Sunday, 5 December 2010

Anak Semua Bangsa - Pramoedya Ananta Toer

Anak Semua Bangsa - Pramoedya Ananta Toer



Anak Semua Bangsa adalah bagian kedua dari tetralogi Pulau Buru. Sekali lagi aku dibuat terpesona oleh karya Pak Pram yang luar biasa sehingga enggan rasanya untuk menghentikan membaca bukunya.

Episode kedua cerita tentang kehidupan Minke diawali oleh kedukaan yang dalam akibat berita meninggalnya Annelies Melemma, sang biadadari dalam kehidupan Minke yang direnggut secara paksa oleh hukum kolonial. Annelies yang sudah dalam keadaan sakit ketika hendak dibawa ke Nederland tak kuasa melawan kedukaan hatinya yang mendalam. Bukan tanpa usaha, Nyai Ontosoroh dan Minke telah mengutus Panji Darman sahabat sejatinya untuk membantu mengawasi dan menjaga Anneliesnya namun takdir berkata lain. Kematian Annelies bukanlah satu-satunya kepahitan yang harus dihadapi oleh nyai Ontosoroh dan Minke, masih ada setumpuk masalah yang tak kunjung selesai.



Selain dari Nyai Ontosoroh seperti biasa dengan khotbah-khotbahnya, jiwa nasionalis Minke kembali mendapat pencerahan dari Kommer, sang jurnalis Indo yang sangat anti kolonialisme. Pada mulanya Minke tersinggung berat ketika Kommer dan Jean Marais sahabatnya, mengatakan bahwa sesungguhnya Minke tidak mengenal negeri dan bangsanya. Minke dianggap lebih dekat dengan bangsa Eropa yang menjajah negerinya. Ia pandai menulis dalam bahasa Belanda dan Inggris namun menolak ketika diminta menulis dalam Melayu atau Jawa karena menganggap bahasa ibunya tersebut tidak indah. Sindiran Kommer yang menyakitkan membuat Minke ingin membuktikan diri kalau ia mengenal bangsanya dengan menerima tawaran Kommer untuk mengunjungi kehidupan kaum petani. Kebetulan juga Nyai Ontosoroh ingin pergi berlibur sejenak untuk melepas stres.



Mereka akhirnya pergi ke daerah Tulangan yang Merupakan sentra perkebunan tebu terbesar. Disana Minke dan Nyai Ontosoroh menginap di rumah Paiman alias Sastro Kassier, saudara Nyai Ontosoroh yang sukses jadi kasir di pabrik gula. Perjalanan ke Tulangan ini berhasil membuka mata Minke dan menyadarinya kalau sindiran Kommer dan jean Marais itu betul adanya. Kehidupan kaum petani sungguh di luar dugaannya semula. Minke juga jadi tahu bagaimana kejamnya kaum kolonial memeras setiap tetes kekayaan bangsa jajahannya tanpa memberikan kesejahteraan bagi rakyat jajahannya. Perjalanan ini justru memukul Nyai Ontosoroh begitu mengetahui kalau Paiman ternyata juga tega melakukan hal yang pernah dilakukan oleh ayah mereka terhadap putrinya sendiri.



Demi lebih mengetahui kehidupan kaum petani yang tertindas, Minke rela bermalam di rumah keluaraga petani yang sedang berjuang untuk mempertahankan haknya yang akan dirampas kaum kolonial. Pengalaman Minke tersebut, ia tulis dalam bentuk sebuah tulisan yang menurutnya adalah karya terbaiknya. Namun justru Kommer mengkritik keras tulisannya tersebut sedangkan Nyai Ontosoroh jadi makin terpukul mengetahui kemungkinan asal muasal modal suaminya untuk mendiirikan perkebunan yang dibanggakannya tersebut. Minke yang tidak mengindahkan kritik Kommer nekat mendatangi kantor koran tempat ia biasa memasukan tulisannya. Bukan pujian yang didapat malah caci maki dan masalah lain yang akan timbul kemudian.



Ditengah segala masalah yang datang makin mendera, kedukaan kembali menyelimuti kehidupan Nyai Ontosoroh begitu mengetahui Robert Melemma, putranya yang dulu minggat dari rumah ternyata sudah meninggal di Los Angeles akibat terkena penyakit kotor. Kedukaan ini disusul oleh kenyataan lain kalau ternyata Robert sebelum minggat sempat menanamkan benihnya pada rahim Minem, salah seorang pegawai Nyai Ontosoroh yang kesohor karena kegenitannya. Kehadiran bayi yang diberi nama Rono Melemma tersebut seolah menjadi sebuah harapan baru bagi Nyai Ontosoroh yang kesepian karena telah ditinggal mati oleh anak-anaknya.



Pak Pram menutup buku keduanya dengan sangat indah. Ketika Maurits Melemma telah datang untuk merampas Buitenzorg, Nyai mengumpulkan para sahabat yang setia dengan perjuangnnya, Jean Marais dan May, anak semata wayangnya, Kommer, Darsam, Mingke dan Rono untuk menyambut kedatangan Maurits Mellema. Dan Nyai menegaskan kepada mereka kalau perjuangan kali ini yang mereka miliki hanya mulut, dan hanya boleh menggunakan mulut saja. Mereka berhasil membuat cap kepada Maurist Mellema sebagai pembunuh Annelies. Dengan kata-kata mereka telah membuat insinyur yang disebut sebagai pahlawan Nederland di Afrika itu menjadi mengkerut dan tidak berdaya. Maurits Melemma yang datang dengan gagah itu terpaksa harus pergi meninggalkan rumah Nyai Ontosoroh dengan kepala tertunduk dalam cercaan orang-orang desa.


Sungguh luar biasa indah penutup yang dibuat oleh Pak Pram ini. Nyai Ontosoroh boleh kalah di pengadilan tapi dia sanggup membuat Naurits Melemma terpukul dan tak akan melupakan hari itu sepanjang sisa usianya. "Anak Semua Bangsa" diawali oleh kegetiran namun diakhiri oleh kegetiran yang diubah menjadi sebuah kemenangan kecil yang sangat manis.


http://inarciss.blogspot.com/2008/03/anak-semua-bangsa-pramoedya-ananta-toer.html

No comments: