Wednesday, 10 November 2010

Kepercayaan Asli Orang Meybrat

Kepercayaan Asli Orang Meybrat
Albertus Heriyanto2
Abstract
The belief of the archaic people is commonly relating to their view on nature,
other people, and the divine being. So does the belief of the Meybrat people.
They believe that there are divine and spiritual powers that created and take
care of the nature they are living in.
As other archaic people, they also conceive the divine being by associating it
with the immediate conditions of the economy and environment. Their
conception of it appear in names such as Yefun, (‘Lord and the creator of
nature), mythological persons such as Siwa and Mafif, and some spiritual
beings such as Taku and other spirits of the death. The idea of the divine being
is appeared in their certain cultural process, such as the Wuon cult (the cult of
initiation), “prayers”, and myths, or in their interrelations with the ancestors.
As hunters and planters, they are influenced by various natural phenomenons,
by their forest, fields and plants, by the fertility of the earth and its mystique.
That’s why their ideas about the divine being are impressed by the frightening
and marvelous manifestation of their environment.
1. Pengantar
Manusia senantiasa hidup dan berkembang dalam relasi dengan alam semesta,
dengan sesama dalam kelompoknya, maupun dengan orang lain di luar
kelompoknya. Pengalaman berrelasi itu selanjutnya melahirkan cara
pandang yang khas mengenai apakah alam semesta itu dan siapakah sesama
yang dengannya mereka berrelasi. Cara pandang itu kemudian mewujud dalam
tata sopan santun, adat istiadat, norma moral, tabu, serta berbagai tata sosial
kemasyarakatan. Manusia juga mengalami bahwa relasi-relasi horizontal itu
belum menjawab dan memuaskan seluruh kehausan spiritualnya akan makna,
asal dan tujuan hidupnya. Pertanyaan tentang hakekat dan makna peristiwaperistiwa
eksistensial seperti kehamilan, kelahiran, sehat dan sakit, bahagia dan
derita, perang dan damai, kehidupan dan kematian, tak menemukan jawaban
yang memuaskan hanya dalam relasi dengan alam dan sesama.3 Keyakinan akan
2 Dosen Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura.
3 Karl Jaspers menyebut pengalaman-pengalaman yang bisa memunculkan krisis eksistensi ini
sebagai situasi batas, dan di antaranya yang paling penting ialah pengalaman menghadapi
peristiwa kematian.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 28
adanya Realitas Yang Lebih Tinggi merupakan fenomena yang dapat kita temui
di hampir semua kebudayaan. Demikian pun halnya dengan suku Meybrat.
Sebagai satu kelompok masyara-kat yang memiliki sejarah sendiri dalam aneka
kekayaan tradisi budayanya – hidup mereka pun dilingkupi dan diberi arah oleh
kepercayaan akan adanya suatu kekuatan yang melebihi dirinya, yang
menjadikan mereka ada, yang mengatur kehidupan, dan menguasai seluruh alam
semesta.
2. Gambaran Umum Tentang Suku Meybrat
Kelompok Suku Meybrat mendiami daerah pedalaman Kepala Burung yang
mencakup suatu bentangan wilayah dari tepian Timur Kamundan di Timur
hingga ke Sun dan Waban di Barat; dari kaki Pegunungan Tamrau di Utara
hingga ke sekitar Danau Ayamaru di Selatan. Di wilayah inilah bermukim
kelompok-kelompok Suku Madik, Karon, Mare, Aifat, Ayamaru dan Aitinyo. 4
Dari segi bahasa, Suku Karon, Madik dan Meybrat digolongkan dalam satu
rumpun bahasa Fila Papua Barat5. Kiranya perlu ditambahkan juga keberadaan
kelompok Suku Mare dalam rumpun bahasa tersebut. Memang ada perbedaan
dialek di antara sub-sub suku tersebut, namun dari segi tradisi rupanya ada
keterkaitan yang sulit dilepaskan antara satu dengan yang lain; khususnya bila
kita menunjuk pada beberapa hal penting, seperti tradisi pertukaran kain timur,
alam kepercayaan, dan sejumlah ritus yang mereka jalankan (misalnya inisiasi).
Hal-hal ini menunjukkan bahwa antara Madik, Karon, Mare, Aifat, Aitinyo dan
Ayamaru memiliki kedekatan dalam tradisi. Maka, kiranya lebih tepat bila Jan
Boelaars menyatukan mereka dalam satu Suku Meybrat, meski Boelaars juga
tidak menyebut keberadaan kelompok Madik dan Aitinyo.6
3. Orang Meybrat dan Yang Ilahi
Orang Meybrat percaya akan adanya kuasa-kuasa yang menjaga kelangsungan
alam semesta dan melingkupi kehidupan manusia. Kuasa-kuasa itu dikenal pada
sejumlah nama yang akan kami jelaskan berikut ini.
4 N. Sanggenafa dan Koentjaraningrat - terutama dengan menitik-beratkan segi bahasa -
membedakan antara Orang Meybrat, Karon, dan Madik. Namun mereka tidak menyebut
keberadaan kelompok Suku Mare. Kiranya yang mereka maksudkan sebagai Orang Meybrat ialah
Orang-orang Aifat, Ayamaru, Aitinyo. Lih. Koentjaraningrat dkk., “Irian Jaya Membangun
Masyarakat Majemuk”, h. 156.
5 Ibid. h. 157.
6 Lih. Boelaars, Jan, “Manusia Irian – Dahulu, Sekarang, Masa Depan”, Gramedia, Jakarta, 1986,
h. 129.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 29
Yefun
Kuasa Tertinggi dalam kepercayaan Suku Meybrat dikenal dengan nama Yefun.
Nama ini sebenarnya ‘baru’ dalam hidup berkepercayaan masyarakat Meybrat,
karena mulanya hanya dikenal oleh kelompok Suku Madik dan dianggap sebagai
kata sakral yang tidak boleh sembarang diucapkan.
Kata Yefun berasal dari Bahasa Madik, yang terdiri dari dua kata: ‘Ye’ dan
‘fun’.7 Ye, berarti manusia, sedangkan Fun sering diartikan sebagai yang
sempurna, sejati, asli. Jadi, kata Yefun dapat diartikan sebagai ‘manusia sejati’.
Sejumlah responden menganggapnya sebagai manusia pertama, manusia asali.
Dialah asal mula segala sesuatu sekaligus sosok yang mengalirkan nafas
kehidupan bagi sekalian makhluk. Ia dipandang sebagai sosok yang agung,
tinggi luhur dan tak tersentuh. Yefun diyakini sebagai kuasa ilahi yang baik,
pemberi hidup dan pemelihara alam semesta. Untuk menyebut namanya pun
orang mesti melakukannya dengan penuh hormat, keseganan, bahkan terkesan
takut. Alasannya, bila Ia tak berkenan, maka akan sangat buruk akibatnya bagi
orang yang menyebutnya. Bisa jadi mereka akan sakit atau bahkan meninggal.
Siwa dan Mafif
Selain Yefun, dalam kepercayaan Orang Meybrat dikenal dua tokoh mitis
penting yang lebih populer: yakni Siwa dan Mafif.
Kedua tokoh ini diyakini sebagai orang-orang yang hadir sesudah Yefun.
Namun, di antara kedua tokoh ini Siwa-lah yang memiliki kekuatan gaib. Ia
diyakini sebagai orang yang pertama membuat segala sesuatu, dan semua itu
dibuatnya secara ajaib. Mafif seperti orang biasa saja. Jika ia membutuhkan
sesuatu atau hendak membuat sesuatu, ia harus bekerja keras.
Tentang kekuasaan Siwa ini, misalnya, dikisahkan bagaimana Siwa dan Mafif
membuat rumah.
Pada awal mula dunia ini, yang ada hanya Siwa dan Mafif. Mafif
berencana membuat rumah. Ia mengumpulkan kayu untuk tiang-tiang
dan kerangka rumah, rotan sebagai tali pengikat, daun sagu untuk atap,
bambu sebagai dinding, dan sebagainya. Berhari-hari ia bekerja keras.
Setelah semua bahan ia siapkan mulailah ia melaksanakan rencananya.
Namun upayanya tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Setiap ia
berusaha mengikat kerangka rumahnya, tali rotan yang ia gunakan putus
atau ikatannya lepas.
7 Dari segi arti katanya Thomas Emanuel Hae menerangkannya secara lebih detail dalam
“Pandangan Hidup Suku Karoon yang diungkapkan dalam Bahasa dan Gejala Pengelompokan”,
Skripsi Sarjana Muda STTK, Abepura, ….
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 30
Siwa datang dan melihat hasil pekerjaan Mafif. Ia tertawa melihat cara
kerja Mafif.
“Lihatlah, bagaimana saya bekerja,“ kata Siwa.
Dengan mudah sekali ia melakukan pekerjaan itu. Tali-tali seolah keluar
dari jari-jarinya. Dalam waktu sekejap saja, kerangka rumah itu telah
selesai. Demikianpun ketika ia menjahit daun-daun sagu untuk membuat
atap. Daun-daun itu seolah hanya dipegang-pegang dan dalam sekejap
saja selesailah sudah. Kemudian ia memasang semua atap dan
dindingnya. Dalam waktu singkat, rumah itupun jadi.
Karena yakin akan kuasa yang dimiliki Siwa, orang kemudian menggantungkan
hidup mereka kepadanya. Dalam upaya dan pekerjaannya, Orang Meybrat
seringkali mohon pertolongan dari Siwa. Misalnya, sewaktu orang hendak
mengiris mayang enau untuk memperoleh tuo (sageru), sebelumnya mereka
mengambil kayu, mengetuk mayangnya dan berkata, “Siwa heyum. Siwa
yemit”.8 Setelah itu barulah mereka mulai mengiris mayang enau tersebut.
4. Orang Meybrat dan Roh-roh
Selain nama-nama yang dapat dikatakan sebagai Yang Ilahi, ada roh-roh yang
lebih dekat atau bahkan secara lebih langsung mempengaruhi kehidupan
manusia, antara lain taku, kapes, roh-roh orang meninggal dan ranse.
Taku
Pemahaman tentang taku (=takuo) dalam kehidupan masyarakat dewasa ini
seringkali rancu. Sejumlah orang, secara merangkum menyebutnya sebagai
tempat yang ada penunggunya, entah itu batu besar, pohon besar, atau relung
sungai tertentu. Namun ada beberapa yang lain yang secara cukup jernih
membedakan antara tempat dan roh penunggunya, dan yang dimaksud dengan
taku ialah ‘roh’ penunggu tempat-tempat yang dianggap keramat tersebut. Rohroh
tersebut bisa baik, bisa pula jahat. Sering disebut juga sebagai roh para
pemilik dusun (roh tuan tanah). Schoorl9 mengidentifikasi para taku ini sebagai
arwah-arwah yang sudah ditebus, yang segala urusan transaksi kain timurnya
sudah selesai. Taku adalah gambar dari semua nenek moyang secara kolektif.
Mereka adalah manusia-manusia yang hidup di dunia bawah10, tapi juga di
pohon besar, batu, gua, riam sungai yang terdapat di dusun para leluhur klen.
Wujud kehadiran mereka ialah sejenis burung yang disebut burung krok, atau
dalam rupa sejenis ular pendek yang disebut beneyf.
8 Artinya: “Siwa, berilah. Siwa engkaulah yang memberi semuanya.”
9 Schoorl, “Neku Poku”, h. 21.
10 Orang menyebutnya sebagai seweron.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 31
Kapes
Menurut Schoorl, yang dimaksud dengan kapes ialah arwah orang yang belum
ditebus.11 Kiranya yang dimaksudkan ialah roh orang meninggal yang masih
bergentayangan mencari tempat peristirahatannya yang nyaman.
Kapes masih dibedakan lagi dalam beberapa macam: kapes fane (roh babi) dan
kapes mtah (roh anjing). Schoorl menyebutnya sebagai roh babi ataupun anjing
yang belum ditebus. Roh-roh ini biasanya merasuk pada tubuh wanita. Wanita
yang meninggal saat melahirkan ditakutkan akan menjelma menjadi kapes
fane.12 Menurut sejumlah responden istilah kapes fane lebih sering dipakai di
wilayah sekitar danau Ayamaru, sedang kelompok masyarakat Aifat yang lebih
ke utara, sering menyebutnya sebagai kapes mapo. Roh-roh ini sering merasuki
perempuan yang masih hidup, yang kemudian secara magis mampu
mencelakakan orang lain. Perempuan yang dirasuki roh ini selain disebut
sebagai kapes mapo kadang disebut juga sebagai perempuan suanggi.
Konon, roh-roh jahat ini dapat diperalat untuk mencelakakan orang lain yang
tidak disenangi. Kadang mereka juga iri melihat orang yang makan sendiri di
hutan. Kalau mereka melihat orang makan di sekitar tempat tinggal mereka dan
membuang sisa-sisa makanan sembarangan, sisa-sisa makanan itu akan menjadi
sarana bagi mereka untuk merasukinya, menyebabkan orang sakit, kurus dan
akhirnya mati.
Bila telah jatuh kurban semacam ini, para tetua akan melakukan mawi untuk
mencari tahu, siapa gerangan perempuan suanggi (kapes mapo) itu. Setelah
berhasil diketahui, maka perempuan itu akan dibunuh, entah dipukuli ataupun
dengan dipaksa minum akar tuba. Selanjutnya perutnya dibedah, untuk melihat
keanehan-keanehan pada isi perutnya.13
Roh-roh lainnya
Orang Meybrat percaya bahwa orang yang telah meninggal dunia akan hidup
sebagai roh-roh. Mereka membedakan antara roh-roh baik dan roh-roh yang
jahat. Roh-roh baik adalah roh orang yang meninggal dalam keadaan baik, wajar
dan tenang. Misalnya, mereka yang meninggal karena sakit atau tua. Orang yang
mati secara demikian disebut dengan istilah hi.
Namun lain halnya dengan roh orang yang meninggal secara mendadak tidak
wajar atau tidak tenang (hi yama). Misalnya mereka yang meninggal karena
11 Ka/cha: energi dingin. Pes: kuat. Jadi, dari arti katanya kapes berarti energi dingin yang kuat.
Lihat Schoorl, “Neku Poku”, h. 19.
12 Schoorl, “Neku Poku”, h. 19.
13 Konon, bila benar perempuan itu adalah kapes mapo, empedunya ada dua.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 32
jatuh dari pohon, bunuh diri, atau dibunuh. Bagi mereka ini, orang Meybrat
memiliki beberapa istilah tersendiri.
· Musuoh : sebutan untuk roh orang yang jatuh dari pohon. Orang
meninggal yang diketahui sebagai musuoh, matanya akan ditusuk dengan
duri sagu agar ia tidak bisa melihat. Orang Meybrat percaya bahwa bila
musuoh bisa melihat maka ia akan mencari orang lain untuk dibunuh.
· Fota : sebutan untuk roh kaum perempuan yang mati karena minum
akar tuba. Orang Meybrat sangat takut akan roh yang demikian sebab
dipercaya sebagai roh yang jahat sekali. Orang yang berjalan sendiri di
hutan, boleh jadi akan dibawa lari oleh fota.
· Atiet : orang yang mati dibunuh, entah ditikam dengan dengan
tombak, parang, atau dibunuh secara secara magis.
Bila diketahui bahwa ada roh-roh jahat yang sering mengganggu ketenteraman
hidup di kampung, maka orang tua-tua akan mengucapkan mantra-mantra untuk
mengusirnya.
Dahulu, bila ada seorang suami yang meninggal karena jatuh dari pohon, maka
orang akan mengurung isterinya dalam pondok tempat tinggalnya. Setiap malam
sang ibu akan meletakkan sebatang rokok di celah dinding bambu. Kalau
ternyata rokok itu menyala, berarti roh orang yang meninggal itu sedang datang.
Melihat itu, orang-orang wuon yang ahli dalam hal pengusiran roh – yang
memang sudah berjaga-jaga tidak jauh dari pondok itu – akan segera
mengucapkan mantra-mantranya guna membunuh roh tersebut dan kemudian
membakar pondok. Sementara pondok mulai terbakar, sang isteri harus segera
melepaskan dan membakar pakaiannya dan berlari keluar. Di luar, sang ibu akan
disambut oleh ibu—ibu yang lain yang telah menyiapkan pakaian baru baginya.
Mereka percaya, dengan demikian roh suaminya tidak akan mengikuti isterinya
Cara lain untuk membunuh roh ialah dengan mendatangi kubur orang yang
dianggap sebagai roh jahat itu. Sekelompok orang Wuon yang ahli dalam hal ini
berkumpul kurang lebih 50 meter dari kubur tersebut – siap dengan halia (jahe)
dan benda-benda magisnya. Salah seorang di antara mereka kemudian maju,
meletakkan jahe dan racun magis yang mereka persiapkan di atas kubur.
Kemudian mereka memanggil nama almarhum sambil menyebutkan sejumlah
kebiasaannya selama hidup. Misalnya, “Karel, ... mari datang isap rokok.” Bila
panggilan itu berkenan, maka akan terdengar suara dari dalam kubur. Bila roh
tersebut keluar, maka ia akan terkena racun yang telah di letakkan di atas
kuburnya dan mati.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 33
Bila upaya tersebut berhasil, maka mereka akan pulang ke kampung sambil
menari, menyanyi dan bersorak-sorai.
5. Seweron
Kepercayaan akan adanya Kuasa Ilahi dan adanya realitas lain selain manusia,
melahirkan juga gambaran akan adanya “dunia lain” selain dunia manusiawi
yang kita hidupi ini. “Dunia lain” itu mereka sebut Seweron.14 Arwah semua
orang yang meninggal diyakini akan menuju ke Seweron. Masing-masing marga
memiliki Seweron sendiri. Konon, menjelang saat meninggalnya orang akan
melihat sejumlah tanda yang tidak lazim, seperti rumput-rumput yang layu di
suatu tempat tertentu, padahal rumput di sekitarnya tetap segar. Mereka percaya
tempat semacam itu adalah Seweron.
Saat orang lauk (sekarat) orang-orang di dunia bawah sudah ramai dengan
persiapan penjemputan. Begitu orang tersebut meninggal ia akan pindah ke
Seweron, dan setiba di sana ia akan dijemput dan di antar masuk ke tempat yang
tersedia bagi masing-masing sesuai dengan kehidupannya di dunia.
Di Seweron, semua orang akan berjumpa kembali. Namun, mereka akan
dipisahkan dalam kelompok-kelompok sesuai dengan perilaku masing-masing
semasa hidupnya, dan menurut sebab-sebab kematiannya. Misalnya, mereka
yang selama hidupnya dikenal sebagai orang baik (rae ati), akan berkumpul
dalam satu rumah dengan rae ati lainnya, sedang mereka yang semasa hidupnya
kurang berlaku baik (rae kair/makair) serta mereka meninggal karena minum
akar tuba (bunuh diri) akan berkumpul di satu rumah tersendiri.
Orang Meybrat beranggapan bahwa Seweron merupakan tempat di mana waktu
tidak dikenal lagi. Siang ataupun malam tidak ada bedanya lagi. Di sana orang
menjalani hidup seperti di dunia ini, membuka kebun dan menjalankan hobi dan
kebiasaan masing-masing. Orang yang suka berburu misalnya, dapat berburu
sesukanya. Orang baik akan hidup dalam keadaan tidak berkekurangan; kebun
mereka subur dan perburuan mereka selalu berhasil. Kehidupan mereka
senantiasa diwarnai oleh pesta dan tari-tarian. Sedangkan mereka yang semasa
hidup di dunia ini berlaku buruk atau jahat, akan mengalami masa-masa yang
berat. Mereka harus bekerja keras untuk memperoleh kebutuhan mereka.
Orang-orang yang meninggal secara tidak wajar15 akan menjadi roh jahat. Rohroh
semacam ini tidak puas dengan keadaan mereka dan menurut kepercayaan,
14 Orang Karon menyebutnya Suruon. Dalam buku-buku antropologi seringkali digunakan juga
istilah ‘dunia bawah’.
15 Sering mereka menyebutnya sebagai ‘mati paksa’ atau ‘mati terpaksa’.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 34
selalu mengganggu bahkan sering berusaha mencelakakan orang yang masih
hidup.
Orang Meybrat rupanya percaya akan ketidakmatian jiwa. Menurut mereka
tubuh mati dan hancur, tapi roh manusia hidup terus. Karena itu orang Meybrat
sering memanggil roh/arwah para leluhur atau kerabat yang telah meninggal
untuk mengenang mereka ataupun untuk minta bantuan mereka dalam sejumlah
hal tertentu. Meski terkesan sebagai suatu bentuk kepercayaan yang tidak asli,
sejumlah responden mengatakan, melalui roh-roh leluhur itulah manusia
berrelasi dengan Yefun.
6. Catatan Refleksif
6.1. Orang Meybrat dan Kuasa Ilahi
Gambaran akan hadirnya Kuasa Ilahi dalam kehidupan Suku Meybrat nampak
dalam hadirnya figur-figur ilahi yang dapat kita temukan dalam mitos/cerita
rakyat. Sebagaimana telah kami jelaskan di atas, ada sejumlah nama yang
penting dalam kepercayaan mereka: Yefun, Siwa dan Mafif, Taku, dan roh-roh
lainnya. Namun, apakah ada hubungan yang bersifat hirarkis antara satu dengan
yang lain, ataukah masing-masing berada dalam kedudukan yang lepas dan
tersendiri, tidaklah begitu jelas. Satu hal yang jelas ialah adanya Kuasa Tertinggi
yang melebihi figur-figur lainnya, yang mereka kenal sebagai Yefun. Namun,
bila kita menyelami gambaran mereka tentang Yefun sebagai Pencipta dan
sumber dari segala yang ada, kita akan masuk pada suatu bidang yang kabur dan
mendua. Di satu pihak, Yefun diakui ada dan dipandang sebagai Pencipta segala
sesuatu, namun di lain pihak tidak ada mitos mengenai asal—usul yang
menampilkan peran Yefun sebagai Pencipta. Orang hanya mengatakan, “Yefun
yang bikin.” Di satu sisi Ia adalah ‘kuasa yang melingkupi’, ‘kekuatan yang tak
terlukiskan’. Kepadanya manusia merunduk takut dan kagum sekaligus, tapi di
lain sisi terkensan bahwa Orang Meybrat mesti menjauh dari tempat kehadiran-
Nya dan tidak menimbulkan murka-Nya. Tempat-tempat tertentu di Pegunungan
Tamrau yang digambarkan sebagai tempat bersemayam-Nya merupakan tempat
pemali; tempat yang sebaiknya tidak dilewati, dijamah atau dihadiri, bila
manusia tidak mau celaka. Tidak nampak adanya ritus ataupun pesta adat yang
secara langsung mengaitkan manusia dengan Yefun.
Tokoh yang amat sentral dan dominan dalam kepercayaan Orang Meybrat -
sebagaimana terungkap dalam cerita-cerita rakyatnya - adalah Siwa dan Mafif.
Secara umum Siwa-lah yang tampil sebagai simbolisasi dari kekuatan ilahi,
namun di samping kekuatan adi-kodrati yang dimilikinya, sifat dan tindakan
Siwa seringkali menampilkan sisi buruk manusia, yakni licik dan suka menipu
dan menggoda. Ada pun Mafif mewakili kemampuan kodrati manusiawi. Ia
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 35
ditampilkan dengan sifat-sifat lugu, jujur, rela membantu, yang menjadi ideal
moralitas dan selalu bekerja keras.
Kedua tokoh mitologis tersebut kiranya penting dalam menjamin
kesinambungan antara masa lampau dan masa kini. Antara awal mula alam dan
manusia dengan pengalaman kekinian. Mereka kiranya dapat disebut sebagai
manusia asali, yang menjadi asal-usul segala yang ada sekarang ini. Pada
sejumlah orang yang masih dipengaruhi oleh kepercayaan asli, nama Siwa
kadang masih disebut dalam ‘doa’, meski dalam praktek kehidupan - terutama
bagi kebanyakan generasi muda - baik Siwa ataupun Mafif, bukan dewa-dewa
yang berperan penting dalam perjalanan hidup manusia. Mereka dapat disebut
sebagai pribadi-pribadi ilahi yang secara khusus memberi makna pada
penghayatan hidup mitis Orang Meybrat. Siwa dan Mafif kiranya dapat
dipandang sebagai simbol dan gambaran dari Dia yang tak tersimbolkan dan tak
terlukiskan: Yefun.
Bagi Orang Meybrat, kuasa ilahi nampak lebih jelas dalam relasi manusia
dengan kekuatan alam tempat hidupnya dan dengan roh-roh; secara khusus
dalam dunia ekonomis. Bagi mereka yang hidup dalam kebersatuan dengan
alam, yang ilahi adalah ‘roh penunggu gunung’, ‘roh penjaga hutan’, ‘roh
pemilik sungai’, ‘roh penjaga pohon’.16 Asosiasi antara Yang Ilahi dengan halhal
yang dahsyat tidak begitu nampak. Matahari, bulan, angin atau hujan dan
guntur, jarang disebut sebagai tanda kehadiran kuasa ilahi. Rupanya
penghayatan keilahian tampil lebih dekat dan menyebar dalam hidup keseharian
mereka, dan bukan sebagai yang satu dan besar. Menarik untuk dicatat di sini
ialah bahwa dalam po-tkief (mantera-mantera), magi, dan ritual-ritual lainnya
keterarahan spiritual mereka lebih ditujukan kepada roh-roh nenek moyang.
Rupanya Yefun sebagai Pencipta dan Yang Tertinggi menjadi sosok yang jauh
dari kehidupan konkrit masa kini. Roh-roh leluhur itu hadir sebagai yang
disegani, pemali, bahkan ditakuti. Relasi antara roh leluhur dengan manusia
nampak saat mereka membuka kebun, menanam benih, mencari ikan atau
berburu. Di sini terungkap bahwa bukan hanya kekuatan manusiawi semata yang
mereka andalkan, namun juga kekuatan lain. Dan dalam hal ini roh-roh leluhur–
lah yang merupakan alamat utama dari mantera dan ‘doa-doa’ mereka. Roh-roh
16 Dupre’, Wilhelm, dalam “Religion in Primitive Culture – a Study in Ethno-philosophy” menulis
bahwa “One way of conceiving divine being is by associating it with the immediate conditions of
the economy and environment. Gatherers and hunters refer in their ideas, values, and actions to
the ‘Lord of the Forest’ or the forest itself, to the God and gods (owners) of the animal or to the
animal itself. They are impressed by the frightening and marvelous manifestation of their
environment and blend them with their ideas about the divine being. Planters are influenced their
fields and plants, by the fertility of the earth and its mystique. They associate the divine being with
sun and earth, with rain and wind. Lih. h. 252.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 36
ini adalah pemilik kesuburan, pemilik hewan-hewan buruan, dan manusia mesti
memohon kepada mereka agar mereka tidak menyimpan apa yang mereka
butuhkan melainkan melimpahkannya kepada anak-cucu yang masih hidup.17
Selain roh-roh leluhur yang baik, roh yang juga amat berpengaruh dalam
kehidupan mereka ialah roh-roh jahat, yakni roh-roh belum menemukan tempat
berdiamnya yang nyaman. Kepercayaan akan roh ini merupakan bagian dari
kesadaran Orang Meybrat akan keterbatasan kekuatannya. Dunia roh adalah
dunia yang mengurung ada-diri mereka. Ini nampak dalam simbolisasi tempat
kediaman mereka yang serba menggentarkan, membahayakan, dan membawa
efek psikologis ketundukan, ketaklukan. Misalnya, terhadap pusaran sungai yang
menyedot, manusia tidak dapat berbuat lain selain tunduk pada kuasa alam
tersebut.
Upacara adat yang umum dilakukan di tempat-tempat keramat tersebut, baik di
kolam-kolam, batu ataupun pohon, polanya hampir sama. Mula-mula tempat itu
dibersihkan, kemudian kain-kain timur warisan leluhur dibuka kembali, diangkat
sambil menyebut nama para leluhur suku yang mewariskan kain tersebut.
Selanjutnya digali sebuah lubang kecil di tanah. Sageru (tuo) dituangkan ke
lubang itu sambil berucap, “Minuman ini kami berikan kepadamu. Tolong
berikanlah kesuburan kepada kami.”18
Dalam ritus pengusiran roh ataupun dalam mantera-mantera yang diucapkan,
nampak bahwa Orang Meybrat memandang dirinya sebagai bagian dari kekuatan
alam raya. Mereka bukan hanya obyek lemah yang senantiasa memohon, takut
dan takjub, melainkan juga subyek yang mampu menguasai kekuatan-kekuatan
lain.
Mereka menyadari tempat manusia dalam strata kekuatan alam semesta, namun
rupanya ketundukan semata-mata bukanlah sikap khas manusia. Manusia juga
ingin membuktikan diri sebagai figur yang tidak bisa diperlakukan semenamena.
Untuk itu mereka memanfaatkan daya magis dari alam itu sendiri.
Misalnya, kekuatan roh-roh sering dihadirkan untuk menjaga bagian tertentu
dari kebun atau dusun yang dianggap lingkungan milik klen atau keluarga yang
17 Bdk. Dupre’, ibid. h. 253. The differential transformation of the idea of God or the divine being
by and in interrelation with certain cultural process can also be seen when the ancestors (and not
only the first one) take over most of the function of the godhead and thus outline the patterns of
cult (manism), or when the indefiniteness of mythological figures is structured and realized (cult)
in accordance with a highly distinct social order (polytheism) or environment (local deities,
owners).
18 Permohonan ini diucapkan bila orang akan membuka kebun baru di dekat/sekitar pohon yang
dianggap keramat. Permohonan lain bisa diucapkan bila konteks tempatnya berbeda. Misalnya, di
batu keramat, orang mohon agar perjalanannya selamat, atau di kolam keramat (mos ano) mohon
diberi ikan.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 37
bersifat eksklusif dan sakral. Di tempat-tempat itu orang membuat tanda
larangan (yang disebut sasi). Tanda ini biasa diletakkan pada bagian tertentu dari
kebun yang dianggap sakral. Tandanya antara lain: pada tempat itu ditanam
bambu air, atau ditanam daun fiyu. Tempat ini tidak boleh dimasuki/ dilewati
oleh sembarang orang. Orang yang melanggar larangan ini, akan mengalami
luka-luka atau kudis. Untuk mengobatinya seorang wuon harus mengucapkan
mantera po-tkief.
Hal yang menarik dari praktek ini ialah bahwa media yang digunakan untuk
menghadirkan kekuatan alam magis terutama adalah tanaman-tanaman yang bisa
secara mudah ditemukan di lingkungan mereka, seperti bambu air, daun fiyu,
jahe, daun tah, daun sibuk, dan sebagainya. Dengan ini dapat kita lihat bahwa
ritus-ritus sakral bukanlah sesuatu yang asing dari keseharian. Yang sakral dan
yang profan bukanlah realitas hitam-putih yang saling mengasingkan, melainkan
dua sisi dari kehidupan yang senantiasa menyatu dalam penghayatan hidup
manusia.
6.2. Yang Ilahi dan Siklus Kehidupan
Peran kuasa ilahi dalam dunia ekonomis itu berpengaruh juga pada proses
budaya.19 Kelahiran, pendewasaan, perkawinan dan kematian merupa-kan
tonggak-tonggak sejarah kehidupan manusia yang amat penting. Sedemikian
penting sehingga peristiwa-peristiwa itu tidak dapat dipandang sebagai peristiwa
individual, melainkan juga peristiwa sosial dan religius.
Kelahiran dan ritual-ritual yang menyertainya, yang merupakan peristiwa di
mana manusia menyadari bahwa dirinya bukanlah asal-usul dari keberadaannya
sendiri. Kehadiran seorang bayi, mengantar kesadaran relasional manusia
dengan Yefun sebagai yang menjadikan segala sesuatu, dengan para leluhur asali
sebagai asal-usul suku atau klennya, dan yang paling jelas dalam penghayatan
aktual mereka ialah kesadaran akan relasi dengan para nenek moyang sebagai
leluhur biologisnya.
Selain sebagai sumber rahmat, kesadaran akan keberadaan ‘yang lain’ itu juga
sering dirasakan sebagai ancaman. Salah satu alasan utama diselenggarakannya
upacara inisiasi (wuon ataupun fenia mekiar) tak lain ialah ancaman dalam
kehidupan fisik dan ekonomis, yakni bila keladi yang ditanam tidak berisi, enau
yang disadap tidak banyak mengeluarkan air, dan kehidupan masyarakat nampak
lesu. Situasi ini diartikan sebagai tanda telah terlanggarnya tabu-tabu adat yang
berakibat pada terganggunya keseim-bangan alam dan marahnya para leluhur.
19 Bdk. Catatan Dupre’. Ibid..
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 38
Melalui pendidikan pendewasaan dalam rumah wuon serta fenia mekiar ini
keseimbangan semesta diharapkan dapat pulih kembali. Dalam proses
pendidikan ini, generasi muda diajarkan untuk menguasai diri. Di sini orang
mulai melihat keterbatasan dirinya, sekaligus juga melihat kemungkinankemungkinan
yang dapat diraihnya. Dalam kawuon orang kembali menjadi
bagaikan bayi yang tidak berdaya. Kepatuhan, dan disiplin menjadi hal yang
amat penting. Dengan seluruh proses ini diharapkan mengantar orang menjadi
pemeran yang mampu menyumbang sesuatu bagi masyarakat. Dalam
powatum20, sangat ditekankan hal-hal yang berkaitan dengan kasih dan perhatian
pada sesama, serta damai dan persatuan dalam masyarakat. Orang disadarkan
juga akan keberadaannya yang akil balig, yang sudah harus mulai dengan tugas
dan tanggungjawab sebagai manusia dewasa. Orang disadarkan akan pentingnya
relasi-relasi, baik dengan alam, sesama – terutama melalui perkawinan dan
pertukaran kain timur – dan dengan roh-roh dan Yang Tertinggi, melalui mitos
yang harus diceritakan, mantera-mantera yang perlu didaraskan dan ritual yang
harus terus dijalankan. Di sini orang muda diantar pada kesadaran relasional
dengan ‘yang lain’, kekuatan-kekuatan alam yang harus ditundukinya, tapi
sekaligus juga belajar untuk menguasai alam kehidupan ini.
Tentang perkawinan, Schrool menulis bahwa perkawinan merupakan peristiwa
yang amat penting dalam menjamin kelangsungan kesuburan dari pasanganpasangan
muda yang potensial: untuk lahirnya generasi baru yang pada
gilirannya menjamin munculnya tenaga kerja baru dan pembaruan pasanganpasangan
seksual yang seimbang, yakni laki-laki dan perempuan. Perkawinan
merupakan jaminan bagi kesinambungan hidup klen dan Orang Meybrat sebagai
keseluruhan.21 Di ufuk harapan akan terjaminnya kelangsungan masyarakat
melalui perkawinan, hal yang membayanginya ialah peristiwa-peristiwa sakit
dan kematian. Perkawinan dan kelahiran baru adalah penting guna menjamin
keseimbangan antara mereka yang pergi dan mereka yang datang, yang mati dan
yang lahir sebagai penggantinya.
Namun, penghayatan relasional antara manusia dengan ‘yang lain’ terungkap
secara paling jelas dalam peristiwa kematian. Melalui peristiwa dan upacaraupacara
di sekitar kematian, Orang Meybrat seolah diingatkan untuk terus
merajut jalinan hubungan antara seluruh realitas semesta. Merajut hubungan
antara manusia kini dengan Yang Tertinggi, dengan Leluhur Asali dan para
leluhur klen, serta para kerabat yang telah mendahului mereka. Jalinan hubungan
ini dinyatakan dengan menunjukkan kepada para leluhur itu kain-kain pusaka
yang mereka wariskan. Upacara-upacara di sekitar kematian juga
20 Powatum ialah nasehat atau wejangan para orang tua kepada anaknya, dan secara khusus juga
wejangan para guru wuon kepada para anak didiknya dalam rumah inisiasi.
21 Bdk. Schoorl, “Neku Poku”, h. 62.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 39
memperlihatkan kepada kita kebersatuan manusia dengan alam semesta: kembali
bersatunya manusia dengan alam secara fisik, dan bersatunya kembali roh
manusia dengan roh semesta, bersatunya kembali kekuatan manusia dengan
kekuatan alam.
Daftar Pustaka
Boelaars, Dr. Jan, 1986, "Manusia Irian - Dahulu, Sekarang, Masa Depan",
Gramedia, Jakarta.
Dupre', Wilhelm, 1975, "Religion in Primitive Cultures - a Study in Ethno philosophy",
The Hague, Paris.
Geertz, Clifford, 1995, “Kebudayaan dan Agama”, Kanisius, Yogyakarta.
Hae, Thomas Emanuel, …., “Pandangan Hidup Suku Karoon yang Diungkapkan
dalam Bahasa dan Gejala Pengelompokan”, Skripsi Sarjana Muda STTK,
Abepura.
Koentjaraningrat, 1994, “Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk”,
Djambatan, Jakarta, h. 163-166.
Pritchard, Evans, E. E., 1984, “Teori-teori tentang Agama Primitif”, Djaya
Pirusa, Jakarta, (terjemahan H. A. L.)
Safuf, Kristianus, 1990, “Panorama Religiusitas Suku Aifat”, Skripsi STFT Fajar
Timur.
Schoorl, Dr. H. M., 1991, “Neku Poku”, terjemahan Indonesia oleh Piet Giesen
OSA (manuscript). Aslinya diterbitkan di Nymegen, Belanda, 1991.
Susanto, P.S. Hary, 1987, "Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade", Kanisius,
Yogyakarta.

No comments: