Friday, 12 November 2010

Kenapa CLIFFORD GEERTZ tergila-gila dengan Bima salah satu tokoh wayang Jawa? (1)

Kenapa CLIFFORD GEERTZ tergila-gila dengan Bima salah satu tokoh wayang Jawa? (1)


Kisah tokoh utama Bima dalam menuju manusia sempurna dalam teks wayang Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus mengalami perjalanan batin untuk menemukan identitas dirinya. Peursen (1976:68) menamakan proses ini sebagai “identifikasi diri”, sedangkan Frans Dahler dan Julius Chandra menyebutnya dengan proses “individuasi” (1984:128).

Proses pencarian untuk menemukan identitas diri ini sesuai dengan hadis nabi yang berbunyi Man ‘arafa nafsahu faqad rabbahu. ‘Barang siapa mengenal dirinya niscaya dia akan mengenal Tuhannya’. Hal ini dalam cerita Dewaruci tersurat pada pupuh V Dhandhanggula bait 49: Telas wulangnya Sang Dewaruci, Wrekudara ing tyas datan kewran, wus wruh mring gamane dhewe, …’Habis wejangan Sang Dewruci. Wrekudara dalam hati tidak ragu sudah tahu terhadap jalan dirinya …’ (Marsono, 1976:107).

Nilai Filosofis Perjalanan Empat Tahap Menuju Manusia Sempurna oleh Bima
Kisah tokoh Wrekudara dalam menuju manusia sempurna pada cerita Dewaruci dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat (Jawa disebut: laku raga, laku budi, laku manah, dan laku rasa (Mangoewidjaja, 1928:44;
Ciptoprawiro, 1986:71). Atau menurut ajaran Mangkunegara IV seperti disebutkan dalam Wedhatama (1979:19-23), empat tahap laku ini disebut: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa.

Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Syariat
Syariat (Jawa sarengat atau laku raga, sembah raga) adalah tahap laku perjalanan menuju manusia sempurna yang paling rendah, yaitu dengan mengerjakan amalan-amalan badaniah atau lahiriah dari segela hukum agama. Amalan-amalan itu menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.

Di samping amalan-amalan seperti itu, dalam kaitan hubungan manusia dengan manusia, orang yang menjalani syariat, di antaranya kepada orang tua, guru, pimpinan, dan raja, ia hormat serta taat. Segala perintahnya dilaksanakaannya. Dalam pergaulan ia bersikap jujur, lemah lembut, sabar, kasih-mengasihi, dan beramal saleh.
Bagian-bagian cerita Dewaruci yang secara filosofis berkaitan dengan tahap syariat adalah sebagai berikut.

Nilai Filosofis Bima Taat kepada Guru

Tokoh Bima dalam cerita Dewaruci diamanatkan bahwa sebagai murid ia demikian taat. Sewaktu ia dicegah oleh saudara-saudaranya agar tidak menjalankan perintah gurunya, Pendeta Durna, ia tidak menghiraukan. Ia segera pergi meninggalkan saudara-saudaranya di kerajaan guna mencari tirta pawitra. Taat menjalankan perintah guru secara filosofis adalah sebagai realisasi salah satu tahap syariat.

Nilai Filosofis Bima Hormat kepada Guru

Selain taat tokoh Bima juga sangat hormat kepada gurunya. Ia selalu bersembah bakti kepada gurunya. Dalam berkomunikasi dengan kedua gurunya, Pendeta Durna dan Dewaruci, ia selalu menggunakan ragam Krama. Pernyataan rasa hormat dengan bersembah bakti dan penggunaaan ragam Krama kepada gurunya ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian laku syariat.

Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Tarekat

Tarekat (Jawa laku budi, sembah cipta) adalah tahap perjalanan menuju manusia sempurna yang lebih maju. Dalam tahap ini kesadaran hakikat tingkah laku dan amalan-amalan badaniah pada tahap pertama diinsyafi lebih dalam dan ditingkatkan (Mulder, 1983:24). Amalan yang dilakukan pada tahap ini lebih banyak menyangkut hubungan dengan Tuhan daripada hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Pada tingkatan ini penempuh hidup menuju manusia sempurna akan menyesali terhadap segala dosa yang dilakukan, melepaskan segala pekerjaan yang maksiat, dan bertobat. Kepada gurunya ia berserah diri sebagai mayat dan menyimpan ajarannya terhadap orang lain. Dalam melakukan salat, tidak hanya salat wajib saja yang dilakukan. Ia menambah lebih banyak salat sunat, lebih banyak berdoa, berdikir, dan menetapkan ingatannya hanya kepada Tuhan. Dalam menjalankan puasa, tidak hanya puasa wajib yang dilakukan. Ia lebih banyak mengurangi makan, lebih banyak berjaga malam, lebih banyak diam, hidup menyendiri dalam persepian, dan melakukan khalwat. Ia berpakaian sederhana dan hidup mengembara sebagai fakir.

