TUAN, TURUTLAH MERASAKAN
Maria Amin
Sudahkah pernah tuan melihat awan putih berarak-arak merupakan tumpukan benda-benda bermacam-macam bentuk, di langit biru lazwardi?
Perhatikanlah!
Sebentar saja?
Jangan, tuan. Benda putih itu berkaki, berekor, bergigi, berkumis, bergombak. Mata yang galak itu hendak menerkam. Lihatlah, dia bergerak perlahan-lahan dengan hati-hati. Terharu jiwa melihatnya.
Aduuh... janganlah, janganlah, janganlah menjadi benda yang berdarah, berdaging, berbulu dan bergigi, dan akan menjadi sebesar yang dibentukkan awan itu.
Bagaimanakah? Bagaimana?
Heningkanlah sebentar tuan, heningkanlah, sabar-sabar, sabar dahulu. Mata jangan tuan kejapkan. Pandanglah terus ke benda itu, nyata-nyata.
Jangan tuan lengah dari memandang benda itu. Jangan, jangan! Jika tuan lengah dan takut, benda tadi menjadi pokok dan sari ingatan tuan, pun 'kan jadi dasar kalbu jiwa tuan.
Tuan lihat terus kepada gerak benda tadi, ia membentuk perlahan-lahan.
Lihatlah tuan, mata singa yang menakutkan tuan menjadi mata si Bintang Timur. Gombaknya menjadi rambut mayang mengurai.
Kuku yang tajam melekat rapat pada kaki binatang itu, yang seakan-akan hendak menerkam, merupakan jari si Bulu Landak, hendak membelai rambut kekasihnya.
Ekor yang mengibas-ngibas oleh kepanasan karena hendak menerkam mangsanya, menjadi selendang sutra satin melilit tubuh Dewi juita.
Perut singa yang kempis lapar dan haus oleh daging dan darah mangsanya itu, meramping bagus tubuh Dewi. Jalannya melenggang lenggok mengayun lemah, menghauskan kita ke anggur piala asmara.
Dewi berangsur hendak terbang perlahan-lahan, hendak mengintip dunia.
Tuan, masih tuan lihat itu? Tuan pandanglah terus, pandanglah, pandanglah, nyata, nyata-nyata, pandanglah, seperti tuan memandang singa tadi.
Dan selalu tiap-tiap tuan melihat itu janganlah lupa kepada tiap-tiap bentuk yang terjadi, menjadikan gedung ingatan tuan.
Dan janganlah tuan lupa gedung itu akan tidak tinggal selama-lamanya menjadi gedung ingatan tuan.
Tahukah tuan apa yang menjadikan gedung ingatan tuan?
Tuan, gedung ingatan tuan pada bentukan yang menjadikan benda tadi, oleh dan dari alam kenyataan yang tuan lihat.
Tuhan, aku akan terus-terus melihat dan akan merasakan.
Showing posts with label Sastra. Show all posts
Showing posts with label Sastra. Show all posts
Wednesday 19 January 2011
MIMPI-MIMPI
MIMPI-MIMPI
Cerpen Jakob Sumardjo
Inilah pengakuan dosa paling aneh yang dialami Romo Wijoyo selama hidupnya.
Pada Suatu hari Sabtu sore, seperti biasa, Romo Wijoyo telah menunggu para pengaku dosa pengakuan. Di depan masih sepi. Baru ada sekitar sepuluh orang yang duduk atau berlutut di bangku-bangku gereja. Suasana gereja amat sunyi. Tidak lama kemudian pintu kamar pengakuan dibuka orang, dan seorang lelaki muda masuk ruangan < itu. “Romo, telah lama saya tidak mengakukan dosa-dosa saya. Kurang lebih sudah sepuluh tahun ini. Pengakuan dosa saya yang terakhir sepuluh tahun yang lalu,” kata orang itu dari balik dinding kasa yang memisahkan kamar pengakuan dengan kamar Romo. Lama orang itu tidak menyambung kata-katanya. Romo Wijoyo melirik orang itu. Seorang lelaki muda yang tegap, ganteng, berkulit agak hitam. Ia menunduk sambil berlutut di bangku pengakuan. “Apa yang akan kamu lakukan?” “Romo…. Romo, saya bermimpi.” “Mimpi bukan dosa.” “Mimpi ini terus-menerus, Romo. Mimpi-mimpi itu menghantui diri saya bulan-bulan ini. Maka saya datang kemari.” “Ceritakan.” “Mula-mula saya bermimpi menyetubuhi banyak perempuan.”
“Kamu sudah menikah?”
“Sudah Romo.”
“Lanjutkan.”
“Saya guru SMA. Mula-mula saya bermimpi menyetubuhi salah satu murid saya. Saya mengajar sekolah susteran. Lain hari saya bersetubuh dengan rekan guru. Bahkan terakhir saya bersetubuh dengan suster kepala. Mimpi-mimpi itu nyata sekali, Romo. Saya sangat bergairah. Meskipun masuk, tetapi tidak mau keluar juga Romo….”
“Sudah, sudah, saya mengerti. Tetapi itu kan hanya mimpi. Waktu kamu akil balig kan juga pernah mimpi semacam itu.”
“Betul Romo. Tetapi yang dulu sampai keluar.”
“Jadi sekarang ini kamu juga menginginkan yang begitu?”
“Ah, Romo. Kecewa saja. Mungkin inilah dosa saya. Berzina dengan pikiran. Bukankah doa kita mengajarkan bahwa kita dapat berdosa dengan pikiran, perkataan, perbuatan dan kelalaian?”
Romo Wijoyo diam saja.
“Saya merasa telah berdosa dengan pikiran.”
“Baiklah, kalau kamu merasa tidak tenang, saya akan memberikan absolus.”
“Romo. Ada mimpi-mimpi lain lagi.”
“Hah?”
“Saya mimpi membunuh berkali-kali. Banyak yang saya bunuh. Mula-mula saya membunuh salah satu murid saya yang diam-diam sinis terhadap materi pengajaran saya. Murid ini banyak membaca. Ayahnya profesor sejarah. Ia memang tidak pernah membantah ajaran saya, tetapi saya tahu ia tidak mau mendengarkan yang saya ajarkan. Acuh saja selama pelajaran berlangsung. Tetapi nilai ulangannya selalu bagus. Ia saya tusuk berkali-kali tepat di dadanya. Kemudian saya bunuh ibu mertua saya. Habis, Romo, tidak ada hari tanpa meremehkan diri saya. Saya dinilai sebagai lelaki yang tidak becus cari duit. Di mata ibu saya ini, nilai manusia ditentukan oleh tebalnya kantong. Saya sudah lama menjadi pasien tidak berharga dalam keluarga. Ia saya cincang habis-habisan di dapur atau entah di mana, rasanya di dapur, tetapi bukan dapur rumah saya. Namun, sepertinya saya menganggap itu dapur rumah saya. Saya merajangnya seperti mau bikin bistik,” suara di balik kawat kasa itu terengah-engah dengan nada emosi tinggi.
Romo Wijoyo diam saja, terus mendengarkan.
“Yang terakhir saya bunuh teman kencan istri saya. Saya belum pernah memergoki mereka berselingkuh. Tetapi teman-teman dan tetangga sering melihat mereka berdua bersama anak saya yang berumur dua tahun jalan-jalan di mal, taman kota, dan restoran. Lelaki ini sengaja disodorkan oleh ibu mertua saya dan membiarkan bertamu ke rumah, sementara saya pergi mengajar. Lelaki ini memang kaya. Selalu bermobil ke rumah. Ibu mertua saya dihujani banyak hadiah olehnya. Dialah lelaki idaman ibu mertua saya. Saya pukuli lelaki ini dengan pipa ledeng sehingga remuk kepalanya. Saya puas, tetapi saya menyesal telah membunuhnya.”
“Ya, itu kan hanya mimpi. Mereka kan masih hidup?”
“Masih Romo. Tetapi saya malu telah melakukannya dalam mimpi.”
“Apa kamu malu juga dengan perempuan-perempuan dalam mimpimu?”
“Malu sekali Romo. Mereka saya lihat telanjang bulat. Suster Marie juga telanjang bulat. Bahkan dalam keadaan sadar saya tak berani membayangkannya. Ini kan pikiran kotor saya Romo. Saya telah berdosa dengan pikiran.”
“Apa kamu memang pernah punya pikiran semacam itu kepada korban-korbanmu?”
“Tidak pernah Romo. Mimpi itu datang begitu saja tanpa saya minta. Saya menyetubuhi mereka dan membunuh mereka dengan amat nyata. Begitu bangun saya terengah-engah. Untung juga cuma mimpi. Tetapi itu berulang kali. Yang terakhir saya mimpi menguras uang sekolah di laci Suster Marie, lalu saya bagikan kepada istri dan ibu mertua saya.”
“Tetapi uangnya kan masih ada?”
“Tidak ada Romo. Paginya sekolah ribut karena Suster kehilangan uang dua puluh juta lebih di lacinya.”
“Hah? Kan itu hanya mimpi.”
“Benar saya yang mimpi. Tetapi uang sekolah itu benar- benar lenyap.”
“Ke mana?”
“Tidak tahu Romo. Saya tidak mencurinya. Anehnya peristiwa itu terjadi di malam mimpi saya. Tidak ada orang yang tahu saya mimpi mencuri uang sekolah. Dan saya tidak menceritakannya kepada siapa pun, termasuk istri saya. Uang itu nyatanya benar-benar dicuri.”
Romo Wijoyo memandangi lelaki di balik kawat kasa itu. Ia menunduk dan nampak agak menggigil.
“Baiklah. Mari kita berdoa kepada Allah memohon pengampunan-Nya. Kalau kamu merasa telah berdosa dengan pikiranmu, mohonlah ampunan. Mari berdoa agar hatimu tenang.”
Keluar dari kamar pengakuan dosa, lelaki itu melihat deretan panjang orang-orang yang mau mengaku. Satu per satu mereka melirik padanya. Itulah pengakuan dosa terpanjang di paroki itu.
Romo Wijoyo, sebagai pastor paroki, dengan sendirinya hanya menyimpan peristiwa itu dalam hatinya. Namun, pengakuan dosa yang aneh itu tetap menjadi pertanyaan baginya. Bagaimana uang dapat hilang dalam peristiwa mimpi.
Kira-kira satu bulan kemudian, di suatu sore, koster memberi tahu kepada Romo Wijoyo bahwa ada seorang ibu ingin menemui Romo. Di ruang tamu, Romo Wijoyo melihat seorang perempuan muda yang bertanda memar biru di bagian mata kirinya.
“Maaf mengganggu Romo. Saya Ibu Lukas. Istri Pak Lukas guru sejarah di susteran. Begini persoalannya Romo.”
Romo Wijoyo ingat kembali pengakuan dosa yang aneh itu.
“Tadi siang saya membereskan kamar kerja suami saya. Banyak tumpukan kertas ulangan dan tugas-tugas kliping dari murid-murid. Di tengah-tengah tumpukan kertas-kertas itu, tiba-tiba saya temukan bungkusan koran ini. Dan ternyata isinya uang ratusan ribu. Saya hitung jumlahnya ada dua puluh juta lima ratus ribu rupiah. Saya amat takut. Saya ke sini tanpa memberitahukan suami saya. Inilah uang-uang itu Romo.”
Romo Wijoyo amat kaget.
“Sekitar satu setengah bulan yang lalu, sekolah tempat suami mengajar kehilangan uang sekitar jumlah ini. Saya tidak menduga bahwa suami saya yang mencurinya. Saya takut Romo. Saya minta tolong agar Romo dapat mengembalikan uang ini ke suster. Dan saya mohon agar Romo dapat berunding dengan suster kepala agar tidak mempermasalahkan hal ini. Saya minta tolong sekali pada Romo.”
Romo Wijoyo masih tertegun. Belum sempat menata pikirannya.
“Saya tidak mau suami saya kehilangan pekerjaan. Mudah- mudahan jumlah uang ini belum berkurang. Nampaknya memang demikian karena bungkusan koran ini telah berdebu bersama kertas-kertas pekerjaan murid-murid. Tolong Romo.”
Romo Wijoyo menerima bungkusan uang itu dan berjanji akan menyampaikannya kepada suster kepala.
“Ibu jatuh atau bagaimana, kok…,” tanya Romo Wijoyo sambil memperhatikan memar di mata kiri Ibu Lukas.
Ibu Lukas tersipu malu.
“Bukan jatuh Romo.”
“O, ya?”
Ibu Lukas diam menunduk. Nampak ragu akan apa yang akan dilakukannya.
“Begini Romo. Sudah satu bulan ini suami saya, ketika kami tidur, tiba-tiba ia memukuli kepala saya sambil menggeram. Bahkan pernah ia mencekik leher saya Romo. Ia sering bermimpi dan memukuli kepala saya. Suami saya… selalu menuduh saya selingkuh. Tetapi saya tidak selingkuh Romo. Lelaki itu dulu memang senang pada saya. Ia jauh lebih tua dari saya. Dari dulu ia baik pada saya. Juga setelah saya menikah dengan suami saya ini. Memang tidak pantas. Tetapi ia sering memaksa saya dan anak saya untuk diajak belanja. Dan ibu saya membolehkannya.”
Dua hari kemudian Romo Wijoyo menemui Suster Marie dan menyerahkan bungkusan uang itu. Suster Marie tidak percaya bahwa uang itu dicuri oleh Pak Lukas.
“Tidak mungkin dia Romo. Tetapi mengherankan juga mengapa uang ini ada di kamarnya. Pak Lukas ini orangnya amat baik. Ia juga disayangi anak-anak. Maklum anak-anak remaja Romo. Banyak yang mengidolakan dia. Namun ia tetap menjaga jarak dengan anak-anak, dan amat sopan. Pak Lukas memang agak pendiam, namun ia amat ramah kepada siapa pun. Saya tidak percaya ia dapat melakukan hal ini.”
“Sebaiknya suster agak punya perhatian khusus padanya.”
Sesampainya di pastoran, Romo Wijoyo menelepon bagian perpustakaan fakultas filsafat, apakah di perpustakaan ada buku The Interpretation of Dream karangan Sigmund Freud.
Dari seberang sana ada jawaban, bahwa ada dua buku itu di perpustakaan, satu hardcover dan satu lagi paperback.
Sumber: Kompas Minggu, September 2003
Cerpen Jakob Sumardjo
Inilah pengakuan dosa paling aneh yang dialami Romo Wijoyo selama hidupnya.
Pada Suatu hari Sabtu sore, seperti biasa, Romo Wijoyo telah menunggu para pengaku dosa pengakuan. Di depan masih sepi. Baru ada sekitar sepuluh orang yang duduk atau berlutut di bangku-bangku gereja. Suasana gereja amat sunyi. Tidak lama kemudian pintu kamar pengakuan dibuka orang, dan seorang lelaki muda masuk ruangan < itu. “Romo, telah lama saya tidak mengakukan dosa-dosa saya. Kurang lebih sudah sepuluh tahun ini. Pengakuan dosa saya yang terakhir sepuluh tahun yang lalu,” kata orang itu dari balik dinding kasa yang memisahkan kamar pengakuan dengan kamar Romo. Lama orang itu tidak menyambung kata-katanya. Romo Wijoyo melirik orang itu. Seorang lelaki muda yang tegap, ganteng, berkulit agak hitam. Ia menunduk sambil berlutut di bangku pengakuan. “Apa yang akan kamu lakukan?” “Romo…. Romo, saya bermimpi.” “Mimpi bukan dosa.” “Mimpi ini terus-menerus, Romo. Mimpi-mimpi itu menghantui diri saya bulan-bulan ini. Maka saya datang kemari.” “Ceritakan.” “Mula-mula saya bermimpi menyetubuhi banyak perempuan.”
“Kamu sudah menikah?”
“Sudah Romo.”
“Lanjutkan.”
“Saya guru SMA. Mula-mula saya bermimpi menyetubuhi salah satu murid saya. Saya mengajar sekolah susteran. Lain hari saya bersetubuh dengan rekan guru. Bahkan terakhir saya bersetubuh dengan suster kepala. Mimpi-mimpi itu nyata sekali, Romo. Saya sangat bergairah. Meskipun masuk, tetapi tidak mau keluar juga Romo….”
“Sudah, sudah, saya mengerti. Tetapi itu kan hanya mimpi. Waktu kamu akil balig kan juga pernah mimpi semacam itu.”
“Betul Romo. Tetapi yang dulu sampai keluar.”
“Jadi sekarang ini kamu juga menginginkan yang begitu?”
“Ah, Romo. Kecewa saja. Mungkin inilah dosa saya. Berzina dengan pikiran. Bukankah doa kita mengajarkan bahwa kita dapat berdosa dengan pikiran, perkataan, perbuatan dan kelalaian?”
Romo Wijoyo diam saja.
“Saya merasa telah berdosa dengan pikiran.”
“Baiklah, kalau kamu merasa tidak tenang, saya akan memberikan absolus.”
“Romo. Ada mimpi-mimpi lain lagi.”
“Hah?”
“Saya mimpi membunuh berkali-kali. Banyak yang saya bunuh. Mula-mula saya membunuh salah satu murid saya yang diam-diam sinis terhadap materi pengajaran saya. Murid ini banyak membaca. Ayahnya profesor sejarah. Ia memang tidak pernah membantah ajaran saya, tetapi saya tahu ia tidak mau mendengarkan yang saya ajarkan. Acuh saja selama pelajaran berlangsung. Tetapi nilai ulangannya selalu bagus. Ia saya tusuk berkali-kali tepat di dadanya. Kemudian saya bunuh ibu mertua saya. Habis, Romo, tidak ada hari tanpa meremehkan diri saya. Saya dinilai sebagai lelaki yang tidak becus cari duit. Di mata ibu saya ini, nilai manusia ditentukan oleh tebalnya kantong. Saya sudah lama menjadi pasien tidak berharga dalam keluarga. Ia saya cincang habis-habisan di dapur atau entah di mana, rasanya di dapur, tetapi bukan dapur rumah saya. Namun, sepertinya saya menganggap itu dapur rumah saya. Saya merajangnya seperti mau bikin bistik,” suara di balik kawat kasa itu terengah-engah dengan nada emosi tinggi.
Romo Wijoyo diam saja, terus mendengarkan.
“Yang terakhir saya bunuh teman kencan istri saya. Saya belum pernah memergoki mereka berselingkuh. Tetapi teman-teman dan tetangga sering melihat mereka berdua bersama anak saya yang berumur dua tahun jalan-jalan di mal, taman kota, dan restoran. Lelaki ini sengaja disodorkan oleh ibu mertua saya dan membiarkan bertamu ke rumah, sementara saya pergi mengajar. Lelaki ini memang kaya. Selalu bermobil ke rumah. Ibu mertua saya dihujani banyak hadiah olehnya. Dialah lelaki idaman ibu mertua saya. Saya pukuli lelaki ini dengan pipa ledeng sehingga remuk kepalanya. Saya puas, tetapi saya menyesal telah membunuhnya.”
“Ya, itu kan hanya mimpi. Mereka kan masih hidup?”
“Masih Romo. Tetapi saya malu telah melakukannya dalam mimpi.”
“Apa kamu malu juga dengan perempuan-perempuan dalam mimpimu?”
“Malu sekali Romo. Mereka saya lihat telanjang bulat. Suster Marie juga telanjang bulat. Bahkan dalam keadaan sadar saya tak berani membayangkannya. Ini kan pikiran kotor saya Romo. Saya telah berdosa dengan pikiran.”
“Apa kamu memang pernah punya pikiran semacam itu kepada korban-korbanmu?”
“Tidak pernah Romo. Mimpi itu datang begitu saja tanpa saya minta. Saya menyetubuhi mereka dan membunuh mereka dengan amat nyata. Begitu bangun saya terengah-engah. Untung juga cuma mimpi. Tetapi itu berulang kali. Yang terakhir saya mimpi menguras uang sekolah di laci Suster Marie, lalu saya bagikan kepada istri dan ibu mertua saya.”
“Tetapi uangnya kan masih ada?”
“Tidak ada Romo. Paginya sekolah ribut karena Suster kehilangan uang dua puluh juta lebih di lacinya.”
“Hah? Kan itu hanya mimpi.”
“Benar saya yang mimpi. Tetapi uang sekolah itu benar- benar lenyap.”
“Ke mana?”
“Tidak tahu Romo. Saya tidak mencurinya. Anehnya peristiwa itu terjadi di malam mimpi saya. Tidak ada orang yang tahu saya mimpi mencuri uang sekolah. Dan saya tidak menceritakannya kepada siapa pun, termasuk istri saya. Uang itu nyatanya benar-benar dicuri.”
Romo Wijoyo memandangi lelaki di balik kawat kasa itu. Ia menunduk dan nampak agak menggigil.
“Baiklah. Mari kita berdoa kepada Allah memohon pengampunan-Nya. Kalau kamu merasa telah berdosa dengan pikiranmu, mohonlah ampunan. Mari berdoa agar hatimu tenang.”
Keluar dari kamar pengakuan dosa, lelaki itu melihat deretan panjang orang-orang yang mau mengaku. Satu per satu mereka melirik padanya. Itulah pengakuan dosa terpanjang di paroki itu.
Romo Wijoyo, sebagai pastor paroki, dengan sendirinya hanya menyimpan peristiwa itu dalam hatinya. Namun, pengakuan dosa yang aneh itu tetap menjadi pertanyaan baginya. Bagaimana uang dapat hilang dalam peristiwa mimpi.
Kira-kira satu bulan kemudian, di suatu sore, koster memberi tahu kepada Romo Wijoyo bahwa ada seorang ibu ingin menemui Romo. Di ruang tamu, Romo Wijoyo melihat seorang perempuan muda yang bertanda memar biru di bagian mata kirinya.
“Maaf mengganggu Romo. Saya Ibu Lukas. Istri Pak Lukas guru sejarah di susteran. Begini persoalannya Romo.”
Romo Wijoyo ingat kembali pengakuan dosa yang aneh itu.
“Tadi siang saya membereskan kamar kerja suami saya. Banyak tumpukan kertas ulangan dan tugas-tugas kliping dari murid-murid. Di tengah-tengah tumpukan kertas-kertas itu, tiba-tiba saya temukan bungkusan koran ini. Dan ternyata isinya uang ratusan ribu. Saya hitung jumlahnya ada dua puluh juta lima ratus ribu rupiah. Saya amat takut. Saya ke sini tanpa memberitahukan suami saya. Inilah uang-uang itu Romo.”
Romo Wijoyo amat kaget.
“Sekitar satu setengah bulan yang lalu, sekolah tempat suami mengajar kehilangan uang sekitar jumlah ini. Saya tidak menduga bahwa suami saya yang mencurinya. Saya takut Romo. Saya minta tolong agar Romo dapat mengembalikan uang ini ke suster. Dan saya mohon agar Romo dapat berunding dengan suster kepala agar tidak mempermasalahkan hal ini. Saya minta tolong sekali pada Romo.”
Romo Wijoyo masih tertegun. Belum sempat menata pikirannya.
“Saya tidak mau suami saya kehilangan pekerjaan. Mudah- mudahan jumlah uang ini belum berkurang. Nampaknya memang demikian karena bungkusan koran ini telah berdebu bersama kertas-kertas pekerjaan murid-murid. Tolong Romo.”
Romo Wijoyo menerima bungkusan uang itu dan berjanji akan menyampaikannya kepada suster kepala.
“Ibu jatuh atau bagaimana, kok…,” tanya Romo Wijoyo sambil memperhatikan memar di mata kiri Ibu Lukas.
Ibu Lukas tersipu malu.
“Bukan jatuh Romo.”
“O, ya?”
Ibu Lukas diam menunduk. Nampak ragu akan apa yang akan dilakukannya.
“Begini Romo. Sudah satu bulan ini suami saya, ketika kami tidur, tiba-tiba ia memukuli kepala saya sambil menggeram. Bahkan pernah ia mencekik leher saya Romo. Ia sering bermimpi dan memukuli kepala saya. Suami saya… selalu menuduh saya selingkuh. Tetapi saya tidak selingkuh Romo. Lelaki itu dulu memang senang pada saya. Ia jauh lebih tua dari saya. Dari dulu ia baik pada saya. Juga setelah saya menikah dengan suami saya ini. Memang tidak pantas. Tetapi ia sering memaksa saya dan anak saya untuk diajak belanja. Dan ibu saya membolehkannya.”
Dua hari kemudian Romo Wijoyo menemui Suster Marie dan menyerahkan bungkusan uang itu. Suster Marie tidak percaya bahwa uang itu dicuri oleh Pak Lukas.
“Tidak mungkin dia Romo. Tetapi mengherankan juga mengapa uang ini ada di kamarnya. Pak Lukas ini orangnya amat baik. Ia juga disayangi anak-anak. Maklum anak-anak remaja Romo. Banyak yang mengidolakan dia. Namun ia tetap menjaga jarak dengan anak-anak, dan amat sopan. Pak Lukas memang agak pendiam, namun ia amat ramah kepada siapa pun. Saya tidak percaya ia dapat melakukan hal ini.”
“Sebaiknya suster agak punya perhatian khusus padanya.”
Sesampainya di pastoran, Romo Wijoyo menelepon bagian perpustakaan fakultas filsafat, apakah di perpustakaan ada buku The Interpretation of Dream karangan Sigmund Freud.
Dari seberang sana ada jawaban, bahwa ada dua buku itu di perpustakaan, satu hardcover dan satu lagi paperback.
Sumber: Kompas Minggu, September 2003
Magi dari Timur
Magi dari Timur
Cerpen Sutardji Calzoum Bachri
Jika para wali di langit tinggi
Jika para wali berarak di awan
Jika para wali menapak langit tinggi
Mari ikut bersama-sama
(disarankan dinyanyikan seperti When the Saints Go Marching In)
BEGITULAH dia Pak Tua itu menyanyi dengan harmonika berjalan menapak-napak pantai. Sementara burung poididi, si raja udang, elang, gagakagaknya, makadawaktu, murai dan lainnya meloncat-loncat girang dan bising dengan kicau lagu masing-masing, seakan tak perduli dengan irama nyanyi dan langkah loncat Pak Tua di pantai antara pasir dan bebatuan.
Angin pantai senja itu jinak. Tapi sejinak-jinaknya angin pantai, tetaplah dapat menyibak-nyibak perdu, ranting dan dedaunan berangan dan pelepah pepohonan kelapa kembar, mendesah dan menderu dalam gumam yang dalam. Maka engkau takkan dapat mendengar penuh nyanyi dan harmonika Pak Tua kalau kalian tak dapat masuk ke dalam dirinya.
Dalam diri Pak Tua ada ruang yang luas dan lapang yang dibuat dan dimuat oleh kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa, pencapaian dan pelepasan yang ikhlas dan tenang.
Memang tak gampang masuk ke dalam ruang jiwa Pak Tua, namun jika engkau sanggup bersabar, jika kalian punya waktu dan memiliki hal-hal dan kejadian yang dapat kalian resapkan, engkau bakal bisa masuk ke dalam diri Pak Tua itu dan dapat jelas mendengar nyanyi dan harmonikanya.
Lihatlah, ia terus menyanyi, menapak-napak di pasir pantai meloncat-loncatkan kaki tua yang masih tegap itu pada punggung kokoh bebatuan:
Bila para wali di langit suci
Jika para wali berarak di awan
Bila para wali di langit suci
Mari ikut bersama-sama
Burung poididi, raja udang, makadawaktu, gagakgulana, kakaktua, dan burung sukadukatuaku, berkicau-kicau bising dan indah memberikan warna suara pada langit senja jingga merah keperak-perakan. Pelepah-pelepah kelapa kembar, dedaunan berangan dan perdu pantai disibak rebak angin mensiar-suirkan nyanyi sendiri-sendiri tanpa perduli.
Namun di antara sibuk bising nyanyi angin, pepohonan, dan para burung itu, nada dan nyanyi burung makadawaktu-lah yang mengatas segala.
Suaranya yang aneh , acuh tak acuh, dan terdengar netral, berderam keluar dengan tenang dan penuh wibawa dari paruh yang panjang melengkung bagaikan pedang:
Waketu waktu waktu waktu waketuku waktu, mengatas segala suara kicau dan nyanyi yang ada di sekitarnya.
Tapi seperti sudah kukatakan tadi, jika engkau dapat masuk ke dalam diri Pak Tua, hirau kicau deram desah burung, pepohonan dan alam yang di luar kelihatan bising tak perduli, saling sendiri menyanyi, semuanya jadi terasa selaras sepadan dan menyatu dalam nyanyi Pak tua itu.
Lelah dan puas menyanyi, Pak Tua menggeletakkan tubuh girangnya di pasir pantai, melelap dalam kesejenakan tidur. Ia kelihatan sebagai batu bernafas di sela banyak bebatuan yang terhampar di pantai.
Dalam tidurnya ia sering mengeluarkan dengkur yang aneh, bagaikan kord-kord harmonika yang tak dapat dilacak nadanya.
Memang dulu ketika muda bekerja sebagai pelaut di kapal tanker Yunani “Philosophia’, menyanyi dan mabuk-mabukan dengan teman-teman pelaut sekapal dari berbagai bangsa, ia tak pernah mau menyelaraskan suaranya yang aneh itu dalam nyanyi bersama.
Dalam mabuknya ia berkicau tak ada do bersama. Bahkan tak ada do sebenar do. Begitu juga re dan seterusnya. Paling yang do mirip do yang tak sebenar do yang hampir do yang walau do bukan do yang meski do bukannya do tapi do, namun do tak juga do, tak sampai do namun do mirip do apalah do kalau tak do.
Biasanya kalau ia sudah berkicau begitu, teman-temannya setanker Philosophia akan bilang: “Engkau benar, engkau ini Magi dari Timur”. Dan ia dalam mabuknya tertawa sementara pikirannya bilang pada dirinya sendiri: “Bukan hanya dari Timur, juga dari Barat, Utara, Selatan.
Tapi tentulah itu tak dilafazkan pada teman-temannya sekapal. Karena ia tahu, sebagaimana teman-temannya tahu: Bagi para bijak cukuplah satu arah, untuk menunjukkan banyak arah yang ada.
Kini batu bernafas itu yang punggungnya mengarah tenggelamnya senja, terus tenggelam dalam lelap diiringi dengkur harmonikanya.
Dengkur yang bersuara harmonika itu sudah lama lama sekali tak terpisahkan pada tidurnya. Dulu puluhan tahun yang lalu, ketika SD kelas tiga ia pertama kali mengenal harmonika. Ibunya membelikannya sebuah harmonika 3 dollar Straits Settlement, mata uang yang berlaku waktu itu di semenanjung Malaya, Singapura, Brunei dan Riau.
Sejak itu setiap bulan ia menghabiskan 3 sampai 4 harmonika. Tetapi ibunya tak pernah menolak kalau ia minta uang untuk harmonika.
“Engkau menghabiskan harmonika seperti orang makan jagung rebus,” bilang abangnya yang iri.
Tapi ibunya bilang: Biarlah. Di antara kalian dialah yang akan pergi jauh dan lama. Dia akan berpisah jauh dari kita. Mungkin untuk selama-lamanya. Memang sengaja aku biarkan bising dan sibuk dengan harmonikanya. Aku biarkan dia, sambil bergantungan di akar hawa pepohonan Riau seperti Tarzan, menyanyi-nyanyi dan menghisap harmonika. Aku biarkan dia berenang di lautan, timbul tenggelam bagaikan lumba-lumba, sambil menghisap harmonika. Aku biarkan dirinya, parunya, dan harmonikanya kuyup dengan laut, selat, sungai, akar, dan pepohonan Riau. Nanti, biarpun ia pergi jauh, dia takkan terpisahkan dari kita. Setiap ia menampilkan dirinya dan harmonikanya, selalu ada kita di sana.
Sejak berusia 50 tahun ia mulai mendengkurkan harmonikanya. Tapi sejak usia itu pulalah ia tak pernah bermimpi. Tidurnya selalu kosong mimpi tapi sarat pada makna hayat kediriannya.
Mimpi hanya untuk luka yang ingin disembuhkan, angan-angan dan harapan, untuk kejadian-kejadian yang diharapkan dan dicemaskan akan datang, juga untuk hiburan. Tetapi aku, aku sudah lama tak membutuhkan mimpi. Aku telah melepas-atasi luka, aku telah lama mencapai atasi sampai. Aku tak membutuhkan hiburan karena aku adalah kegirangan. Aku tidak menanti dan tak mengharap. Karena aku adalah yang dinanti dan diharapkan, katanya dalam omong-omong dengan Paul Wisdom, teman akrabnya sesama mantan pelaut Philosophia ketika suatu hari kebetulan bertemu di Batam.
‘Engkau memang benar-benar Magi dari Timur, seperti dulu sudah kubilang waktu di kapal,” kata Paul Wisdom.
Dan seperti biasa, kembali kilatan dalam pikirannya bilang: “Bukan hanya dari Timur, tetapi juga dari Selatan, Utara dan Barat”. Tetapi seperti biasa pula tak diucapkan lantang pada temannya. Karena ia tahu, bagi para bijak seperti Paul Wisdom cukuplah satu arah untuk menunjukkan banyak arah yang ada.
Ketika tidur Pak Tua selalu tersenyum. Bukan hanya di wajahnya yang kerut merut dihiasi alur usia, tetapi sekujur tubuhnya, kaki, bahu, perut dan tangan dan lengannya tersenyum. Semakin lelap semakin mengembang senyum di sekujur tubuhnya. Bahkan tattoo perempuan telanjang di tangan kirinya-kenang-kenangan di masa pelautnya-yang tadi ikut berkeringat ketika Pak Tua meloncat-loncat menyanyi, ikut pula tersenyum.
Kedua buah dadanya yang ikut keriput bersama usia Pak Tua, kini serupa dengan kembang senyum, mengundang hasrat keakraban bagi yang menatapnya.
Maka tak heran kalau Alina, gadis kecil 5 tahun, yang sengaja melepaskan diri dari pengasuhnya, sedikitpun tak gentar ketika menemukan batu bernafas itu.
Ia berjongkok di depan Pak Tua, mendengarkan dengan cermat dan asyik pada dengkur harmonika dari batu keras bernafas namun penuh dilimpahi senyum akrab di sekujurnya. Ia terpukau pada buah dada tattoo yang mengembangkan senyum. Alina mengusap-usap lengan yang tersenyum seakan menjawab suatu jabat tangan. Sebesar-besarnya buah dada dari tattoo di lengan tentulah takkan besar benar. Tapi bagi Alina, buah dada tua yang mengembangkan senyum itu menjadi besar penuh susu segar. Ia menundukkan muka ke buah dada kiri tattoo dan mulai menghisapnya. Pak Tua terbangun.
-Itu hanya gambar-kata Pak Tua sambil tersenyum.
Tanpa malu-malu dan tidak terkejut Alina bilang: “Aku ingin menyusu, Kek”.
-Kau sudah lama tak perlu menyusu-kata kakek.
-Memang sudah lama aku tak menyusu. Tapi sekarang aku ingin.
Pak tua mengalihkan hasrat Alina, memainkan harmonika dengan lembut dan membisikkan lagu di sela-sela riff-nya. Alina senang kegirangan.
-Siapa namamu?
-Alina.
-Usiamu?
-5 tahun.
-Kakek namanya siapa?
-Nama.
-Nama Kakek?!
-Ya Nama.
-Aku bilang nama Kakek siapa?-gusar Alina.
-Ya Nama.
Alina tambah gusar dan kesal.
-Orang harus punya nama, Kek. Namaku Alina. Kakek namanya apa?
-Nama-jawab kakek sambil memungut ranting dan menuliskan : N-a-m-a, di atas pasir pantai.
-Ah masak nama Kakek Nama. Biasanya nama orang itu Abdul, Alek, Wina, Hadi, Hamid, Rahman. Tapi Kakek namanya Nama. Tak lazim, Kek.
Kakek tersenyum dan tertawa. Ia tahu sedang menghadapi anak yang cerdas. Kata ‘tak lazim’ yang diucapkan seorang anak 5 tahun, menambah kesan kecerdasannya.
-Ya. Baiklah. Biar lebih jelas dan lazim namaku ini-kata kakek, sambil menggoreskan ranting di pasir dan menulis bin Tafsir setelah N-a-m-a.
-Nama bin Tafsir, itulah nama jelasku. Kalau pakai Tafsir pasti akan lebih jelas memanggil atau mengenalku. Jika kau sebut Tafsirnya kau akan lebih kenal aku.
Alina terbengong-bengong dan bilang “aku tak mengerti, Kek”.
-Ya aku tahu kau belum paham. Tapi nantilah jika semakin tambah usiamu, semakin banyaklah kejadian yang kau alami dan saksikan, kau akan bisa akrab dan paham dengan namaku dan dengan nama-nama lainnya. Buat sekarang, kau panggil aku Kakek, itu sudah bagus-kata Pak Tua.
Senja semakin kelam. Burung-burung sudah menutup kicaunya. Semak-semak dan perdu mulai menyatu dalam bayangan kelam. Pepohonan kelapa kembar mulai tak kelihatan kembarnya. Dermaga yang jauh sayup, mulai menyalakan lampunya.
-Sudah waktunya pulang-kata Pak Tua.-Kau bisa pulang sendiri?-tanyanya.
-Itu rumahku-jawab Alina menunjukkan sebuah vila mungil 200 meter dari situ, yang menjadi terang karena lelampunya sudah dihidupkan.
-Kakek rumahnya di mana?-tanya Alina. Kakek menunjuk pada gundukan tanah yang luas di ketinggian pantai, ditutupi rumput yang tebal dan rapi dan di pinggir gundukan penuh merambat bunga-bunga.
Bagi Alina rumah kakek kelihatan aneh sebagai gundukan tanah yang luas dan lapang.
-Boleh aku ikut Kakek?
-Buat apa-jawab Pak Tua.
-Ya ingin tau aja-jawab Alina.
Aku cuma ingin tahu jalannya. Sampai rumah Kakek aku langsung pulang. Nanti kan aku bisa jalan sendiri ke rumah Kakek, tentu bila Kakek mengizinkan.
Ya, nanti-nanti kau bisa sendirian ke sana, kata kakek sambil membimbing Alina menuju ke rumah.
Sampai rumah Pak Tua, Alina jadi tahu bahwa rumah kakek dalam tanah. Gundukan besar dan rapi dengan rumputan dan bunga-bunga itu adalah atapnya. Percis sebuah kuburan besar tetapi lelampu luar dan dalam rumah yang segera dinyalakan kakek, serta warna-warni bunga-bunga rerumputan sejuk dan tebal membuat Alina senang dan jauh dari ketakutan.
Di bagian depan bukit rumah Pak Tua itu, terpancang papan lebar kokoh dan besar bagaikan sebuah nisan yang besar dan jelas tercantum nama Pak Tua: Nama bin Tafsir. Kakek tersenyum melihat Alina dengan bantuan cahaya lelampu taman mencoba mengeja namanya.
Sudah waktunya kau pulang sekarang. Nanti ayah dan ibumu bisa cemas. Lantas digaetnya tangan Alina dan diantarnya bocah kecil itu separuh jalan menuju rumah orangtuanya. ***
Sumber: Riau Pos, 9 Agustus 2003
Aihhh... Berat3x...
Hatiku selembar daun...
Cerpen Sutardji Calzoum Bachri
Jika para wali di langit tinggi
Jika para wali berarak di awan
Jika para wali menapak langit tinggi
Mari ikut bersama-sama
(disarankan dinyanyikan seperti When the Saints Go Marching In)
BEGITULAH dia Pak Tua itu menyanyi dengan harmonika berjalan menapak-napak pantai. Sementara burung poididi, si raja udang, elang, gagakagaknya, makadawaktu, murai dan lainnya meloncat-loncat girang dan bising dengan kicau lagu masing-masing, seakan tak perduli dengan irama nyanyi dan langkah loncat Pak Tua di pantai antara pasir dan bebatuan.
Angin pantai senja itu jinak. Tapi sejinak-jinaknya angin pantai, tetaplah dapat menyibak-nyibak perdu, ranting dan dedaunan berangan dan pelepah pepohonan kelapa kembar, mendesah dan menderu dalam gumam yang dalam. Maka engkau takkan dapat mendengar penuh nyanyi dan harmonika Pak Tua kalau kalian tak dapat masuk ke dalam dirinya.
Dalam diri Pak Tua ada ruang yang luas dan lapang yang dibuat dan dimuat oleh kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa, pencapaian dan pelepasan yang ikhlas dan tenang.
Memang tak gampang masuk ke dalam ruang jiwa Pak Tua, namun jika engkau sanggup bersabar, jika kalian punya waktu dan memiliki hal-hal dan kejadian yang dapat kalian resapkan, engkau bakal bisa masuk ke dalam diri Pak Tua itu dan dapat jelas mendengar nyanyi dan harmonikanya.
Lihatlah, ia terus menyanyi, menapak-napak di pasir pantai meloncat-loncatkan kaki tua yang masih tegap itu pada punggung kokoh bebatuan:
Bila para wali di langit suci
Jika para wali berarak di awan
Bila para wali di langit suci
Mari ikut bersama-sama
Burung poididi, raja udang, makadawaktu, gagakgulana, kakaktua, dan burung sukadukatuaku, berkicau-kicau bising dan indah memberikan warna suara pada langit senja jingga merah keperak-perakan. Pelepah-pelepah kelapa kembar, dedaunan berangan dan perdu pantai disibak rebak angin mensiar-suirkan nyanyi sendiri-sendiri tanpa perduli.
Namun di antara sibuk bising nyanyi angin, pepohonan, dan para burung itu, nada dan nyanyi burung makadawaktu-lah yang mengatas segala.
Suaranya yang aneh , acuh tak acuh, dan terdengar netral, berderam keluar dengan tenang dan penuh wibawa dari paruh yang panjang melengkung bagaikan pedang:
Waketu waktu waktu waktu waketuku waktu, mengatas segala suara kicau dan nyanyi yang ada di sekitarnya.
Tapi seperti sudah kukatakan tadi, jika engkau dapat masuk ke dalam diri Pak Tua, hirau kicau deram desah burung, pepohonan dan alam yang di luar kelihatan bising tak perduli, saling sendiri menyanyi, semuanya jadi terasa selaras sepadan dan menyatu dalam nyanyi Pak tua itu.
Lelah dan puas menyanyi, Pak Tua menggeletakkan tubuh girangnya di pasir pantai, melelap dalam kesejenakan tidur. Ia kelihatan sebagai batu bernafas di sela banyak bebatuan yang terhampar di pantai.
Dalam tidurnya ia sering mengeluarkan dengkur yang aneh, bagaikan kord-kord harmonika yang tak dapat dilacak nadanya.
Memang dulu ketika muda bekerja sebagai pelaut di kapal tanker Yunani “Philosophia’, menyanyi dan mabuk-mabukan dengan teman-teman pelaut sekapal dari berbagai bangsa, ia tak pernah mau menyelaraskan suaranya yang aneh itu dalam nyanyi bersama.
Dalam mabuknya ia berkicau tak ada do bersama. Bahkan tak ada do sebenar do. Begitu juga re dan seterusnya. Paling yang do mirip do yang tak sebenar do yang hampir do yang walau do bukan do yang meski do bukannya do tapi do, namun do tak juga do, tak sampai do namun do mirip do apalah do kalau tak do.
Biasanya kalau ia sudah berkicau begitu, teman-temannya setanker Philosophia akan bilang: “Engkau benar, engkau ini Magi dari Timur”. Dan ia dalam mabuknya tertawa sementara pikirannya bilang pada dirinya sendiri: “Bukan hanya dari Timur, juga dari Barat, Utara, Selatan.
Tapi tentulah itu tak dilafazkan pada teman-temannya sekapal. Karena ia tahu, sebagaimana teman-temannya tahu: Bagi para bijak cukuplah satu arah, untuk menunjukkan banyak arah yang ada.
Kini batu bernafas itu yang punggungnya mengarah tenggelamnya senja, terus tenggelam dalam lelap diiringi dengkur harmonikanya.
Dengkur yang bersuara harmonika itu sudah lama lama sekali tak terpisahkan pada tidurnya. Dulu puluhan tahun yang lalu, ketika SD kelas tiga ia pertama kali mengenal harmonika. Ibunya membelikannya sebuah harmonika 3 dollar Straits Settlement, mata uang yang berlaku waktu itu di semenanjung Malaya, Singapura, Brunei dan Riau.
Sejak itu setiap bulan ia menghabiskan 3 sampai 4 harmonika. Tetapi ibunya tak pernah menolak kalau ia minta uang untuk harmonika.
“Engkau menghabiskan harmonika seperti orang makan jagung rebus,” bilang abangnya yang iri.
Tapi ibunya bilang: Biarlah. Di antara kalian dialah yang akan pergi jauh dan lama. Dia akan berpisah jauh dari kita. Mungkin untuk selama-lamanya. Memang sengaja aku biarkan bising dan sibuk dengan harmonikanya. Aku biarkan dia, sambil bergantungan di akar hawa pepohonan Riau seperti Tarzan, menyanyi-nyanyi dan menghisap harmonika. Aku biarkan dia berenang di lautan, timbul tenggelam bagaikan lumba-lumba, sambil menghisap harmonika. Aku biarkan dirinya, parunya, dan harmonikanya kuyup dengan laut, selat, sungai, akar, dan pepohonan Riau. Nanti, biarpun ia pergi jauh, dia takkan terpisahkan dari kita. Setiap ia menampilkan dirinya dan harmonikanya, selalu ada kita di sana.
Sejak berusia 50 tahun ia mulai mendengkurkan harmonikanya. Tapi sejak usia itu pulalah ia tak pernah bermimpi. Tidurnya selalu kosong mimpi tapi sarat pada makna hayat kediriannya.
Mimpi hanya untuk luka yang ingin disembuhkan, angan-angan dan harapan, untuk kejadian-kejadian yang diharapkan dan dicemaskan akan datang, juga untuk hiburan. Tetapi aku, aku sudah lama tak membutuhkan mimpi. Aku telah melepas-atasi luka, aku telah lama mencapai atasi sampai. Aku tak membutuhkan hiburan karena aku adalah kegirangan. Aku tidak menanti dan tak mengharap. Karena aku adalah yang dinanti dan diharapkan, katanya dalam omong-omong dengan Paul Wisdom, teman akrabnya sesama mantan pelaut Philosophia ketika suatu hari kebetulan bertemu di Batam.
‘Engkau memang benar-benar Magi dari Timur, seperti dulu sudah kubilang waktu di kapal,” kata Paul Wisdom.
Dan seperti biasa, kembali kilatan dalam pikirannya bilang: “Bukan hanya dari Timur, tetapi juga dari Selatan, Utara dan Barat”. Tetapi seperti biasa pula tak diucapkan lantang pada temannya. Karena ia tahu, bagi para bijak seperti Paul Wisdom cukuplah satu arah untuk menunjukkan banyak arah yang ada.
Ketika tidur Pak Tua selalu tersenyum. Bukan hanya di wajahnya yang kerut merut dihiasi alur usia, tetapi sekujur tubuhnya, kaki, bahu, perut dan tangan dan lengannya tersenyum. Semakin lelap semakin mengembang senyum di sekujur tubuhnya. Bahkan tattoo perempuan telanjang di tangan kirinya-kenang-kenangan di masa pelautnya-yang tadi ikut berkeringat ketika Pak Tua meloncat-loncat menyanyi, ikut pula tersenyum.
Kedua buah dadanya yang ikut keriput bersama usia Pak Tua, kini serupa dengan kembang senyum, mengundang hasrat keakraban bagi yang menatapnya.
Maka tak heran kalau Alina, gadis kecil 5 tahun, yang sengaja melepaskan diri dari pengasuhnya, sedikitpun tak gentar ketika menemukan batu bernafas itu.
Ia berjongkok di depan Pak Tua, mendengarkan dengan cermat dan asyik pada dengkur harmonika dari batu keras bernafas namun penuh dilimpahi senyum akrab di sekujurnya. Ia terpukau pada buah dada tattoo yang mengembangkan senyum. Alina mengusap-usap lengan yang tersenyum seakan menjawab suatu jabat tangan. Sebesar-besarnya buah dada dari tattoo di lengan tentulah takkan besar benar. Tapi bagi Alina, buah dada tua yang mengembangkan senyum itu menjadi besar penuh susu segar. Ia menundukkan muka ke buah dada kiri tattoo dan mulai menghisapnya. Pak Tua terbangun.
-Itu hanya gambar-kata Pak Tua sambil tersenyum.
Tanpa malu-malu dan tidak terkejut Alina bilang: “Aku ingin menyusu, Kek”.
-Kau sudah lama tak perlu menyusu-kata kakek.
-Memang sudah lama aku tak menyusu. Tapi sekarang aku ingin.
Pak tua mengalihkan hasrat Alina, memainkan harmonika dengan lembut dan membisikkan lagu di sela-sela riff-nya. Alina senang kegirangan.
-Siapa namamu?
-Alina.
-Usiamu?
-5 tahun.
-Kakek namanya siapa?
-Nama.
-Nama Kakek?!
-Ya Nama.
-Aku bilang nama Kakek siapa?-gusar Alina.
-Ya Nama.
Alina tambah gusar dan kesal.
-Orang harus punya nama, Kek. Namaku Alina. Kakek namanya apa?
-Nama-jawab kakek sambil memungut ranting dan menuliskan : N-a-m-a, di atas pasir pantai.
-Ah masak nama Kakek Nama. Biasanya nama orang itu Abdul, Alek, Wina, Hadi, Hamid, Rahman. Tapi Kakek namanya Nama. Tak lazim, Kek.
Kakek tersenyum dan tertawa. Ia tahu sedang menghadapi anak yang cerdas. Kata ‘tak lazim’ yang diucapkan seorang anak 5 tahun, menambah kesan kecerdasannya.
-Ya. Baiklah. Biar lebih jelas dan lazim namaku ini-kata kakek, sambil menggoreskan ranting di pasir dan menulis bin Tafsir setelah N-a-m-a.
-Nama bin Tafsir, itulah nama jelasku. Kalau pakai Tafsir pasti akan lebih jelas memanggil atau mengenalku. Jika kau sebut Tafsirnya kau akan lebih kenal aku.
Alina terbengong-bengong dan bilang “aku tak mengerti, Kek”.
-Ya aku tahu kau belum paham. Tapi nantilah jika semakin tambah usiamu, semakin banyaklah kejadian yang kau alami dan saksikan, kau akan bisa akrab dan paham dengan namaku dan dengan nama-nama lainnya. Buat sekarang, kau panggil aku Kakek, itu sudah bagus-kata Pak Tua.
Senja semakin kelam. Burung-burung sudah menutup kicaunya. Semak-semak dan perdu mulai menyatu dalam bayangan kelam. Pepohonan kelapa kembar mulai tak kelihatan kembarnya. Dermaga yang jauh sayup, mulai menyalakan lampunya.
-Sudah waktunya pulang-kata Pak Tua.-Kau bisa pulang sendiri?-tanyanya.
-Itu rumahku-jawab Alina menunjukkan sebuah vila mungil 200 meter dari situ, yang menjadi terang karena lelampunya sudah dihidupkan.
-Kakek rumahnya di mana?-tanya Alina. Kakek menunjuk pada gundukan tanah yang luas di ketinggian pantai, ditutupi rumput yang tebal dan rapi dan di pinggir gundukan penuh merambat bunga-bunga.
Bagi Alina rumah kakek kelihatan aneh sebagai gundukan tanah yang luas dan lapang.
-Boleh aku ikut Kakek?
-Buat apa-jawab Pak Tua.
-Ya ingin tau aja-jawab Alina.
Aku cuma ingin tahu jalannya. Sampai rumah Kakek aku langsung pulang. Nanti kan aku bisa jalan sendiri ke rumah Kakek, tentu bila Kakek mengizinkan.
Ya, nanti-nanti kau bisa sendirian ke sana, kata kakek sambil membimbing Alina menuju ke rumah.
Sampai rumah Pak Tua, Alina jadi tahu bahwa rumah kakek dalam tanah. Gundukan besar dan rapi dengan rumputan dan bunga-bunga itu adalah atapnya. Percis sebuah kuburan besar tetapi lelampu luar dan dalam rumah yang segera dinyalakan kakek, serta warna-warni bunga-bunga rerumputan sejuk dan tebal membuat Alina senang dan jauh dari ketakutan.
Di bagian depan bukit rumah Pak Tua itu, terpancang papan lebar kokoh dan besar bagaikan sebuah nisan yang besar dan jelas tercantum nama Pak Tua: Nama bin Tafsir. Kakek tersenyum melihat Alina dengan bantuan cahaya lelampu taman mencoba mengeja namanya.
Sudah waktunya kau pulang sekarang. Nanti ayah dan ibumu bisa cemas. Lantas digaetnya tangan Alina dan diantarnya bocah kecil itu separuh jalan menuju rumah orangtuanya. ***
Sumber: Riau Pos, 9 Agustus 2003
Aihhh... Berat3x...
Hatiku selembar daun...
Monday 17 January 2011
SUTARDJI CALZOUM BACHRI
SUTARDJI CALZOUM BACHRI was born in
Rengat, Riau, Indonesia on June 24, 1941. He
studied at Padjadjaran University, Bandung. His
poems appeared in literary magazines such as
Horison and Budaya Jaya, as well as in the literary
pages of national daily newspapers such as Sinar
Harapan and Berita Buana. Later he joined the
editorial board of Horison; and was appointed
senior editor in 1996. Between 2000 and 2002 he
was the poetry editor of Bentara, a monthly
cultural supplement of the newspaper Kompas. In
1973 Sutardji stunned the Indonesian literary
public with his Poetic Credo in which he sets out
to ‘free words from the burden of meaning’
through his mantra poems, in which each word
takes on particular weight as an aural and visual
phenomenon. He uses ‘autonomous words as
material for fresh mantras and new meanings.
Poetry unleashes the force of language, to
present the experience of life as dynamic as
possible.’
Placed among the leading figures of modern
Indonesian literature, he attended the Poetry
International Festival in Rotterdam in the summer
of 1974. In the same year, he spent 6 months as
a participant in the International Writing
Programme in Iowa City, USA. With fellow
Indonesian poets K.H. Mustofa Bisri and Taufiq
Ismail, Sutardji took part in the International Poets
Meeting in Baghdad, Iraq. In 1997, he was invited
to read his poetry at the International Poetry
Festival in Medellin, Colombia. His short story
collection, entitled Sutardji received an SEA Writer
Award from the King of Thailand in 1979 and an
Arts Award from the Indonesian government
in 1993. He is also the recipient of the 1998 Chairil
Anwar Literary Prize, and in 2001 he was
awarded the title Sastrawan Perdana (Prime Man
of Letters) by the regional government of Riau.
Solitude
the most roselike
the most thornlike
the most birdlike
the most earthlike
the most knifelike
the most eyelike
the most armlike
the most high
God
Select Bibliography :
O, 1973
Arjuna in Meditation, 1976
Amuk (Amok), 1977
Sutardji, 1979
Kapak (Axe), 1979
O Amuk Kapak,1981
Hujan Menulis Ayam (Rain Writing Chicken), 2001
Rengat, Riau, Indonesia on June 24, 1941. He
studied at Padjadjaran University, Bandung. His
poems appeared in literary magazines such as
Horison and Budaya Jaya, as well as in the literary
pages of national daily newspapers such as Sinar
Harapan and Berita Buana. Later he joined the
editorial board of Horison; and was appointed
senior editor in 1996. Between 2000 and 2002 he
was the poetry editor of Bentara, a monthly
cultural supplement of the newspaper Kompas. In
1973 Sutardji stunned the Indonesian literary
public with his Poetic Credo in which he sets out
to ‘free words from the burden of meaning’
through his mantra poems, in which each word
takes on particular weight as an aural and visual
phenomenon. He uses ‘autonomous words as
material for fresh mantras and new meanings.
Poetry unleashes the force of language, to
present the experience of life as dynamic as
possible.’
Placed among the leading figures of modern
Indonesian literature, he attended the Poetry
International Festival in Rotterdam in the summer
of 1974. In the same year, he spent 6 months as
a participant in the International Writing
Programme in Iowa City, USA. With fellow
Indonesian poets K.H. Mustofa Bisri and Taufiq
Ismail, Sutardji took part in the International Poets
Meeting in Baghdad, Iraq. In 1997, he was invited
to read his poetry at the International Poetry
Festival in Medellin, Colombia. His short story
collection, entitled Sutardji received an SEA Writer
Award from the King of Thailand in 1979 and an
Arts Award from the Indonesian government
in 1993. He is also the recipient of the 1998 Chairil
Anwar Literary Prize, and in 2001 he was
awarded the title Sastrawan Perdana (Prime Man
of Letters) by the regional government of Riau.
Solitude
the most roselike
the most thornlike
the most birdlike
the most earthlike
the most knifelike
the most eyelike
the most armlike
the most high
God
Select Bibliography :
O, 1973
Arjuna in Meditation, 1976
Amuk (Amok), 1977
Sutardji, 1979
Kapak (Axe), 1979
O Amuk Kapak,1981
Hujan Menulis Ayam (Rain Writing Chicken), 2001
Sunday 5 December 2010
Tentang Manusia dalam Bumi Manusia
Tentang Manusia dalam Bumi Manusia
Vincent Christian Liong
“Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.”(2002:135)
Pengantar
Studi mengenai manusia telah menjadi studi yang tidak ada habisnya. Ia terus menjadi topik yang menarik di muka bumi. Sepanjang segala abad, manusia diajak untuk bertanya mengenai siapakah dirinya. Filsafatlah yang sering menjadi jembatan atas pertanyaan itu. Namun hal ini pun tidak pernah memuaskan. Antara aliran satu dengan yang lain seringkali tidak pernah melengkapi, bahkan punya kecenderungan untuk saling mereduksi. Manusia menurut Nietszche tidaklah sama dengan manusia menurut Sartre atau Foucault, sebagai contoh. Meskipun begitu, hal ini tidak berarti bahwa manusia tidak pernah dapat dipahami.
Salah satu medium yang dapat memberikan alternatif untuk memahami manusia adalah karya sastra. Mengapa karya sastra? Secara de facto, tidak dapat dipungkiri bahwa karya sastra merupakan dokumen sosial yang bersifat historis. Ia berbicara tentang manusia dan waktu. Tentu saja, perihal waktu demikian mengacu pada masa lalu. Masa lalu yang bagaimana? Apa hubungan antara masa lalu dengan kehidupan manusia sekarang? Apakah karya sastra mampu memberikan perspektif yang lebih jelas tentang gerak manusia dan waktu?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dalam tulisan kecil ini, saya menyajikan beberapa panorama yang berhubungan dengan eksistensi manusia melalui Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
1. Minke: Figur Si Manusia Bumi
Cerita si manusia bumi diawali dengan perkenalannya kepada kita para pembaca dengan,”Orang memanggil aku: Minke!”(2002:1). Kata Minke(dibaca Mingke) merupakan plesetan dari kata monkey yang berarti monyet. Di awal cerita ini, tokoh Minke telah dipersamakan dengan arti monyet, dan ia menganggapnya sebagai suatu kewajaran. Minke sebagai seorang berdarah jawa, berkulit cokelat yang bersekolah di sekolah dengan guru dan murid yang berkulit putih. Bahkan, untuk menatap wajah seorang bule Jawa pun ia belum berani. Menggunakan atau belajar ilmu dan tehknologi barat pun ia merasakannya sebagai sebuah kelainan, menyalahi wujud sebagai orang Jawa. Hingga pada suatu saat ia pun berinisiatif mencatatnya sebagai hal-hal baru yang menarik hati. Begitulah, berpikir seperti monyet yang menonton manusia. Ironis dan sangat menyakitkan memang. Dari sini, tampak ketidakpuasan dan keputusasaan yang telah ditanamkan penjajah pada pri-Bumi di Bumi nya sendiri, Bumi Manusia.
Pemandangan di Bumi Manusia dalam kacamata Minke yang masih merasa monkey diawali dari berbagai peristiwa. Minke mulai membuka diri, untuk mulai berdamai dengan lingkungan yang baru mulai ia tonton. Karena ini Bumi Manusia, tentu saja pemandangan itu terdiri dari struktur manusia, baik komunitas maupun individu. Dalam proses membuat kesimpulan mengenai sebuah manusia, Minke sebagai seorang manusia memiliki kesempatan untuk menyimpulkannya melalui beberapa tahap.
Tahap Pertama, saya sebut sebagai konsep Sinecdoce totem pro parte, Sinecdoce pars pro toto.(Sebagian melambangkan keseluruhan, keseluruhan melambangkan sebagian) yang saya lihat ada di diri seorang Minke di bagian awal cerita. Tahap ini sangat penting dalam memandang bagaimana Minke mengenal identitasnya. Sama seperti manusia pada umumnya, tahap ini dilalui Minke ketika pertama kali ia berada di lingkungan sekolah yang mayoritas, atau bahkan keseluruhan dari populasi adalah kelompok yang sama yaitu bangsa Eropa, sedangkan ia sendiri adalah seorang Jawa, ia sendiri dan kesepian. Sehingga jika terjadi suatu konflik kecil saja, seorang Minke sebagai seorang individu akan menyamaratakan semuanya dalam persepsinya bahwa semuanya adalah sama. Trauma kesendirian ini akan melekat terus selama ia merasa sendirian.
Ketika trauma kesendirian itu telah melekat dalam diri Minke, event apapun yang memungkinkan terjadinya keadaan kesendirian itu akan dianggapnya sebagai suatu hal yang akan menindasnya. Seperti kalimat yang ada di pikiran Minke, ketika pertama kali mengunjungi rumah tuan Mallema,”Sekarang aku semakin mengerti: memang sudah jadi maksudnya untuk menghinakan aku di rumah orang. Dan sekarang aku hanya dapat mengunggu meledaknya pengusiran.”(2002: 15). Bukan hanya sampai di situ. Ketika Minke pertama kali bertemu dengan Annelies, anak Herman Mallema. Saat itu Minke masih belum berani menatap wajah Annelies hanya karena Annelies yang berkulit putih, halus dan berwajah Eropa. Yang ada di kepalanya hanya,”Tidakkah dia jijik padaku sudah tanpa nama keluarga dan pribumi pula?”(2002:14). Dalam kepalanya Minke sudah menyamaratakan bahwa semua orang Eropa akan merendahkannya. Pada bagian ini dapat dikatakan bahwa sebagai seorang individu, ia belum menyadari Bumi Manusia sebagai kumpulan yang terdiri dari individu-individu yang memiliki perbedaan satu sama lain.
Tahap Kedua lebih mengacu pada proses pencarian jati diri Minke sebagai seorang pribadi. Ini yang paling seru! Sebagian besar halaman dari buku ini mengangkat proses pencarian jati diri Minke, bukan kesimpulan, bukan pula ending dari perjalanan itu. Disadari atau tidak, dalam tahap ini seorang Minke mengalami bagaimana ia mudah menjadi kagum pada satu hal baru. Setelah itu, kekaguman itu dapat pindah ke hal lain. Ia selalu berpikir untuk mencoba-coba untuk mengenal dunia yang ia hadapi dan sekaligus mencari identitas sebenarnya. Di dalam proses ini beruntunglah Minke karena memiliki orang-orang yang mendukungnya, membuatnya memiliki konsep yang benar untuk dapat berhasil, sehingga ia tidak mudah pasang dan surut terlalu ekstrim pada konsep yang ia buat sendiri. Semua mengarah pada peningkatan kemampuannya untuk menghargai orang berdasarkan individu itu sendiri. Meskipun demikian, di buku ini belum diceritakan hingga tuntas akhir dari perjalanan mencari jati diri yang dilakukan Minke.
2. Bumi Manusia: Sebuah Narasi Pribadi Kolektif
Perasaan merasa dibutuhkan tampaknya menjadi manipulasi manusia pada umumnya. Minke secara khusus pun perlu untuk merasa dibutuhkan agar ia dapat menjalankan kehidupannya dengan optimis. Sebut saja Annelies berperan sebagai seorang kekasih yang amat membutuhkannya, yang akan sakit jika tidak bersamanya, yang bersedia mendengarkan dongengnya atau mungkin hanya sekedar berpura-pura mendengar untuk membuatnya senang. Peran Nyai Ontosoroh sebagai mama angkat yang melebihi peran ibunya sendiri. Juffrouw Magda Peters yang suka memberikan pujian akan tulisannya, satu-satunya teman yang tidak menjauhinya ketika ia dijauhi. Jean Marais mantan serdadu yang cacat dan kini tekun melukis bersama puterinya May, yang mengharapkan kunjungannya untuk bertamu ke rumah mereka.
Pengalaman orang lain yang diadopsi menjadi pengalaman sendiri sehingga membangun konsep yang benar mengenai manusia dan manusia lain. Yang ia dapat dari Annelies saat mempekenalkannya akan hubungan manusia dan binatang peliharaan, seperti kuda misalnya. Annelies sempat mengatakan,”Kau harus berterimakasih pada segala yang memberimu kehidupan, kata Mama, sekalipun dia hanya seekor kuda.”(2002: 32). Sketsa karya Jean Marais yang melukiskan seorang serdadu kompeni sedang menginjakan kaki pada perut seorang pejuang Aceh. Serdadu itu menyorongkan bayonet pada korbannya. Hendak membunuh dan hendak dibunuh.(bdk.2002: 53) Konsep berpikir Maiko seorang pelacur Jepang masa itu untuk mengumpulkan uang di negeri orang dan akan pulang untuk menikahi kekasihnya Nakatani.(bdk. 2002:188). Yang tidak kalah penting cerita Nyai Ontosoroh mengenai bagaimana Herman Mallema dengan sabar mengubah Nyai Ontosoroh hingga menjadi Nyai yang berpendidikan tanpa melalui bangku sekolah.
Pengalamannya bersama the others membuat Minke menyadari bahwa problem setiap manusia itu sama. Ia tidak lagi menjadi orang Jawa yang gumunan atas teknologi Eropa. Di Bumi Manusia, juga ada Annelies yang bercita-cita menjadi bangsa ibunya, kaum bumiputera. Robert Mallema yang ingin menjadi bangsa Eropa murni, bukan Indo. Maurits Mallema yang dendam pada keluarga ibu tirinya, karena merasa ditelantarkan ayahnya. Iri pada keluarga bumiputera yang dipandangnya rendah.(bdk. 2002: 373, 384). Semua itu membuat cara berpikir Minke menjadi matang untuk ukuran jaman itu.
Apa yang dipaparkan ini adalah bentuk yang saya sebut sebagai Narasi Pribadi Kolektif. Narasi ini menjadi bentuk pengalaman pribadi yang dipergunakan sebagai pertemuan dari pengalaman bersama. Dengan begitu, pengalaman-pengalaman itu membuat orang semakin kuat tanpa harus melalui semua pengalaman itu dalam hidupnya sendiri. Hal ini menjadi alasan mengapa Minke tidak perlu mengalami semua peristiwa yang dialami orang-orang di luar dirinya. Melalui pertemuan-pertemuannya dengan beberapa tokoh yang singgah dalam hidupnya, ia justru diisi sehingga eksistensinya semakin berisi. Bahkan hal ini pun tidak terjadi secara sepihak saja. Kita tahu bahwa Annelies pun misalnya, memiliki harapan akan masa depan melalui pertemuannya dengan Minke. Kedua-duanya saling mengisi dan menjadi sebuah narasi yang tidak dapat terbelah begitu saja.
3. Refleksi Bumi Manusia dan Pertanyaan tentang Manusia
Kepada saya, Bumi Manusia berbicara tentang sebuah ajakan untuk menjadi Minke. Bagaimanakah dalam dunia Minke kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di Bumi Manusia yang sesungguhnya. Hal demikian dapat dipahami karena bagaimanapun juga karya sastra yang bersifat fiktif selalu menjadi nyata ketika proses kehidupan mulai direnungkan. Tentu saja dalam hal ini akan berbeda cara mengapresiasikannya antara pribadi satu dengan yang lain. Pertanyaan terbesar dari sang Bumi Manusia yang dapat saya tangkap adalah, “Bagaimanakah hubungan antara Manusia dan Manusia lain yang sama-sama anak Bumi ketika salah satu dari mereka harus disudutkan oleh batas-batas yang seringkali tidak dapat ditoleransi oleh kemanusiaan itu sendiri?” Bukankah, telah disabdakan bahwa pada dasarnya setiap manusia ingin menjadi baik dan semakin baik?. Apabila dalam perannya seseorang merasa bersalah, ia benar-benar berniat kembali melakukan hal baik, diberi kesempatan, dan belum tentu ia menjadi baik. Namun, bila seseorang berpikir bahwa dirinya mempunyai konsep sendiri untuk menjadi baik, beri ia kesempatan. Yang ada hanya kemungkinan keberhasilan yang lebih. Tetapi tidak ada yang tahu apakah ia akan berhasil.
Setelah mendapatkan konsep yang benar, hal berikutnya yang dibutuhkan manusia adalah faktor lingkungan. Setiap manusia hanya berharap lingkungannya bersedia menerima perubahannya secara perlahan. Tidak ada manusia yang sengaja menyembunyikan perbuatannya. Seperti saat kita malu, tidak ingin orang lain tahu masalah keluarga kita. Setiap manusia hanya melindungi dirinya sendiri dengan tidak mengatakannya kepada orang lain. Pertanyaan bagi kita? ”Apakah kita akan mentoleransi batas-batas kebenaran yang dimiliki orang lain?” Sebuah arti yang sama dengan berpikir positif bahwa dalam diri orang lain juga ada kemungkinan bahwa ia akan mentoleransi batas-batas kebenaran kita. Mungkinkah di Bumi Manusia saat ini,”Masa depan alternatiflah yang telah menjadi sejarah sebenarnya.” Apakah masa depan merupakan sebuah jalan cerita yang dimana selalu terdapat jalan cerita alternatif, yang sebenarnya adalah sejarah yang sesungguhnya? Apakah sejarah sesungguhnya yang lebih baik, impian akan baik yang kita buang sendiri?
Ketika kita memperkirakan sebuah penilaian mengenai benar atau salah, bukankah yang diuji sebenarnya adalah bagimana cara pandang kita terhadap batas-batas kebenaran orang lain. Pertanyaan yang terus timbul,”Mungkin saja dalam tindakan yang dilakukan orang lain tersebut, batas-batas kita akan dilecehkan, dilanggar.” Pertanyaan ini menghantui kita dan menghasilkan jawaban,"Pasti" di dalam kepala kita. Ketika mencapai posisi demikian, lupalah kita bahwa komposisi pikiran di Bumi Manusia itu sama, di dalam diri orang yang kita anggap sebagai musuh kita, orang tersebut pun akan berpikir,"Apakah dia akan menghargai batas-batas yang saya anut, atau ia akan melanggar, menghancurkannya." Minke sendiri pun mencoba untuk memahami dan mentoleransi batas-batas di luar dirinya. Dengan cara seperti itu ia menjadi tidak eksklusif. Ia membuka dirinya pada dunia. Ini juga berarti bahwa ia mau menerima segala konsekuensi atas eksistensi dirinya dan menghargai eksistensi yang lain.
Memang, ada istilah,”Menyerang adalah pertahanan terbaik” ini memang berlaku di semua mahkluk di Bumi Manusia, tetapi bukankah kitalah sebenarnya yang melanggar batas-batas orang lain, kitalah yang menjadi penjahat yang melakukan kejahatan di diri orang lain. Sekarang, bagaimanakah jika kita mencoba berpikir sebagai pihak yang melakukan kejahatan? Dalam proses melakukan sesuatu selalu proses yang sama yang berawal dari konflik di dalam diri si manusia, lahirnya niat, lalu perencanaan (baik jangka panjang maupun jangka pendek), lalu ada moment sebelum melakukan hal yang dapat dianggap kejahatan tersebut, sampai akhirnya event dimana kejahatan tersebut terjadi. Bukankah dalam setiap bagian proses mulai dari konflik di dalam dirinya sendiri, niat, perencanaan, hingga moment sebelum terjadi, manusia selalu memiliki pilihan untuk memilih?
Kembali ke saat kita mengkhayalkan sebuah kemungkinan yang dapat saja merugikan kita di masa mendatang. Kita melakukan sebuah tindakan pencegahan. Bisa saja ada kemungkinan bahwa kejahatan itu terjadi karena kejahatan baru yang sebenarnya kita lakukan untuk melindungi diri kita. Dimana tanpa adanya tindakan pencegahan yang kita lakukan, kejahatan yang merugikan kita sebenarnya tidak perlu terjadi. Siapa tahu masa depan yang sebenarnya adalah apa yang kita impikan saat ini. Masa depan yang menjadi tempat bagi manusia untuk tidak sulit berbuat baik.
Mari bertoleransi, sebagai Sang Manusia di Bumi Manusia. Tak peduli, baik menang atau kalah dalam sejarah yang memiliki daya menggilas, melindas. Paling tidak kita telah mampu bertahan untuk tetap menolak pada penggusuran batas-batas yang kita anut. Bukankah kemenangan yang sesungguhnya adalah kemenangan untuk mengalahkan kekalahan kita sendiri? Rendah hati, mengatasi ketakutan, ketidakpuasan, kesombongan untuk tidak menang seperti Minke yang merasa dirinya bukan monyet.. Selamat menjadi Minke.
Jakarta, 2 Oktober 2003
Vincent C. Liong
(Tulisan ini pernah memenangkan Juara 1 lomba analisa Karya Sastra tingkat SMU Pekan Bahasa , 28 Oktober 2003 Sekolah Pelita Harapan dan sudah pernah dipublikasikan melalui majalah SINERGI INDONESIA)
Vincent Christian Liong
“Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.”(2002:135)
Pengantar
Studi mengenai manusia telah menjadi studi yang tidak ada habisnya. Ia terus menjadi topik yang menarik di muka bumi. Sepanjang segala abad, manusia diajak untuk bertanya mengenai siapakah dirinya. Filsafatlah yang sering menjadi jembatan atas pertanyaan itu. Namun hal ini pun tidak pernah memuaskan. Antara aliran satu dengan yang lain seringkali tidak pernah melengkapi, bahkan punya kecenderungan untuk saling mereduksi. Manusia menurut Nietszche tidaklah sama dengan manusia menurut Sartre atau Foucault, sebagai contoh. Meskipun begitu, hal ini tidak berarti bahwa manusia tidak pernah dapat dipahami.
Salah satu medium yang dapat memberikan alternatif untuk memahami manusia adalah karya sastra. Mengapa karya sastra? Secara de facto, tidak dapat dipungkiri bahwa karya sastra merupakan dokumen sosial yang bersifat historis. Ia berbicara tentang manusia dan waktu. Tentu saja, perihal waktu demikian mengacu pada masa lalu. Masa lalu yang bagaimana? Apa hubungan antara masa lalu dengan kehidupan manusia sekarang? Apakah karya sastra mampu memberikan perspektif yang lebih jelas tentang gerak manusia dan waktu?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dalam tulisan kecil ini, saya menyajikan beberapa panorama yang berhubungan dengan eksistensi manusia melalui Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
1. Minke: Figur Si Manusia Bumi
Cerita si manusia bumi diawali dengan perkenalannya kepada kita para pembaca dengan,”Orang memanggil aku: Minke!”(2002:1). Kata Minke(dibaca Mingke) merupakan plesetan dari kata monkey yang berarti monyet. Di awal cerita ini, tokoh Minke telah dipersamakan dengan arti monyet, dan ia menganggapnya sebagai suatu kewajaran. Minke sebagai seorang berdarah jawa, berkulit cokelat yang bersekolah di sekolah dengan guru dan murid yang berkulit putih. Bahkan, untuk menatap wajah seorang bule Jawa pun ia belum berani. Menggunakan atau belajar ilmu dan tehknologi barat pun ia merasakannya sebagai sebuah kelainan, menyalahi wujud sebagai orang Jawa. Hingga pada suatu saat ia pun berinisiatif mencatatnya sebagai hal-hal baru yang menarik hati. Begitulah, berpikir seperti monyet yang menonton manusia. Ironis dan sangat menyakitkan memang. Dari sini, tampak ketidakpuasan dan keputusasaan yang telah ditanamkan penjajah pada pri-Bumi di Bumi nya sendiri, Bumi Manusia.
Pemandangan di Bumi Manusia dalam kacamata Minke yang masih merasa monkey diawali dari berbagai peristiwa. Minke mulai membuka diri, untuk mulai berdamai dengan lingkungan yang baru mulai ia tonton. Karena ini Bumi Manusia, tentu saja pemandangan itu terdiri dari struktur manusia, baik komunitas maupun individu. Dalam proses membuat kesimpulan mengenai sebuah manusia, Minke sebagai seorang manusia memiliki kesempatan untuk menyimpulkannya melalui beberapa tahap.
Tahap Pertama, saya sebut sebagai konsep Sinecdoce totem pro parte, Sinecdoce pars pro toto.(Sebagian melambangkan keseluruhan, keseluruhan melambangkan sebagian) yang saya lihat ada di diri seorang Minke di bagian awal cerita. Tahap ini sangat penting dalam memandang bagaimana Minke mengenal identitasnya. Sama seperti manusia pada umumnya, tahap ini dilalui Minke ketika pertama kali ia berada di lingkungan sekolah yang mayoritas, atau bahkan keseluruhan dari populasi adalah kelompok yang sama yaitu bangsa Eropa, sedangkan ia sendiri adalah seorang Jawa, ia sendiri dan kesepian. Sehingga jika terjadi suatu konflik kecil saja, seorang Minke sebagai seorang individu akan menyamaratakan semuanya dalam persepsinya bahwa semuanya adalah sama. Trauma kesendirian ini akan melekat terus selama ia merasa sendirian.
Ketika trauma kesendirian itu telah melekat dalam diri Minke, event apapun yang memungkinkan terjadinya keadaan kesendirian itu akan dianggapnya sebagai suatu hal yang akan menindasnya. Seperti kalimat yang ada di pikiran Minke, ketika pertama kali mengunjungi rumah tuan Mallema,”Sekarang aku semakin mengerti: memang sudah jadi maksudnya untuk menghinakan aku di rumah orang. Dan sekarang aku hanya dapat mengunggu meledaknya pengusiran.”(2002: 15). Bukan hanya sampai di situ. Ketika Minke pertama kali bertemu dengan Annelies, anak Herman Mallema. Saat itu Minke masih belum berani menatap wajah Annelies hanya karena Annelies yang berkulit putih, halus dan berwajah Eropa. Yang ada di kepalanya hanya,”Tidakkah dia jijik padaku sudah tanpa nama keluarga dan pribumi pula?”(2002:14). Dalam kepalanya Minke sudah menyamaratakan bahwa semua orang Eropa akan merendahkannya. Pada bagian ini dapat dikatakan bahwa sebagai seorang individu, ia belum menyadari Bumi Manusia sebagai kumpulan yang terdiri dari individu-individu yang memiliki perbedaan satu sama lain.
Tahap Kedua lebih mengacu pada proses pencarian jati diri Minke sebagai seorang pribadi. Ini yang paling seru! Sebagian besar halaman dari buku ini mengangkat proses pencarian jati diri Minke, bukan kesimpulan, bukan pula ending dari perjalanan itu. Disadari atau tidak, dalam tahap ini seorang Minke mengalami bagaimana ia mudah menjadi kagum pada satu hal baru. Setelah itu, kekaguman itu dapat pindah ke hal lain. Ia selalu berpikir untuk mencoba-coba untuk mengenal dunia yang ia hadapi dan sekaligus mencari identitas sebenarnya. Di dalam proses ini beruntunglah Minke karena memiliki orang-orang yang mendukungnya, membuatnya memiliki konsep yang benar untuk dapat berhasil, sehingga ia tidak mudah pasang dan surut terlalu ekstrim pada konsep yang ia buat sendiri. Semua mengarah pada peningkatan kemampuannya untuk menghargai orang berdasarkan individu itu sendiri. Meskipun demikian, di buku ini belum diceritakan hingga tuntas akhir dari perjalanan mencari jati diri yang dilakukan Minke.
2. Bumi Manusia: Sebuah Narasi Pribadi Kolektif
Perasaan merasa dibutuhkan tampaknya menjadi manipulasi manusia pada umumnya. Minke secara khusus pun perlu untuk merasa dibutuhkan agar ia dapat menjalankan kehidupannya dengan optimis. Sebut saja Annelies berperan sebagai seorang kekasih yang amat membutuhkannya, yang akan sakit jika tidak bersamanya, yang bersedia mendengarkan dongengnya atau mungkin hanya sekedar berpura-pura mendengar untuk membuatnya senang. Peran Nyai Ontosoroh sebagai mama angkat yang melebihi peran ibunya sendiri. Juffrouw Magda Peters yang suka memberikan pujian akan tulisannya, satu-satunya teman yang tidak menjauhinya ketika ia dijauhi. Jean Marais mantan serdadu yang cacat dan kini tekun melukis bersama puterinya May, yang mengharapkan kunjungannya untuk bertamu ke rumah mereka.
Pengalaman orang lain yang diadopsi menjadi pengalaman sendiri sehingga membangun konsep yang benar mengenai manusia dan manusia lain. Yang ia dapat dari Annelies saat mempekenalkannya akan hubungan manusia dan binatang peliharaan, seperti kuda misalnya. Annelies sempat mengatakan,”Kau harus berterimakasih pada segala yang memberimu kehidupan, kata Mama, sekalipun dia hanya seekor kuda.”(2002: 32). Sketsa karya Jean Marais yang melukiskan seorang serdadu kompeni sedang menginjakan kaki pada perut seorang pejuang Aceh. Serdadu itu menyorongkan bayonet pada korbannya. Hendak membunuh dan hendak dibunuh.(bdk.2002: 53) Konsep berpikir Maiko seorang pelacur Jepang masa itu untuk mengumpulkan uang di negeri orang dan akan pulang untuk menikahi kekasihnya Nakatani.(bdk. 2002:188). Yang tidak kalah penting cerita Nyai Ontosoroh mengenai bagaimana Herman Mallema dengan sabar mengubah Nyai Ontosoroh hingga menjadi Nyai yang berpendidikan tanpa melalui bangku sekolah.
Pengalamannya bersama the others membuat Minke menyadari bahwa problem setiap manusia itu sama. Ia tidak lagi menjadi orang Jawa yang gumunan atas teknologi Eropa. Di Bumi Manusia, juga ada Annelies yang bercita-cita menjadi bangsa ibunya, kaum bumiputera. Robert Mallema yang ingin menjadi bangsa Eropa murni, bukan Indo. Maurits Mallema yang dendam pada keluarga ibu tirinya, karena merasa ditelantarkan ayahnya. Iri pada keluarga bumiputera yang dipandangnya rendah.(bdk. 2002: 373, 384). Semua itu membuat cara berpikir Minke menjadi matang untuk ukuran jaman itu.
Apa yang dipaparkan ini adalah bentuk yang saya sebut sebagai Narasi Pribadi Kolektif. Narasi ini menjadi bentuk pengalaman pribadi yang dipergunakan sebagai pertemuan dari pengalaman bersama. Dengan begitu, pengalaman-pengalaman itu membuat orang semakin kuat tanpa harus melalui semua pengalaman itu dalam hidupnya sendiri. Hal ini menjadi alasan mengapa Minke tidak perlu mengalami semua peristiwa yang dialami orang-orang di luar dirinya. Melalui pertemuan-pertemuannya dengan beberapa tokoh yang singgah dalam hidupnya, ia justru diisi sehingga eksistensinya semakin berisi. Bahkan hal ini pun tidak terjadi secara sepihak saja. Kita tahu bahwa Annelies pun misalnya, memiliki harapan akan masa depan melalui pertemuannya dengan Minke. Kedua-duanya saling mengisi dan menjadi sebuah narasi yang tidak dapat terbelah begitu saja.
3. Refleksi Bumi Manusia dan Pertanyaan tentang Manusia
Kepada saya, Bumi Manusia berbicara tentang sebuah ajakan untuk menjadi Minke. Bagaimanakah dalam dunia Minke kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di Bumi Manusia yang sesungguhnya. Hal demikian dapat dipahami karena bagaimanapun juga karya sastra yang bersifat fiktif selalu menjadi nyata ketika proses kehidupan mulai direnungkan. Tentu saja dalam hal ini akan berbeda cara mengapresiasikannya antara pribadi satu dengan yang lain. Pertanyaan terbesar dari sang Bumi Manusia yang dapat saya tangkap adalah, “Bagaimanakah hubungan antara Manusia dan Manusia lain yang sama-sama anak Bumi ketika salah satu dari mereka harus disudutkan oleh batas-batas yang seringkali tidak dapat ditoleransi oleh kemanusiaan itu sendiri?” Bukankah, telah disabdakan bahwa pada dasarnya setiap manusia ingin menjadi baik dan semakin baik?. Apabila dalam perannya seseorang merasa bersalah, ia benar-benar berniat kembali melakukan hal baik, diberi kesempatan, dan belum tentu ia menjadi baik. Namun, bila seseorang berpikir bahwa dirinya mempunyai konsep sendiri untuk menjadi baik, beri ia kesempatan. Yang ada hanya kemungkinan keberhasilan yang lebih. Tetapi tidak ada yang tahu apakah ia akan berhasil.
Setelah mendapatkan konsep yang benar, hal berikutnya yang dibutuhkan manusia adalah faktor lingkungan. Setiap manusia hanya berharap lingkungannya bersedia menerima perubahannya secara perlahan. Tidak ada manusia yang sengaja menyembunyikan perbuatannya. Seperti saat kita malu, tidak ingin orang lain tahu masalah keluarga kita. Setiap manusia hanya melindungi dirinya sendiri dengan tidak mengatakannya kepada orang lain. Pertanyaan bagi kita? ”Apakah kita akan mentoleransi batas-batas kebenaran yang dimiliki orang lain?” Sebuah arti yang sama dengan berpikir positif bahwa dalam diri orang lain juga ada kemungkinan bahwa ia akan mentoleransi batas-batas kebenaran kita. Mungkinkah di Bumi Manusia saat ini,”Masa depan alternatiflah yang telah menjadi sejarah sebenarnya.” Apakah masa depan merupakan sebuah jalan cerita yang dimana selalu terdapat jalan cerita alternatif, yang sebenarnya adalah sejarah yang sesungguhnya? Apakah sejarah sesungguhnya yang lebih baik, impian akan baik yang kita buang sendiri?
Ketika kita memperkirakan sebuah penilaian mengenai benar atau salah, bukankah yang diuji sebenarnya adalah bagimana cara pandang kita terhadap batas-batas kebenaran orang lain. Pertanyaan yang terus timbul,”Mungkin saja dalam tindakan yang dilakukan orang lain tersebut, batas-batas kita akan dilecehkan, dilanggar.” Pertanyaan ini menghantui kita dan menghasilkan jawaban,"Pasti" di dalam kepala kita. Ketika mencapai posisi demikian, lupalah kita bahwa komposisi pikiran di Bumi Manusia itu sama, di dalam diri orang yang kita anggap sebagai musuh kita, orang tersebut pun akan berpikir,"Apakah dia akan menghargai batas-batas yang saya anut, atau ia akan melanggar, menghancurkannya." Minke sendiri pun mencoba untuk memahami dan mentoleransi batas-batas di luar dirinya. Dengan cara seperti itu ia menjadi tidak eksklusif. Ia membuka dirinya pada dunia. Ini juga berarti bahwa ia mau menerima segala konsekuensi atas eksistensi dirinya dan menghargai eksistensi yang lain.
Memang, ada istilah,”Menyerang adalah pertahanan terbaik” ini memang berlaku di semua mahkluk di Bumi Manusia, tetapi bukankah kitalah sebenarnya yang melanggar batas-batas orang lain, kitalah yang menjadi penjahat yang melakukan kejahatan di diri orang lain. Sekarang, bagaimanakah jika kita mencoba berpikir sebagai pihak yang melakukan kejahatan? Dalam proses melakukan sesuatu selalu proses yang sama yang berawal dari konflik di dalam diri si manusia, lahirnya niat, lalu perencanaan (baik jangka panjang maupun jangka pendek), lalu ada moment sebelum melakukan hal yang dapat dianggap kejahatan tersebut, sampai akhirnya event dimana kejahatan tersebut terjadi. Bukankah dalam setiap bagian proses mulai dari konflik di dalam dirinya sendiri, niat, perencanaan, hingga moment sebelum terjadi, manusia selalu memiliki pilihan untuk memilih?
Kembali ke saat kita mengkhayalkan sebuah kemungkinan yang dapat saja merugikan kita di masa mendatang. Kita melakukan sebuah tindakan pencegahan. Bisa saja ada kemungkinan bahwa kejahatan itu terjadi karena kejahatan baru yang sebenarnya kita lakukan untuk melindungi diri kita. Dimana tanpa adanya tindakan pencegahan yang kita lakukan, kejahatan yang merugikan kita sebenarnya tidak perlu terjadi. Siapa tahu masa depan yang sebenarnya adalah apa yang kita impikan saat ini. Masa depan yang menjadi tempat bagi manusia untuk tidak sulit berbuat baik.
Mari bertoleransi, sebagai Sang Manusia di Bumi Manusia. Tak peduli, baik menang atau kalah dalam sejarah yang memiliki daya menggilas, melindas. Paling tidak kita telah mampu bertahan untuk tetap menolak pada penggusuran batas-batas yang kita anut. Bukankah kemenangan yang sesungguhnya adalah kemenangan untuk mengalahkan kekalahan kita sendiri? Rendah hati, mengatasi ketakutan, ketidakpuasan, kesombongan untuk tidak menang seperti Minke yang merasa dirinya bukan monyet.. Selamat menjadi Minke.
Jakarta, 2 Oktober 2003
Vincent C. Liong
(Tulisan ini pernah memenangkan Juara 1 lomba analisa Karya Sastra tingkat SMU Pekan Bahasa , 28 Oktober 2003 Sekolah Pelita Harapan dan sudah pernah dipublikasikan melalui majalah SINERGI INDONESIA)
Saturday 27 November 2010
Pergi ke Toko Wayang
Pergi ke Toko Wayang
Akhirnya aku mengajakmu ke toko wayang. Itu janjiku sejak tahun lalu. Barulah sekarang aku bisa melunasinya. Betapa sulit menjelaskan kepadamu bahwa wayang kulit itu harganya mahal. Bahwa aku harus mengumpulkan uang berbulan-bulan atau terpaksa menghutang untuk bisa membelinya. Kamu hanya tahu bahwa aku sayang kamu dan aku akan memberikan segalanya untukmu. Kamu benar. Aku akan memberikan seluruh yang kupunya untukmu. Anakku satu-satunya.
Dan sekarang masuklah ke sana. Toko wayang yang sepi itu. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya tumpukan wayang, topeng kayu, wayang golek dan beberapa kelir ukuran kecil. Seperti yang kuduga kamu lantas berlari ke kelir itu. Kamu ingin memilikinya bersama sejumlah wayang yang terpajang di kelir putih ini. Ini mirip punya teman bapak, katamu. Ya, kamu masih ingat sebulan yang lalu aku membawamu ikut latihan wayang bersamaku. Di sana kau memainkan beberapa wayang di depan kelir. Kamu begitu kagum dengan bayang-bayang yang tercipta di sana. Dan meski kamu tak memintanya, aku tahu kamu begitu menginginkannya. Aku menggelengkan kepala. Tidak, Nak, itu mahal sekali.
Kamu menatapku. Lalu kembali menatap kelir itu. Pilih wayang saja. Bapak akan membelikan sepasang buat kamu. Kelirnya nanti kita buat sendiri. Kamu menatapku lagi. Memang bisa? Bisa, jawabku. Kita nanti beli kain dan kayu. Ya, ya, kamu setuju. Kini matamu beralih ke tumpukan wayang-wayang. Biarkan saja, Mas. Biarkan dia milih-milih sendiri. Seorang kakek-kakek muncul. Tampaknya ia pemilik toko itu. Iya, Pak. Lalu kubiarkan saja kamu berlarian ke sana ke mari, membongkar-bongkar tumpukan wayang yang terserak di seluruh ruangan. Diam-diam aku mulai memilih-milih sendiri wayang buat kamu, yang menurut perkiraanku harganya bisa terjangkau oleh uang yang hari ini kupunya. Apa pun yang kamu pilih nanti, akan kuganti dengan wayang pilihanku. Maaf.
Aku pun mulai membongkar-bongkar tumpukan wayang. Mencari yang bergagang kayu. Itu jauh lebih murah dari pada yang bergagang tanduk atau kulit penyu. Kucari yang berukuran kecil, yang tentu saja bukan wayang beneran untuk dimainkan Ki Dalang. Kucari yang pahatannya kasar dan catnya yang tak terlalu rumit. Aku tahu kamu akan memilih wayang-wayang yang bagus. Keindahan selalu menarik siapa saja. Tapi kenyataan sekarang jauh lebih menarik buatku. Benar, akhirnya kau membawa sepasang wayang: Arjuna dan Karna. Sementara aku sudah menyembunyikan Gareng dan Petruk ukuran kecil di salah satu tempat. Pilih ini, ya? Tanyaku pura-pura.
Kamu mengangguk sambil tersenyum lebar. Bagus, sih. Katamu dengan lucu. Iya, bagus. Pinter kamu milihnya. Kataku kemudian. Kamu tahu siapa itu? Kamu menggeleng-gelengkan kepala. Ini Arjuna, itu Karna. Mereka musuhan meski sesungguhnya masih bersaudara. O, ya? Lalu kenapa mereka musuhan? Tanyamu ingin tahu. Nanti bapak ceritakan di rumah. Panjang ceritanya. Sekarang balikin dulu wayang itu ke tempatnya. Bapak sudah milih wayang yang bagus dan pas buat kamu. Kamu dengan agak heran mengembalikan kedua wayang pilihannya itu. Sini. Kamu berlari mengikutiku. Sesampainya di tempat yang kutuju segera kutunjukkan wayang pilihanku. Siapa ini? Gareng dan Petruk! Jawabmu dengan cepat. Bagus, nggak? Bagus, jawabmu. Tapi lebih bagus tadi. Iya. Tapi kamu kan belum tahu ceritanya, jadi kamu belum bisa memainkannya. Kalau Gareng dan Petruk kamu kan sudah tahu. Kamu bisa mainkan mereka sesukamu. Dan wajahnya lucu-lucu.
Kamu diam. Tampak berpikir. Kenapa tidak yang tadi, sih? Kan nanti bapak mau cerita. Jadi aku akan tahu ceritanya. Kamu tetap tak gampang menyerah seperti biasanya. Akhirnya aku buka yang sebenarnya. Yang kamu pilih tadi mahal banget. Uang bapak tidak cukup. Kalau wayang yang ini bapak bisa beli dua. Kalau yang tadi kamu harus milih salah satu. Bagaimana? Terserah kamu. Dapat satu wayang. Atau dua wayang. Kamu berpikir lagi. Matamu melirik ke sana ke mari dengan lucu. Pilih dua wayang biar bisa dimainin. Sip! Sahutku. Ini sekarang kamu pegang. Lalu kamu bawa ke simbah yang duduk di sana. Kamu tanya harganya berapa. Kamu bergerak dengan cepat membawa Gareng dan Petruk di tanganmu. Aku mengikuti di belakang. Kakek-kakek itu tampak senang menerima kedatanganmu. Mbah, mau beli Gareng dan Petruk. Berapa harganya, ya? Tanyamu dengan gagah berani.
Kakek-kakek itu tertawa. Pinter kamu. Lalu ia memeriksa kedua wayang yang kamu sodorkan. Lalu matanya menuju ke arahku yang perlahan mendekat. Petruk. Gagangnya dari tanduk, Mas. Waduh, dari tanduk ya, Pak. Kataku spontan. Sebentar saya cari gantinya. Petruk yang bergagang kayu. Lalu dengan cepat aku memeriksa tumpukan-tumpukan wayang kembali. Kulihat kamu tengah bercakap-cakap dengan kakek-kakek itu. Tapi tak ada. Petruk bergagang kayu tak kutemukan. Mungkin aku tak teliti. Mungkin pula tak ada. Tapi aku terus berusaha mencari. Kalau tidak ada tidak apa-apa, Mas. Kata kakek-kakek itu dari kejauhan. Ya, memang tak ada, kataku kemudian dalam hati. Jadi berapa, Pak? Berapa, ya.
Kini gantian kakek-kakek itu yang bingung. Bisanya aku jual sangat mahal, Mas. Tapi untuk anak ini aku tidak akan memberi harga yang biasanya. Ia suka sekali dengan wayang. Terima kasih, Pak. Kataku. Kamu tersenyum-senyum. Muraaah, bisikmu keras-keras ke telingaku. Kakek-kakek itu tertawa mendengarnya. Besok kalau sudah agak besar bawa saja ke sini, Mas. Aku mau mengajarinya membuat wayang. Mau tidak? Tanya kakek itu kepadamu. Enggak, jawabmu. Buatnya kan tinggal ngeblat saja. Jawabmu. Kakek-kakek itu tertawa. Iya, diblat. Tapi tetap nanti kamu harus menatahnya dan memberi warna supaya benar-benar jadi wayang. Kamu manggut-manggut.
Setelah aku membayar sejumlah uang yang disebutkan kakek-kakek itu kita pun pulang. Kita langsung ke rumah bapak ya? Nanti kita main wayang. Iya, nanti kita langsung mainkan kedua wayang itu. Di atas motor kamu menagih kelir yang kujanjikan. Mungkin kamu baru saja ingat. Hari ini kita tidak pakai kelir. Sudah malam. Toko yang jual kain dan kayu sudah tutup. Kita nanti main di dinding saja. Lampunya pakai lampu senter dulu tidak apa-apa. Kamu mengangguk setuju. Motor kita terus melaju. Melintasi sore dan candik ayu.
Jogja, 2010
Judul: Pergi ke Toko Wayang
Cerpen oleh: Gunawan Maryanto, tinggal di Yogyakarta. Kumpulan cerita pendeknya adalah Bon Suwung (Insist Press, 2005) dan Galigi (Koekoesan, 2007).
Sumber: Korantempo.com
Akhirnya aku mengajakmu ke toko wayang. Itu janjiku sejak tahun lalu. Barulah sekarang aku bisa melunasinya. Betapa sulit menjelaskan kepadamu bahwa wayang kulit itu harganya mahal. Bahwa aku harus mengumpulkan uang berbulan-bulan atau terpaksa menghutang untuk bisa membelinya. Kamu hanya tahu bahwa aku sayang kamu dan aku akan memberikan segalanya untukmu. Kamu benar. Aku akan memberikan seluruh yang kupunya untukmu. Anakku satu-satunya.
Dan sekarang masuklah ke sana. Toko wayang yang sepi itu. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya tumpukan wayang, topeng kayu, wayang golek dan beberapa kelir ukuran kecil. Seperti yang kuduga kamu lantas berlari ke kelir itu. Kamu ingin memilikinya bersama sejumlah wayang yang terpajang di kelir putih ini. Ini mirip punya teman bapak, katamu. Ya, kamu masih ingat sebulan yang lalu aku membawamu ikut latihan wayang bersamaku. Di sana kau memainkan beberapa wayang di depan kelir. Kamu begitu kagum dengan bayang-bayang yang tercipta di sana. Dan meski kamu tak memintanya, aku tahu kamu begitu menginginkannya. Aku menggelengkan kepala. Tidak, Nak, itu mahal sekali.
Kamu menatapku. Lalu kembali menatap kelir itu. Pilih wayang saja. Bapak akan membelikan sepasang buat kamu. Kelirnya nanti kita buat sendiri. Kamu menatapku lagi. Memang bisa? Bisa, jawabku. Kita nanti beli kain dan kayu. Ya, ya, kamu setuju. Kini matamu beralih ke tumpukan wayang-wayang. Biarkan saja, Mas. Biarkan dia milih-milih sendiri. Seorang kakek-kakek muncul. Tampaknya ia pemilik toko itu. Iya, Pak. Lalu kubiarkan saja kamu berlarian ke sana ke mari, membongkar-bongkar tumpukan wayang yang terserak di seluruh ruangan. Diam-diam aku mulai memilih-milih sendiri wayang buat kamu, yang menurut perkiraanku harganya bisa terjangkau oleh uang yang hari ini kupunya. Apa pun yang kamu pilih nanti, akan kuganti dengan wayang pilihanku. Maaf.
Aku pun mulai membongkar-bongkar tumpukan wayang. Mencari yang bergagang kayu. Itu jauh lebih murah dari pada yang bergagang tanduk atau kulit penyu. Kucari yang berukuran kecil, yang tentu saja bukan wayang beneran untuk dimainkan Ki Dalang. Kucari yang pahatannya kasar dan catnya yang tak terlalu rumit. Aku tahu kamu akan memilih wayang-wayang yang bagus. Keindahan selalu menarik siapa saja. Tapi kenyataan sekarang jauh lebih menarik buatku. Benar, akhirnya kau membawa sepasang wayang: Arjuna dan Karna. Sementara aku sudah menyembunyikan Gareng dan Petruk ukuran kecil di salah satu tempat. Pilih ini, ya? Tanyaku pura-pura.
Kamu mengangguk sambil tersenyum lebar. Bagus, sih. Katamu dengan lucu. Iya, bagus. Pinter kamu milihnya. Kataku kemudian. Kamu tahu siapa itu? Kamu menggeleng-gelengkan kepala. Ini Arjuna, itu Karna. Mereka musuhan meski sesungguhnya masih bersaudara. O, ya? Lalu kenapa mereka musuhan? Tanyamu ingin tahu. Nanti bapak ceritakan di rumah. Panjang ceritanya. Sekarang balikin dulu wayang itu ke tempatnya. Bapak sudah milih wayang yang bagus dan pas buat kamu. Kamu dengan agak heran mengembalikan kedua wayang pilihannya itu. Sini. Kamu berlari mengikutiku. Sesampainya di tempat yang kutuju segera kutunjukkan wayang pilihanku. Siapa ini? Gareng dan Petruk! Jawabmu dengan cepat. Bagus, nggak? Bagus, jawabmu. Tapi lebih bagus tadi. Iya. Tapi kamu kan belum tahu ceritanya, jadi kamu belum bisa memainkannya. Kalau Gareng dan Petruk kamu kan sudah tahu. Kamu bisa mainkan mereka sesukamu. Dan wajahnya lucu-lucu.
Kamu diam. Tampak berpikir. Kenapa tidak yang tadi, sih? Kan nanti bapak mau cerita. Jadi aku akan tahu ceritanya. Kamu tetap tak gampang menyerah seperti biasanya. Akhirnya aku buka yang sebenarnya. Yang kamu pilih tadi mahal banget. Uang bapak tidak cukup. Kalau wayang yang ini bapak bisa beli dua. Kalau yang tadi kamu harus milih salah satu. Bagaimana? Terserah kamu. Dapat satu wayang. Atau dua wayang. Kamu berpikir lagi. Matamu melirik ke sana ke mari dengan lucu. Pilih dua wayang biar bisa dimainin. Sip! Sahutku. Ini sekarang kamu pegang. Lalu kamu bawa ke simbah yang duduk di sana. Kamu tanya harganya berapa. Kamu bergerak dengan cepat membawa Gareng dan Petruk di tanganmu. Aku mengikuti di belakang. Kakek-kakek itu tampak senang menerima kedatanganmu. Mbah, mau beli Gareng dan Petruk. Berapa harganya, ya? Tanyamu dengan gagah berani.
Kakek-kakek itu tertawa. Pinter kamu. Lalu ia memeriksa kedua wayang yang kamu sodorkan. Lalu matanya menuju ke arahku yang perlahan mendekat. Petruk. Gagangnya dari tanduk, Mas. Waduh, dari tanduk ya, Pak. Kataku spontan. Sebentar saya cari gantinya. Petruk yang bergagang kayu. Lalu dengan cepat aku memeriksa tumpukan-tumpukan wayang kembali. Kulihat kamu tengah bercakap-cakap dengan kakek-kakek itu. Tapi tak ada. Petruk bergagang kayu tak kutemukan. Mungkin aku tak teliti. Mungkin pula tak ada. Tapi aku terus berusaha mencari. Kalau tidak ada tidak apa-apa, Mas. Kata kakek-kakek itu dari kejauhan. Ya, memang tak ada, kataku kemudian dalam hati. Jadi berapa, Pak? Berapa, ya.
Kini gantian kakek-kakek itu yang bingung. Bisanya aku jual sangat mahal, Mas. Tapi untuk anak ini aku tidak akan memberi harga yang biasanya. Ia suka sekali dengan wayang. Terima kasih, Pak. Kataku. Kamu tersenyum-senyum. Muraaah, bisikmu keras-keras ke telingaku. Kakek-kakek itu tertawa mendengarnya. Besok kalau sudah agak besar bawa saja ke sini, Mas. Aku mau mengajarinya membuat wayang. Mau tidak? Tanya kakek itu kepadamu. Enggak, jawabmu. Buatnya kan tinggal ngeblat saja. Jawabmu. Kakek-kakek itu tertawa. Iya, diblat. Tapi tetap nanti kamu harus menatahnya dan memberi warna supaya benar-benar jadi wayang. Kamu manggut-manggut.
Setelah aku membayar sejumlah uang yang disebutkan kakek-kakek itu kita pun pulang. Kita langsung ke rumah bapak ya? Nanti kita main wayang. Iya, nanti kita langsung mainkan kedua wayang itu. Di atas motor kamu menagih kelir yang kujanjikan. Mungkin kamu baru saja ingat. Hari ini kita tidak pakai kelir. Sudah malam. Toko yang jual kain dan kayu sudah tutup. Kita nanti main di dinding saja. Lampunya pakai lampu senter dulu tidak apa-apa. Kamu mengangguk setuju. Motor kita terus melaju. Melintasi sore dan candik ayu.
Jogja, 2010
Judul: Pergi ke Toko Wayang
Cerpen oleh: Gunawan Maryanto, tinggal di Yogyakarta. Kumpulan cerita pendeknya adalah Bon Suwung (Insist Press, 2005) dan Galigi (Koekoesan, 2007).
Sumber: Korantempo.com
Tuesday 23 November 2010
SURAT
SURAT
Cerpen Sapardi Djoko Damono
Tolong sampaikan kepada Seno bahwa suratnya sudah kuterima. Lengkap dengan potongan langit yang diselipkan dengan sangat hati-hati di lipatan kertas suratnya yang berwama merah jambu. Menakjubkan. Langit itu, maksudku. Dan warna surat itu mengingatkanku pada masa remajaku ketika kami suka menghubung-hubungkan wama dengan maksud tertentu yang disembunyikan di balik surat itu. Sepotong langit, serpihan mega yang mengambang, sedikit ujung bukit yang kena gunting, dan beberapa ekor burung yang kebetulan melintas dan tidak bisa menghidarkan diri dari guntingnya itu.
Sambil terus melihat lembaran potongan langit itu, aku melongok kejendela dan kusaksikan - sungguh! - bahwa langit yang di luar sana masih tetap seperti biasa. Utuh. Lengkap dengan awan putihnya, sempuma dengan wama kebiruannya, dan sesekali dilintasi juga oleh beberapa ekor burung - entah apa namanya. Aku hampir tidak bisa membayangkan apa yang terjadi dengan langitnya, setelah sebagian digunting untuk diselipkan dalam surat yang dikirimkannya kepadaku ini. Aku membayangkan rasa sakit yang tak ada batasnya yang telah menimpa langit itu, sementara sebagian pesonanya diambil hanya untuk menyiratkan cintanya padaku. Aku masih perawan, namun sering mendengar dari ibu betapa sakitnya ketika melahirkanku. Itulah yang kubayangkan dirasakan langitnya ketika dimanfaatkannya untuk melahirkan cintanya padaku.
Katakan padanya, apa begitu periu menggunting seserpih langit itu, kalau sekedar untuk membujuk - katakanlah, memaksa - seorang gadis seperti aku ini agar yakin bahwa cintanya seperti langit itu. Langitnya pasti menderita, tidak seperti langit di sini yang utuh dan entah sampai kapan tak habis-habisnya memandang dengan penuh kebahagiaan segala tindakan kita. Tolong tanyakan padanya, apakah langit itu merintih dan mengeluarkan darah ketika diguntingnya? Apakah langit itu kejang-kejang karena menahan sakit yang tak ada batasnya? Apakah langit itu mengeras menahan air mata? Aku tidak berani membayangkan penderitaannya.
Tolong sampaikan pada Seno bahwa aku sudah menghayati cintanya, tanpa potongan langit itu pun. Sudah. Hanya saja aku harus menghancurkan serpihan langitnya itu agar tidak memburu-buru bayanganku tentangnya. Tapi apakah itu sopan? Apakah itu tidak berarti mengkhianati cintanya padaku? Aku bingung, tapi bagaimanapun aku harus segera membakamya, bersama suratnya yang berwama merahjambu itu. Aku tidak tahan lagi membayangkan rasa sakit langit itu.
Malam ini kubawa surat dan gambar itu ke pekarangan sebelah; tak ada seorang pun saksi. Kurobek-robek surat itu. Kunyalakan korek api, tetapi kemudian aku tiba-tiba jadi ragu-ragu. Kukumpulkan kembali robekan-robekan surat dan gambar itu, kususun seperti teka-teki potongan gambar, lalu kuperhatikan - dan seketika rasa sakitku bergolak, seperti apa yang kubayangkan tentang langitnya itu. Aku harus tabah. Harus. Tak ada pilihan lain. Harus membakar surat itu agar langitnya yang indah itu kembali seperti sedia kala. Maka kunyalakan korek api itu lagi.
Nyala apinya seperti bianglala: merah, oren, kuning, biru, hijau, indigo, violet. Tidak melengkung tetapi membumbung ke atas. Tetapi tiba-tiba saja aku merasa telah menjadi pengkhianat. Telah memusnahkan cinta, keindahan, harapan, dan masa depan. Telah menjadi manusia yang seburuk-buruknya di dunia, yang sejahat-jahatnya, yang entah apa. Aku tiba-tiba berharap agar dari asap itu muncul bayangannya, bagaikan burung punik yang dengan perkasa melesat dari kobaran api. Aku satukan jari-jari tanganku, kutengadahkan kepalaku. Kutatap tajam langitku yang dulu itu juga, yang tidak pernah mengkhianati harapanku. Tetapi api itu tetap membumbung, semakin mirip bianglala. Dan aku terns menunggu.
Sampaikan kepada Seno bahwa aku akan terns menunggu kobaran itu sampai diriku menjelma asap, menyatu dengan bianglala itu, membumbung ke langit yang setia, yang tidak pemah meninggalkanku.***
Cerpen Sapardi Djoko Damono
Tolong sampaikan kepada Seno bahwa suratnya sudah kuterima. Lengkap dengan potongan langit yang diselipkan dengan sangat hati-hati di lipatan kertas suratnya yang berwama merah jambu. Menakjubkan. Langit itu, maksudku. Dan warna surat itu mengingatkanku pada masa remajaku ketika kami suka menghubung-hubungkan wama dengan maksud tertentu yang disembunyikan di balik surat itu. Sepotong langit, serpihan mega yang mengambang, sedikit ujung bukit yang kena gunting, dan beberapa ekor burung yang kebetulan melintas dan tidak bisa menghidarkan diri dari guntingnya itu.
Sambil terus melihat lembaran potongan langit itu, aku melongok kejendela dan kusaksikan - sungguh! - bahwa langit yang di luar sana masih tetap seperti biasa. Utuh. Lengkap dengan awan putihnya, sempuma dengan wama kebiruannya, dan sesekali dilintasi juga oleh beberapa ekor burung - entah apa namanya. Aku hampir tidak bisa membayangkan apa yang terjadi dengan langitnya, setelah sebagian digunting untuk diselipkan dalam surat yang dikirimkannya kepadaku ini. Aku membayangkan rasa sakit yang tak ada batasnya yang telah menimpa langit itu, sementara sebagian pesonanya diambil hanya untuk menyiratkan cintanya padaku. Aku masih perawan, namun sering mendengar dari ibu betapa sakitnya ketika melahirkanku. Itulah yang kubayangkan dirasakan langitnya ketika dimanfaatkannya untuk melahirkan cintanya padaku.
Katakan padanya, apa begitu periu menggunting seserpih langit itu, kalau sekedar untuk membujuk - katakanlah, memaksa - seorang gadis seperti aku ini agar yakin bahwa cintanya seperti langit itu. Langitnya pasti menderita, tidak seperti langit di sini yang utuh dan entah sampai kapan tak habis-habisnya memandang dengan penuh kebahagiaan segala tindakan kita. Tolong tanyakan padanya, apakah langit itu merintih dan mengeluarkan darah ketika diguntingnya? Apakah langit itu kejang-kejang karena menahan sakit yang tak ada batasnya? Apakah langit itu mengeras menahan air mata? Aku tidak berani membayangkan penderitaannya.
Tolong sampaikan pada Seno bahwa aku sudah menghayati cintanya, tanpa potongan langit itu pun. Sudah. Hanya saja aku harus menghancurkan serpihan langitnya itu agar tidak memburu-buru bayanganku tentangnya. Tapi apakah itu sopan? Apakah itu tidak berarti mengkhianati cintanya padaku? Aku bingung, tapi bagaimanapun aku harus segera membakamya, bersama suratnya yang berwama merahjambu itu. Aku tidak tahan lagi membayangkan rasa sakit langit itu.
Malam ini kubawa surat dan gambar itu ke pekarangan sebelah; tak ada seorang pun saksi. Kurobek-robek surat itu. Kunyalakan korek api, tetapi kemudian aku tiba-tiba jadi ragu-ragu. Kukumpulkan kembali robekan-robekan surat dan gambar itu, kususun seperti teka-teki potongan gambar, lalu kuperhatikan - dan seketika rasa sakitku bergolak, seperti apa yang kubayangkan tentang langitnya itu. Aku harus tabah. Harus. Tak ada pilihan lain. Harus membakar surat itu agar langitnya yang indah itu kembali seperti sedia kala. Maka kunyalakan korek api itu lagi.
Nyala apinya seperti bianglala: merah, oren, kuning, biru, hijau, indigo, violet. Tidak melengkung tetapi membumbung ke atas. Tetapi tiba-tiba saja aku merasa telah menjadi pengkhianat. Telah memusnahkan cinta, keindahan, harapan, dan masa depan. Telah menjadi manusia yang seburuk-buruknya di dunia, yang sejahat-jahatnya, yang entah apa. Aku tiba-tiba berharap agar dari asap itu muncul bayangannya, bagaikan burung punik yang dengan perkasa melesat dari kobaran api. Aku satukan jari-jari tanganku, kutengadahkan kepalaku. Kutatap tajam langitku yang dulu itu juga, yang tidak pernah mengkhianati harapanku. Tetapi api itu tetap membumbung, semakin mirip bianglala. Dan aku terns menunggu.
Sampaikan kepada Seno bahwa aku akan terns menunggu kobaran itu sampai diriku menjelma asap, menyatu dengan bianglala itu, membumbung ke langit yang setia, yang tidak pemah meninggalkanku.***
Dokter
Dokter
Cerpen Putu Wijaya
Banyak yang tidak bisa diatasi oleh ilmu kedokteran. Bagaimana pembuahan di luar rahim, dalam bayi tabung, dipastikan akan menumbuhkan janin ketika dicangkok ke rahim ibu? Virus influenza, HIV, flu burung sampai sekarang masih dicari obatnya. Di luar itu masih ada musuh bayangan yang ampuh: dukun.
Seperti kata Dokter John Manansang yang malang-melintang di belantara Boven Digul, masyarakat pedalaman cenderung menunda pergi ke dokter, karena lebih dulu mau konsultasi ke dukun. Kalau yang sakit sudah sekarat, baru dibawa ke puskesmas. Biasanya pasien parah langsung diinfus, sehingga ketika maut tiba, masyarakat cenderung melihat jarum infuslah yang membunuhnya. Sulit menjelaskan kalau sudah ajal, tanpa diinfus atau tidur di hotel bintang lima pun, manusia tetap mati.
Pada suatu malam, saya dijemput untuk mengobati orang yang menurut dukun dapat kiriman ular berbisa dalam perutnya. Ketika sampai di puskesmas, saya lihat tubuh orang itu sudah kaku. Dia pasti sudah meninggal di rumahnya. Tetapi keluarganya memaksa saya untuk mengeluarkan ular itu.
"Pak Dokter harus tolong kami. Dia itu kepala keluarga. Hidup-mati kami tergantung pada dia!"
"Tapi sudah terlambat."
"Terlambat bagaimana, kami sudah bawa kemari pakai taksi! Uang kami sudah banyak keluar!"
"Tapi sebelum dibawa kemari nampaknya dia sudah tidak ada!"
"Itu tidak mungkin! Setiap hari lima orang dukun kami bergantian menjaga dia. Tidak mungkin roh jahat itu bisa masuk lagi. Pak Dokter mesti keluarkan ular itu dari perutnya!"
"Kalau toh itu benar ada ular dikirim ke perutnya, tidak ada gunanya, sebab orangnya sudah meninggal."
"Makanya keluarkan ular itu cepat. Pak Dokter jangan ngomong terus!"
"Kami memang miskin, tidak bisa bayar, tapi ini kewajiban Dokter mesti tolong kita punya kepala keluarga!"
"Jangan bikin kami tambah susah, Dokter! Mentang-mentang kami orang kecil!"
"Cepat bertindak!"
Saya disumpah untuk menjalankan praktik sesuai dengan etik kedokteran. Tetapi, di dalam hutan, itu tidak berlaku. Saya bisa dibunuh kalau tidak melakukan apa yang mereka minta, karena saya dokter, saya dianggap wajib bisa menyembuhkan orang sakit.
Disaksikan keluarganya, saya bedah mayat itu. Saya buktikan tidak ada ular di perutnya seperti kata dukun. Dia mati karena kurang gizi dan salah menenggak ramu-ramuan dukun. Tetapi meskipun sudah melihat kenyataan dengan mata kepalanya sendiri, keluarganya tidak percaya. Mereka malah menuduh saya yang sudah terlambat bertindak.
"Kalau Pak Dokter langsung bertindak tadi, tidak akan terlambat."
"Terlambat bagaimana?!"
"Kata dukun, ular itu sudah masuk ke dalam tulang-sumsumnya, bersatu dengan darah. Dibawa ke China pun dia akan tetap mati, apalagi hanya ke puskesmas yang fasilitasnya berengsek ini. Dokter tidak bertanggung jawab!"
"Dokter harus bertindak!"
"Bertindak bagaimana lagi? Paling banter saya hanya bisa menulis surat kematian pasien supaya bisa dibawa pulang!"
"Tidak bisa! Kita tidak bisa bawa dia pulang dalam keadaan sudah jadi mayat. Dia harus terus hidup! Dia kita bawa kemari untuk maksud supaya dia bisa sembuh. Masak Dokter mau kirim lagi dia pulang supaya jadi mayat. Kasihan keluarganya, Dokter! Dia itu andalan hidup keluarganya, tahu?! Dia tidak boleh mati!"
"Tapi ajal itu di tangan Tuhan, kita hanya bisa berusaha!"
"Makanya, kau harus berusaha terus, Dokter!"
"Berusaha bagaimana lagi?"
"Panggil! Kejar sekarang!"
"Kejar ke mana?"
"Ayo kejar! Kata dukun dia belum jauh. Paling berapa kilometer. Kalau Dokter cepat bertindak, tidak cuma ngobrol, dia pasti bisa disusul!"
"Disusul?"
"Ah, kau lambat sekali. Beta bilang kejar! Kejar!"
Mereka mendorong saya masuk ke dalam kamar, memaksa saya menarik orang mati itu kembali dari kematiannya. Mereka bahkan bilang siap membantu saya dengan senjata kalau nantinya harus berkelahi.
"Kami bisa panggil kawan-kawan yang lain sekarang untuk bantu. Kami juga punya saudara yang jadi perwira militer. Kita bisa pinjam senjata kalau memang perlu, asal habis jam kantor!"
"Ayo Pak Dokter, jangan terlalu banyak diskusi, nanti terlambat lagi! Kau ini dokter atau mantri?!"
Saya terpaksa kembali ke dekat mayat itu. Sepanjang malam mereka berjaga di sekitar puskesmas dengan segala macam senjata siap tempur. Ada yang menangis, berdoa, dan menyanyi. Dukun pun terus menjalankan upacara, mengeluarkan jampi-jampi agar roh yang mereka anggap sudah diculik suku lain itu pulang.
Saya bingung. Saya duduk di sisi mayat kehabisan akal. Apa yang harus saya lakukan untuk keluar dari persoalan yang tidak menyangkut bidang kedokteran itu. Saya tidak mengerti kehidupan di alam gaib. Akhirnya saya tertidur juga karena terlalu capek.
Pagi-pagi pintu digedor. Orang-orang itu berteriak-teriak tidak sabar, ingin tahu apa hasilnya. Tubuh yang meninggal pun sudah mulai berbau. Wajahnya meringis kesakitan, seakan-akan minta cepat-cepat dikuburkan. Waktu itu saya tidak berpikir lagi seperti seorang dokter sebagaimana yang saya pelajari di kampus. Saya terpaksa menjadi dukun.
Saya rogoh saku, gaji yang saya hendak kirim ke rumah masih utuh. Lalu saya buka pintu.
"Bagaimana?"
"Tenang!"
"Tenang bagaimana? Kami tidak mau Dokter bilang sudah gagal!"
"Saya sudah berusaha."
"Dan hasilnya?"
"Lumayan."
"Ah, apa itu itu artinya lumayan, kita orang tidak suka! Itu bahasa orang birokrat yang suka menipu. Bilang saja terus-terang, berhasil atau tidak?"
"Berhasil."
Mereka tercengang.
"Jadi dia hidup lagi?"
"Bapak-bapak mau dia hidup lagi atau tidak?"
"Sudah pasti kita mau dia orang hidup lagi. Itu maka kita bawa dia kemari!"
"Saya sudah mencoba."
"Terus hasilnya?"
"Itu," kata saya menunjuk pada mayat.
Semuanya melihat melewati tubuh saya ke arah mayat itu. Saya berikan ruang agar mereka lewat, tapi tidak ada yang mau. Bau mayat itu menyebabkan semuanya tertegun. Dukun sendiri malah mundur selangkah.. Mereka semua nampak bimbang. Kebimbangan itu justru membangkitkan keberanian saya. Saya mulai tahu apa yang harus dilakukan.
"Ayo!"
Orang-orang itu tambah ragu-ragu, tak percaya apa yang saya katakan. Tak percaya apa yang sedang mereka lihat.
"Jadi dia hidup lagi?"
Saya mengangguk. Mereka curiga. Tapi tidak ada yang berani memeriksa.
"Kalau dia hidup mengapa tidak bergerak?"
"Dan mengapa bau?"
"Tadi dia sudah hidup, sekarang sedang tidur."
"Tidur?"
"Ya. Tidur untuk selamanya."
"Apa?!!!!"
"Tapi dia meninggalkan pesan."
"Pesan apaan!? Kita tidak perlu pesan, kita hanya mau supaya dia hidup lagi!!!"
Saya tidak peduli apa yang mereka katakan. Lalu saya mengulurkan amplop uang gaji.
"Kata dia sebelum tidur, berikan ini kepada istri, anak-anak dan keluargaku yang aku tinggalkan. Sampaikan kepada mereka, tenang semua, biarkan aku istirahat sekarang, karena aku sudah lelah sekali. Puluhan tahun berjuang menghidupi keluarga, aku tidak sanggup lagi bekerja!"
Orang-orang itu terdiam. Mereka hanya memandang amplop yang saya berikan. Tapi kemudian dukun perlahan-lahan maju. Ia memperhatikan amplop yang saya tunjukkan. Diendus-endusnya dari jauh. Setelah mengucapkan mantera lalu ia mengulurkan japit untuk mengambilnya. Setelah merobek dan mengeluarkan isinya, ia menghitung. Bahkan sampai tiga kali. Kemudian ia melihat kepada orang-orang itu, lantas membagikan uang sambil menahan beberapa di tangannya.
Orang-orang itu menerima uang tanpa menanyakan apa-apa. Seakan-akan itu memang sudah hak mereka. Setelah dukun mengeluarkan mantera, mereka lalu bergerak. Beberapa orang menyanyi, yang lain menghampiri mayat, lalu membawa yang meninggal itu dengan tertib keluar dari puskesmas untuk dikuburkan.
Saya sama sekali tidak ingin mengatakan bahwa saya sudah berhasil membeli kesedihan mereka dengan uang. Tidak. Saya sama sekali tidak melihat persoalan itu dari kacamata orang kota yang sinis. Apalagi jumlah yang saya berikan juga tidak banyak. Saya hanya mencoba memahami itu sebagai akibat ulah saya yang berhasil berbicara, menyampaikan duka yang amat berat bagi mereka itu, dengan bahasa yang mereka pahami.
Barangkali mereka senang karena saya tidak menyalahkan dukun. Puas karena saya tidak mencela mereka terlambat membawa sang sakit ke puskesmas. Tidak melecehkan keberatan atau protes mereka pada nasib, karena yang meninggal memang benar-benar dibutuhkan oleh keluarganya sebagai tiang kehidupan. Mungkin juga mereka senang karena saya tidak mengabaikan perasaan-perasaan mereka, karena saya tidak menganggap kebenaran kata sayalah yang paling benar.
Tapi setelah itu banyak perubahan yang terjadi. Saya jadi terseret ke dalam situasi yang membuat saya lebih gagap. Saya ternyata sudah mengayunkan langkah ke dunia yang sama sekali asing. Begitu kejeblos, saya langsung kelelap, lantaran saya sama sekali tidak siap.
Sejak itu saya sering diminta untuk mengobati mayat. Profesi saya sebagai dokter yang harus berhadapan dengan orang yang mau bertahan hidup, berubah menjadi pengurus orang mati. Walhasil saya sudah menyalahi sumpah. Berkhianat dan berdosa kepada almamater saya.
Tak jarang yang dibawa pada saya mayat dukun yang sebelum mati sudah berkali-kali wanti-wanti agar nanti dibawa ke puskesmas. Kalau saya tolak, bisa jadi konflik, karena saya sudah telanjur dipercaya. Saya sudah memulai dan membangun sesuatu, kalau saya runtuhkan lagi, saya akan berhadapan dengan kekecewaan dan bukan tidak mungkin kekerasan.
Setiap kali mengobati mayat, saya tidak punya kiat lain kecuali saya harus merogoh saku, mengeluarkan duit. Mengulur semacam pelipur, atau apa sajalah namanya, untuk mentolerir duka yang tak bisa mereka elakkan. Akibatnya saya cepat sekali bangkrut.
Barang-barang saya jual satu per satu sampai saya kehilangan segala-galanya. Termasuk cincin pemberian ibu saya. Sementara itu, kondisi kesehatan di daerah terpencil tambah rawan. Frekuensi orang mati terus saja bertambah dan semuanya dibawa ke puskesmas, minta agar saya mengobatinya.
Pernah saya sampai berpikir itu sudah sampai pada tingkat pemerasan. Saya tidak percaya orang-orang pedalaman itu sesungguhnya sebodoh itu. Itu bukan kebodohan lagi tetapi justru kecerdasan. Itu kiat yang dengan lihai menyembunyikan dirinya di balik keluguan. Strategi "orang bodoh" untuk membunuh lawan pintar yang lebih kuasa dengan halus.
Pada suatu malam, datang di puskesmas mayat seorang kepala suku. Badannya penuh dengan luka parang. Kepalanya sudah putus dari tubuh. Rombongan pengantarnya banyak sekali. Hampir seluruh suku ikut mengarak memenuhi halaman puskesmas
"Kami berkelahi mempertahankan kehormatan kami dari serangan suku buas," kata putra kepala suku. "Sebelum perang, Bapa sudah berpesan kalau terjadi apa-apa supaya dibawa kemari. Tolong hidupkan Bapa kami, Dokter, karena kalau sampai dia mati, berarti kami kalah dan malu besar! Kami mempertaruhkan kehormatan seluruh warga kami!"
Saya termenung di depan mayat itu. Kepalanya bisa saya sambung, tapi ke mana saya cari ganti nyawanya yang hilang? Para pejuang suku itu berjaga-jaga di sekitar puskesmas dengan senjata-senjata mereka. Banyak di antaranya yang terluka, tetapi mereka tidak peduli. Mereka hanya ingin kepala sukunya kembali hidup supaya pertempuran bisa dilanjutkan.
Saya bingung. Tak ada duit sepeser pun lagi di kantong. Lebih dari itu, duit tak akan mungkin dapat menyenangkan hati suku kaya yang merasa dipermalukan itu.
Saya benar-benar cemas. Saya kira karir saya sebagai dokter sudah tamat. Di samping itu, akhir hidup saya juga nampak sudah tiba. Mereka pasti akan kecewa sekali, karena saya memang bukan dukun yang sebenarnya.
Perasaan berdosa yang sejak lama sudah menekan, sekarang menghajar saya. Saya sudah berpura-pura jadi dukun agar bisa nyambung dengan masyarakat, tetapi ternyata tidak cukup. Saya dituntut menjadi dukun yang sebenarnya. Itu mustahil. Mestinya saya sudah cabut sejak kasus pertama.
Semalam suntuk saya tidak bisa memejamkan mata. Subuh, pintu dibuka dan anak kepala suku beserta seluruh prajuritnya yang berang itu menatap saya.
"Berhasil, Dokter?"
Tubuh saya gemetar.
"Jangan kecewakan kami, Dokter!"
Saya tidak berani menjawab.
"Kehormatan buat kami paling penting. Kami boleh kelaparan karena tidak dapat binatang perburuan, boleh mati karena wabah penyakit, boleh kocar-kacir karena kebakaran, gempa, banjir, longsor atau letusan gunung berapi, tapi jangan sampai kalah dan menanggung malu. Bapa orang kebal yang selalu menang dalam pertempuran. Dia tidak boleh mati karena senjata lawan. Kehormatan kami akan hilang selama-lamanya. Lebih baik kami musnah daripada menanggung malu karena kalah!"
"Saya paham itu."
"Kalau begitu hidupkan lagi Bapa."
"Saya sudah berusaha."
"Kami tidak mau hanya usaha. Kami mau ada hasil!"
"Tapi ?"
"Kalau satu hari tidak cukup, kami bisa tunggu. Bila perlu sebulan atau setahun kami bisa tunggu di sini, asal dia bisa hidup lagi. Bapa saya itu raja. Apa artinya orang-orang ini, kalau Bapa tidak ada?"
"Ya, itu saya juga mengerti sekali. Kapal tidak bisa jalan tanpa nakhoda!"
"Makanya hidupkan lagi Bapaku. Otaknya rusak juga tidak apa, asal hidup. Bapa saya itu lambang. Kami semua ada karena dia hidup. Kalau dia mati, kami semua akan mati. Apa Dokter perlu nyawa pengganti?"
"Apa?"
"Sepuluh bahkan seratus orang dari kami sekarang juga mau menyerahkan nyawanya asal bisa menggantikan nyawa Bapa. Hidupkan dia sekarang, Dokter!"
"Darah tumpah itu bisa diganti dengan tranfusi, tapi nyawa tidak mungkin."
"Tapi, kau dokter kan?!"
"Betul."
"Orang-orang lain mati sudah kau hidupkan, kenapa Bapa kami tidak? Apa bedanya? Bapaku itu selalu cinta perdamaian. Dia cinta kami semua. Dia selalu menyanyikan lagu kebangsaan dan memimpin upacara bendera, tidak seperti orang-orang lain yang pura-pura saja cinta supaya dapat uang dari negara, tapi cintanya palsu. Kenapa orang yang berjuang seperti Bapa dibiarkan mati? Ayo, Dokter!"
Saya tidak sanggup menjawab.
"Dokter mau biarkan aku punya Bapa mati?"
"Tidak."
"Kalau begitu, hidupkan dia sebab dia sangat mencintai negara! Mengapa orang-orang yang tidak mencintai negara dibiarkan hidup tapi Bapaku yang berjuang untuk negara tidak? Tolong, Dokter!"
"Beliau sekarang akan meneruskan perjuangan dari dunia maya, supaya musuh dapat diberantas."
Anak kepala suku itu kaget.
"Maksud Dokter, Bapaku mati?"
Saya tidak mampu menjawab. Anak kepala suku itu sangat kecewa. Mukanya langsung keruh. Semua pengikutnya marah lalu berteriak-teriak histeris. Mereka melolong seperti binatang liar. Saya ketakutan. Para prajurit itu mengangkat senjata seperti hendak mencincang apa saja yang ada di puskesmas. Semua pegawai meloncat lari menyelamatkan diri.
Karena bingung saya mundur menghampiri meja. Dengan panik, di belakang punggung tangan saya meraba-raba mencari sesuatu untuk bertahan. Kalau saya harus mati, saya tidak mau mati terlalu konyol. Kalau kalah, kalahlah dengan indah dan gagah, pesan orang tua saya waktu kecil.
Harapan saya ada gunting, pisau atau barang tajam lainnya, tidak terkabul. Di laci, tangan saya hanya menemukan copotan besi bendera mobil yang dikibarkan pada peringatan hari kemerdekaan. Saya genggam besi itu, lalu mencoba mengambil posisi bertahan. Saya bukan lagi dokter, saya penakut yang tiba-tiba begitu mencintai hidup walau betapapun berengseknya. .
"Diam!!!!" teriak anak kepala suku itu dengan suara menggeledek.
Teriakannya membuat semua terdiam. Saya gemetar. Besi bendera itu terlepas, tetapi cepat saya gapai lagi. Itulah satu-satunya pegangan saya. Anak kepala suku itu menghampiri saya, hangat nafasnya membuat saya tersiraf.
"Jangan tembak!!!"
Dengan gemetar saya tunjukkan itu bukan pistol. Itu hanya tiang bendera yang copot.
Anak kepala suku tertegun. Ia memperhatikan tiang bendera yang berisi merah-putih kecil yang sudah kumal. Tiba-tiba saya melihat peluang. Lalu entah dari mana datangnya keberanian, saya berbisik.
"Pahlawan tidak pernah mati. Semangat berjuang tidak bisa mati!"
Pemuda itu terpesona. Ia seakan-akan terpukul oleh suara saya. Orang-orang lain pun tegang. Mereka memandang kami dengan mata mencorong. Lutut saya tambah lemas. Saya tak sanggup lagi bicara. Apa pun yang akan terjadi, saya menyerah.
Anak kepala suku itu menggapai tiang bendera. Saya kira sebentar lagi dia akan menusukkannya ke dada saya. Tapi ajaib, tidak. Pangeran itu memandang bendera kecil itu dengan takjub, lalu ia menunjukkan kepada teman-temannya.
"Semangat berjuang hidup terus tidak bisa mati!" serunya.
Sedetik hening. Tetapi kemudian semua meledak, bersorak gegap-gempita.
Kemudian dengan khusuk mereka mengusung jasad almarhum dibawa ke desa mereka untuk dikebumikan.
Sejak itu, bukan orang mati, tetapi orang yang tidak mau mati yang datang ke puskesmas. Mereka tidak hanya mencari obat, tetapi terutama kasih-sayang. Kalaupun kemudian karena sudah ajal, ada orang sakit yang mati, tapi puskesmas tidak pernah lagi dianggap sebagai pembunuh. Saya sendiri tidak peduli lagi apakah saya masih seorang dokter atau sudah jadi dukun. Saya hanya ingin mencintai saudara-saudara saya itu. ***
Dimuat di Jawa Pos, 12/16/2007
Cerpen Putu Wijaya
Banyak yang tidak bisa diatasi oleh ilmu kedokteran. Bagaimana pembuahan di luar rahim, dalam bayi tabung, dipastikan akan menumbuhkan janin ketika dicangkok ke rahim ibu? Virus influenza, HIV, flu burung sampai sekarang masih dicari obatnya. Di luar itu masih ada musuh bayangan yang ampuh: dukun.
Seperti kata Dokter John Manansang yang malang-melintang di belantara Boven Digul, masyarakat pedalaman cenderung menunda pergi ke dokter, karena lebih dulu mau konsultasi ke dukun. Kalau yang sakit sudah sekarat, baru dibawa ke puskesmas. Biasanya pasien parah langsung diinfus, sehingga ketika maut tiba, masyarakat cenderung melihat jarum infuslah yang membunuhnya. Sulit menjelaskan kalau sudah ajal, tanpa diinfus atau tidur di hotel bintang lima pun, manusia tetap mati.
Pada suatu malam, saya dijemput untuk mengobati orang yang menurut dukun dapat kiriman ular berbisa dalam perutnya. Ketika sampai di puskesmas, saya lihat tubuh orang itu sudah kaku. Dia pasti sudah meninggal di rumahnya. Tetapi keluarganya memaksa saya untuk mengeluarkan ular itu.
"Pak Dokter harus tolong kami. Dia itu kepala keluarga. Hidup-mati kami tergantung pada dia!"
"Tapi sudah terlambat."
"Terlambat bagaimana, kami sudah bawa kemari pakai taksi! Uang kami sudah banyak keluar!"
"Tapi sebelum dibawa kemari nampaknya dia sudah tidak ada!"
"Itu tidak mungkin! Setiap hari lima orang dukun kami bergantian menjaga dia. Tidak mungkin roh jahat itu bisa masuk lagi. Pak Dokter mesti keluarkan ular itu dari perutnya!"
"Kalau toh itu benar ada ular dikirim ke perutnya, tidak ada gunanya, sebab orangnya sudah meninggal."
"Makanya keluarkan ular itu cepat. Pak Dokter jangan ngomong terus!"
"Kami memang miskin, tidak bisa bayar, tapi ini kewajiban Dokter mesti tolong kita punya kepala keluarga!"
"Jangan bikin kami tambah susah, Dokter! Mentang-mentang kami orang kecil!"
"Cepat bertindak!"
Saya disumpah untuk menjalankan praktik sesuai dengan etik kedokteran. Tetapi, di dalam hutan, itu tidak berlaku. Saya bisa dibunuh kalau tidak melakukan apa yang mereka minta, karena saya dokter, saya dianggap wajib bisa menyembuhkan orang sakit.
Disaksikan keluarganya, saya bedah mayat itu. Saya buktikan tidak ada ular di perutnya seperti kata dukun. Dia mati karena kurang gizi dan salah menenggak ramu-ramuan dukun. Tetapi meskipun sudah melihat kenyataan dengan mata kepalanya sendiri, keluarganya tidak percaya. Mereka malah menuduh saya yang sudah terlambat bertindak.
"Kalau Pak Dokter langsung bertindak tadi, tidak akan terlambat."
"Terlambat bagaimana?!"
"Kata dukun, ular itu sudah masuk ke dalam tulang-sumsumnya, bersatu dengan darah. Dibawa ke China pun dia akan tetap mati, apalagi hanya ke puskesmas yang fasilitasnya berengsek ini. Dokter tidak bertanggung jawab!"
"Dokter harus bertindak!"
"Bertindak bagaimana lagi? Paling banter saya hanya bisa menulis surat kematian pasien supaya bisa dibawa pulang!"
"Tidak bisa! Kita tidak bisa bawa dia pulang dalam keadaan sudah jadi mayat. Dia harus terus hidup! Dia kita bawa kemari untuk maksud supaya dia bisa sembuh. Masak Dokter mau kirim lagi dia pulang supaya jadi mayat. Kasihan keluarganya, Dokter! Dia itu andalan hidup keluarganya, tahu?! Dia tidak boleh mati!"
"Tapi ajal itu di tangan Tuhan, kita hanya bisa berusaha!"
"Makanya, kau harus berusaha terus, Dokter!"
"Berusaha bagaimana lagi?"
"Panggil! Kejar sekarang!"
"Kejar ke mana?"
"Ayo kejar! Kata dukun dia belum jauh. Paling berapa kilometer. Kalau Dokter cepat bertindak, tidak cuma ngobrol, dia pasti bisa disusul!"
"Disusul?"
"Ah, kau lambat sekali. Beta bilang kejar! Kejar!"
Mereka mendorong saya masuk ke dalam kamar, memaksa saya menarik orang mati itu kembali dari kematiannya. Mereka bahkan bilang siap membantu saya dengan senjata kalau nantinya harus berkelahi.
"Kami bisa panggil kawan-kawan yang lain sekarang untuk bantu. Kami juga punya saudara yang jadi perwira militer. Kita bisa pinjam senjata kalau memang perlu, asal habis jam kantor!"
"Ayo Pak Dokter, jangan terlalu banyak diskusi, nanti terlambat lagi! Kau ini dokter atau mantri?!"
Saya terpaksa kembali ke dekat mayat itu. Sepanjang malam mereka berjaga di sekitar puskesmas dengan segala macam senjata siap tempur. Ada yang menangis, berdoa, dan menyanyi. Dukun pun terus menjalankan upacara, mengeluarkan jampi-jampi agar roh yang mereka anggap sudah diculik suku lain itu pulang.
Saya bingung. Saya duduk di sisi mayat kehabisan akal. Apa yang harus saya lakukan untuk keluar dari persoalan yang tidak menyangkut bidang kedokteran itu. Saya tidak mengerti kehidupan di alam gaib. Akhirnya saya tertidur juga karena terlalu capek.
Pagi-pagi pintu digedor. Orang-orang itu berteriak-teriak tidak sabar, ingin tahu apa hasilnya. Tubuh yang meninggal pun sudah mulai berbau. Wajahnya meringis kesakitan, seakan-akan minta cepat-cepat dikuburkan. Waktu itu saya tidak berpikir lagi seperti seorang dokter sebagaimana yang saya pelajari di kampus. Saya terpaksa menjadi dukun.
Saya rogoh saku, gaji yang saya hendak kirim ke rumah masih utuh. Lalu saya buka pintu.
"Bagaimana?"
"Tenang!"
"Tenang bagaimana? Kami tidak mau Dokter bilang sudah gagal!"
"Saya sudah berusaha."
"Dan hasilnya?"
"Lumayan."
"Ah, apa itu itu artinya lumayan, kita orang tidak suka! Itu bahasa orang birokrat yang suka menipu. Bilang saja terus-terang, berhasil atau tidak?"
"Berhasil."
Mereka tercengang.
"Jadi dia hidup lagi?"
"Bapak-bapak mau dia hidup lagi atau tidak?"
"Sudah pasti kita mau dia orang hidup lagi. Itu maka kita bawa dia kemari!"
"Saya sudah mencoba."
"Terus hasilnya?"
"Itu," kata saya menunjuk pada mayat.
Semuanya melihat melewati tubuh saya ke arah mayat itu. Saya berikan ruang agar mereka lewat, tapi tidak ada yang mau. Bau mayat itu menyebabkan semuanya tertegun. Dukun sendiri malah mundur selangkah.. Mereka semua nampak bimbang. Kebimbangan itu justru membangkitkan keberanian saya. Saya mulai tahu apa yang harus dilakukan.
"Ayo!"
Orang-orang itu tambah ragu-ragu, tak percaya apa yang saya katakan. Tak percaya apa yang sedang mereka lihat.
"Jadi dia hidup lagi?"
Saya mengangguk. Mereka curiga. Tapi tidak ada yang berani memeriksa.
"Kalau dia hidup mengapa tidak bergerak?"
"Dan mengapa bau?"
"Tadi dia sudah hidup, sekarang sedang tidur."
"Tidur?"
"Ya. Tidur untuk selamanya."
"Apa?!!!!"
"Tapi dia meninggalkan pesan."
"Pesan apaan!? Kita tidak perlu pesan, kita hanya mau supaya dia hidup lagi!!!"
Saya tidak peduli apa yang mereka katakan. Lalu saya mengulurkan amplop uang gaji.
"Kata dia sebelum tidur, berikan ini kepada istri, anak-anak dan keluargaku yang aku tinggalkan. Sampaikan kepada mereka, tenang semua, biarkan aku istirahat sekarang, karena aku sudah lelah sekali. Puluhan tahun berjuang menghidupi keluarga, aku tidak sanggup lagi bekerja!"
Orang-orang itu terdiam. Mereka hanya memandang amplop yang saya berikan. Tapi kemudian dukun perlahan-lahan maju. Ia memperhatikan amplop yang saya tunjukkan. Diendus-endusnya dari jauh. Setelah mengucapkan mantera lalu ia mengulurkan japit untuk mengambilnya. Setelah merobek dan mengeluarkan isinya, ia menghitung. Bahkan sampai tiga kali. Kemudian ia melihat kepada orang-orang itu, lantas membagikan uang sambil menahan beberapa di tangannya.
Orang-orang itu menerima uang tanpa menanyakan apa-apa. Seakan-akan itu memang sudah hak mereka. Setelah dukun mengeluarkan mantera, mereka lalu bergerak. Beberapa orang menyanyi, yang lain menghampiri mayat, lalu membawa yang meninggal itu dengan tertib keluar dari puskesmas untuk dikuburkan.
Saya sama sekali tidak ingin mengatakan bahwa saya sudah berhasil membeli kesedihan mereka dengan uang. Tidak. Saya sama sekali tidak melihat persoalan itu dari kacamata orang kota yang sinis. Apalagi jumlah yang saya berikan juga tidak banyak. Saya hanya mencoba memahami itu sebagai akibat ulah saya yang berhasil berbicara, menyampaikan duka yang amat berat bagi mereka itu, dengan bahasa yang mereka pahami.
Barangkali mereka senang karena saya tidak menyalahkan dukun. Puas karena saya tidak mencela mereka terlambat membawa sang sakit ke puskesmas. Tidak melecehkan keberatan atau protes mereka pada nasib, karena yang meninggal memang benar-benar dibutuhkan oleh keluarganya sebagai tiang kehidupan. Mungkin juga mereka senang karena saya tidak mengabaikan perasaan-perasaan mereka, karena saya tidak menganggap kebenaran kata sayalah yang paling benar.
Tapi setelah itu banyak perubahan yang terjadi. Saya jadi terseret ke dalam situasi yang membuat saya lebih gagap. Saya ternyata sudah mengayunkan langkah ke dunia yang sama sekali asing. Begitu kejeblos, saya langsung kelelap, lantaran saya sama sekali tidak siap.
Sejak itu saya sering diminta untuk mengobati mayat. Profesi saya sebagai dokter yang harus berhadapan dengan orang yang mau bertahan hidup, berubah menjadi pengurus orang mati. Walhasil saya sudah menyalahi sumpah. Berkhianat dan berdosa kepada almamater saya.
Tak jarang yang dibawa pada saya mayat dukun yang sebelum mati sudah berkali-kali wanti-wanti agar nanti dibawa ke puskesmas. Kalau saya tolak, bisa jadi konflik, karena saya sudah telanjur dipercaya. Saya sudah memulai dan membangun sesuatu, kalau saya runtuhkan lagi, saya akan berhadapan dengan kekecewaan dan bukan tidak mungkin kekerasan.
Setiap kali mengobati mayat, saya tidak punya kiat lain kecuali saya harus merogoh saku, mengeluarkan duit. Mengulur semacam pelipur, atau apa sajalah namanya, untuk mentolerir duka yang tak bisa mereka elakkan. Akibatnya saya cepat sekali bangkrut.
Barang-barang saya jual satu per satu sampai saya kehilangan segala-galanya. Termasuk cincin pemberian ibu saya. Sementara itu, kondisi kesehatan di daerah terpencil tambah rawan. Frekuensi orang mati terus saja bertambah dan semuanya dibawa ke puskesmas, minta agar saya mengobatinya.
Pernah saya sampai berpikir itu sudah sampai pada tingkat pemerasan. Saya tidak percaya orang-orang pedalaman itu sesungguhnya sebodoh itu. Itu bukan kebodohan lagi tetapi justru kecerdasan. Itu kiat yang dengan lihai menyembunyikan dirinya di balik keluguan. Strategi "orang bodoh" untuk membunuh lawan pintar yang lebih kuasa dengan halus.
Pada suatu malam, datang di puskesmas mayat seorang kepala suku. Badannya penuh dengan luka parang. Kepalanya sudah putus dari tubuh. Rombongan pengantarnya banyak sekali. Hampir seluruh suku ikut mengarak memenuhi halaman puskesmas
"Kami berkelahi mempertahankan kehormatan kami dari serangan suku buas," kata putra kepala suku. "Sebelum perang, Bapa sudah berpesan kalau terjadi apa-apa supaya dibawa kemari. Tolong hidupkan Bapa kami, Dokter, karena kalau sampai dia mati, berarti kami kalah dan malu besar! Kami mempertaruhkan kehormatan seluruh warga kami!"
Saya termenung di depan mayat itu. Kepalanya bisa saya sambung, tapi ke mana saya cari ganti nyawanya yang hilang? Para pejuang suku itu berjaga-jaga di sekitar puskesmas dengan senjata-senjata mereka. Banyak di antaranya yang terluka, tetapi mereka tidak peduli. Mereka hanya ingin kepala sukunya kembali hidup supaya pertempuran bisa dilanjutkan.
Saya bingung. Tak ada duit sepeser pun lagi di kantong. Lebih dari itu, duit tak akan mungkin dapat menyenangkan hati suku kaya yang merasa dipermalukan itu.
Saya benar-benar cemas. Saya kira karir saya sebagai dokter sudah tamat. Di samping itu, akhir hidup saya juga nampak sudah tiba. Mereka pasti akan kecewa sekali, karena saya memang bukan dukun yang sebenarnya.
Perasaan berdosa yang sejak lama sudah menekan, sekarang menghajar saya. Saya sudah berpura-pura jadi dukun agar bisa nyambung dengan masyarakat, tetapi ternyata tidak cukup. Saya dituntut menjadi dukun yang sebenarnya. Itu mustahil. Mestinya saya sudah cabut sejak kasus pertama.
Semalam suntuk saya tidak bisa memejamkan mata. Subuh, pintu dibuka dan anak kepala suku beserta seluruh prajuritnya yang berang itu menatap saya.
"Berhasil, Dokter?"
Tubuh saya gemetar.
"Jangan kecewakan kami, Dokter!"
Saya tidak berani menjawab.
"Kehormatan buat kami paling penting. Kami boleh kelaparan karena tidak dapat binatang perburuan, boleh mati karena wabah penyakit, boleh kocar-kacir karena kebakaran, gempa, banjir, longsor atau letusan gunung berapi, tapi jangan sampai kalah dan menanggung malu. Bapa orang kebal yang selalu menang dalam pertempuran. Dia tidak boleh mati karena senjata lawan. Kehormatan kami akan hilang selama-lamanya. Lebih baik kami musnah daripada menanggung malu karena kalah!"
"Saya paham itu."
"Kalau begitu hidupkan lagi Bapa."
"Saya sudah berusaha."
"Kami tidak mau hanya usaha. Kami mau ada hasil!"
"Tapi ?"
"Kalau satu hari tidak cukup, kami bisa tunggu. Bila perlu sebulan atau setahun kami bisa tunggu di sini, asal dia bisa hidup lagi. Bapa saya itu raja. Apa artinya orang-orang ini, kalau Bapa tidak ada?"
"Ya, itu saya juga mengerti sekali. Kapal tidak bisa jalan tanpa nakhoda!"
"Makanya hidupkan lagi Bapaku. Otaknya rusak juga tidak apa, asal hidup. Bapa saya itu lambang. Kami semua ada karena dia hidup. Kalau dia mati, kami semua akan mati. Apa Dokter perlu nyawa pengganti?"
"Apa?"
"Sepuluh bahkan seratus orang dari kami sekarang juga mau menyerahkan nyawanya asal bisa menggantikan nyawa Bapa. Hidupkan dia sekarang, Dokter!"
"Darah tumpah itu bisa diganti dengan tranfusi, tapi nyawa tidak mungkin."
"Tapi, kau dokter kan?!"
"Betul."
"Orang-orang lain mati sudah kau hidupkan, kenapa Bapa kami tidak? Apa bedanya? Bapaku itu selalu cinta perdamaian. Dia cinta kami semua. Dia selalu menyanyikan lagu kebangsaan dan memimpin upacara bendera, tidak seperti orang-orang lain yang pura-pura saja cinta supaya dapat uang dari negara, tapi cintanya palsu. Kenapa orang yang berjuang seperti Bapa dibiarkan mati? Ayo, Dokter!"
Saya tidak sanggup menjawab.
"Dokter mau biarkan aku punya Bapa mati?"
"Tidak."
"Kalau begitu, hidupkan dia sebab dia sangat mencintai negara! Mengapa orang-orang yang tidak mencintai negara dibiarkan hidup tapi Bapaku yang berjuang untuk negara tidak? Tolong, Dokter!"
"Beliau sekarang akan meneruskan perjuangan dari dunia maya, supaya musuh dapat diberantas."
Anak kepala suku itu kaget.
"Maksud Dokter, Bapaku mati?"
Saya tidak mampu menjawab. Anak kepala suku itu sangat kecewa. Mukanya langsung keruh. Semua pengikutnya marah lalu berteriak-teriak histeris. Mereka melolong seperti binatang liar. Saya ketakutan. Para prajurit itu mengangkat senjata seperti hendak mencincang apa saja yang ada di puskesmas. Semua pegawai meloncat lari menyelamatkan diri.
Karena bingung saya mundur menghampiri meja. Dengan panik, di belakang punggung tangan saya meraba-raba mencari sesuatu untuk bertahan. Kalau saya harus mati, saya tidak mau mati terlalu konyol. Kalau kalah, kalahlah dengan indah dan gagah, pesan orang tua saya waktu kecil.
Harapan saya ada gunting, pisau atau barang tajam lainnya, tidak terkabul. Di laci, tangan saya hanya menemukan copotan besi bendera mobil yang dikibarkan pada peringatan hari kemerdekaan. Saya genggam besi itu, lalu mencoba mengambil posisi bertahan. Saya bukan lagi dokter, saya penakut yang tiba-tiba begitu mencintai hidup walau betapapun berengseknya. .
"Diam!!!!" teriak anak kepala suku itu dengan suara menggeledek.
Teriakannya membuat semua terdiam. Saya gemetar. Besi bendera itu terlepas, tetapi cepat saya gapai lagi. Itulah satu-satunya pegangan saya. Anak kepala suku itu menghampiri saya, hangat nafasnya membuat saya tersiraf.
"Jangan tembak!!!"
Dengan gemetar saya tunjukkan itu bukan pistol. Itu hanya tiang bendera yang copot.
Anak kepala suku tertegun. Ia memperhatikan tiang bendera yang berisi merah-putih kecil yang sudah kumal. Tiba-tiba saya melihat peluang. Lalu entah dari mana datangnya keberanian, saya berbisik.
"Pahlawan tidak pernah mati. Semangat berjuang tidak bisa mati!"
Pemuda itu terpesona. Ia seakan-akan terpukul oleh suara saya. Orang-orang lain pun tegang. Mereka memandang kami dengan mata mencorong. Lutut saya tambah lemas. Saya tak sanggup lagi bicara. Apa pun yang akan terjadi, saya menyerah.
Anak kepala suku itu menggapai tiang bendera. Saya kira sebentar lagi dia akan menusukkannya ke dada saya. Tapi ajaib, tidak. Pangeran itu memandang bendera kecil itu dengan takjub, lalu ia menunjukkan kepada teman-temannya.
"Semangat berjuang hidup terus tidak bisa mati!" serunya.
Sedetik hening. Tetapi kemudian semua meledak, bersorak gegap-gempita.
Kemudian dengan khusuk mereka mengusung jasad almarhum dibawa ke desa mereka untuk dikebumikan.
Sejak itu, bukan orang mati, tetapi orang yang tidak mau mati yang datang ke puskesmas. Mereka tidak hanya mencari obat, tetapi terutama kasih-sayang. Kalaupun kemudian karena sudah ajal, ada orang sakit yang mati, tapi puskesmas tidak pernah lagi dianggap sebagai pembunuh. Saya sendiri tidak peduli lagi apakah saya masih seorang dokter atau sudah jadi dukun. Saya hanya ingin mencintai saudara-saudara saya itu. ***
Dimuat di Jawa Pos, 12/16/2007
Grhhh!
Grhhh!
oleh Seno Gumira Ajidarma
Reserse Sarman masih asyik menyeruput kopinya di warung Markonah, ketika bunyi HT yang menjengkelkan itu memanggil-manggil. Malam sudah larut. Sisa gerimis bertabur membiaskan cahaya petromaks.
“Bintara Sarman?”
“Siap Pak!”
“Cepat ke Jalan Satu! Ada kerusuhan!”
“Siap Pak!”
Kopinya masih berkepul, namun Reserse Sarman telah melesat pergi. Kenikmatan sejenak di warung itu mesti dilepasnya kembali. Senyuman Markonah yang telah lama menghunjam hatinya harus dilupakan sementara. Eh, demikian nian hidup, batin Reserse Sarman. Diburu peristiwa dari saat ke saat, setiap kali menarik napas di permukaan segera terbenam dalam persoalan kembali. Di dalam mikrolet yang menuju tempat kejadian perkara, ia meraba pistol di balik jaket. Masih ada.
Dengan lincah, ia melompat ke luar mikrolet tanpa membayar. Orang-orang masih berkerumun di tepi jalan. Di balik punggung orang-orang itu, kepala Reserse Sarman menjulur. Dan segera saja matanya merekam pemandangan yang mengerikan.
Dalam cahaya bulan, sosok itu berdiri di perempatan jalan. Sesekali kepalanya mendongak dan mulutnya mengeluarkan suara serak. Grhhhh! Grhhhh! Orang-orang tak berani mendekat. Di tangan sosok seperti orang itu tergenggam kalung emas. Berkilat-kilat ditimpa lampu jalanan.
Reserse Sarman menyeruak maju. Kini makin jelas terlihat, betapa sosok itu sangat mengerikan. Tubuhnya tinggi besar. Kakinya menginjak korban yang sudah setengah mati.
Grhhh! Ia menggeram lagi. Dan Reserse Sarman melihat betapa dari mulut itu meluncur air liur yang sangat kental. Bibirnya seperti lengket dan hanya bisa dibuka dengan paksa. Sebelah sisi wajahnya sudah mencair. Mata kirinya bolong dan dari bolongan itu ulat-ulat mengeruyak kruget-kruget. Daging di seluruh tubuhnya setengah mencair dan baunya busuk sekali. Reserse Sarman sudah terbiasa melihat mayat. Mulai dari yang mengalami kecelakaan sampai yang teraniaya. Mayat-mayat itu sering kali mengerikan, tapi tak menggiriskan hati Reserse Sarman sama sekali.
Kini Reserse Sarman menatap sesuatu yang belum pernah dilihatnya seumur hidup. Pada sosok membusuk itu terlihat lubang-lubang yang mengeluarkan ulat-ulat. Setiap kali ulat-ulat berjatuhan dan kruget-kruget di jalanan, muncul lagi ulat-ulat dari dalam tubuh busuk itu dan kruget-kruget lagi kruget-kruget lagi dan kruget-kruget lagi. Grhhh!
Gerakan sosok itu seolah-olah mengancam korban yang diinjaknya. Reserse Sarman segera bertindak. Ia mengeluarkan pistol. Dibidiknya kepala orang itu. Ia menembak.
Terdengar letusan. Sosok itu tertegun. Tapi ia tidak bergeming. Keningnya berlubang karena peluru Reserse Sarman. Tak ada darah mengucur. Peluru itu seperti menembus gedebok pisang. Malah dari lubang itu muncullah ulat-ulat yang langsung ber-kruget-kruget berjatuhan di aspal.
Reserse Sarman menembak beberapa kali lagi dengan penasaran. Namun pelurunya hanya mencetak lubang-lubang. Dan dari setiap lubang muncul ulat-ulat yang ber-kruget-kruget sehingga sosok itu semakin lama makin menjijikkan. Dan malah bergerak mendekati Reserse Sarman. Langkahnya lambat tapi pasti. Kaku tapi meyakinkan. Kedua tangannya terangkat ke atas, seperti melambai-lambai dengan berat. Orang-orang buyar. Reserse Sarman cepat meraih HT-nya.
“Rudal! Rudal! Kirimkan rudal segera!”
“Untuk apa?”
“Menembak monster! Cepat! Kaliber 22 tidak mempan! Cepat! Monster itu mengejar saya! Cepat!”
“Monster? Monster apa?”
“Sudah! Dibicarakan nanti saja! Cepat!”
“Rudal apa ini yang diminta?”
“Dasar goblok! Rudal antitank!”
Karena jalanan sudah sepi, kiriman rudal TOW itu cepat datang. Sosok busuk yang melangkah dengan kaki berat itu masih jauh dari Reserse Sarman. Ia segera dihajar. Dalam sekejap mata, rudal seberat 40 pon melesat dahsyat. Tubuh busuk itu hancur lebur tanpa sisa. Hanya ulat-ulat, yang makin banyak saja ber-kruget-kruget dan ber-kruget-kruget di mana-mana. Kruget-kruget. Kruget-kruget. Kruget-kruget.
Seorang wartawan yang sejak tadi diam-diam memotret kejadian ini segera melambai taksi.
“Palmerah! Cepat!”
Koran pagi muncul seperti mimpi buruk. MAYAT-MAYAT HIDUP GENTAYANGAN DI IBU KOTA. Potongan berita:
. . . dan reporter kami di berbagai sudut ibu kota melaporkan, di setiap tempat keramaian muncul mayat hidup. Tubuhnya busuk sekali. Dagingnya sebagian mencair, peluru pistol atau senapan biasa tidak mempan. Bahkan senjata api yang sudah dijampi-jampi dukun pun tak berguna. Mayat hidup itu hanya bisa dimusnahkan dengan rudal. Itu pun tak berarti ia mati. Serpihan dagingnya masih meloncat-loncat. Dan ulat-ulat yang berjatuhan dari tubuhnya berkembang biak dengan dahsyat.
Pada umumnya para reporter kami melaporkan kejadian yang hampir mirip satu sama lain. Para mayat hidup alias zombi itu berlaku sebagai penjahat. Mereka mencopet dompet, merampas kalung, meminta uang, atau menodong. Tapi karena tubuh mereka yang busuk, dan gerakannya yang lamban, mereka tak bisa menghilang seperti penjahat. Mereka hanya mengacung-acungkan hasil jarahannya sambil mengeluarkan bunyi serak: Grhhh! Grhhh! Mereka muncul begitu saja, entah dari mana. Mungkin langsung dari kuburan. Tapi belum ada laporan tentang kuburan-kuburan yang jebol.
Kini para dokter sedang memeriksa serpihan daging yang masih menggeliat-geliat itu. Kita berharap pihak yang berwajib bisa segera mengatasi peristiwa yang sungguh-sungguh aneh ini. Memang, dalam kehidupan sehari-hari negeri ini sudah terlalu banyak hal-hal yang tidak masuk akal, dan toh diterima juga. Tapi yang satu ini, kita harap saja segera berlalu. Mayat hidup gentayangan adalah kenyataan yang terlalu mengerikan.
Reserse Sarman membaca berita itu sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Terlalu. Masak namaku secuil pun tidak disebut-sebut. Pers sekarang terlalu membesar-besarkan persoalan yang tidak penting, sambil menutup-nutupi masalah sebenarnya. Coba, mana disebut kerja keras petugas? Aku sudah bekerja siang malam tanpa istirahat, eh, potret si mayat hidup yang dimuat. Mending kalau cakep! Masyarakat juga brengsek selalu menghina polisi. Malah memuja-muja polisi di film Barat. Maknyadirodog!”
Di warung Markonah ia terus saja nerocos, sambil mengunyah sekerat tempe.
“Sekarang koran ikut-ikutan. Berita mayat hidup dibesar-besarkan. Masyarakat ketakutan. Paling-paling nanti yang disalahkan polisi lagi! Polisi lagi! Atasan mencak-mencak, dan buntutnya kita-kita lagi yang kena. Mana gaji cuma cukup untuk seminggu! Busyet! Coba kalau dulu gua diterima Sipenmaru, mungkin nasib lebih baik sedikit. Wartawan tau apa sih? Sok tau!”
Ia masih memaki-maki lagi, ketika HT itu memanggilnya lagi. Dengan sigap ia meloncat.
“Siap Pak!”
Dan segera Reserse Sarman menghilang.
“Lho, mana uangnya?” teriak Markonah, bersungut-sungut. Tapi cuma sebentar. Ia tahu, Reserse Sarman akan selalu kembali kepadanya. Meski sudah beristri dan beranak empat. Akan selalu kembali padanya.
Sekali lagi Reserse Sarman berhadapan dengan mayat hidup. Kepalanya botak, tubuhnya busuk, dan dikerumuni ulat. Ia berdiri di perempatan jalan sambil mengangkat kedua tangan. Mulutnya mencair tapi masih mengeluarkan suara serak. Grhhh! Grhhh! Jalanan macet. Mobil-mobil itu ditinggalkan penumpangnya. Sosok busuk itu melangkah di atas atap mobil. Sesekali ia terpeleset karena telapak kakinya pun mulai mencair.
Reserse Sarman memperhatikan dengan lebih tenang. Ia tahu, meski yang satu ini bisa dibereskan, yang lain akan segera muncul. Tentu ada sebab kenapa tubuh-tubuh busuk ini bangkit kembali dari alam kubur. Tentu ada sebab yang sama. Kalau tidak, apa urusannya mereka mengacau?
Mungkin semasa hidupnya mereka dulu kriminal, pikir Reserse Sarman. Tampaknya mereka penjahat-penjahat kasar kelas teri. Penjahat-penjahat yang mengandalkan senjata dan tenaga, bukan otak. Reserse Sarman memperhatikan bahwa di tubuh yang mulai mencair itu terlihat sisa-sisa tato. Dan pada sosok-sosok itu selalu terdapat lubang dari mana ulat-ulat selalu meruyak ke luar dan berjatuhan kruget-kruget-kruget. Reserse Sarman merasa ingat sesuatu tapi lupa lagi.
Grhhh! Suara itu menyadarkan lamunannya. Ia mengamati lagi, sosok itu juga bertato. Lamat-lamat masih terlihat sebentuk wanita telanjang di dadanya. Dan lubang-lubang. Ya, lubang-lubang selalu berada di tempat yang sama. Belakang kepala, dada kiri, atau dahi. Ada juga memang yang berderet-deret dari dada sampai perut. Atau sepanjang punggung. Tapi tidak banyak. Lagi-lagi Reserse Sarman seperti ingat sesuatu. Namun suara itu terdengar lagi. Grhhh!
Ia sudah memesan rudal TOW. Senjata paling ampuh untuk melumpuhkan zombi. Sambil menunggu ia menyulut rokok, memperhatikan monster itu jatuh bangun terpeleset di atas mobil. Memang menjijikkan. Baunya yang busuk tercium sampai ke tempat Reserse Sarman. Astaga, mayat kok hidup lagi. Setan mana yang merasukinya?
Kalau dihitung-hitung, sudah dua puluh lebih mayat hidup bermunculan di berbagai sudut. Rekan-rekan Reserse Sarman setengah mati memantaunya. Setiak kali mesti digunakan rudal TOW untuk memusnahkannya. Celakanya rudal TOW ini bukan hanya menghancurleburkan si mayat hidup. Lingkungannya pun ikut hancur. Menteri Pengawasan Lingkungan Hidup sudah marah-marah.
“Kenapa sih mesti menggunakan rudal? Apa tidak sayang membuang-buang rudal yang mahal itu? Apa tidak bisa menjeratnya dengan jala? Menebasnya dengan golok? Atau menyiramnya dengan bensin?” ujarnya di televisi.
Namun sementara terjadi polemik, mayat-mayat hidup terus nongol di mana-mana. Para petugas ingin membereskan dengan cepat. Untuk itu, rudal memang paling tepat.
Tapi baru beberapa hari saja sudah begini banyak. Bagaimana kalau rudal kita habis? Pikir Reserse Sarman. Otaknya berputar. Amerika Serikat baru kapok menjual rudal. Beli dari Israel sama dengan berkhianat. Harus ada cara lain. Kita tidak tahu, berapa lagi mayat hidup akan meneror. Dari mana sih datangnya mayat-mayat busuk ini? Reserse Sarman betul-betul penasaran. Ia meraih HT-nya.
“Periksa kuburan-kuburan di segenap penjuru tanah air. Laporkan kuburan siapa saja yang jebol!” Reserse Sarman memerintah.
Saat itu juga kiriman rudal tiba. Para petugas membopongnya dengan hati-hati. Zombi itu telah tegak di atap sebuah mobil. Grhhh! Grhhh! Reserse Sarman memperhatikan wajahnya yang setengah mencair. Rasa-rasanya sudah pernah ketemu. Siapa ya? Grhhh! Grhhh! Ulat-ulat berjatuhan dari mulutnya. Dan seperti biasa, ber-kruget-kruget menjijikkan. Berkembang biak dengan cepat. Merambati jendela-jendela mobil, sehingga para wanita cantik yang tidak sempat lari menjerit-jerit seperti orang gila. Zombi itu kini lebih buas.
“Tembak cepat!” teriak Reserse Sarman.
“Oke Bos!” Dan rudal TOW melesat cepat. Blgggrrr!
Ibu kota seperti terlanda perang. Reruntuhan puing merata di mana-mana. Inilah akibat rudal yang diobral. Namun Zombi terus bermunculan. Ulat-ulat merayap seperti wabah. Ulat ber-kruget-kruget di atas meja, kursi, jendela, WC, kamar mandi, kantong baju, sepatu, piring, gelas dan botol-botol. Orang-orang setiap hari sibuk menjetikkan ulat-ulat yang merayap di bajunya, rambutnya, lubang hidungnya, maupun yang bergantungan di kacamatanya.
Zombi makin merajalela. Kehidupan sehari-hari kacau. Mereka kini bukan hanya menyambar benda-benda murahan, tetapi mulai melahap segala jenis makanan. Keberadaaannya adalah teror. Persediaan rudal makin menipis. Maklumlah, negeri ini biasanya tenteram dan damai, subur dan gemah ripah loh jinawi. Busyet. Siapa mimpi harus berperang melawan zombi?
HT Reserse Sarman menguik.
“Bintara Sarman?”
“Siap Pak!”
“Cepat ke Jalan Lima! Ada zombi lagi!”
“Siap Pak!”
Tapi Reserse Sarman tidak beranjak. Diangkatnya kedua kaki ke atas meja di kantor. Kepalanya terkulai. HT-nya terus menguik-nguik. Percakapan berseliweran.
Dengan malas diraihnya sejumlah laporan yang masuk.
…para informan di segenap penjuru tanah air melaporkan adanya sejumlah kuburan yang jebol. Peti di dalamnya telah terbuka dan isinya tidak ada lagi. Data-data menunjukkan, kuburan itu memang kuburan kaum penjahat kelas teri. Namun tidak semua kuburan bernama dan bertanda tahun. Hasil penyelidikan sementara juga menunjukkan, sebagian mayat itu datang dari Lubang Besar…
Reserse Sarman lagi-lagi merasa ingat sesuatu. Belum lagi mendapat jawab, terdengar sebuah ketukan di jendela kaca, yang terletak di belakangnya. Ia menoleh, dan terhentak, zombi!
Jantungnya berdegup keras. Wajah buruk itu tiba-tiba sudah ada di jendela. Dalam sekilas, meski wajah itu pun telah mencair, Reserse Sarman mengenalinya.
“Ngadul!” Ia berteriak. Namun Ngadul yang telah jadi zombi tidak mengenalinya lagi. Zombi itu merayap masuk. Grhhh! Grhhh!
Reserse Sarman melompat ke atas meja, meraih HT. Sekarang ia merasakan menemukan sesuatu.
“Komandan! Salah satu zombi adalah Ngadul! Salah satu korban pembantaian misterius di Lubang Besar! Saya bisa mengenalinya Pak! Ia muncul di markas!”
“Tembak segera dengan rudal!”
“Maaf Komandan! Itu tidak menyelesaikan masalah!”
Zombi itu mendekat dan membalikkan meja Reserse Sarman. Sang Reserse keburu meloncat dan lari ke ruang lain. Zombi terus mengejar. Ulat-ulat merayapi dinding.
“Bintara Sarman! Kamu membantah perintah komandan?”
“Bukan begitu Pak! Rudal kita tidak akan cukup melenyapkan seluruh zombi!”
“Apa maksudmu Bintara Sarman? Zombi itu mengganggu kehidupan!”
Zombi menendang pintu sampai jebol. Reserse Sarman meloncati jendela dengan HT-nya.
“Apakah Bapak tidak ingat? Bersama Ngadul enam ribu penjahat kelas teri terbantai secara misterius! Masih ingat Pak?”
“Masih! Masih! Kenapa?”
“Kebanyakan mayatnya terkubur di Lubang Besar Pak Komandan!”
“Aku tahu! Lantas kenapa?”
“Ada laporan, banyak di antara mereka sudah tidak aktif lagi Pak! Yang terbantai misterius itu banyak yang sudah insaf Pak! Dan mereka semua tidak disembahyangkan Pak! Waktu itu tidak ada yang berani! Takut ikut terbantai Pak! Habis, waktu itu siapa saja bisa terbunuh secara misterius Pak!”
Grhhh! Zombi melompat dari jendela. Reserse Sarman memanjat pagar tembok.
“Jadi, apa kesimpulannya Bintara Sarman?”
“Pembantaian itu kesalahan besar Pak! Generasi kita kena getahnya! Orang-orang itu tidak rela mati Pak! Mereka membalas dendam!”
“Apa yang harus kita lakukan?”
“Sembahyangkan mereka Pak! Harus dilakukan penyembahyangan massal Pak! Rudal kita cuma seratus! Tidak cukup untuk membasmi mereka! Sembahyangkan mereka Pak! Supaya rohnya santai!”
“Kamu bermimpi ya Bintara Sarman? Kamu ngelindur! Itu semua omong-kosong! Kita sedang mengimpor rudal dari luar negeri! Kamu dengar itu? Enam ribu rudal sedang dikapalkan ke mari! Mereka akan dibantai!”
Zombi menangkap kaki Reserse Sarman yang masih separo di halaman markas.
“Tolong! Mereka menangkap saya! Tolong!” Reserse Sarman berteriak ngeri. Zombi mulai mencaplok kaki itu. Jeritan Reserse Sarman melejit ke langit. HT-nya jatuh masuk selokan.
Di berbagai sudut kota zombi bermunculan, makin banyak dan makin cepat, dan makin ganas. Mereka merayat seperti ulat. Memenuhi jalanan, menyeruduk di supermarket dan memasuki kampus-kampus. Mereka gentayangan di segala pelosok. Memanjati gedung-gedung bertingkat dan berteriak-teriak dengan serak. Grhhh! Grhhh! Dhendham! Dhendham! Mereka bersuara berbarengan seperti kor dari neraka. Grhhh! Grhhh! Dhendham khesumath! Dhendham khesumath! Grhhh!
Di sela-sela paduan suara kengerian yang membuat seluruh kota gemetar ketakutan itu, terdengar lengkingan Reserse Sarman yang menyayat, “Tolongngngngng! Pak Komandaaaaaaann! Tolongngngngngngngngng!!!!”
Jakarta - Yogya,
Desember 1986
oleh Seno Gumira Ajidarma
Reserse Sarman masih asyik menyeruput kopinya di warung Markonah, ketika bunyi HT yang menjengkelkan itu memanggil-manggil. Malam sudah larut. Sisa gerimis bertabur membiaskan cahaya petromaks.
“Bintara Sarman?”
“Siap Pak!”
“Cepat ke Jalan Satu! Ada kerusuhan!”
“Siap Pak!”
Kopinya masih berkepul, namun Reserse Sarman telah melesat pergi. Kenikmatan sejenak di warung itu mesti dilepasnya kembali. Senyuman Markonah yang telah lama menghunjam hatinya harus dilupakan sementara. Eh, demikian nian hidup, batin Reserse Sarman. Diburu peristiwa dari saat ke saat, setiap kali menarik napas di permukaan segera terbenam dalam persoalan kembali. Di dalam mikrolet yang menuju tempat kejadian perkara, ia meraba pistol di balik jaket. Masih ada.
Dengan lincah, ia melompat ke luar mikrolet tanpa membayar. Orang-orang masih berkerumun di tepi jalan. Di balik punggung orang-orang itu, kepala Reserse Sarman menjulur. Dan segera saja matanya merekam pemandangan yang mengerikan.
Dalam cahaya bulan, sosok itu berdiri di perempatan jalan. Sesekali kepalanya mendongak dan mulutnya mengeluarkan suara serak. Grhhhh! Grhhhh! Orang-orang tak berani mendekat. Di tangan sosok seperti orang itu tergenggam kalung emas. Berkilat-kilat ditimpa lampu jalanan.
Reserse Sarman menyeruak maju. Kini makin jelas terlihat, betapa sosok itu sangat mengerikan. Tubuhnya tinggi besar. Kakinya menginjak korban yang sudah setengah mati.
Grhhh! Ia menggeram lagi. Dan Reserse Sarman melihat betapa dari mulut itu meluncur air liur yang sangat kental. Bibirnya seperti lengket dan hanya bisa dibuka dengan paksa. Sebelah sisi wajahnya sudah mencair. Mata kirinya bolong dan dari bolongan itu ulat-ulat mengeruyak kruget-kruget. Daging di seluruh tubuhnya setengah mencair dan baunya busuk sekali. Reserse Sarman sudah terbiasa melihat mayat. Mulai dari yang mengalami kecelakaan sampai yang teraniaya. Mayat-mayat itu sering kali mengerikan, tapi tak menggiriskan hati Reserse Sarman sama sekali.
Kini Reserse Sarman menatap sesuatu yang belum pernah dilihatnya seumur hidup. Pada sosok membusuk itu terlihat lubang-lubang yang mengeluarkan ulat-ulat. Setiap kali ulat-ulat berjatuhan dan kruget-kruget di jalanan, muncul lagi ulat-ulat dari dalam tubuh busuk itu dan kruget-kruget lagi kruget-kruget lagi dan kruget-kruget lagi. Grhhh!
Gerakan sosok itu seolah-olah mengancam korban yang diinjaknya. Reserse Sarman segera bertindak. Ia mengeluarkan pistol. Dibidiknya kepala orang itu. Ia menembak.
Terdengar letusan. Sosok itu tertegun. Tapi ia tidak bergeming. Keningnya berlubang karena peluru Reserse Sarman. Tak ada darah mengucur. Peluru itu seperti menembus gedebok pisang. Malah dari lubang itu muncullah ulat-ulat yang langsung ber-kruget-kruget berjatuhan di aspal.
Reserse Sarman menembak beberapa kali lagi dengan penasaran. Namun pelurunya hanya mencetak lubang-lubang. Dan dari setiap lubang muncul ulat-ulat yang ber-kruget-kruget sehingga sosok itu semakin lama makin menjijikkan. Dan malah bergerak mendekati Reserse Sarman. Langkahnya lambat tapi pasti. Kaku tapi meyakinkan. Kedua tangannya terangkat ke atas, seperti melambai-lambai dengan berat. Orang-orang buyar. Reserse Sarman cepat meraih HT-nya.
“Rudal! Rudal! Kirimkan rudal segera!”
“Untuk apa?”
“Menembak monster! Cepat! Kaliber 22 tidak mempan! Cepat! Monster itu mengejar saya! Cepat!”
“Monster? Monster apa?”
“Sudah! Dibicarakan nanti saja! Cepat!”
“Rudal apa ini yang diminta?”
“Dasar goblok! Rudal antitank!”
Karena jalanan sudah sepi, kiriman rudal TOW itu cepat datang. Sosok busuk yang melangkah dengan kaki berat itu masih jauh dari Reserse Sarman. Ia segera dihajar. Dalam sekejap mata, rudal seberat 40 pon melesat dahsyat. Tubuh busuk itu hancur lebur tanpa sisa. Hanya ulat-ulat, yang makin banyak saja ber-kruget-kruget dan ber-kruget-kruget di mana-mana. Kruget-kruget. Kruget-kruget. Kruget-kruget.
Seorang wartawan yang sejak tadi diam-diam memotret kejadian ini segera melambai taksi.
“Palmerah! Cepat!”
Koran pagi muncul seperti mimpi buruk. MAYAT-MAYAT HIDUP GENTAYANGAN DI IBU KOTA. Potongan berita:
. . . dan reporter kami di berbagai sudut ibu kota melaporkan, di setiap tempat keramaian muncul mayat hidup. Tubuhnya busuk sekali. Dagingnya sebagian mencair, peluru pistol atau senapan biasa tidak mempan. Bahkan senjata api yang sudah dijampi-jampi dukun pun tak berguna. Mayat hidup itu hanya bisa dimusnahkan dengan rudal. Itu pun tak berarti ia mati. Serpihan dagingnya masih meloncat-loncat. Dan ulat-ulat yang berjatuhan dari tubuhnya berkembang biak dengan dahsyat.
Pada umumnya para reporter kami melaporkan kejadian yang hampir mirip satu sama lain. Para mayat hidup alias zombi itu berlaku sebagai penjahat. Mereka mencopet dompet, merampas kalung, meminta uang, atau menodong. Tapi karena tubuh mereka yang busuk, dan gerakannya yang lamban, mereka tak bisa menghilang seperti penjahat. Mereka hanya mengacung-acungkan hasil jarahannya sambil mengeluarkan bunyi serak: Grhhh! Grhhh! Mereka muncul begitu saja, entah dari mana. Mungkin langsung dari kuburan. Tapi belum ada laporan tentang kuburan-kuburan yang jebol.
Kini para dokter sedang memeriksa serpihan daging yang masih menggeliat-geliat itu. Kita berharap pihak yang berwajib bisa segera mengatasi peristiwa yang sungguh-sungguh aneh ini. Memang, dalam kehidupan sehari-hari negeri ini sudah terlalu banyak hal-hal yang tidak masuk akal, dan toh diterima juga. Tapi yang satu ini, kita harap saja segera berlalu. Mayat hidup gentayangan adalah kenyataan yang terlalu mengerikan.
Reserse Sarman membaca berita itu sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Terlalu. Masak namaku secuil pun tidak disebut-sebut. Pers sekarang terlalu membesar-besarkan persoalan yang tidak penting, sambil menutup-nutupi masalah sebenarnya. Coba, mana disebut kerja keras petugas? Aku sudah bekerja siang malam tanpa istirahat, eh, potret si mayat hidup yang dimuat. Mending kalau cakep! Masyarakat juga brengsek selalu menghina polisi. Malah memuja-muja polisi di film Barat. Maknyadirodog!”
Di warung Markonah ia terus saja nerocos, sambil mengunyah sekerat tempe.
“Sekarang koran ikut-ikutan. Berita mayat hidup dibesar-besarkan. Masyarakat ketakutan. Paling-paling nanti yang disalahkan polisi lagi! Polisi lagi! Atasan mencak-mencak, dan buntutnya kita-kita lagi yang kena. Mana gaji cuma cukup untuk seminggu! Busyet! Coba kalau dulu gua diterima Sipenmaru, mungkin nasib lebih baik sedikit. Wartawan tau apa sih? Sok tau!”
Ia masih memaki-maki lagi, ketika HT itu memanggilnya lagi. Dengan sigap ia meloncat.
“Siap Pak!”
Dan segera Reserse Sarman menghilang.
“Lho, mana uangnya?” teriak Markonah, bersungut-sungut. Tapi cuma sebentar. Ia tahu, Reserse Sarman akan selalu kembali kepadanya. Meski sudah beristri dan beranak empat. Akan selalu kembali padanya.
Sekali lagi Reserse Sarman berhadapan dengan mayat hidup. Kepalanya botak, tubuhnya busuk, dan dikerumuni ulat. Ia berdiri di perempatan jalan sambil mengangkat kedua tangan. Mulutnya mencair tapi masih mengeluarkan suara serak. Grhhh! Grhhh! Jalanan macet. Mobil-mobil itu ditinggalkan penumpangnya. Sosok busuk itu melangkah di atas atap mobil. Sesekali ia terpeleset karena telapak kakinya pun mulai mencair.
Reserse Sarman memperhatikan dengan lebih tenang. Ia tahu, meski yang satu ini bisa dibereskan, yang lain akan segera muncul. Tentu ada sebab kenapa tubuh-tubuh busuk ini bangkit kembali dari alam kubur. Tentu ada sebab yang sama. Kalau tidak, apa urusannya mereka mengacau?
Mungkin semasa hidupnya mereka dulu kriminal, pikir Reserse Sarman. Tampaknya mereka penjahat-penjahat kasar kelas teri. Penjahat-penjahat yang mengandalkan senjata dan tenaga, bukan otak. Reserse Sarman memperhatikan bahwa di tubuh yang mulai mencair itu terlihat sisa-sisa tato. Dan pada sosok-sosok itu selalu terdapat lubang dari mana ulat-ulat selalu meruyak ke luar dan berjatuhan kruget-kruget-kruget. Reserse Sarman merasa ingat sesuatu tapi lupa lagi.
Grhhh! Suara itu menyadarkan lamunannya. Ia mengamati lagi, sosok itu juga bertato. Lamat-lamat masih terlihat sebentuk wanita telanjang di dadanya. Dan lubang-lubang. Ya, lubang-lubang selalu berada di tempat yang sama. Belakang kepala, dada kiri, atau dahi. Ada juga memang yang berderet-deret dari dada sampai perut. Atau sepanjang punggung. Tapi tidak banyak. Lagi-lagi Reserse Sarman seperti ingat sesuatu. Namun suara itu terdengar lagi. Grhhh!
Ia sudah memesan rudal TOW. Senjata paling ampuh untuk melumpuhkan zombi. Sambil menunggu ia menyulut rokok, memperhatikan monster itu jatuh bangun terpeleset di atas mobil. Memang menjijikkan. Baunya yang busuk tercium sampai ke tempat Reserse Sarman. Astaga, mayat kok hidup lagi. Setan mana yang merasukinya?
Kalau dihitung-hitung, sudah dua puluh lebih mayat hidup bermunculan di berbagai sudut. Rekan-rekan Reserse Sarman setengah mati memantaunya. Setiak kali mesti digunakan rudal TOW untuk memusnahkannya. Celakanya rudal TOW ini bukan hanya menghancurleburkan si mayat hidup. Lingkungannya pun ikut hancur. Menteri Pengawasan Lingkungan Hidup sudah marah-marah.
“Kenapa sih mesti menggunakan rudal? Apa tidak sayang membuang-buang rudal yang mahal itu? Apa tidak bisa menjeratnya dengan jala? Menebasnya dengan golok? Atau menyiramnya dengan bensin?” ujarnya di televisi.
Namun sementara terjadi polemik, mayat-mayat hidup terus nongol di mana-mana. Para petugas ingin membereskan dengan cepat. Untuk itu, rudal memang paling tepat.
Tapi baru beberapa hari saja sudah begini banyak. Bagaimana kalau rudal kita habis? Pikir Reserse Sarman. Otaknya berputar. Amerika Serikat baru kapok menjual rudal. Beli dari Israel sama dengan berkhianat. Harus ada cara lain. Kita tidak tahu, berapa lagi mayat hidup akan meneror. Dari mana sih datangnya mayat-mayat busuk ini? Reserse Sarman betul-betul penasaran. Ia meraih HT-nya.
“Periksa kuburan-kuburan di segenap penjuru tanah air. Laporkan kuburan siapa saja yang jebol!” Reserse Sarman memerintah.
Saat itu juga kiriman rudal tiba. Para petugas membopongnya dengan hati-hati. Zombi itu telah tegak di atap sebuah mobil. Grhhh! Grhhh! Reserse Sarman memperhatikan wajahnya yang setengah mencair. Rasa-rasanya sudah pernah ketemu. Siapa ya? Grhhh! Grhhh! Ulat-ulat berjatuhan dari mulutnya. Dan seperti biasa, ber-kruget-kruget menjijikkan. Berkembang biak dengan cepat. Merambati jendela-jendela mobil, sehingga para wanita cantik yang tidak sempat lari menjerit-jerit seperti orang gila. Zombi itu kini lebih buas.
“Tembak cepat!” teriak Reserse Sarman.
“Oke Bos!” Dan rudal TOW melesat cepat. Blgggrrr!
Ibu kota seperti terlanda perang. Reruntuhan puing merata di mana-mana. Inilah akibat rudal yang diobral. Namun Zombi terus bermunculan. Ulat-ulat merayap seperti wabah. Ulat ber-kruget-kruget di atas meja, kursi, jendela, WC, kamar mandi, kantong baju, sepatu, piring, gelas dan botol-botol. Orang-orang setiap hari sibuk menjetikkan ulat-ulat yang merayap di bajunya, rambutnya, lubang hidungnya, maupun yang bergantungan di kacamatanya.
Zombi makin merajalela. Kehidupan sehari-hari kacau. Mereka kini bukan hanya menyambar benda-benda murahan, tetapi mulai melahap segala jenis makanan. Keberadaaannya adalah teror. Persediaan rudal makin menipis. Maklumlah, negeri ini biasanya tenteram dan damai, subur dan gemah ripah loh jinawi. Busyet. Siapa mimpi harus berperang melawan zombi?
HT Reserse Sarman menguik.
“Bintara Sarman?”
“Siap Pak!”
“Cepat ke Jalan Lima! Ada zombi lagi!”
“Siap Pak!”
Tapi Reserse Sarman tidak beranjak. Diangkatnya kedua kaki ke atas meja di kantor. Kepalanya terkulai. HT-nya terus menguik-nguik. Percakapan berseliweran.
Dengan malas diraihnya sejumlah laporan yang masuk.
…para informan di segenap penjuru tanah air melaporkan adanya sejumlah kuburan yang jebol. Peti di dalamnya telah terbuka dan isinya tidak ada lagi. Data-data menunjukkan, kuburan itu memang kuburan kaum penjahat kelas teri. Namun tidak semua kuburan bernama dan bertanda tahun. Hasil penyelidikan sementara juga menunjukkan, sebagian mayat itu datang dari Lubang Besar…
Reserse Sarman lagi-lagi merasa ingat sesuatu. Belum lagi mendapat jawab, terdengar sebuah ketukan di jendela kaca, yang terletak di belakangnya. Ia menoleh, dan terhentak, zombi!
Jantungnya berdegup keras. Wajah buruk itu tiba-tiba sudah ada di jendela. Dalam sekilas, meski wajah itu pun telah mencair, Reserse Sarman mengenalinya.
“Ngadul!” Ia berteriak. Namun Ngadul yang telah jadi zombi tidak mengenalinya lagi. Zombi itu merayap masuk. Grhhh! Grhhh!
Reserse Sarman melompat ke atas meja, meraih HT. Sekarang ia merasakan menemukan sesuatu.
“Komandan! Salah satu zombi adalah Ngadul! Salah satu korban pembantaian misterius di Lubang Besar! Saya bisa mengenalinya Pak! Ia muncul di markas!”
“Tembak segera dengan rudal!”
“Maaf Komandan! Itu tidak menyelesaikan masalah!”
Zombi itu mendekat dan membalikkan meja Reserse Sarman. Sang Reserse keburu meloncat dan lari ke ruang lain. Zombi terus mengejar. Ulat-ulat merayapi dinding.
“Bintara Sarman! Kamu membantah perintah komandan?”
“Bukan begitu Pak! Rudal kita tidak akan cukup melenyapkan seluruh zombi!”
“Apa maksudmu Bintara Sarman? Zombi itu mengganggu kehidupan!”
Zombi menendang pintu sampai jebol. Reserse Sarman meloncati jendela dengan HT-nya.
“Apakah Bapak tidak ingat? Bersama Ngadul enam ribu penjahat kelas teri terbantai secara misterius! Masih ingat Pak?”
“Masih! Masih! Kenapa?”
“Kebanyakan mayatnya terkubur di Lubang Besar Pak Komandan!”
“Aku tahu! Lantas kenapa?”
“Ada laporan, banyak di antara mereka sudah tidak aktif lagi Pak! Yang terbantai misterius itu banyak yang sudah insaf Pak! Dan mereka semua tidak disembahyangkan Pak! Waktu itu tidak ada yang berani! Takut ikut terbantai Pak! Habis, waktu itu siapa saja bisa terbunuh secara misterius Pak!”
Grhhh! Zombi melompat dari jendela. Reserse Sarman memanjat pagar tembok.
“Jadi, apa kesimpulannya Bintara Sarman?”
“Pembantaian itu kesalahan besar Pak! Generasi kita kena getahnya! Orang-orang itu tidak rela mati Pak! Mereka membalas dendam!”
“Apa yang harus kita lakukan?”
“Sembahyangkan mereka Pak! Harus dilakukan penyembahyangan massal Pak! Rudal kita cuma seratus! Tidak cukup untuk membasmi mereka! Sembahyangkan mereka Pak! Supaya rohnya santai!”
“Kamu bermimpi ya Bintara Sarman? Kamu ngelindur! Itu semua omong-kosong! Kita sedang mengimpor rudal dari luar negeri! Kamu dengar itu? Enam ribu rudal sedang dikapalkan ke mari! Mereka akan dibantai!”
Zombi menangkap kaki Reserse Sarman yang masih separo di halaman markas.
“Tolong! Mereka menangkap saya! Tolong!” Reserse Sarman berteriak ngeri. Zombi mulai mencaplok kaki itu. Jeritan Reserse Sarman melejit ke langit. HT-nya jatuh masuk selokan.
Di berbagai sudut kota zombi bermunculan, makin banyak dan makin cepat, dan makin ganas. Mereka merayat seperti ulat. Memenuhi jalanan, menyeruduk di supermarket dan memasuki kampus-kampus. Mereka gentayangan di segala pelosok. Memanjati gedung-gedung bertingkat dan berteriak-teriak dengan serak. Grhhh! Grhhh! Dhendham! Dhendham! Mereka bersuara berbarengan seperti kor dari neraka. Grhhh! Grhhh! Dhendham khesumath! Dhendham khesumath! Grhhh!
Di sela-sela paduan suara kengerian yang membuat seluruh kota gemetar ketakutan itu, terdengar lengkingan Reserse Sarman yang menyayat, “Tolongngngngng! Pak Komandaaaaaaann! Tolongngngngngngngngng!!!!”
Jakarta - Yogya,
Desember 1986
Mestikah Kuiris Telingaku Seperti Van Gogh?
Mestikah Kuiris Telingaku Seperti Van Gogh?
Cerpen Seno Gumira Ajidarma
“Lihatlah bagaimana aku mencintaimu kekasihku. sudah begitu lama kita berpisah, tapi aku ingin mengawinimu. Telah kuraih gelar MBA dari harvard. Telah kududuki jabatan manajer perusahaan multinasional. Telah kukumpulkan harta benda berlimpah-limpah. Kawinlah denganku. Kuangkat kamu dari lembah hitam. Marilah jadi istriku. Jadi orang baik-baik, terhormat dan kaya. Ayo pergi dari sini, kita kawin sekarang juga.”
Ia tersenyum, masih seperti dulu. Ada kerutan di ujung matanya, tapi masih menatap dengan jalang. Dan setiap kali aku menatap mata itu, dadaku rasanya bagai tersirap.
”Ayolah kekasihku, cepat, kita pergi dari sini. Lihatlah Baby Benz yang menunggumu. Akan kumanjakan kamu seperti ratu. Pergilah dari tempat busuk ini. Jauhilah lagu dangdut. Jauhilah bir hitam, marilah memasuki dunia yang elit dan canggih. Kuperkenalkan kamu nanti dengan dunia Mercantile Club, dunia para pedagang dan para manajer internasional. Kuajari kamu main polo, kuajari kamu naik kuda, kuajari kamu bicara Prancis, sambil sedikit-sedikit mengutip Simone De Beauvoir. kujadikan kamu seorang wanita diantara wanita. Berparfum Poison keluaran Christian Dior, berbaju rancangan Lacroix, bercelana dalam Wacoal. Cepat kekasihku, pergi bersama aku. Waktu melesat seperti anak panah. Jangan sampai kamu jadi tua di sini. Menjadi kecoa yang tidak berguna.”
Ia tersenyum lagi. Matanya jalang sekali. Rambutnya keriting dan panjang.
”Ayo cepat kekasihku. Cepat. Jangan sampai dunia berubah. Tak ada yang kekal di dunia ini. Tak ada yang setia. Ayo cepat. Tunggu apa lagi?”
Wanita itu merebahkan tubuhnya. Bau wangi yang kampungan meruap dalam kamar yang lembab. Alangkah lembabnya. Alangkah kumuhnya. Di ranjang itu juga dulu, ia memitingku sehari semalam. Seperti baru kemarin rasanya. Dua belas tahun yang lalu.
Di luar terdengar dangdut saling menghentak dari setiap rumah. Pada sebuah tembok tertulis dengan huruf merah: Termiskin di Dunia. Entah apa maksudnya.
”Apa lagi yang kamu tunggu kekasihku? Inilah kesempatan emas bagimu. Cepat kemasi barang-barangmu. Amankan kopormu? Biar aku bantu. Tinggalkanlah rawa-rawa sipilis ini, pindah ke pondok indah. Ayo cepat. Besok pagi kamu sudah bisa terjun ke kolam renang, begitu mentas langsung membaca International Herald Tribune, sambil menelpon teman-teman di Beverly Hills. Ayolah cepat kekasihku. Jangan sampai ketinggalan kereta. Kesempatan tidak datang dua kali. Tinggalkan saja barang-barangmu di sini. Kita akan segera memborong gantinya di Shinjuku.”
Matanya mengerling tajam dan masih jalang. Apakah ia melihat lembaran Dollar Amerika? Kulihat dari belahan bajunya yang terbuka, ada tato kupu-kupu di atas buah dada. Gambar itulah sensasi masa remajaku. Aku selalu senang mengingatnya karena memberikan persaan aneh dan mendebarkan. Ia menyulut rokok sambil tetap tiduran. Bibirnya merah dan sungguh-sungguh basah. Ia menghembuskan asap rokok ke wajahku, lantas kakiknya naik ke pundakku.
”Siapakah kamu anak muda yang menggebu-gebu? Aku tidak kenal kamu. Dua belas tahun lalu ? aku sudah lupa. Terlalu banyak yang sudah tidur denganku. Aku tidak mengerti. Bagaimana kamu bisa mencintaiku?”
”Janganlah bertanya-tanya. Ikutlah aku sekarang. Penjelasannya nanti saja belakangan.”
”Jelaskan padaku anak muda, jelaskan. Jangan sampai aku berbicara dengan orang yang tak bernama. Apalagi kamu bicara tentang perkawinan.”
”Untuk apa? Bukankah kamu tidak perlu nama-nama? Toh kamu akhirnya selalu lupa. Ikutlah saja denganku. Bersenang-senang. Bermewah-mewah. Akan kubawa kamu ke dunia yang ada dalam iklan-iklan.”
Ia tertawa lepas, seperti mengejekku. Matanya menerawang ke luar jendela, ke langit, ke bintang-bintang. Masih terdengar orang-orang mendendangkan Gubug Derita. Para pelacur berjajar-jajar duduk di luar sambil menaikkan kaki. Leher mereka penuh cupang yang mengerikan.
Seseorang nampaknya baru dihajar, lewat sambil menangis meraung-raung. Bau minuman keras murahan menyesakkan udara bercampur bau keringat para pelacur yang ajojing habis-habisan sampai teler, mencoba melupakan nasib yang entah kenapa bisa begitu buruk dan begitu nestapa. Aku merasa gerah. Aku sudah terbiasa hidup dalam ruangan AC. Jakarta terlalu panas dan menyesakkan. Terlalu banyak orang-orang yang bernasib malang. Ia masih tertawa.
”kenapa kamu tertawa?”
”Aku tidak bisa ikut kamu anak muda. Maafkanlah aku.”
Hatiku rontok. Mulutku kering. Keseimbanganku goyah.
”Kenapa? Apa yang kurang dariku, aku lulusan Harvard dan aku …”
”Aku sudah punya pacar.”
”Siapa? Apanya yang lebih hebat dari aku?”
”Dia cuma tukang jual obat di pojok jalan. Tapi aku bangga sama dia.”
”Hahaha! Tukang obat? Apanya yang bisa dibanggakan?”
”O, aku sangat bangga padanya. Setidaknya dia tidak sombong seperti kamu. Dia bisa bicara tentang segala macam hal, dan dia bisa bicara tentang semua itu dengan meyakinkan. Kamu, meskipun sudah sekolah di Harvard, tdak akan pernah mengalahkan Sukab. Dia adalah segala-galanya bagiku.”
”Hahaha! Sukab seorang tukang jual obat! Obat apa? Paling-paling obat kumis! Obat kuat! Seorang penjual omong kosong! Aku tahu orang-orang semacam itu pembual! Kamu pasti sudah dibohonginya. Kamu sudah dirayu dengan segenap kegombalannya. Mungkin juga kamu sudah dipeletnya, dengan ilmu semar mesem! Atau dia punya batu akik kecubung pengasihan! Jangan mau ditipu. Coba, siapa yang bukan penipu di Jakarta ini? Jangan mau jadi korban!”
”Aku bukan korban. Aku cinta padanya. Dia membuatku bahagia. Dialah satu-satunya alasanku untuk tetap bertahan hidup. Dia sangat pintar. Sama pintar dengan menteri. Dia sangat lucu. Sama lucunya dengan Asmuni.”
”Hebat. Hebat. Seperti roman picisan. Kamu mau kawin sama dia?”
Ia menggeleng. Wajahnya jadi muram. Membanting puntung rokok ke dalam kloset.
Sejumlah kecoa berterbangan.
”Kenapa?”
Ditenggaknya segelas bir sebelum menjawab, nyaris tanpa suara.
”Dia sudah kawin.”
Hatiku yang tadi sudah jatuh berkeping-keping bagaikan melayang saling melekat kembali.
”Kalau begitu, Ayo! Cepat! Kita pergi dari sini! Aku sudah tidak tahan bau apek di kamar ini!”
Ia diam saja. Membuka bajunya. Lantas terkapar. Kulihat tato kupu-kupu itu. Rasanya makin aneh dan makin mendebarkan.
”Aku akan tetap di sini. Menanti setiap orang yang datang dan pergi. Aku akan tetap setia padanya, meskipun ia tak akan pernah mengawiniku.”
Goblok! Goblok! Ia seorang wanita yang bodoh atau mulia?
”Baiklah. Kalau begitu, sebagai pelacur kubeli dirimu. Kukawini kamu. Kubayar kamu seharga 500.000 dollar Amerika ”
”No,” jawabnya tanpa menatapku, namun nadanya menegaskan ia memang sunguh-sungguh.
”Kamu memang bodoh sekali kekasihku, alangkah bodohnya kamu. Dari Dolly sampai St. Paulli belum pernah kutemui pelacur seperti kamu. Apakah kamu memang seorang pelacur kekasihku?”
Seekor kecoa terbang, dari atas lemari ke kutang, yang tergantung di jemuran.
”Mungkin aku bodoh. Tapi aku punya cinta. Pelacur profesiku. Cuma lima ribu tarifku. Tapi tak kujual diriku. Nyahlah engkau anak muda. Kembalilah ke Harvard.”
Akhirnya kuambil juga botol bir itu. Kutenggak sampai tandas. Aku ngeloyor pergi. Kutengok ke belakang sekali lagi. Ia masih di jendela itu. Melambaikan tangan seperti dua belas tahun yang lalu. Astaga. Bahkan pelacur pun menolak cintaku. Apakah aku mesti mengiris telingaku seperti Van Gogh? Sistem nilaiku guncang. Ternyata masih ada orang punya cinta. Ternyata masih ada orang bodoh. Terlalu!
Jakarta 1989.
*) Dimuat diharian Suara Pembaruan, 1989, sebagai Gombal.
Cerpen Seno Gumira Ajidarma
“Lihatlah bagaimana aku mencintaimu kekasihku. sudah begitu lama kita berpisah, tapi aku ingin mengawinimu. Telah kuraih gelar MBA dari harvard. Telah kududuki jabatan manajer perusahaan multinasional. Telah kukumpulkan harta benda berlimpah-limpah. Kawinlah denganku. Kuangkat kamu dari lembah hitam. Marilah jadi istriku. Jadi orang baik-baik, terhormat dan kaya. Ayo pergi dari sini, kita kawin sekarang juga.”
Ia tersenyum, masih seperti dulu. Ada kerutan di ujung matanya, tapi masih menatap dengan jalang. Dan setiap kali aku menatap mata itu, dadaku rasanya bagai tersirap.
”Ayolah kekasihku, cepat, kita pergi dari sini. Lihatlah Baby Benz yang menunggumu. Akan kumanjakan kamu seperti ratu. Pergilah dari tempat busuk ini. Jauhilah lagu dangdut. Jauhilah bir hitam, marilah memasuki dunia yang elit dan canggih. Kuperkenalkan kamu nanti dengan dunia Mercantile Club, dunia para pedagang dan para manajer internasional. Kuajari kamu main polo, kuajari kamu naik kuda, kuajari kamu bicara Prancis, sambil sedikit-sedikit mengutip Simone De Beauvoir. kujadikan kamu seorang wanita diantara wanita. Berparfum Poison keluaran Christian Dior, berbaju rancangan Lacroix, bercelana dalam Wacoal. Cepat kekasihku, pergi bersama aku. Waktu melesat seperti anak panah. Jangan sampai kamu jadi tua di sini. Menjadi kecoa yang tidak berguna.”
Ia tersenyum lagi. Matanya jalang sekali. Rambutnya keriting dan panjang.
”Ayo cepat kekasihku. Cepat. Jangan sampai dunia berubah. Tak ada yang kekal di dunia ini. Tak ada yang setia. Ayo cepat. Tunggu apa lagi?”
Wanita itu merebahkan tubuhnya. Bau wangi yang kampungan meruap dalam kamar yang lembab. Alangkah lembabnya. Alangkah kumuhnya. Di ranjang itu juga dulu, ia memitingku sehari semalam. Seperti baru kemarin rasanya. Dua belas tahun yang lalu.
Di luar terdengar dangdut saling menghentak dari setiap rumah. Pada sebuah tembok tertulis dengan huruf merah: Termiskin di Dunia. Entah apa maksudnya.
”Apa lagi yang kamu tunggu kekasihku? Inilah kesempatan emas bagimu. Cepat kemasi barang-barangmu. Amankan kopormu? Biar aku bantu. Tinggalkanlah rawa-rawa sipilis ini, pindah ke pondok indah. Ayo cepat. Besok pagi kamu sudah bisa terjun ke kolam renang, begitu mentas langsung membaca International Herald Tribune, sambil menelpon teman-teman di Beverly Hills. Ayolah cepat kekasihku. Jangan sampai ketinggalan kereta. Kesempatan tidak datang dua kali. Tinggalkan saja barang-barangmu di sini. Kita akan segera memborong gantinya di Shinjuku.”
Matanya mengerling tajam dan masih jalang. Apakah ia melihat lembaran Dollar Amerika? Kulihat dari belahan bajunya yang terbuka, ada tato kupu-kupu di atas buah dada. Gambar itulah sensasi masa remajaku. Aku selalu senang mengingatnya karena memberikan persaan aneh dan mendebarkan. Ia menyulut rokok sambil tetap tiduran. Bibirnya merah dan sungguh-sungguh basah. Ia menghembuskan asap rokok ke wajahku, lantas kakiknya naik ke pundakku.
”Siapakah kamu anak muda yang menggebu-gebu? Aku tidak kenal kamu. Dua belas tahun lalu ? aku sudah lupa. Terlalu banyak yang sudah tidur denganku. Aku tidak mengerti. Bagaimana kamu bisa mencintaiku?”
”Janganlah bertanya-tanya. Ikutlah aku sekarang. Penjelasannya nanti saja belakangan.”
”Jelaskan padaku anak muda, jelaskan. Jangan sampai aku berbicara dengan orang yang tak bernama. Apalagi kamu bicara tentang perkawinan.”
”Untuk apa? Bukankah kamu tidak perlu nama-nama? Toh kamu akhirnya selalu lupa. Ikutlah saja denganku. Bersenang-senang. Bermewah-mewah. Akan kubawa kamu ke dunia yang ada dalam iklan-iklan.”
Ia tertawa lepas, seperti mengejekku. Matanya menerawang ke luar jendela, ke langit, ke bintang-bintang. Masih terdengar orang-orang mendendangkan Gubug Derita. Para pelacur berjajar-jajar duduk di luar sambil menaikkan kaki. Leher mereka penuh cupang yang mengerikan.
Seseorang nampaknya baru dihajar, lewat sambil menangis meraung-raung. Bau minuman keras murahan menyesakkan udara bercampur bau keringat para pelacur yang ajojing habis-habisan sampai teler, mencoba melupakan nasib yang entah kenapa bisa begitu buruk dan begitu nestapa. Aku merasa gerah. Aku sudah terbiasa hidup dalam ruangan AC. Jakarta terlalu panas dan menyesakkan. Terlalu banyak orang-orang yang bernasib malang. Ia masih tertawa.
”kenapa kamu tertawa?”
”Aku tidak bisa ikut kamu anak muda. Maafkanlah aku.”
Hatiku rontok. Mulutku kering. Keseimbanganku goyah.
”Kenapa? Apa yang kurang dariku, aku lulusan Harvard dan aku …”
”Aku sudah punya pacar.”
”Siapa? Apanya yang lebih hebat dari aku?”
”Dia cuma tukang jual obat di pojok jalan. Tapi aku bangga sama dia.”
”Hahaha! Tukang obat? Apanya yang bisa dibanggakan?”
”O, aku sangat bangga padanya. Setidaknya dia tidak sombong seperti kamu. Dia bisa bicara tentang segala macam hal, dan dia bisa bicara tentang semua itu dengan meyakinkan. Kamu, meskipun sudah sekolah di Harvard, tdak akan pernah mengalahkan Sukab. Dia adalah segala-galanya bagiku.”
”Hahaha! Sukab seorang tukang jual obat! Obat apa? Paling-paling obat kumis! Obat kuat! Seorang penjual omong kosong! Aku tahu orang-orang semacam itu pembual! Kamu pasti sudah dibohonginya. Kamu sudah dirayu dengan segenap kegombalannya. Mungkin juga kamu sudah dipeletnya, dengan ilmu semar mesem! Atau dia punya batu akik kecubung pengasihan! Jangan mau ditipu. Coba, siapa yang bukan penipu di Jakarta ini? Jangan mau jadi korban!”
”Aku bukan korban. Aku cinta padanya. Dia membuatku bahagia. Dialah satu-satunya alasanku untuk tetap bertahan hidup. Dia sangat pintar. Sama pintar dengan menteri. Dia sangat lucu. Sama lucunya dengan Asmuni.”
”Hebat. Hebat. Seperti roman picisan. Kamu mau kawin sama dia?”
Ia menggeleng. Wajahnya jadi muram. Membanting puntung rokok ke dalam kloset.
Sejumlah kecoa berterbangan.
”Kenapa?”
Ditenggaknya segelas bir sebelum menjawab, nyaris tanpa suara.
”Dia sudah kawin.”
Hatiku yang tadi sudah jatuh berkeping-keping bagaikan melayang saling melekat kembali.
”Kalau begitu, Ayo! Cepat! Kita pergi dari sini! Aku sudah tidak tahan bau apek di kamar ini!”
Ia diam saja. Membuka bajunya. Lantas terkapar. Kulihat tato kupu-kupu itu. Rasanya makin aneh dan makin mendebarkan.
”Aku akan tetap di sini. Menanti setiap orang yang datang dan pergi. Aku akan tetap setia padanya, meskipun ia tak akan pernah mengawiniku.”
Goblok! Goblok! Ia seorang wanita yang bodoh atau mulia?
”Baiklah. Kalau begitu, sebagai pelacur kubeli dirimu. Kukawini kamu. Kubayar kamu seharga 500.000 dollar Amerika ”
”No,” jawabnya tanpa menatapku, namun nadanya menegaskan ia memang sunguh-sungguh.
”Kamu memang bodoh sekali kekasihku, alangkah bodohnya kamu. Dari Dolly sampai St. Paulli belum pernah kutemui pelacur seperti kamu. Apakah kamu memang seorang pelacur kekasihku?”
Seekor kecoa terbang, dari atas lemari ke kutang, yang tergantung di jemuran.
”Mungkin aku bodoh. Tapi aku punya cinta. Pelacur profesiku. Cuma lima ribu tarifku. Tapi tak kujual diriku. Nyahlah engkau anak muda. Kembalilah ke Harvard.”
Akhirnya kuambil juga botol bir itu. Kutenggak sampai tandas. Aku ngeloyor pergi. Kutengok ke belakang sekali lagi. Ia masih di jendela itu. Melambaikan tangan seperti dua belas tahun yang lalu. Astaga. Bahkan pelacur pun menolak cintaku. Apakah aku mesti mengiris telingaku seperti Van Gogh? Sistem nilaiku guncang. Ternyata masih ada orang punya cinta. Ternyata masih ada orang bodoh. Terlalu!
Jakarta 1989.
*) Dimuat diharian Suara Pembaruan, 1989, sebagai Gombal.
Pistol Tua
Pistol Tua
Oleh Laila Sa’adah
diambil dari Jelajah Budaya
Gelap seakan tidak mau beranjak dari langit kota ini. Mendung subuh tadi hanya menyanding mentari tanpa mau bergegas meninggalkannya, untuk sekedar menunjukkan keperkasaannya pada bumi di pagi hari yang lengang, mencekam dan membuat bulu roma siapapun merinding bila di situasi seperti ini.
Seharusnya ketika mentari sudah mulai merangkul pagi bersamanya, orang-orang yang telah semalaman beristirahat, dapat memulai aktivitasnya lagi dengan lebih semangat. Namun setiap mata yang kutangkap selalu sembab. Raut muka kelelahan yang menyiratkan kesedihan, ketertundukan dan kepasrahan akan hidup seakan selalu meriasi setiap sudut bagian wajah itu. Pandangan yang tertunduk, bibir kelu menambah ketidak kuasaan wajah untuk menutupi semua yang telah terjadi. Bila memang benar wajah merupakan jendela jiwa maka seakan-akan wajah-wajah itu mengatakan
“Jangan kau lihat aku bila kamu tidak ingin ikut tenggelam dalam kesedihan.”
Dalam setiap situasi yang menyedihkan jangan khawatir kalau tidak ada sedikit celah untuk menghiburmu. Atau dalam gurun pasir yang luas, tandus, gersang, jangan takut bila tidak ada tawaran kesegaran. Seperti halnya ketika dalam kesulitan yang seakan-akan melilit seluruh tubuh, jangan pernah putus asa karena pasti ada sepotong pisau untuk memotong tali itu, walau hanya pada bagian hidungmu untuk sekedar bernafas.
Hero yang selalu ada dalam setiap kesedihan, perjuangan hidup dan peperangan yang memaksa kita untuk bertempur bukan orang lain, tapi tampaknya apa yang ada dalam hati kita. Kepercayaan diri dan kobaran semangat itulah yang menjadikan lintasan bagi setiap jalan yang tadinya pekat, pisau tajam bagi lilitan yang sebelumnya tidak pernah bisa tertembus oleh apa pun.
Sinar keperkasaan itu, hari ini dapat aku temukan dalam wajah seorang kolonel yang berdiri tegak diujung pintu penampungan ini. Dari lipatan-lipatan kulit yang ada di wajahnya, menunjukkan kalau sebenarnya dia sudah tidak muda lagi. Sebutan kakek sudah pantas dia sandang. Tetapi karena tanggung jawab, jiwa mudanya kembali bangkit. Semangat seorang mantan pejuang perang ini masih subur, belum sedikit pun padam dalam dirinya. Walaupun aku tahu sebenarnya kepedihan sempat menghampirinya dalam dua hari yang lalu. Aku mengetahui dengan jelas tragedi yang sangat mengerikan itu. Karena aku yang selama ini hanya menjadi barang simpanan dalam keluarga kolonel, hari itu kembali difungsikan.
Malam itu sebenarnya berjalan seperti biasa, banyak orang yang masih lewat di jalanan depan rumah. Terutama suara gelak tawa anak-anak yang baru pulang belajar mengaji dari surau dekat rumah masih terdengar cukup keras. Tetapi tiba-tiba lima manit kemudian suara tersebut berganti dengan teriakan ketakutan. Kolonel yang saat itu sedang bercengkerama dengan istrinya diruang tengah sambil minum kopi, terhenyak kaget dan berlari kedepan rumah.
Ternyata sudah terlihat jelas di ujung jalan segerombolan warga membawa clurit, parang, kayu, dan batu berlari kearah desa kami. Entah apa yang sebenarnya terjadi, kolonel yang sejak mendengar teriakan tadi mengambil aku dari laci, membawa masuk istrinya dan keluar lewat pintu belakang. Belum sampai jauh berlari keluar rumah, ibu sudah terjatuh, kepalanya terkena batu nyasar yang dilemparkan oleh salah satu dari gerombolan tersebut. Usia yang telah lanjut rupa-rupanya telah membatasinya untuk dapat berlari kencang.
Serbuan mendadak itu rupa-rupanya telah membuat kolonel kebingungan apalagi melihat kondisi istrinya yang sekarang sudah berlumuran darah membuatnya cukup tergoncang. Kalau di masa penjajahan dulu sudah jelas siapa yang harus dilawan, tetapi untuk sekarang siapa yang salah, dan siapa yang harus dilawan sangat kabur. Tetapi kalau tidak melawan nyawa sendiri yang menjadi taruhannnya, dengan sikap yang cukup bijak kolonel memfungsikan aku dengan mengarahkan moncongku ke udara. Pelatukku siap ditekan dan “Dor”
Bunyi tembakan terdengar keras diangkasa, sesaat gerombolan itu berhenti berlari dan mulai mundur. Melihat situasi itu kolonel membopong istrinya berlari menjauh ketempat yang lebih aman. Kolonel sebenarnya mempunyai 3 orang anak. Namun rupa-rupanya dengan kondisi daerah yang tidak mendukung bagi karier mereka, anak-anak yang telah kesemuanya berumah tangga memilih berhijrah keluar pulau. Kolonel memang sebenarnya bukan berasal dari daerah ini. Dia berasal dari pulau jawa, yang tidak pernah menyebutkan nama kotanya. Mungkin karena sempat mempunyai kenangan pahit, saat terjadinya pergolakan merebut kemerdekaan. Kolonel sendiri yang saat itu sempat menjadi tawanan perang, dibuang ke pulau ini.
Akhirnya kami sampai disemak-semak hutan yang gelap. Yang terdengar hanya erangan kesakitan dan nafas kolonel yang terus memburu.
“Rasanya aku sudah tidak kuat pak”
Sambil menyangga kepala istrinya, kolonel tersebut hanya bisa diam terpaku melihat wajahnya yang sedang diabang maut.
“Kalau memang sesuatu terjadi padaku, anggap saja kalau ini semua adalah sebuah cobaan belaka.”
Tiba-tiba ada setetes air mata keluar dari pelupuk mata kolonel.
“Sabarlah istriku, sebentar lagi pagi sudah datang dan kita bisa ke puskesmas terdekat.”
Karena darah yang mengucur dari kepala terlalu banyak, akhirnya sebelum sampai puskesmas, istri kolonel sudah meninggal dunia. Kolonel tidak sempat menghubungi anak-anaknya karena situasi saat itu masih mencekam. Selain itu mungkin takut keadaan akan bertambah parah.
Seorang diri sudah sang kolonel dipulau ini, seperti pertama kalinya dia datang kesini. Hidupnya tak lepas dari situasi peperangan, entah apa yang sedang dia pikirkan sekarang, tatapannya yang tidak pernah gentar, menunjukkan dialah seorang kolonel sejati dari zaman penjajahan kompeni sampai sekarang zaman pertarungan ideologi.
Aku sendiri tidak menyangka menjadi berpindah kepemilikan ke tangan kolonel ini. Aku dulu milik seorang saudagar kaya raya dari melayu. Umurku memang sudah lama sekali hampir 120 tahun yang lalu. Setiap pedagang saat itu minimal mempunyai dua atau empat pengawal yang bertubuh kekar. Yang setia mengikutinya kemanapun tuannya pergi. Karena tak jarang saudagar-saudagar tersebut melakukan perjalanan yang cukup jauh, berlayar dari pulau satu kepulau lainnya. Sehingga senjata untuk melindungi diri dan harta bendanya sangat dia perlukan. Aku dulu jarang sekali digunakan oleh empunya diriku. Karena pengawal-pengawalnya sudah cukup mampu mengatasi keadaan kalau perampokan tiba-tiba terjadi.
Sampai pada akhirnya ketemu dengan kolonel yang sedang menjalani masa pembuangan di pulau ini. Kolonel yang saat itu sedang tidak mempunyai harta benda satu pun meminta pekerjaan kepada sang saudagar melayu. Dari situlah perkenalan dengan saudagar melayu kaya raya mulai terjalin. Hubungan antara tuan dan buruh terjalin dengan baik. Karena sang kolonel memang tipe seorang spekerja keras. Hingga akhirnya ketika sang saudagar hendak kembali ke negeri asalnya, dia hanya dapat memberikan kenang-kenangan sebuah pistol yang tidak lain adalah aku sendiri, dengan hanya diberi lima peluru didalamnya. Entah apa maksud dari sang saudagar memberi kolonel kenang-kenangan sebuah pistol.
Untunglah sang kolonel memang seorang yang tepat untuk diberi sebuah pistol. Dia tidak pernah menggunakan aku, seperti sang saudagar memperlakukan aku dulu. Kolonel hanya memfungsikan aku tidak lebih hanya sebuah benda kenang-kenangan dari seorang sahabat yang harus dijaga dan dirawat. Namun sejak kejadian kemarin ternyata aku bukanlah sebuah benda yang hanya mengingatkan akan sebuah kenangan ke masa lalu. Tetapi aku telah menjadikan pemiliknya mempunyai rasa percaya diri akan ancaman musuh. Dan menjadikannya tetap tidak mundur dalam situasi konflik.
Tetapi aku sendiri ngeri jika harus membayangkan, aku melukai seseorang yang tidak bersalah. Aku akan bangga jika aku dapat membantu Negara yang sedang terjajah menuju kemerdekaannya. Aku akan sangat senang peluruku menembus perut-perut para koloni yang telah memakan hak hidup rakyat.
Bagaimana jika nanti peluruku mengucurkan darah dari perut-perut orang bumi pertiwi ini?
Bagaimana jika peluruku nanti menembus dinding-dinding kulit seorang bapak yang ditunggu istri dan anak-anaknya di rumah?
Bagaimana jika tiba-tiba peluruku mengenai kepala anak-anak yang sedang berangkat sekolah untuk mengejar impian-impiannya?
Atau seorang ibu hamil yang sedang menanti kelahiran anaknya?
Walau aku hanya sebuah pistol tua yang tidak sedasyat ledakan sebuah rudal Yakhont buatan Rusia, atau rudal Harpoon yang biasanya sering digunakan AS untuk menghalau siapapun yang mencoba menghalangi misinya. Namun kalau sampai ada peluru yang keluar dari moncongku, bisa saja seorang istri akan menjadi janda. Atau sepasang kekasih akan kehilangan orang yang sangat dicintainya. Hancurkanlah aku sebelum ada orang yang kehilangan senyum dan tawanya.
Hari ini sudah terhitung tiga hari sejak kejadian kemarin, tetapi situasi tampaknya masih terasa cukup tegang, tentara dari TNI sudah mulai berdatangan. Senapan laras panjang selalu mereka bawa kemana-mana. Seolah-olah siap meledakkan setiap kepala yang akan melawannya. Rupa-rupanya konflik ini muncul karena ada sekelompok warga yang tidak puas oleh hasil pemilihan walikota di daerah ini. Selain menghancurkan kantor panitia pemilihan rupa-rupanya warga yang tidak puas juga menyerang daerah simpatisan partai terpilih, kebetulan memang di desa kolonel ini sebagai basis utama.
Suasana kembali tegang ketika tiba-tiba ada seorang anak yang lari dengan menjerit ketakutan. Rupa-rupanya diperempatan jalan sebelum masuk desa kami sedang terjadi lagi pertikaian antar waraga. Kolonel mendengar keterangan dari anak tersebut langsung lari kearah terjadinya konflik. Rupa-rupanya suara teriakan kembali menyelimuti pertikaian tersebut. TNI yang ditugaskan untuk mengamankan hanya bisa menggunakan tembakan peringatan. Kolonel saat itu sudah mulai mengeluarkan aku dari sakunya.
Bila bisa aku mengatakan,”Tolong jangan paksakan aku untuk membunuh sesame teman, sahabat, kerabat, suku yang selama ini telah senasib dalam Negara ini. Hancurkan saja aku biar darah tidak mengucur lagi ke bumi pertiwi….biarlah aku hanya menjadi pistol tua sebagai pajangan dari sebagian koleksi dari seorang kolektor.”
Senja kembali menaungi langit sore ini. Menghantarkan sore pada malam dan menunjukkan waktu bagi burung-burung untuk kembali ke sarangnya. Waktu memang tidak kenal kompromi sesaat saja kita lengah maka jangan samapai menyesal jika dia telah merenggutmu. Tak kusangka semua berakhir setragis ini kolonel, kamu mengabulkan doaku tetapi sebaliknya kamu sendiri yang terluka. Sebilah pisau telah mengucurkan darah dari lehermu. Lemparan-lemparan benda tajam memang sesaat tidak bisa dihentikan. Dan ternyata itulah akhir dari hidupmu. Menjadi korban kesalahpahaman yang tidak akan mengharumkan namamu, seperti bila kamu gugur dimedan perang. Semuanya hanya sia-sia….
Akupun belum ditemukan oleh siapapun karena langit hitam sudah menyelimuti kota ini. Malam ternyata sudah beraksi, dan bintang hanya menunduk malu, dan aku tahu masih ada empat peluru di dalam diriku.
Malang , 12 Februari 2008
Oleh Laila Sa’adah
diambil dari Jelajah Budaya
Gelap seakan tidak mau beranjak dari langit kota ini. Mendung subuh tadi hanya menyanding mentari tanpa mau bergegas meninggalkannya, untuk sekedar menunjukkan keperkasaannya pada bumi di pagi hari yang lengang, mencekam dan membuat bulu roma siapapun merinding bila di situasi seperti ini.
Seharusnya ketika mentari sudah mulai merangkul pagi bersamanya, orang-orang yang telah semalaman beristirahat, dapat memulai aktivitasnya lagi dengan lebih semangat. Namun setiap mata yang kutangkap selalu sembab. Raut muka kelelahan yang menyiratkan kesedihan, ketertundukan dan kepasrahan akan hidup seakan selalu meriasi setiap sudut bagian wajah itu. Pandangan yang tertunduk, bibir kelu menambah ketidak kuasaan wajah untuk menutupi semua yang telah terjadi. Bila memang benar wajah merupakan jendela jiwa maka seakan-akan wajah-wajah itu mengatakan
“Jangan kau lihat aku bila kamu tidak ingin ikut tenggelam dalam kesedihan.”
Dalam setiap situasi yang menyedihkan jangan khawatir kalau tidak ada sedikit celah untuk menghiburmu. Atau dalam gurun pasir yang luas, tandus, gersang, jangan takut bila tidak ada tawaran kesegaran. Seperti halnya ketika dalam kesulitan yang seakan-akan melilit seluruh tubuh, jangan pernah putus asa karena pasti ada sepotong pisau untuk memotong tali itu, walau hanya pada bagian hidungmu untuk sekedar bernafas.
Hero yang selalu ada dalam setiap kesedihan, perjuangan hidup dan peperangan yang memaksa kita untuk bertempur bukan orang lain, tapi tampaknya apa yang ada dalam hati kita. Kepercayaan diri dan kobaran semangat itulah yang menjadikan lintasan bagi setiap jalan yang tadinya pekat, pisau tajam bagi lilitan yang sebelumnya tidak pernah bisa tertembus oleh apa pun.
Sinar keperkasaan itu, hari ini dapat aku temukan dalam wajah seorang kolonel yang berdiri tegak diujung pintu penampungan ini. Dari lipatan-lipatan kulit yang ada di wajahnya, menunjukkan kalau sebenarnya dia sudah tidak muda lagi. Sebutan kakek sudah pantas dia sandang. Tetapi karena tanggung jawab, jiwa mudanya kembali bangkit. Semangat seorang mantan pejuang perang ini masih subur, belum sedikit pun padam dalam dirinya. Walaupun aku tahu sebenarnya kepedihan sempat menghampirinya dalam dua hari yang lalu. Aku mengetahui dengan jelas tragedi yang sangat mengerikan itu. Karena aku yang selama ini hanya menjadi barang simpanan dalam keluarga kolonel, hari itu kembali difungsikan.
Malam itu sebenarnya berjalan seperti biasa, banyak orang yang masih lewat di jalanan depan rumah. Terutama suara gelak tawa anak-anak yang baru pulang belajar mengaji dari surau dekat rumah masih terdengar cukup keras. Tetapi tiba-tiba lima manit kemudian suara tersebut berganti dengan teriakan ketakutan. Kolonel yang saat itu sedang bercengkerama dengan istrinya diruang tengah sambil minum kopi, terhenyak kaget dan berlari kedepan rumah.
Ternyata sudah terlihat jelas di ujung jalan segerombolan warga membawa clurit, parang, kayu, dan batu berlari kearah desa kami. Entah apa yang sebenarnya terjadi, kolonel yang sejak mendengar teriakan tadi mengambil aku dari laci, membawa masuk istrinya dan keluar lewat pintu belakang. Belum sampai jauh berlari keluar rumah, ibu sudah terjatuh, kepalanya terkena batu nyasar yang dilemparkan oleh salah satu dari gerombolan tersebut. Usia yang telah lanjut rupa-rupanya telah membatasinya untuk dapat berlari kencang.
Serbuan mendadak itu rupa-rupanya telah membuat kolonel kebingungan apalagi melihat kondisi istrinya yang sekarang sudah berlumuran darah membuatnya cukup tergoncang. Kalau di masa penjajahan dulu sudah jelas siapa yang harus dilawan, tetapi untuk sekarang siapa yang salah, dan siapa yang harus dilawan sangat kabur. Tetapi kalau tidak melawan nyawa sendiri yang menjadi taruhannnya, dengan sikap yang cukup bijak kolonel memfungsikan aku dengan mengarahkan moncongku ke udara. Pelatukku siap ditekan dan “Dor”
Bunyi tembakan terdengar keras diangkasa, sesaat gerombolan itu berhenti berlari dan mulai mundur. Melihat situasi itu kolonel membopong istrinya berlari menjauh ketempat yang lebih aman. Kolonel sebenarnya mempunyai 3 orang anak. Namun rupa-rupanya dengan kondisi daerah yang tidak mendukung bagi karier mereka, anak-anak yang telah kesemuanya berumah tangga memilih berhijrah keluar pulau. Kolonel memang sebenarnya bukan berasal dari daerah ini. Dia berasal dari pulau jawa, yang tidak pernah menyebutkan nama kotanya. Mungkin karena sempat mempunyai kenangan pahit, saat terjadinya pergolakan merebut kemerdekaan. Kolonel sendiri yang saat itu sempat menjadi tawanan perang, dibuang ke pulau ini.
Akhirnya kami sampai disemak-semak hutan yang gelap. Yang terdengar hanya erangan kesakitan dan nafas kolonel yang terus memburu.
“Rasanya aku sudah tidak kuat pak”
Sambil menyangga kepala istrinya, kolonel tersebut hanya bisa diam terpaku melihat wajahnya yang sedang diabang maut.
“Kalau memang sesuatu terjadi padaku, anggap saja kalau ini semua adalah sebuah cobaan belaka.”
Tiba-tiba ada setetes air mata keluar dari pelupuk mata kolonel.
“Sabarlah istriku, sebentar lagi pagi sudah datang dan kita bisa ke puskesmas terdekat.”
Karena darah yang mengucur dari kepala terlalu banyak, akhirnya sebelum sampai puskesmas, istri kolonel sudah meninggal dunia. Kolonel tidak sempat menghubungi anak-anaknya karena situasi saat itu masih mencekam. Selain itu mungkin takut keadaan akan bertambah parah.
Seorang diri sudah sang kolonel dipulau ini, seperti pertama kalinya dia datang kesini. Hidupnya tak lepas dari situasi peperangan, entah apa yang sedang dia pikirkan sekarang, tatapannya yang tidak pernah gentar, menunjukkan dialah seorang kolonel sejati dari zaman penjajahan kompeni sampai sekarang zaman pertarungan ideologi.
Aku sendiri tidak menyangka menjadi berpindah kepemilikan ke tangan kolonel ini. Aku dulu milik seorang saudagar kaya raya dari melayu. Umurku memang sudah lama sekali hampir 120 tahun yang lalu. Setiap pedagang saat itu minimal mempunyai dua atau empat pengawal yang bertubuh kekar. Yang setia mengikutinya kemanapun tuannya pergi. Karena tak jarang saudagar-saudagar tersebut melakukan perjalanan yang cukup jauh, berlayar dari pulau satu kepulau lainnya. Sehingga senjata untuk melindungi diri dan harta bendanya sangat dia perlukan. Aku dulu jarang sekali digunakan oleh empunya diriku. Karena pengawal-pengawalnya sudah cukup mampu mengatasi keadaan kalau perampokan tiba-tiba terjadi.
Sampai pada akhirnya ketemu dengan kolonel yang sedang menjalani masa pembuangan di pulau ini. Kolonel yang saat itu sedang tidak mempunyai harta benda satu pun meminta pekerjaan kepada sang saudagar melayu. Dari situlah perkenalan dengan saudagar melayu kaya raya mulai terjalin. Hubungan antara tuan dan buruh terjalin dengan baik. Karena sang kolonel memang tipe seorang spekerja keras. Hingga akhirnya ketika sang saudagar hendak kembali ke negeri asalnya, dia hanya dapat memberikan kenang-kenangan sebuah pistol yang tidak lain adalah aku sendiri, dengan hanya diberi lima peluru didalamnya. Entah apa maksud dari sang saudagar memberi kolonel kenang-kenangan sebuah pistol.
Untunglah sang kolonel memang seorang yang tepat untuk diberi sebuah pistol. Dia tidak pernah menggunakan aku, seperti sang saudagar memperlakukan aku dulu. Kolonel hanya memfungsikan aku tidak lebih hanya sebuah benda kenang-kenangan dari seorang sahabat yang harus dijaga dan dirawat. Namun sejak kejadian kemarin ternyata aku bukanlah sebuah benda yang hanya mengingatkan akan sebuah kenangan ke masa lalu. Tetapi aku telah menjadikan pemiliknya mempunyai rasa percaya diri akan ancaman musuh. Dan menjadikannya tetap tidak mundur dalam situasi konflik.
Tetapi aku sendiri ngeri jika harus membayangkan, aku melukai seseorang yang tidak bersalah. Aku akan bangga jika aku dapat membantu Negara yang sedang terjajah menuju kemerdekaannya. Aku akan sangat senang peluruku menembus perut-perut para koloni yang telah memakan hak hidup rakyat.
Bagaimana jika nanti peluruku mengucurkan darah dari perut-perut orang bumi pertiwi ini?
Bagaimana jika peluruku nanti menembus dinding-dinding kulit seorang bapak yang ditunggu istri dan anak-anaknya di rumah?
Bagaimana jika tiba-tiba peluruku mengenai kepala anak-anak yang sedang berangkat sekolah untuk mengejar impian-impiannya?
Atau seorang ibu hamil yang sedang menanti kelahiran anaknya?
Walau aku hanya sebuah pistol tua yang tidak sedasyat ledakan sebuah rudal Yakhont buatan Rusia, atau rudal Harpoon yang biasanya sering digunakan AS untuk menghalau siapapun yang mencoba menghalangi misinya. Namun kalau sampai ada peluru yang keluar dari moncongku, bisa saja seorang istri akan menjadi janda. Atau sepasang kekasih akan kehilangan orang yang sangat dicintainya. Hancurkanlah aku sebelum ada orang yang kehilangan senyum dan tawanya.
Hari ini sudah terhitung tiga hari sejak kejadian kemarin, tetapi situasi tampaknya masih terasa cukup tegang, tentara dari TNI sudah mulai berdatangan. Senapan laras panjang selalu mereka bawa kemana-mana. Seolah-olah siap meledakkan setiap kepala yang akan melawannya. Rupa-rupanya konflik ini muncul karena ada sekelompok warga yang tidak puas oleh hasil pemilihan walikota di daerah ini. Selain menghancurkan kantor panitia pemilihan rupa-rupanya warga yang tidak puas juga menyerang daerah simpatisan partai terpilih, kebetulan memang di desa kolonel ini sebagai basis utama.
Suasana kembali tegang ketika tiba-tiba ada seorang anak yang lari dengan menjerit ketakutan. Rupa-rupanya diperempatan jalan sebelum masuk desa kami sedang terjadi lagi pertikaian antar waraga. Kolonel mendengar keterangan dari anak tersebut langsung lari kearah terjadinya konflik. Rupa-rupanya suara teriakan kembali menyelimuti pertikaian tersebut. TNI yang ditugaskan untuk mengamankan hanya bisa menggunakan tembakan peringatan. Kolonel saat itu sudah mulai mengeluarkan aku dari sakunya.
Bila bisa aku mengatakan,”Tolong jangan paksakan aku untuk membunuh sesame teman, sahabat, kerabat, suku yang selama ini telah senasib dalam Negara ini. Hancurkan saja aku biar darah tidak mengucur lagi ke bumi pertiwi….biarlah aku hanya menjadi pistol tua sebagai pajangan dari sebagian koleksi dari seorang kolektor.”
Senja kembali menaungi langit sore ini. Menghantarkan sore pada malam dan menunjukkan waktu bagi burung-burung untuk kembali ke sarangnya. Waktu memang tidak kenal kompromi sesaat saja kita lengah maka jangan samapai menyesal jika dia telah merenggutmu. Tak kusangka semua berakhir setragis ini kolonel, kamu mengabulkan doaku tetapi sebaliknya kamu sendiri yang terluka. Sebilah pisau telah mengucurkan darah dari lehermu. Lemparan-lemparan benda tajam memang sesaat tidak bisa dihentikan. Dan ternyata itulah akhir dari hidupmu. Menjadi korban kesalahpahaman yang tidak akan mengharumkan namamu, seperti bila kamu gugur dimedan perang. Semuanya hanya sia-sia….
Akupun belum ditemukan oleh siapapun karena langit hitam sudah menyelimuti kota ini. Malam ternyata sudah beraksi, dan bintang hanya menunduk malu, dan aku tahu masih ada empat peluru di dalam diriku.
Malang , 12 Februari 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)