Ketika para dewa menggelar sidang paripurna, Dewa Bayu
dan Dewa Indra ketahuan sedang `mengunduh' bagian terlarang Dewi
Wilutama selama beberapa saat.
Sialnya, yang memergoki kelakuan kedua dewa itu adalah tetungguling
(raja) para dewa, yakni Bethara Guru.
Tanpa ampun, kedua dewa itu langsung dipidana dan diPAW (pergantian
antarwaktu) dari posisinya di kadewatan di Khayangan.
Rukmuka dan Rukmakala Kocap kacarita, setiap awal bulan purnama para
dewa di Khayangan mengadakan parepatan agung (sidang paripurna).
Biasanya, dalam rapat nan suci itu semua permasalahan dibahas secara
saksama, termasuk yang terjadi di Arcapada (Bumi).
S e m u a dewa wajib hadir dalam sidang itu.
Bagi dewa yang tidak hadir dikenai sanksi. Sebagai tukang absennya
adalah Dewa Penyarikan.
Dan karena pentingnya acara tersebut, yang hadir biasanya tampak khidmat
mengikutinya.
Suatu ketika, sidang paripurna berlangsung. Hadir para dewi khayangan
yang bertugas membantu kelancaran sidang. Salah satunya adalah Dewi
Wilutama, bidadari yang dikenal sangat cantik.
Penampilan Wilutama yang menggemaskan serta gayanya yang lemah gemulai
membuat libido Dewa Bayu dan Dewa Indra tersengat. Apalagi saat itu
Wilutama mengenakan pakaian tembus pandang.
Rupanya Dewa Bayu atau dewanya angin, sudah bersekongkol dengan Dewa Indra.
Dengan kesaktiannya, Dewa Bayu m a m p u mendatangkan angin jadi-jadian
yang dapat menyingkap kain yang dikenakan Dewi Wilutama sehingga
terlihatlah bagian terlarangnya.
Kejadian itu diabadikan Dewa Indra dan kemudian gambarnya dikirim kepada
dewa dewa cluthak (rakus) lainnya.
Bethara G u ru y a n g melihat tindakan tidak senonoh Bayu dan Indra itu
kemudian menjatuhkan sanksi tegas. Ia meng utuk kedua dewa itu menjadi
raksasa.
Dewa Bayu menjadi raksasa bernama Rukmuka, sedangkan Dewa Indra menjadi
raksasa Rukmakala.
Dalam dunia wayang, sifat dan d perilaku raksasa adalah perlambang p
yang tidak bisa menahan nafsu syahwat maupun jahat. Tindakan murka dan
selalu memaksakan kehendak adalah ciri raksasa. Maka, sudah tepatlah
jika hukuman yang dijatuhkan Bethara Guru itu adalah mengubah kedua dewa
asusila tersebut menjadi raksasa.
Setelah berubah ujud menjadi raksasa, keduanya diusir dari Khayangan.
Mereka tidak pantas berada dalam komunitas kadewatan karena perbuatannya
itu. Rukmuka dan Rukmakala harus menjalani hukuman dengan bertempat
tinggal (dipenjara) di Gunung Reksamuka.
Jujur dan ikhlas Pada suatu ketika ksatria Pandawa Bima Sena prihatin
melihat degradasi moral para nayaka praja (pejabat) di Kerajaan Amarta
serta perilaku menyimpang para kawula.
Bima berikhtiar mencari solusi atas masalah tersebut dengan mencari ilmu
jati diri.
Bima kemudian menghadap gurunya, Resi Durna, meminta piwarah atau ajaran
sangkan paraning dumadi. Untuk mendapat ajaran itu, Durna memerintahkan
Bima mencari kayu gung susuhing angin di Gunung Reksamuka.
Singkat cerita berangkatlah Bima ke gunung yang dikenal sangat angker
tersebut. Namun, setelah mencari ke sana ke sini dengan mengobrak abrik
seluruh isi hutan, Bima tidak menemukan sesuatu yang diperintahkan Durna.
Akhirnya, Bima bertemu dua raksasa penguasa hutan Gunung Reksamuka,
yakni Rukmuka dan Rukmakala. Terjadilah perang tanding. Bima dikeroyok
kedua raksasa tersebut. Namun, dengan segala kekuatannya, Bima berhasil
menghancurkan kedua raksasa itu dengan cara adu kumba, kedua kepala
raksasa saling dibenturkan. Keajaiban terjadi.
Wujud kedua raksasa hilang dan berubah menjadi Dewa Bayu dan Dewa Indra.
Kedua dewa itu mengucapkan terima kasih kepada Bima. Karena atas
perbuatan Bima itu, kutukan berwujud raksasa yang mereka jalani atas
hukuman asusila di Khayangan sudah selesai.
Sebagai ucapan terima kasihnya, kedua dewa tersebut memberitahukan
kepada Bima bahwa sesungguhnya kayu gung susuhing angin yang dicarinya
itu tidak ada. Itu hanya perlambang bahwa semua tekad akan terwujud
apabila dilandasi kejujuran dan keikhlasan berjuang serta berkorban demi
masyarakat banyak.
Showing posts with label Wayang. Show all posts
Showing posts with label Wayang. Show all posts
Tuesday, 19 April 2011
KISAH LAHIRNYA PENDEKAR HINA KELANA/ARJUNA
Pada suatu hari, Pandu mengatakan pada istri – istrinya bahwa ia ingin sekali punya anak. Namun dikarenakan ia telah dikutuk maka mempunyai keturunan merupakan hal yang mustahil. Memahami dilema ini, Kunthi menyembah mengatakan kepada Pandu bahwa ia dapat menolong dengan mantera yang dimilikinya dari Resi Durvasa yaitu mantera Adityahredaya. Kunthi kemudian meminta ijin pada suaminya Pandu untuk menggunakannya. Permohonan ini direstui oleh Pandu.
Yudhistira (Puntadewa, Dharmawangsa, Dharmaputera, Partha)
Dewi Kunthi berturut – turut memanggil Dewa. Yang pertama adalah Dewa Dharma. Putera pertama itu diberi nama Yudistira. Dengan demikian, Yudistira menjadi putera sulung Pandu, sebagai hasil pemberian Dharma, yaitu dewa kejujuran, keadilan dan kebijaksanaan. Sifat Dharma itulah yang kemudian diwarisi oleh Yudistira sepanjang hidupnya.
HATIKU SELEMBAR DAUN...
Bhima (Werkodara, Vrekodara, Bratasena, Bimasena)
Dewa kedua yang dipanggil Kunthi adalah Dewa Bayu (Dewa Angin), anak itu diberi nama Bhima. Namun di kelahirannya, jabang bayi Bhima itu masih berupa bungkus untuk beberapa tahun kedepan karena tidak ada satu pun benda di dunia fana ini yang mampu merobek bungkus tersebut. Bertahun – tahun bungkus itu glundang – glundung di Setra Gandalayu membuat Dewa Siwa prihatin akan hal ini dan mengutus Batari Uma untuk menemui bayi tersebut. Dengan kesaktiannya Batari Uma masuk ke dalam bungkus dan memberi makan dan pakaian kepada anak laki – laki itu. Karena tidak ada satu ahli bedah pun di dunia yang mampu dan berhasil mengoyak bungkus itu maka Dewa Siwa mengutus anaknya yang bernama Gajah Sena untuk merobek bungkus tersebut. Dengan cula dan taringnya yang tajam, setelah berkali – kali dirobek, akhirnya robek jugalah bungkus tersebut dan keluarlah seorang bocah. Karena kelelahan merobek bungkus tersebut Gajah Sena wafat dan manunggal ke tubuh bocah tersebut. Kelak bocah itu akan tumbuh menjadi kuat tak tertandingi lagi penyayang seperti bapaknya Dewa Bayu.
Arjuna (Janaka)
Dewa ketiga adalah Dewa Indra (Dewa Perang). Anak ketiga Pandu itu diberi nama Arjuna. Kelak Arjuna tumbuh menjadi pemuda yang tampan, cerdas, dan pandai berperang seperti ayahnya (Dewa Indra).
Setelah berturut memanggil dewa – dewa, oleh Kunthi mantera Adityahredaya dipinjamkan pada istri kedua Pandu, Dewi Madrim.
Nakula dan Sadewa
Dewi Madrim pun menggunakan mantera Adityahredaya. Dewa Aswin (Dewa Tabib) menganugerahi Dewi Madrim putra kembar dan diberi nama Nakula dan Sadewa. Nakula adalah orang yang pandai dalam ilmu pengobatan sedangkan Sadewa mahir dalam hal mistik. Keduanya pandai berkuda dan bermain pedang.
Yudhistira (Puntadewa, Dharmawangsa, Dharmaputera, Partha)
Dewi Kunthi berturut – turut memanggil Dewa. Yang pertama adalah Dewa Dharma. Putera pertama itu diberi nama Yudistira. Dengan demikian, Yudistira menjadi putera sulung Pandu, sebagai hasil pemberian Dharma, yaitu dewa kejujuran, keadilan dan kebijaksanaan. Sifat Dharma itulah yang kemudian diwarisi oleh Yudistira sepanjang hidupnya.
HATIKU SELEMBAR DAUN...
Bhima (Werkodara, Vrekodara, Bratasena, Bimasena)
Dewa kedua yang dipanggil Kunthi adalah Dewa Bayu (Dewa Angin), anak itu diberi nama Bhima. Namun di kelahirannya, jabang bayi Bhima itu masih berupa bungkus untuk beberapa tahun kedepan karena tidak ada satu pun benda di dunia fana ini yang mampu merobek bungkus tersebut. Bertahun – tahun bungkus itu glundang – glundung di Setra Gandalayu membuat Dewa Siwa prihatin akan hal ini dan mengutus Batari Uma untuk menemui bayi tersebut. Dengan kesaktiannya Batari Uma masuk ke dalam bungkus dan memberi makan dan pakaian kepada anak laki – laki itu. Karena tidak ada satu ahli bedah pun di dunia yang mampu dan berhasil mengoyak bungkus itu maka Dewa Siwa mengutus anaknya yang bernama Gajah Sena untuk merobek bungkus tersebut. Dengan cula dan taringnya yang tajam, setelah berkali – kali dirobek, akhirnya robek jugalah bungkus tersebut dan keluarlah seorang bocah. Karena kelelahan merobek bungkus tersebut Gajah Sena wafat dan manunggal ke tubuh bocah tersebut. Kelak bocah itu akan tumbuh menjadi kuat tak tertandingi lagi penyayang seperti bapaknya Dewa Bayu.
Arjuna (Janaka)
Dewa ketiga adalah Dewa Indra (Dewa Perang). Anak ketiga Pandu itu diberi nama Arjuna. Kelak Arjuna tumbuh menjadi pemuda yang tampan, cerdas, dan pandai berperang seperti ayahnya (Dewa Indra).
Setelah berturut memanggil dewa – dewa, oleh Kunthi mantera Adityahredaya dipinjamkan pada istri kedua Pandu, Dewi Madrim.
Nakula dan Sadewa
Dewi Madrim pun menggunakan mantera Adityahredaya. Dewa Aswin (Dewa Tabib) menganugerahi Dewi Madrim putra kembar dan diberi nama Nakula dan Sadewa. Nakula adalah orang yang pandai dalam ilmu pengobatan sedangkan Sadewa mahir dalam hal mistik. Keduanya pandai berkuda dan bermain pedang.
PENDEKAR HINA KELANA DAN BIMA
Dalam mencari kesempurnaan hidup Bima berjuang mencari hakekat kehidupan sejati yang dilambangkan dengan air suci (Tirtapawitra). Atas petunjuk gurunya, Pandita Durna, Bima menuju Hutan Tibrasara yang di dalamnya terdapat sebuah gua di sisi Gunung Candramuka. Gua ini dihuni oleh dua orang raksasa yang bernama Rukmuka dan Rumakala. Kedua raksasa ini ingin memangsa Raden Bimasena. Akan tetapi kedua raksasa tersebut dapat dibinasakan oleh Bima. Kedua raksasa itu menjelma menjadi Bathara Bayu dan Bathara Indra yang kemudian memberi petunjuk kepada Bima. Oleh kedua dewa ini Bima disuruh bertanya kembali kembali kepada gurunya, Pandita Drona perihal keberadaan air suci Tirta Pawitrasari.
Bimasena kembali menemui gurunya, Pendita Drona. Oleh Drona ia disarankan untuk mencari Tirtapawitra di tengah samudera. Bimasena pun mengarungi samudera. Di tengah samudera ini Bimasena bertemu dengan Dewi Urang Ayu yang muncul dari dasar samudera. Keduanya terlibat jalinan asmara. Setelah itu Bimasena bertemu denga ular raksasa yang ingin memangsanya. Bimasena berhasil membinasakan ular ini. Dalam pertarungannya dengan ular ini Bimasena menderita kelelahan yang luar biasa.
Dalam kelelahan yang luar biasa itu ia bertemu dengan makhluk bertubuh kecil yang sangat mirip dengan dirinya. Makhluk kecil ini bernama Dewa Ruci. Dewa Ruci ini memberi wejangan-wejangan yang sangat luar biasa. Bimasena sangat kagum dengan wejangan-wejangan Dewa Ruci ini. Ia bahkan tidak bisa mengerti ketika Dewa Ruci meminta agar Bimasena yang bertubuh sangat besar ini diminta masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci. Akhirnya Bima pun mengikuti segala petunjuk Dewa Ruci. Setelah Bima bisa memasuki tubuh Dewa Ruci ia merasakan ketenteraman, kedamaian, kebahagiaan yang tidak terhingga. Akibatnya Bima tidak mau keluar dari tubuh Dewa Ruci. Namun Dewa Ruci memerintahkan kepada Bima untuk keluar dari dirinya karena Bima diharuskan membangun dunia. Dengan bekal air suci Tirta Pawitra itu Bima ditugaskan membangun dunia menjadi lebih baru dan cantik, memayu hayuning buwana.
Bimasena kembali menemui gurunya, Pendita Drona. Oleh Drona ia disarankan untuk mencari Tirtapawitra di tengah samudera. Bimasena pun mengarungi samudera. Di tengah samudera ini Bimasena bertemu dengan Dewi Urang Ayu yang muncul dari dasar samudera. Keduanya terlibat jalinan asmara. Setelah itu Bimasena bertemu denga ular raksasa yang ingin memangsanya. Bimasena berhasil membinasakan ular ini. Dalam pertarungannya dengan ular ini Bimasena menderita kelelahan yang luar biasa.
Dalam kelelahan yang luar biasa itu ia bertemu dengan makhluk bertubuh kecil yang sangat mirip dengan dirinya. Makhluk kecil ini bernama Dewa Ruci. Dewa Ruci ini memberi wejangan-wejangan yang sangat luar biasa. Bimasena sangat kagum dengan wejangan-wejangan Dewa Ruci ini. Ia bahkan tidak bisa mengerti ketika Dewa Ruci meminta agar Bimasena yang bertubuh sangat besar ini diminta masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci. Akhirnya Bima pun mengikuti segala petunjuk Dewa Ruci. Setelah Bima bisa memasuki tubuh Dewa Ruci ia merasakan ketenteraman, kedamaian, kebahagiaan yang tidak terhingga. Akibatnya Bima tidak mau keluar dari tubuh Dewa Ruci. Namun Dewa Ruci memerintahkan kepada Bima untuk keluar dari dirinya karena Bima diharuskan membangun dunia. Dengan bekal air suci Tirta Pawitra itu Bima ditugaskan membangun dunia menjadi lebih baru dan cantik, memayu hayuning buwana.
Sunday, 14 November 2010
Juru Kunci Grojogan Sewu
Juru Kunci Grojogan Sewu
Pengabdian yang tulus ialah total menjalankan semua yang menjadi tanggung jawabnya tanpa pamrih, meskipun maut menjemputnya.
ERUPSI Gunung Merapi masih berlangsung.Namun, kisah dan pilihan Mbah Maridjan, yang menjadi abdi dalem penguasa Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX, sebagai juru kunci Gunung Merapi dikenang sebagai cermin pengabdian, kesetiaan, loyalitas, dan bentuk tanggung jawab. Sebagai abdi, Mbah Maridjan memegang teguh tugasnya itu hingga akhir hayat. Ada yang belum terungkap, yakni Mbah Maridjan pernah mengatakan ada lima golongan yang wajib dipundi atau dijunjung tinggi dalam manembah sebagai representasi manunggaling kawula-Gusti. Inti dari prinsip yang dikemukakan almarhum itu, pertama, ialah manembah kepada Allah SWT sebagai zat yang menciptakan dunia ini; kedua, berbakti kepada orang tua yang melahirkan; ketiga, mengabdi kepada saudara tua sebagai wakil dari orang tua; keempat, mengabdi kepada raja atau pemimpin; dan kelima mengabdi kepada pemerintah atau negara yang telah memberikan hak dan kewajiban dalam bermasyarakat. Mirip dengan kisah kearifan cerita pewayangan yang mencerminkan kearifan manusia Jawa sejati. Kesetiaan Mbah Maridjan itu serupa dengan kesetiaan satria muda Raden Setyaka dalam menjaga kelangsungan hidup di padepokan Grojogan Sewu. Raden Setyaka rela mengorbankan jiwa dan raganya akibat kemarahan pakdenya sendiri, Prabu Baladewa, raja Mandura. Jitabsara Kocap kacarita, terjadilah Perang Baratayuda, yakni perang sesama darah Barata, antara Pandawa dan Kurawa, untuk memperebutkan kekuasaan Kerajaan Hastina.Berdasarkan cerita, seharusnya yang berhak atas kekuasaan Kerajaan Hastina adalah Pandawa. Tetapi dengan tipu daya Sengkuni, Hastina berada dalam kekuasaan Kurawa. Jauh sebelum terjadi Perang Baratayuda, para sesepuh Pandawa dan Kurawa, seperti Resi Bisma, telah memberikan solusi untuk menghindari terjadinya perang saudara itu. Salah satu usulannya ialah agar Kerajaan Hastina dibagi menjadi dua. Tapi niat baik pepunden tersebut tidak didengar dan akhirnya terjadilah Perang Baratayuda yang menelan banyak korban, baik dari pihak Kurawa maupun Pandawa. Menurut kitab Jitabsara, ada berbagai aturan dalam Perang Baratayuda. Misalnya, siapa melawan siapa, dan itu tidak boleh dilanggar. Pemegang kitab Jitabsara itu adalah Raja Dwarawati Prabu Kresna yang juga sebagai pujangga Perang Baratayuda. Masih menurut kitab Jitabsara, ada dua kesatria atau raja yang tidak boleh berperang karena kesaktian mereka tidak ada tandingannya. Jika kedua tokoh itu ikut berperang, akan mengacaukan Perang Baratayuda yang juga dikenal sebagai perang suci. Kedua tokoh itu adalah Prabu Baladewa dan Raden Antareja dari Saptapretala. Prabu Baladewa dengan senjata nenggala tidak ada tandingannya. Sementara Raden Antareja memiliki senjata berupa upas atau bisa yang mematikan.Bahkan, dengan senjatanya itu Antareja bisa membunuh siapa pun hanya dengan melepaskan bisanya ke bayangannya. Jadi, bisa dibayangkan berapa kesatria atau wadyabala dalam sekejap bisa dimusnahkan Antareja tanpa harus berhadap-hadapan. Untuk itu, Prabu Kresna mencari jalan guna `menyingkirkan' keduanya agar tidak terlibat dalam Perang Baratayuda. Prabu Baladewa diminta bertapa di Grojogan Sewu, sedangkan Raden Antareja terpaksa terbunuh karena ke saktiannya sendiri. Konon, Prabu Kresna meminta Antareja mencoba kesaktian bisanya dengan menjilat bayangannya sendiri. Karena itulah Antareja akhirnya mati akibat bisanya sendiri. Bawaleksana Ketika bertapa di Grojogan Sewu, Prabu Baladewa dijaga juru kunci bernama Raden Setyaka. Prabu Kresna memerintahkan Raden Setyaka, anaknya sendiri, untuk menjaga kelangsungan pertapaan Grojogan Sewu dan membantu Prabu Baladewa selama bertapa. Sebelum bertugas, Kresna mewanti-wanti kepada Setyaka untuk berupaya dengan berbagai cara agar pakdenya, Baladewa, tidak tahu kapan Perang Baratayuda mulai. Intinya, jangan sampai Baladewa tahu sehingga tidak terlibat dalam Perang Baratayuda.Karena itulah Setyaka terpaksa berkorban untuk tidak jujur kepada Baladewa kapan pun pakdenya itu bertanya kapan Perang Baratayuda dimulai. Ini merupakan tugas berat karena risikonya sangat besar. Sadar akan tugas negara, apalagi yang menitahkan adalah ayahanda sendiri yang menjadi pujangga perang, maka tidak ada pilihan Setyaka harus bawaleksana menjaga amanah itu. Suatu ketika aliran Sungai Bagiratri yang merupakan aliran sungai dari Grojogan Sewu airnya berwarna merah karena bercampur darah para kesatria yang sedang berperang. Baladewa bertanya kepada Setyaka, “Kenapa air sungainya bercampur darah? Apakah ini darah dari kesatria Pandawa dan Kurawa yang sedang berperang?” Setyaka menjawab, “Itu bukan darah manusia, tetapi darah binatang buruan.” Baladewa bisa menerima jawaban tersebut dan kembali bertapa. Berikutnya, sewaktu ada beberapa mayat manusia yang hanyut di Sungai Bagiratri, Baladewa meminta Setyaka untuk memeriksa apakah mayat-mayat itu para kesatria yang kalah perang dalam Baratayuda? Setyaka bilang, itu semua mayat akibat korban bencana alam. Baladewa masih percaya dengan ucapan Setyaka tersebut. Akan tetapi, begitu melihat bangkai kereta Prabu Duryudana yang hancur-lebur, Baladewa yakin dan memastikan bahwa Perang Baratayuda sudah berlangsung dan bahkan hampir selesai. Merasa ditipu daya oleh Raden Setyaka, Baladewa pun marah besar. Ia menghunus senjata nenggala. Sejatinya, maksud Baladewa itu hanya untuk menakut-nakuti Setyaka yang adalah keponakannya sendiri. Tetapi apa yang terjadi? Kodrat mengatakan lain. Saat Setyaka sujud sembah kepada Baladewa untuk meminta ampun, nenggala menancap di dadanya. Akhirnya, gugurlah kesatria muda Setyaka dalam mengemban tugas suci tersebut. Kearifan lokal yang bisa diambil dari cerita di atas adalah bagaimana Raden Setyaka dan Mbah Maridjan membuka mata kita tentang arti dan bagaimana abdi harus menjalankan kesetiaan dan tanggung jawab hingga akhir hayatnya tanpa pamrih. (X-5)
Source:
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/11/13/ArticleHtmls/13_11_2010_011_017.shtml?Mode=0
Pengabdian yang tulus ialah total menjalankan semua yang menjadi tanggung jawabnya tanpa pamrih, meskipun maut menjemputnya.
ERUPSI Gunung Merapi masih berlangsung.Namun, kisah dan pilihan Mbah Maridjan, yang menjadi abdi dalem penguasa Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX, sebagai juru kunci Gunung Merapi dikenang sebagai cermin pengabdian, kesetiaan, loyalitas, dan bentuk tanggung jawab. Sebagai abdi, Mbah Maridjan memegang teguh tugasnya itu hingga akhir hayat. Ada yang belum terungkap, yakni Mbah Maridjan pernah mengatakan ada lima golongan yang wajib dipundi atau dijunjung tinggi dalam manembah sebagai representasi manunggaling kawula-Gusti. Inti dari prinsip yang dikemukakan almarhum itu, pertama, ialah manembah kepada Allah SWT sebagai zat yang menciptakan dunia ini; kedua, berbakti kepada orang tua yang melahirkan; ketiga, mengabdi kepada saudara tua sebagai wakil dari orang tua; keempat, mengabdi kepada raja atau pemimpin; dan kelima mengabdi kepada pemerintah atau negara yang telah memberikan hak dan kewajiban dalam bermasyarakat. Mirip dengan kisah kearifan cerita pewayangan yang mencerminkan kearifan manusia Jawa sejati. Kesetiaan Mbah Maridjan itu serupa dengan kesetiaan satria muda Raden Setyaka dalam menjaga kelangsungan hidup di padepokan Grojogan Sewu. Raden Setyaka rela mengorbankan jiwa dan raganya akibat kemarahan pakdenya sendiri, Prabu Baladewa, raja Mandura. Jitabsara Kocap kacarita, terjadilah Perang Baratayuda, yakni perang sesama darah Barata, antara Pandawa dan Kurawa, untuk memperebutkan kekuasaan Kerajaan Hastina.Berdasarkan cerita, seharusnya yang berhak atas kekuasaan Kerajaan Hastina adalah Pandawa. Tetapi dengan tipu daya Sengkuni, Hastina berada dalam kekuasaan Kurawa. Jauh sebelum terjadi Perang Baratayuda, para sesepuh Pandawa dan Kurawa, seperti Resi Bisma, telah memberikan solusi untuk menghindari terjadinya perang saudara itu. Salah satu usulannya ialah agar Kerajaan Hastina dibagi menjadi dua. Tapi niat baik pepunden tersebut tidak didengar dan akhirnya terjadilah Perang Baratayuda yang menelan banyak korban, baik dari pihak Kurawa maupun Pandawa. Menurut kitab Jitabsara, ada berbagai aturan dalam Perang Baratayuda. Misalnya, siapa melawan siapa, dan itu tidak boleh dilanggar. Pemegang kitab Jitabsara itu adalah Raja Dwarawati Prabu Kresna yang juga sebagai pujangga Perang Baratayuda. Masih menurut kitab Jitabsara, ada dua kesatria atau raja yang tidak boleh berperang karena kesaktian mereka tidak ada tandingannya. Jika kedua tokoh itu ikut berperang, akan mengacaukan Perang Baratayuda yang juga dikenal sebagai perang suci. Kedua tokoh itu adalah Prabu Baladewa dan Raden Antareja dari Saptapretala. Prabu Baladewa dengan senjata nenggala tidak ada tandingannya. Sementara Raden Antareja memiliki senjata berupa upas atau bisa yang mematikan.Bahkan, dengan senjatanya itu Antareja bisa membunuh siapa pun hanya dengan melepaskan bisanya ke bayangannya. Jadi, bisa dibayangkan berapa kesatria atau wadyabala dalam sekejap bisa dimusnahkan Antareja tanpa harus berhadap-hadapan. Untuk itu, Prabu Kresna mencari jalan guna `menyingkirkan' keduanya agar tidak terlibat dalam Perang Baratayuda. Prabu Baladewa diminta bertapa di Grojogan Sewu, sedangkan Raden Antareja terpaksa terbunuh karena ke saktiannya sendiri. Konon, Prabu Kresna meminta Antareja mencoba kesaktian bisanya dengan menjilat bayangannya sendiri. Karena itulah Antareja akhirnya mati akibat bisanya sendiri. Bawaleksana Ketika bertapa di Grojogan Sewu, Prabu Baladewa dijaga juru kunci bernama Raden Setyaka. Prabu Kresna memerintahkan Raden Setyaka, anaknya sendiri, untuk menjaga kelangsungan pertapaan Grojogan Sewu dan membantu Prabu Baladewa selama bertapa. Sebelum bertugas, Kresna mewanti-wanti kepada Setyaka untuk berupaya dengan berbagai cara agar pakdenya, Baladewa, tidak tahu kapan Perang Baratayuda mulai. Intinya, jangan sampai Baladewa tahu sehingga tidak terlibat dalam Perang Baratayuda.Karena itulah Setyaka terpaksa berkorban untuk tidak jujur kepada Baladewa kapan pun pakdenya itu bertanya kapan Perang Baratayuda dimulai. Ini merupakan tugas berat karena risikonya sangat besar. Sadar akan tugas negara, apalagi yang menitahkan adalah ayahanda sendiri yang menjadi pujangga perang, maka tidak ada pilihan Setyaka harus bawaleksana menjaga amanah itu. Suatu ketika aliran Sungai Bagiratri yang merupakan aliran sungai dari Grojogan Sewu airnya berwarna merah karena bercampur darah para kesatria yang sedang berperang. Baladewa bertanya kepada Setyaka, “Kenapa air sungainya bercampur darah? Apakah ini darah dari kesatria Pandawa dan Kurawa yang sedang berperang?” Setyaka menjawab, “Itu bukan darah manusia, tetapi darah binatang buruan.” Baladewa bisa menerima jawaban tersebut dan kembali bertapa. Berikutnya, sewaktu ada beberapa mayat manusia yang hanyut di Sungai Bagiratri, Baladewa meminta Setyaka untuk memeriksa apakah mayat-mayat itu para kesatria yang kalah perang dalam Baratayuda? Setyaka bilang, itu semua mayat akibat korban bencana alam. Baladewa masih percaya dengan ucapan Setyaka tersebut. Akan tetapi, begitu melihat bangkai kereta Prabu Duryudana yang hancur-lebur, Baladewa yakin dan memastikan bahwa Perang Baratayuda sudah berlangsung dan bahkan hampir selesai. Merasa ditipu daya oleh Raden Setyaka, Baladewa pun marah besar. Ia menghunus senjata nenggala. Sejatinya, maksud Baladewa itu hanya untuk menakut-nakuti Setyaka yang adalah keponakannya sendiri. Tetapi apa yang terjadi? Kodrat mengatakan lain. Saat Setyaka sujud sembah kepada Baladewa untuk meminta ampun, nenggala menancap di dadanya. Akhirnya, gugurlah kesatria muda Setyaka dalam mengemban tugas suci tersebut. Kearifan lokal yang bisa diambil dari cerita di atas adalah bagaimana Raden Setyaka dan Mbah Maridjan membuka mata kita tentang arti dan bagaimana abdi harus menjalankan kesetiaan dan tanggung jawab hingga akhir hayatnya tanpa pamrih. (X-5)
Source:
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/11/13/ArticleHtmls/13_11_2010_011_017.shtml?Mode=0
Friday, 12 November 2010
Arjuna
Arjuna
Arjuna (Sanskerta: अर्जुन; Arjuna) adalah nama seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia dikenal sebagai sang Pandawa yang menawan parasnya dan lemah lembut budinya. Ia adalah putra Prabu Pandudewanata, raja di Hastinapura dengan Dewi Kunti atau Dewi Prita, yaitu putri Prabu Surasena, Raja Wangsa Yadawa di Mandura. Arjuna merupakan teman dekat Kresna, yaitu awatara (penjelmaan) Bhatara Wisnu yang turun ke dunia demi menyelamatkan dunia dari kejahatan. Arjuna juga merupakan salah orang yang sempat menyaksikan "wujud semesta" Kresna menjelang Bharatayuddha berlangsung. Ia juga menerima Bhagawadgita atau "Nyanyian Orang Suci", yaitu wejangan suci yang disampaikan oleh Kresna kepadanya sesaat sebelum Bharatayuddha berlangsung karena Arjuna masih segan untuk menunaikan kewajibannya.
Dalam bahasa Sanskerta, secara harfiah kata Arjuna berarti "bersinar terang", "putih" , "bersih". Dilihat dari maknanya, kata Arjuna bisa berarti "jujur di dalam wajah dan pikiran".
Arjuna mendapat julukan "Kuruśreṣṭha" yang berarti "keturunan dinasti Kuru yang terbaik". Ia merupakan manusia pilihan yang mendapat kesempatan untuk mendapat wejangan suci yang sangat mulia dari Kresna, yang terkenal sebagai Bhagawadgita (nyanyian Tuhan).
Ia memiliki sepuluh nama: Arjuna, Phālguna, Jishnu, Kirti, Shwetawāhana, Wibhatsu, Wijaya, Pārtha, Sawyashachi (juga disamakan dengan Sabyasachi), dan Dhananjaya. Ketika ia ditanya tentang sepuluh namanya sebagai bukti identitas, maka ia menjawab:
“Sepuluh namaku adalah: Arjuna, Phālguna, Jishnu, Kirti, Shwetawāhana, Wibhatsu, Wijaya, Pārtha, Sawyashachi dan Dhananjaya. Aku dipanggil Dhananjaya ketika aku menaklukkan seluruh raja pada saat Yadnya Rajasuya dan mengumpulkan harta mereka. Aku selalu bertarung sampai akhir dan aku selalu menang, itulah sebabnya aku dipanggil Wijaya. Kuda yang diberikan Dewa Agni kepadaku berwarna putih, itulah sebabnya aku dipanggil Shwetawāhana. Ayahku Indra memberiku mahkota indah ketika aku bersamanya, itulah sebabnya aku dipanggil Kriti. Aku tidak pernah bertarung dengan curang dalam pertempuran, itulah sebabnya aku dipanggil Wibhatsu. Aku tidak pernah menakuti musuhku dengan keji, aku bisa menggunakan kedua tanganku ketika menembakkan anah panah, itulah sebabnya aku disebut Sawyashachī. Raut wajahku unik bagaikan pohon Arjun, dan namaku adalah "yang tak pernah lapuk", itulah sebabnya aku dipanggil Arjuna. Aku lahir di lereng gunung Himawan, di sebuah tempat yang disebut Satsringa pada hari ketika bintang Uttarā Phālgunī berada di atas, itulah sebabnya aku disebut Phālguna. Aku disebut Jishnu karena aku menjadi hebat ketika marah. Ibuku bernama Prithā, sehingga aku disebut juga Pārtha. Aku bersumpah bahwa aku akan menghancurkan setiap orang yang melukai kakakku Yudistira dan menaburkan darahnya di bumi. Aku tak bisa ditaklukkan oleh siapa pun. ”
Dalam Mahabharata diceritakan bahwa Raja Hastinapura yang bernama Pandu tidak bisa melanjutkan keturunan karena dikutuk oleh seorang resi. Kunti (istri pertamanya) menerima anugerah dari Resi Durwasa agar mampu memanggil Dewa-Dewa sesuai dengan keinginannya, dan juga dapat memperoleh anak dari Dewa tersebut. Pandu dan Kunti memanfaatkan anugerah tersebut kemudian memanggil Dewa Yama (Dharmaraja; Yamadipati), Dewa Bayu (Marut), dan Dewa Indra (Sakra) yang kemudian memberi mereka tiga putra. Arjuna merupakan putra ketiga, lahir dari Indra, pemimpin para Dewa.
Arjuna memiliki karakter yang mulia, berjiwa kesatria, imannya kuat, tahan terhadap godaan duniawi, gagah berani, dan selalu berhasil merebut kejayaan sehingga diberi julukan "Dananjaya". Musuh seperti apapun pasti akan ditaklukkannya, sehingga ia juga diberi julukan "Parantapa", yang berarti penakluk musuh. Di antara semua keturunan Kuru di dalam silsilah Dinasti Kuru, ia dijuluki "Kurunandana", yang artinya putra kesayangan Kuru. Ia juga memiliki nama lain "Kuruprāwira", yang berarti "kesatria Dinasti Kuru yang terbaik", sedangkan arti harfiahnya adalah "Perwira Kuru".
Di antara para Pandawa, Arjuna merupakan kesatria pertapa yang paling teguh. Pertapaannya sangat kusuk. Ketika ia mengheningkan cipta, menyatukan dan memusatkan pikirannya kepada Tuhan, segala gangguan dan godaan duniawi tak akan bisa menggoyahkan hati dan pikirannya. Maka dari itu, Sri Kresna sangat kagum padanya, karena ia merupakan kawan yang sangat dicintai Kresna sekaligus pemuja Tuhan yang sangat tulus. Sri Kresna pernah berkata padanya, "Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbaktilah kepada-Ku, dan serahkanlah dirimu pada-Ku, maka kau akan datang kepada-Ku. Aku berkata demikian, karena kaulah kawan-Ku yang sangat Kucintai".
Arjuna didik bersama dengan saudara-saudaranya yang lain (para Pandawa dan Korawa) oleh Bagawan Drona. Kemahirannya dalam ilmu memanah sudah tampak semenjak kecil. Pada usia muda ia sudah mendapat gelar "Maharathi" atau "kesatria terkemuka". Ketika Guru Drona meletakkan burung kayu pada pohon, ia menyuruh muridnya satu-persatu untuk membidik burung tersebut, kemudian ia menanyakan kepada muridnya apa saja yang sudah mereka lihat. Banyak muridnya yang menjawab bahwa mereka melihat pohon, cabang, ranting, dan segala sesuatu yang dekat dengan burung tersebut, termasuk burung itu sendiri. Ketika tiba giliran Arjuna untuk membidik, Guru Drona menanyakan apa yang ia lihat. Arjuna menjawab bahwa ia hanya melihat burung saja, tidak melihat benda yang lainnya. Hal itu membuat Guru Drona kagum bahwa Arjuna sudah pintar.
Pada suatu hari, ketika Drona sedang mandi di sungai Gangga, seekor buaya datang mengigitnya. Drona dapat membebaskan dirinya dengan mudah, namun karena ia ingin menguji keberanian murid-muridnya, maka ia berteriak meminta tolong. Di antara murid-muridnya, hanya Arjuna yang datang memberi pertolongan. Dengan panahnya, ia membunuh buaya yang menggigit gurunya. Atas pengabdian Arjuna, Drona memberikan sebuah astra yang bernama "Brahmasirsa". Drona juga mengajarkan kepada Arjuna tentang cara memanggil dan menarik astra tersebut. Menurut Mahabharata, Brahmasirsa hanya dapat ditujukan kepada dewa, raksasa, setan jahat, dan makhluk sakti yang berbuat jahat, agar dampaknya tidak berbahaya.
Arjuna memiliki senjata sakti yang merupakan anugerah para dewata, hasil pertapaannya. Ia memiliki panah Pasupati yang digunakannya untuk mengalahkan Karna dalam Bharatayuddha. Busurnya bernama Gandiwa, pemberian Dewa Baruna ketika ia hendak membakar hutan Kandawa. Ia juga memiliki sebuah terompet kerang (sangkala) bernama Dewadatta, yang berarti "anugerah Dewa".
Pada suatu ketika, Raja Drupada dari Kerajaan Panchala mengadakan sayembara untuk mendapatkan Dropadi, puterinya. Sebuah ikan kayu diletakkan di atas kubah balairung, dan di bawahnya terdapat kolam yang memantulkan bayangan ikan yang berada di atas. Kesatria yang berhasil memanah ikan tersebut dengan hanya melihat pantulannya di kolam, berhak mendapatkan Dropadi.
Berbagai kesatria mencoba melakukannya, namun tidak berhasil. Ketika Karna yang hadir pada saat itu ikut mencoba, ia berhasil memanah ikan tersebut dengan baik. Namun ia ditolak oleh Dropadi dengan alasan Karna lahir di kasta rendah. Arjuna bersama saudaranya yang lain menyamar sebagai Brahmana, turut serta menghadiri sayembara tersebut. Arjuna berhasil memanah ikan tepat sasaran dengan hanya melihat pantulan bayangannya di kolam, dan ia berhak mendapatkan Dropadi.
Ketika para Pandawa pulang membawa Dropadi, mereka berkata, "Ibu, engkau pasti tidak akan percaya dengan apa yang kami bawa!". Kunti (Ibu para Pandawa) yang sedang sibuk, menjawab "Bagi dengan rata apa yang sudah kalian peroleh". Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Kunti, maka para Pandawa bersepakat untuk membagi Dropadi sebagai istri mereka. Mereka juga berjanji tidak akan mengganggu Dropadi ketika sedang bermesraan di kamar bersama dengan salah satu dari Pandawa. Hukuman dari perbuatan yang mengganggu adalah pembuangan selama 1 tahun.
Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para raksasa. Arjuna yang merasa memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya. Namun senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana Yudistira dan Dropadi sedang menikmati malam mereka. Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil senjata, tidak mempedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan selama 1 tahun.
Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau daratan India Kuno. Ketika sampai di sungai Gangga, Arjuna bertemu dengan Ulupi, puteri Naga Korawya dari istana naga atau Nagaloka. Arjuna terpikat dengan kecantikan Ulupi lalu menikah dengannya. Dari hasil perkawinannya, ia dikaruniai seorang putra yang diberi nama Irawan. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanannya menuju wilayah pegunungan Himalaya. Setelah mengunjungi sungai-sungai suci yang ada di sana, ia berbelok ke selatan. Ia sampai di sebuah negeri yang bernama Manipura. Raja negeri tersebut bernama Citrasena. Ia memiliki seorang puteri yang sangat cantik bernama Citrānggadā. Arjuna jatuh cinta kepada puteri tersebut dan hendak menikahinya, namun Citrasena mengajukan suatu syarat bahwa apabila puterinya tersebut melahirkan seorang putra, maka anak puterinya tersebut harus menjadi penerus tahta Manipura oleh karena Citrasena tidak memiliki seorang putra. Arjuna menyetujui syarat tersebut. Dari hasil perkawinannya, Arjuna dan Citrānggadā memiliki seorang putra yang diberi nama Babruwahana. Oleh karena Arjuna terikat dengan janjinya terdahulu, maka ia meninggalkan Citrānggadā setelah beberapa bulan tinggal di Manipura. Ia tidak mengajak istrinya pergi ke Hastinapura.
Setelah meninggalkan Manipura, ia meneruskan perjalanannya menuju arah selatan. Dia sampai di lautan yang mengapit Bharatawarsha di sebelah selatan, setelah itu ia berbelok ke utara. Ia berjalan di sepanjang pantai Bharatawarsha bagian barat. Dalam pengembaraannya, Arjuna sampai di pantai Prabasa (Prabasatirta) yang terletak di dekat Dwaraka, yang kini dikenal sebagai Gujarat. Di sana ia menyamar sebagai seorang pertapa untuk mendekati adik Kresna yang bernama Subadra, tanpa diketahui oleh siapa pun. Atas perhatian dari Baladewa, Arjuna mendapat tempat peristirahatan yang layak di taman Subadra. Meskipun rencana untuk membiarkan dua pemuda tersebut tinggal bersama ditentang oleh Kresna, namun Baladewa meyakinkan bahwa peristiwa buruk tidak akan terjadi. Arjuna tinggal selama beberapa bulan di Dwaraka, dan Subadra telah melayani semua kebutuhannya selama itu. Ketika saat yang tepat tiba, Arjuna menyatakan perasaan cintanya kepada Subadra. Pernyataan itu disambut oleh Subadra. Dengan kereta yang sudah disiapkan oleh Kresna, mereka pergi ke Indraprastha untuk melangsungkan pernikahan.
Baladewa marah setelah mendengar kabar bahwa Subadra telah kabur bersama Arjuna. Kresna meyakinkan bahwa Subadra pergi atas kemauannya sendiri, dan Subadra sendiri yang mengemudikan kereta menuju Indraprastha, bukan Arjuna. Kresna juga mengingatkan Baladewa bahwa dulu ia menolak untuk membiarkan kedua pasangan tersebut tinggal bersama, namun usulnya ditentang oleh Baladewa. Setelah Baladewa sadar, ia membuat keputusan untuk menyelenggarakan upacara pernikahan yang mewah bagi Arjuna dan Subadra di Indraprastha. Ia juga mengajak kaum Yadawa untuk turut hadir di pesta pernikahan Arjuna-Subadra. Setelah pesta pernikahan berlangsung, kaum Yadawa tinggal di Indraprastha selama beberapa hari, lalu pulang kembali ke Dwaraka, namun Kresna tidak turut serta.
Setelah Yudistira kalah bermain dadu, para Pandawa beserta Dropadi mengasingkan diri ke hutan. Kesempatan tersebut dimanfa'atkan oleh Arjuna untuk bertapa demi memperoleh kesaktian dalam peperangan melawan para sepupunya yang jahat. Arjuna memilih lokasi bertapa di gunung Indrakila.
Dalam usahanya, ia diuji oleh tujuh bidadari yang dipimpin oleh Supraba, namun keteguhan hati Arjuna mampu melawan berbagai godaan yang diberikan oleh para bidadari. Para bidadari yang kesal kembali ke kahyangan, dan melaporkan kegagalan mereka kepada Dewa Indra. Setelah mendengarkan laporan para bidadari, Indra turun di tempat Arjuna bertapa sambil menyamar sebagai seorang pendeta. Dia bertanya kepada Arjuna, mengenai tujuannya melakukan tapa di gunung Indrakila. Arjuna menjawab bahwa ia bertapa demi memperoleh kekuatan untuk mengurangi penderitaan rakyat, serta untuk menaklukkan musuh-musuhnya, terutama para Korawa yang selalu bersikap jahat terhadap para Pandawa. Setelah mendengar penjelasan dari Arjuna, Indra menampakkan wujudnya yang sebenarnya. Dia memberikan anugerah kepada Arjuna berupa senjata sakti.
Setelah mendapat anugerah dari Indra, Arjuna memperkuat tapanya ke hadapan Siwa. Siwa yang terkesan dengan tapa Arjuna kemudian mengirimkan seekor babi hutan berukuran besar. Ia menyeruduk gunung Indrakila hingga bergetar. Hal tersebut membuat Arjuna terbangun dari tapanya. Karena ia melihat seekor babi hutan sedang mengganggu tapanya, maka ia segera melepaskan anak panahnya untuk membunuh babi tersebut. Di saat yang bersamaan, Siwa datang dan menyamar sebagai pemburu, turut melepaskan anak panah ke arah babi hutan yang dipanah oleh Arjuna. Karena kesaktian Sang Dewa, kedua anak panah yang menancap di tubuh babi hutan itu menjadi satu.
Pertengkaran hebat terjadi antara Arjuna dan Siwa yang menyamar menjadi pemburu. Mereka sama-sama mengaku telah membunuh babi hutan siluman, namun hanya satu anak panah saja yang menancap, bukan dua. Maka dari itu, Arjuna berpikir bahwa si pemburu telah mengklaim sesuatu yang sebenarnya menjadi hak Arjuna. Setelah adu mulut, mereka berdua berkelahi. Saat Arjuna menujukan serangannya kepada si pemburu, tiba-tiba orang itu menghilang dan berubah menjadi Siwa. Arjuna meminta ma'af kepada Sang Dewa karena ia telah berani melakukan tantangan. Siwa tidak marah kepada Arjuna, justru sebaliknya ia merasa kagum. Atas keberaniannya, Siwa memberi anugerah berupa panah sakti bernama "Pasupati".
Setelah menerima anugerah tersebut, Arjuna dijemput oleh para penghuni kahyangan untuk menuju kediaman Indra, raja para dewa. Di sana Arjuna menghabiskan waktu selama beberapa tahun. Di sana pula Arjuna bertemu dengan bidadari Urwasi. Karena Arjuna tidak mau menikahi bidadari Urwasi, maka Urwasi mengutuk Arjuna agar menjadi banci. Kutukan itu dimanfaatkan oleh Arjuna pada saat para Pandawa menyelesaikan hukuman pembuangan mereka dalam hutan. Sesuai dengan perjanjian yang sah, Pandawa harus hidup dalam penyamaran selama satu tahun. Pandawa beserta Dropadi menuju ke kerajaan Wirata. Di sana Arjuna menyamar sebagai guru tari yang banci, dengan nama samaran Brihanala. Meskipun demikian, Arjuna telah berhasil membantu putra mahkota kerajaan Wirata, yaitu pangeran Utara, dengan menghalau musuh yang hendak menyerbu kerajaan Wirata.
Setelah menjalani masa pembuangan selama 13 tahun para Pandawa ingin memperoleh kembali kerajaannya. Namun ketika sampai di sana, hak mereka ditolak dengan tegas oleh Duryodana, bahkan ia menantang untuk berperang. Demi kerajaannya, para Pandawa menyetujui untuk melakukan perang.
Kresna, adik Baladewa, tidak ingin terlibat langsung dalam peperangan antara Pandawa dan Korawa, melainkan ia memilih untuk menjadi kusir kereta Arjuna selama delapan belas hari pertarungan di Medan Kuru atau Kurukshetra. Dalam Mahabharata, peran Kresna sebagai kusir bermakna "pemandu" atau "penunjuk jalan", yaitu memandu Arjuna melewati segala kebimbangan hatinya dan menunjukkan jalan kebenaran kepada Arjuna. Ajaran kebenaran yang diuraikan Kresna kepada Arjuna disebut Bhagawadgita.
Hal itu bermula beberapa saat sebelum perang di Kurukshetra. Arjuna melakukan inspeksi terhadap pasukannya, agar ia bisa mengetahui siapa yang harus ia bunuh dalam pertempuran nanti. Tiba-tiba Arjuna dilanda pergolakan batin ketika ia melihat kakeknya, guru besarnya, saudara sepupu, teman sepermainan, ipar, dan kerabatnya yang lain berkumpul di Kurukshetra untuk melakukan pembantaian besar-besaran. Arjuna menjadi tak tega untuk membunuh mereka semua. Dilanda oleh masalah batin, antara mana yang benar dan mana yang salah, Arjuna bertekad untuk mengundurkan diri dari pertempuran. Arjuna berkata:
“Kresna yang baik hati, setelah melihat kawan-kawan dan sanak keluarga di hadapan saya, dengan semangat untuk bertempur seperti itu, saya merasa anggota-anggota badan saya gemetar dan mulut saya terasa kering.....Kita akan dikuasai dosa jika membunuh penyerang seperti itu. Karena itu, tidak pantas kalau kita membunuh para putra Drestarastra dan kawan-kawan kita. O Kresna, suami Dewi Laksmi, apa keuntungannya bagi kita, dan bagaimana mungkin kita berbahagia dengan membunuh sanak keluarga kita sendiri?”
Melihat hal itu, Kresna yang mengetahui dengan baik segala ajaran agama Hindu, menguraikan ajaran-ajaran kebenaran agar semua keraguan di hati Arjuna sirna. Kresna menjelaskan, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang sepantasnya dilakukan Arjuna sebagai kewajibannya di medan perang. Selain itu Kresna menunjukkan bentuk semestanya kepada Arjuna. Ajaran kebenaran yang dijabarkan Kresna tersebut dikenal sebagai Bhagawadgita, yang berarti "Nyanyian Tuhan". Kitab Bhagawad Gita yang sebenarnya merupakan suatu bagian dari Bhismaparwa, menjadi kitab tersendiri yang sangat terkenal dalam ajaran Hindu, karena dianggap merupakan intisari dari ajaran-ajaran Weda.
Dalam pertempuran di Kurukshetra, atau Bharatayuddha, Arjuna bertarung dengan para kesatria hebat dari pihak Korawa, dan tidak jarang ia membunuh mereka, termasuk panglima besar pihak Korawa yaitu Bisma. Di awal pertempuran, Arjuna masih dibayangi oleh kasih sayang Bisma sehingga ia masih segan untuk membunuhnya. Hal itu membuat Kresna marah berkali-kali, dan Arjuna berjanji bahwa kelak ia akan mengakhiri nyawa Bisma. Pada pertempuran di hari kesepuluh, Arjuna berhasil membunuh Bisma, dan usaha tersebut dilakukan atas bantuan dari Srikandi. Setelah Abimanyu putra Arjuna gugur pada hari ketiga belas, Arjuna bertarung dengan Jayadrata untuk membalas dendam atas kematian putranya. Pertarungan antara Arjuna dan Jayadrata diakhiri menjelang senja hari, dengan bantuan dari Kresna.
Pada pertempuran di hari ketujuh belas, Arjuna terlibat dalam duel sengit melawan Karna. Ketika panah Karna melesat menuju kepala Arjuna, Kresna menekan kereta Arjuna ke dalam tanah dengan kekuatan saktinya sehingga panah Karna meleset beberapa inci dari kepala Arjuna. Saat Arjuna menyerang Karna kembali, kereta Karna terperosok ke dalam lubang (karena sebuah kutukan). Karna turun untuk mengangkat kembali keretanya yang terperosok. Salya, kusir keretanya, menolak untuk membantunya.
Karena mematuhi etika peperangan, Arjuna menghentikan penyerangannya bila kereta Karna belum berhasil diangkat. Pada saat itulah Kresna mengingatkan Arjuna atas kematian Abimanyu, yang terbunuh dalam keadaan tanpa senjata dan tanpa kereta. Dilanda oleh pergolakan batin, Arjuna melepaskan panahnya yang mematikan ke kepala Karna. Senjata itu memenggal kepala Karna.
Tak lama setelah Bharatayuddha berakhir, Yudistira diangkat menjadi Raja Kuru dengan pusat pemerintahan di Hastinapura. Untuk menengakkan dharma di seluruh Bharatawarsha, sekaligus menaklukkan para raja kejam dengan pemerintahan tiran, maka Yudistira menyelenggarakan Aswamedha Yadnya. Upacara tersebut dilakukan dengan melepaskan seekor kuda dan kuda itu diikuti oleh Arjuna beserta para prajurit. Daerah yang dilalui oleh kuda tersebut menjadi wilayah Kerajaan Kuru. Ketika Arjuna sampai di Manipura, ia bertemu dengan Babruwahana, putra Arjuna yang tidak pernah melihat wajah ayahnya semenjak kecil. Babruwahana bertarung dengan Arjuna, dan berhasil membunuhnya. Ketika Babruwahana mengetahui hal yang sebenarnya, ia sangat menyesal. Atas bantuan Ulupi dari negeri Naga, Arjuna hidup kembali.
Tiga puluh enam tahun setelah Bharatayuddha berakhir, Dinasti Yadu musnah di Prabhasatirtha karena perang saudara. Kresna dan Baladewa, yang konon merupakan kesatria paling sakti dalam dinasti tersebut, ikut tewas namun tidak dalam waktu yang bersamaan. Setelah berita kehancuran itu disampaikan oleh Daruka, Arjuna datang ke kerajaan Dwaraka untuk menjemput para wanita dan anak-anak. Sesampainya di Dwaraka, Arjuna melihat bahwa kota gemerlap tersebut telah sepi. Basudewa yang masih hidup, tampak terkulai lemas dan kemudian wafat di mata Arjuna. Sesuai dengan amanat yang ditinggalkan Kresna, Arjuna mengajak para wanita dan anak-anak untuk mengungsi ke Kurukshetra. Dalam perjalanan, mereka diserang oleh segerombolan perampok. Arjuna berusaha untuk menghalau serbuan tersebut, namun kekuatannya menghilang pada saat ia sangat membutuhkannya. Dengan sedikit pengungsi dan sisa harta yang masih bisa diselamatkan, Arjuna menyebar mereka di wilayah Kurukshetra.
Setelah Arjuna berhasil menjalankan misinya untuk menyelamatkan sisa penghuni Dwaraka, ia pergi menemui Resi Byasa demi memperoleh petunjuk. Arjuna mengadu kepada Byasa bahwa kekuatannya menghilang pada saat ia sangat membutuhkannya. Byasa yang bijaksana sadar bahwa itu semua adalah takdir Yang Maha Kuasa. Byasa menyarankan bahwa sudah selayaknya para Pandawa meninggalkan kehidupan duniawi. Setelah mendapat nasihat dari Byasa, para Pandawa spakat untuk melakukan perjalanan suci menjelajahi Bharatawarsha.
Perjalanan suci yang dilakukan oleh para Pandawa diceritakan dalam kitab Prasthanikaparwa atau Mahaprasthanikaparwa. Dalam perjalanan sucinya, para Pandawa dihadang oleh api yang sangat besar, yaitu Agni. Ia meminta Arjuna agar senjata Gandiwa beserta tabung anak panahnya yang tak pernah habis dikembalikan kepada Baruna, sebab tugas Nara sebagai Arjuna sudah berakhir di zaman Dwaparayuga tersebut. Dengan berat hati, Arjuna melemparkan senjata saktinya ke lautan, ke kediaman Baruna. Setelah itu, Agni lenyap dari hadapannya dan para Pandawa melanjutkan perjalanannya.
Ketika para Pandawa serta istrinya memilih untuk mendaki gunung Himalaya sebagai tujuan akhir perjalanan mereka, Arjuna gugur di tengah perjalanan setelah kematian Nakula, Sahadewa, dan Dropadi.
Di Nusantara, tokoh Arjuna juga dikenal dan sudah terkenal dari dahulu kala. Arjuna terutama menjadi populer di daerah Jawa, Bali, Madura, dan Lombok. Di Jawa dan kemudian di Bali, Arjuna menjadi tokoh utama dalam beberapa kakawin, seperti misalnya Kakawin Arjunawiwāha, Kakawin Pārthayajña, dan Kakawin Pārthāyana (juga dikenal dengan nama Kakawin Subhadrawiwāha. Selain itu Arjuna juga didapatkan dalam beberapa relief candi di pulau Jawa misalkan candi Surowono.
Arjuna juga merupakan seorang tokoh ternama dalam dunia pewayangan dalam budaya Jawa Baru. Di bawah ini disajikan beberapa ciri khas yang mungkin berbeda dengan ciri khas Arjuna dalam kitab Mahābhārata versi India dengan bahasa Sansekerta.
Arjuna seorang kesatria yang gemar berkelana, bertapa dan berguru menuntut ilmu. Selain menjadi murid Resi Drona di Padepokan Sukalima, ia juga menjadi murid Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana. Arjuna pernah menjadi brahmana di Goa Mintaraga, bergelar Bagawan Ciptaning. Ia dijadikan kesatria unggulan para dewa untuk membinasakan Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka. Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kahyangan Dewa Indra, bergelar Prabu Karitin. dan mendapat anugrah pusaka-pusaka sakti dari para dewa, antara lain: Gendewa (dari Bhatara Indra), Panah Ardadadali (dari Bhatara Kuwera), Panah Cundamanik (dari Bhatara Narada).
Arjuna memiliki sifat cerdik dan pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani dan suka melindungi yang lemah. Ia memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Setelah perang Bharatayuddha, Arjuna menjadi raja di Negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata. Akhir riwayat Arjuna diceritakan, ia moksa (mati sempurna) bersama keempat saudaranya yang lain di gunung Himalaya.
Ia adalah petarung tanpa tanding di medan laga, meski bertubuh ramping berparas rupawan sebagaimana seorang dara, berhati lembut meski berkemauan baja, kesatria dengan segudang istri dan kekasih meski mampu melakukan tapa yang paling berat, seorang kesatria dengan kesetiaan terhadap keluarga yang mendalam tapi kemudian mampu memaksa dirinya sendiri untuk membunuh saudara tirinya. Bagi generasi tua Jawa, dia adalah perwujudan lelaki seutuhnya. Sangat berbeda dengan Yudistira, dia sangat menikmati hidup di dunia. Petualangan cintanya senantiasa memukau orang Jawa, tetapi secara aneh dia sepenuhnya berbeda dengan Don Juan yang selalu mengejar wanita. Konon Arjuna begitu halus dan tampan sosoknya sehingga para puteri begitu, juga para dayang, akan segera menawarkan diri mereka. Merekalah yang mendapat kehormatan, bukan Arjuna. Ia sangat berbeda dengan Wrekudara. Dia menampilkan keanggunan tubuh dan kelembutan hati yang begitu dihargai oleh orang Jawa berbagai generasi.
Arjuna juga memiliki pusaka-pusaka sakti lainnya, atara lain: Keris Kiai Kalanadah diberikan pada Gatotkaca saat mempersunting Dewi Pergiwa (putra Arjuna), Panah Sangkali (dari Resi Drona), Panah Candranila, Panah Sirsha, Panah Kiai Sarotama, Panah Pasupati, Panah Naracabala, Panah Ardhadhedhali, Keris Kiai Baruna, Keris Pulanggeni (diberikan pada Abimanyu), Terompet Dewanata, Cupu berisi minyak Jayengkaton (pemberian Bagawan Wilawuk dari pertapaan Pringcendani) dan Kuda Ciptawilaha dengan Cambuk Kiai Pamuk. Sedangkan ajian yang dimiliki Arjuna antara lain: Panglimunan, Tunggengmaya, Sepiangin, Mayabumi, Pengasih dan Asmaragama. Arjuna juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu Kampuh atau Kain Limarsawo, Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung Minangkara, Kalung Candrakanta dan Cincin Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya, raja negara Paranggelung).
Dalam Mahabharata versi pewayangan Jawa, Arjuna mempunyai 15 orang istri dan 14 orang anak. Adapun istri dan anak-anaknya adalah:
1. Dewi Subadra, berputra Raden Abimanyu;
2. Dewi Larasati, berputra Raden Sumitra dan Bratalaras;
3. Dewi Ulupi atau Palupi, berputra Bambang Irawan;
4. Dewi Jimambang, berputra Kumaladewa dan Kumalasakti;
5. Dewi Ratri, berputra Bambang Wijanarka;
6. Dewi Dresanala, berputra Raden Wisanggeni;
7. Dewi Wilutama, berputra Bambang Wilugangga;
8. Dewi Manuhara, berputra Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati;
9. Dewi Supraba, berputra Raden Prabakusuma;
10. Dewi Antakawulan, berputra Bambang Antakadewa;
11. Dewi Juwitaningrat, berputra Bambang Sumbada;
12. Dewi Maheswara;
13. Dewi Retno Kasimpar;
14. Dewi Dyah Sarimaya;
15. Dewi Srikandi.
Dalam wiracarita Mahabharata versi nusantara, Arjuna banyak memiliki nama dan nama julukan, antara lain: Parta (pahlawan perang), Janaka (memiliki banyak istri), Pemadi (tampan), Dananjaya, Kumbaljali, Ciptaning Mintaraga (pendeta suci), Pandusiwi, Indratanaya (putra Batara Indra), Jahnawi (gesit trengginas), Palguna, Indrasuta, Danasmara (perayu ulung) dan Margana (suka menolong). "Begawan Mintaraga" adalah nama yang digunakan oleh Arjuna saat menjalani laku tapa di puncak Indrakila dalam rangka memperoleh senjata sakti dari dewata, yang akan digunakan dalam perang yang tak terhindarkan melawan musuh-musuhnya, yaitu keluarga Korawa.
Nama lain Arjuna di bawah ini merupakan nama lain Arjuna yang sering muncul dalam kitab-kitab Mahabharata atau Bhagawad Gita yang merupakan bagian daripadanya, dalam versi bahasa Sanskerta. Nama-nama lain di bawah ini memiliki makna yang sangat dalam, mengandung pujian, dan untuk menyatakan rasa kekeluargaan (nama-nama yang dicetak tebal dan miring merupakan sepuluh nama Arjuna).
1. Anagha (Anaga, yang tak berdosa)
2. Bhārata (Barata, keturunan Bhārata)
3. Bhārataśreṣṭha (Barata-sresta, keturunan Bhārata yang terbaik)
4. Bhāratasattama (Bharata-satama, keturunan Bhārata yang utama)
5. Bhārataśabhā (Barata-saba, keturunan Bharata yang mulia)
6. Dhanañjaya (perebut kekayaan)*
7. Gandīvi (Gandiwi, pemilik Gandiwa, senjata panahnya)
8. Gudakeśa (penakluk rasa kantuk, yang berambut halus)
9. Jishnu (hebat ketika marah)*
10. Kapidhwaja (yang memakai panji berlambang monyet)
11. Kaunteya / Kuntīputra (putra Dewi Kunti)
12. Kīrti (yang bermahkota indah)*
13. Kurunandana (putra kesayangan dinasti Kuru)
14. Kurupravīra (Kuru-prawira, perwira Kuru, ksatria dinasti Kuru yang terbaik)
15. Kurusattama (Kuru-satama, keturunan dinasti Kuru yang utama)
16. Kuruśṛṣṭha (Kuru-sresta, keturunan dinasti Kuru yang terbaik)
17. Mahābāhu (Maha-bahu, yang berlengan perkasa)
18. Pāṇḍava (Pandawa, putra Pandu)
19. Parantapa (penakluk musuh)*
20. Pārtha (keturunan Partha atau Dewi Kunti)*
21. Phālguna (yang lahir saat bintang Uttara Phalguna muncul)*
22. Puruṣaṛṣabhā (Purusa-rsaba, manusia terbaik)
23. Sawyaśachī (Sawya-saci, yang mampu memanah dengan tangan kanan maupun kiri)*
24. Śwetawāhana (Sweta-wahana, yang memiliki kuda berwarna putih)*
25. Wibhatsu (yang bertarung dengan jujur)*
26. Wijaya (yang selalu memenangkan setiap pertempuran)*
Dikisahkan bahwa Arjuna bertapa karena kesadarannya sebagai ksatriya, dia ingin melakukan dharma kewajibannya di tengah masyarakat. Dia merupakan lambang pemimpin yang sanggup mengorbankan jiwa, raga dan harta bendanya demi negaranya. Dalam tapanya Arjuna diuji apakah tapanya demi ambisi pribadi atau benar-benar demi pengabdian murni.
Tujuh bidadari utusan Bathara Indra dengan kecantikan tak tertandingi menggoda Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakila. Namun demikian oleh karena Arjuna telah berhasil mencapai keteguhan hati, maka ia tidak terganggu oleh godaan para bidadari jelita tersebut.
Selanjutnya Bathara Indra sendiri yang menguji apakah Arjuna benar-benar seorang ksatria yang penuh keyakinan, ataukah seseorang ‘resi’ yang melarikan diri dari keduniawian. Bathara Indra menyamar sebagai seorang resi tua yang memperolok dan menggugah rasa kesatriaan Arjuna. Ia muncul dalam bentuk seorang resi yg menghardik Arjuna, bahwa dengan segala tapa bratanya Arjuna belum mencapai kesempurnaan, karena sebetulnya Arjuna hanya mengejar pembebasan dirinya sendiri, ‘ego-spiritualis’. Dengan teguh Arjuna menjawab, bahwa tujuannya bukanlah untuk keselamatan diri, juga bukan untuk kepentingan keluarga Pandawa, melainkan untuk menyelamatkan kebenaran dalam peperangan akhir antara dharma melawan adharma. Demi dharmanya itu Arjuna berani menghadapi apa saja, bahkan kematian sekalipun akan dihadapinya.
Resi tua tersebut kembali wujudnya sebagai Bathara Indra. Bathara Indra berbahagia, karena telah menemukan seorang ksatria berbudi luhur yang akan mampu menghadapi Niwatakawaca, Raksasa Angkara Murka yang mengancam Kahyangan, Istana para Dewa.
Ujian berikutnya adalah Mamang Murka, raksasa utusan Prabu Niwatakawaca yang berwujud babi hutan raksasa yang menyerangnya dengan ganas. Akhirnya babi hutan tersebut mati dipanah oleh Arjuna. Persoalan timbul, karena babi hutan tersebut mati karena dua buah anak panah. Ternyata ada seorang ksatriya yang juga membidikkan anak panah ke babi hutan tersebut. Sudah selayaknya, Arjuna yang bertarung keras, berperang tanding penuh luka dengan babi hutan, dan akhirnya berhasil membunuh mati hewan tersebut, merasa lebih berjasa dari pada seorang ksatriya asing tanpa perkelahian sebelumnya yang langsung memanah babi hutan tersebut.
Sang Ksatriya mengajak berperang tanding, mengadu kesaktian. Akan tetapi, bagi Arjuna, nama bukan menjadi masalah, siapapun yang mendapatkan nama dan berhak mendapat karunia bukan menjadi pertimbangan Arjuna. “Wahai Ksatria, kalau kamu merasa berhak sebagai pembunuh Mamang Murka, dan mau melaporkan ke Kahyangan silakan. Bagiku, ada adharma yang mati sudah memadai, itu bentuk kasihku terhadap kebenaran”. Arjuna ingat nasehat Sang Guru Sejati: “Kasih tidak mengharapkan imbalan. Kasih itu sendiri adalah imbalan. Kebahagiaan yang kau peroleh saat mengasihi itulah imbalan kasih”. *SMS Wisdom Anand Krishna
Sang Ksatriya merasa dipermalukan dengan pernyataan Arjuna yang menohok kecongkakannya, dan menyerang Arjuna sehingga terjadilah perang tanding yang luar biasa. Akhirnya baju perang Arjuna hancur, akan tetapi Arjuna berhasil mendekap kedua kaki musuhnya, sehingga musuhnya terjatuh dan perkelahian terhenti. Tiba-tiba ksatriya tersebut berubah wujudnya menjadi Bathara Guru.
Bathara Guru sangat terkesan atas kerendahan hati Sang Arjuna. Arjuna telah lulus ujian akhir dan oleh Bathara Guru, Kuasa Pengajar Sejati, diberi hadiah seperangkat senjata panah bernama Pasopati. Pashu, Pasu adalah hewan, sehingga Pasopati adalah Raja Hewan, julukan bagi Bathara Guru. Pasopati adalah senjata andalan untuk menaklukkan sifat kehewanan dalam diri. Senjata bagi mereka yang sudah ‘sadar’ akan adanya hewan di dalam diri dan mampu menaklukkannya.
Jauh berbeda dengan Arjuna, pembawaan Sang Prabu Niwatakawaca sebagai raksasa sakti penuh dengan hawa napsu keangkara-murkaan. Dalam keangkuhan dan kesombongan dirinya Sang Raksasa berniat untuk menghancurkan kahyangan dan menundukkan para dewa. Seseorang yang merasa sangat berkuasa, segala kehendaknya harus terpenuhi, sebetulnya dia tengah melawan kahyangan, pusatnya kekuasaan suci yang berada di hati nurani. Walaupun orangnya mungkin sopan dan lemah lembut, apabila bertindak meninggalkan hati nurani, oleh leluhur kita digambarkan sebagai Raja Raksasa yang melawan kahyangan, pusatnya kekuasaan sejati yang bersemayam dalam hati nurani.
Prabu Niwatakawaca dianugerahi kesaktian dan tidak akan mati di tangan Dewa dan Raksasa. ‘Mind’, ego yang serakah tidak dapat ditundukkan dengan kebaikan dan ancaman dari ego individu lainnya. Yang dapat mengalahkannya hanya Sang Arjuna yang suka bertapa, mengendalikan diri dan mempunyai senjata penakluk kehewanan diri yang sakti. Hanya pengendalian diri, kesabaran dan pemahaman tentang sifat kehewanan diri yang dapat mengalahkan ‘mind’, ego yang serakah dan penuh kecongkakan.
Sang Niwatakawaca adalah makhluk pashu yang pasha, terikat oleh maya, ilusi dunia. Dalam keangkaramurkaannya ia ingin menghancurkan kahyangan, menundukan Bhatara Indra, Kuasa Kebenaran dan merebut Dewi Suprabha, Cahaya Ilahi. Rajas, keangkaramurkaan napsu dan tamas, kegelapan batin yang menyelimuti jiwanya gagal untuk memperoleh Suprabha, Cahaya Ilahi.
Bagaimanapun, Prabu Niwatakawaca tidak tahan terhadap bujuk rayu Dewi Suprabha, sehingga terpancinglah keluar rahasia kelemahan dirinya yang terdapat di ujung lidahnya. Bagaimana pun cahaya ilahi tetap berusaha untuk mencari kelemahan ‘mind’, ego yang serakah. Dan akhirnya ketahuan juga bahwa kelemahan Raksasa ‘Mind’ Niwatakawaca adalah di ujung lidahnya.
Rasa makanan sudah terbentuk di lidah. Lidah yang hanya selalu makan yang enak saja, akan sulit menerima rasa makanan yang kurang enak. Keterikatan paling nyata bagi manusia dewasa adalah selera makanan. Orang dewasa yang terbiasa makan nasi gudeg yang manis akan sulit menerima masakan India yang penuh rempah-rempah. Lain halnya dengan anak kecil yang keterikatannya terhadap pola tertentu belum addiktif. Kesadaran tentang keterikatan lidah, bisa berkembang terhadap keterikatan duniawi lainnya. Hanya Arjuna, pikiran jernih yang bisa mengendalikan diri dan sabar dalam menghadapi semua permasalahan hidup dapat mematikan ‘mind’, yang dalam hal ini dimulai dari pemahaman tentang keterikatan terhadap lidah.
Dalam hal pembicaraan yang menggunakan mulut dan lidah, ‘mind’ dapat terbentur-bentur ketika lidahnya sering menyakiti orang banyak. Kesadaran bahwa lidah dapat membuat banyak masalah, membuat pikiran jernih muncul untuk mengendalikan lidah. Dan ‘mind’ pun dapat dikalahkan.
Dengan bantuan Dewi Suprabha, maka Arjuna dapat mengetahui kelemahan Prabu Niwatakawaca yaitu dilidahnya. Dalam perang tanding, Arjuna sengaja jatuh berguling-guling yang membuat Prabu Niwatakawaca tertawa terbahak-bahak. Pada waktu kegirangan tersebut, lidahnya nampak dan segera dieksekusi dengan anak panah Pasopati oleh Arjuna.
Selanjutnya, Arjuna kembali ke kahyangan untuk merayakan kemenangannya melawan Prabu Niwatakawaca. Arjuna pun menerima karunia untuk melaksanakan wiwaha, pernikahan dengan ketujuh bidadari termasuk Dewi Suprabha yang pernah menggodanya pada waktu dia bertapa. Setelah berada di kahyangan selama tujuh purnama, kembalilah Arjuna ke alam Ngarcapada untuk berkumpul dengan saudara-saudaranya.
Arjuna, Arjun or Arjunaa (Sanskrit: अर्जुन, arjuna) is one of the heroes of the Hindu epic Mahābhārata. Arjuna, whose name means 'bright', 'shining', 'white' or 'silver' (cf. Latin argentum), was such a peerless archer that he is often referred to as Jishnu - the undefeatable. The third of the five Pandava brothers, Arjuna was one of the children borne by Kunti, the first wife of Pandu. Arjuna is considered to be an incarnation of Nara, the younger brother of Narayana.He is sometimes referred to as the 'fourth Krishna' of the Mahabharata. One of his most important roles was as the dear friend and brother-in-law of Lord Krishna, from whom he heard the Bhagavad Gita.
Arjuna was a master archer and played a central role in the conflict between the Pandavas and their adversaries, the sons of Dhritarashtra known as the Kauravas. Arjuna was reluctant to take part in battle because of the slaughter he knew he would cause in the enemy ranks, which included many of his own relatives. He was persuaded by his charioteer and close friend, Lord Krishna, to change his mind. Their dialogue about issues involved in war—courage, a warrior’s duty, the nature of human life and the soul, and the role of Gods—forms the subject of the Bhagavad Gita, one of the key episodes in the epic Mahābhārata. He also played the key role in killing Karna, his arch-rival, in reality an unknown brother, on the side of the Kauravas. He bears an additional eleven names: Kounteya, Phalguna, Jishnu, Kireeti, Shwetavaahana, Bheebhatsu, Vijaya, Pārtha, Savyasaachi, Dhananjaya and Dhanvi.
Pandu was unable to sire a child. His first wife Kunti had, in her maiden days, received a boon from sage Durvasa, which enabled her to invoke any deity of her choice and beget a child by such deity. Pandu and Kunti decided to make use of this boon; Kunti invoked in turn Dharma, Vayu and Indra and gave birth to three sons. Arjuna was the third son, born of Indra, king of the demigods (devas).
The son of Indra, Arjuna is said to have been well-built and extremely handsome; he married four times, as detailed here. Arjuna was also true and loyal to his friends, among others the great warrior Satyaki and his cousin and brother-in-law, Sri Krishna. He was also sensitive and thoughtful, as demonstrated by his misgivings about the Kurukshetra war, which caused Sri Krishna to impart the Gita to him. His sense of duty was acute; he once chose to go into exile rather than refuse to help a brahmin subject.
It is as a warrior that Arjuna is best known. The foundation for his career as a warrior was laid young; Arjuna learned everything that his guru Dronacharya could teach him, attaining the status of "Maharathi" or outstanding warrior. A well known story about Arjuna exemplifies his powers of concentration. Guru Dronacharya once decided to test his students in their skill of archery. He hung a wooden bird from the branch of a tree and then summoned his students. He asked the first one to aim for the bird's eye but not shoot just yet. He then asked the student what the student could see. The student replied that he could see the garden, the tree, flowers, etc. Drona asked him to step aside and not shoot. He repeated the same process with a few other students. When it was Arjuna's turn, Arjuna told his Guru that the only thing he could see was the bird's eye. This satisfied the Guru and he allowed Arjuna to shoot the bird. The lesson here is the power of focus. Arjuna once noticed his brother, Bhima, who was a voracious eater, eating in the dark as though it was daylight, and realized that if he could practice archery in the dark he would be a master. This skill proves to be instrumental while slaying of Jayadratha during Kurukshetra war.
His skill in archery was to have an unlikely utility; it won him the hand of Draupadi, his first wife, the daughter of Drupada, king of Panchala. Drupada held a contest to choose a suitable match for his daughter. A wooden fish was suspended high above a reflective pool of oil; furthermore, the fish rotated. Contestants were required to string a heavy bow and then hit the eye of the rotating fish, but were allowed to aim only by looking at the fish's reflection in the pool of oil. Many princes and noblemen vied for the hand of the princess of Panchala. Although the Pandavas and their mother were in hiding at that time, Arjuna had dressed as a high-caste snaataka Brahmin and was allowed to compete. It was Arjuna, the peerless archer, who alone was able to accomplish the set task.
All the five Pandava brothers had attended the tournament without informing Kunti, their mother. They returned home in triumph, bringing the princess Draupadi with them. From outside the house, they called out: "Mother, you will never believe what we have got here! Make a guess!" Busy with her work, Kunti refused to be baited. "Whatever it is, share it between yourselves equally, and do not quarrel over the matter," she said. So seriously did the brothers take even this casual statement of their mother, that they resolved upon making Draupadi their common wife. It says something about the magnanimity of Arjuna that, having won his bride single-handedly, he 'shared' her with all his brothers willingly. Despite marrying all five brothers, Draupadi loved Arjuna the most and always favoured him, and he preferred her of all his wives.
Legend has it that Draupadi had requested of god Shiva, in a previous life, that she would have a husband with five desirable husbandly traits in this one. Despite being warned by Lord Shiva that this wasn't possible she insisted and the result was the separate embodiment of each of the five qualities in the five Pandava brothers. Initially Draupadi's parents didn't agree to her marriage to all the Pandavas, but when he was told of this boon, King Drupada agreed.
The brothers agreed upon a protocol governing their relations with Draupadi, their common wife. No brother would disturb the couple when another brother was alone with Draupadi; the penalty for doing so was exile for a year. Once, when the Pandavas were still ruling over a prosperous Indraprastha, a brahmin came in great agitation to Arjuna and sought his help: a pack of cattle-thieves had seized his herd and only Arjuna could retrieve them. Arjuna was in a dilemma: his weaponry was in the room where Draupadi and Yudhishthira were alone together, and disturbing them would incur the penalty agreed upon. Arjuna hesitated for but a moment; in his mind, coming to the aid of his subject in distress, especially a brahmin, was the raison d'etre of a prince. The prospect of exile did not deter him from fulfilling the duty of aiding the brahmin; he disturbed the conjugal couple, took up his weaponry and rode forth to subdue the cattle-thieves. Upon finishing that task, he insisted, in the teeth of opposition from his entire family, including the two people whom he had disturbed, upon going away on exile.
However the authenticity of Arjun's claim to go on "exile" is debatable. When he was in Manipur, Ulupi asks him to begot a child. Arjuna refuses at first, but then Ulupi explains him that meaning of the exile is with respect to Draupadi and not absolute. So, as long as he stays away from Draupadi, his vow would not be falsified. Arjuna agrees with her. This episode is in contrast with Bheeshma. During this 12 month period, he visited numerous neighboring kingdoms and entered into marital alliances with the respective princesses, in order to strengthen the Pandavas' support-base, especially in view of the Rajasyu Yagya planned by Yudishthira. Some scholars view the "exile" as a scheme to throw the major rivals of the Pandavas, including their cousins the Kauravs, off-track.
Altogether, Arjun is mentioned to have no less than 42 "wives". However, he accorded importance to only a handful of them, as enumerated in the following section.
Arjuna had more than forty main wives and hundreds others in course of his adventures. Chief wives which played some role in the epic are listed
Draupadi: The most notable wife of Arjuna, she was wed to him following a swayamvar - a practice where a woman is allowed to choose her life mate by placing a garland on his neck. After marrying Draupadi, the [pandavas] who were disguised as brahmans came home - which at that time was in a forest and told their mother Kunti that their brother had got 'bhiksha' (donations to a brahmin). Kunti, without seeing what they had got, told them to divide the bhiksha between the brothers. She felt sorry after realizing that the pandavas actually meant that Arjuna had got a daughter-in-law for her. Since a mother's wish could not be rejected, all the five pandavas were wondering what could be done - as it was not common for one wife to be shared by five men. In the meanwhile, Lord Sri Krishna came and he made Draupadi remember her wish which she asked from Mahadeva (Lord Shiva). Draupadi wanted a man who would be strong, could protect her from evil, was good in making wise decisions, attractive and also tolerant and resilient. Krishna told Draupadi that she could not refuse Mahadeva's gift that was bestowed upon her. She had a strong husband in Bheema, a protector in Arjuna, a wise man in Yudhishthira, an attractive man as Nakula and a resilient man as Sahadeva. Hence Arjun's wife Draupadi then became the wife of all pandavas. Panchali means lady from kingdom of Panchala.
Chitrāngadā: Arjuna traveled the length and breadth of India during his term of exile. His wanderings took him to ancient Manipur in the eastern Himalayas, an almost mystic kingdom renowned for its natural beauty. Here he met the gentle Chitrāngadā, daughter of the king of Manipura, and was moved to seek her hand in marriage. Her father the king demurred on the plea that, according to the matrilineal customs of his people, the children born of Chitrāngadā were heirs to Manipur; he could not allow his heirs to be taken away from Manipur by their father. Arjuna agreed to the stipulation that he would take away neither his wife Chitrāngadā nor any children borne by her from Manipur. A son, whom they named Babruvāhana, was soon born to the happy couple and thus became the heir to his grandfather's kingdom.
Ulupi: While Arjuna was in Manipur, Ulupi, a Naga princess of noble character, became infatuated with him. She drugged him and abducted him to her realm in the netherworld that he might become her husband, but later restored Arjuna to the lamenting Chitrāngadā. Uloopi played a very major part in the upbringing of Babruvāhana and had much influence with him; he allowed her to restore Arjuna to life after he was slain in battle by Babruvāhana. One son was born to them and was named Iravan. Iravan died in the Kurukshetra War.
Subhadrā: Arjuna decided to spend the last portion of his term of exile in an orchard near Dwaraka, the residence of his cousins Balarama, Krishna and Subhadrā, who were the children of his maternal uncle Vasudeva. He and Subhadrā fell in love with each other, aided by Krishna, who loved both Arjuna and Subhadrā. Knowing that the entire family would view with disfavour the prospect of Subhadrā becoming the fourth wife of her cousin Arjuna, Krishna facilitated the elopement of the couple and their departure for Indraprastha. On Krishna's advice, Subhadrā drove the chariot from Dwaraka to Indraprastha. Krishna used this fact to persuade his family that Arjuna had not abducted Subhadrā, but rather the reverse: she had kidnapped him.
A single son, Abhimanyu, was born to Arjuna and Subhadra. Parikshita, son of Abhimanyu and Uttarā, born after Abhimanyu was killed in the battlefield, was the sole surviving dynast of the Kuru clan, and succeeded Yudhistra as the emperor of the Pandava kingdom.
Shortly after his return to Indraprastha, Arjuna visited the Khandava forest with Krishna. They encountered Agni, the fire-god, who was ill from consuming ghee as one king had performed many 'yagnas' (ritual invocations with fire), thus feeding ghee to Agni. He asked Arjuna and Krishna's help in consuming the forest in its entirety to restore him to health. Takshaka the serpent-king (it was due to this fire that the serpent king fled from there and took refuge with Karna and told him that he can use him at the tip of his arrow when fighting with Arjuna) a friend of Indra's, resided there and Indra thus causes rain whenever Agni tries to burn his friend's home. Arjuna told Agni that he must possess a powerful unbreakable bow to withstand the power of Indra's astras. Agni invoked Varuna, and gave Arjuna the Gāndeeva, an incredibly powerful bow, which gave its user sure victory in battle and a divine chariot, with powerful white horses that do not tire and cannot be wounded by normal weapons.
Arjuna tells Agni to proceed, and fights a duel with his father which lasted several days and nights. A voice from the sky proclaims Arjuna and Krishna the victors, and tells Indra to withdraw.
In the burning of the forest, Arjuna spared one Asura, named Maya, who was a gifted architect. In his gratitude, Maya built Yudhishtra a magnificent royal hall, unparalleled in the world. It is this hall, which triggers the pinnacle of Duryodhana's envy, causing the game of dice to be played.
After Arjuna's return to Indraprastha, several crucial incidents described in the Mahābhārata took place, culminating in the exile of all the five Pandava brothers and of their common wife Draupadi. Arjuna's training during this period is particularly significant in the war to come.
Pashupata: During the fifth year of their exile, Arjuna leaves the others and proceeds to the Himalayas to do tapas to Lord Shiva, to obtain the Pashupata, Shiva's personal astra (i.e. "weapon"), one so powerful as to lack any counter-astra. Shiva, pleased with his penance, decides to test him further. He causes an asura in the shape of a wild boar to disturb Arjuna's penance. Incensed at the boar, Arjuna chases it, and shoots an arrow at it to kill. At the same instant, another arrow from the bow of a rude hunter (Shiva) also hits the boar. The hunter and Arjuna argue about whose arrow killed the boar. This leads to an intense duel between the two. The hunter deprives Arjuna of all his weapons. Arjuna, ashamed at this defeat, turns to the Shivalinga that he has been worshiping during his penance, and offers it some flowers in prayer, only to find that the flowers have magically appeared on the body of the hunter instead. Arjuna realizes the hunter's identity, and falls at Shiva's feet. Shiva grants him knowledge of the Pasupata.
After obtaining this astra, he proceeded to Indraloka (heaven), spending time with his mythological father Indra, and acquiring further training from the devas. He destroys the Nivatakavachas and Kalakeyas - two powerful asura clans that resided in the skies, and menaced the gods. The clans had obtained boons from Brahma as to be undefeatable by gods. Arjuna, being a mortal man, could destroy them with his training.
Urvashi's curse: While in Indraloka, Arjuna was propositioned by the apsara (celestial danseuse) Urvashi. Urvashi had once been married to a king named Pururavas, and had borne a son named Ayus from that liaison; Ayus was a distant forebear of Arjuna, hence he regarded Urvashi as a mother. Arjuna reminded Urvashi of this connection while rejecting her advances. Urvashi got annoyed at this rejection, saying Arjuna has insulted her by spurning her advances. Urvashi rebuked Arjuna and told him that a danseuse is not concerned with earthly relations of any sort. Yet Arjuna could not overcome his scruples; "I am a child in front of you," he said. Chagrined at this response, Urvashi cursed Arjuna with impotence. Later, at Indra's behest she modified her curse to last only one year, and Arjuna could choose any one year of his life during which to suffer the life of a eunuch. This curse proved fortuitous; Arjuna used it as a very effective disguise for the period of one year when he, his brothers and Draupadi all lived incognito while in exile.
After spending 12 years in the forest, the Pandavas spent the thirteenth year of exile incognito, as stipulated by their agreement with the Kauravas, in disguise at the court of King Virāta. Arjuna made use of the curse put on him by the apsara Urvashi and chose this year in which to live the life of a eunuch. He assumed the name Brihannala. At the end of one year, Arjuna single-handedly defeated a Kaurava army that had invaded Virāta's kingdom. In appreciation of this valour, and being appraised of the true identity of the Pandavas, King Virāta offered Arjuna his daughter in marriage. Arjuna demurred on grounds of age as well as that Uttarā was like a daughter to him, owing to his having been (as a eunuch) her tutor in song and dance. He proposed that Uttarā should marry his young son Abhimanyu. This wedding duly took place; the posthumous son born of that union Parikshit was destined to be the sole surviving dynast of the entire Kuru clan.
In addition to the guidance of and personal attention from Krishna, Arjuna had the support of Hanuman during the great battle of Kurukshetra.
Arjuna entered the battlefield with the flag of Hanuman on his chariot. This came about when Hanuman appeared as a small talking monkey before Arjuna at Rameshwaram, where Sri Rama had built the great bridge to cross over to Lanka to rescue Sita. Upon Arjuna's wondering out aloud at Sri Rama's taking the help of "monkeys" rather than building a bridge of arrows, Hanuman (in the form of the little monkey) challenged him to build one capable of bearing him alone. Unaware of the monkey's true identity, Arjuna accepted the challenge. Hanuman then destroyed all Arjuna's bridges, who then decided to take his own life. Vishnu appeared before them both, chiding Arjuna for his vanity, and Hanuman for making the accomplished warrior Arjuna feel incompetent. As an act of 'penitence', Hanuman agreed to help Arjuna by stabilizing and strengthening his chariot during the upcoming great battle.
Krishna's elder step brother, Balarama, ruler of Dwaraka, remained neutral, as both Kauravas and Pandavas are kinsmen of the Yadavas. Krishna became Arjuna's personal charioteer during the 18-day war and protects Arjuna upon numerous occasions from injury and death. The term "Charioteer" in connection to Krishna is interpreted as "One who guides" or "One who shows the way"; apart from protecting Arjuna from all mishap, Krishna also showed Arjuna the righteous way by revealing the Bhagavad Gita to him in the hours preceding the battle.
As the two armies fell into battle-formation and faced each other on the battlefield, Arjuna's heart grew heavy. He saw arrayed before him his own kinsfolk: the elders of his clan on whose knees he had once been dandled as a child, the very guru Dronacharya who first taught him to wield the bow all those decades ago. Will it be worthwhile, he asked himself, to annihilate his own kindred for the sake of a kingdom? Arjuna falters as the war is about to begin; he resorts to Krishna for guidance.
It is at this juncture that Lord Krishna reveals the Bhagavad Gita to Arjuna. In it, Krishna deems it Arjuna's duty to struggle to uphold righteousness, without consideration of personal loss, consequence or reward; the discharge of one's moral duty, he says, supersedes all other pursuits, both spiritual and material, in life.
The Bhagavad Gita is a record of the conversation between Lord Krishna and Arjuna. The relationship between Arjuna and Krishna is representative of what is ideal for all mankind: Man guided by God. The Bhagavad Gita records the Lord comforting and guiding a mortal who is facing a terrible moral crisis, and is an important scripture in Hinduism.
The Mahabharata mentioned Arjuna made many journeys. After completing his education in military science from preceptor Drona, Arjuna set forth to north and north west, to proclaim his skills as the greatest bowman in the world. (MBh 1.141). He defeated King Vipula and King Sumitra of Sauvira and a Yavana (Indo-Greek) king in these expeditions.
Arjuna reached the source of river Ganga traveled along the Gangatic plain to reach the eastern ocean near Vanga and Kalinga, then traveled south along the coast and back up the western shore to Prabhasa near Dwaraka where he fell in love with Subhadra, the sister of Vasudeva Krishna. At the source of the Ganga he met the Nāga princess Ulupi. At Manipura, he met princess Chitrangata. He beget a son named Iravat upon Ulupi and another son named Vabhruvahana upon Chitrangata. Subhadra's son Abhimanyu was Arjuna's most dearest son.
Arjuna mounted a military expedition to collect tribute from northern kings for the Rajasuya sacrifice of King Yudhisthira, his elder brother. On this expedition, he allied with the powerful king Bhagadatta, a former friend of Arjuna's father Pandu. He subjugated many kings like Vrihanta of Uluka kingdom, Modapura, Vamadeva, Sudaman, Susankula, the Northern Ulukas. He camped at Devaprastha, the city of Senavindu after defeating it. He then defeated king Viswagaswa and Paurava. He then marched against the seven tribes of Utsava sanketa. He defeated the kingdom of Kashmira and king Lohita. Then Trigartas attacked him with their allies. Arjuna defeated them. (This could have turned them to enemies who would later revenge upon Arjuna during Kurukshetra War. Arjuna went far north west to attack the city of Simhapura (a Kamboja city). He defeated Kambojas and Lohas and their allies. (This later resulted in Kamboja's turning against Arjuna during Kurukshetra War. Arjuna then followed the route along Sindhu river leading to Tibet. He defeated the northern Rishikas and Kimpurushas under king Durmaputra and Harataka a kingdom of Yakshas (Guhakas). He subjugated them by diplomacy. He later reached the Manasa lake surrounded by Gandharva hamlets and defeated all of them. He then entered the northern Harivarsha (Uttara Kuru Kingdom). Arjuna was asked to return from this place since there cannot be war there.
During the time of Pandava exile into woods, Arjuna left his other brothers and embarked on a journey to the Himalayas to meditate upon lord Siva. He obtained celestial weapons from Siva. From there he was taken by Indra into the domains of Devas (assumed to be in Tibet, beyond the Yaksha and Gandharva territories surrounding Kailas range and Manasa lake). He took part in several wars that took place in this region between Devas and a group of Asuras called Nivatakavachas. Arjuna is mentioned as helping Devas to fight against the Nivatakavachas (who dwells near the sea). A lengthy passage (Mbh 3. 166 to 3. 173) mentions how Arjuna went into the wonderful cities in the enemy territory and raided an Asura city named Hiranyapura, destroying it.
After the Kurukshetra War, Arjuna set for yet another expedition, for collecting tribute for king Yudhisthira's Ashwamedha sacrifice (MBh 14.82 to 14.87).
Thus fortified in his belief of the righteousness of his chosen course of action, Arjuna takes up arms and essays an important role in the winning of the war by the Pandavas.
Just before the Kurukshetra war, Lord Sri Krishna was concerned about Arjuna, as Karna at that time possessed the Shakti astra, procured from Lord Indra, in return for Karna's kavach, which could be fatal to Arjuna. He walks over to Arjuna and tells him to pray to Goddess Durga to protect him. Following a short tapasya (worship), Goddess Durga appears before Arjuna and blesses him and tells him that he would be safe in the Kurukshetra war. Lord Krishna also tells Arjuna that it was a blessing that Karna would not fight against him as Bheeshma had promised to become the chief of the Kaurava army on the condition that Karna would not fight. However, Karna does fight in the Kurukshetra war against Arjuna.
Arjuna killed his maternal brother Karna, another formidable warrior who was fighting in aid of the Kauravas against the Pandavas, not realizing their relationship.
Karna and Arjuna form a terrible rivalry when Karna sought to revenge himself upon Arjuna's guru and the princely order for his humiliation. Arjuna is further provoked when Karna insulted him and Draupadi and has an indirect role in the murder of Arjuna's son Abhimanyu in battle. They both bring this terrible and personal rivalry to a climactic battle of terrifying proportions. For a long, long time, powerful weapons are discharged by the two warriors at terrifying pace without relent. The prowess and courage of both is marveled by the millions of other soldiers. Karna however promised his mother Kunti that only one out of Arjuna and him would remain alive because killing Arjuna was the ultimate aim of his life.
During the battle, Karna defeats Yudhishthira and he leaves the battlefield. Arjuna then goes to face Karna who has already lost the infallible dart of Indra. A fierce duel takes place between the two brothers. They fight with diverse kinds of weapons including divyastras. At this point, neither of them seems to hold an upper-hand in the battle. Seeing that Arjuna cannot be defeated by means of ordinary weapons or common divyastras, Karna uses his snake arrow. A snake Aswasena, whose mother was killed by Arjuna years ago, enters the weapon and makes it infallible. Karna is unaware of Aswasena entering the arrow. Lord Krishna saves his friend and devotee Arjuna at this crucial juncture. Karna doesn't want to slay Arjuna by means of Aswasena's might. So, he refuses to fire the same weapon again. So, Aswasena tries to slay Arjuna by the same weapon himself, but Arjuna slays him instead.
After snake-weapon is baffled by Krishna, Karna is left with no superior weapons to counter Arjuna. As a result of a curse, Karna seems to forget the mantras required to invoke the Brahmastra. Due to another curse, his chariot wheel sinks in the battlefield. Both the incidents tilt the balance decisively in favor of Arjuna. However, Karna continues fight with Arjuna. It becomes more and more difficult for Karna to counter Arjuna's arrows as a result of immobile chariot. Arjuna then takes out a divine weapon named Rudra. Karna tries to invoke Brhmastra to counter the weapon but fails to do so. Now Karna descends from the chariot and asks Arjuna to wait for the sake of DHARMA until he can free his chariot from soil. Arjuna stops and takes back the Rudra weapon.
At this, Krishna intervenes and reminds Karna of all his deeds that were against DHARMA. Krishna then asks Arjuna to keep fighting even if Karna was without chariot. However, Karna somehow manages to injure Arjuna, and thus availing the opportunity, starts pulling out his chariot again. Meanwhile, Arjuna again regains his composure. Krishna urges Arjuna to slay Karna, for he had taken a part in slaughter of unarmed and chariot-less Abhimanyu (Arjuna's Son). Arjuna then uses arrow named Anjalika (This is an ordinary broad-headed arrow) to decapitate Karna. Thus, Arjuna slays unarmed and chariot-less Karna to put an end to the war.
Source:
http://en.wikipedia.org/wiki/Arjuna
Hatiku selembar daun....
Arjuna (Sanskerta: अर्जुन; Arjuna) adalah nama seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia dikenal sebagai sang Pandawa yang menawan parasnya dan lemah lembut budinya. Ia adalah putra Prabu Pandudewanata, raja di Hastinapura dengan Dewi Kunti atau Dewi Prita, yaitu putri Prabu Surasena, Raja Wangsa Yadawa di Mandura. Arjuna merupakan teman dekat Kresna, yaitu awatara (penjelmaan) Bhatara Wisnu yang turun ke dunia demi menyelamatkan dunia dari kejahatan. Arjuna juga merupakan salah orang yang sempat menyaksikan "wujud semesta" Kresna menjelang Bharatayuddha berlangsung. Ia juga menerima Bhagawadgita atau "Nyanyian Orang Suci", yaitu wejangan suci yang disampaikan oleh Kresna kepadanya sesaat sebelum Bharatayuddha berlangsung karena Arjuna masih segan untuk menunaikan kewajibannya.
Dalam bahasa Sanskerta, secara harfiah kata Arjuna berarti "bersinar terang", "putih" , "bersih". Dilihat dari maknanya, kata Arjuna bisa berarti "jujur di dalam wajah dan pikiran".
Arjuna mendapat julukan "Kuruśreṣṭha" yang berarti "keturunan dinasti Kuru yang terbaik". Ia merupakan manusia pilihan yang mendapat kesempatan untuk mendapat wejangan suci yang sangat mulia dari Kresna, yang terkenal sebagai Bhagawadgita (nyanyian Tuhan).
Ia memiliki sepuluh nama: Arjuna, Phālguna, Jishnu, Kirti, Shwetawāhana, Wibhatsu, Wijaya, Pārtha, Sawyashachi (juga disamakan dengan Sabyasachi), dan Dhananjaya. Ketika ia ditanya tentang sepuluh namanya sebagai bukti identitas, maka ia menjawab:
“Sepuluh namaku adalah: Arjuna, Phālguna, Jishnu, Kirti, Shwetawāhana, Wibhatsu, Wijaya, Pārtha, Sawyashachi dan Dhananjaya. Aku dipanggil Dhananjaya ketika aku menaklukkan seluruh raja pada saat Yadnya Rajasuya dan mengumpulkan harta mereka. Aku selalu bertarung sampai akhir dan aku selalu menang, itulah sebabnya aku dipanggil Wijaya. Kuda yang diberikan Dewa Agni kepadaku berwarna putih, itulah sebabnya aku dipanggil Shwetawāhana. Ayahku Indra memberiku mahkota indah ketika aku bersamanya, itulah sebabnya aku dipanggil Kriti. Aku tidak pernah bertarung dengan curang dalam pertempuran, itulah sebabnya aku dipanggil Wibhatsu. Aku tidak pernah menakuti musuhku dengan keji, aku bisa menggunakan kedua tanganku ketika menembakkan anah panah, itulah sebabnya aku disebut Sawyashachī. Raut wajahku unik bagaikan pohon Arjun, dan namaku adalah "yang tak pernah lapuk", itulah sebabnya aku dipanggil Arjuna. Aku lahir di lereng gunung Himawan, di sebuah tempat yang disebut Satsringa pada hari ketika bintang Uttarā Phālgunī berada di atas, itulah sebabnya aku disebut Phālguna. Aku disebut Jishnu karena aku menjadi hebat ketika marah. Ibuku bernama Prithā, sehingga aku disebut juga Pārtha. Aku bersumpah bahwa aku akan menghancurkan setiap orang yang melukai kakakku Yudistira dan menaburkan darahnya di bumi. Aku tak bisa ditaklukkan oleh siapa pun. ”
Dalam Mahabharata diceritakan bahwa Raja Hastinapura yang bernama Pandu tidak bisa melanjutkan keturunan karena dikutuk oleh seorang resi. Kunti (istri pertamanya) menerima anugerah dari Resi Durwasa agar mampu memanggil Dewa-Dewa sesuai dengan keinginannya, dan juga dapat memperoleh anak dari Dewa tersebut. Pandu dan Kunti memanfaatkan anugerah tersebut kemudian memanggil Dewa Yama (Dharmaraja; Yamadipati), Dewa Bayu (Marut), dan Dewa Indra (Sakra) yang kemudian memberi mereka tiga putra. Arjuna merupakan putra ketiga, lahir dari Indra, pemimpin para Dewa.
Arjuna memiliki karakter yang mulia, berjiwa kesatria, imannya kuat, tahan terhadap godaan duniawi, gagah berani, dan selalu berhasil merebut kejayaan sehingga diberi julukan "Dananjaya". Musuh seperti apapun pasti akan ditaklukkannya, sehingga ia juga diberi julukan "Parantapa", yang berarti penakluk musuh. Di antara semua keturunan Kuru di dalam silsilah Dinasti Kuru, ia dijuluki "Kurunandana", yang artinya putra kesayangan Kuru. Ia juga memiliki nama lain "Kuruprāwira", yang berarti "kesatria Dinasti Kuru yang terbaik", sedangkan arti harfiahnya adalah "Perwira Kuru".
Di antara para Pandawa, Arjuna merupakan kesatria pertapa yang paling teguh. Pertapaannya sangat kusuk. Ketika ia mengheningkan cipta, menyatukan dan memusatkan pikirannya kepada Tuhan, segala gangguan dan godaan duniawi tak akan bisa menggoyahkan hati dan pikirannya. Maka dari itu, Sri Kresna sangat kagum padanya, karena ia merupakan kawan yang sangat dicintai Kresna sekaligus pemuja Tuhan yang sangat tulus. Sri Kresna pernah berkata padanya, "Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbaktilah kepada-Ku, dan serahkanlah dirimu pada-Ku, maka kau akan datang kepada-Ku. Aku berkata demikian, karena kaulah kawan-Ku yang sangat Kucintai".
Arjuna didik bersama dengan saudara-saudaranya yang lain (para Pandawa dan Korawa) oleh Bagawan Drona. Kemahirannya dalam ilmu memanah sudah tampak semenjak kecil. Pada usia muda ia sudah mendapat gelar "Maharathi" atau "kesatria terkemuka". Ketika Guru Drona meletakkan burung kayu pada pohon, ia menyuruh muridnya satu-persatu untuk membidik burung tersebut, kemudian ia menanyakan kepada muridnya apa saja yang sudah mereka lihat. Banyak muridnya yang menjawab bahwa mereka melihat pohon, cabang, ranting, dan segala sesuatu yang dekat dengan burung tersebut, termasuk burung itu sendiri. Ketika tiba giliran Arjuna untuk membidik, Guru Drona menanyakan apa yang ia lihat. Arjuna menjawab bahwa ia hanya melihat burung saja, tidak melihat benda yang lainnya. Hal itu membuat Guru Drona kagum bahwa Arjuna sudah pintar.
Pada suatu hari, ketika Drona sedang mandi di sungai Gangga, seekor buaya datang mengigitnya. Drona dapat membebaskan dirinya dengan mudah, namun karena ia ingin menguji keberanian murid-muridnya, maka ia berteriak meminta tolong. Di antara murid-muridnya, hanya Arjuna yang datang memberi pertolongan. Dengan panahnya, ia membunuh buaya yang menggigit gurunya. Atas pengabdian Arjuna, Drona memberikan sebuah astra yang bernama "Brahmasirsa". Drona juga mengajarkan kepada Arjuna tentang cara memanggil dan menarik astra tersebut. Menurut Mahabharata, Brahmasirsa hanya dapat ditujukan kepada dewa, raksasa, setan jahat, dan makhluk sakti yang berbuat jahat, agar dampaknya tidak berbahaya.
Arjuna memiliki senjata sakti yang merupakan anugerah para dewata, hasil pertapaannya. Ia memiliki panah Pasupati yang digunakannya untuk mengalahkan Karna dalam Bharatayuddha. Busurnya bernama Gandiwa, pemberian Dewa Baruna ketika ia hendak membakar hutan Kandawa. Ia juga memiliki sebuah terompet kerang (sangkala) bernama Dewadatta, yang berarti "anugerah Dewa".
Pada suatu ketika, Raja Drupada dari Kerajaan Panchala mengadakan sayembara untuk mendapatkan Dropadi, puterinya. Sebuah ikan kayu diletakkan di atas kubah balairung, dan di bawahnya terdapat kolam yang memantulkan bayangan ikan yang berada di atas. Kesatria yang berhasil memanah ikan tersebut dengan hanya melihat pantulannya di kolam, berhak mendapatkan Dropadi.
Berbagai kesatria mencoba melakukannya, namun tidak berhasil. Ketika Karna yang hadir pada saat itu ikut mencoba, ia berhasil memanah ikan tersebut dengan baik. Namun ia ditolak oleh Dropadi dengan alasan Karna lahir di kasta rendah. Arjuna bersama saudaranya yang lain menyamar sebagai Brahmana, turut serta menghadiri sayembara tersebut. Arjuna berhasil memanah ikan tepat sasaran dengan hanya melihat pantulan bayangannya di kolam, dan ia berhak mendapatkan Dropadi.
Ketika para Pandawa pulang membawa Dropadi, mereka berkata, "Ibu, engkau pasti tidak akan percaya dengan apa yang kami bawa!". Kunti (Ibu para Pandawa) yang sedang sibuk, menjawab "Bagi dengan rata apa yang sudah kalian peroleh". Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Kunti, maka para Pandawa bersepakat untuk membagi Dropadi sebagai istri mereka. Mereka juga berjanji tidak akan mengganggu Dropadi ketika sedang bermesraan di kamar bersama dengan salah satu dari Pandawa. Hukuman dari perbuatan yang mengganggu adalah pembuangan selama 1 tahun.
Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para raksasa. Arjuna yang merasa memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya. Namun senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana Yudistira dan Dropadi sedang menikmati malam mereka. Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil senjata, tidak mempedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan selama 1 tahun.
Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau daratan India Kuno. Ketika sampai di sungai Gangga, Arjuna bertemu dengan Ulupi, puteri Naga Korawya dari istana naga atau Nagaloka. Arjuna terpikat dengan kecantikan Ulupi lalu menikah dengannya. Dari hasil perkawinannya, ia dikaruniai seorang putra yang diberi nama Irawan. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanannya menuju wilayah pegunungan Himalaya. Setelah mengunjungi sungai-sungai suci yang ada di sana, ia berbelok ke selatan. Ia sampai di sebuah negeri yang bernama Manipura. Raja negeri tersebut bernama Citrasena. Ia memiliki seorang puteri yang sangat cantik bernama Citrānggadā. Arjuna jatuh cinta kepada puteri tersebut dan hendak menikahinya, namun Citrasena mengajukan suatu syarat bahwa apabila puterinya tersebut melahirkan seorang putra, maka anak puterinya tersebut harus menjadi penerus tahta Manipura oleh karena Citrasena tidak memiliki seorang putra. Arjuna menyetujui syarat tersebut. Dari hasil perkawinannya, Arjuna dan Citrānggadā memiliki seorang putra yang diberi nama Babruwahana. Oleh karena Arjuna terikat dengan janjinya terdahulu, maka ia meninggalkan Citrānggadā setelah beberapa bulan tinggal di Manipura. Ia tidak mengajak istrinya pergi ke Hastinapura.
Setelah meninggalkan Manipura, ia meneruskan perjalanannya menuju arah selatan. Dia sampai di lautan yang mengapit Bharatawarsha di sebelah selatan, setelah itu ia berbelok ke utara. Ia berjalan di sepanjang pantai Bharatawarsha bagian barat. Dalam pengembaraannya, Arjuna sampai di pantai Prabasa (Prabasatirta) yang terletak di dekat Dwaraka, yang kini dikenal sebagai Gujarat. Di sana ia menyamar sebagai seorang pertapa untuk mendekati adik Kresna yang bernama Subadra, tanpa diketahui oleh siapa pun. Atas perhatian dari Baladewa, Arjuna mendapat tempat peristirahatan yang layak di taman Subadra. Meskipun rencana untuk membiarkan dua pemuda tersebut tinggal bersama ditentang oleh Kresna, namun Baladewa meyakinkan bahwa peristiwa buruk tidak akan terjadi. Arjuna tinggal selama beberapa bulan di Dwaraka, dan Subadra telah melayani semua kebutuhannya selama itu. Ketika saat yang tepat tiba, Arjuna menyatakan perasaan cintanya kepada Subadra. Pernyataan itu disambut oleh Subadra. Dengan kereta yang sudah disiapkan oleh Kresna, mereka pergi ke Indraprastha untuk melangsungkan pernikahan.
Baladewa marah setelah mendengar kabar bahwa Subadra telah kabur bersama Arjuna. Kresna meyakinkan bahwa Subadra pergi atas kemauannya sendiri, dan Subadra sendiri yang mengemudikan kereta menuju Indraprastha, bukan Arjuna. Kresna juga mengingatkan Baladewa bahwa dulu ia menolak untuk membiarkan kedua pasangan tersebut tinggal bersama, namun usulnya ditentang oleh Baladewa. Setelah Baladewa sadar, ia membuat keputusan untuk menyelenggarakan upacara pernikahan yang mewah bagi Arjuna dan Subadra di Indraprastha. Ia juga mengajak kaum Yadawa untuk turut hadir di pesta pernikahan Arjuna-Subadra. Setelah pesta pernikahan berlangsung, kaum Yadawa tinggal di Indraprastha selama beberapa hari, lalu pulang kembali ke Dwaraka, namun Kresna tidak turut serta.
Setelah Yudistira kalah bermain dadu, para Pandawa beserta Dropadi mengasingkan diri ke hutan. Kesempatan tersebut dimanfa'atkan oleh Arjuna untuk bertapa demi memperoleh kesaktian dalam peperangan melawan para sepupunya yang jahat. Arjuna memilih lokasi bertapa di gunung Indrakila.
Dalam usahanya, ia diuji oleh tujuh bidadari yang dipimpin oleh Supraba, namun keteguhan hati Arjuna mampu melawan berbagai godaan yang diberikan oleh para bidadari. Para bidadari yang kesal kembali ke kahyangan, dan melaporkan kegagalan mereka kepada Dewa Indra. Setelah mendengarkan laporan para bidadari, Indra turun di tempat Arjuna bertapa sambil menyamar sebagai seorang pendeta. Dia bertanya kepada Arjuna, mengenai tujuannya melakukan tapa di gunung Indrakila. Arjuna menjawab bahwa ia bertapa demi memperoleh kekuatan untuk mengurangi penderitaan rakyat, serta untuk menaklukkan musuh-musuhnya, terutama para Korawa yang selalu bersikap jahat terhadap para Pandawa. Setelah mendengar penjelasan dari Arjuna, Indra menampakkan wujudnya yang sebenarnya. Dia memberikan anugerah kepada Arjuna berupa senjata sakti.
Setelah mendapat anugerah dari Indra, Arjuna memperkuat tapanya ke hadapan Siwa. Siwa yang terkesan dengan tapa Arjuna kemudian mengirimkan seekor babi hutan berukuran besar. Ia menyeruduk gunung Indrakila hingga bergetar. Hal tersebut membuat Arjuna terbangun dari tapanya. Karena ia melihat seekor babi hutan sedang mengganggu tapanya, maka ia segera melepaskan anak panahnya untuk membunuh babi tersebut. Di saat yang bersamaan, Siwa datang dan menyamar sebagai pemburu, turut melepaskan anak panah ke arah babi hutan yang dipanah oleh Arjuna. Karena kesaktian Sang Dewa, kedua anak panah yang menancap di tubuh babi hutan itu menjadi satu.
Pertengkaran hebat terjadi antara Arjuna dan Siwa yang menyamar menjadi pemburu. Mereka sama-sama mengaku telah membunuh babi hutan siluman, namun hanya satu anak panah saja yang menancap, bukan dua. Maka dari itu, Arjuna berpikir bahwa si pemburu telah mengklaim sesuatu yang sebenarnya menjadi hak Arjuna. Setelah adu mulut, mereka berdua berkelahi. Saat Arjuna menujukan serangannya kepada si pemburu, tiba-tiba orang itu menghilang dan berubah menjadi Siwa. Arjuna meminta ma'af kepada Sang Dewa karena ia telah berani melakukan tantangan. Siwa tidak marah kepada Arjuna, justru sebaliknya ia merasa kagum. Atas keberaniannya, Siwa memberi anugerah berupa panah sakti bernama "Pasupati".
Setelah menerima anugerah tersebut, Arjuna dijemput oleh para penghuni kahyangan untuk menuju kediaman Indra, raja para dewa. Di sana Arjuna menghabiskan waktu selama beberapa tahun. Di sana pula Arjuna bertemu dengan bidadari Urwasi. Karena Arjuna tidak mau menikahi bidadari Urwasi, maka Urwasi mengutuk Arjuna agar menjadi banci. Kutukan itu dimanfaatkan oleh Arjuna pada saat para Pandawa menyelesaikan hukuman pembuangan mereka dalam hutan. Sesuai dengan perjanjian yang sah, Pandawa harus hidup dalam penyamaran selama satu tahun. Pandawa beserta Dropadi menuju ke kerajaan Wirata. Di sana Arjuna menyamar sebagai guru tari yang banci, dengan nama samaran Brihanala. Meskipun demikian, Arjuna telah berhasil membantu putra mahkota kerajaan Wirata, yaitu pangeran Utara, dengan menghalau musuh yang hendak menyerbu kerajaan Wirata.
Setelah menjalani masa pembuangan selama 13 tahun para Pandawa ingin memperoleh kembali kerajaannya. Namun ketika sampai di sana, hak mereka ditolak dengan tegas oleh Duryodana, bahkan ia menantang untuk berperang. Demi kerajaannya, para Pandawa menyetujui untuk melakukan perang.
Kresna, adik Baladewa, tidak ingin terlibat langsung dalam peperangan antara Pandawa dan Korawa, melainkan ia memilih untuk menjadi kusir kereta Arjuna selama delapan belas hari pertarungan di Medan Kuru atau Kurukshetra. Dalam Mahabharata, peran Kresna sebagai kusir bermakna "pemandu" atau "penunjuk jalan", yaitu memandu Arjuna melewati segala kebimbangan hatinya dan menunjukkan jalan kebenaran kepada Arjuna. Ajaran kebenaran yang diuraikan Kresna kepada Arjuna disebut Bhagawadgita.
Hal itu bermula beberapa saat sebelum perang di Kurukshetra. Arjuna melakukan inspeksi terhadap pasukannya, agar ia bisa mengetahui siapa yang harus ia bunuh dalam pertempuran nanti. Tiba-tiba Arjuna dilanda pergolakan batin ketika ia melihat kakeknya, guru besarnya, saudara sepupu, teman sepermainan, ipar, dan kerabatnya yang lain berkumpul di Kurukshetra untuk melakukan pembantaian besar-besaran. Arjuna menjadi tak tega untuk membunuh mereka semua. Dilanda oleh masalah batin, antara mana yang benar dan mana yang salah, Arjuna bertekad untuk mengundurkan diri dari pertempuran. Arjuna berkata:
“Kresna yang baik hati, setelah melihat kawan-kawan dan sanak keluarga di hadapan saya, dengan semangat untuk bertempur seperti itu, saya merasa anggota-anggota badan saya gemetar dan mulut saya terasa kering.....Kita akan dikuasai dosa jika membunuh penyerang seperti itu. Karena itu, tidak pantas kalau kita membunuh para putra Drestarastra dan kawan-kawan kita. O Kresna, suami Dewi Laksmi, apa keuntungannya bagi kita, dan bagaimana mungkin kita berbahagia dengan membunuh sanak keluarga kita sendiri?”
Melihat hal itu, Kresna yang mengetahui dengan baik segala ajaran agama Hindu, menguraikan ajaran-ajaran kebenaran agar semua keraguan di hati Arjuna sirna. Kresna menjelaskan, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang sepantasnya dilakukan Arjuna sebagai kewajibannya di medan perang. Selain itu Kresna menunjukkan bentuk semestanya kepada Arjuna. Ajaran kebenaran yang dijabarkan Kresna tersebut dikenal sebagai Bhagawadgita, yang berarti "Nyanyian Tuhan". Kitab Bhagawad Gita yang sebenarnya merupakan suatu bagian dari Bhismaparwa, menjadi kitab tersendiri yang sangat terkenal dalam ajaran Hindu, karena dianggap merupakan intisari dari ajaran-ajaran Weda.
Dalam pertempuran di Kurukshetra, atau Bharatayuddha, Arjuna bertarung dengan para kesatria hebat dari pihak Korawa, dan tidak jarang ia membunuh mereka, termasuk panglima besar pihak Korawa yaitu Bisma. Di awal pertempuran, Arjuna masih dibayangi oleh kasih sayang Bisma sehingga ia masih segan untuk membunuhnya. Hal itu membuat Kresna marah berkali-kali, dan Arjuna berjanji bahwa kelak ia akan mengakhiri nyawa Bisma. Pada pertempuran di hari kesepuluh, Arjuna berhasil membunuh Bisma, dan usaha tersebut dilakukan atas bantuan dari Srikandi. Setelah Abimanyu putra Arjuna gugur pada hari ketiga belas, Arjuna bertarung dengan Jayadrata untuk membalas dendam atas kematian putranya. Pertarungan antara Arjuna dan Jayadrata diakhiri menjelang senja hari, dengan bantuan dari Kresna.
Pada pertempuran di hari ketujuh belas, Arjuna terlibat dalam duel sengit melawan Karna. Ketika panah Karna melesat menuju kepala Arjuna, Kresna menekan kereta Arjuna ke dalam tanah dengan kekuatan saktinya sehingga panah Karna meleset beberapa inci dari kepala Arjuna. Saat Arjuna menyerang Karna kembali, kereta Karna terperosok ke dalam lubang (karena sebuah kutukan). Karna turun untuk mengangkat kembali keretanya yang terperosok. Salya, kusir keretanya, menolak untuk membantunya.
Karena mematuhi etika peperangan, Arjuna menghentikan penyerangannya bila kereta Karna belum berhasil diangkat. Pada saat itulah Kresna mengingatkan Arjuna atas kematian Abimanyu, yang terbunuh dalam keadaan tanpa senjata dan tanpa kereta. Dilanda oleh pergolakan batin, Arjuna melepaskan panahnya yang mematikan ke kepala Karna. Senjata itu memenggal kepala Karna.
Tak lama setelah Bharatayuddha berakhir, Yudistira diangkat menjadi Raja Kuru dengan pusat pemerintahan di Hastinapura. Untuk menengakkan dharma di seluruh Bharatawarsha, sekaligus menaklukkan para raja kejam dengan pemerintahan tiran, maka Yudistira menyelenggarakan Aswamedha Yadnya. Upacara tersebut dilakukan dengan melepaskan seekor kuda dan kuda itu diikuti oleh Arjuna beserta para prajurit. Daerah yang dilalui oleh kuda tersebut menjadi wilayah Kerajaan Kuru. Ketika Arjuna sampai di Manipura, ia bertemu dengan Babruwahana, putra Arjuna yang tidak pernah melihat wajah ayahnya semenjak kecil. Babruwahana bertarung dengan Arjuna, dan berhasil membunuhnya. Ketika Babruwahana mengetahui hal yang sebenarnya, ia sangat menyesal. Atas bantuan Ulupi dari negeri Naga, Arjuna hidup kembali.
Tiga puluh enam tahun setelah Bharatayuddha berakhir, Dinasti Yadu musnah di Prabhasatirtha karena perang saudara. Kresna dan Baladewa, yang konon merupakan kesatria paling sakti dalam dinasti tersebut, ikut tewas namun tidak dalam waktu yang bersamaan. Setelah berita kehancuran itu disampaikan oleh Daruka, Arjuna datang ke kerajaan Dwaraka untuk menjemput para wanita dan anak-anak. Sesampainya di Dwaraka, Arjuna melihat bahwa kota gemerlap tersebut telah sepi. Basudewa yang masih hidup, tampak terkulai lemas dan kemudian wafat di mata Arjuna. Sesuai dengan amanat yang ditinggalkan Kresna, Arjuna mengajak para wanita dan anak-anak untuk mengungsi ke Kurukshetra. Dalam perjalanan, mereka diserang oleh segerombolan perampok. Arjuna berusaha untuk menghalau serbuan tersebut, namun kekuatannya menghilang pada saat ia sangat membutuhkannya. Dengan sedikit pengungsi dan sisa harta yang masih bisa diselamatkan, Arjuna menyebar mereka di wilayah Kurukshetra.
Setelah Arjuna berhasil menjalankan misinya untuk menyelamatkan sisa penghuni Dwaraka, ia pergi menemui Resi Byasa demi memperoleh petunjuk. Arjuna mengadu kepada Byasa bahwa kekuatannya menghilang pada saat ia sangat membutuhkannya. Byasa yang bijaksana sadar bahwa itu semua adalah takdir Yang Maha Kuasa. Byasa menyarankan bahwa sudah selayaknya para Pandawa meninggalkan kehidupan duniawi. Setelah mendapat nasihat dari Byasa, para Pandawa spakat untuk melakukan perjalanan suci menjelajahi Bharatawarsha.
Perjalanan suci yang dilakukan oleh para Pandawa diceritakan dalam kitab Prasthanikaparwa atau Mahaprasthanikaparwa. Dalam perjalanan sucinya, para Pandawa dihadang oleh api yang sangat besar, yaitu Agni. Ia meminta Arjuna agar senjata Gandiwa beserta tabung anak panahnya yang tak pernah habis dikembalikan kepada Baruna, sebab tugas Nara sebagai Arjuna sudah berakhir di zaman Dwaparayuga tersebut. Dengan berat hati, Arjuna melemparkan senjata saktinya ke lautan, ke kediaman Baruna. Setelah itu, Agni lenyap dari hadapannya dan para Pandawa melanjutkan perjalanannya.
Ketika para Pandawa serta istrinya memilih untuk mendaki gunung Himalaya sebagai tujuan akhir perjalanan mereka, Arjuna gugur di tengah perjalanan setelah kematian Nakula, Sahadewa, dan Dropadi.
Di Nusantara, tokoh Arjuna juga dikenal dan sudah terkenal dari dahulu kala. Arjuna terutama menjadi populer di daerah Jawa, Bali, Madura, dan Lombok. Di Jawa dan kemudian di Bali, Arjuna menjadi tokoh utama dalam beberapa kakawin, seperti misalnya Kakawin Arjunawiwāha, Kakawin Pārthayajña, dan Kakawin Pārthāyana (juga dikenal dengan nama Kakawin Subhadrawiwāha. Selain itu Arjuna juga didapatkan dalam beberapa relief candi di pulau Jawa misalkan candi Surowono.
Arjuna juga merupakan seorang tokoh ternama dalam dunia pewayangan dalam budaya Jawa Baru. Di bawah ini disajikan beberapa ciri khas yang mungkin berbeda dengan ciri khas Arjuna dalam kitab Mahābhārata versi India dengan bahasa Sansekerta.
Arjuna seorang kesatria yang gemar berkelana, bertapa dan berguru menuntut ilmu. Selain menjadi murid Resi Drona di Padepokan Sukalima, ia juga menjadi murid Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana. Arjuna pernah menjadi brahmana di Goa Mintaraga, bergelar Bagawan Ciptaning. Ia dijadikan kesatria unggulan para dewa untuk membinasakan Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka. Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kahyangan Dewa Indra, bergelar Prabu Karitin. dan mendapat anugrah pusaka-pusaka sakti dari para dewa, antara lain: Gendewa (dari Bhatara Indra), Panah Ardadadali (dari Bhatara Kuwera), Panah Cundamanik (dari Bhatara Narada).
Arjuna memiliki sifat cerdik dan pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani dan suka melindungi yang lemah. Ia memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Setelah perang Bharatayuddha, Arjuna menjadi raja di Negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata. Akhir riwayat Arjuna diceritakan, ia moksa (mati sempurna) bersama keempat saudaranya yang lain di gunung Himalaya.
Ia adalah petarung tanpa tanding di medan laga, meski bertubuh ramping berparas rupawan sebagaimana seorang dara, berhati lembut meski berkemauan baja, kesatria dengan segudang istri dan kekasih meski mampu melakukan tapa yang paling berat, seorang kesatria dengan kesetiaan terhadap keluarga yang mendalam tapi kemudian mampu memaksa dirinya sendiri untuk membunuh saudara tirinya. Bagi generasi tua Jawa, dia adalah perwujudan lelaki seutuhnya. Sangat berbeda dengan Yudistira, dia sangat menikmati hidup di dunia. Petualangan cintanya senantiasa memukau orang Jawa, tetapi secara aneh dia sepenuhnya berbeda dengan Don Juan yang selalu mengejar wanita. Konon Arjuna begitu halus dan tampan sosoknya sehingga para puteri begitu, juga para dayang, akan segera menawarkan diri mereka. Merekalah yang mendapat kehormatan, bukan Arjuna. Ia sangat berbeda dengan Wrekudara. Dia menampilkan keanggunan tubuh dan kelembutan hati yang begitu dihargai oleh orang Jawa berbagai generasi.
Arjuna juga memiliki pusaka-pusaka sakti lainnya, atara lain: Keris Kiai Kalanadah diberikan pada Gatotkaca saat mempersunting Dewi Pergiwa (putra Arjuna), Panah Sangkali (dari Resi Drona), Panah Candranila, Panah Sirsha, Panah Kiai Sarotama, Panah Pasupati, Panah Naracabala, Panah Ardhadhedhali, Keris Kiai Baruna, Keris Pulanggeni (diberikan pada Abimanyu), Terompet Dewanata, Cupu berisi minyak Jayengkaton (pemberian Bagawan Wilawuk dari pertapaan Pringcendani) dan Kuda Ciptawilaha dengan Cambuk Kiai Pamuk. Sedangkan ajian yang dimiliki Arjuna antara lain: Panglimunan, Tunggengmaya, Sepiangin, Mayabumi, Pengasih dan Asmaragama. Arjuna juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu Kampuh atau Kain Limarsawo, Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung Minangkara, Kalung Candrakanta dan Cincin Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya, raja negara Paranggelung).
Dalam Mahabharata versi pewayangan Jawa, Arjuna mempunyai 15 orang istri dan 14 orang anak. Adapun istri dan anak-anaknya adalah:
1. Dewi Subadra, berputra Raden Abimanyu;
2. Dewi Larasati, berputra Raden Sumitra dan Bratalaras;
3. Dewi Ulupi atau Palupi, berputra Bambang Irawan;
4. Dewi Jimambang, berputra Kumaladewa dan Kumalasakti;
5. Dewi Ratri, berputra Bambang Wijanarka;
6. Dewi Dresanala, berputra Raden Wisanggeni;
7. Dewi Wilutama, berputra Bambang Wilugangga;
8. Dewi Manuhara, berputra Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati;
9. Dewi Supraba, berputra Raden Prabakusuma;
10. Dewi Antakawulan, berputra Bambang Antakadewa;
11. Dewi Juwitaningrat, berputra Bambang Sumbada;
12. Dewi Maheswara;
13. Dewi Retno Kasimpar;
14. Dewi Dyah Sarimaya;
15. Dewi Srikandi.
Dalam wiracarita Mahabharata versi nusantara, Arjuna banyak memiliki nama dan nama julukan, antara lain: Parta (pahlawan perang), Janaka (memiliki banyak istri), Pemadi (tampan), Dananjaya, Kumbaljali, Ciptaning Mintaraga (pendeta suci), Pandusiwi, Indratanaya (putra Batara Indra), Jahnawi (gesit trengginas), Palguna, Indrasuta, Danasmara (perayu ulung) dan Margana (suka menolong). "Begawan Mintaraga" adalah nama yang digunakan oleh Arjuna saat menjalani laku tapa di puncak Indrakila dalam rangka memperoleh senjata sakti dari dewata, yang akan digunakan dalam perang yang tak terhindarkan melawan musuh-musuhnya, yaitu keluarga Korawa.
Nama lain Arjuna di bawah ini merupakan nama lain Arjuna yang sering muncul dalam kitab-kitab Mahabharata atau Bhagawad Gita yang merupakan bagian daripadanya, dalam versi bahasa Sanskerta. Nama-nama lain di bawah ini memiliki makna yang sangat dalam, mengandung pujian, dan untuk menyatakan rasa kekeluargaan (nama-nama yang dicetak tebal dan miring merupakan sepuluh nama Arjuna).
1. Anagha (Anaga, yang tak berdosa)
2. Bhārata (Barata, keturunan Bhārata)
3. Bhārataśreṣṭha (Barata-sresta, keturunan Bhārata yang terbaik)
4. Bhāratasattama (Bharata-satama, keturunan Bhārata yang utama)
5. Bhārataśabhā (Barata-saba, keturunan Bharata yang mulia)
6. Dhanañjaya (perebut kekayaan)*
7. Gandīvi (Gandiwi, pemilik Gandiwa, senjata panahnya)
8. Gudakeśa (penakluk rasa kantuk, yang berambut halus)
9. Jishnu (hebat ketika marah)*
10. Kapidhwaja (yang memakai panji berlambang monyet)
11. Kaunteya / Kuntīputra (putra Dewi Kunti)
12. Kīrti (yang bermahkota indah)*
13. Kurunandana (putra kesayangan dinasti Kuru)
14. Kurupravīra (Kuru-prawira, perwira Kuru, ksatria dinasti Kuru yang terbaik)
15. Kurusattama (Kuru-satama, keturunan dinasti Kuru yang utama)
16. Kuruśṛṣṭha (Kuru-sresta, keturunan dinasti Kuru yang terbaik)
17. Mahābāhu (Maha-bahu, yang berlengan perkasa)
18. Pāṇḍava (Pandawa, putra Pandu)
19. Parantapa (penakluk musuh)*
20. Pārtha (keturunan Partha atau Dewi Kunti)*
21. Phālguna (yang lahir saat bintang Uttara Phalguna muncul)*
22. Puruṣaṛṣabhā (Purusa-rsaba, manusia terbaik)
23. Sawyaśachī (Sawya-saci, yang mampu memanah dengan tangan kanan maupun kiri)*
24. Śwetawāhana (Sweta-wahana, yang memiliki kuda berwarna putih)*
25. Wibhatsu (yang bertarung dengan jujur)*
26. Wijaya (yang selalu memenangkan setiap pertempuran)*
Dikisahkan bahwa Arjuna bertapa karena kesadarannya sebagai ksatriya, dia ingin melakukan dharma kewajibannya di tengah masyarakat. Dia merupakan lambang pemimpin yang sanggup mengorbankan jiwa, raga dan harta bendanya demi negaranya. Dalam tapanya Arjuna diuji apakah tapanya demi ambisi pribadi atau benar-benar demi pengabdian murni.
Tujuh bidadari utusan Bathara Indra dengan kecantikan tak tertandingi menggoda Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakila. Namun demikian oleh karena Arjuna telah berhasil mencapai keteguhan hati, maka ia tidak terganggu oleh godaan para bidadari jelita tersebut.
Selanjutnya Bathara Indra sendiri yang menguji apakah Arjuna benar-benar seorang ksatria yang penuh keyakinan, ataukah seseorang ‘resi’ yang melarikan diri dari keduniawian. Bathara Indra menyamar sebagai seorang resi tua yang memperolok dan menggugah rasa kesatriaan Arjuna. Ia muncul dalam bentuk seorang resi yg menghardik Arjuna, bahwa dengan segala tapa bratanya Arjuna belum mencapai kesempurnaan, karena sebetulnya Arjuna hanya mengejar pembebasan dirinya sendiri, ‘ego-spiritualis’. Dengan teguh Arjuna menjawab, bahwa tujuannya bukanlah untuk keselamatan diri, juga bukan untuk kepentingan keluarga Pandawa, melainkan untuk menyelamatkan kebenaran dalam peperangan akhir antara dharma melawan adharma. Demi dharmanya itu Arjuna berani menghadapi apa saja, bahkan kematian sekalipun akan dihadapinya.
Resi tua tersebut kembali wujudnya sebagai Bathara Indra. Bathara Indra berbahagia, karena telah menemukan seorang ksatria berbudi luhur yang akan mampu menghadapi Niwatakawaca, Raksasa Angkara Murka yang mengancam Kahyangan, Istana para Dewa.
Ujian berikutnya adalah Mamang Murka, raksasa utusan Prabu Niwatakawaca yang berwujud babi hutan raksasa yang menyerangnya dengan ganas. Akhirnya babi hutan tersebut mati dipanah oleh Arjuna. Persoalan timbul, karena babi hutan tersebut mati karena dua buah anak panah. Ternyata ada seorang ksatriya yang juga membidikkan anak panah ke babi hutan tersebut. Sudah selayaknya, Arjuna yang bertarung keras, berperang tanding penuh luka dengan babi hutan, dan akhirnya berhasil membunuh mati hewan tersebut, merasa lebih berjasa dari pada seorang ksatriya asing tanpa perkelahian sebelumnya yang langsung memanah babi hutan tersebut.
Sang Ksatriya mengajak berperang tanding, mengadu kesaktian. Akan tetapi, bagi Arjuna, nama bukan menjadi masalah, siapapun yang mendapatkan nama dan berhak mendapat karunia bukan menjadi pertimbangan Arjuna. “Wahai Ksatria, kalau kamu merasa berhak sebagai pembunuh Mamang Murka, dan mau melaporkan ke Kahyangan silakan. Bagiku, ada adharma yang mati sudah memadai, itu bentuk kasihku terhadap kebenaran”. Arjuna ingat nasehat Sang Guru Sejati: “Kasih tidak mengharapkan imbalan. Kasih itu sendiri adalah imbalan. Kebahagiaan yang kau peroleh saat mengasihi itulah imbalan kasih”. *SMS Wisdom Anand Krishna
Sang Ksatriya merasa dipermalukan dengan pernyataan Arjuna yang menohok kecongkakannya, dan menyerang Arjuna sehingga terjadilah perang tanding yang luar biasa. Akhirnya baju perang Arjuna hancur, akan tetapi Arjuna berhasil mendekap kedua kaki musuhnya, sehingga musuhnya terjatuh dan perkelahian terhenti. Tiba-tiba ksatriya tersebut berubah wujudnya menjadi Bathara Guru.
Bathara Guru sangat terkesan atas kerendahan hati Sang Arjuna. Arjuna telah lulus ujian akhir dan oleh Bathara Guru, Kuasa Pengajar Sejati, diberi hadiah seperangkat senjata panah bernama Pasopati. Pashu, Pasu adalah hewan, sehingga Pasopati adalah Raja Hewan, julukan bagi Bathara Guru. Pasopati adalah senjata andalan untuk menaklukkan sifat kehewanan dalam diri. Senjata bagi mereka yang sudah ‘sadar’ akan adanya hewan di dalam diri dan mampu menaklukkannya.
Jauh berbeda dengan Arjuna, pembawaan Sang Prabu Niwatakawaca sebagai raksasa sakti penuh dengan hawa napsu keangkara-murkaan. Dalam keangkuhan dan kesombongan dirinya Sang Raksasa berniat untuk menghancurkan kahyangan dan menundukkan para dewa. Seseorang yang merasa sangat berkuasa, segala kehendaknya harus terpenuhi, sebetulnya dia tengah melawan kahyangan, pusatnya kekuasaan suci yang berada di hati nurani. Walaupun orangnya mungkin sopan dan lemah lembut, apabila bertindak meninggalkan hati nurani, oleh leluhur kita digambarkan sebagai Raja Raksasa yang melawan kahyangan, pusatnya kekuasaan sejati yang bersemayam dalam hati nurani.
Prabu Niwatakawaca dianugerahi kesaktian dan tidak akan mati di tangan Dewa dan Raksasa. ‘Mind’, ego yang serakah tidak dapat ditundukkan dengan kebaikan dan ancaman dari ego individu lainnya. Yang dapat mengalahkannya hanya Sang Arjuna yang suka bertapa, mengendalikan diri dan mempunyai senjata penakluk kehewanan diri yang sakti. Hanya pengendalian diri, kesabaran dan pemahaman tentang sifat kehewanan diri yang dapat mengalahkan ‘mind’, ego yang serakah dan penuh kecongkakan.
Sang Niwatakawaca adalah makhluk pashu yang pasha, terikat oleh maya, ilusi dunia. Dalam keangkaramurkaannya ia ingin menghancurkan kahyangan, menundukan Bhatara Indra, Kuasa Kebenaran dan merebut Dewi Suprabha, Cahaya Ilahi. Rajas, keangkaramurkaan napsu dan tamas, kegelapan batin yang menyelimuti jiwanya gagal untuk memperoleh Suprabha, Cahaya Ilahi.
Bagaimanapun, Prabu Niwatakawaca tidak tahan terhadap bujuk rayu Dewi Suprabha, sehingga terpancinglah keluar rahasia kelemahan dirinya yang terdapat di ujung lidahnya. Bagaimana pun cahaya ilahi tetap berusaha untuk mencari kelemahan ‘mind’, ego yang serakah. Dan akhirnya ketahuan juga bahwa kelemahan Raksasa ‘Mind’ Niwatakawaca adalah di ujung lidahnya.
Rasa makanan sudah terbentuk di lidah. Lidah yang hanya selalu makan yang enak saja, akan sulit menerima rasa makanan yang kurang enak. Keterikatan paling nyata bagi manusia dewasa adalah selera makanan. Orang dewasa yang terbiasa makan nasi gudeg yang manis akan sulit menerima masakan India yang penuh rempah-rempah. Lain halnya dengan anak kecil yang keterikatannya terhadap pola tertentu belum addiktif. Kesadaran tentang keterikatan lidah, bisa berkembang terhadap keterikatan duniawi lainnya. Hanya Arjuna, pikiran jernih yang bisa mengendalikan diri dan sabar dalam menghadapi semua permasalahan hidup dapat mematikan ‘mind’, yang dalam hal ini dimulai dari pemahaman tentang keterikatan terhadap lidah.
Dalam hal pembicaraan yang menggunakan mulut dan lidah, ‘mind’ dapat terbentur-bentur ketika lidahnya sering menyakiti orang banyak. Kesadaran bahwa lidah dapat membuat banyak masalah, membuat pikiran jernih muncul untuk mengendalikan lidah. Dan ‘mind’ pun dapat dikalahkan.
Dengan bantuan Dewi Suprabha, maka Arjuna dapat mengetahui kelemahan Prabu Niwatakawaca yaitu dilidahnya. Dalam perang tanding, Arjuna sengaja jatuh berguling-guling yang membuat Prabu Niwatakawaca tertawa terbahak-bahak. Pada waktu kegirangan tersebut, lidahnya nampak dan segera dieksekusi dengan anak panah Pasopati oleh Arjuna.
Selanjutnya, Arjuna kembali ke kahyangan untuk merayakan kemenangannya melawan Prabu Niwatakawaca. Arjuna pun menerima karunia untuk melaksanakan wiwaha, pernikahan dengan ketujuh bidadari termasuk Dewi Suprabha yang pernah menggodanya pada waktu dia bertapa. Setelah berada di kahyangan selama tujuh purnama, kembalilah Arjuna ke alam Ngarcapada untuk berkumpul dengan saudara-saudaranya.
Arjuna, Arjun or Arjunaa (Sanskrit: अर्जुन, arjuna) is one of the heroes of the Hindu epic Mahābhārata. Arjuna, whose name means 'bright', 'shining', 'white' or 'silver' (cf. Latin argentum), was such a peerless archer that he is often referred to as Jishnu - the undefeatable. The third of the five Pandava brothers, Arjuna was one of the children borne by Kunti, the first wife of Pandu. Arjuna is considered to be an incarnation of Nara, the younger brother of Narayana.He is sometimes referred to as the 'fourth Krishna' of the Mahabharata. One of his most important roles was as the dear friend and brother-in-law of Lord Krishna, from whom he heard the Bhagavad Gita.
Arjuna was a master archer and played a central role in the conflict between the Pandavas and their adversaries, the sons of Dhritarashtra known as the Kauravas. Arjuna was reluctant to take part in battle because of the slaughter he knew he would cause in the enemy ranks, which included many of his own relatives. He was persuaded by his charioteer and close friend, Lord Krishna, to change his mind. Their dialogue about issues involved in war—courage, a warrior’s duty, the nature of human life and the soul, and the role of Gods—forms the subject of the Bhagavad Gita, one of the key episodes in the epic Mahābhārata. He also played the key role in killing Karna, his arch-rival, in reality an unknown brother, on the side of the Kauravas. He bears an additional eleven names: Kounteya, Phalguna, Jishnu, Kireeti, Shwetavaahana, Bheebhatsu, Vijaya, Pārtha, Savyasaachi, Dhananjaya and Dhanvi.
Pandu was unable to sire a child. His first wife Kunti had, in her maiden days, received a boon from sage Durvasa, which enabled her to invoke any deity of her choice and beget a child by such deity. Pandu and Kunti decided to make use of this boon; Kunti invoked in turn Dharma, Vayu and Indra and gave birth to three sons. Arjuna was the third son, born of Indra, king of the demigods (devas).
The son of Indra, Arjuna is said to have been well-built and extremely handsome; he married four times, as detailed here. Arjuna was also true and loyal to his friends, among others the great warrior Satyaki and his cousin and brother-in-law, Sri Krishna. He was also sensitive and thoughtful, as demonstrated by his misgivings about the Kurukshetra war, which caused Sri Krishna to impart the Gita to him. His sense of duty was acute; he once chose to go into exile rather than refuse to help a brahmin subject.
It is as a warrior that Arjuna is best known. The foundation for his career as a warrior was laid young; Arjuna learned everything that his guru Dronacharya could teach him, attaining the status of "Maharathi" or outstanding warrior. A well known story about Arjuna exemplifies his powers of concentration. Guru Dronacharya once decided to test his students in their skill of archery. He hung a wooden bird from the branch of a tree and then summoned his students. He asked the first one to aim for the bird's eye but not shoot just yet. He then asked the student what the student could see. The student replied that he could see the garden, the tree, flowers, etc. Drona asked him to step aside and not shoot. He repeated the same process with a few other students. When it was Arjuna's turn, Arjuna told his Guru that the only thing he could see was the bird's eye. This satisfied the Guru and he allowed Arjuna to shoot the bird. The lesson here is the power of focus. Arjuna once noticed his brother, Bhima, who was a voracious eater, eating in the dark as though it was daylight, and realized that if he could practice archery in the dark he would be a master. This skill proves to be instrumental while slaying of Jayadratha during Kurukshetra war.
His skill in archery was to have an unlikely utility; it won him the hand of Draupadi, his first wife, the daughter of Drupada, king of Panchala. Drupada held a contest to choose a suitable match for his daughter. A wooden fish was suspended high above a reflective pool of oil; furthermore, the fish rotated. Contestants were required to string a heavy bow and then hit the eye of the rotating fish, but were allowed to aim only by looking at the fish's reflection in the pool of oil. Many princes and noblemen vied for the hand of the princess of Panchala. Although the Pandavas and their mother were in hiding at that time, Arjuna had dressed as a high-caste snaataka Brahmin and was allowed to compete. It was Arjuna, the peerless archer, who alone was able to accomplish the set task.
All the five Pandava brothers had attended the tournament without informing Kunti, their mother. They returned home in triumph, bringing the princess Draupadi with them. From outside the house, they called out: "Mother, you will never believe what we have got here! Make a guess!" Busy with her work, Kunti refused to be baited. "Whatever it is, share it between yourselves equally, and do not quarrel over the matter," she said. So seriously did the brothers take even this casual statement of their mother, that they resolved upon making Draupadi their common wife. It says something about the magnanimity of Arjuna that, having won his bride single-handedly, he 'shared' her with all his brothers willingly. Despite marrying all five brothers, Draupadi loved Arjuna the most and always favoured him, and he preferred her of all his wives.
Legend has it that Draupadi had requested of god Shiva, in a previous life, that she would have a husband with five desirable husbandly traits in this one. Despite being warned by Lord Shiva that this wasn't possible she insisted and the result was the separate embodiment of each of the five qualities in the five Pandava brothers. Initially Draupadi's parents didn't agree to her marriage to all the Pandavas, but when he was told of this boon, King Drupada agreed.
The brothers agreed upon a protocol governing their relations with Draupadi, their common wife. No brother would disturb the couple when another brother was alone with Draupadi; the penalty for doing so was exile for a year. Once, when the Pandavas were still ruling over a prosperous Indraprastha, a brahmin came in great agitation to Arjuna and sought his help: a pack of cattle-thieves had seized his herd and only Arjuna could retrieve them. Arjuna was in a dilemma: his weaponry was in the room where Draupadi and Yudhishthira were alone together, and disturbing them would incur the penalty agreed upon. Arjuna hesitated for but a moment; in his mind, coming to the aid of his subject in distress, especially a brahmin, was the raison d'etre of a prince. The prospect of exile did not deter him from fulfilling the duty of aiding the brahmin; he disturbed the conjugal couple, took up his weaponry and rode forth to subdue the cattle-thieves. Upon finishing that task, he insisted, in the teeth of opposition from his entire family, including the two people whom he had disturbed, upon going away on exile.
However the authenticity of Arjun's claim to go on "exile" is debatable. When he was in Manipur, Ulupi asks him to begot a child. Arjuna refuses at first, but then Ulupi explains him that meaning of the exile is with respect to Draupadi and not absolute. So, as long as he stays away from Draupadi, his vow would not be falsified. Arjuna agrees with her. This episode is in contrast with Bheeshma. During this 12 month period, he visited numerous neighboring kingdoms and entered into marital alliances with the respective princesses, in order to strengthen the Pandavas' support-base, especially in view of the Rajasyu Yagya planned by Yudishthira. Some scholars view the "exile" as a scheme to throw the major rivals of the Pandavas, including their cousins the Kauravs, off-track.
Altogether, Arjun is mentioned to have no less than 42 "wives". However, he accorded importance to only a handful of them, as enumerated in the following section.
Arjuna had more than forty main wives and hundreds others in course of his adventures. Chief wives which played some role in the epic are listed
Draupadi: The most notable wife of Arjuna, she was wed to him following a swayamvar - a practice where a woman is allowed to choose her life mate by placing a garland on his neck. After marrying Draupadi, the [pandavas] who were disguised as brahmans came home - which at that time was in a forest and told their mother Kunti that their brother had got 'bhiksha' (donations to a brahmin). Kunti, without seeing what they had got, told them to divide the bhiksha between the brothers. She felt sorry after realizing that the pandavas actually meant that Arjuna had got a daughter-in-law for her. Since a mother's wish could not be rejected, all the five pandavas were wondering what could be done - as it was not common for one wife to be shared by five men. In the meanwhile, Lord Sri Krishna came and he made Draupadi remember her wish which she asked from Mahadeva (Lord Shiva). Draupadi wanted a man who would be strong, could protect her from evil, was good in making wise decisions, attractive and also tolerant and resilient. Krishna told Draupadi that she could not refuse Mahadeva's gift that was bestowed upon her. She had a strong husband in Bheema, a protector in Arjuna, a wise man in Yudhishthira, an attractive man as Nakula and a resilient man as Sahadeva. Hence Arjun's wife Draupadi then became the wife of all pandavas. Panchali means lady from kingdom of Panchala.
Chitrāngadā: Arjuna traveled the length and breadth of India during his term of exile. His wanderings took him to ancient Manipur in the eastern Himalayas, an almost mystic kingdom renowned for its natural beauty. Here he met the gentle Chitrāngadā, daughter of the king of Manipura, and was moved to seek her hand in marriage. Her father the king demurred on the plea that, according to the matrilineal customs of his people, the children born of Chitrāngadā were heirs to Manipur; he could not allow his heirs to be taken away from Manipur by their father. Arjuna agreed to the stipulation that he would take away neither his wife Chitrāngadā nor any children borne by her from Manipur. A son, whom they named Babruvāhana, was soon born to the happy couple and thus became the heir to his grandfather's kingdom.
Ulupi: While Arjuna was in Manipur, Ulupi, a Naga princess of noble character, became infatuated with him. She drugged him and abducted him to her realm in the netherworld that he might become her husband, but later restored Arjuna to the lamenting Chitrāngadā. Uloopi played a very major part in the upbringing of Babruvāhana and had much influence with him; he allowed her to restore Arjuna to life after he was slain in battle by Babruvāhana. One son was born to them and was named Iravan. Iravan died in the Kurukshetra War.
Subhadrā: Arjuna decided to spend the last portion of his term of exile in an orchard near Dwaraka, the residence of his cousins Balarama, Krishna and Subhadrā, who were the children of his maternal uncle Vasudeva. He and Subhadrā fell in love with each other, aided by Krishna, who loved both Arjuna and Subhadrā. Knowing that the entire family would view with disfavour the prospect of Subhadrā becoming the fourth wife of her cousin Arjuna, Krishna facilitated the elopement of the couple and their departure for Indraprastha. On Krishna's advice, Subhadrā drove the chariot from Dwaraka to Indraprastha. Krishna used this fact to persuade his family that Arjuna had not abducted Subhadrā, but rather the reverse: she had kidnapped him.
A single son, Abhimanyu, was born to Arjuna and Subhadra. Parikshita, son of Abhimanyu and Uttarā, born after Abhimanyu was killed in the battlefield, was the sole surviving dynast of the Kuru clan, and succeeded Yudhistra as the emperor of the Pandava kingdom.
Shortly after his return to Indraprastha, Arjuna visited the Khandava forest with Krishna. They encountered Agni, the fire-god, who was ill from consuming ghee as one king had performed many 'yagnas' (ritual invocations with fire), thus feeding ghee to Agni. He asked Arjuna and Krishna's help in consuming the forest in its entirety to restore him to health. Takshaka the serpent-king (it was due to this fire that the serpent king fled from there and took refuge with Karna and told him that he can use him at the tip of his arrow when fighting with Arjuna) a friend of Indra's, resided there and Indra thus causes rain whenever Agni tries to burn his friend's home. Arjuna told Agni that he must possess a powerful unbreakable bow to withstand the power of Indra's astras. Agni invoked Varuna, and gave Arjuna the Gāndeeva, an incredibly powerful bow, which gave its user sure victory in battle and a divine chariot, with powerful white horses that do not tire and cannot be wounded by normal weapons.
Arjuna tells Agni to proceed, and fights a duel with his father which lasted several days and nights. A voice from the sky proclaims Arjuna and Krishna the victors, and tells Indra to withdraw.
In the burning of the forest, Arjuna spared one Asura, named Maya, who was a gifted architect. In his gratitude, Maya built Yudhishtra a magnificent royal hall, unparalleled in the world. It is this hall, which triggers the pinnacle of Duryodhana's envy, causing the game of dice to be played.
After Arjuna's return to Indraprastha, several crucial incidents described in the Mahābhārata took place, culminating in the exile of all the five Pandava brothers and of their common wife Draupadi. Arjuna's training during this period is particularly significant in the war to come.
Pashupata: During the fifth year of their exile, Arjuna leaves the others and proceeds to the Himalayas to do tapas to Lord Shiva, to obtain the Pashupata, Shiva's personal astra (i.e. "weapon"), one so powerful as to lack any counter-astra. Shiva, pleased with his penance, decides to test him further. He causes an asura in the shape of a wild boar to disturb Arjuna's penance. Incensed at the boar, Arjuna chases it, and shoots an arrow at it to kill. At the same instant, another arrow from the bow of a rude hunter (Shiva) also hits the boar. The hunter and Arjuna argue about whose arrow killed the boar. This leads to an intense duel between the two. The hunter deprives Arjuna of all his weapons. Arjuna, ashamed at this defeat, turns to the Shivalinga that he has been worshiping during his penance, and offers it some flowers in prayer, only to find that the flowers have magically appeared on the body of the hunter instead. Arjuna realizes the hunter's identity, and falls at Shiva's feet. Shiva grants him knowledge of the Pasupata.
After obtaining this astra, he proceeded to Indraloka (heaven), spending time with his mythological father Indra, and acquiring further training from the devas. He destroys the Nivatakavachas and Kalakeyas - two powerful asura clans that resided in the skies, and menaced the gods. The clans had obtained boons from Brahma as to be undefeatable by gods. Arjuna, being a mortal man, could destroy them with his training.
Urvashi's curse: While in Indraloka, Arjuna was propositioned by the apsara (celestial danseuse) Urvashi. Urvashi had once been married to a king named Pururavas, and had borne a son named Ayus from that liaison; Ayus was a distant forebear of Arjuna, hence he regarded Urvashi as a mother. Arjuna reminded Urvashi of this connection while rejecting her advances. Urvashi got annoyed at this rejection, saying Arjuna has insulted her by spurning her advances. Urvashi rebuked Arjuna and told him that a danseuse is not concerned with earthly relations of any sort. Yet Arjuna could not overcome his scruples; "I am a child in front of you," he said. Chagrined at this response, Urvashi cursed Arjuna with impotence. Later, at Indra's behest she modified her curse to last only one year, and Arjuna could choose any one year of his life during which to suffer the life of a eunuch. This curse proved fortuitous; Arjuna used it as a very effective disguise for the period of one year when he, his brothers and Draupadi all lived incognito while in exile.
After spending 12 years in the forest, the Pandavas spent the thirteenth year of exile incognito, as stipulated by their agreement with the Kauravas, in disguise at the court of King Virāta. Arjuna made use of the curse put on him by the apsara Urvashi and chose this year in which to live the life of a eunuch. He assumed the name Brihannala. At the end of one year, Arjuna single-handedly defeated a Kaurava army that had invaded Virāta's kingdom. In appreciation of this valour, and being appraised of the true identity of the Pandavas, King Virāta offered Arjuna his daughter in marriage. Arjuna demurred on grounds of age as well as that Uttarā was like a daughter to him, owing to his having been (as a eunuch) her tutor in song and dance. He proposed that Uttarā should marry his young son Abhimanyu. This wedding duly took place; the posthumous son born of that union Parikshit was destined to be the sole surviving dynast of the entire Kuru clan.
In addition to the guidance of and personal attention from Krishna, Arjuna had the support of Hanuman during the great battle of Kurukshetra.
Arjuna entered the battlefield with the flag of Hanuman on his chariot. This came about when Hanuman appeared as a small talking monkey before Arjuna at Rameshwaram, where Sri Rama had built the great bridge to cross over to Lanka to rescue Sita. Upon Arjuna's wondering out aloud at Sri Rama's taking the help of "monkeys" rather than building a bridge of arrows, Hanuman (in the form of the little monkey) challenged him to build one capable of bearing him alone. Unaware of the monkey's true identity, Arjuna accepted the challenge. Hanuman then destroyed all Arjuna's bridges, who then decided to take his own life. Vishnu appeared before them both, chiding Arjuna for his vanity, and Hanuman for making the accomplished warrior Arjuna feel incompetent. As an act of 'penitence', Hanuman agreed to help Arjuna by stabilizing and strengthening his chariot during the upcoming great battle.
Krishna's elder step brother, Balarama, ruler of Dwaraka, remained neutral, as both Kauravas and Pandavas are kinsmen of the Yadavas. Krishna became Arjuna's personal charioteer during the 18-day war and protects Arjuna upon numerous occasions from injury and death. The term "Charioteer" in connection to Krishna is interpreted as "One who guides" or "One who shows the way"; apart from protecting Arjuna from all mishap, Krishna also showed Arjuna the righteous way by revealing the Bhagavad Gita to him in the hours preceding the battle.
As the two armies fell into battle-formation and faced each other on the battlefield, Arjuna's heart grew heavy. He saw arrayed before him his own kinsfolk: the elders of his clan on whose knees he had once been dandled as a child, the very guru Dronacharya who first taught him to wield the bow all those decades ago. Will it be worthwhile, he asked himself, to annihilate his own kindred for the sake of a kingdom? Arjuna falters as the war is about to begin; he resorts to Krishna for guidance.
It is at this juncture that Lord Krishna reveals the Bhagavad Gita to Arjuna. In it, Krishna deems it Arjuna's duty to struggle to uphold righteousness, without consideration of personal loss, consequence or reward; the discharge of one's moral duty, he says, supersedes all other pursuits, both spiritual and material, in life.
The Bhagavad Gita is a record of the conversation between Lord Krishna and Arjuna. The relationship between Arjuna and Krishna is representative of what is ideal for all mankind: Man guided by God. The Bhagavad Gita records the Lord comforting and guiding a mortal who is facing a terrible moral crisis, and is an important scripture in Hinduism.
The Mahabharata mentioned Arjuna made many journeys. After completing his education in military science from preceptor Drona, Arjuna set forth to north and north west, to proclaim his skills as the greatest bowman in the world. (MBh 1.141). He defeated King Vipula and King Sumitra of Sauvira and a Yavana (Indo-Greek) king in these expeditions.
Arjuna reached the source of river Ganga traveled along the Gangatic plain to reach the eastern ocean near Vanga and Kalinga, then traveled south along the coast and back up the western shore to Prabhasa near Dwaraka where he fell in love with Subhadra, the sister of Vasudeva Krishna. At the source of the Ganga he met the Nāga princess Ulupi. At Manipura, he met princess Chitrangata. He beget a son named Iravat upon Ulupi and another son named Vabhruvahana upon Chitrangata. Subhadra's son Abhimanyu was Arjuna's most dearest son.
Arjuna mounted a military expedition to collect tribute from northern kings for the Rajasuya sacrifice of King Yudhisthira, his elder brother. On this expedition, he allied with the powerful king Bhagadatta, a former friend of Arjuna's father Pandu. He subjugated many kings like Vrihanta of Uluka kingdom, Modapura, Vamadeva, Sudaman, Susankula, the Northern Ulukas. He camped at Devaprastha, the city of Senavindu after defeating it. He then defeated king Viswagaswa and Paurava. He then marched against the seven tribes of Utsava sanketa. He defeated the kingdom of Kashmira and king Lohita. Then Trigartas attacked him with their allies. Arjuna defeated them. (This could have turned them to enemies who would later revenge upon Arjuna during Kurukshetra War. Arjuna went far north west to attack the city of Simhapura (a Kamboja city). He defeated Kambojas and Lohas and their allies. (This later resulted in Kamboja's turning against Arjuna during Kurukshetra War. Arjuna then followed the route along Sindhu river leading to Tibet. He defeated the northern Rishikas and Kimpurushas under king Durmaputra and Harataka a kingdom of Yakshas (Guhakas). He subjugated them by diplomacy. He later reached the Manasa lake surrounded by Gandharva hamlets and defeated all of them. He then entered the northern Harivarsha (Uttara Kuru Kingdom). Arjuna was asked to return from this place since there cannot be war there.
During the time of Pandava exile into woods, Arjuna left his other brothers and embarked on a journey to the Himalayas to meditate upon lord Siva. He obtained celestial weapons from Siva. From there he was taken by Indra into the domains of Devas (assumed to be in Tibet, beyond the Yaksha and Gandharva territories surrounding Kailas range and Manasa lake). He took part in several wars that took place in this region between Devas and a group of Asuras called Nivatakavachas. Arjuna is mentioned as helping Devas to fight against the Nivatakavachas (who dwells near the sea). A lengthy passage (Mbh 3. 166 to 3. 173) mentions how Arjuna went into the wonderful cities in the enemy territory and raided an Asura city named Hiranyapura, destroying it.
After the Kurukshetra War, Arjuna set for yet another expedition, for collecting tribute for king Yudhisthira's Ashwamedha sacrifice (MBh 14.82 to 14.87).
Thus fortified in his belief of the righteousness of his chosen course of action, Arjuna takes up arms and essays an important role in the winning of the war by the Pandavas.
Just before the Kurukshetra war, Lord Sri Krishna was concerned about Arjuna, as Karna at that time possessed the Shakti astra, procured from Lord Indra, in return for Karna's kavach, which could be fatal to Arjuna. He walks over to Arjuna and tells him to pray to Goddess Durga to protect him. Following a short tapasya (worship), Goddess Durga appears before Arjuna and blesses him and tells him that he would be safe in the Kurukshetra war. Lord Krishna also tells Arjuna that it was a blessing that Karna would not fight against him as Bheeshma had promised to become the chief of the Kaurava army on the condition that Karna would not fight. However, Karna does fight in the Kurukshetra war against Arjuna.
Arjuna killed his maternal brother Karna, another formidable warrior who was fighting in aid of the Kauravas against the Pandavas, not realizing their relationship.
Karna and Arjuna form a terrible rivalry when Karna sought to revenge himself upon Arjuna's guru and the princely order for his humiliation. Arjuna is further provoked when Karna insulted him and Draupadi and has an indirect role in the murder of Arjuna's son Abhimanyu in battle. They both bring this terrible and personal rivalry to a climactic battle of terrifying proportions. For a long, long time, powerful weapons are discharged by the two warriors at terrifying pace without relent. The prowess and courage of both is marveled by the millions of other soldiers. Karna however promised his mother Kunti that only one out of Arjuna and him would remain alive because killing Arjuna was the ultimate aim of his life.
During the battle, Karna defeats Yudhishthira and he leaves the battlefield. Arjuna then goes to face Karna who has already lost the infallible dart of Indra. A fierce duel takes place between the two brothers. They fight with diverse kinds of weapons including divyastras. At this point, neither of them seems to hold an upper-hand in the battle. Seeing that Arjuna cannot be defeated by means of ordinary weapons or common divyastras, Karna uses his snake arrow. A snake Aswasena, whose mother was killed by Arjuna years ago, enters the weapon and makes it infallible. Karna is unaware of Aswasena entering the arrow. Lord Krishna saves his friend and devotee Arjuna at this crucial juncture. Karna doesn't want to slay Arjuna by means of Aswasena's might. So, he refuses to fire the same weapon again. So, Aswasena tries to slay Arjuna by the same weapon himself, but Arjuna slays him instead.
After snake-weapon is baffled by Krishna, Karna is left with no superior weapons to counter Arjuna. As a result of a curse, Karna seems to forget the mantras required to invoke the Brahmastra. Due to another curse, his chariot wheel sinks in the battlefield. Both the incidents tilt the balance decisively in favor of Arjuna. However, Karna continues fight with Arjuna. It becomes more and more difficult for Karna to counter Arjuna's arrows as a result of immobile chariot. Arjuna then takes out a divine weapon named Rudra. Karna tries to invoke Brhmastra to counter the weapon but fails to do so. Now Karna descends from the chariot and asks Arjuna to wait for the sake of DHARMA until he can free his chariot from soil. Arjuna stops and takes back the Rudra weapon.
At this, Krishna intervenes and reminds Karna of all his deeds that were against DHARMA. Krishna then asks Arjuna to keep fighting even if Karna was without chariot. However, Karna somehow manages to injure Arjuna, and thus availing the opportunity, starts pulling out his chariot again. Meanwhile, Arjuna again regains his composure. Krishna urges Arjuna to slay Karna, for he had taken a part in slaughter of unarmed and chariot-less Abhimanyu (Arjuna's Son). Arjuna then uses arrow named Anjalika (This is an ordinary broad-headed arrow) to decapitate Karna. Thus, Arjuna slays unarmed and chariot-less Karna to put an end to the war.
Source:
http://en.wikipedia.org/wiki/Arjuna
Hatiku selembar daun....
Bima
Bima
Bima (Sanskerta: भीम, bhīma) atau Bimasena (Sanskerta: भीमसेन, bhīmaséna) adalah seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia dianggap sebagai seorang tokoh heroik. Ia adalah putra Dewi Kunti dan dikenal sebagai tokoh Pandawa yang kuat, bersifat selalu kasar dan menakutkan bagi musuh, walaupun sebenarnya hatinya lembut. Ia merupakan keluarga Pandawa di urutan yang kedua, dari lima bersaudara. Saudara se'ayah'-nya ialah wanara yang terkenal dalam epos Ramayana dan sering dipanggil dengan nama Hanoman. Akhir dari riwayat Bima diceritakan bahwa dia mati sempurna (moksa) bersama ke empat saudaranya setelah akhir perang Bharatayuddha. Cerita ini dikisahkan dalam episode atau lakon Prasthanikaparwa. Bima setia pada satu sikap, yaitu tidak suka berbasa basi dan tak pernah bersikap mendua serta tidak pernah menjilat ludahnya sendiri.
Kata bhīma dalam bahasa Sanskerta artinya kurang lebih adalah "mengerikan". Sedangkan nama lain Bima yaitu Wrekodara, dalam bahasa Sanskerta dieja vṛ(ri)kodara, artinya ialah "perut serigala", dan merujuk ke kegemarannya makan. Nama julukan yang lain adalah Bhimasena yang berarti panglima perang.
Dalam wiracarita Mahabharata diceritakan bahwa karena Pandu tidak dapat membuat keturunan (akibat kutukan dari seorang resi di hutan), maka Kunti (istri Pandu) berseru kepada Bayu, dewa angin. Dari hubungan Kunti dengan Bayu, lahirlah Bima. Atas anugerah dari Bayu, Bima akan menjadi orang yang paling kuat dan penuh dengan kasih sayang.
Pada masa kanak-kanak Pandawa dan Korawa, kekuatan Bima tidak ada tandingannya di antara anak-anak sebayanya. Kekuatan tersebut sering dipakai untuk menjahili para sepupunya, yaitu Korawa. Salah satu Korawa yaitu Duryodana, menjadi sangat benci dengan sikap Bima yang selalu jahil. Kebencian tersebut tumbuh subur sehingga Duryodana berniat untuk membunuh Bima.
Pada suatu hari ketika para Korawa serta Pandawa pergi bertamasya di daerah sungai Gangga, Duryodana menyuguhkan makanan dan minuman kepada Bima, yang sebelumnya telah dicampur dengan racun. Karena Bima tidak senang mencurigai seseorang, ia memakan makanan yang diberikan oleh Duryodana. Tak lama kemudian, Bima pingsan. Lalu tubuhnya diikat kuat-kuat oleh Duryodana dengan menggunakan tanaman menjalar, setelah itu dihanyutkan ke sungai Gangga dengan rakit. Saat rakit yang membawa Bima sampai di tengah sungai, ular-ular yang hidup di sekitar sungai tersebut mematuk badan Bima. Ajaibnya, bisa ular tersebut berubah menjadi penangkal bagi racun yang dimakan Bima. Ketika sadar, Bima langsung melepaskan ikatan tanaman menjalar yang melilit tubuhnya, lalu ia membunuh ular-ular yang menggigit badannya. Beberapa ular menyelamatkan diri untuk menemui rajanya, yaitu Naga Basuki.
Saat Naga Basuki mendengar kabar bahwa putera Pandu yang bernama Bima telah membunuh anak buahnya, ia segera menyambut Bima dan memberinya minuman ilahi. Minuman tersebut diminum beberapa mangkuk oleh Bima, sehingga tubuhnya menjadi sangat kuat. Bima tinggal di istana Naga Basuki selama delapan hari, dan setelah itu ia pulang. Saat Bima pulang, Duryodana kesal karena orang yang dibencinya masih hidup. Ketika para Pandawa menyadari bahwa kebencian dalam hati Duryodana mulai bertunas, mereka mulai berhati-hati.
Pada usia remaja, Bima dan saudara-saudaranya dididik dan dilatih dalam bidang militer oleh Drona. Dalam mempelajari senjata, Bima lebih memusatkan perhatiannya untuk menguasai ilmu menggunakan gada, seperti Duryodana. Mereka berdua menjadi murid Baladewa, yaitu saudara Kresna yang sangat mahir dalam menggunakan senjata gada. Dibandingkan dengan Bima, Baladewa lebih menyayangi Duryodana, dan Duryodana juga setia kepada Baladewa.
Ketika para Bima beserta ibu dan saudara-saudaranya berlibur di Waranawata, ia dan Yudistira sadar bahwa rumah penginapan yang disediakan untuk mereka, telah dirancang untuk membunuh mereka serta ibu mereka. Pesuruh Duryodana, yaitu Purocana, telah membangun rumah tersebut sedemikian rupa dengan bahan seperti lilin sehingga cepat terbakar. Bima hendak segera pergi, namun atas saran Yudistira mereka tinggal di sana selama beberapa bulan.
Pada suatu malam, Kunti mengadakan pesta dan seorang wanita yang dekat dengan Purocana turut hadir di pesta itu bersama dengan kelima orang puteranya. Ketika Purocana beserta wanita dan kelima anaknya tersebut tertidur lelap karena makanan yang disuguhkan oleh Kunti, Bima segera menyuruh agar ibu dan saudara-saudaranya melarikan diri dengan melewati terowongan yang telah dibuat sebelumnya. Kemudian, Bima mulai membakar rumah lilin yang ditinggalkan mereka. Oleh karena ibu dan saudara-saudaranya merasa mengantuk dan lelah, Bima membawa mereka sekaligus dengan kekuatannya yang dahsyat. Kunti digendong di punggungnya, Nakula dan Sadewa berada di pahanya, sedangkan Yudistira dan Arjuna berada di lengannya.
Ketika keluar dari ujung terowongan, Bima dan saudaranya tiba di sungai Gangga. Di sana mereka diantar menyeberangi sungai oleh pesuruh Widura, yaitu menteri Hastinapura yang mengkhwatirkan keadaan mereka. Setelah menyeberangi sungai Gangga, mereka melewati Sidawata sampai Hidimbawana. Dalam perjalanan tersebut, Bima memikul semua saudaranya dan ibunya melewati jarak kurang lebih tujuh puluh dua mil.
Di Hidimbawana, Bima bertemu dengan Hidimbi/arimbi yang jatuh cinta dengannya. Kakak Hidimbi yang bernama Hidimba, menjadi marah karena Hidimbi telah jatuh cinta dengan seseorang yang seharusnya menjadi santapan mereka. Kemudian Bima dan Hidimba berkelahi. Dalam perkelahian tersebut, Bima memenangkan pertarungan dan berhasil membunuh Hidimba dengan tangannya sendiri. Lalu, Bima menikah dengan Hidimbi. Dari perkawinan mereka, lahirlah seorang putera yang diberi nama Gatotkaca. Bima dan keluarganya tinggal selama beberapa bulan bersama dengan Hidimbi dan Gatotkaca, setelah itu mereka melanjutkan perjalanan.
Setelah melewati Hidimbawana, Bima dan saudara-saudaranya beserta ibunya tiba disebuah kota yang bernama Ekacakra. Di sana mereka menumpang di rumah keluarga brahmana. Pada suatu hari ketika Bima dan ibunya sedang sendiri, sementara keempat Pandawa lainnya pergi mengemis, brahmana pemilik rumah memberitahu mereka bahwa seorang raksasa yang bernama Bakasura meneror kota Ekacakra. Atas permohonan penduduk desa, raksasa tersebut berhenti mengganggu kota, namun sebaliknya seluruh penduduk kota diharuskan untuk mempersembahkan makanan yang enak serta seorang manusia setiap minggunya. Kini, keluarga brahmana yang menyediakan tempat tinggal bagi mereka yang mendapat giliran untuk mempersembahkan salah seorang keluarganya. Merasa berhutang budi dengan kebaikan hati keluarga brahmana tersebut, Kunti berkata bahwa ia akan menyerahkan Bima yang nantinya akan membunuh raksasa Baka. Mulanya Yudistira sangsi, namun akhirnya ia setuju.
Pada hari yang telah ditentukan, Bima membawa segerobak makanan ke gua Bakasura. Di sana ia menghabiskan makanan yang seharusnya dipersembahkan kepada sang raksasa. Setelah itu, Bima memanggil-manggil raksasa tersebut untuk berduel dengannya. Bakasura yang merasa dihina, marah lalu menerjang Bima. Seketika terjadilah pertarungan sengit. Setelah pertempuran berlangsung lama, Bima meremukkan tubuh Bakasura seperti memotong sebatang tebu. Lalu ia menyeret tubuh Bakasura sampai di pintu gerbang Ekacakra. Atas pertolongan dari Bima, kota Ekacakra tenang kembali. Ia tinggal di sana selama beberapa lama, sampai akhirnya Pandawa memutuskan untuk pergi ke Kampilya, ibukota Kerajaan Panchala, karena mendengar cerita mengenai Dropadi dari seorang brahmana.
Dalam perang di Kurukshetra, Bima berperan sebagai komandan tentara Pandawa. Ia berperang dengan menggunakan senjata gadanya yang sangat mengerikan.
Pada hari terakhir Bharatayuddha, Bima berkelahi melawan Duryodana dengan menggunakan senjata gada. Pertarungan berlangsung dengan sengit dan lama, sampai akhirnya Kresna mengingatkan Bima bahwa ia telah bersumpah akan mematahkan paha Duryodana. Seketika Bima mengayunkan gadanya ke arah paha Duryodana. Setelah pahanya diremukkan, Duryodana jatuh ke tanah, dan beberapa lama kemudian ia mati.
Bima adalah seorang tokoh yang populer dalam khazanah pewayangan Jawa. Suatu saat mantan presiden Indonesia, Ir. Soekarno pernah menyatakan bahwa ia sangat senang dan mengidentifikasikan dirinya mirip dengan karakter Bima.
Bima memiliki sifat gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur, serta menganggap semua orang sama derajatnya, sehingga dia digambarkan tidak pernah menggunakan bahasa halus (krama inggil) atau pun duduk di depan lawan bicaranya. Bima melakukan kedua hal ini (bicara dengan bahasa krama inggil dan duduk) hanya ketika menjadi seorang resi dalam lakon Bima Suci, dan ketika dia bertemu dengan Dewa Ruci. Ia memiliki keistimewaan dan ahli bermain gada, serta memiliki berbagai macam senjata, antara lain: Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta. Sedangkan jenis ajian yang dimilikinya antara lain: Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu, Aji Bayubraja dan Aji Blabak Pangantol-antol.
Bima juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu: Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde Udaraga. Sedangkan beberapa anugerah Dewata yang diterimanya antara lain: Kampuh atau Kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan Pupuk Pudak Jarot Asem.
Bima tinggal di kadipaten Jodipati, wilayah Indraprastha. Ia mempunyai tiga orang isteri dan 3 orang anak, yaitu:
1. Dewi Nagagini, berputera (mempunyai putera bernama) Arya Anantareja,
2. Dewi Arimbi, berputera Raden Gatotkaca dan
3. Dewi Urangayu, berputera Arya Anantasena.
Menurut versi Banyumas, Bima mempunyai satu istri lagi, yaitu Dewi Rekatawati, berputera Srenggini.
Nama lain:
Bratasena
Balawa
Birawa
Dandungwacana
Nagata
Kusumayuda
Kowara
Kusumadilaga
Pandusiwi
Bayusuta
Sena
Wijasena
Jagal Abilowo
In the Mahābhārata, Bhima (Sanskrit: भीम, IAST: Bhīma) was the second of the Pandava brothers. He was son of Kunti by Vayu, but like the other brothers, he was acknowledged son by Pandu . He was distinguished from his brothers by his great stature and strength.
His legendary prowess has been mentioned in glowing terms throughout the epic. Eg: "Of all the wielders of the mace, there is none equal to Bhima; and there is none also who is so skillful a rider of elephants. In fight, they say, he yields not to even Arjuna; and as to might of arms, he is equal to ten thousand elephants. Well-trained and active, he who hath again been rendered bitterly hostile, would in anger consume the Dhartarashtras in no time. Always wrathful, and strong of arms, he is not capable of being subdued in battle by even Indra himself."
He was furious when the game of dice between his brother, King Yudhisthira, and Duryodhana reached its final stages. But when Dushasana attempted to strip Draupadi in the court, he swore that he would kill him one day and drink his blood. During the second exile of the Pandavas, he visited Alakapuri and was blessed by Kubera. At the end of their exile at the court of Virata, he disguised himself and acted as a palace cook.
Although there are several instances of Arjuna and others doubting or questioning the will of Krishna (Draupadi), the portrayal of Bhima's devotion to Krishna (Draupadi or Panchali) is umblemished in the original Mahābhārata.
After the first return of the Pandavas to the Kuru lands, he challenged the king of Magadha, Jarasandha, to a wrestling bout and killed him, thus making it possible for his brothers to take part in the Rajasuya Yajna.
Bhima also embarked on a military expedition to the east as directed by his elder brother Yudhisthira, the king, to collect tribute for the Rajasuya sacrifice. It is believed that Yudhisthira chose Bhima to lead the army to eastern kingdoms because these kingdoms were famous for their strong armies protected by war-elephants and Bhima was an expert in defeating any army consisting of war-elephants with his great skill in mace-fight. In his expedition Bhima defeated using either diplomacy or military might, many kingdoms in the east including the hostile tribes of Panchalas who were enemies of Panchala king Drupada, the Chedis, the Kosalas, Kasis, Mallas, Videhas, Magadhas, Angas and Vangas. In Mahabharata, 2 chapters (MBh 2.28, 2.29), are dedicated to this eastern military expedition of Bhima.
Bhima was a great general in the great battle of Kurukshetra, second in command only to the generalissimo Dhristadyumna, killing six out of the eleven akshauhinis of the other side (Kauravas). Six akshauhinis adds up to the astronomical figure of around 1,705,860 men and 787,320 beasts which is testimony to the portrayal as the character of supreme physical prowess. In the battle, his charioteer was Krishna's son himself. During the battle, the Kauravas were frightened to face his might and sent elephants to fight him. An entire sub-chapter is devoted to describing the "light chat" or banter that he used to maintain with Krishna's son whilst fighting the enemies - yet another glimpse into the power that VedaVyasa invests in Bhima's persona. Bhima's weapon of choice was the mace - in the use of which he was second to none (The 4 greatest mace wielders of that time were reputed to be Bhima, Balarama, Jarasandha and Duryodhana, with there being none to be considered close enough to be named the 5th, so that slot was left unnamed). Amongst the most important personalities that he quelled were Baka (head of a cannibalistic race), Kirmira (Baka's brother), MaNiman (leader of the anger-demons in Kubera's garden), Jarasandha, Dushasana etc. He also defeated mighty Dronacharya by breaking his chariot eight times while Arjuna was trying to find and kill Jayadratha, and initially held his own against Karna; Karna defeated Bhima, but left him alive due to his promise to Kunti. Bhima let Karna eventually leave as he was destined to die at the hands of Arjuna. During the battle, he killed the elephant Ashvatthama, which enabled the Pandavas to spread the falsehood that Ashvatthama, son of Drona, had been killed. At the end of the battle, he also wounded Duryodhana in a duel, after striking him a foul blow below the waist. At this time, Balarama (who was partial to Duryodhana, his disciple) criticised Bhima for the foul blow, but was calmed down by Krishna. Bhima refrained from killing any respectable elders in the Kaurava's side out of respect for their virtue. The only elderly person he killed was the king of Bahlika (Bhishma's paternal uncle) - and he does this because the king of Bahlika asks Bhima to kill him to release him from the sin of fighting for the kauravas (Bahlika had to fight with the kauravas on account of Bhishma, his nephew).
He finished his days with his brothers and Draupadi, on their great and final journey toward Heaven. He was the last to die on the journey, leaving Yudhisthira alone to complete the journey by himself.
Two characters in Hindu mythology are great cooks. One is Bhima and the other is Nala. Bhima is credited with the invention of the famous dish "Aviyal".
While he did possess superhuman strength, he has been portrayed as a man with no lenience for duplicity or tact in many cases - he is portrayed as the only pandava who constantly pointed out the faults of others, even if they were older or much respected. Being highly sensitive, he swayed between extreme emotions of love and hatred. Draupadi is often seen to turn to him to salvage her honor (be it in the case of Duryodhana's defeat or in the case of Kichaka's slaying).
Also, his name is synonymous with anyone who has short-temper or a large appetite. It is said that Bhima's appetite was so huge, that he always had to eat below his means, because there wasn't enough grain in the world at one time. He hence had a very thin waist and hence was called "Vrikodara" or wolf-bellied, because wolves seem to lack a belly even if they are well-fed.
Bhima is also infamous for having sown the seeds of hatred between the two collateral branches of the Kuru family by mercilessly beating up his cousins, almost unto the point of death, during his childhood & adolescence, when they tried to harass the pandavas. Bhima is also condemned for his brutal killing of Dushasana, where he tore open his cousin's chest and drank his blood in deference to his promise to Draupadi who had been insulted by Dushasana. Balarama's curse, that Bhima will be remembered as a crooked warrior, seems to have tarnished his image till this day. However later he reveals to Gandhari that he spat out Dushasan's blood without swallowing it.
Source:
http://en.wikipedia.org/wiki/Bhima
Hatiku selembar daun...
Bima (Sanskerta: भीम, bhīma) atau Bimasena (Sanskerta: भीमसेन, bhīmaséna) adalah seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia dianggap sebagai seorang tokoh heroik. Ia adalah putra Dewi Kunti dan dikenal sebagai tokoh Pandawa yang kuat, bersifat selalu kasar dan menakutkan bagi musuh, walaupun sebenarnya hatinya lembut. Ia merupakan keluarga Pandawa di urutan yang kedua, dari lima bersaudara. Saudara se'ayah'-nya ialah wanara yang terkenal dalam epos Ramayana dan sering dipanggil dengan nama Hanoman. Akhir dari riwayat Bima diceritakan bahwa dia mati sempurna (moksa) bersama ke empat saudaranya setelah akhir perang Bharatayuddha. Cerita ini dikisahkan dalam episode atau lakon Prasthanikaparwa. Bima setia pada satu sikap, yaitu tidak suka berbasa basi dan tak pernah bersikap mendua serta tidak pernah menjilat ludahnya sendiri.
Kata bhīma dalam bahasa Sanskerta artinya kurang lebih adalah "mengerikan". Sedangkan nama lain Bima yaitu Wrekodara, dalam bahasa Sanskerta dieja vṛ(ri)kodara, artinya ialah "perut serigala", dan merujuk ke kegemarannya makan. Nama julukan yang lain adalah Bhimasena yang berarti panglima perang.
Dalam wiracarita Mahabharata diceritakan bahwa karena Pandu tidak dapat membuat keturunan (akibat kutukan dari seorang resi di hutan), maka Kunti (istri Pandu) berseru kepada Bayu, dewa angin. Dari hubungan Kunti dengan Bayu, lahirlah Bima. Atas anugerah dari Bayu, Bima akan menjadi orang yang paling kuat dan penuh dengan kasih sayang.
Pada masa kanak-kanak Pandawa dan Korawa, kekuatan Bima tidak ada tandingannya di antara anak-anak sebayanya. Kekuatan tersebut sering dipakai untuk menjahili para sepupunya, yaitu Korawa. Salah satu Korawa yaitu Duryodana, menjadi sangat benci dengan sikap Bima yang selalu jahil. Kebencian tersebut tumbuh subur sehingga Duryodana berniat untuk membunuh Bima.
Pada suatu hari ketika para Korawa serta Pandawa pergi bertamasya di daerah sungai Gangga, Duryodana menyuguhkan makanan dan minuman kepada Bima, yang sebelumnya telah dicampur dengan racun. Karena Bima tidak senang mencurigai seseorang, ia memakan makanan yang diberikan oleh Duryodana. Tak lama kemudian, Bima pingsan. Lalu tubuhnya diikat kuat-kuat oleh Duryodana dengan menggunakan tanaman menjalar, setelah itu dihanyutkan ke sungai Gangga dengan rakit. Saat rakit yang membawa Bima sampai di tengah sungai, ular-ular yang hidup di sekitar sungai tersebut mematuk badan Bima. Ajaibnya, bisa ular tersebut berubah menjadi penangkal bagi racun yang dimakan Bima. Ketika sadar, Bima langsung melepaskan ikatan tanaman menjalar yang melilit tubuhnya, lalu ia membunuh ular-ular yang menggigit badannya. Beberapa ular menyelamatkan diri untuk menemui rajanya, yaitu Naga Basuki.
Saat Naga Basuki mendengar kabar bahwa putera Pandu yang bernama Bima telah membunuh anak buahnya, ia segera menyambut Bima dan memberinya minuman ilahi. Minuman tersebut diminum beberapa mangkuk oleh Bima, sehingga tubuhnya menjadi sangat kuat. Bima tinggal di istana Naga Basuki selama delapan hari, dan setelah itu ia pulang. Saat Bima pulang, Duryodana kesal karena orang yang dibencinya masih hidup. Ketika para Pandawa menyadari bahwa kebencian dalam hati Duryodana mulai bertunas, mereka mulai berhati-hati.
Pada usia remaja, Bima dan saudara-saudaranya dididik dan dilatih dalam bidang militer oleh Drona. Dalam mempelajari senjata, Bima lebih memusatkan perhatiannya untuk menguasai ilmu menggunakan gada, seperti Duryodana. Mereka berdua menjadi murid Baladewa, yaitu saudara Kresna yang sangat mahir dalam menggunakan senjata gada. Dibandingkan dengan Bima, Baladewa lebih menyayangi Duryodana, dan Duryodana juga setia kepada Baladewa.
Ketika para Bima beserta ibu dan saudara-saudaranya berlibur di Waranawata, ia dan Yudistira sadar bahwa rumah penginapan yang disediakan untuk mereka, telah dirancang untuk membunuh mereka serta ibu mereka. Pesuruh Duryodana, yaitu Purocana, telah membangun rumah tersebut sedemikian rupa dengan bahan seperti lilin sehingga cepat terbakar. Bima hendak segera pergi, namun atas saran Yudistira mereka tinggal di sana selama beberapa bulan.
Pada suatu malam, Kunti mengadakan pesta dan seorang wanita yang dekat dengan Purocana turut hadir di pesta itu bersama dengan kelima orang puteranya. Ketika Purocana beserta wanita dan kelima anaknya tersebut tertidur lelap karena makanan yang disuguhkan oleh Kunti, Bima segera menyuruh agar ibu dan saudara-saudaranya melarikan diri dengan melewati terowongan yang telah dibuat sebelumnya. Kemudian, Bima mulai membakar rumah lilin yang ditinggalkan mereka. Oleh karena ibu dan saudara-saudaranya merasa mengantuk dan lelah, Bima membawa mereka sekaligus dengan kekuatannya yang dahsyat. Kunti digendong di punggungnya, Nakula dan Sadewa berada di pahanya, sedangkan Yudistira dan Arjuna berada di lengannya.
Ketika keluar dari ujung terowongan, Bima dan saudaranya tiba di sungai Gangga. Di sana mereka diantar menyeberangi sungai oleh pesuruh Widura, yaitu menteri Hastinapura yang mengkhwatirkan keadaan mereka. Setelah menyeberangi sungai Gangga, mereka melewati Sidawata sampai Hidimbawana. Dalam perjalanan tersebut, Bima memikul semua saudaranya dan ibunya melewati jarak kurang lebih tujuh puluh dua mil.
Di Hidimbawana, Bima bertemu dengan Hidimbi/arimbi yang jatuh cinta dengannya. Kakak Hidimbi yang bernama Hidimba, menjadi marah karena Hidimbi telah jatuh cinta dengan seseorang yang seharusnya menjadi santapan mereka. Kemudian Bima dan Hidimba berkelahi. Dalam perkelahian tersebut, Bima memenangkan pertarungan dan berhasil membunuh Hidimba dengan tangannya sendiri. Lalu, Bima menikah dengan Hidimbi. Dari perkawinan mereka, lahirlah seorang putera yang diberi nama Gatotkaca. Bima dan keluarganya tinggal selama beberapa bulan bersama dengan Hidimbi dan Gatotkaca, setelah itu mereka melanjutkan perjalanan.
Setelah melewati Hidimbawana, Bima dan saudara-saudaranya beserta ibunya tiba disebuah kota yang bernama Ekacakra. Di sana mereka menumpang di rumah keluarga brahmana. Pada suatu hari ketika Bima dan ibunya sedang sendiri, sementara keempat Pandawa lainnya pergi mengemis, brahmana pemilik rumah memberitahu mereka bahwa seorang raksasa yang bernama Bakasura meneror kota Ekacakra. Atas permohonan penduduk desa, raksasa tersebut berhenti mengganggu kota, namun sebaliknya seluruh penduduk kota diharuskan untuk mempersembahkan makanan yang enak serta seorang manusia setiap minggunya. Kini, keluarga brahmana yang menyediakan tempat tinggal bagi mereka yang mendapat giliran untuk mempersembahkan salah seorang keluarganya. Merasa berhutang budi dengan kebaikan hati keluarga brahmana tersebut, Kunti berkata bahwa ia akan menyerahkan Bima yang nantinya akan membunuh raksasa Baka. Mulanya Yudistira sangsi, namun akhirnya ia setuju.
Pada hari yang telah ditentukan, Bima membawa segerobak makanan ke gua Bakasura. Di sana ia menghabiskan makanan yang seharusnya dipersembahkan kepada sang raksasa. Setelah itu, Bima memanggil-manggil raksasa tersebut untuk berduel dengannya. Bakasura yang merasa dihina, marah lalu menerjang Bima. Seketika terjadilah pertarungan sengit. Setelah pertempuran berlangsung lama, Bima meremukkan tubuh Bakasura seperti memotong sebatang tebu. Lalu ia menyeret tubuh Bakasura sampai di pintu gerbang Ekacakra. Atas pertolongan dari Bima, kota Ekacakra tenang kembali. Ia tinggal di sana selama beberapa lama, sampai akhirnya Pandawa memutuskan untuk pergi ke Kampilya, ibukota Kerajaan Panchala, karena mendengar cerita mengenai Dropadi dari seorang brahmana.
Dalam perang di Kurukshetra, Bima berperan sebagai komandan tentara Pandawa. Ia berperang dengan menggunakan senjata gadanya yang sangat mengerikan.
Pada hari terakhir Bharatayuddha, Bima berkelahi melawan Duryodana dengan menggunakan senjata gada. Pertarungan berlangsung dengan sengit dan lama, sampai akhirnya Kresna mengingatkan Bima bahwa ia telah bersumpah akan mematahkan paha Duryodana. Seketika Bima mengayunkan gadanya ke arah paha Duryodana. Setelah pahanya diremukkan, Duryodana jatuh ke tanah, dan beberapa lama kemudian ia mati.
Bima adalah seorang tokoh yang populer dalam khazanah pewayangan Jawa. Suatu saat mantan presiden Indonesia, Ir. Soekarno pernah menyatakan bahwa ia sangat senang dan mengidentifikasikan dirinya mirip dengan karakter Bima.
Bima memiliki sifat gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur, serta menganggap semua orang sama derajatnya, sehingga dia digambarkan tidak pernah menggunakan bahasa halus (krama inggil) atau pun duduk di depan lawan bicaranya. Bima melakukan kedua hal ini (bicara dengan bahasa krama inggil dan duduk) hanya ketika menjadi seorang resi dalam lakon Bima Suci, dan ketika dia bertemu dengan Dewa Ruci. Ia memiliki keistimewaan dan ahli bermain gada, serta memiliki berbagai macam senjata, antara lain: Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta. Sedangkan jenis ajian yang dimilikinya antara lain: Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu, Aji Bayubraja dan Aji Blabak Pangantol-antol.
Bima juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu: Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde Udaraga. Sedangkan beberapa anugerah Dewata yang diterimanya antara lain: Kampuh atau Kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan Pupuk Pudak Jarot Asem.
Bima tinggal di kadipaten Jodipati, wilayah Indraprastha. Ia mempunyai tiga orang isteri dan 3 orang anak, yaitu:
1. Dewi Nagagini, berputera (mempunyai putera bernama) Arya Anantareja,
2. Dewi Arimbi, berputera Raden Gatotkaca dan
3. Dewi Urangayu, berputera Arya Anantasena.
Menurut versi Banyumas, Bima mempunyai satu istri lagi, yaitu Dewi Rekatawati, berputera Srenggini.
Nama lain:
Bratasena
Balawa
Birawa
Dandungwacana
Nagata
Kusumayuda
Kowara
Kusumadilaga
Pandusiwi
Bayusuta
Sena
Wijasena
Jagal Abilowo
In the Mahābhārata, Bhima (Sanskrit: भीम, IAST: Bhīma) was the second of the Pandava brothers. He was son of Kunti by Vayu, but like the other brothers, he was acknowledged son by Pandu . He was distinguished from his brothers by his great stature and strength.
His legendary prowess has been mentioned in glowing terms throughout the epic. Eg: "Of all the wielders of the mace, there is none equal to Bhima; and there is none also who is so skillful a rider of elephants. In fight, they say, he yields not to even Arjuna; and as to might of arms, he is equal to ten thousand elephants. Well-trained and active, he who hath again been rendered bitterly hostile, would in anger consume the Dhartarashtras in no time. Always wrathful, and strong of arms, he is not capable of being subdued in battle by even Indra himself."
He was furious when the game of dice between his brother, King Yudhisthira, and Duryodhana reached its final stages. But when Dushasana attempted to strip Draupadi in the court, he swore that he would kill him one day and drink his blood. During the second exile of the Pandavas, he visited Alakapuri and was blessed by Kubera. At the end of their exile at the court of Virata, he disguised himself and acted as a palace cook.
Although there are several instances of Arjuna and others doubting or questioning the will of Krishna (Draupadi), the portrayal of Bhima's devotion to Krishna (Draupadi or Panchali) is umblemished in the original Mahābhārata.
After the first return of the Pandavas to the Kuru lands, he challenged the king of Magadha, Jarasandha, to a wrestling bout and killed him, thus making it possible for his brothers to take part in the Rajasuya Yajna.
Bhima also embarked on a military expedition to the east as directed by his elder brother Yudhisthira, the king, to collect tribute for the Rajasuya sacrifice. It is believed that Yudhisthira chose Bhima to lead the army to eastern kingdoms because these kingdoms were famous for their strong armies protected by war-elephants and Bhima was an expert in defeating any army consisting of war-elephants with his great skill in mace-fight. In his expedition Bhima defeated using either diplomacy or military might, many kingdoms in the east including the hostile tribes of Panchalas who were enemies of Panchala king Drupada, the Chedis, the Kosalas, Kasis, Mallas, Videhas, Magadhas, Angas and Vangas. In Mahabharata, 2 chapters (MBh 2.28, 2.29), are dedicated to this eastern military expedition of Bhima.
Bhima was a great general in the great battle of Kurukshetra, second in command only to the generalissimo Dhristadyumna, killing six out of the eleven akshauhinis of the other side (Kauravas). Six akshauhinis adds up to the astronomical figure of around 1,705,860 men and 787,320 beasts which is testimony to the portrayal as the character of supreme physical prowess. In the battle, his charioteer was Krishna's son himself. During the battle, the Kauravas were frightened to face his might and sent elephants to fight him. An entire sub-chapter is devoted to describing the "light chat" or banter that he used to maintain with Krishna's son whilst fighting the enemies - yet another glimpse into the power that VedaVyasa invests in Bhima's persona. Bhima's weapon of choice was the mace - in the use of which he was second to none (The 4 greatest mace wielders of that time were reputed to be Bhima, Balarama, Jarasandha and Duryodhana, with there being none to be considered close enough to be named the 5th, so that slot was left unnamed). Amongst the most important personalities that he quelled were Baka (head of a cannibalistic race), Kirmira (Baka's brother), MaNiman (leader of the anger-demons in Kubera's garden), Jarasandha, Dushasana etc. He also defeated mighty Dronacharya by breaking his chariot eight times while Arjuna was trying to find and kill Jayadratha, and initially held his own against Karna; Karna defeated Bhima, but left him alive due to his promise to Kunti. Bhima let Karna eventually leave as he was destined to die at the hands of Arjuna. During the battle, he killed the elephant Ashvatthama, which enabled the Pandavas to spread the falsehood that Ashvatthama, son of Drona, had been killed. At the end of the battle, he also wounded Duryodhana in a duel, after striking him a foul blow below the waist. At this time, Balarama (who was partial to Duryodhana, his disciple) criticised Bhima for the foul blow, but was calmed down by Krishna. Bhima refrained from killing any respectable elders in the Kaurava's side out of respect for their virtue. The only elderly person he killed was the king of Bahlika (Bhishma's paternal uncle) - and he does this because the king of Bahlika asks Bhima to kill him to release him from the sin of fighting for the kauravas (Bahlika had to fight with the kauravas on account of Bhishma, his nephew).
He finished his days with his brothers and Draupadi, on their great and final journey toward Heaven. He was the last to die on the journey, leaving Yudhisthira alone to complete the journey by himself.
Two characters in Hindu mythology are great cooks. One is Bhima and the other is Nala. Bhima is credited with the invention of the famous dish "Aviyal".
While he did possess superhuman strength, he has been portrayed as a man with no lenience for duplicity or tact in many cases - he is portrayed as the only pandava who constantly pointed out the faults of others, even if they were older or much respected. Being highly sensitive, he swayed between extreme emotions of love and hatred. Draupadi is often seen to turn to him to salvage her honor (be it in the case of Duryodhana's defeat or in the case of Kichaka's slaying).
Also, his name is synonymous with anyone who has short-temper or a large appetite. It is said that Bhima's appetite was so huge, that he always had to eat below his means, because there wasn't enough grain in the world at one time. He hence had a very thin waist and hence was called "Vrikodara" or wolf-bellied, because wolves seem to lack a belly even if they are well-fed.
Bhima is also infamous for having sown the seeds of hatred between the two collateral branches of the Kuru family by mercilessly beating up his cousins, almost unto the point of death, during his childhood & adolescence, when they tried to harass the pandavas. Bhima is also condemned for his brutal killing of Dushasana, where he tore open his cousin's chest and drank his blood in deference to his promise to Draupadi who had been insulted by Dushasana. Balarama's curse, that Bhima will be remembered as a crooked warrior, seems to have tarnished his image till this day. However later he reveals to Gandhari that he spat out Dushasan's blood without swallowing it.
Source:
http://en.wikipedia.org/wiki/Bhima
Hatiku selembar daun...
Yudhistira
Yudhistira
Yudistira (Sanskerta: युधिष्ठिर; Yudhiṣṭhira) alias Dharmawangsa, adalah salah satu tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan seorang raja yang memerintah kerajaan Kuru, dengan pusat pemerintahan di Hastinapura. Ia merupakan yang tertua di antara lima Pandawa, atau para putera Pandu.
Dalam tradisi pewayangan, Yudistira diberi gelar "Prabu" dan memiliki julukan Puntadewa, sedangkan kerajaannya disebut dengan nama Kerajaan Amarta.
Nama Yudistira dalam bahasa Sanskerta bermakna "teguh atau kokoh dalam peperangan". Ia juga dikenal dengan sebutan Dharmaraja, yang bermakna "raja Dharma", karena ia selalu berusaha menegakkan dharma sepanjang hidupnya.
Beberapa julukan lain yang dimiliki Yudhisthira adalah:
Ajataśatru, "yang tidak memiliki musuh".
Bhārata, "keturunan Maharaja Bharata".
Dharmawangsa atau Dharmaputra, "keturunan Dewa Dharma".
Kurumukhya, "pemuka bangsa Kuru".
Kurunandana, "kesayangan Dinasti Kuru".
Kurupati, "raja Dinasti Kuru".
Pandawa, "putera Pandu".
Partha, "putera Prita atau Kunti".
Beberapa di antara nama-nama di atas juga dipakai oleh tokoh-tokoh Dinasti Kuru lainnya, misalnya Arjuna, Bisma, dan Duryodana. Selain nama-nama di atas, dalam versi pewayangan Jawa masih terdapat beberapa nama atau julukan yang lain lagi untuk Yudistira, misalnya:
Puntadewa, "derajat keluhurannya setara para dewa".
Yudistira, "pandai memerangi nafsu pribadi".
Gunatalikrama, "pandai bertutur bahasa".
Samiaji, "menghormati orang lain bagai diri sendiri".
Sifat-sifat Yudistira tercermin dalam nama-nama julukannya, sebagaimana telah disebutkan di atas. Sifatnya yang paling menonjol adalah adil, sabar, jujur, taat terhadap ajaran agama, penuh percaya diri, dan berani berspekulasi. Kesaktian Yudistira dalam Mahabharata terutama dalam hal memainkan senjata tombak. Sementara itu, versi pewayangan Jawa lebih menekankan pada kesaktian batin, misalnya ia pernah dikisahkan menjinakkan hewan-hewan buas di hutan Wanamarta dengan hanya meraba kepala mereka.
Yudistira dalam pewayangan beberapa pusaka, antara lain Jamus Kalimasada, Tunggulnaga, dan Robyong Mustikawarih. Kalimasada berupa kitab, sedangkan Tunggulnaga berupa payung. Keduanya menjadi pusaka utama kerajaan Amarta. Sementara itu, Robyong Mustikawarih berwujud kalung yang terdapat di dalam kulit Yudistira. Pusaka ini adalah pemberian Gandamana, yaitu patih kerajaan Hastina pada zaman pemerintahan Pandu. Apabila kesabaran Yudistira sampai pada batasnya, ia pun meraba kalung tersebut dan seketika itu pula ia pun berubah menjadi raksasa besar berkulit putih bersih.
Yudistira adalah putera tertua pasangan Pandu dan Kunti. Kitab Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa mengisahkan tentang kutukan yang dialami Pandu setelah membunuh brahmana bernama Resi Kindama tanpa sengaja. Brahmana itu terkena panah Pandu ketika ia dan istrinya sedang bersanggama dalam wujud sepasang rusa. Menjelang ajalnya tiba, Resi Kindama sempat mengutuk Pandu bahwa kelak ia akan mati ketika mengawini istrinya. Dengan penuh penyesalan, Pandu meninggalkan tahta Hastinapura dan memulai hidup sebagai pertapa di hutan demi untuk mengurangi hawa nafsu. Kedua istrinya, yaitu Kunti dan Madri dengan setia mengikutinya.
Pada suatu hari, Pandu mengutarakan niatnya ingin memiliki anak. Kunti yang menguasai mantra Adityahredaya segera mewujudkan keinginan suaminya itu. Mantra tersebut adalah ilmu pemanggil dewa untuk mendapatkan putera. Dengan menggunakan mantra itu, Kunti berhasil mendatangkan Dewa Dharma dan mendapatkan anugerah putera darinya tanpa melalui persetubuhan. Putera pertama itu diberi nama Yudistira. Dengan demikian, Yudistira menjadi putera sulung Pandu, sebagai hasil pemberian Dharma, yaitu dewa keadilan dan kebijaksanaan. Sifat Dharma itulah yang kemudian diwarisi oleh Yudistira sepanjang hidupnya.
Kisah dalam pewayangan Jawa agak berbeda. Menurut versi ini, Puntadewa merupakan anak kandung Pandu yang lahir di istana Hastinapura. Kedatangan Bhatara Dharma hanya sekadar menolong kelahiran Puntadewa dan memberi restu untuknya. Berkat bantuan dewa tersebut, Puntadewa lahir melalui ubun-ubun Kunti. Dalam pewayangan Jawa, nama Puntadewa lebih sering dipakai, sedangkan nama Yudistira baru digunakan setelah ia dewasa dan menjadi raja. Versi ini melukiskan Puntadewa sebagai seorang manusia berdarah putih, yang merupakan kiasan bahwa ia adalah sosok berhati suci dan selalu menegakkan kebenaran.
Yudistira dan keempat adiknya, yaitu Bima (Bimasena), Arjuna, Nakula, dan Sadewa kembali ke Hastinapura setelah ayah mereka (Pandu) meninggal dunia. Adapun kelima putera Pandu itu terkenal dengan sebutan para Pandawa, yang semua lahir melalui mantra Adityahredaya. Kedatangan para Pandawa membuat sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin Duryodana merasa cemas. Putera-putera Dretarastra itu takut kalau Pandawa sampai berkuasa di kerajaan Kuru. Dengan berbagai cara mereka berusaha menyingkirkan kelima Pandawa, terutama Bima yang dianggap paling kuat. Di lain pihak, Yudistira selalu berusaha untuk menyabarkan Bima supaya tidak membalas perbuatan para Korawa.
Pandawa dan Korawa kemudian mempelajari ilmu agama, hukum, dan tata negara kepada Resi Krepa. Dalam pendidikan tersebut, Yudistira tampil sebagai murid yang paling pandai. Krepa sangat mendukung apabila tahta Hastinapura diserahkan kepada Pandawa tertua itu. Setelah itu, Pandawa dan Korawa berguru ilmu perang kepada Resi Drona. Dalam pendidikan kedua ini, Arjuna tampil sebagai murid yang paling pandai, terutama dalam ilmu memanah. Sementara itu, Yudistira sendiri lebih terampil dalam menggunakan senjata tombak.
Selama Pandu hidup di hutan sampai akhirnya meninggal dunia, tahta Hastinapura untuk sementara dipegang oleh kakaknya, yaitu Dretarastra, ayah para Korawa. Ketika Yudistira menginjak usia dewasa, sudah tiba saatnya bagi Dretarastra untuk menyerahkan tahta kepada Yudhisthira, selaku putera sulung Pandu. Sementara itu putera sulung Dretarastra, yaitu Duryodana berusaha keras merebut tahta dan menyingkirkan Pandawa. Dengan bantuan pamannya dari pihak ibu, yaitu Sangkuni, Duryodana pura-pura menjamu kelima sepupunya itu dalam sebuah gedung di Waranawata, dimana gedung itu terbuat dari bahan yang mudah terbakar.
Ketika malam tiba, para Korawa membakar gedung tempat para Pandawa dan Kunti, ibu mereka, tidur. Namun, Yudistira sudah mempersiapkan diri karena rencana pembunuhan itu telah terdengar oleh pamannya, yaitu Widura adik Pandu. Akibatnya, kelima Pandawa dan Kunti berhasil lolos dari maut. Pandawa dan Kunti kemudian menjalani berbagai pengalaman sulit.
Setelah lolos dari jebakan maut Korawa, para Pandawa dan Kunti pergi melintasi kota Ekachakra, lalu tinggal sementara di kerajaan Panchala. Arjuna berhasil memenangkan sayembara di kerajaan tersebut dan memperoleh seorang puteri cantik yang bernama Dropadi. Tanpa sengaja Kunti memerintahkan agar Dropadi dibagi lima. Akibatnya, Dropadi pun menjadi istri kelima Pandawa.
Dari perkawinan dengan Yudistira, Dropadi melahirkan Pratiwindya, dari Bima lahir Sutasoma, dari Arjuna lahir Srutasena, dari Nakula lahir Satanika, dan dari Sadewa lahir Srutakirti.
Versi Jawa menyebut Dropadi dengan nama "Drupadi". Menurut pewayangan Jawa, setelah memenangkan sayembara, Arjuna menyerahkan putri itu kepada Puntadewa selaku kakak tertua. Semula Puntadewa menolak, namun setelah didesak oleh ibu dan keempat adiknya, akhirnya ia pun bersedia menikahi Drupadi. Dari perkawinan itu lahir seorang putera bernama Pancawala. Jadi, menurut versi asli, tokoh Dropadi menikah dengan kelima Pandawa, sedangkan menurut versi Jawa, ia hanya menikah dengan Yudistira seorang.
Setelah menikahi Dropadi, para Pandawa kembali ke Hastinapura dan memperoleh sambutan luar biasa, kecuali dari pihak Duryodana. Persaingan antara Pandawa dan Korawa atas tahta Hastinapura kembali terjadi. Para sesepuh akhirnya sepakat untuk memberi Pandawa sebagian dari wilayah kerajaan tersebut.
Korawa yang licik mendapatkan istana Hastinapura, sedangkan Pandawa mendapatkan hutan Kandawaprastha sebagai tempat untuk membangun istana baru. Meskipun daerah tersebut sangat gersang dan angker, namun para Pandawa mau menerima wilayah tersebut. Selain wilayahnya yang seluas hampir setengah wilayah kerajaan Kuru, Kandawaprastha juga merupakan ibukota kerajaan Kuru yang dulu, sebelum Hastinapura. Para Pandawa dibantu sepupu mereka, yaitu Kresna dan Baladewa, dan berhasil membuka Kandawaprastha menjadi pemukiman baru.
Para Pandawa kemudian memperoleh bantuan dari Wiswakarma, yaitu ahli bangunan dari kahyangan, dan juga Anggaraparna dari bangsa Gandharwa. Maka terciptalah sebuah istana megah dan indah bernama Indraprastha, yang bermakna "kota Dewa Indra".
Dalam versi pewayangan Jawa, nama Indraprastha lebih terkenal dengan sebutan kerajaan Amarta. Menurut versi ini, hutan yang dibuka para Pandawa bukan bernama Kandawaprastha, melainkan bernama Wanamarta.
Versi Jawa mengisahkan, setelah sayembara Dropadi, para Pandawa tidak kembali ke Hastinapura melainkan menuju kerajaan Wirata, tempat kerabat mereka yang bernama Prabu Matsyapati berkuasa. Matsyapati yang bersimpati pada pengalaman Pandawa menyarankan agar mereka membuka kawasan hutan tak bertuan bernama Wanamarta menjadi sebuah kerajaan baru. Hutan Wanamarta dihuni oleh berbagai makhluk halus yang dipimpin oleh lima bersaudara, bernama Yudistira, Danduncana, Suparta, Sapujagad, dan Sapulebu. Pekerjaan Pandawa dalam membuka hutan tersebut mengalami banyak rintangan. Akhirnya setelah melalui suatu percakapan, para makhluk halus merelakan Wanamarta kepada para Pandawa.
Yudistira kemudian memindahkan istana Amarta dari alam jin ke alam nyata untuk dihuni para Pandawa. Setelah itu, ia dan keempat adiknya menghilang. Salah satu versi menyebut kelimanya masing-masing menyatu ke dalam diri lima Pandawa. Puntadewa kemudian menjadi Raja Amarta setelah didesak dan dipaksa oleh keempat adiknya. Untuk mengenang dan menghormati raja jin yang telah memberinya istana, Puntadewa pun memakai gelar Prabu Yudistira.
Setelah menjadi Raja Amarta, Puntadewa berusaha keras untuk memakmurkan negaranya. Konon terdengar berita bahwa barang siapa yang bisa menikahi puteri Kerajaan Slagahima yang bernama Dewi Kuntulwinanten, maka negeri tempat ia tinggal akan menjadi makmur dan sejahtera. Puntadewa sendiri telah memutuskan untuk memiliki seorang istri saja. Namun karena Dropadi mengizinkannya menikah lagi demi kemakmuran negara, maka ia pun berangkat menuju Kerajaan Slagahima. Di istana Slagahima telah berkumpul sekian banyak raja dan pangeran yang datang melamar Kuntulwinanten. Namun sang puteri hanya sudi menikah dengan seseorang yang berhati suci, dan ia menemukan kriteria itu dalam diri Puntadewa. Kemudian Kuntulwinanten tiba-tiba musnah dan menyatu ke dalam diri Puntadewa.
Sebenarnya Kuntulwinanten bukan manusia asli, melainkan wujud penjelmaan anugerah dewata untuk seorang raja adil yang hanya memikirkan kesejahteraan negaranya. Sedangkan anak raja Slagahima yang asli bernama Tambakganggeng. Ia kemudian mengabdi kepada Puntadewa dan diangkat sebagai patih di kerajaan Amarta.
Kitab Mahabharata bagian kedua atau Sabhaparwa mengisahkan niat Yudistira untuk menyelenggarakan upacara Rajasuya demi menyebarkan dharma dan menyingkirkan raja-raja angkara murka. Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa memimpin tentara masing-masing ke empat penjuru Bharatawarsha (India Kuno) untuk mengumpulkan upeti dalam penyelenggaraan upacara agung tersebut.
Pada saat yang sama, seorang raja angkara murka juga mengadakan upacara mengorbankan seratus orang raja. Raja tersebut bernama Jarasanda dari kerajaan Magadha. Yudistira mengirim Bima dan Arjuna dengan didampingi Kresna sebagai penasihat untuk menumpas Jarasanda. Akhirnya, melalui sebuah pertandingan seru, Bima berhasil membunuh Jarasanda.
Setelah semua persyaratan terpenuhi, Yudistira melaksanakan upacara Rajasuya yang dihadiri sekian banyak kaum raja dan pendeta. Dalam kesempatan itu, Yudistira ditetapkan sebagai Maharajadhiraja. Kemudian muncul seorang sekutu Jarasanda bernama Sisupala yang menghina Kresna di depan umum. Setelah melewati penghinaan ke-100, Krishna akhirnya memenggal kepala Sisupala di depan umum.
Ketika menjadi tamu dalam acara Rajasuya, Duryodana sangat kagum sekaligus iri menyaksikan keindahan istana Indraprastha. Timbul niatnya untuk merebut kerajaan itu, apalagi setelah ia tersinggung oleh ucapan Dropadi dalam sebuah pertemuan. Sangkuni membantu niat Duryodhana dengan memanfaatkan kegemaran Yudistira terhadap permainan dadu. Yudistira memang seorang ahli agama, namun di sisi lain ia sangat menyukai permainan tersebut. Undangan Duryodana diterimanya dengan baik. Permainan dadu antara Pandawa melawan Korawa diadakan di istana Hastinapura. Mula-mula Yudistira hanya bertaruh kecil-kecilan. Namun semuanya jatuh ke tangan Duryodana berkat kepandaian Sakuni dalam melempar dadu.
Hasutan Sangkuni membuat Yudistira nekad mempertaruhkan semua hartanya, bahkan Indraprastha. Akhirnya, negeri yang dibangun dengan susah payah itu pun jatuh ke tangan lawan. Yudistira yang sudah gelap mata juga mempertaruhkan keempat adiknya secara berurutan. Keempatnya pun jatuh pula ke tangan Duryodana satu per satu, bahkan akhirnya Yudistira sendiri. Duryodana tetap memaksa Yudistira yang sudah kehilangan kemerdekaannya untuk melanjutkan permainan, dengan mempertaruhkan Dropadi. Akibatnya, Dropadi pun ikut bernasib sama.
Ratapan Dropadi saat dipermalukan di depan umum terdengar oleh Gandari, ibu para Korawa. Ia memerintahkan agar Duryodana menghentikan permainan dan mengembalikan semuanya kepada Pandawa. Dengan berat hati, Duryodhana terpaksa mematuhi perintah ibunya itu. Duryodana yang kecewa kembali menantang Yudistira beberapa waktu kemudian. Kali ini peraturannya diganti. Barang siapa yang kalah harus menyerahkan negara beserta isinya, dan menjalani hidup di hutan selama 12 tahun serta menyamar selama setahun di dalam sebuah kerajaan. Apabila penyamaran itu terbongkar, maka wajib mengulangi lagi pembuangan selama 12 tahun dan menyamar setahun, begitulah seterusnya. Akhirnya berkat kelicikan Sakuni, pihak Pandawa pun mengalami kekalahan untuk yang kedua kalinya. Sejak saat itu lima Pandawa dan Dropadi menjalani masa pembuangan mereka di hutan.
Kehidupan para Pandawa dan Dropadi dalam menjalani masa pembuangan selama 12 tahun di hutan dikisahkan pada jilid ketiga kitab Mahabharata yang dikenal dengan sebutan Wanaparwa.
Yudistira yang merasa paling bertanggung jawab atas apa yang menimpa keluarga dan negaranya berusaha untuk tetap tabah dalam menjalani hukuman. Ia sering berselisih paham dengan Bima yang ingin kembali ke Hastinapura untuk menumpas para Korawa. Meskipun demikian, Bima tetap tunduk dan patuh terhadap perintah Yudistira supaya menjalani hukuman sesuai perjanjian.
Suatu ketika para Korawa datang ke dalam hutan untuk berpesta demi menyiksa perasaan para Pandawa. Namun, mereka justru berselisih dengan kaum Gandharwa yang dipimpin Citrasena. Dalam peristiwa itu Duryodana tertangkap oleh Citrasena. Akan tetapi, Yudistira justru mengirim Bima dan Arjuna untuk menolong Duryodana. Ia mengancam akan berangkat sendiri apabila kedua adiknya itu menolak perintah. Akhirnya kedua Pandawa itu berhasil membebaskan Duryodana. Niat Duryodana datang ke hutan untuk menyiksa perasaan para Pandawa justru berakhir dengan rasa malu luar biasa yang ia rasakan.
Peristiwa lain yang terjadi adalah penculikan Dropadi oleh Jayadrata, adik ipar Duryodana. Bima dan Arjuna berhasil menangkap Jayadrata dan hampir saja membunuhnya. Yudistira muncul dan memaafkan raja kerajaan Sindu tersebut.
Pada suatu hari menjelang berakhirnya masa pembuangan, Yudistira dan keempat adiknya membantu seorang brahmana yang kehilangan peralatan upacaranya karena tersangkut pada tanduk seekor rusa liar. Dalam pengejaran terhadap rusa itu, kelima Pandawa merasa haus. Yudistira pun menyuruh Sadewa mencari air minum. Karena lama tidak kembali, Nakula disuruh menyusul, kemudian Arjuna, lalu akhirnya Bima menyusul pula. Yudistira semakin cemas karena keempat adiknya tidak ada yang kembali.
Yudistira kemudian berangkat menyusul Pandawa dan menjumpai mereka telah tewas di tepi sebuah telaga. Muncul seorang raksasa yang mengaku sebagai pemilik telaga itu. Ia menceritakan bahwa keempat Pandawa tewas keracunan air telaganya karena mereka menolak menjawab pertanyaan sang raksasa. Sambil menahan haus, Yudistira mempersilakan Sang Raksasa untuk bertanya. Satu per satu pertanyaan demi pertanyaan berhasil ia jawab. Akhirnya, Sang Raksasa pun mengaku kalah, namun ia hanya sanggup menghidupkan satu orang saja. Dalam hal ini, Yudistira memilih Nakula untuk dihidupkan kembali. Raksasa heran karena Nakula adalah adik tiri, bukan adik kandung. Yudistira menjawab bahwa dirinya harus berlaku adil. Ayahnya, yaitu Pandu memiliki dua orang istri. Karena Yudistira lahir dari Kunti, maka yang dipilihnya untuk hidup kembali harus putera yang lahir dari Madri, yaitu Nakula.
Raksasa terkesan pada keadilan Yudistira. Ia pun kembali ke wujud aslinya, yaitu Dewa Dharma. Kedatangannya dengan menyamar sebagai rusa liar dan raksasa adalah untuk memberikan ujian kepada para Pandawa. Berkat keadilan dan ketulusan Yudistira, maka tidak hanya Nakula yang dihidupkan kembali, melainkan juga Bima, Arjuna, dan Sadewa.
Setelah 12 tahun menjalani pembuangan di hutan, kelima Pandawa dan Dropadi kemudian memasuki masa penyamaran selama setahun. Sebagai tempat persembunyian, mereka memilih Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Wirata. Kisah ini terdapat dalam kitab Mahabharata jilid keempat atau Wirataparwa.
Yudistira menyamar dengan nama Kanka di mana ia diterima sebagai kusir kereta Raja Wirata. Bima menjadi Balawa sebagai tukang masak, Arjuna menjadi Wrihanala sebagai banci guru tari, Nakula menjadi Damagranti sebagai tukang kuda, Sadewa menjadi Tantripala sebagai penggembala sapi, sedangkan Dropadi menjadi Sailandri sebagai dayang istana.
Pada akhir tahun penyamaran Pandawa, terjadi peristiwa serangan kerajaan Kuru terhadap kekuasaan Wirata. Seluruh kekuatan kerajaan Matsya dikerahkan menghadapi tentara kerajaan Trigartha, sekutu Duryodhana. Akibatnya, istana Matsya menjadi kosong dan dalam keadaan terancam oleh serangan pasukan Hastinapura. Utara putera Wirata yang ditugasi menjaga istana, berangkat ditemani Wrihanala (Arjuna) sebagai kusir. Di medan perang Wrihanala membuka samaran dan tampil menghadapi pasukan Duryodana sebagai Arjuna. Seorang diri ia berhasil memukul mundur pasukan dari Hastinapura tersebut. Sementara itu, pasukan Wirata juga mendapat kemenangan atas pasukan Trigartha. Wirata dengan bangga memuji-muji kehebatan Utara yang berhasil mengalahkan para Korawa seorang diri. Kanka alias Yudistira menjelaskan bahwa kunci kemenangan Utara adalah Wrihanala. Hal itu membuat Wirata tersinggung dan memukul kepala Kanka sampai berdarah.
Dalam versi pewayangan Jawa, Wirata adalah nama kerajaan, bukan nama orang. Sedangkan rajanya bernama Matsyapati. Dalam kerajaan tersebut, Yudistira atau Puntadewa menyamar sebagai pengelola pasar ibu kota bernama Dwijakangka.
Saat batas waktu penyamaran telah genap setahun, kelima Pandawa dan Dropadi pun membuka penyamaran. Mengetahui hal itu, Wirata merasa sangat menyesal telah memperlakukan mereka dengan buruk. Ia pun berjanji akan menjadi sekutu Pandawa dalam usaha mendapatkan kembali takhta Indraprastha.
Ketika para Pandawa pulang ke Hastinapura demi menuntut hak yang seharusnya mereka terima, Duryodana bersikap sinis terhadap mereka. Ia tidak mau menyerahkan Hastinapura kepada Yudistira. Berbagai usaha damai dilancarkan pihak Pandawa namun selalu ditolak oleh Duryodana. Bahkan, Duryodana tetap menolak ketika Yudistira hanya meminta lima buah desa saja, bukan seluruh Indraprastha. Pada puncaknya, Duryodana berusaha membunuh duta Pandawa, yaitu Kresna, namun gagal.
Perang antara Pandawa dan Korawa tidak dapat lagi dihindari. Para pujangga Jawa menyebut peristiwa itu dengan nama Bharatayuddha. Sementara itu dalam Mahabharata kisah perang besar tersebut ditemukan pada jilid keenam sampai kesepuluh.
Pada bagian Bhismaparwa dikisahkan bahwa sebelum perang hari pertama dimulai, Yudistira turun dari keretanya berjalan kaki ke arah pasukan Korawa yang berbaris di hadapannya. Duryodana mengejeknya sebagai pengecut yang langsung menyerah begitu melihat kekuatan Korawa dan sekutu mereka. Namun, kedatangan Yudistira bukan untuk menyerah, melainkan meminta doa restu kepada empat sesepuh yang berperang di pihak lawan. Mereka adalah Bisma, Krepa, Drona, dan Salya. Keempatnya mendoakan semoga pihak Pandawa menang. Hal itu tentu saja membuat Duryodana sakit hati.
Yudistira kembali ke pasukannya. Ia mempersilakan siapa saja yang ingin pindah pasukan sebelum perang benar-benar dimulai. Ternyata yang pindah justru adik tiri Duryodhana yang lahir dari selir, bernama Yuyutsu, yang bergerak meninggalkan Korawa untuk bergabung bersama Pandawa.
Bisma memimpin pasukan Korawa selama sepuluh hari. Setelah ia tumbang, kedudukannya digantikan oleh Drona, yang mendapat amanat dari Duryodana supaya menangkap Yudistira hidup-hidup. Drona senang atas tugas tersebut, padahal niat Duryodana adalah menjadikan Yudistira sebagai sandera untuk memaksa para pendukungnya menyerah. Berbagai cara dilancarkan Drona untuk menangkap Yudistira. Tidak terhitung banyaknya sekutu Pandawa yang tewas di tangan Drona karena melindungi Yudistira, misalnya Drupada dan Wirata.
Akhirnya pada hari ke-15, penasihat Pandawa, yaitu Kresna menemukan cara untuk mengalahkan Drona, yaitu dengan mengumumkan berita kematian seekor gajah bernama Aswatama. Aswatama juga merupakan nama putera tunggal Drona. Kemiripan nama tersebut dimanfaatkan oleh Kresna untuk menipu Drona. Atas perintah Kresna, Bima segera membunuh gajah itu dan berteriak mengumumkan kematiannya. Drona cemas mendengar berita kematian Aswatama. Ia segera mendatangi Yudistira yang dianggapnya sebagai manusia paling jujur untuk bertanya tentang kebenaran berita tersebut. Yudistira terpaksa bersikap tidak jujur. Ia membenarkan berita kematian Aswatama tanpa berusaha menjelaskan bahwa yang mati adalah gajah, bukan putera Drona.
Jawaban Yudistira itu membuat Drona jatuh lemas. Ia membuang semua senjatanya dan duduk bermeditasi. Tiba-tiba saja Drestadyumna putera Drupada mendatanginya dan kemudian memenggal kepalanya dari belakang. Drona pun tewas seketika. Dalam peristiwa ini yang paling merasa bersalah adalah Yudistira.
Menurut versi Jawa, nama gajah yang dibunuh Bima bukan Aswatama, melainkan Hastitama. Ketika Drona menanyakan hal itu, Puntadewa menjawab bahwa yang mati adalah Hastitama, namun dengan suara yang sangat pelan. Akibatnya, terdengar oleh Drona bahwa yang mati adalah Aswatama. Selanjutnya, Drona yang lengah pun tewas dipenggal Drestadyumna.
Salya adalah kakak ipar Pandu yang terpaksa membantu Korawa karena tipu daya mereka. Pada hari ke-18, ia diangkat sebagai panglima oleh Duryodana. Akhirnya ia pun tewas terkena tombak Yudistira.
Naskah Bharatayuddha berbahasa Jawa Kuno mengisahkan bahwa Salya memakai senjata bernama Rudrarohastra, sedangkan Yudistira memakai senjata bernama Kalimahosaddha. Pusaka Yudistira yang berupa kitab itu dilemparkannya dan tiba-tiba berubah menjadi tombak menembus dada Salya.
Sementara itu menurut versi pewayangan Jawa, Salya mengerahkan ilmu Candabirawa berupa raksasa kerdil mengerikan, yang jika dilukai jumlahnya justru bertambah banyak. Puntadewa maju mengheningkan cipta. Candabirawa lumpuh seketika karena Puntadewa telah dirasuki arwah Resi Bagaspati, yaitu pemilik asli ilmu tersebut. Selanjutnya, Puntadewa melepaskan Jamus Kalimasada yang melesat menghantam dada Salya. Salya pun tewas seketika.
Setelah kehabisan pasukan, Duryodhana bersembunyi di dasar telaga. Kelima Pandawa didampingi Kresna berhasil menemukan tempat itu. Duryodana pun naik ke darat siap menghadapi kelima Pandawa sekaligus. Yudistira menolak tantangan Duryodhana karena Pandawa pantang berbuat pengecut dengan cara main keroyok, sebagaimana para Korawa ketika membunuh Abimanyu pada hari ke-13. Sebaliknya, Duryodana dipersilakan bertarung satu lawan satu melawan salah seorang di antara lima Pandawa. Apabila ia kalah, maka kerajaan harus dikembalikan kepada Pandawa. Sebaliknya apabila ia menang, Yudistira bersedia kembali hidup di hutan.
Bima terkejut mendengar keputusan Yudistira yang seolah-olah memberi kesempatan Duryodana untuk berkuasa lagi, padahal kemenangan Pandawa tinggal selangkah saja. Dalam hal ini Yudistira justru menyalahkan Bima yang dianggap kurang percaya diri. Duryodana meskipun bersifat angkara murka namun ia juga seorang pemberani. Ia memilih Bima sebagai lawan perang tanding, yang paling gagah di antara kelima Pandawa. Setelah pertarungan sengit terjadi cukup lama, akhirnya menjelang senja Duryodana berhasil dikalahkan dan kemudian menemui kematiannya.
Setelah perang berakhir, Yudistira melaksanakan upacara Tarpana untuk memuliakan mereka yang telah tewas. Ia kemudian diangkat sebagai raja Hastinapura sekaligus raja Indraprastha. Yudistira dengan sabar menerima Dretarastra sebagai raja sepuh di kota Hastinapura. Ia melarang adik-adiknya bersikap kasar dan menyinggung perasaan ayah para Korawa tersebut.
Yudistira kemudian menyelenggarakan Aswamedha Yadnya, yaitu suatu upacara pengorbanan untuk menegakkan kembali aturan dharma di seluruh dunia. Pada upacara ini, seekor kuda dilepas untuk mengembara selama setahun. Arjuna ditugasi memimpin pasukan untuk mengikuti dan mengawal kuda tersebut. Para raja yang wilayah negaranya dilalui oleh kuda tersebut harus memilih untuk mengikuti aturan Yudistira atau diperangi.
Akhirnya semuanya memilih membayar upeti. Sekali lagi Yudistira pun dinobatkan sebagai Maharaja Dunia setelah Upacara Rajasuya dahulu.
Setelah permulaan zaman Kaliyuga dan wafatnya Kresna, Yudistira dan keempat adiknya mengundurkan diri dari urusan duniawi. Mereka meninggalkan tahta kerajaan, harta, dan sifat keterikatan untuk melakukan perjalanan terakhir, mengelilingi Bharatawarsha lalu menuju puncak Himalaya. Di kaki gunung Himalaya, Yudistira menemukan anjing dan kemudian hewan tersebut menjdi pendamping perjalanan Pandawa yang setia. Saat mendaki puncak, satu per satu mulai dari Dropadi, Sadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima meninggal dunia. Masing-masing terseret oleh kesalahan dan dosa yang pernah mereka perbuat. Hanya Yudistira dan aningnya yang berhasil mencapai puncak gunung, karena kesucian hatinya.
Dewa Indra, pemimpin masyarakat kahyangan, datang menjemput Yudistira untuk diajak naik ke swarga dengan kereta kencananya. Namun, Indra menolak anjing yang dibawa Yudistira dengan alasan bahwa hewan tersebut tidak suci dan tidak layak untuk masuk swarga. Yudistira menolak masuk swargaloka apabila harus berpisah dengan anjingnya. Indra merasa heran karena Yudistira tega meninggalkan saudara-saudaranya dan Dropadi tanpa mengadakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka, namun lebih memilih untuk tidak mau meninggalkan seekor anjing. Yudistira menjawab bahwa bukan dirinya yang meninggalkan mereka, tapi merekalah yang meninggalkan dirinya.
Kesetiaan Yudistira telah teruji. Anjingnya pun kembali ke wujud asli yaitu Dewa Dharma. Bersama-sama mereka naik ke sorga menggunakan kereta Indra. Namun ternyata keempat Pandawa tidak ditemukan di sana. Yang ada justru Duryodana dan adik-adiknya yang selama hidup mengumbar angkara murka. Indra menjelaskan bahwa keempat Pandawa dan para pahlawan lainnya sedang menjalani penyiksaan di neraka. Yudistira menyatakan siap masuk neraka menemani mereka. Namun, ketika terpampang pemandangan neraka yang disertai suara menyayat hati dan dihiasi darah kental membuatnya ngeri. Saat tergoda untuk kabur dari neraka, Yudistira berhasil menguasai diri. Terdengar suara saudara-saudaranya memanggil-manggil. Yudistira memutuskan untuk tinggal di neraka. Ia merasa lebih baik hidup tersiksa bersama sudara-saudaranya yang baik hati daripada bergembira di sorga namun ditemani oleh kerabat yang jahat. Tiba-tiba pemandangan berubah menjadi indah. Dewa Indra muncul dan berkata bahwa sekali lagi Yudistira lulus ujian. Ia menyatakan bahwa sejak saat itu, Pandawa Lima dan para pahlawan lainnya dinyatakan sebagai penghuni Surga.
Menurut versi pewayangan Jawa, kematian para Pandawa terjadi bersamaan dengan Kresna ketika mereka bermeditasi di dalam Candi Sekar. Namun, versi ini kurang begitu populer karena banyak dalang yang lebih suka mementaskan versi Mahabharata yang penuh dramatisasi sebagaimana dikisahkan di atas.
In the great Hindu epic Mahabharata, Yudhisthira (Sanskrit: युधिष्ठिर, yudhiṣṭhirameaning "ONE WHO STANDS STILL IN THE MIDDLE OF A WAR Yuddha- war, sthira- steady" probably alluding to his gentle demeanor), the eldest son of King Pandu and Queen Kunti, was king of Hastinapura and Indraprastha, and "World Emperor". He was the principal protagonist of the Kurukshetra War, and for his unblemished piety, was known as Dharmaraja (Most pious one). Some sources describe him to be an adept warrior with the spear.
Yudhisthira's father Pandu, the king of Hastinapura, soon after his marriage, accidentally shot a Brahmin and his wife, mistaking them for deer, while the couple were making love. Before he died, the Brahmin cursed the king to die the minute he engaged in intercourse with one of his two wives. Due to this curse, Pandu was unable to father children. As additional penance for the murder, Pandu abdicated in favor of his blind brother Dhritarashtra.
Yudhisthira was conceived in an unusual way. His mother, Queen Kunti, had in her youth been granted the power to invoke the Devas by Rishi Durvasa. Each God, when invoked, would place a child in her lap. Urged by Pandu to use her invocations, Kunti gave birth to Yudhisthira by invoking the Lord of Judgement, Yama. Being Pandu's eldest son, Yudhisthira was the rightful heir to the throne, but this claim was contested by the Dhritarashtra's son, Duryodhana.
Yudhisthira's four younger brothers were Bhima, (born by invoking Vayu); Arjuna, (born by invoking Indra); and the twins Nakula and Sahadeva, (born by invoking the Ashwini Gods). If Karna, the son of Kunti born before her marriage by invoking Surya is counted, Yudhisthira would be the second-eldest of the Pandava brothers.
Yudhisthira was trained in religion, science, administration and military arts by the Kuru preceptors, Kripa and Drona. He was a master of the spear, and a maharatha, capable of combating 10,000 opponents at a time. Yudhisthira was also known as Bharata (Descendent of the line of Bharata) and Ajatashatru (One Without Enemies).
Yudhisthira's true prowess was shown in his unflinching adherence to satya (truth) and dharma (righteousness), which were more precious to him than royal ambitions, material pursuits and family relations. Yudhisthira rescued Bhima from Yama. He also rescued his four brothers from death by exemplifying not only his immense knowledge of dharma, but also his understanding of the finer implications of dharma, as judged by Yama, who was testing him in the guise of a Crane and a Yaksha.
Yudhisthira's understanding of dharma was distinct from that of other righteous kings. He married Draupadi along with his four brothers, he had Bhima marry an outcast Rakshasi, he termed "prayer" as "poison", he denounced casteism, saying a Brahmin is known by his actions and not his birth or education--thus portraying a changeable dharma that modifies itself to suit the times.
Due to his piety, Yudhisthira's feet and his chariot did not touch the ground (until his deception of Drona), to symbolize his purity.
Yudhisthira and his brothers were favored by the Kuru elders like Bhishma, Vidura ,Kripa and Drona over Duryodhana and his brothers, the Kauravas, due to their devotion to their elders, pious habits and great aptitude in religion and military skills, and all the necessary qualifications for the greatest of the kshatriya order.
Yudhisthira married the Panchali princess Draupadi, who bore him his son Prativindya. When the Pandavas came of age, King Dhritarashtra sought to avoid a conflict with his sons, the Kauravas, by giving Yudhisthira half the Kuru kingdom (upon Bhisma's advice), albeit the lands which were arid, unprosperous and scantily populated, known as Khandavaprastha.
But with the help of Yudhisthira's cousin Krishna, a new city, Indraprastha, was constructed by the Deva architect Viswakarman. The Asura architect Mayasura constructed the Mayasabha, which was the largest regal assembly hall in the world. Yudhisthira was crowned king of Khandavaprastha and Indraprastha. As he governed with absolute piousness, with a strict adherence to duty and service to this people, his kingdom grew prosperous, and people from all over were attracted to it.
Yudhisthira performed the Rajasuya sacrifice to become the Emperor of the World (Paramount Soveirgn). His motives were not to obtain power for himself, but to establish dharma and defend religion all over the world by suppressing the enemies of Krishna and sinful, aggressive kings.
Arjuna, Bhima, Nakula and Sahadeva led armies across the four corners of the world to obtain tributes from all kingdoms for Yudhisthira's sacrifice. At his sacrifice, Yudhisthira honored Krishna as the most famous and greatest personality. This incensed Sisupala, who proceeded to hurl several insults at Krishna and the Pandavas for selecting a "cowherd" for the great honor. When Sisupala's transgressions exceed the hundred pardons that Krishna had promised his mother, Krishna summons the sudarshana chakra to behead him. Following which, the yajna is completed successfully.
Yudhisthira was unable to refuse when Duryodhana's maternal uncle Shakuni, challenged him to a game of dice. Thanks to Shakuni's mastery of gambling, Yudhisthira lost each game, eventually gambling away his kingdom, his wealth, his brothers and finally his wife. Owing to the protests of Vidura, Bhishma and Drona, Dhritarashtra returned all these losses. However, Shakuni challenged Yudhisthira one more time, and Yudhisthira once more lost. This time, he, his brothers and his wife were forced to discharge the debt by spending thirteen years in exile, with the condition of anonymity in the last year, in the forest before they could reclaim their kingdom.
Yudhisthira was criticized by Draupadi and Bhima for succumbing to temptation and playing dice, an art he was absolutely unskilled at, making the Pandavas prey to Shakuni and Duryodhana's evil designs. Yudhisthira reproached himself for weakness of mind, but at the time he argued that it was impossible to refuse a challenge of any nature, as he was a kshatriya and obliged to stand by the kshatriya code of honour.
During the thirteen years, he was repeatedly tested for staunch adherence to religious values in face of adversity.
The conditions of the debt required the Pandavas to disguise themselves and not be discovered during the last year of exile. Yudhisthira learned dice play from Narada Muni and assumed the guise of a brahmin courtier and dice player in the Matsya Rajya of king Virata.
Dharma: What is heavier than earth, higher than heavens, faster than the wind and more numerous than straws?
Yudhishthira: One's mother is heavier than the earth; one's father is higher than the mountains. The mind is faster than wind and our worries are more numerous than straws.
Dharma: Who is the friend of a traveler? Who is the friend of one who is ill and one who is dying?
Yudhishthira: The friend of a traveler is his companion. The physician is the friend of one who is sick and a dying man's friend is charity.
Dharma: What is that which, when renounced, makes one lovable? What is that which is renounced makes happy and wealthy?
Yudhishthira: Pride, if renounced makes one lovable; by renouncing desire one becomes wealthy; and to renounce avarice is to obtain happiness.
Dharma: What enemy is invincible? What constitutes an incurable disease? What sort of man is noble and what sort is ignoble?
Yudhishthira: Anger is the invincible enemy. Covetousness constitutes a disease that is incurable. He is noble who desires the well-being of all creatures, and he is ignoble who is without mercy.
Dharma: Who is truly happy? What is the greatest wonder? What is the path? And what is the news?
Yudhishthira: He who has no debts is truly happy. Day after day countless people die. Yet the living wish to live forever. O Lord, what can be a greater wonder? Argument leads to no certain conclusion, the Srutis are different from one another; there is not even one Rishi whose opinion can be accepted by all; the truth about Dharma and duty is hid in caves: therefore, that alone is the path along which the great have trod. This world full of ignorance is like a pan. The sun is fire, the days and nights are fuel. The months and the seasons constitute the wooden ladle. Time is the cook that is cooking all creatures in that pan (with such aids); this is the news.
When the period of exile was completed, Duryodhana and Shakuni refused to return Yudhisthira's kingdom. Yudhisthira made numerous diplomatic efforts to retrieve his kingdom peacefully; all failed. To go to war to reclaim his birthright would mean fighting and killing his own relatives, an idea that appalled Yudhisthira. But Krishna, Yudhisthira's most trusted advisor (whom he recognized as the Avatara of Vishnu), pointed out that Yudhisthira's claim was righteous, and the deeds of Duryodhana were evil. If all peace efforts failed, war was therefore a most righteous course. There are many passages in the Mahabharata in which Yudhisthira's will to fight a bloody war for the sake of a kingdom falters, but Krishna justifies the war as moral and as the unavoidable duty of all moral warriors.
In the war, the Kuru commander Drona was killing thousands of Pandava warriors. Krishna hatched a plan to tell Drona that his son Ashwathama had died, so that the invincible and destructive Kuru commander would give up his arms and thus could be killed.
The plan was set in motion when Bhima killed an elephant named Ashwathama, and loudly proclaimed that Ashwathama was dead. Drona, knowing that only Yudhisthira, with his firm adherence to the truth, could tell him for sure if his son had died, approached Yudhisthira for confirmation. Yudhisthira told him: "Ashwathama has died". Yudhisthira, who could not make himself tell a lie, despite the fact that if Drona continued to fight, the Pandavas and the cause of dharma itself would have been lost, then added: "Praha kunjara ha", which means he is not sure whether elephant or man had died.
Krishna, knowing that Yudhisthira would be unable to lie, had all the warriors beat war-drums and cymbals to make as much noise as possible at the critical moment. The words "Praha kunjara ha" were lost in the tumult and the ruse worked. Drona was disheartened, and laid down his weapons. He was then killed by Dhristadyumna.
After speaking his half-lie, Yudhisthira's feet and chariot descended to the ground. However, Yudhisthira himself killed Shalya, the king of Madra and the last Kuru commander.
At the end of the war, Yudhisthira and the Pandava army emerged victorious, but Yudhisthira's children, the sons of Draupadi, and many Pandava heroes like Dhristadyumna, Abhimanyu, Virata, Drupada, Ghatotkacha were dead. Millions of warriors on both sides were killed.
Yudhisthira performed the tarpana ritual for the souls of the departed. Upon his return to Hastinapura, he was crowned king of both Indraprastha and Hastinapura.
Out of his piety, Yudhisthira retained Dhristarashtra as the king of the city of Hastinapura, and offered him complete respect and deference as an elder, despite his misdeeds and the evil of his dead sons.
Yudhisthira later performed the Ashwamedha yagna (sacrifice) to re-establish the rule of dharma all over the world. In this sacrifice, a horse was released to wander for a year, and Yudhisthira's brother Arjuna led the Pandava army, following the horse. The kings of all the countries where the horse wandered were asked to submit to Yudhisthira's rule or face war. All paid tribute, once again establishing Yudhisthira as the undisputed Emperor of the World.
Upon the onset of the Kali yuga and the departure of Krishna, Yudhisthira and his brothers retired, leaving the throne to their only descendant to survive the war of Kurukshetra, Arjuna's grandson Parikshita. Giving up all their belongings and ties, the Pandavas made their final journey of pilgrimage in the Himalayas.
While climbing the peaks, Draupadi, and each Pandava in reverse order of age, fell to their deaths, dragged down by the weight of their guilt for their sins. Yudhisthira reached the mountain peak, because he was unblemished by sin or untruth.
The true character of Yuddhisthira is revealed at the end of the Mahabharata. On the mountain peak, Indra, King of Gods, arrived to take Yudhisthira to heaven in his Golden Chariot. As Yudhisthira was about to step into the Chariot, the Deva told him to leave behind his companion dog, a creature not worthy of heaven to Indra. Yudhisthira stepped back, refusing to leave behind the creature who he had taken under his protection. Indra wondered at him - "You can leave your brothers behind, not arranging proper cremations for them...and you refuse to leave behind a stray dog!"
Yudhisthira replied, "Draupadi and my brothers have left me, not I [who left them]." And he refused to go to heaven without the dog. At that moment the dog changed into the God Dharma, his father, who was testing him...and Yudhisthira had passed with distinction. A version of this story appears in the Twilight Zone episode "The Hunt."
Yudhisthira was carried away on Indra's chariot. On reaching Heaven he did not find either his virtuous brothers or his wife Draupadi. Instead he saw Duryodhana and his evil allies. The Gods told him that his brothers were in Naraka (hell) atoning their little sins, while Duryodhana was in heaven since he died at the blessed place of Kurukshetra.
Yudhisthira loyally went to Naraka (hell) to meet his brothers, but the sights and sounds of gore and blood horrified him. Tempted to flee, he mastered himself and remained after hearing the voices of his beloved brothers and Draupadi...calling out to him, asking him to stay with them in their misery.
Yudhisthira decided to remain, ordering the Divine charioteer to return ... preferring to live in hell with good people than in a heaven of evil ones. At that moment the scene changed. This was yet another illusion to test him on the one hand, and on the other hand, to enable him to atone for his sin of using deceit to kill Drona. Indra and Krishna appeared before him and told him that his brothers were already in Heaven, along with his enemies, for earthly virtues and vices don't hold true in heavenly realms. Krishna yet again hailed Yudhisthira for his dharma, and bowed to him, in the final defining moment of the epic where divinity bowed down to humanity.
Source:
http://en.wikipedia.org/wiki/Yudhisthira
Hatiku selembar daun...
Yudistira (Sanskerta: युधिष्ठिर; Yudhiṣṭhira) alias Dharmawangsa, adalah salah satu tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan seorang raja yang memerintah kerajaan Kuru, dengan pusat pemerintahan di Hastinapura. Ia merupakan yang tertua di antara lima Pandawa, atau para putera Pandu.
Dalam tradisi pewayangan, Yudistira diberi gelar "Prabu" dan memiliki julukan Puntadewa, sedangkan kerajaannya disebut dengan nama Kerajaan Amarta.
Nama Yudistira dalam bahasa Sanskerta bermakna "teguh atau kokoh dalam peperangan". Ia juga dikenal dengan sebutan Dharmaraja, yang bermakna "raja Dharma", karena ia selalu berusaha menegakkan dharma sepanjang hidupnya.
Beberapa julukan lain yang dimiliki Yudhisthira adalah:
Ajataśatru, "yang tidak memiliki musuh".
Bhārata, "keturunan Maharaja Bharata".
Dharmawangsa atau Dharmaputra, "keturunan Dewa Dharma".
Kurumukhya, "pemuka bangsa Kuru".
Kurunandana, "kesayangan Dinasti Kuru".
Kurupati, "raja Dinasti Kuru".
Pandawa, "putera Pandu".
Partha, "putera Prita atau Kunti".
Beberapa di antara nama-nama di atas juga dipakai oleh tokoh-tokoh Dinasti Kuru lainnya, misalnya Arjuna, Bisma, dan Duryodana. Selain nama-nama di atas, dalam versi pewayangan Jawa masih terdapat beberapa nama atau julukan yang lain lagi untuk Yudistira, misalnya:
Puntadewa, "derajat keluhurannya setara para dewa".
Yudistira, "pandai memerangi nafsu pribadi".
Gunatalikrama, "pandai bertutur bahasa".
Samiaji, "menghormati orang lain bagai diri sendiri".
Sifat-sifat Yudistira tercermin dalam nama-nama julukannya, sebagaimana telah disebutkan di atas. Sifatnya yang paling menonjol adalah adil, sabar, jujur, taat terhadap ajaran agama, penuh percaya diri, dan berani berspekulasi. Kesaktian Yudistira dalam Mahabharata terutama dalam hal memainkan senjata tombak. Sementara itu, versi pewayangan Jawa lebih menekankan pada kesaktian batin, misalnya ia pernah dikisahkan menjinakkan hewan-hewan buas di hutan Wanamarta dengan hanya meraba kepala mereka.
Yudistira dalam pewayangan beberapa pusaka, antara lain Jamus Kalimasada, Tunggulnaga, dan Robyong Mustikawarih. Kalimasada berupa kitab, sedangkan Tunggulnaga berupa payung. Keduanya menjadi pusaka utama kerajaan Amarta. Sementara itu, Robyong Mustikawarih berwujud kalung yang terdapat di dalam kulit Yudistira. Pusaka ini adalah pemberian Gandamana, yaitu patih kerajaan Hastina pada zaman pemerintahan Pandu. Apabila kesabaran Yudistira sampai pada batasnya, ia pun meraba kalung tersebut dan seketika itu pula ia pun berubah menjadi raksasa besar berkulit putih bersih.
Yudistira adalah putera tertua pasangan Pandu dan Kunti. Kitab Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa mengisahkan tentang kutukan yang dialami Pandu setelah membunuh brahmana bernama Resi Kindama tanpa sengaja. Brahmana itu terkena panah Pandu ketika ia dan istrinya sedang bersanggama dalam wujud sepasang rusa. Menjelang ajalnya tiba, Resi Kindama sempat mengutuk Pandu bahwa kelak ia akan mati ketika mengawini istrinya. Dengan penuh penyesalan, Pandu meninggalkan tahta Hastinapura dan memulai hidup sebagai pertapa di hutan demi untuk mengurangi hawa nafsu. Kedua istrinya, yaitu Kunti dan Madri dengan setia mengikutinya.
Pada suatu hari, Pandu mengutarakan niatnya ingin memiliki anak. Kunti yang menguasai mantra Adityahredaya segera mewujudkan keinginan suaminya itu. Mantra tersebut adalah ilmu pemanggil dewa untuk mendapatkan putera. Dengan menggunakan mantra itu, Kunti berhasil mendatangkan Dewa Dharma dan mendapatkan anugerah putera darinya tanpa melalui persetubuhan. Putera pertama itu diberi nama Yudistira. Dengan demikian, Yudistira menjadi putera sulung Pandu, sebagai hasil pemberian Dharma, yaitu dewa keadilan dan kebijaksanaan. Sifat Dharma itulah yang kemudian diwarisi oleh Yudistira sepanjang hidupnya.
Kisah dalam pewayangan Jawa agak berbeda. Menurut versi ini, Puntadewa merupakan anak kandung Pandu yang lahir di istana Hastinapura. Kedatangan Bhatara Dharma hanya sekadar menolong kelahiran Puntadewa dan memberi restu untuknya. Berkat bantuan dewa tersebut, Puntadewa lahir melalui ubun-ubun Kunti. Dalam pewayangan Jawa, nama Puntadewa lebih sering dipakai, sedangkan nama Yudistira baru digunakan setelah ia dewasa dan menjadi raja. Versi ini melukiskan Puntadewa sebagai seorang manusia berdarah putih, yang merupakan kiasan bahwa ia adalah sosok berhati suci dan selalu menegakkan kebenaran.
Yudistira dan keempat adiknya, yaitu Bima (Bimasena), Arjuna, Nakula, dan Sadewa kembali ke Hastinapura setelah ayah mereka (Pandu) meninggal dunia. Adapun kelima putera Pandu itu terkenal dengan sebutan para Pandawa, yang semua lahir melalui mantra Adityahredaya. Kedatangan para Pandawa membuat sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin Duryodana merasa cemas. Putera-putera Dretarastra itu takut kalau Pandawa sampai berkuasa di kerajaan Kuru. Dengan berbagai cara mereka berusaha menyingkirkan kelima Pandawa, terutama Bima yang dianggap paling kuat. Di lain pihak, Yudistira selalu berusaha untuk menyabarkan Bima supaya tidak membalas perbuatan para Korawa.
Pandawa dan Korawa kemudian mempelajari ilmu agama, hukum, dan tata negara kepada Resi Krepa. Dalam pendidikan tersebut, Yudistira tampil sebagai murid yang paling pandai. Krepa sangat mendukung apabila tahta Hastinapura diserahkan kepada Pandawa tertua itu. Setelah itu, Pandawa dan Korawa berguru ilmu perang kepada Resi Drona. Dalam pendidikan kedua ini, Arjuna tampil sebagai murid yang paling pandai, terutama dalam ilmu memanah. Sementara itu, Yudistira sendiri lebih terampil dalam menggunakan senjata tombak.
Selama Pandu hidup di hutan sampai akhirnya meninggal dunia, tahta Hastinapura untuk sementara dipegang oleh kakaknya, yaitu Dretarastra, ayah para Korawa. Ketika Yudistira menginjak usia dewasa, sudah tiba saatnya bagi Dretarastra untuk menyerahkan tahta kepada Yudhisthira, selaku putera sulung Pandu. Sementara itu putera sulung Dretarastra, yaitu Duryodana berusaha keras merebut tahta dan menyingkirkan Pandawa. Dengan bantuan pamannya dari pihak ibu, yaitu Sangkuni, Duryodana pura-pura menjamu kelima sepupunya itu dalam sebuah gedung di Waranawata, dimana gedung itu terbuat dari bahan yang mudah terbakar.
Ketika malam tiba, para Korawa membakar gedung tempat para Pandawa dan Kunti, ibu mereka, tidur. Namun, Yudistira sudah mempersiapkan diri karena rencana pembunuhan itu telah terdengar oleh pamannya, yaitu Widura adik Pandu. Akibatnya, kelima Pandawa dan Kunti berhasil lolos dari maut. Pandawa dan Kunti kemudian menjalani berbagai pengalaman sulit.
Setelah lolos dari jebakan maut Korawa, para Pandawa dan Kunti pergi melintasi kota Ekachakra, lalu tinggal sementara di kerajaan Panchala. Arjuna berhasil memenangkan sayembara di kerajaan tersebut dan memperoleh seorang puteri cantik yang bernama Dropadi. Tanpa sengaja Kunti memerintahkan agar Dropadi dibagi lima. Akibatnya, Dropadi pun menjadi istri kelima Pandawa.
Dari perkawinan dengan Yudistira, Dropadi melahirkan Pratiwindya, dari Bima lahir Sutasoma, dari Arjuna lahir Srutasena, dari Nakula lahir Satanika, dan dari Sadewa lahir Srutakirti.
Versi Jawa menyebut Dropadi dengan nama "Drupadi". Menurut pewayangan Jawa, setelah memenangkan sayembara, Arjuna menyerahkan putri itu kepada Puntadewa selaku kakak tertua. Semula Puntadewa menolak, namun setelah didesak oleh ibu dan keempat adiknya, akhirnya ia pun bersedia menikahi Drupadi. Dari perkawinan itu lahir seorang putera bernama Pancawala. Jadi, menurut versi asli, tokoh Dropadi menikah dengan kelima Pandawa, sedangkan menurut versi Jawa, ia hanya menikah dengan Yudistira seorang.
Setelah menikahi Dropadi, para Pandawa kembali ke Hastinapura dan memperoleh sambutan luar biasa, kecuali dari pihak Duryodana. Persaingan antara Pandawa dan Korawa atas tahta Hastinapura kembali terjadi. Para sesepuh akhirnya sepakat untuk memberi Pandawa sebagian dari wilayah kerajaan tersebut.
Korawa yang licik mendapatkan istana Hastinapura, sedangkan Pandawa mendapatkan hutan Kandawaprastha sebagai tempat untuk membangun istana baru. Meskipun daerah tersebut sangat gersang dan angker, namun para Pandawa mau menerima wilayah tersebut. Selain wilayahnya yang seluas hampir setengah wilayah kerajaan Kuru, Kandawaprastha juga merupakan ibukota kerajaan Kuru yang dulu, sebelum Hastinapura. Para Pandawa dibantu sepupu mereka, yaitu Kresna dan Baladewa, dan berhasil membuka Kandawaprastha menjadi pemukiman baru.
Para Pandawa kemudian memperoleh bantuan dari Wiswakarma, yaitu ahli bangunan dari kahyangan, dan juga Anggaraparna dari bangsa Gandharwa. Maka terciptalah sebuah istana megah dan indah bernama Indraprastha, yang bermakna "kota Dewa Indra".
Dalam versi pewayangan Jawa, nama Indraprastha lebih terkenal dengan sebutan kerajaan Amarta. Menurut versi ini, hutan yang dibuka para Pandawa bukan bernama Kandawaprastha, melainkan bernama Wanamarta.
Versi Jawa mengisahkan, setelah sayembara Dropadi, para Pandawa tidak kembali ke Hastinapura melainkan menuju kerajaan Wirata, tempat kerabat mereka yang bernama Prabu Matsyapati berkuasa. Matsyapati yang bersimpati pada pengalaman Pandawa menyarankan agar mereka membuka kawasan hutan tak bertuan bernama Wanamarta menjadi sebuah kerajaan baru. Hutan Wanamarta dihuni oleh berbagai makhluk halus yang dipimpin oleh lima bersaudara, bernama Yudistira, Danduncana, Suparta, Sapujagad, dan Sapulebu. Pekerjaan Pandawa dalam membuka hutan tersebut mengalami banyak rintangan. Akhirnya setelah melalui suatu percakapan, para makhluk halus merelakan Wanamarta kepada para Pandawa.
Yudistira kemudian memindahkan istana Amarta dari alam jin ke alam nyata untuk dihuni para Pandawa. Setelah itu, ia dan keempat adiknya menghilang. Salah satu versi menyebut kelimanya masing-masing menyatu ke dalam diri lima Pandawa. Puntadewa kemudian menjadi Raja Amarta setelah didesak dan dipaksa oleh keempat adiknya. Untuk mengenang dan menghormati raja jin yang telah memberinya istana, Puntadewa pun memakai gelar Prabu Yudistira.
Setelah menjadi Raja Amarta, Puntadewa berusaha keras untuk memakmurkan negaranya. Konon terdengar berita bahwa barang siapa yang bisa menikahi puteri Kerajaan Slagahima yang bernama Dewi Kuntulwinanten, maka negeri tempat ia tinggal akan menjadi makmur dan sejahtera. Puntadewa sendiri telah memutuskan untuk memiliki seorang istri saja. Namun karena Dropadi mengizinkannya menikah lagi demi kemakmuran negara, maka ia pun berangkat menuju Kerajaan Slagahima. Di istana Slagahima telah berkumpul sekian banyak raja dan pangeran yang datang melamar Kuntulwinanten. Namun sang puteri hanya sudi menikah dengan seseorang yang berhati suci, dan ia menemukan kriteria itu dalam diri Puntadewa. Kemudian Kuntulwinanten tiba-tiba musnah dan menyatu ke dalam diri Puntadewa.
Sebenarnya Kuntulwinanten bukan manusia asli, melainkan wujud penjelmaan anugerah dewata untuk seorang raja adil yang hanya memikirkan kesejahteraan negaranya. Sedangkan anak raja Slagahima yang asli bernama Tambakganggeng. Ia kemudian mengabdi kepada Puntadewa dan diangkat sebagai patih di kerajaan Amarta.
Kitab Mahabharata bagian kedua atau Sabhaparwa mengisahkan niat Yudistira untuk menyelenggarakan upacara Rajasuya demi menyebarkan dharma dan menyingkirkan raja-raja angkara murka. Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa memimpin tentara masing-masing ke empat penjuru Bharatawarsha (India Kuno) untuk mengumpulkan upeti dalam penyelenggaraan upacara agung tersebut.
Pada saat yang sama, seorang raja angkara murka juga mengadakan upacara mengorbankan seratus orang raja. Raja tersebut bernama Jarasanda dari kerajaan Magadha. Yudistira mengirim Bima dan Arjuna dengan didampingi Kresna sebagai penasihat untuk menumpas Jarasanda. Akhirnya, melalui sebuah pertandingan seru, Bima berhasil membunuh Jarasanda.
Setelah semua persyaratan terpenuhi, Yudistira melaksanakan upacara Rajasuya yang dihadiri sekian banyak kaum raja dan pendeta. Dalam kesempatan itu, Yudistira ditetapkan sebagai Maharajadhiraja. Kemudian muncul seorang sekutu Jarasanda bernama Sisupala yang menghina Kresna di depan umum. Setelah melewati penghinaan ke-100, Krishna akhirnya memenggal kepala Sisupala di depan umum.
Ketika menjadi tamu dalam acara Rajasuya, Duryodana sangat kagum sekaligus iri menyaksikan keindahan istana Indraprastha. Timbul niatnya untuk merebut kerajaan itu, apalagi setelah ia tersinggung oleh ucapan Dropadi dalam sebuah pertemuan. Sangkuni membantu niat Duryodhana dengan memanfaatkan kegemaran Yudistira terhadap permainan dadu. Yudistira memang seorang ahli agama, namun di sisi lain ia sangat menyukai permainan tersebut. Undangan Duryodana diterimanya dengan baik. Permainan dadu antara Pandawa melawan Korawa diadakan di istana Hastinapura. Mula-mula Yudistira hanya bertaruh kecil-kecilan. Namun semuanya jatuh ke tangan Duryodana berkat kepandaian Sakuni dalam melempar dadu.
Hasutan Sangkuni membuat Yudistira nekad mempertaruhkan semua hartanya, bahkan Indraprastha. Akhirnya, negeri yang dibangun dengan susah payah itu pun jatuh ke tangan lawan. Yudistira yang sudah gelap mata juga mempertaruhkan keempat adiknya secara berurutan. Keempatnya pun jatuh pula ke tangan Duryodana satu per satu, bahkan akhirnya Yudistira sendiri. Duryodana tetap memaksa Yudistira yang sudah kehilangan kemerdekaannya untuk melanjutkan permainan, dengan mempertaruhkan Dropadi. Akibatnya, Dropadi pun ikut bernasib sama.
Ratapan Dropadi saat dipermalukan di depan umum terdengar oleh Gandari, ibu para Korawa. Ia memerintahkan agar Duryodana menghentikan permainan dan mengembalikan semuanya kepada Pandawa. Dengan berat hati, Duryodhana terpaksa mematuhi perintah ibunya itu. Duryodana yang kecewa kembali menantang Yudistira beberapa waktu kemudian. Kali ini peraturannya diganti. Barang siapa yang kalah harus menyerahkan negara beserta isinya, dan menjalani hidup di hutan selama 12 tahun serta menyamar selama setahun di dalam sebuah kerajaan. Apabila penyamaran itu terbongkar, maka wajib mengulangi lagi pembuangan selama 12 tahun dan menyamar setahun, begitulah seterusnya. Akhirnya berkat kelicikan Sakuni, pihak Pandawa pun mengalami kekalahan untuk yang kedua kalinya. Sejak saat itu lima Pandawa dan Dropadi menjalani masa pembuangan mereka di hutan.
Kehidupan para Pandawa dan Dropadi dalam menjalani masa pembuangan selama 12 tahun di hutan dikisahkan pada jilid ketiga kitab Mahabharata yang dikenal dengan sebutan Wanaparwa.
Yudistira yang merasa paling bertanggung jawab atas apa yang menimpa keluarga dan negaranya berusaha untuk tetap tabah dalam menjalani hukuman. Ia sering berselisih paham dengan Bima yang ingin kembali ke Hastinapura untuk menumpas para Korawa. Meskipun demikian, Bima tetap tunduk dan patuh terhadap perintah Yudistira supaya menjalani hukuman sesuai perjanjian.
Suatu ketika para Korawa datang ke dalam hutan untuk berpesta demi menyiksa perasaan para Pandawa. Namun, mereka justru berselisih dengan kaum Gandharwa yang dipimpin Citrasena. Dalam peristiwa itu Duryodana tertangkap oleh Citrasena. Akan tetapi, Yudistira justru mengirim Bima dan Arjuna untuk menolong Duryodana. Ia mengancam akan berangkat sendiri apabila kedua adiknya itu menolak perintah. Akhirnya kedua Pandawa itu berhasil membebaskan Duryodana. Niat Duryodana datang ke hutan untuk menyiksa perasaan para Pandawa justru berakhir dengan rasa malu luar biasa yang ia rasakan.
Peristiwa lain yang terjadi adalah penculikan Dropadi oleh Jayadrata, adik ipar Duryodana. Bima dan Arjuna berhasil menangkap Jayadrata dan hampir saja membunuhnya. Yudistira muncul dan memaafkan raja kerajaan Sindu tersebut.
Pada suatu hari menjelang berakhirnya masa pembuangan, Yudistira dan keempat adiknya membantu seorang brahmana yang kehilangan peralatan upacaranya karena tersangkut pada tanduk seekor rusa liar. Dalam pengejaran terhadap rusa itu, kelima Pandawa merasa haus. Yudistira pun menyuruh Sadewa mencari air minum. Karena lama tidak kembali, Nakula disuruh menyusul, kemudian Arjuna, lalu akhirnya Bima menyusul pula. Yudistira semakin cemas karena keempat adiknya tidak ada yang kembali.
Yudistira kemudian berangkat menyusul Pandawa dan menjumpai mereka telah tewas di tepi sebuah telaga. Muncul seorang raksasa yang mengaku sebagai pemilik telaga itu. Ia menceritakan bahwa keempat Pandawa tewas keracunan air telaganya karena mereka menolak menjawab pertanyaan sang raksasa. Sambil menahan haus, Yudistira mempersilakan Sang Raksasa untuk bertanya. Satu per satu pertanyaan demi pertanyaan berhasil ia jawab. Akhirnya, Sang Raksasa pun mengaku kalah, namun ia hanya sanggup menghidupkan satu orang saja. Dalam hal ini, Yudistira memilih Nakula untuk dihidupkan kembali. Raksasa heran karena Nakula adalah adik tiri, bukan adik kandung. Yudistira menjawab bahwa dirinya harus berlaku adil. Ayahnya, yaitu Pandu memiliki dua orang istri. Karena Yudistira lahir dari Kunti, maka yang dipilihnya untuk hidup kembali harus putera yang lahir dari Madri, yaitu Nakula.
Raksasa terkesan pada keadilan Yudistira. Ia pun kembali ke wujud aslinya, yaitu Dewa Dharma. Kedatangannya dengan menyamar sebagai rusa liar dan raksasa adalah untuk memberikan ujian kepada para Pandawa. Berkat keadilan dan ketulusan Yudistira, maka tidak hanya Nakula yang dihidupkan kembali, melainkan juga Bima, Arjuna, dan Sadewa.
Setelah 12 tahun menjalani pembuangan di hutan, kelima Pandawa dan Dropadi kemudian memasuki masa penyamaran selama setahun. Sebagai tempat persembunyian, mereka memilih Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Wirata. Kisah ini terdapat dalam kitab Mahabharata jilid keempat atau Wirataparwa.
Yudistira menyamar dengan nama Kanka di mana ia diterima sebagai kusir kereta Raja Wirata. Bima menjadi Balawa sebagai tukang masak, Arjuna menjadi Wrihanala sebagai banci guru tari, Nakula menjadi Damagranti sebagai tukang kuda, Sadewa menjadi Tantripala sebagai penggembala sapi, sedangkan Dropadi menjadi Sailandri sebagai dayang istana.
Pada akhir tahun penyamaran Pandawa, terjadi peristiwa serangan kerajaan Kuru terhadap kekuasaan Wirata. Seluruh kekuatan kerajaan Matsya dikerahkan menghadapi tentara kerajaan Trigartha, sekutu Duryodhana. Akibatnya, istana Matsya menjadi kosong dan dalam keadaan terancam oleh serangan pasukan Hastinapura. Utara putera Wirata yang ditugasi menjaga istana, berangkat ditemani Wrihanala (Arjuna) sebagai kusir. Di medan perang Wrihanala membuka samaran dan tampil menghadapi pasukan Duryodana sebagai Arjuna. Seorang diri ia berhasil memukul mundur pasukan dari Hastinapura tersebut. Sementara itu, pasukan Wirata juga mendapat kemenangan atas pasukan Trigartha. Wirata dengan bangga memuji-muji kehebatan Utara yang berhasil mengalahkan para Korawa seorang diri. Kanka alias Yudistira menjelaskan bahwa kunci kemenangan Utara adalah Wrihanala. Hal itu membuat Wirata tersinggung dan memukul kepala Kanka sampai berdarah.
Dalam versi pewayangan Jawa, Wirata adalah nama kerajaan, bukan nama orang. Sedangkan rajanya bernama Matsyapati. Dalam kerajaan tersebut, Yudistira atau Puntadewa menyamar sebagai pengelola pasar ibu kota bernama Dwijakangka.
Saat batas waktu penyamaran telah genap setahun, kelima Pandawa dan Dropadi pun membuka penyamaran. Mengetahui hal itu, Wirata merasa sangat menyesal telah memperlakukan mereka dengan buruk. Ia pun berjanji akan menjadi sekutu Pandawa dalam usaha mendapatkan kembali takhta Indraprastha.
Ketika para Pandawa pulang ke Hastinapura demi menuntut hak yang seharusnya mereka terima, Duryodana bersikap sinis terhadap mereka. Ia tidak mau menyerahkan Hastinapura kepada Yudistira. Berbagai usaha damai dilancarkan pihak Pandawa namun selalu ditolak oleh Duryodana. Bahkan, Duryodana tetap menolak ketika Yudistira hanya meminta lima buah desa saja, bukan seluruh Indraprastha. Pada puncaknya, Duryodana berusaha membunuh duta Pandawa, yaitu Kresna, namun gagal.
Perang antara Pandawa dan Korawa tidak dapat lagi dihindari. Para pujangga Jawa menyebut peristiwa itu dengan nama Bharatayuddha. Sementara itu dalam Mahabharata kisah perang besar tersebut ditemukan pada jilid keenam sampai kesepuluh.
Pada bagian Bhismaparwa dikisahkan bahwa sebelum perang hari pertama dimulai, Yudistira turun dari keretanya berjalan kaki ke arah pasukan Korawa yang berbaris di hadapannya. Duryodana mengejeknya sebagai pengecut yang langsung menyerah begitu melihat kekuatan Korawa dan sekutu mereka. Namun, kedatangan Yudistira bukan untuk menyerah, melainkan meminta doa restu kepada empat sesepuh yang berperang di pihak lawan. Mereka adalah Bisma, Krepa, Drona, dan Salya. Keempatnya mendoakan semoga pihak Pandawa menang. Hal itu tentu saja membuat Duryodana sakit hati.
Yudistira kembali ke pasukannya. Ia mempersilakan siapa saja yang ingin pindah pasukan sebelum perang benar-benar dimulai. Ternyata yang pindah justru adik tiri Duryodhana yang lahir dari selir, bernama Yuyutsu, yang bergerak meninggalkan Korawa untuk bergabung bersama Pandawa.
Bisma memimpin pasukan Korawa selama sepuluh hari. Setelah ia tumbang, kedudukannya digantikan oleh Drona, yang mendapat amanat dari Duryodana supaya menangkap Yudistira hidup-hidup. Drona senang atas tugas tersebut, padahal niat Duryodana adalah menjadikan Yudistira sebagai sandera untuk memaksa para pendukungnya menyerah. Berbagai cara dilancarkan Drona untuk menangkap Yudistira. Tidak terhitung banyaknya sekutu Pandawa yang tewas di tangan Drona karena melindungi Yudistira, misalnya Drupada dan Wirata.
Akhirnya pada hari ke-15, penasihat Pandawa, yaitu Kresna menemukan cara untuk mengalahkan Drona, yaitu dengan mengumumkan berita kematian seekor gajah bernama Aswatama. Aswatama juga merupakan nama putera tunggal Drona. Kemiripan nama tersebut dimanfaatkan oleh Kresna untuk menipu Drona. Atas perintah Kresna, Bima segera membunuh gajah itu dan berteriak mengumumkan kematiannya. Drona cemas mendengar berita kematian Aswatama. Ia segera mendatangi Yudistira yang dianggapnya sebagai manusia paling jujur untuk bertanya tentang kebenaran berita tersebut. Yudistira terpaksa bersikap tidak jujur. Ia membenarkan berita kematian Aswatama tanpa berusaha menjelaskan bahwa yang mati adalah gajah, bukan putera Drona.
Jawaban Yudistira itu membuat Drona jatuh lemas. Ia membuang semua senjatanya dan duduk bermeditasi. Tiba-tiba saja Drestadyumna putera Drupada mendatanginya dan kemudian memenggal kepalanya dari belakang. Drona pun tewas seketika. Dalam peristiwa ini yang paling merasa bersalah adalah Yudistira.
Menurut versi Jawa, nama gajah yang dibunuh Bima bukan Aswatama, melainkan Hastitama. Ketika Drona menanyakan hal itu, Puntadewa menjawab bahwa yang mati adalah Hastitama, namun dengan suara yang sangat pelan. Akibatnya, terdengar oleh Drona bahwa yang mati adalah Aswatama. Selanjutnya, Drona yang lengah pun tewas dipenggal Drestadyumna.
Salya adalah kakak ipar Pandu yang terpaksa membantu Korawa karena tipu daya mereka. Pada hari ke-18, ia diangkat sebagai panglima oleh Duryodana. Akhirnya ia pun tewas terkena tombak Yudistira.
Naskah Bharatayuddha berbahasa Jawa Kuno mengisahkan bahwa Salya memakai senjata bernama Rudrarohastra, sedangkan Yudistira memakai senjata bernama Kalimahosaddha. Pusaka Yudistira yang berupa kitab itu dilemparkannya dan tiba-tiba berubah menjadi tombak menembus dada Salya.
Sementara itu menurut versi pewayangan Jawa, Salya mengerahkan ilmu Candabirawa berupa raksasa kerdil mengerikan, yang jika dilukai jumlahnya justru bertambah banyak. Puntadewa maju mengheningkan cipta. Candabirawa lumpuh seketika karena Puntadewa telah dirasuki arwah Resi Bagaspati, yaitu pemilik asli ilmu tersebut. Selanjutnya, Puntadewa melepaskan Jamus Kalimasada yang melesat menghantam dada Salya. Salya pun tewas seketika.
Setelah kehabisan pasukan, Duryodhana bersembunyi di dasar telaga. Kelima Pandawa didampingi Kresna berhasil menemukan tempat itu. Duryodana pun naik ke darat siap menghadapi kelima Pandawa sekaligus. Yudistira menolak tantangan Duryodhana karena Pandawa pantang berbuat pengecut dengan cara main keroyok, sebagaimana para Korawa ketika membunuh Abimanyu pada hari ke-13. Sebaliknya, Duryodana dipersilakan bertarung satu lawan satu melawan salah seorang di antara lima Pandawa. Apabila ia kalah, maka kerajaan harus dikembalikan kepada Pandawa. Sebaliknya apabila ia menang, Yudistira bersedia kembali hidup di hutan.
Bima terkejut mendengar keputusan Yudistira yang seolah-olah memberi kesempatan Duryodana untuk berkuasa lagi, padahal kemenangan Pandawa tinggal selangkah saja. Dalam hal ini Yudistira justru menyalahkan Bima yang dianggap kurang percaya diri. Duryodana meskipun bersifat angkara murka namun ia juga seorang pemberani. Ia memilih Bima sebagai lawan perang tanding, yang paling gagah di antara kelima Pandawa. Setelah pertarungan sengit terjadi cukup lama, akhirnya menjelang senja Duryodana berhasil dikalahkan dan kemudian menemui kematiannya.
Setelah perang berakhir, Yudistira melaksanakan upacara Tarpana untuk memuliakan mereka yang telah tewas. Ia kemudian diangkat sebagai raja Hastinapura sekaligus raja Indraprastha. Yudistira dengan sabar menerima Dretarastra sebagai raja sepuh di kota Hastinapura. Ia melarang adik-adiknya bersikap kasar dan menyinggung perasaan ayah para Korawa tersebut.
Yudistira kemudian menyelenggarakan Aswamedha Yadnya, yaitu suatu upacara pengorbanan untuk menegakkan kembali aturan dharma di seluruh dunia. Pada upacara ini, seekor kuda dilepas untuk mengembara selama setahun. Arjuna ditugasi memimpin pasukan untuk mengikuti dan mengawal kuda tersebut. Para raja yang wilayah negaranya dilalui oleh kuda tersebut harus memilih untuk mengikuti aturan Yudistira atau diperangi.
Akhirnya semuanya memilih membayar upeti. Sekali lagi Yudistira pun dinobatkan sebagai Maharaja Dunia setelah Upacara Rajasuya dahulu.
Setelah permulaan zaman Kaliyuga dan wafatnya Kresna, Yudistira dan keempat adiknya mengundurkan diri dari urusan duniawi. Mereka meninggalkan tahta kerajaan, harta, dan sifat keterikatan untuk melakukan perjalanan terakhir, mengelilingi Bharatawarsha lalu menuju puncak Himalaya. Di kaki gunung Himalaya, Yudistira menemukan anjing dan kemudian hewan tersebut menjdi pendamping perjalanan Pandawa yang setia. Saat mendaki puncak, satu per satu mulai dari Dropadi, Sadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima meninggal dunia. Masing-masing terseret oleh kesalahan dan dosa yang pernah mereka perbuat. Hanya Yudistira dan aningnya yang berhasil mencapai puncak gunung, karena kesucian hatinya.
Dewa Indra, pemimpin masyarakat kahyangan, datang menjemput Yudistira untuk diajak naik ke swarga dengan kereta kencananya. Namun, Indra menolak anjing yang dibawa Yudistira dengan alasan bahwa hewan tersebut tidak suci dan tidak layak untuk masuk swarga. Yudistira menolak masuk swargaloka apabila harus berpisah dengan anjingnya. Indra merasa heran karena Yudistira tega meninggalkan saudara-saudaranya dan Dropadi tanpa mengadakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka, namun lebih memilih untuk tidak mau meninggalkan seekor anjing. Yudistira menjawab bahwa bukan dirinya yang meninggalkan mereka, tapi merekalah yang meninggalkan dirinya.
Kesetiaan Yudistira telah teruji. Anjingnya pun kembali ke wujud asli yaitu Dewa Dharma. Bersama-sama mereka naik ke sorga menggunakan kereta Indra. Namun ternyata keempat Pandawa tidak ditemukan di sana. Yang ada justru Duryodana dan adik-adiknya yang selama hidup mengumbar angkara murka. Indra menjelaskan bahwa keempat Pandawa dan para pahlawan lainnya sedang menjalani penyiksaan di neraka. Yudistira menyatakan siap masuk neraka menemani mereka. Namun, ketika terpampang pemandangan neraka yang disertai suara menyayat hati dan dihiasi darah kental membuatnya ngeri. Saat tergoda untuk kabur dari neraka, Yudistira berhasil menguasai diri. Terdengar suara saudara-saudaranya memanggil-manggil. Yudistira memutuskan untuk tinggal di neraka. Ia merasa lebih baik hidup tersiksa bersama sudara-saudaranya yang baik hati daripada bergembira di sorga namun ditemani oleh kerabat yang jahat. Tiba-tiba pemandangan berubah menjadi indah. Dewa Indra muncul dan berkata bahwa sekali lagi Yudistira lulus ujian. Ia menyatakan bahwa sejak saat itu, Pandawa Lima dan para pahlawan lainnya dinyatakan sebagai penghuni Surga.
Menurut versi pewayangan Jawa, kematian para Pandawa terjadi bersamaan dengan Kresna ketika mereka bermeditasi di dalam Candi Sekar. Namun, versi ini kurang begitu populer karena banyak dalang yang lebih suka mementaskan versi Mahabharata yang penuh dramatisasi sebagaimana dikisahkan di atas.
In the great Hindu epic Mahabharata, Yudhisthira (Sanskrit: युधिष्ठिर, yudhiṣṭhirameaning "ONE WHO STANDS STILL IN THE MIDDLE OF A WAR Yuddha- war, sthira- steady" probably alluding to his gentle demeanor), the eldest son of King Pandu and Queen Kunti, was king of Hastinapura and Indraprastha, and "World Emperor". He was the principal protagonist of the Kurukshetra War, and for his unblemished piety, was known as Dharmaraja (Most pious one). Some sources describe him to be an adept warrior with the spear.
Yudhisthira's father Pandu, the king of Hastinapura, soon after his marriage, accidentally shot a Brahmin and his wife, mistaking them for deer, while the couple were making love. Before he died, the Brahmin cursed the king to die the minute he engaged in intercourse with one of his two wives. Due to this curse, Pandu was unable to father children. As additional penance for the murder, Pandu abdicated in favor of his blind brother Dhritarashtra.
Yudhisthira was conceived in an unusual way. His mother, Queen Kunti, had in her youth been granted the power to invoke the Devas by Rishi Durvasa. Each God, when invoked, would place a child in her lap. Urged by Pandu to use her invocations, Kunti gave birth to Yudhisthira by invoking the Lord of Judgement, Yama. Being Pandu's eldest son, Yudhisthira was the rightful heir to the throne, but this claim was contested by the Dhritarashtra's son, Duryodhana.
Yudhisthira's four younger brothers were Bhima, (born by invoking Vayu); Arjuna, (born by invoking Indra); and the twins Nakula and Sahadeva, (born by invoking the Ashwini Gods). If Karna, the son of Kunti born before her marriage by invoking Surya is counted, Yudhisthira would be the second-eldest of the Pandava brothers.
Yudhisthira was trained in religion, science, administration and military arts by the Kuru preceptors, Kripa and Drona. He was a master of the spear, and a maharatha, capable of combating 10,000 opponents at a time. Yudhisthira was also known as Bharata (Descendent of the line of Bharata) and Ajatashatru (One Without Enemies).
Yudhisthira's true prowess was shown in his unflinching adherence to satya (truth) and dharma (righteousness), which were more precious to him than royal ambitions, material pursuits and family relations. Yudhisthira rescued Bhima from Yama. He also rescued his four brothers from death by exemplifying not only his immense knowledge of dharma, but also his understanding of the finer implications of dharma, as judged by Yama, who was testing him in the guise of a Crane and a Yaksha.
Yudhisthira's understanding of dharma was distinct from that of other righteous kings. He married Draupadi along with his four brothers, he had Bhima marry an outcast Rakshasi, he termed "prayer" as "poison", he denounced casteism, saying a Brahmin is known by his actions and not his birth or education--thus portraying a changeable dharma that modifies itself to suit the times.
Due to his piety, Yudhisthira's feet and his chariot did not touch the ground (until his deception of Drona), to symbolize his purity.
Yudhisthira and his brothers were favored by the Kuru elders like Bhishma, Vidura ,Kripa and Drona over Duryodhana and his brothers, the Kauravas, due to their devotion to their elders, pious habits and great aptitude in religion and military skills, and all the necessary qualifications for the greatest of the kshatriya order.
Yudhisthira married the Panchali princess Draupadi, who bore him his son Prativindya. When the Pandavas came of age, King Dhritarashtra sought to avoid a conflict with his sons, the Kauravas, by giving Yudhisthira half the Kuru kingdom (upon Bhisma's advice), albeit the lands which were arid, unprosperous and scantily populated, known as Khandavaprastha.
But with the help of Yudhisthira's cousin Krishna, a new city, Indraprastha, was constructed by the Deva architect Viswakarman. The Asura architect Mayasura constructed the Mayasabha, which was the largest regal assembly hall in the world. Yudhisthira was crowned king of Khandavaprastha and Indraprastha. As he governed with absolute piousness, with a strict adherence to duty and service to this people, his kingdom grew prosperous, and people from all over were attracted to it.
Yudhisthira performed the Rajasuya sacrifice to become the Emperor of the World (Paramount Soveirgn). His motives were not to obtain power for himself, but to establish dharma and defend religion all over the world by suppressing the enemies of Krishna and sinful, aggressive kings.
Arjuna, Bhima, Nakula and Sahadeva led armies across the four corners of the world to obtain tributes from all kingdoms for Yudhisthira's sacrifice. At his sacrifice, Yudhisthira honored Krishna as the most famous and greatest personality. This incensed Sisupala, who proceeded to hurl several insults at Krishna and the Pandavas for selecting a "cowherd" for the great honor. When Sisupala's transgressions exceed the hundred pardons that Krishna had promised his mother, Krishna summons the sudarshana chakra to behead him. Following which, the yajna is completed successfully.
Yudhisthira was unable to refuse when Duryodhana's maternal uncle Shakuni, challenged him to a game of dice. Thanks to Shakuni's mastery of gambling, Yudhisthira lost each game, eventually gambling away his kingdom, his wealth, his brothers and finally his wife. Owing to the protests of Vidura, Bhishma and Drona, Dhritarashtra returned all these losses. However, Shakuni challenged Yudhisthira one more time, and Yudhisthira once more lost. This time, he, his brothers and his wife were forced to discharge the debt by spending thirteen years in exile, with the condition of anonymity in the last year, in the forest before they could reclaim their kingdom.
Yudhisthira was criticized by Draupadi and Bhima for succumbing to temptation and playing dice, an art he was absolutely unskilled at, making the Pandavas prey to Shakuni and Duryodhana's evil designs. Yudhisthira reproached himself for weakness of mind, but at the time he argued that it was impossible to refuse a challenge of any nature, as he was a kshatriya and obliged to stand by the kshatriya code of honour.
During the thirteen years, he was repeatedly tested for staunch adherence to religious values in face of adversity.
The conditions of the debt required the Pandavas to disguise themselves and not be discovered during the last year of exile. Yudhisthira learned dice play from Narada Muni and assumed the guise of a brahmin courtier and dice player in the Matsya Rajya of king Virata.
Dharma: What is heavier than earth, higher than heavens, faster than the wind and more numerous than straws?
Yudhishthira: One's mother is heavier than the earth; one's father is higher than the mountains. The mind is faster than wind and our worries are more numerous than straws.
Dharma: Who is the friend of a traveler? Who is the friend of one who is ill and one who is dying?
Yudhishthira: The friend of a traveler is his companion. The physician is the friend of one who is sick and a dying man's friend is charity.
Dharma: What is that which, when renounced, makes one lovable? What is that which is renounced makes happy and wealthy?
Yudhishthira: Pride, if renounced makes one lovable; by renouncing desire one becomes wealthy; and to renounce avarice is to obtain happiness.
Dharma: What enemy is invincible? What constitutes an incurable disease? What sort of man is noble and what sort is ignoble?
Yudhishthira: Anger is the invincible enemy. Covetousness constitutes a disease that is incurable. He is noble who desires the well-being of all creatures, and he is ignoble who is without mercy.
Dharma: Who is truly happy? What is the greatest wonder? What is the path? And what is the news?
Yudhishthira: He who has no debts is truly happy. Day after day countless people die. Yet the living wish to live forever. O Lord, what can be a greater wonder? Argument leads to no certain conclusion, the Srutis are different from one another; there is not even one Rishi whose opinion can be accepted by all; the truth about Dharma and duty is hid in caves: therefore, that alone is the path along which the great have trod. This world full of ignorance is like a pan. The sun is fire, the days and nights are fuel. The months and the seasons constitute the wooden ladle. Time is the cook that is cooking all creatures in that pan (with such aids); this is the news.
When the period of exile was completed, Duryodhana and Shakuni refused to return Yudhisthira's kingdom. Yudhisthira made numerous diplomatic efforts to retrieve his kingdom peacefully; all failed. To go to war to reclaim his birthright would mean fighting and killing his own relatives, an idea that appalled Yudhisthira. But Krishna, Yudhisthira's most trusted advisor (whom he recognized as the Avatara of Vishnu), pointed out that Yudhisthira's claim was righteous, and the deeds of Duryodhana were evil. If all peace efforts failed, war was therefore a most righteous course. There are many passages in the Mahabharata in which Yudhisthira's will to fight a bloody war for the sake of a kingdom falters, but Krishna justifies the war as moral and as the unavoidable duty of all moral warriors.
In the war, the Kuru commander Drona was killing thousands of Pandava warriors. Krishna hatched a plan to tell Drona that his son Ashwathama had died, so that the invincible and destructive Kuru commander would give up his arms and thus could be killed.
The plan was set in motion when Bhima killed an elephant named Ashwathama, and loudly proclaimed that Ashwathama was dead. Drona, knowing that only Yudhisthira, with his firm adherence to the truth, could tell him for sure if his son had died, approached Yudhisthira for confirmation. Yudhisthira told him: "Ashwathama has died". Yudhisthira, who could not make himself tell a lie, despite the fact that if Drona continued to fight, the Pandavas and the cause of dharma itself would have been lost, then added: "Praha kunjara ha", which means he is not sure whether elephant or man had died.
Krishna, knowing that Yudhisthira would be unable to lie, had all the warriors beat war-drums and cymbals to make as much noise as possible at the critical moment. The words "Praha kunjara ha" were lost in the tumult and the ruse worked. Drona was disheartened, and laid down his weapons. He was then killed by Dhristadyumna.
After speaking his half-lie, Yudhisthira's feet and chariot descended to the ground. However, Yudhisthira himself killed Shalya, the king of Madra and the last Kuru commander.
At the end of the war, Yudhisthira and the Pandava army emerged victorious, but Yudhisthira's children, the sons of Draupadi, and many Pandava heroes like Dhristadyumna, Abhimanyu, Virata, Drupada, Ghatotkacha were dead. Millions of warriors on both sides were killed.
Yudhisthira performed the tarpana ritual for the souls of the departed. Upon his return to Hastinapura, he was crowned king of both Indraprastha and Hastinapura.
Out of his piety, Yudhisthira retained Dhristarashtra as the king of the city of Hastinapura, and offered him complete respect and deference as an elder, despite his misdeeds and the evil of his dead sons.
Yudhisthira later performed the Ashwamedha yagna (sacrifice) to re-establish the rule of dharma all over the world. In this sacrifice, a horse was released to wander for a year, and Yudhisthira's brother Arjuna led the Pandava army, following the horse. The kings of all the countries where the horse wandered were asked to submit to Yudhisthira's rule or face war. All paid tribute, once again establishing Yudhisthira as the undisputed Emperor of the World.
Upon the onset of the Kali yuga and the departure of Krishna, Yudhisthira and his brothers retired, leaving the throne to their only descendant to survive the war of Kurukshetra, Arjuna's grandson Parikshita. Giving up all their belongings and ties, the Pandavas made their final journey of pilgrimage in the Himalayas.
While climbing the peaks, Draupadi, and each Pandava in reverse order of age, fell to their deaths, dragged down by the weight of their guilt for their sins. Yudhisthira reached the mountain peak, because he was unblemished by sin or untruth.
The true character of Yuddhisthira is revealed at the end of the Mahabharata. On the mountain peak, Indra, King of Gods, arrived to take Yudhisthira to heaven in his Golden Chariot. As Yudhisthira was about to step into the Chariot, the Deva told him to leave behind his companion dog, a creature not worthy of heaven to Indra. Yudhisthira stepped back, refusing to leave behind the creature who he had taken under his protection. Indra wondered at him - "You can leave your brothers behind, not arranging proper cremations for them...and you refuse to leave behind a stray dog!"
Yudhisthira replied, "Draupadi and my brothers have left me, not I [who left them]." And he refused to go to heaven without the dog. At that moment the dog changed into the God Dharma, his father, who was testing him...and Yudhisthira had passed with distinction. A version of this story appears in the Twilight Zone episode "The Hunt."
Yudhisthira was carried away on Indra's chariot. On reaching Heaven he did not find either his virtuous brothers or his wife Draupadi. Instead he saw Duryodhana and his evil allies. The Gods told him that his brothers were in Naraka (hell) atoning their little sins, while Duryodhana was in heaven since he died at the blessed place of Kurukshetra.
Yudhisthira loyally went to Naraka (hell) to meet his brothers, but the sights and sounds of gore and blood horrified him. Tempted to flee, he mastered himself and remained after hearing the voices of his beloved brothers and Draupadi...calling out to him, asking him to stay with them in their misery.
Yudhisthira decided to remain, ordering the Divine charioteer to return ... preferring to live in hell with good people than in a heaven of evil ones. At that moment the scene changed. This was yet another illusion to test him on the one hand, and on the other hand, to enable him to atone for his sin of using deceit to kill Drona. Indra and Krishna appeared before him and told him that his brothers were already in Heaven, along with his enemies, for earthly virtues and vices don't hold true in heavenly realms. Krishna yet again hailed Yudhisthira for his dharma, and bowed to him, in the final defining moment of the epic where divinity bowed down to humanity.
Source:
http://en.wikipedia.org/wiki/Yudhisthira
Hatiku selembar daun...
Subscribe to:
Posts (Atom)