Bagian-bagian cerita Dewaruci yang menyatakan sebagian tahap tarekat di antaranya terdapat pada pupuh II Pangkur bait 29-30. Diamanatkan dalam teks ini bahwa Bima kepada gurunya berserah diri sebagai mayat. Sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara, Bima kembali kepada Pendeta Durna. Air suci tidak didapat. Ia menanyakan di mana tempat tirta pawitra yang sesungguhnya. Pendeta Durna menjawab, “Tempatnya berada di tengah samudra”. Mendengar jawaban itu Bima tidak putus asa dan tidak gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau di dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang Pendeta”. Ia segera berangkat ke tengah samudra. Semua kerabat Pandawa menangis mencegah tetapi tidak dihiraukan. Keadaan Bima yeng berserah diri jiwa raga secara penuh kepada guru ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian tahap laku tarekat.

Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan dengan Hakikat

Hakikat (Jawa laku manah, sembah jiwa) adalah tahap perjalanan yang sempurna. Pencapaian tahap ini diperoleh dengan mengenal Tuhan lewat dirinya, di antaranya dengan salat, berdoa, berdikir, atau menyebut nama Tuhan secara terus-menerus (bdk. Zahri, 1984:88). Amalan yang dilakukan pada tahap ini semata-mata menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Hidupnya yang lahir ditinggalkan dan melaksanakan hidupnya yang batin (Muder, 1983:24). Dengan cara demikian maka tirai yang merintangi hamba dengan Tuhan akan tersingkap. Tirai yang memisahkan hamba dengan Tuhan adalah hawa nafsu kebendaan. Setelah tirai tersingkap, hamba akan merasakan bahwa diri hamba dan alam itu tidak ada, yang ada hanyalah “Yang Ada”, Yang Awal tidak ada permulaan dan Yang Akhir tidak berkesudahan.

Dalam keadaan demikian, hamba menjadi betul-betul dekat dengan Tuhan. Hamba dapat mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya. Rohani mencapai kesempurnaan. Jasmani takluk kepada rohani. Karena jasmani takluk kepada rohani maka tidak ada rasa sakit, tidak ada susah, tidak ada miskin, dan juga maut tidak ada. Nyaman sakit, senang susah, kaya miskin, semua ini merupakan wujud ciptaan Tuhan yang berasal dari Tuhan. Segala sesuatu milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, manusia hanya mendaku saja. Maut merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil kepada kebebasan yang luas, mencari Tuhan, kekasihnya. Mati atau maut adalah alamat cinta yang sejati (Aceh, 1987:67).

Tahap ini biasa disebut keadaan mati dalam hidup dan hidup dalam kematian. Saat tercapainya tingkatan hakikat terjadi dalam suasana yang terang benderng gemerlapan dalam rasa lupa-lupa ingat, antara sadar dan tidak sadar. Dalam keadaan seperti ini muncul Nyala Sejati atau Nur Ilahi (Mulyono, 1978:126).
Sebagian tahap hakikat yang dilakukan atau dialami oleh tokoh Bima, di antaranya ialah: mengenal Tuhan lewat dirinya, mengalami dan melihat dalam suasana alam kosong, dan melihat berbagai macam cahaya (pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar).

Nilai Filosofis Bima Mulai Melihat Dirinya

Setelah Bima menjalankan banyak laku maka hatinya menjadi bersih. Dengan hati yang bersih ini ia kemudian dapat melihat Tuhannya lewat dirinya. Penglihatan atas diri Bima ini dilambangkan dengan masuknya tokoh utama ini ke dalam badan Dewaruci.

Bima masuk ke dalam badan Dewaruci melalui “telinga kiri”. Menurut hadis, di antaranya Al-Buchari, telinga mengandung unsur Ketuhanan. Bisikan Ilahi, wahyu, dan ilham pada umumnya diterima melalui “telinga kanan”. Dari telinga ini terus ke hati sanubari. Secara filosofis dalam masyarakat Jawa, “kiri” berarti ‘buruk, jelek, jahat, tidak jujur’, dan “kanan” berarti ‘baik (dalam arti yang luas)’. Masuk melalui “telinga kiri” berarti bahwa sebelum mencapai kesempurnaan Bima hatinya belum bersih (bdk. Seno-Sastroamidjojo, 1967:45-46).

Setelah Bima masuk dalam badan Dewaruci, ia kemudian melihat berhadapan dengan dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima sewaktu kecil. Dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima waktu muda itu adalah Dewaruci; penjelmaan Yang Mahakuasa sendiri (bdk. Magnis-Suseno, 1984:115). Bima berhadapan dengan Dewaruci yang juga merupakan dirinya dalam bentuk dewa kerdil. Kisah Bima masuk dalam badan Dewaruci ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima mulai berusaha untuk mengenali dirinya sendiri. Dengan memandang Tuhannya di alam kehidupan yang kekal, Bima telah mulai memperoleh kebahagiaan (bdk. Mulyono, 1982:133). Pengenlan diri lewat simbol yang demikian secara filosofis sebagai realisasi bahwa Bima telah mencapai tahap hakikat.

