Asmoro
Cerpen Djenar Maesa Ayu
(Kompas 07/28/2002)
ASMORO, waktu kita hampir habis.
LANGKAH Asmoro mencipta gaung di sepanjang lorong kosong itu. Kekosongan yang sama menyita hati Asmoro. Kekosongan itu mengirimkan hanya satu gema yang terus bergaung di telinganya, Adjani bersimbah peluh.
Adjani bersimbah peluh. Pelupuk matanya merapat. Tampak guratan-guratan halus di bawah matanya ketika kulit wajahnya menegang dan mulutnya terkatup. Adjani menahan luka. Orang-orang di sekeliling Adjani membisu. Semua menahan napas. Semua tidak berani bergerak. Ruangan itu begitu sunyi. Sangat sunyi hingga suara sehelai rambut yang jatuh bisa membuat siapa pun yang berada di dalam ruangan itu terlunjak dari kursi. Tetapi, mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain menyaksikan Adjani menahan luka. Tidak ada yang berani bertanya di mana persisnya Adjani terluka. Atau mengapa Adjani bisa terluka. Mereka hanya tahu Adjani luka. Luka yang begitu dalam. Luka yang begitu perih. Luka dari segala maha luka.
Adjani bersimbah peluh. Pipinya merah terbakar matahari. Kuncir rambutnya bergerak-gerak setiap kali kakinya mengentak tanah. Sesekali ia mengusap peluh di dahi yang menetes ke matanya dengan handuk yang ia selendangkan di bahunya. Tetapi, tidak sekalipun ia menghentikan larinya. Kadang-kadang ia biarkan saja peluh itu menetes hingga mulutnya. Setiap kali Adjani membuka mulut untuk membuang napas, maka masuklah tetesan keringat itu dan menyebabkan rasa asin di lidahnya.
Ketika Adjani berlari, tidak akan ada yang dapat menghentikannya. Waktu ia menyeberang jalan, mobil-mobil langsung berhenti. Bahkan, lampu lalu lintas yang tadinya berwarna merah, berubah hijau dan membiarkan Adjani lewat. Kalaupun ada Metro Mini ngebut yang tidak sempat menginjak rem ketika Adjani melintas secara mendadak, yang terjadi hanyalah Metro Mini itu menembus tubuh Adjani bagai menembus udara. Jika ada mobil yang kebetulan posisinya menyamping di depan Adjani, langsung terbelah dua. Jembatan rubuh berdiri kembali seperti adegan ulang dalam kamera. Sungai terbelah. Tembok tinggi merendah. Tidak ada satu pun yang dapat menghentikan Adjani.
Cerita tentang Adjani segera tersebar dari mulut ke mulut. Menyeberang dari satu telinga ke telinga, rumah ke rumah, sungai ke sungai, laut ke laut dan benua ke benua. Berbagai media massa baik koran maupun televisi meliput berita tentang Adjani. Para fotografer, kuli tinta, reporter lengkap dengan helikopter menunggu Adjani di setiap sudut jalan. Yang tidak kuat mengimbangi lari Adjani terpaksa mewawancarai di atas mobil, motor, bahkan bajaj. Selain wawancara dan melihat keajaiban yang disebabkan Adjani, mereka berharap menjadi orang pertama yang dapat mengabadikan saat-saat Adjani menyerah dan berhenti berlari. Maka, pada setiap headline koran-koran, majalah-majalah, siaran radio, talk show, siaran berita televisi, semua memuat, menceritakan dan membahas Adjani.
Di dalam sebuah kamar apartemen ukuran studio, sebuah televisi berukuran 24 inci juga sedang menayangkan talk show tentang Adjani. Bintang tamunya seorang produser besar Hollywood sedang diwawancara, apakah ia tertarik membuat film tentang Adjani. Tetapi, di dalam ruangan itu tidak ada penonton. Pesawat televisi yang panas, kursi ruang tamu dari rotan yang berdebu, asbak keramik berisi putung-putung rokok yang tidak pernah dibersihkan, pendingin ruangan yang tidak dinyalakan, onggokan baju-baju kotor yang berbau tidak sedap di dalam laundry room sebelah ruang tamu, menjadi bukti bahwa si pemilik apartemen mungil itu sudah lama tidak pernah keluar kamar.
Sudah hampir sebulan Asmoro mengunci diri di dalam kamar dan putus hubungan dengan dunia luar maupun berita-berita lokal dan mancanegara. Asmoro hanya mau menulis. Sudah lama Asmoro tidak dapat menulis. Tetapi, sebulan menyepi tidak juga membuat Asmoro dapat menulis. Di tengah-tengah rasa putus asa, Asmoro mendengar jendela kamarnya diketuk dari luar. Awalnya ia tidak mempedulikan. Tetapi, ketukan itu tidak juga berhenti, walaupun terkesan tidak memaksa. Ketukan itu begitu halus dan begitu menggoda. Hati Asmoro yang tergoda akhirnya memutuskan untuk melirik ke jendela. Tetapi, tidak ada apa-apa di sana, sementara ketukan itu terus membahana. Barulah Asmoro sadar, ia berada di lantai ketujuh. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengetuk jendelanya? Asmoro berjalan mendekati jendela lalu membukanya. Saat itu angin dingin sepoi menampar mukanya. Tangan-tangan angin dengan lembut menarik wajah Asmoro dan mendekatkan bibirnya di dekat telinga Asmoro. "Adjani bersimbah peluh," bisik angin, lalu pergi meninggalkan Asmoro sendiri di kamarnya.
Mendadak perut Asmoro keroncongan. Sudah tidak pernah ia bernafsu makan, padahal sudah sebulan ia hanya minum air mineral dan penganan ringan. Asmoro ingin segera memesan makanan dari brosur-brosur yang ditaruhnya di bawah meja ruang tamu. Pada saat itulah ia melihat pesawat televisi yang masih menayangkan talk show. Di sela-sela talk show itu terkadang ditampilkan insert gambar Adjani yang berlari. Adjani yang bersimbah peluh.
ADJANI bersimbah peluh. Lalu ada dua Adjani bersimbah peluh. Lalu empat Adjani bersimbah peluh. Lalu delapan Adjani bersimbah peluh. Penggandaan Adjani bersimbah peluh terus tumbuh hingga kepala Asmoro sudah tidak lagi punya ruang bagi hal lain, kecuali Adjani bersimbah peluh. Peluh yang membungkus tubuh Adjani bersinar keemasan tertimpa matahari. Dari sinar keemasan itu beterbangan ratusan kupu-kupu, kumbang, dan burung-burung gereja. Sinar keemasan itu menyerbak wangi bunga. Kadang mawar. Kadang melati. Kadang sedap malam. Kadang lili. Dari sinar keemasan itu juga keluar nada lagu. Irama musik sendu mendayu-dayu. Menyerang segenap jiwa Asmoro. Menyekap pikirannya untuk hanya terpaku pada Adjani yang bersimbah peluh.
Duduk di bawah temaram lampu sorot di atas meja, Asmoro menumpahkan segenap pikirannya itu ke dalam tulisannya. Adjani yang berlari dengan kupu-kupu. Adjani yang menyeka peluh di hidungnya dengan handuk. Derap kaki Adjani yang teratur. Mata Adjani yang menyipit ketika sinar matahari menyeruak dari sela-sela dedaunan pohon gundul. Naik-turun dada Adjani mengatur napas. Tangan Adjani yang mengepal ke depan dan bergerak kiri-kanan. Dan setiap kali Asmoro mengetik huruf per huruf demi melukiskan Adjani, ia mendengar suara musik nan indah menerpa telinganya. Ia mencium semerbak bunga yang mewangi dari tubuh Adjani. Asmoro mabuk kepayang. Ia tidak dapat berhenti menulis. Dan semakin ia menulis, gambaran Adjani bersimbah peluh makin lama makin mendekat ke dirinya.
Asmoro dapat mendengar sayup-sayup derap kaki Adjani dari kejauhan, lalu makin lama semakin jelas tertangkap pendengaran. Dan bau wangi yang samar-samar, lama kelamaan makin tajam. Suara lembut denting piano tunggal, berubah menjadi kesatuan orkestra besar. Asmoro menunggu Adjani.
Adjani bersimbah peluh, terus berlari di bawah samudera. Di kiri kanan dan depan Adjani air laut menjulang tinggi sementara di belakangnya air laut runtuh kembali. Oleh sebab itu tidak ada lagi yang mengikuti di belakang Adjani kecuali helikopter yang terbang rendah di atasnya. Air laut yang menjulang tinggi itu bagai akuarium bawah laut raksasa. Ada gurita, paus, ikan pari, dan berbagai jenis hewan laut menontonnya. Kadang-kadang kaki telanjang Adjani menginjak bangkai ikan juga bangkai bekas kapal karam. Peluh yang membungkus tubuh Adjani kini berwarna jingga kemerah-merahan tertimpa matahari senja. Dari sinar kemerahan itu, burung-burung senja berkepakan terbang dan sebagian yang tertinggal di belakang mau tidak mau tertelan air laut yang siap luruh bagai pohon tumbang. Walaupun matahari tidak lagi bersinar dengan garang, tubuh Adjani masih bersimbah peluh. Asin keringatnya bertambah ketika bercampur dengan percikan air laut.
Ketika Adjani hampir sampai di bibir pantai, angkasa sudah menyulap senja menjadi malam. Bulan bersinar temaram. Bintang-bintang bercengkerama dan ada dua bintang yang asyik bercanda sambil berdorong-dorongan, hingga bintang yang satunya jatuh dari cakrawala.
"Bintang jatuh," bisik Adjani dalam hati sambil terus berlari. Adjani tahu, seharusnya ia memohon satu permintaan yang konon akan terkabul jika melihat bintang jatuh. Tapi Adjani tidak punya keinginan apa-apa selain berlari tanpa henti. Dan ia pun sangat tahu, ia tidak akan berhenti. Tidak akan ada yang dapat menghentikannya berlari.
Pada saat itu juga melintas angin yang sama dengan angin yang baru saja mengetuk jendela apartemen Asmoro. Angin itu membuka hidung Adjani dan mengantarkan aroma segar tubuh laki-laki. Dan Adjani terkaget ketika menjilat peluhnya sendiri. Peluh itu tidak hanya asin, tetapi juga ada sedikit rasa manis madu menggoda lidahnya. Bintang yang jatuh hampir saja tenggelam hilang dari penglihatan Adjani ketika Adjani memohon, "Antarkan saya kepada aroma segar ini. Antarkan saya kepada rasa manis di lidah ini."
ASMORO, waktu kita hampir habis.
Adjani bersimbah peluh. Sudah hampir dua ratus halaman yang diketik Asmoro demi menggambarkan pujaan hatinya Adjani yang berlari dan bersimbah peluh. Sementara derap kaki Adjani makin jelas. Dengus napasnya semakin dekat. Suara orkestra semakin keras. Dan wangi bunga memenuhi seluruh ruangan apartemen Asmoro.
Tapi Asmoro tidak bisa berhenti menulis. Bahkan ia tidak dapat memperlambat laju tangannya sendiri. Asmoro tahu, sebentar lagi tulisannya selesai. Asmoro tahu sebentar lagi ia akan bertemu Adjani sekaligus berpisah dengan Adjani.
Adjani bersimbah peluh. Ia berlari menyusuri jalan raya yang padat. Lautan manusia berdiri di sisi kiri dan kanannya. Jalanan macet total. Lampu-lampu lalu lintas tidak bekerja. Indeks harga saham berhenti karena tidak ada transaksi. Semua orang keluar dari rumah, gedung perkantoran, restoran, hanya untuk menyaksikan Adjani. Aktivitas di kota itu lumpuh.
Seorang reporter meliput, "Sudah ada tanda-tanda kelelahan pada Adjani, tetapi Adjani terus berlari tanpa mau menjawab satu pun pertanyaan wartawan. Adjani hanya bergumam... Asmara... Asmara... mungkinkah Adjani sedang jatuh cinta?"
Dari liputan itu, stasiun-stasiun televisi lain segera menayangkan gambar-gambar Adjani yang pernah disiarkan. Semua yang berbicara dengan Adjani diperhatikan secara saksama, dengan harapan mereka dapat menjawab teka-teki asmara Adjani. Ada juga yang mendramatisir adegan wawancara Adjani dengan seorang wartawan muda dan langsung dihubungkan dengan pertalian asmara. Semua orang dari seluruh pelosok dunia tinggal di rumah atau menghentikan kegiatan hanya untuk mengikuti kisah asmara Adjani. Segala asumsi pun merebak. Kapan mereka berciuman? Pastilah pacar Adjani pelari, jadi mereka bisa berciuman sambil berlari. Atau orang kaya, sehingga bisa menyewa helikopter supaya setiap saat bisa berdekatan dengan Adjani. Atau jangan-jangan orang kaya itu, salah satu pemilik stasiun televisi? Hanya ada satu perdebatan, satu suara, satu tema di seluruh dunia, yaitu Adjani.
Di kota itu, satu-satunya orang yang bertahan dalam gedung ketika semua orang turun ke jalanan untuk menyaksikan Adjani lewat adalah Asmoro. Tangan kirinya memegang kencang tangan kanannya, tetapi tangan kanannya melawan dan terus mengetik. Lantas tangan kanannya berubah menghentikan tangan kiri, dan tangan kirinya yang ganti melawan balik dan terus mengetik. Asmoro tidak dapat berhenti. Sama seperti Adjani yang tidak bisa berhenti. Keletihan di muka Adjani yang tertangkap mata-mata penontonnya, tidak lain adalah keletihan yang diakibatkan karena Adjani berusaha keras menghentikan kaki-kakinya seperti Asmoro yang sedang berusaha menghentikan kedua tangannya. Ada pergulatan aneh yang merasuki mereka berdua. Keinginan yang meledak-ledak untuk segera berjumpa dan keinginan untuk lebih lama bersama, bagai satu mata koin dengan sisi yang berbeda. Betapapun besar usaha mereka untuk memperpanjang kebersamaan, sebesar itu pulalah usaha mereka untuk segera menyudahi.
Adjani bersimbah peluh. Peluhnya menetes di atas marmer dingin lobi apartemen dan menguap ke atas kamar Asmoro.
ASMORO, waktu kita hampir habis.
Asmoro bersimbah peluh. Dihirupnya dalam-dalam aroma peluh Adjani ketika tangannya berhenti pada titik terakhir tulisannya.
Adjani bersimbah peluh. Jatuh tersungkur di depan pintu Asmoro. Pelupuk matanya merapat. Tampak guratan-guratan halus di bawah matanya ketika kulit wajahnya menegang dan mulutnya terkatup. Adjani menahan luka. Semua orang yang mengikuti di belakang Adjani terdiam. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara. Tidak ada yang berani meliput. Tidak ada yang berani bertanya. Mereka hanya dapat iba menatap tubuh Adjani yang tergeletak di atas karpet, hingga akhirnya menjelma menjadi seekor kupu-kupu.
Asmoro membuka pintu kamar apartemennya. Langkah Asmoro mencipta gaung di sepanjang lorong kosong itu. Kekosongan yang sama menyita hati Asmoro. Kekosongan itu mengirimkan hanya satu gema yang terus bergaung di telinganya, Adjani bersimbah peluh. Dan abadi di atas tumpukan kertasnya, yang mengumandangkan kepak sayap kupu-kupu....
Jakarta, 21 April 2002, 14:47:47
Untuk sebulan bersama Asmorodadi
No comments:
Post a Comment