Wednesday, 10 November 2010

Konservasi Sumber Daya Alam Papua Ditinjau Dari Aspek Budaya

Konservasi Sumber Daya Alam Papua Ditinjau Dari Aspek Budaya


J. R. Mansoben



Abstrak
The consept of cultural ecology; a theoretical consept introduced by J.
Steward in 1955, is used by the writer as an analytical tool to comprehend
the relationship between human and their ecosystems. The consepts has a
meaning that the relation between those two; man and ecosystem is creative.
But the creativity between human and the environment is different from one
society to another. The different is determined by the cultural consepts on the
ecosystem by each tribes. Some people look at the ecosystem as something
that sacred; the ecosystems have to be respected and can not be bothered.
Other people look at the natural environment as a friend. These kind of views
normally come from traditional people.
The author then argued that we need to look at those people ways of thinking
in taking care of the ecosystems when managing our ecosystems..
1. Pengantar
Setiap mahluk hidup yang mendiami suatu ekosistem tertentu mempunyai
hubungan erat dengan ekosistem tersebut. Hubungan itu berupa interaksi timbal
balik antara sesama mahluk hidup dan antara mereka dengan alam tempat
mereka hidup. Tingkat derajad pengaruh yang terjadi akibat interaksi antar
sesama mahluk hidup maupun antara mahluk hidup dengan lingkungan alamnya
senantiasa berada dalam suatu keseimbangan, meskipun kadang-kadang muncul
salah satu unsur sebagai faktor determinan. Misalnya pada suatu ekosistem
tertentu terdapat hanya jenis-jenis mahluk tertentu saja karena jenis-jenis mahluk
hidup inilah yang dapat beradaptasi untuk dapat hidup dan mempertahankan
kelangsungan hidup spesiesnya di ekosistem tersebut. Dengan kata lain unsur
alam merupakan faktor determinan terhadap jenis-jenis mahluk hidup di
dalamnya.
1) Artikel ini merupakan revisi dari makalah dengan judul yang sama disampaikan dalam Seminar Dampak
Eksploitasi SDA terhadap Masyarakat dan Pelestarian Lingkungan hidup di Irian Jaya, 15-16 Desember
1999, di Kampus Universitas Cenderawasih, Abepura-Jayapura dilaksanakan atas kerjasama Universitas
Cenderawasih dan PT. Freeport Indonesia;
2) Staf Dosen Antroplogi FISIP Universitas Cenderawasih dan Ketua Lembaga Penelitian Universitas
Cenderawasih.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 2
Manusia sebagai salah satu jenis mahluk hidup, juga mempunyai hubungan yang
erat, baik antara dia dengan sesama mahluk hidup lainnya maupun dengan
lingkungan alam di mana ia hidup, bahkan berbeda dengan jenis-jenis mahluk
hidup lainnya ia mempunyai suatu kemampuan yang luar biasa untuk
beradaptasi terhadap lingkungan manapun. Ia mampu untuk beradaptasi di
lingkungan ekosistem yang berbeda-beda (di daerah tropis, sub-tropis, kutub,
daerah berawa, pengunungan tinggi, pulau/pantai).
Bentuk-bentuk hubungan apa yang terjalin antara manusia dengan mahlukmahluk
hidup lainnya dan antara manusia dengan lingkungan alamnya dalam
rangka mempertahankan eksistensinya dan apa yang terwujud sebagai hasil dari
proses interaksi tersebut amat bervariasi dari satu ekosistem dengan ekosistem
lainnya. Makalah ini membahas hubungan-hubungan apa yang diwujudkan oleh
mahluk manusia untuk berinteraksi dengan ekosistemnya dan dampak-dampak
yang diakibatkan oleh interaksi tersebut.
2. Kerangka Acuan : Manusia dan Ekosistem
Untuk memahami hubungan antara manusia dengan lingkungan alamnya, saya
meminjam gagasan Julian Steward sebagai kerangka acuan yang dapat memandu
kita untuk melihat dan memahami hubungan tersebut. Kerangka Julian Steward
dikenal dengan konsep cultural ekology, atau konsep ekologi kultural. Apa yang
dimaksud oleh Steward (1955:37) dengan ekologi kultural di sini adalah
interaksi antara teknologi dan pola-pola kultural yang ditetapkan untuk
mengeksploitasi lingkungannya. Dalam pemahaman ini interaksi tersebut
bersifat proses kreatif, yang terutama berasal dari mahluk manusia terhadap
lingkungannya (ekosistemnya). Proses kreatif ini sangat penting karena
merupakan faktor determinan penting bagi perubahan kebudayaan.
Sepanjang sejarah umat manusia, kebudayaan-kebudayaan yang dikembangkan
diberbagai ekosistem yang berbeda mengalami perubahan-perubahan meskipun
perubahan-perubahan itu tidak selalu sama antara satu komunitas ekosistem
dengan komunitas ekosistem lainnya. Implikasinya ialah bahwa pada ekosistemekosistem
tertentu terjadi perubahan-perubahan yang sedemikian besarnya
sehingga berbalik mengancam kehidupan manusia itu sendiri, tetapi disamping
itu terdapat pula komunitas-komunitas dengan ekosistem yang mengalami
perubahan kecil sampai yang hampir tidak mengalami perubahan.
Pertanyaan yang muncul adalah kenapa hal demikian bisa terjadi?
Menurut Kluchohn dan Stodbeck (1961), perubahan-perubahan ini dapat terjadi
disebabkan oleh perbedaan nilai orientasi budaya yang dimiliki oleh warga
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 3
komunitas tertentu untuk berinteraksi dengan lingkungan alamnya atau
ekosistemnya. Paling tidak ada tiga orientasi nilai budaya terhadap alam yang
diwujudkan oleh manusia.
Pertama adalah masyarakat yang berorientasi bahwa alam merupakan sesuatu
yang potensial yang harus dieksploitasi untuk membahagiakan kehidupan
manusia. Kedua adalah masyarakat dengan nilai orientasi, bahwa alam
merupakan sarana atau media bagi manusia untuk melangsungkan kehidupannya
dan juga sebagai medan yang memungkinkan perubahannya untuk berjuang
hidup melalui karya-karyanya sehingga terdapat suatu hubungan struktural antar
manusia dengan lingkungannya yang tak terpisahkan. Hal ini menyebabkan
manusia bersikap simpati dan solider dengan alam. Akibat dari sikap demikian
ialah alam tidak boleh diperlakukan semena-mena misalnya dalam bentuk
eksploitasi. Ketiga adalah masyarakat yang mempunyai nilai orientasi budaya
bahwa alam merupakan sesuatu yang sakral, oleh karena itu tidak boleh
diganggu.
Konsekwensi dari nilai orientasi yang berbeda-beda inilah yang menyebabkan
bentuk interaksi terhadap lingkungan alamnyapun berbeda-beda pula. Jika kita
amati ketiga nilai orientasi budaya tersebut di atas dalam kaitannya dengan
pengelolaan lingkungan yang lestari, maka tidak dapat diperdebatkan, bahwa
pada masyarakat pendukung kedua nilai orientasi budaya tersebut terakhir tidak
terdapat persoalan yang amat serius dengan pelestarian lingkungannya. Hal ini
berbeda dengan kelompok masyarakat pendukung nilai orientasi budaya yang
disebut pertama.
3. Masyarakat Pendukung Orientasi Nilai Budaya “Eksploitasi Alam”
Pada umumnya masyarakat pendukung nilai orientasi budaya yang ingin
menguasai dan mengeksploitasi semaksimal mungkin alamnya untuk
kesejahteran dan kebahagiaan penduduknya terdapat pada masyarakatmasyarakat
yang dikategorikan sebagai masyarakat modern. Kecenderungan ini
sebenarnya terjadi tidak lama bila kita menempatkan perkembangan itu dalam
perspektif sejarah kehadiran manusia sebagai mahluk penghuni planet bumi kita
ini. Temuan-temuan arkeologi menunjukkan bahwa mahluk manusia mulai
menjadi penghuni planet bumi kita ini ± 4 juta tahun yang lalu (Leaky, 1976).
Sedangkan upaya untuk menguasai dan mengeksploitasi alam secara besarbesaran
oleh sebagian masyarakat manusia, terutama di Eropa, terjadi pada abad
ke 19, ketika mulai muncul revolusi indutri. Dalam kurun waktu kurang lebih
duaratus tahun terakhir, dalam perkembangan sejarah manusia, proses
penguasaan dan eksploitasi alam menyebar dan meluas ke berbagai bagian di
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 4
dunia, dan akhirnya sampai ke Tanah Papua kurang lebih dua dasawarsa silam
dan kini sedang berlangsung dan akan berlangsung terus.
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya orientasi nilai budaya demikian
disebabkan oleh penyesuaian terhadap tekanan-tekanan ekologis seperti keadaan
iklim, musim, kesuburan tanah, persediaan sumber-sumber daya, dan sumbersumber
pendukung seperti air dan lain-lain. Kecuali penyesuaian terhadap
tekanan ekologis tersebut, faktor-faktor pendorong lain terhadap timbulnya nilai
orientasi demikian sesungguhnya berasal dari sistem sosial itu sendiri, berupa
terciptanya pembagian kerja dalam masyarakat, penggunaan tenaga mesin, serta
temuan-temuan baru dalam bidang kesehatan yang memungkinkan harapan usia
hidup lebih panjang, dan pertambahan jumlah penduduk yang pesat.
Semua faktor penyebab ini akhirnya mengharuskan manusia untuk membuat
pilihan-pilihan seperti pilihan untuk menentukan berapa banyak orang dapat
tinggal di suatu tempat, bagaimana penyebarannya, berapa besar volume barang
yang harus diproduksi untuk memenuhi permintan yang semakin banyak,
singkatnya adalah bagaimana mengolah atau mengeksploitasi alam untuk
memenuhi kebutuhan manusia yang semakin kompleks itu. Pengendalian yang
kurang bijaksana terhadap proses ini pada akhirnya akan menggiring manusia
pada persoalan besar, yaitu bagaimana keberlanjutan hidup mahluk manusia itu
sendiri, jika sumber-sumber daya alam habis tereksploitasi dan lingkungan
tercemar sehingga tidak memungkinkan lagi sebagai tempat keberlangsungan
hidup. Kita sedang berada dalam proses ini dan oleh karena itu kita harus ikut
berperan serta dalam berbagai upaya yang sedang dilaksanakan masyarakat
dunia, misalnya menindaklanjuti dan mengimplementasikan deklarasi
Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Lingkungan dan pembangunan sedunia di Rio
de Jeneiro pada tahun 1992 dan penyebarannya dalam Agenda 21-Indonesia,
untuk membuat solusi yang tepat, agar di satu pihak kualitas hidup tetap
ditingkatkan dan terjamin dan pada pihak yang lain sumber-sumber daya yang
tersedia di alam tidak habis terkuras dan tetap terpeliharanya lingkungan alam
sehingga menjadi “rumah layak huni” yang dapat diwariskan bagi keberlanjutan
hidup mahluk manusia di kemudian hari. Uraian singkat di atas memperlihatkan
pandangan masyarakat modern dengan nilai orientasinya serta akibat yang
mungkin akan ditimbulkannya.
4. Masyarakat Pendukung Orientasi Nilai Budaya “Selaras Dengan Alam”
Uraian selanjutnya akan membahas, juga secara singkat, bagaimana pandangan
masyarakat yang mempunyai nilai orientasi bahwa hubungan manusia dengan
alam harus terjaga baik. Pandangan ini terdapat pada masyarakat-masyarakat
yang dikategorikan sebagai masyarakat sederhana atau masyarakat tribal. Seperti
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 5
yang disinyalir sebelumnya di atas bahwa masalah-masalah ekologis yang
merupakan masalah besar dalam kehidupan masyarakat modern hampir tidak
ditemukan pada masyarakat tribal atau masyarakat tradisional. Mengapa
demikian?
Dalam pandangan kosmis masyarakat tradisional (sebagian besar kelompokkelompok
etnik di Tanah Papua tergolong ke dalam masyarakat ini), manusia
adalah bagian yang integral dengan ekosistemnya. Perwujudan dari pandangan
demikian adalah personifikasi gejala-gejala alam tertentu dengan kelompoknya.
Misalnya orang Amungme yang mempersonifikasikan alam dengan tubuh
seorang manusia, orang Asmat menganggap pohon sebagai penjelmaan jati diri
manusia dan ada kelompok-kelompok etnik tertentu percaya bahwa mereka
adalah keturunan dari burung atau jenis hewan tertentu lainnya.
Pandangan dan keyakinan demikian menyebabkan terbentuknya norma-norma
dan nilai-nilai tertentu yang berfungsi sebagai pengendali sosial bagi masyarakat
pendukungnya untuk berinteraksi dengan ekosistem. Norma-norma itu
menetapkan apa yang baik dan apa yang tidak baik untuk dilakukan oleh
masyarakat dalam bentuk hubungan-hubungan sosial maupun dalam
pemanfaatan sumber-sumber daya alam yang ada, misalnya larangan-larangan
untuk membunuh jenis-jenis hewan tertentu, menebang sembarangan pohonpohon
di kawasan hutan tertentu, merusak atau mencemarkan lingkungan alam
tertentu atau melakukan perbuatan a-sosial di tempat-tempat tertentu. Perbuatan
membunuh hewan, menebang hutan, merusak dan mencemarkan lingkungan
yang dikeramatkan disamakan dengan membunuh masyarakat setempat.
Menurut kenyakinan masyarakat tradisional bahwa tindakan-tindakan
pelanggaran terhadap larangan-larangan di atas akan berakibat fatal bagi
keberlangsungan hidup masyarakat sebagai suatu kesatuan sosial. Bila terjadi
musibah, wabah atau bencana tertentu maka masyarakat percaya bahwa hal itu
disebabkan oleh pelanggaran yang dibuat oleh seseorang atau kelompok warga
tertentu dalam masyarakat. Para pelanggaran ini kemudian akan diberikan sanksi
berupa hukumn fisik atau cemohan dan dikucilkan dari pergaulan
masyarakatnya. Pemberian sanksi sangat efektif karena melalui sanksi orang
takut untuk berbuat pelanggaran.
Disamping norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur tindakan religius
manusia terhadap ekosistemnya seperti uraian di atas, terdapat pula pranatapranata
sosial yang dibuat oleh masyarakat untuk mengatur pemanfaatan
lingkungannya. Mereka melihat ekosistem sebagai sumber penghidupan yang
mengandung nilai sosial, nilai ekonomi dan nilai ekologi. Nilai sosial dari suatu
ekosistem adalah bahwa setiap warga masyarakat mempunyai hak yang sama
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 6
untuk mencari dan memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada dalam
ekosistem tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam
masyarakat. Sedangkan nilai ekonominya adalah bahwa ekosistem merupakan
tempat penyimpanan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk melangsungkan kehidupannya. Lebih lanjut nilai ekologinya
adalah bahwa lingkungan alam merupakan tempat hidup berbagai jenis flora dan
fauna yang perkembangannya tidak sama sehingga harus diatur pemakaiannya
agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Pandangan atau sistem pengetahuan demikian mendorong mereka untuk
membuat pranata-pranata sosial tertentu untuk menjaga dan melindungi sumber
daya alam agar lestari pemanfaatannya. Salah satu contoh pranata sosial yang
dibentuk untuk menjaga pemanfaatan sumber daya alam adalah tindakan
melarang penduduk untuk mengambil hasil hutan atau hasil laut di suatu tempat
tertentu untuk jangka waktu tertentu. Larangan tersebut bermaksud memberikan
kesempatan kepada jenis-jenis biota tertentu atau jenis-jenis pohon tertentu
untuk berkembang tanpa diganggu selama jangka waktu tertentu sehingga dapat
memberikan hasil yang baik dan banyak. Sistem ini dikenal luas oleh
masyarakat di berbagai tempat di Tanah Papua, misalnya di daerah Tabla
(Depapre) sistem ini disebut takayeti, di daerah Biak, Teluk Cenderawasih dan
Kepulauan Raja Ampat dikenal dengan sistem sasi.
Contoh 1
Konservasi alam secara tradisional menurut kelompok etnik
Matbat di kampung Lilinta, Pulau Misol, Kabupaten
Kepulauan Raja Ampat, Provinsi Papua.*
Penduduk kampung Lilinta di Pulau Misol, Kepulauan Raja Ampat
termasuk kelompok etnik Matbat, adalah penduduk asli yang mendiami
pulau Misol, salah satu pulau besar di gugusan Kepulauan Raja Ampat.
Seperti halnya pada penduduk di kampung-kampung lain di pulau Misol
pada khususnya dan penduduk Kepulauan Raja Ampat pada umumnya
dikenal suatu system konservasi alam yang disebut samsom. Samsom
berarti larangan untuk mengambil hasil laut pada kurung waktu tertentu.
Larangan ini dilakukan atas dasar pandangan orang Matbat tentang
hubungan antar manusia dengan sumber-sumber daya alam disekitarnya.
Dalam pandangan orang Matbat, Sumber Daya Alam (SDA) baik yang
habis terpakai maupun yang dapat diperbaharui (renewable), termasuk yang
terdapat di laut, mempunyai batas-batas untuk dimanfaatkan oleh manusia.
* Contoh ini disari dari Skripsi S1, Jurusan Antropologi FISIP UNCEN, 1997 oleh
Novi Senoaji yang berjudul: Faktor-faktor yang mempengaruhi pelanggaran
terhadap pelaksanaan sasi laut di Desa Lilinta, Kecamatan Misolol, Kabupaten
Sorong. Uraian yang lebih lengkap dapat dibaca pada karangan tersebut.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 7
Oleh sebab itu di dalam tradisinya diciptakan suatu pranata atau institusi
yang berwujud aturan-aturan tertentu untuk menjaga dan mengelola
pemanfaannya agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara lestari.
Pranata yang dibuat untuk mengelolah pemanfaatan sumber daya alam,
khususnya sumber daya laut, disebut samsom. System konservasi
tradisional ini dikenal juga di tempat lain di Tanah Papua dan juga di
Daerah Kepulauan Maluku, dan masing-masing kelopok etnik
menggunakan istilah tertentu untuk menamakannya, misalnya pada orang
Biak disebut sasisen, pada orang Maya di Samate (Salawati) disebut
rajaha, dan pada orang Depapre (Tabla) disebut takayeti. Meskipun
masing-masing kelompok etnik menggunakan istilah yang berbeda tetapi
istilah-istilah yang berbeda itu mengandung makna yang sama dan seca
luas dipakai istilah yang sama untuk system konservasi tradisonal ini yaitu
istilah sasi. Istilah sasi sendiri berasal dari daerah Maluku.
Arti kata samsom dalam bahasa Matbat adalah larangan. Dengan demikian
apabila sesuatu benda atau barang dikenakan samsom atau sasi maka hal itu
berarti bahwa barang atau benda itu dilarang untuk diganggu dalam
pengertian dirusak atau diambil untuk digunakan ataupun dimanfaatkan.
Sedangkan tujuan dari pelaksanaan samsom atau sasi adalah dalam rangka
mengatur penggunaan, penegelolaan dan perlindungan terhadap biota laut
serta pendistribusian yang merata bagi masyarakat sehingga sumber daya
alam ini dapat dinikmati secara berkelanjutan.
Samsom atau sasi yang merupakan system konservasi alam secara
tradisional oleh orang Matbat ini dilaksanakan sekali setiap tahun dan
berlangsung kurang lebih enam sampai tujuh bulan. Biasanya acara sasi
dilaksanakan pada bulan-bulan dimana angin bertiup kencang, yaitu musim
angin barat yang berlangsung antara bulan … sampai bulan….. Ritus sasi
dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat yang disebut mirinyo yang dalam
struktur kekuasaan pemerintahan adat adalah pembantu raja yang
mempunyai tugas untuk memimpin upacara-upacara kegamaan dan
menyelasaikan masalah-masalah sengketa yang terjadi antar warga dalam
masyarakat.
Pelaksanaan sasi dimulai dengan acara penanaman tanda larangan yang
disebut “gasamsom” sebanyak tiga buah. Tanda larangan atau gasamsom
itu berupa batang pohon salam yang daunnya dipangkas sedangkan cabang
dan rantingnya dibiarkan utuh pada batang pohonnya. Tanda larangan yang
pertama ditancapkan di depan kampung yang menghadap ke laut dan dua
yang lainnya masing-masing ditancapkan di ujung-ujung kampung, juga
menghadap ke laut.
Ritus penanaman tanda larangan itu diawali dengan pembacaan mantra oleh
pemimpin uapacara tutup sasi, yaitu mirinyo. Mantra yang dibacakan iu
ditujukan kepada para penjaga laut yang dipercayai bahwa merekalah yang
menjaga dan memberi kesuburan kepada biota laut sehingga jumlahnya
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 8
akan berlimpah-limpah. Kata-kata mantra itu diucapkan oleh mirinyo
menjelang fajar pagi bertempat di depan kampung yang menghadap ke laut
dan setelah mantra diucapkan maka tanda larangan pertama, gasamson,
berupa pohon larangan itu ditancapakan kedalam tanah. Pada cabang dan
ranting-ranting pohon yang dijadikan tanda larangan itu digantung sesaji
yang disebut sababete berupa rokok, tembakau, pinang dan carik-carik kain
berwarna merah. Pada saat pohon larangan itu ditanam maka sejak saat itu
larangan untuk mengambil hasil biota laut diberlakukan bagi seluruh warga
masyarakat kampung maupun orang lain yang berkunjung atau bertamu ke
kampung itu. Larangan tersebut berlaku selama masa sasi di daerah
/perairan laut yang merupakan wilayah kekuasaan kampung.
Wilayah perairan yang merupakan teritorium kekuasaan kampung ini
dibagi atas tiga zona. Zona pertama meliputi daerah perairan pantai beserta
pulau-pulau diatasnya yang dekat kampung. Zona dua berupa wilayah
perairan yang letaknya agak jauh dari kampung dan zona ketiga berupa
wilayah perairan yang letaknya paling jauh dari kampung.
Apabila sudah genap waktunya untuk sasi dibuka, biasanya terjadi pada
musim teduh, tidak ada lagi angin dan ombak besar, maka menjelang pagi
saat upacara sasi dibuka, semua warga kampung yang mampu (kuat) baik
laki-laki, perempuan dan bahkan anak-anak yang sudah cukup usia untuk
menyelam dan mengumpul hasil laut, berkumpul di tempat tertentu di
daerah zona satu (daerah yang letaknya tak jauh dari kampung) yang sudah
ditentukan. Upacara pembukaan sasi dilaksanakan pada pagi hari
menjelang matahari terbit, yaitu kira-kira pukul enam pagi, waktu setempat.
Pada saat itu kepala adat , yaitu kepala pemerintahan adat yang disebut raja,
mengucapkan mantra-mantra tertentu yang ditujukan bagi para penjaga dan
penghuni laut serta para leluhur yang telah lama meninggal dunia.
Tujuan dari pembacaan mantra tersebut adalah sebagai tanda ungkapan
terima kasih dan syukur atas perlindungan para penjaga laut dan leluhur
kepada warga masyarakat selama sasi atau larangan itu dilaksanakan dan
atas kesuburan yang diberikan kepada biota laut.. Juga mantra-mantra yang
diucapkan itu bermaksud memohon penyertaan dan perlindungan dari para
penjaga laut dan leluhur kepada warga masyarakat agar mereka tidak kena
musibah atau kecelakaan selama mereka mengumpulkan hasil-hasil laut
yang ada. Setelah mantra-mantra itu diucapkan, maka kepala adat urusan
upacara adat yang bergelar mirinyo meniupkan kulit triton yang
mengeluarkan suara yang keras. Bunyi atau suara ini menandakan bahwa
sasi secara resmi dibuka sehingga setiap warga masyarakat dapat dengan
bebas mengumpulkan berbagai biota laut yang ada di daerah zona satu.
Lamanya pengumpulan hasil laut di daerah zona satu ini berlangsung
selama satu hari . Pada hari berikutnya warga masyarakat pencari hasil laut
di zona pertama ini diperkenangkan untuk mencari dizona kedua yang
letaknya di bagian tengah dari daerah perairan milik kampung. Setelah hari
kedua, maka pada hari ketiga mereka diperbolehkan untuk mencari hasil
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 9
laut pada zona ke tiga daerah perairan milik kampung yang letaknya paling
jauh dari kampung. Setelah itu urutan waktu dan tempat mencari sperti
terurai di atas dilakukan , maka selanjutnya penduduk bebas untuk mencari
kapan saja dan pada zona mana saja mereka kehendaki tanpa ada larangan.
Hal ini mereka lakukan sampai tiba saatnya untuk diberlakukan sasi atau
larangan berikutnya.
Untuk menjamin agar larangan ini dipatuhi oleh seluruh warga masyarakat
maka diatur mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh seluruh warga
masyarakat kampung. Apabila terdapat warga masyarakat yang melakukan
pelanggran (mengambil hasil biota laut pada saat larangan itu masih
berlangsung), maka warga masyarakat lainnya yang menemukan
sipelanggar itu segera melaporkannya kepada pimpinan adat dan
selanjutnya piminan adat menugaskan bawahannya yang menangani
masala-masalah hukum adat di dalam kampung untuk segera mengambil
tindakan terhadap pelanggar. Pada masa lampau sangksi yang biasanya
dikenakan kepada para pelanggar adalah hukuman fisik berupa dicambuk
atau dipasung. Bentuk-bentuk hukuman ini sekarang tidak dipakai lagi.
Bentuk hukuman yang sekarang dipakai untuk mengganjar para pelanggar
adalah melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat untuk kepentingan
umum, misalnya perbaikan jalan utama dalam kampung dengan
menggunakan bahan yang diadakan sendiri seperti misalnya
mengumpulkan batu karang untuk menimbun jalan, perbaikan balai desa,
perbaikan jeti tempat berlabuh perahu para nelayan atau sarana lainnya
yang bermanfaat untuk kepentingan umum. Selain dikenakan hukuman,
semua hasil biota yang dikumpul oleh sipelanggar disita oleh petugas
pemerintah adat. Barang-barang sitaan ini kemudian dijual dan hasilnya
disimpan dalam kas adat dan selanjutnya digunakan untuk membiayai
upacara-upacara adat. Peneliti Novi Senoaji yang melakukan penelitian
tentang system Konservasi Tradisional pada orang Matabat di kampung
Lilinta, Distrik Misol, Kepulauan Raja Ampat, melaporkan dalam
skripsinya bahwa selama tiga bulan (yaitu dari bulan November 1995
hingga januari 1996) tercatat 16 pelanggaran dan terhadap para pelanggar
itu dikenakan bentuk-bentuk hukuman seperti tersebut di atas. Perlu
ditambahkan disini bahwa bentuk-bentuk hukuman ini bervariasi sesuai
dengan berat ringannya pelanggaran yang dibuat oleh seseorang.
Kecuali sistem sasi tersebut, pada masyarakat tradisional tertentu seperti
misalnya pada orang Sentani dan orang Nimboran dikembangkan pula pranata
sosial yang khusus mengatur pemanfaatan sumber daya alam. Hal itu terwujud
dalam struktur kepemimpinan masyarakatnya yang melimpah kewenangan
kepada fungsionaris-fungsionaris tertentu di dalam struktur itu untuk mengatur
pemanfaatan sumber daya alam. Uraian dalam kotak pada contoh 2 di bawah ini
menggambarkan hal tersebut.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 10
Contoh 2.
Konservasi alam secara tradisional menurut kelompok etnik
Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua**
Pada kelompok etnik Sentani yang mendiami darah sekitar danau Sentani
yang terletak di sebelah selatan pegunungan Cycloop, Kabupaten
Jayapura, terdapat meknisme pengawasan terhadap pemanfaatan sumber
daya alam yang diatur melalui bagian tertentu dalam organisasi
pemerintahan adatnya. Dalam struktur organisasi pemerintahan adat
terdapat suatu bagian yang memang diadakan untuk kepentingan
pengawasan pemanfaatan sumber daya alam. Bagian dalam struktur
organisasi pemerintahan adat ini disebut phume-ameyo. Phume-ameyo
diartikan sebagai bagian dalam struktur organisasi pemerinahan adat
yang mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk mengurus masalahmasalah
yang menyangkut kemakmuran dan kesejahteraan masyarkat.
Dalam bidang ini terdapat sejumlah fungsionaris atau pejabat yang
mempunyai tanggungjawab untuk mengawasi dan mengatur pemanfaatan
sumber daya alam yang berada di dalam wilayah kekuasaan kampung.
Misalnya untuk mangambil hasil hutan sagu ( meramu sagu) maka ada
pejabat yang berwewenang untuk mengatur pemanfaatannya, pejabat ini
disebut fi-yo; selanjutnya pejabat yang mempunyai tugas untuk mengurus
dan mengawasi penangkapan ikan di perairan danau milik kampung
disebut buyo-kayo. Selain itu petugas khusus yang mengatur dan
mengawasi pemanfaatan hasil hutan disebut aniyo-erayo; sedangankan
petugas yang khusus mengawasi dan mengatur pemanfaatan bintang
buruan disebu yayo. Dengan menempatakan berbagai pejabat dalam
struktur pemerintahan adat seperti tersebut di atas untuk mejaga, dan
mengatur pemanfaatan sumber daya alam di wilayah kekuasaan masingmasing
kampung pada kelompok etnik Sentani, juga pada kelompok
etnik Nimboran dan kelompo etnik Tabla di daerah Jayapura, maka
secara tradisi hubungan antara manusia dengan lingkungan tetap terjaga
dan terpelihara sehingga SDA yang terdapat di dalam lingkungan
alamnya selalu terpelihara dengan baik untuk dapat dimanfaatkan secara
berkesinambungan dari generasi- ke generasi. Hal demikian mulai
terganggu sejak system pemerintahan modern berlaku di daerah ini pada
awal abad ke-20.
** Disarikan dari buku karangan J.R. Mansoben berjudul: Sistem Politik Tradisional
di Irian Jaya, khususnya Bab IV yang membahas Sistem Politik Ondoafi pada
orang Sentani.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 11
5. Penutup
Sebagai simpulan dari penjelasan-penjelasan di atas ialah bahwa kita harus
bercermin pada masyarakat tradisional untuk menata hubungan kita dengan alam
demi keberlanjutan hidup mahluk manusia. Masyarakat tradisional telah berhasil
mewariskan bumi ini dalam keadaan tidak tercemar kepada kita diwaktu
sekarang untuk memanfaatkannya dan menikmati kehidupan di atasnya.
Keberhasilan itu merupakan perwujudan nyata dari ketaatan mereka terhadap
nilai-nilai dan norma-norma serta sikap yang mereka kembangkan dalam
kebudayaannya untuk menjaga dan melestarikan alam.
Seringkali norma-norma dan nilai-nilai itu mereka samarkan dalam
kepercayaan-kepercayaan yang mereka anut sehingga bagi kebanyakan orang di
zaman modern ini menganggapnya tidak rasional dan bahkan kadangkala
mencemohkannya. Meskipun demikian jangan lupa, bahwa strategi-strategi yang
mereka gunakan untuk menanamkan dan melaksanakan nilai-nilai dan normanorma
yang berhubungan dengan pengaturan dan penjagaan terhadap
keseimbangan hubungan mahluk manusia dengan ekosistem dalam rangka
menyiapkan secara lestari kebutuhan manusia itu adalah sangat efektif. Berbagai
sumber daya alam yang dinikmati sekarang sesungguhnya merupakan bukti
nyata keberhasilan masyarakat tradisional pada masa lampau untuk menjaga,
melestarikan dan mewariskannya bagi kita di waktu sekarang.
Persoalan bagi kita sekarang adalah mampukah kita untuk dapat berbuat hal
yang sama bagi generasi mendatang? Menurut hemat saya, bahwa kita yang
hidup di zaman sekarang yang lebih rasional dapat menggunakan kemudahankemudahan
teknologi informasi yang merupakan hasil kebudayaan modern
untuk mensosialisasikan dan melaksanakan berbagai kebijakan lingkungan baik
tingkat internasional, regional maupun lokal untuk memanfaatkan dan menata
lingkungan secara lestari demi kepentingan kita di masa sekarang maupun bagi
kepentingan generasi-generasi penerus kita di masa depan. Saya percaya bahwa
kita tidak akan mau kalah dari generasi-generasi pendahulu kita yang disebut
masyarakat tradisional itu. Agar kita dapat berhasil mewariskan bumi kita ini
sebagai tempat yang layak dihuni oleh generasi penerus kita, maka kita harus
komit untuk saling mendukung dan bahu membahu dalam melaksanakan
berbagai upaya pembangunan berkelanjutan secara transparan dan
bertanggungjawab.
ISSN: 1693-2099
ANTROPOLOGI PAPUA, Vol. 2 No. 4, Agustus 2003 12
Daftar Bacaan
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1996; Agenda 21 Indonesia. Strategi
Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Pelangi Grafika.
Keesing, R.M. 1993; Antropologi Budaya. Suatu Perspektif Kontemporer. Edisi
kedua. Judul asli: Cultural Anthropology; A Contempory perspective. Alih
Bahasa Drs. Samuel Gunawan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kluchohn, F.R. & F.L. Stodbeck. 1961; Variations in Value Orientation.
Evenstone II: Row Peterson & Coy.
Mansoben, J.R. 1995 ; Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya. Jakarta-Leiden:
LIPI-Rijksuniversiteit Leiden.
Rappaport, R. 1967; Ritual Regulation of Environmental Relations among a
New Guinean People. Ethnology: 6:17-30.
Senoaji Novi. 1997; Faktor-faktor yang mempengaruhi pelanggaran terhadap
pelaksanaan Sasi laut di Desa Lilinta, Kecamatan Misool, Kabupaten Sorong.
Jurusan Antropologi, FISIP-Uncen, Jayapura (skripsi S1).
Steward, J. 1955; Theory of Culture Change, Urbana, III.: University of Illinois
Press.

No comments: