengenai pemahaman dan perubahan aktivitas ekonomi subsisten ke
arah orientasi ekonomi pasar yang berkelanjutan.
Permasalahan yang timbul disebabkan karena program inovasi baru
tidak dapat beradaptasi dalam lingkungan budaya lokal, karena
keterbatasan pengetahuan, pendidikan dan keterampilan yang dimiliki
transmigran lokal sehingga belum memiliki kemampuan
mentransformasikan inovasi baru . Hal ini dapat menimbulkan
disintegrasi. Dengan demikian sangat diperlukan pemahaman dan
pemanfaatan aspek-aspek lokal dalam pengembangan sosial ekonomi
wagra transmigran lokal, dan diharapkan akan membantu para inovator
memahami konsep-konsep sosial budaya dan ekonomi transmigran
lokal, sehingga unsur-unsur budaya baru yang direncanakan
“ditambahkan” secara bertahap dan mencapai proses perubahan sosial
ekonomi yang memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Penelitian jaringan sosial ekonomi transmigran lokal akan berupaya
menemukenali, memahami dan menjelaskan fenomena-fenomena sosial
ekonomi yang terjadi dikalangan warga transmigran lokal sebagai dasar
acuan pengembangan mereka. Penelitian ini akan mengkaji (1) berbagai
pola dan struktur jaringan sosial ekonomi baik dalam bentuk
pertemanan, perantara (broker) dan lembaga ditingkat desa maupun
diluar desa, (2) Bagaimana jaringan sosial ekonomi yang ada menunjang
struktur perekonomian para transmigran lokal. Hasil yang diharapkan
dapat digunakan sebagai langkah awal kepedulian terhadap warga
transmigran lokal di Papua, sebagai kelompok sasaran pembangunan
yang perlu dikembangkan sesuai dengan kondisi-kondisi lokal mereka.
Pengumpulan data dilakukan melalui tehnik observasi, studi
pustaka, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok. Sampel
diperoleh melalui cara Snow Ball Sampling dengan pendekatan extended
case and situational analisys, dianggap relevan, karena metode ini akan
mampu menemukenali, memahami, dan menjelaskan bagaimana
peristiwa kolektif yang merupakan stategi hubungan sosial dalam
lingkungan kebudayaan transmigran lokal, yang dapat digunakan untuk
melacak kegiatan-kegiatan individu maupun kelompok pada waktu
mereka mulai melakukan hubungan sosial selengkapnya. Hal ini
dimaksudkan agar berbagai aktivitas sosial ekonomi yang dijalankan
transmigran lokal dapat dikaji dan dipahami dari berbagai dimensi.

2. Kerangka Acuan Kebudayaan
Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, rasa dan
tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan cara belajar, dipakai
sebagai pedoman dan pola perilaku manusia serta terwujud dalam
sistem-sistem sosial tertentu. Kebudayaan sebagai suatu pola yang
dimiliki dan diwujudkan oleh manusia - sebagai satu kesatuan -
mempunyai beberapa unsur-unsur universal yang dapat ditemukan pada
semua bangsa didunia, salah satu unsurnya adalah sistem mata
pencaharian hidup (Koentjaraningrat, 1996:72-81).
Kebudayaan juga menunjukkan suatu pengertian yang luas dan
kompleks, di dalamnya tercakup baik segala sesuatu yang terjadi dan
dialami oleh manusia secara personal dan kolektif, maupun bentukbentuk
yang dimanifestasikan sebagai ungkapan pribadi seperti yang
dapat disaksikan dalam sejarah kebudayaan, baik hasil-hasil pencapaian
yang pernah ditemukan oleh umat manusia dan diwariskan secara turuntemurun
maupun proses perubahan serta perkembangan yang sedang
dilalui dari masa ke masa (Poespowardoyo, 1993)
Sistem mata pencaharian hidup terdiri dari berburu dan meramu,
beternak, bercocok tanam di ladang, menangkap ikan, dan bercocok
tanam menetap dengan irigasi. Setiap suku bangsa yang sederhana
maupun kompleks memiliki sistem mata pencaharian hidup, dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya selalu menggunakan dan
mengembangkan cara-cara produksi, distribusi dan konsumsi
(Koentjaraningrat, 1983:346).
Sistem ekonomi merupakan keseluruhan perilaku manusia dalam
organisasi dan pranata yang mengatur penggunaan sumber-sumber
terbatas guna memenuhi kebutuhan hidup suatu masyarakat tertentu.
Sistem ekonomi berkaitan erat dengan perilaku manusia, lingkungan dan
kebudayaan, sehingga sangat erat kaitannya dengan sistem produksi,
distribusi dan konsumsi (R. Firth dalam Koentjaraningrat, 1990:175).
Sistem produksi merupakan suatu proses dimana dunia digarap dan
diubah oleh kerja manusia dari segi fisik, berbagai piranti dan teknologi
kerja, sebagai sumber yang kepadanya produksi bergantung, dari segi
sosial, manusia bekerja secara kelompok untuk mencapai tujuan yang
menyangkut kepentingan bersama maupun individu, dan produk
kerjanya dapat menembus berbagai jaringan sosial, diberi makna dan
dinilai oleh kelompok (Keesing, 1989: 78).
Sistem distribusi sebagai proses persebaran barang-barang hasil
produksi, kegiatannya dapat dilakukan dengan cara, (1) asas timbal
balik, (2) penyebaran hasil produksi, dan (3) pertukaran pasar. Keadaan
ini dapat terjadi secara lansung maupun tidak langsung. Setiap
pelaksanaan distribusi selalu dilandasi oleh kepercayaan, agama, adat
dan prinsip-prinsip ekonomi (koentjaraningrat,1990: 185).
Konsumsi merupakan kebutuhan manusia berupa benda-benda dan
jasa baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan
lingkungan sosial. Konsumsi selalu berkaitan erat dengan hasil produksi
dan distribusi (Keesing, 1989:189).
Mengacu pada pengertian kebudayaan yang berintikan seperangkat
aktivitas manusia, maka dalam kehidupan transmigran lokal, ditemui
ada berbagai aktivitas yang bertujuan untuk mendukung kelangsungan
hidup mereka. Kompleksitas aktivitas tersebut, biasanya diacu dalam
berbagai bentuk yang disebut pranata kebudayaan. Besar kecilnya serta
kompleksnya pranata yang dimiliki dan dikembangkan oleh suatu
masyarakat, tergantung dari kompleksitas masyarakat itu sendiri. Secara
operasional pranata kebudayaan ini terwujud sebagai seperangkat aturan
yang mengatur kedudukan, peranan, hak dan kewajiban warga
masyarakat, yang terbentuk dalam lembaga-lembaga dan organisasi
sosial ekonomi sebagai wadah bagi kegiatan masyarakat yang
bersangkutan.
Dengan pendekatan dan berdasarkan pada pengertian kebudayaan,
terlihat bahwa ada keterkaitan antara fungsi kebudayaan dalam berbagai
kegiatan nyata warga transmigran lokal, berupa pemanfaatan dan
penggunaan sumber daya alam di lingkungan mereka guna mendukung
kelangsungan hidup serta kesejahteraan mereka, artinya, dengan
berlandaskan kebudayaan dalam bentuk pengetahuan, norma, aturan,
nilai dan bahkan teknologi, transmigran lokal dapat menjamin
kebutuhan dasar hidupnya. Sehingga mereka dapat bertahan hidup
dilingkungan mereka yang baru, Namun demikian dalam menghadapi
proses perubahan, semua pranata soaial ekonomi yang dimiliki selalu
berubah dan harus disesuaikan dengan kondisi dan kebudayaan mereka
sebagai akibat adanya kontak dan perkembangan. Pada tahapan ini,
sangat diperlukan penyesuaian, agar tidak menimbulkan disintegrasi
yang pada gilirannya akan memunculkan berbagai permasalahan baru
yang akan semakin mempersulit kehidupan para tranamigran lokal
sebagai sasaran perubahan, akibatnya mereka tidak adaptif dilokasi
mereka sendiri dan pada gilirannya akan meninggalkan lokasi mereka
yang telah dibangun.
Keterkaitan jaringan sosial ekonomi yang dimiliki transmigran
lokal, tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, karena dari jaringan
sosial ekonomi inilah digunakan sebagai saluran yang sangat tepat
dalam upaya meningkatkan pendapatan ekonomi dan kelangsungan
hidup mereka. Biasanya jaringan sosial ekonomi yang dibangun tersebut
dapat dilihat pada beberapoa level, baik yang bersifat pertemanan,
perantara (broker), patron-klein maupun kelembagaan yang ada
ditingkat desa. Guna menemukenali, memehami dan menjelaskan
peranan pranata jaringan sosial ekonomi dalam lingkungan kehidupan
transmigran lokal sebagai acuan penting bagi upaya pemberdayaan dan
penanganan perencanaan pembangunan, maka sejak awal berbagai
jaringan tersebut perlu diidentifikasi.

3. Jaringan sosial ekonomi transmigran lokal
3.1. Jaringan sosial
Ada berbagai bentuk hubungan sosial yang dibangun
penduduk lokal dalam upaya mempertahankan eksistensi dan
survival mereka di lokasi pemukiman yang ditempati. Hubungan
sosial tersebut biasanya dijalankan dan dipraktekkan pada tingkat
lokal, artinya diantara warga sendiri maupun di luar kelompoknya
seperti lembaga atau orang-orang tertentu secara kontinyu.
Efektivitas hubungan ini dinilai sangat penting, karena akan
berdampak langsung pada berbagai aktivitas ekonomi yang digeluti,
juga akan mendukung proses perubahan dalam segala aspek
kehidupan transmigran lokal. Bentuk hubungan sosial yang terjadi
dikalangan warga transmigran lokal Koya Tengah antara lain: (a)
hubungan kerabat antar warga satu etnis, lain etnis dalam lokasi
pemukiman, warga transmigran lokal dengan kerabat yang tinggal
di kota, dan dengan penduduk asli setempat (orang Skow), (b) arisan
kelompok (Artamas).
a. Hubungan kerabat
Bentuk hubungan sosial yang paling dominan dikalangan warga
transmigran lokal adalah hubungan kerabat yang terjadi diantara
warga baik di dalam maupun di luar lokasi pemukiman. Pola dan
struktur hubungan tersebut dapat dilakukan dalam beberapa bentuk
dan hubungan seperti ini selalu dijaga dan dipertahankan.
Hubungan kerabat di dalam lokasi pemukiman terjadi karena
pada lokasi tersebut hanya ditempati oleh etnia Muyu Mandobo dan
Ngalum. Beberapa kasus yang ditemukan di lapangan menunjukkan
bahwa hubungan kerabat sebagai suatu bentuk jaringan sosial yang
dibangun dan dinilai efektif di dalam menjawab berbagai
permasalahan kehidupan yang dihadapi warga transmigran lokal,
misalnya penempatan warga yang sebelumnya merupakan
kelompok migran yang telah lama berdomisili di kawasan Padang
Bulan Abepura, dan Entrop. Lokasi tempat tinggal termarginalisasi
akibat semakin pesatnya arus pembangunan di kawasan-kawasan
tersebut, yang telah mengkonversi lahan-lahan bagi kepentingan
pembangunan perumahan. Akibat kondisi ini mereka terdesak
dengan kebutuhan lahan untuk tempat tinggal, sementara di lain
pihak jumlah penduduknya semakin bertambah. Pengambilan
keputusan pindah ke lokasi Koya Tengah sangat ditentukan oleh
kerabat yang sudah lebih dahulu mendiami dan tinggal di lokasi
pemukiman transmigrasi Koya Tengah.
Hubungan sosial diluar kelompok kerabat terjadi dengan adanya
kawin campur dengan penduduk asli setempat (orang Skow).
Dengan terjadinya hubungan perkawinan, maka terdapat kemudahan
di dalam aktifitas ekonomi terutama penggunaan dan sewamenyewa
lahan-lahan yang dijadikan areal perkebunan, pertanian,
perburuan. dan perluasan lahan pemukiman. Tidak jarang
transmigran lokal diminta membantu tenaga, hasil kebun dan
sumbangan berupa uang dalam rabgka pelaksanaan acara-acara
tertentu.

b. Arisan kelompok
Kegiatan arisan kelompok yang mereka namakan Artamas (arisan )
Tabungan Masyarakat), hubungan sosial ekonomi yang terjadi
dinilai sangat efektik dalam upaya menumbuh kembangkan kegiatan
kelompok sosial dan ekonomi. Acuan dasar untuk pengembangan
dengan mengandalkan pola dan struktur jaringan sosial yang telah
ada sangat relevan dengan upaya pemberdayaan dan peningkatan
pendapatan ekonomi rumah tangga transmigran lokal secara
maksimal.
Kegiatan Artamas dilakukan pertama kali pada tahun 1988
bulan Februari. Arisan ini diikuti oleh seluruh etnis Muyu Mandobo
dan Ngalum yang tinggal di Jayapura, sehingga setiap bulan pada
minggu pertama dilakukan penarikan disetiap lokasi dimana
terbentuknya kelompok arisan ini. Misalnya, kelompok arisan di
daerah Sentani mendapatkan arisan, maka setiap kelompok arisan
mengirimkan wakilnya ke Sentani untuk mengambil bagian dalam
kegiatan arisan tersebut. Sistem penarikan arisan dilakukan berputas
selama jangka waktu 1 tahun. Besarnya uang setoran setiap orang
Rp. 20.000;/bulan. Dalam setiap penarikan arisan kelompok
mendapat sebesar Rp. 240.000; dengan perincian kegiatan antara
lain: Rp. 120.000; bagi yang mendapatkan arisan, sedangkan
uang sisanya Rp. 120.000; digunakan lagi untuk kepantingan
arisan Artamas berikutnya dengan rincian, Rp. 60.000 bagi
kepentingan kelompok arisan Artamas se Jayapura, Rp. 30.000;
simpanan kelompok Artamas yang mendapat arisan, Rp. 10.000;
digunakan sebagai konsumsi kegiatan arisan, urusan administrasi
diserahkan Rp. 10.000; dan angkos transportasi ketempat arisan
berikutnya Rp. 10.000;
Orientasi utama dari pembentukan Artamas adalah untuk
membantu meningkatkan pendapatan rumah tangga transmigran
lokal, dari kegiatan iniu setiap anggota kelompok arisan memiliki
simpanan pokok, yang dapat digunakan dan dipinjamkan.

c. Kelembagaan
Lembaga formal maupun informal yang ada di lokasi
pemukiman transmigran lokal Koya Tengan antara lain Desa,
sekolah, banpres, IDT, PPL, IKA-UNDIP, Posyandu, Delsos,
Gereja, Lembaga Adat, Transmigrasi, Kegiatan lembaga-lembaga
yang ada di lokasi ini ada yang bersifat insidentil namun ada juga
yang dilakukan secara kontinyu.
Lembaga gereja dipakai sebagai sarana utama dalam hubungan
sosial diantara warga transmigran, karena segala sesuatu yang akan
dilakukan dan diputuskan lembaga gereja juga memberikan
masukan saran-saran dan bantuan yang diperlukan warga
transmigran.

3.2. Jaringan Ekonomi
Jaringan ekonomi yang dimiliki wargra transmigran lokal
dilokasi pemukiman mereka ada beberapa buah kios yang pada
awalnya berjalan dengan baik dengan menyediakan bahan
kebutuhan pokok transmigran, namun lama kelamaan usaha kios
mengalami kemacetan, karena modal usaha dari kios tidak dapat
memenuhi apa yang ingin dibelanjakan. Sarana kios yang ada
dilokasi pemukiman transmigran lokal tidak dapat dipakai sebagai
tempat untuk menampung dan menjua hasil-hasil kebun warga,
sehingga warga sangat sulit menjual hasil kebunnya di lokasi
pemukiman mereka, karena tidak tersedianya sarana pasar. Semua
hasil kebun dijual atau didistribusi ke pasar Abepura dan Hamadi.
Sulitnya sarana transportasi yang tidak setiap hari melintasi daerah
pemukiman mereka, sehingga hasil kebun tidak dapat dipasarkan
setiap harinya dan akibatnya hasil kebun diperoleh, banyak
distribusi kepada tetangga dan dikonsumsi sendiri. Jaringan
ekonomi yang ada di lokasi pemukinan mereka berupa jaringan
ekonomi kekerabatan melalui kegiatan keompok-kelompok arisan
yang setiap bulannya dilaksanakan.


4. Penutup
Jaringan sosial ekonomi dapat terjadi di dalam maupun diluar
lokasi pemukinan trsnamigransi Koya Tengah. Jaringan sisoal ekonomi
yang dimiliki dan dilakukan warga transmigran lokal antara lain (a)
jaringan kekerabatan, antar warga seetnis maupun lain etnis di dalam
dan diluar lokasi pemukiman, (b) kelompok-kelompok arisan, (c)
kelembagaan formal maupun informal, (d) pasar Abepura dan Hamadi,
(e) kios, dan (f) para pedangan keliling.



Kepustakaan

Bappeda Irian Jaya. 1987, Survei Tingkat Produktivitas Transmigran
Lokal di Kab. Jayapura, Sorong, Manokwari, Merauke, dan Paniai.
Jayapura, Kanwil Deptrans. (Laporan Penelitian).
Keesing Roger M. 1989, Antropologi Budaya Suatu Perspektif
Kontemporer Edisi Kedua, Penerbit Erlangga. Jakarta
Koentjaraningrat, 1990, Pokok-pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat.
Jakarta.
---------------------, 1996, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineke Cipta.
Jakarta
Poespowardojo, S. 1993, Strategi kebudayaan, Suatu pendekatan
Filisofis, Gramedia Jakarta.

STATUS PENGGUNAAN DAN PEMILIKAN TANAH DALAM PENGETAHUAN BUDAYA DAN HUKUM ADAT ORANG BYAK

STATUS PENGGUNAAN DAN PEMILIKAN TANAH DALAM PENGETAHUAN BUDAYA DAN HUKUM ADAT ORANG BYAK


Mientje D.E. Roembiak

Ketua Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih



Abstract
This article will descripe only some aspects of the use and a category of land
as well as the rights to land in the Biak-numfor culture area.
The Byak people distinguish the following categories of land. First, Karmgu
or mbrus , is virgin land or promair land/forest. Its was part of clan or
village territories. Secondly are gerdens, “yaf”, on which crop rotation is
planted. After a few years the soil is infertil, the land is called “yadas” or
“Yapur”. Thirdly, there are large land or deserted areas, they called it
“mamiai” consisting a number of Yaf-das land. When the people repeated
gerdening has made, there are still infertile it is refered to as “mamires”,
bush.
Beside of that, in the coastal villages there are part of the beach and the sea
“bosenrasowan”. The people of the villages use to catching fish. On Byak
and Numfor all decision over land of particuler Keret are taken by the
leadman of the Keret which is the oldest keret or important man, snon benai
suo or mansren mnu (master of the village).


A. PENDAHULUAN
Di tanah Papua setiap masyarakat adat mempunyai aturan-aturan yang
berkenaan dengan kekuasaan, pemilikan, pemakaian atas tanah dan
teritorial. Pada umumnya setiap etnik mempunyai pokok-pokok aturan
adat yang masih dianut, meskipun tidak tertulis. Contohnya, hak
kekerabatan, aturan hukum, hak tanah, hak persekutuan dan
sebagainya. Aturan-aturan tersebut juga mengatur hubungan-hubungan
manusia; manusia dengan alam sekitarnya bahkan relasi manusia dengan
alam gaib.
Pemilikan, kekuasaan atas tanah dan hutan meliputi air merupakan warisan
pemilik hak ulayat dari generasi ke generasi secara patrilineal. Adanya hak
paten setiap etnik diakui dan ditaati baik oleh pemiliknya maupun oleh
orang lain. Di dalam pemilikan tersebut masyarakat adat juga mempunyai
konsep kategori terhadap lingkungannya.
Secara khusus pemilikan tanah dan penggunaannya dalam masyarakat adat
Biak-Numfor telah ada sistem konversi hutan berdasarkan fungsi hutan;
demikian juga dengan kategori yang dibuat menurut statusnya. Jika kita
dapat memahaminya, sebetulnya dalam tatanan sosial budaya masyarakat
lokal telah ada aturan-aturan yang diturunkan dari generasi ke generasi,
maka ada seperangkat pengetahuan dan budaya yang menata sistem dan
pola penguasaan dan pemanfaatan tanah.
Artikel ini akan memberikan suatu deskripsi tentang pengetahuan lokal
penduduk etnis Biak tentang kategori dan hak pemilikan tanah. Untuk itu
tulisan ini terdiri atas tiga bagian : pertama, gambaran umum tentang orang
Biak wilayah dan unsur budayanya; kedua, kategori tanah menurut status;
ketiga, hak atas tanah menurut aturan adat.


B. IDENTIFIKASI ETNIK BYAK – NUMFOR
Orang Biak mendiami kepulauan Biak – Numfor. Di sini terdapat tiga pulau
besar yaitu pulau Biak, pulau Supiori, dan pulau Numfor sedangkan pulaupulau
kecil lainnya adalah gugusan kepulauan Padaido terletak di sebelah
timur pulau Biak; pulau Rani dan Insumbabi berada di bagian selatan pulau
Supiori pulau-pulau Meosbefondi dan Ayau berada juga di bagian utara
Supiori dan kepulauan Mapia yang terletak di bagian utara pulau Ajau. Di
tahun 1961 jumlah penduduk orang Biak 35.000 jiwa (Galis, 1961)
sedangkan data terakhir tahun 2001 adalah 118.810 jiwa (BPS, Biak –
Numfor) menyebar di 12 kecamatan (Kota dan Desa) dan 226 kampung
(kabupaten Biak – Numfor dalam angka 2001).
Di samping itu ada daerah-daerah migran orang Biak, Yapen Utara, daerah
Wandamen, ujung timur pulau Yapen, Krudu, Ansus utara, pantai utara,
kepala burung (SauSapor) dan Sau Korem dan Mega. Kepulauan Raja
Ampat (Kamma, 1974; Mansoben J., 1994).
Orang Biak menggunakan satu bahasa, bahasa Biak yang digunakan di Biak
– Numfor dan daerah Migran sebagai bahasa penentuan dan komunikasi
sehari-hari. Meskipun satu bahasa daerah ada 11 dialek, 9 dialek ada di
Biak; 3 dialek ada di daerah migarn.1)
Di masa lampau sebelum kedatangan orang kulit putih, orang Biak
mempunyai mata pencaharian yang amat penting adalah perdagangan baik
antar kampung, antar suku di luar pulau Biak, sampai ke arah barat daerah
Maluku, dan ke arah timur Papua New Guinea (Kamma, 1974; Galis, 1961).
Kontak budaya ini membuat orang Biak mengadopsi beberapa elemen
budaya dari daerah-daerah tersebut ke dalam kebudayaannya sendiri.
Secara tradisional kampung atau “mnu” adalah suatu pemukiman di mana
terdapat beberapa “keret” (bahasa Biak) atau “cr” (istilah bagi orang
Numfor 2) yang bersifat patrilineal.
Organisasi sosial terkecil dalam kehidupan orang Biak adalah keret
kesatuan sosial yang bersifat exogam dan patrilokal. Organisasi dan
perencanaan orang Biak dahulu diatur di dalam kampung atau mnu oleh
seorang pemimpin yang disebut Mananwir. Dalam berbagai tahapan daur
hidup suku Biak Numfor di tandai dengan upacara adat (Wor) yang dapat
mengikat hubungan-hubungan sosial secara umum, maupun khusus dalam
hubungan karena perkawinan tetapi juga hubungan tanah. Perkawinan
ditandai dengan pemberian benda-benda maskawin. (ararem).


C. KATEGORI HUTAN DAN TANAH
Orang Biak mempunyai pengetahuan tentang hutan, dan laut serta isinya.
Mereka mengkategorikannya menurut status dan penggunaannya, dan
bagaimana pembagian itu mengacu pada aktivitas hidup mereka sehari-hari;
wilayah, tempat mencari nafkah, dan tempat-tempat yang dianggap sakral,
tetapi juga yang masuk dalam konvensi adat yang dilindungi.
1) Kamma, 1972; Mansoben J.R., 1994; Siltzer, 1985
2) Keret atau cr masing-masing mempunyai seorang pemimpin; yang lebih senior keretnya dalam
kampung. Di dalam kampung ada dewan, dimana keret-keret itu terwakili. Anggota-anggota dewan lain
dalam sebagai mediator antara masyarakat dan pemimpin. Kedudukan mereka dicapai dalam dewan
karena kemampuan bukan diwariskan (de Bruijn, 1965 : 82-4).
Tanah di dalam kehidupan orang Biak dibagi menjadi tiga (3) bagian.
Pertama, kata “hutan” dalam bahasa Biak adalah Karmgu, artinya hutan asli
atau hutan primer Kata ini menggambarkan kondisi hutan primer yang
lebat. Hutan ini tidak disentuh atau ditebang untuk digunakan oleh anggota/
warga kampung. Biasanya hutan atau karmgu ini ditumbuhi oleh tumbuhan
yang spesifik sesuai dengan topografi tanah. Kata lain untuk karmgu adalah
“mbrur” Hutan ini disebut juga hutan asli. Hutan ini tidak untuk berburu
dan berladang. Orang Biak dahulu berladang di sekitar daerah interior makin
lama mereka pindah ke pesisir pantai. Meskipun mereka telah pindah dan
bermukim di tepi pantai hutan atau karangan tetap dijaga dan tetap menjadi
milik Keret maupun mnu.
Kedua, status tanah untuk kebun disebut “yaf” tempat ini merupakan hutan
yang dibuka untuk kegiatan berladang dan berburu secara berotasi. Apabila
tanah tidak subur lagi maka bekas kebun ini disebut Yaf-das atau yapur.
Biasanya yapur atau jaf-das dapat ditinggalkan untuk sementara waktu
sekitar 2-3 tahun diolah kembali.
Ketiga, suatu padang yang sangat luas disebut “Mamiai”3) kadang-kadang
merupakan sejumlah bekas-bekas ladang yang ditinggalkan oleh
pemiliknya. Mamiai dapat ditanami kembali setelah beberapa kali panen.
Adakalanya padang yang sangat luas ini tidak subur lagi untuk ditanami
maka akan ditinggalkan menjadi hutan semak kembali, disebut “marires”4).
Kata marires bisa mempunyai dua makna, yang pertama seperti yang
diuraikan di atas. Makna lain adalah padang belukar yang sangat luas, tidak
subur, tidak memiliki pohon-pohon pelindung tidak pernah ditanami oleh
manusia5).
Di samping itu kata lain yang digunakan secara umum dalam bahasa Biak
untuk memberi nama kepada sebidang areal milik setiap Keret yang dapat
diolah sebagai sumber mata pencaharian adalah Saprop (tanah). Tanah
tersebut dapat diolah oleh setiap keret yang ada. dahulu sampai sekarang
kebun-kebun diberi pagar oleh pemiliknya untuk mencegah tanamannya
dirusak oleh babi hutan. Tidak ada batasan bagi pendatang (bukan penduduk
pemilik kampung) yang tidak memiliki tanah untuk menggunakannya.
3) Lihat Galis K.H. : 1961
4) Key informan A.K (72 tahun) dari kampung Mokmer
Biasanya ada ijin dari pemilik apakah untuk menggunakannya. Biasanya ada
ijin dari pemilik apakah marires atau saprop mnu maupun keret. Jika terjadi
pelanggaran, tanpa seijin dan sepengetahuan pemilik tanah maka ada
kompensasi pembayaran denda atau “Wabiak”.Dahulu,daerah perang antar
keret terjadi dan ada pertumpahan daerah maupun pembunuhan merupakan
tanah yang dikutuk dan dilarang menurut adat untuk tidak boleh digunakan
dari generasi ke generasi.


D. HAK PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN TANAH
Pemilikan dan penggunaan tanah menurut aturan-aturan adat orang Biak
mengikuti status seseorang dalam kampung atau mnu. Orang pertama yang
mendiami kampung tersebut mempunyai hak atas tanah. Ia mempunyai
kewenangan untuk memberi tempat tinggal dan ijin pemakaian hutan atau
tanah kepada pemukim atau penduduk baru. Ia disebut Mansren Mnu dan
dianggap senior keret dalam kampung, diakui dan disegani.
Sesuatu wilayah atau teritorial berhubungan dengan pemukiman dan
pemilikan. Kita dapat melihatnya melalui pembagi-an oleh penduduk
menjadi tipe bagian yaitu :
Pertama, tempat pemukiman oleh keluarga batih.
Kedua, tempat pemukiman persekutuan keret-keret atau klan-klan.
Terakhir wilayah yang dihuni oleh gabungan suku dengan persekutuan
kampung. Faktor generalogis dan teritorial sangat erat hubungannya dengan
kehidupan etnik-etnik di Papua, khususnya di Biak.
Adanya hubungan genealogis yang sangat kuat untuk mempertahankan
haknya, misalnya hak individu.
Aturan-aturan adat mem-pengaruhi kepentingan seluruh persekutuan
genealogis ini untuk bermukim bersama di satu tempat, tetapi kadang
memiliki pemukiman yang sangat berjauhan. Letak pemukiman yang
berjauhan tidak menjadi halangan bagi mereka untuk hadir dalam aktivitas
sosial-budaya, misalnya upacara; maupun hadir untuk mengambil bagian
dalam menyelesaikan sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama.
Seorang perempuan yang telah menikah tidak mempunyai hak untuk
memiliki harta keret suaminya, misalnya tanah.Tetapi dalam adat Biak
perempuan mempunyai hak atas pemakaian tanah dan diberikan kepadanya
untuk diolah.
Ada aturan-aturan tertentu yang berhubungan dengan pemilikan tanah yang
boleh dipakai sebagai sumber pengolahan kesejahteraan. Mengacu pada
pembagian status tanah dan hutan dalam pengetahuan orang Byak maka
dapat dilihat melalui hak pemilikan dan penggunaannya.
Pertama, karmgu, atau hutan merupakan milik klen, atau keret atau wilayah
kampung. Mereka mempunyai hak untuk hidup, mencari nafkah, “bosen
rasowan”. Pemilikan dan penggunaannya adalah diatur oleh keret dalam
kampung untuk menggunakan tertentu pemilikan dan penggunaan mengacu
kepada keret pertama yang mendiami kampung di pesisir pantai. (Contoh di
Numfor kampung Kameri menjadi pemilikan Wanma dan kampung Samber
dimana kampung Samber diberi ijin pemakai sebagian kecil dari tanah untuk
berladang. (Gallis, K.W., 1961).
Contoh lain di Warsa (Biak Utara) pemilik tanah adalah klen Wampier,
Marin dan Arfusan. Pemilikan dibagi menurut ketiga clan tersebut (Gallis,
K.W., 1961). Dahulu adanya migrasi yang berlangsung di antara orang Byak
karena bencana kelaparan, penyakit, hubungan dagang, perkawinan, konflik
dalam keret dan kampung. Migrasi baru terjadi karena adanya klen-klen
baru yang berdatangan dari kampung lain dan bermukim bersama pemilik
pertama sebuah kampung6).
Hal-hal yang nampak menonjol di kampung-kampung adalah banyak orangorang
muda pindah ke kota, keluar dari daerah asal karena pendidikan dan
pencarian kerja. Orang-orang tua adalah pemilik dan pengguna hak waris di
kampung. Sangat dikhawatirkan bahwa kadang-kadang kepala klen tidak
lagi memperhatikan hak pemilik yang telah meninggalkan kampung
halamannya bertahun-tahun.
Dengan adanya dewan adat Biak yang telah terbentuk maka setiap
Mananwir mnu dan keret mengatur, menata kembali dan meninjau aturanaturan
yang sudah ditetapkan. Sehingga hak-hak atas tanah ulayat dipetakan
sebagai salah satu asset keret maupun mnu, dimana warganya dapat
mengolah hasil-hasil alam yang ada untuk kesejahteraan hidup. Lebih dari
itu orang Biak mempunyai aturan yang telah dibakukan dalam ketetapan
adat baik di tingkat keret dan mnu tentang Hak Tanah/Ulayat



R E F E R E N S I
Galis , K. W. (1961) “Het Byak –Noemfoorse Gronden Recht”, di dalam
Nieuw – Guinea Studient Vols.
_____________ (1970) “Land Tenure in West Irian. Published by The New
Guinea Research Unit , The Australian National University, Number 38.
Kamma, F.C. (1972) “Koreri : Messianic Movements in The Biak Numfor
Culture Area”. The Hague M Nijhoff. KITLV Tranlation Series, 13.
Kan C.M & Timmerman J.E.C.A. (1983). ”Tijdschrift Van Hetkon”.
Nederlandsch Aar Drijks Kundig Genootschap-Leiden, E.J. Brill.
PEMDA TK II Biak Numfor (2001). ”Kabupaten Biak Numfor Dalam
Angka”
Koentjaraningrat & Harsya W Bachtiar, (1963). ”Penduduk Irian Barat” ,
Universitas Press.
Mansoben J.R , (1994) “Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya”. Penerbit
LIPI – RUL. Jakarta.
Silzer, P.J. & H Heikkinen (1984).”Index of Irian Jaya Languages”. Dalam :
Irian Bulletin for Irian Jaya Languages. Abepura : Universitas
Cenderawasih , Summer Institute of Linguistics.