Nilai Filosofis Bima Mengalami dan Melihat dalam Suasasa Alam Kosong

Bima setelah masuk dalam badan dewaruci melihat dan merasakan bahwa dirinya
tidak melihat apa-apa. Yang ia lihat hanyalah kekosongan pandangan yang jauh tidak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang tidak bertepi. Keadaan yang tidak bersisi, tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka belakang, tiada lagi atas bawah, pada ruang yang tidak terbatas dan bertepi menyiratkan bahwa Bima telah memperoleh perasaan batiniahnya. Dia telah lenyap sama sekali dari dirinya, dalam keadaan kebakaan Allah semata. Segalanya telah hancur lebur kecuali wujud yang mutlak. Dalam keadaan seperti ini manusia menjadi fana ke dalam Tuhan (Simuh, 1983:312). Segala yang Ilahi dan yang alami walaupun kecil jasmaninya telah terhimpun menjadi satu, manunggal (Daudy, 1983:188). Zat Tuhan telah berada pada diri hambabnya (Simuh, 1983:311), Bima telah sampai pada tataran hakikat.
Disebutkan bahwa Bima karena merasakan tidak melihat apa-apa, ia sangat bingung. Tiba-tiba ia melihat dengan jelas
Dewaruci bersinar kelihatan cahayanya. Lalu ia melihat dan merasakan arah mata angin, utara, selatan, timur, barat, atas dan bawah, serta melihat matahari. Keadaan mengetahui arah mata angin ini menyiratkan bahwa ia telah kembali dalam keadaan sadar. Sebelumnya ia dalam keadaan tidak sadar karena tidak merasakan dan tidak melihat arah mata angin. Merasakan dalam keadaan sadar dan tidak sadar dalam rasa lupa-lupa ingat menyiratkan bahwa Bima secara filosofis telah sampai pada tataran hakikat.

Setelah mengalami suasana alam kosong antara sadar dan tidak sadar, ia melihat berbagai macam cahaya. Cahaya yang dilihatnya itu ialah: pancamaya, sinar tunggal berwarna delapan, empat warna cahaya, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Hal melihat berbagai macam cahaya seperti itu secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah sampai pada tataran hakikat. Ia telah menemukan Tuhannya

Nilai Filosofis Bima Melihat Pancamaya

Tokoh utama Bima disebutkan melihat pancamaya. Pancamaya adalah cahaya yang melambangkan hati yang sejati, inti badan. Ia menuntun kepada sifat utama. Itulah sesungguhnya sifat. Oleh Dewaruci, Bima disuruh memperlihatkan dan merenungkan cahaya itu dalam hati, agar supaya ia tidak tersesat hidupnya.
Hal-hal yang menyesatkan hidup dilambangkan dengan tiga macam warna cahaya, yaitu: merah, hitam, dan kuning.

Nilai Filosofis Bima Melihat Empat Warna Cahaya

Bima disebutkan melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Isi dunia sarat dengan tiga warna yang pertama. Ketiga warna yang pertama itu pengurung laku, penghalang cipta karsa menuju keselamatan, musuhnya dengan bertapa. Barang siapa tidak terjerat oleh ketiga hal itu, ia akan selamat, bisa manunggal, akan bertemu dengan Tuhannya. Oleh karena itu, perangai terhadap masing-masing warna itu hendaklah perlu diketahui.
Yang hitam lebih perkasa, perbuatannya marah, mengumbar hawa nafsu, menghalangi dan menutup kepada hal yang tidak baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang tidak baik, iri hati dan dengki keluar dari sini. Hal ini menutup (membuat buntu) kepada hati yang selalu ingat dan waspada. Yang kuning pekerjaannya menghalangi kepada semua cipta yang mengarah menuju kebaikan dan keselamatan. Oleh Sri Mulyono (1982:39) nafsu yang muncul dari warna hitam disebut aluamah, yang dari warna merah disebut amarah, dan yang muncul dari warna kuning disebut sufiah. Nafsu aluamah amarah, dan sufiah merupakan selubung atau penghalang untuk bertemu dengan Tuhannya.
Hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa menguasai yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya; sempurna hidupnya.

Nilai Filosofis Bima Melihat Sinar Tunggal Berwarna Delapan

Bima dalam badan Dewaruci selain melihat pancamaya melihat urub siji wolu kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Disebutkan bahwa sinar tunggal berwarna delapan adalah “Sesungguhnya Warna”, itulah Yang Tunggal. Seluiruh warna juga berada pada Bima. Demikian pula seluruh isi bumi tergambar pada badan Bima. Dunia kecil, mikrokosmos, dan dunia besar, makrokosmos, isinya tidak ada bedanya. Jika warna-warna yang ada di dunia itu hilang, maka seluruh warna akan menjadi tidak ada, kosong, terkumpul kembali kepada warna yang sejati, Yang Tunggal.




Hatiku selembar daun...

No comments: