Tuesday 23 November 2010

“DARAH ITU MERAH, JENDERAL”

“DARAH ITU MERAH, JENDERAL”

Cerpen Seno Gumira Ajidarma


SEORANG jenderal pensiunan mengenang masa lalunya yang gemilang. Ia meluruskan kakinya di kursi malas di tepi kolam renang yang biru. Air masih menetes-netes dari tubuhnya yang tegap. Diraihnya segelas fruit punch dari meja berpayung itu, ditenggaknya sampai tandas, dipasangnya kacamata hitam sang jenderal berbaring diterpa cahaya matahari.

“Sekarang aku tidak perlu takut ditembak,” katanya dalam hati, kepada dirinya sendiri.

Memang tidak ada alasan untuk takut ditembak. Ia berada di rumahnya sendiri. Sebuah rumah yang besar dan luas dengan tembok tinggi di sebuah kompleks perumahan mewah. Tidak sembarang makhluk bisa keluar masuk dengan gampang di kompleks itu. Hampir di setiap belokan terdapat portal, lengkap dengan satpam, dan toh kalau ada ninja bisa melewati tembok yang dilengkapi kawat berduri dan tempelan pecahankaca seperti itu, maka sang jenderal yang memiliki naluri seorang prajurit sejati akan siap menembaknya. Baginya, menembak tepat dari jarak 50 meter bukanlah soal yang terlalu besar.

Ia pernah masuk Koran karena menembak maling. Ia menembak maling itu pada kakinya.

“Baru menembak kaki maling saja jadi berita,” pikirnya ketika itu, “Bagaimana kalau mereka tahu bagaimana kami bertempur?”.

Tapi, kini mereka akan tahu bagaimana ia berjuang di medan perang, karena – seperti juga rekan-rekannya – ia sedang menulis memoir, buku kenang-kenangan tentang perjuangan hidupnya.

“Hidup adalah perjuangan,” ujarnya, suatu ketika, pada seorang wartawan,” Dan perjuangan seorang prajurit sejati, adalah perjuangan antara hidup dan mati.

Banyak anak buah Anda yang kini jadi pejabat, sedangkan Anda tidak, ada perasaan kesal?

“Kenapa sih? Namanya dunia kan begitu. Masa’ saya harus iri?”

Anak-anak Anda berbisnis?

“Tak ada yang jadi tentara. Semua kerja di swasta. Yah, pengusaha kecil-kecilan. Pensiunan kan sudah tak bisa memberi fasilitas.”

Tidak memakai fasilitas anak buah yang kini jadi pejabat?

“Ah, malu. Iya kalau dikasih, kalau tidak kan malu. Walau sudah lumarh di sini, tapi tidak saya lakukan. Ya ada yang membantu, satu dua orang. Tapi kan terbatas juga. Namanya juga manusia, ada yang lupa, padahal dulu ngemis-ngemis ikut saya. Setelah jadi orang hanya memikirkan grupnya dia saja. Macam itulah.

Waktu masih menjabat banyak sabetannya dong?

“Bukan sabetan, itu namanya take and give. Jangan katakan itu tempat “basah”. Kalau saya menentukan persentase, itu baru basah dan saya salah. Kalau dikasih ya terserah, itu rezeki. Demi Tuhan saya bersumpah, saya tidak pernah memeras orang. Tapi kalau dikasih stick golf ya diterima. Terus terang saja. Ya, masa’ kalau jadi pejabat tidak dapat hal yang begitu. Jujur saja.

Pejabat kan kayanya dari situ. Gaji kecil, tapi tip-nya yang gede.

Tip Anda banyak ketika itu?

“Lho, jujur saja memang begitu. Sekarang saya punya rumah, punya mobil itu semua dikasih. Saya tidak malu. Ada orang datang sambil bilang, ‘Pak ini mobil, terima kasih saya dikasih proyek.” Saya terima saja, tidak malu.” *)

Tubuhnya sudah kering, diraihnya Koran International Herald Tribune yang segera dibacanya dengan perasaan memamah sepotong keju. Jenderal itu orang lapangan, tidak tertarik pada politik, dan tidak cocok dengan pekerjaan administratif.

“Seorang prajurit diuji di lapangan,” ujarnya.

“Bukan di belakang meja.”

Hidupnya memang habis di medan tempur. Sejak umur belasan tahun ia sudah ikut tempur dalam perang kemerdekaan. Sebelum akhirnya direkrut menjadi tentara. Setiap kali ada pemberontakan ia selalu diterjunkan untuk memadamkannya. Ia hampir selalu dikirim, karena setiap tugas yang dibebankan padanya selalu beres.

Dalam suatu operasi penumpasan, pasukannya dihajar bazooka. Kepalanya kena pecahan peluru.

“Hampir mati waktu itu, tapi tidak jadi.”

Setahun lamanya ia dirawat. Rasanya bosan sekali. Kini bekas luka di pelipis kanannya bagaikan bintang tanda jasa yang bersinar-sinar. Tidak semua orang bisa menjadikan luka sebagai kebanggaan. Pensiunan jenderal itu bangga dengan luka-luka yang didapatnya dari medan pertempuran. Seringkali ia berpikir, tiada pekerjaan yang lebih mulia selain menjadi tentara. Ia berpendapat menjadi tentara itu mulia, karena dengan menjadi tentara seseorang telah menyerahkan nyawanya. Menjadi tentara itu lebih dari sekedar sebuah profesi.

“Huuaahhh!”

Jenderal itu tiba-tiba membuang Koran yang sedang dibacanya.

“Berita itu lagi! Berita itu lagi!

Sudaha lama memang merasa muak membaca berita itu.

Apa yang mereka ketahui tentang risiko kehilangan nyawa, pikirnya, apa yang mereka ketahui tentang bagaimana rasanya dikepung musuh di medan tak dikenal dan dibantai tanpa kenal ampun?

“Daerah itu kita rebut dengan mengorbankan beribu-ribu nyawa, apa sekarang kita harus menyerahkannya kembali?”

Koran dan wartawan, kertas dan pena, baginya itu kerja yang tak sebanding dengan menghadapi peluru berdesing-desing. Sudah lama ia merasa kesal. Kesal terhadap wartawan, kesal terhadap diplomat, kesal terhadap politisi, kesal terhadap para mahasiswa.

“Mereka tahu apa? Bisanya Cuma ngomong doing! Mereka tahu apa tentang keluarga tentara yang ditinggal mati, tentang menjadi cacat tanpa kaki dan tanpa tangan, tentang perjuangan tanpa pamrih yang dilecehkan sebagai penindasan? Ini penghinaan! Wilayah itu kita istimewakan, kita bangun lebih cepat dari wilayah-wilayah lain, kok malah dibilang menjajah! Kok dibilang mau memusnahkan bangsa! Apa-apaan?”

Jenderal itu beranjak, dan …. Byuurr! Ia melompat ke kolam renang, bagai mencoba mendinginkan hatinya yang panas. Ia berenang bolak-balik seperti ikan, kadang-kadang menyelam, ia ingin mengeyahkan segala soal yang telah mengganggu ketenangannya. Ya, ketenangan seorang pensiunan jenderal. Ia tak habis mengerti kenapa pengorbanan darah dan air mata bisa menjadi salah.Aku akan membongkar semuanya dalam memoirku nanti, batinnya menggerutu. Ia ingin mengungkapkan bahwa kehidupan seorang tentara itu hanya berjuang, berjuang, dan berjuang. Jenderal itu masih berenang ketika langit mendadak berubah menjadi kelabu tua. Mendung menggumpal dan segera saja hujan menitik, mula-mula gerimis, tapi dengan cepat bagaikan ditumpahkan dari langit. Namun jenderal itu tidak peduli. Ia berenang terus dalam hujan. Ia menyelam. Muncul lagi, dan segera mengerti bahwa ia belakangan ini menjadi terlalu cepat marah karena kurang pekerjaan. Tepatnya –tidak pernah lagi bertempur. Betapa sepinya hidup tanpa pertempuran. Maka ia pun berenang, berenang, dan berenang, lantas berjemur di kursi malas, sambil sesekali menerima telepon dari teman-teman seperjuangannya di medan perang.

Kini ia berenang di bawah hujan deras yang tetesannya mengingatkan pada desingan peluru di medan tempur. Ia sudah terlanjur kecanduan situasi krisis, hanya dalam ketegangan ia merasa hidup, hanya dalam bahaya ia merasa tenang. Kepuasan hidup dicapai ketika mengalahkan musuh, dan untunglah sejarah memberikan peran padanya sebagai pihak yang menang. Dalam hujan ia berenang, dalam hujan ia terkenang seribu satu pertempuran yang telah diarunginya – apa boleh buat, sejarah hidupnya adalah perjalanan mengarungi lautan darah.

“Jenderal! Presiden musuh sudah tertawan!”

“Siapa?”

“Ribalta!”

Ia teringat presiden musuh yang tertawan itu. Begitu kumuh, begitu lusuh – orang seperti ini presiden?

“Orang seperti ini presiden?”

“Hahahaha!”

“Hahahaha!”

“Hahahaha!”

Nasib orang itu tidak terlalu bagus. Para pemenang dengan segera berfoto bersama tawanan yang tubuhnya penuh lubang. Mayat itu mereka pasangi topi dan mulutnya dipasangi rokok. Mereka berfoto bersama seperti para pemburu berfoto bersama macan hasil buruan.

Ia sudah lupa berapa banyak jiwa telah diterbangkannya ke langit. Aneh, baru sekarang ia sadar, cukup banyak juga darah ditumpahkannya – lewat peluru, dinamit, mortar, granat dan bom. Celakanya yang disebut musuh tak selalu tentara, tak selalu bersenjata, dan tak selalu seperti orang yang sedang memberontak, tapi sama berbahayanya, jadi harus disikat juga.

Jenderal itu masih berenang dalam hujan. Kolam renangnya berubah jadi merah. Mula-mula seperti kecampuran sirop. Tapi kemudian mengental. Sang jenderal berenang dalam lautan darah. “Darah itu merah, jenderal,” katanya pada diri sendiri.

Dalam hujan, yang makin lama makin menderas, jenderal pensiunan itu berenang dengan tenang, dengan perasaan yang sangat santai. “Memang, sudah waktunya aku pension,” pikirnya lagi.

Jakarta, Februari 1994

_______
*) Petilan dari sebuah wawancara dalam rubrik Sebagian Kehidupan, majalah Jakarta Jakarta No. 368, 24-30 Juli 1993. Namun cerpen ini, tentu saja, tetap sebuah cerpen.

No comments: