Wednesday, 17 November 2010

Gerhana Mata

Gerhana Mata


Malam selalu memberi ketenangan. Banyak kenangan yang begitu mudah dikais dalam ruang-ruang kegelapan. Kenangan yang memang hanya layak mendekam dalam gelap itu seolah mengacung-ngacungkan telunjuknya meminta waktu untuk diingat setiap kali malam bergulir, di atas pembaringan tanpa kekasih yang tak akan hadir.

Banyak orang yang begitu takut pada malam. Pada gelap. Pada sesuatu yang membuat mata kita seolah buta dan mau tak mau harus meraba-raba. Membuat jantung mereka berdegup lebih kencang. Membuat mereka tak tenang. Membuat mereka rela menukar ketidak-tenangan itu dengan harga listrik walaupun harganya semakin tinggi menjulang.

Tapi saya selalu merasa malam memberi ketenangan. Semakin gelap semakin ramai. Hampir menyerupai pasar malam yang ingar bingar namun tanpa penerangan. Sehingga saya tak pernah merasa ketakutan. Tak pernah merasa tak tenang. Sepanjang mata memandang, hanyalah kegelapan. Tubuh kelihatan amat samar. Namun, suara-suara begitu jelas terdengar. Begitu dekat. Sedemikian dekat sehingga aroma napas si empunya suara itu di hidung terasa melekat. Mata saya mulai merapat, semakin gelap, semakin semuanya akhirnya begitu terang terlihat.

Mungkin karena itulah saya begitu membutuhkan cinta. Seperti malam. Seperti gelap. Cinta pun membutakan. Saya tidak butuh kacamata matahari demi mendapatkan gelap di kala siang menyala. Saya tidak perlu menutup semua tirai dan pintu serta menyumbat sela-sela terbuka yang membiarkan cahaya menerobos masuk supaya kegelapan yang saya inginkan sempurna. Saya hanya perlu mencinta dan dengan seketika butalah mata saya.


Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata. Orang-orang menamakannya cinta buta. Apa pun namanya saya tidak peduli. Saya hanya ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya ingin melihat apa yang ingin saya lihat. Dan hanya ialah yang saya ingin lihat, sang kekasih bak lentera benderang dalam kegulitaan pandangan mata saya. Dari sinarnyalah saya mendapatkan siang yang kami habiskan di ranjang-ranjang pondok penginapan. Saling menatap seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling bertatapan. Saling menyentuh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling bersentuhan. Dan melenguh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling mengeluarkan lenguhan.

Di saat-saat seperti itu, di kebutaan seperti itu, saya tak perlu meraba-raba. Tak pernah ada waktu untuk berpikir apa yang akan terjadi di hari esok. Apakah benar masih ada hari esok. Atau apakah masih perlu akan hari esok. Walaupun tidak jarang kebutaan yang memabukkan itu terganggu oleh suara-suara dari luar dunia, seperti suara-suara ponsel yang berdering tak henti-hentinya, namun dengan seketika gerhana mata bekerja. Suara-suara ponsel yang mengganggu itu berubah menjadi suara lagu. Lembut mendayu-dayu. Tak saya sadari lagi ketika tubuhnya pelan-pelan memisah dan menjauh. Tak terdengar suaranya yang sengaja dibuat lirih ketika menjawab panggilan telepon dan mengatakan kalau ia sedang tidak ingin diganggu dengan alasan penyakit lambungnya tengah kambuh. Saya tetap merasakan tubuhnya melekat. Saya tetap mendengar suaranya melantunkan senandung yang membuat saya merasa itulah saat terindah untuk sekarat. Saya masih melihat matanya sedang menatap. Mata yang seperti mengatakan bahwa tidak ada siapa pun di dunia ini yang berarti kecuali saya. Tidak ada apa pun di dunia ini yang lebih penting dari saya. Mata saya pun semakin buta. Dicengkeram gerhana. Semakin kabur. Semakin dalam ke muara cinta tubuh ini tercebur.

Kami hanya bertemu kala siang. Kala api rindu sudah semalaman memanggang. Kala segala garis maupun lekukan amat nyata terlihat dengan mata telanjang. Segala garis maupun lekukan itu selalu diikuti bayang-bayang. Dan dalam bayang-bayang itulah kami betemu dan bersatu. Di sanalah kami saling menjamu keinginan antara satu dengan yang satu.

Banyak yang mempertanyakan. Kenapa saya bertemu hanya kala siang? Kenapa tidak pagi atau malam? Karena buta, saya bilang. Dalam kebutaan saya bisa mengadakan apa pun yang saya inginkan. Tak terkecuali pagi. Tak terkecuali malam.

Banyak yang tambah mempertanyakan. Kenapa harus buta? Kenapa tidak menggunakan mata asli demi melihat pagi asli atau malam asli. Kenapa harus menciptakan buta yang tak asli? Karena cinta, saya bilang. Dalam cinta saya bisa merasakan segala sesuatunya asli, walaupun di kala pagi dan malam yang tak asli.

Terus terang, saya tidak pernah dapat memastikan apakah pertanyaan-pertanyaan itu asli. Kadang saya merasa pertanyaan-pertanyaan itu tidak datang dari orang-orang, melainkan datang dari diri saya sendiri. Sehingga saya pun tak dapat memastikan apakah jawaban saya asli. Karena tidak mungkin sesuatu yang asli lahir dari yang tak asli.

Namun lagi-lagi perasaan ini terasa asli. Walaupun kami hanya bertemu kala siang, atau kala pagi dan malam yang tak asli. Kalimat di bungkus kondom “ASLI, SERATUS PERSEN ANTI BOCOR” yang kami robek sebelum bercinta pun asli. Hangat kulitnya yang tak berjarak. Gerakan tubuhnya yang sebentar menarik sebentar menghentak. Bunyi ranjang berderak. Jantung keras berdetak. Suara yang semakin lama semakin serak, adalah asli. Membuat saya selalu merasa tak pernah cukup dan ingin mengulanginya kembali.

Saya tahu, saya akan bisa mengulanginya lagi. Tapi dengan satu konsekuensi. Harus mengerti statusnya sebagai laki-laki beristri. Bertemu kala siang, bukan kala pagi atau malam hari. Kala siang dengan durasi waktu yang amat sempit. Bukan kala pagi atau malam hari yang terasa amat panjang dalam penantian dan rindu yang mengimpit. Membuat saya kerap merasa terjepit. Antara lelah dan lelah. Antara pasrah dan pasrah. Saya terjebak dan berputar-putar pada dua pilihan yang sama. Saya jatuh cinta.

Andai saja saya bisa mendepak cinta dan menghadirkan logika, mungkin tak akan seperti ini saya tak berdaya. Mungkin suara-suara yang kerap menghantui dengan pertanyaan dan jawaban akan lain bunyinya. Mungkin malam akan membuat saya takut. Dan dengan tubuh lain ke dalam selimut saya akan beringsut. Juga tak akan ada siang di mana saya meradang dan menggelepar atas tubuh yang menyentuh di atas seprai kusut lantas terhenti oleh dering panggilan ponsel yang membuat satu-satunya fungsi pada tubuhnya yang mempersatukan tubuh kami jadi menciut.

Mungkin?

Mungkin satu saat nanti ia akan mengalami gerhana mata seperti saya. Dan kami bisa tinggal dalam satu dunia yang sama. Tak bertemu hanya kala siang. Tak menunggu kala pagi dan malam. Tak ada pertanyaan mengapa hanya bertemu kala siang. Bukan kala pagi atau malam. Tak ada jawaban karena cinta membutakan saya. Diganti dengan jawaban, karena cinta telah membutakan kami berdua.

Mungkin?

Enam tahun sudah waktu bergulir. Sejak kemarin, di jari manis kanan saya telah melingkar cincin dengan namanya terukir. Dalam kegelapan malam kedua mata ini menumpahkan air. Di atas pembaringan tanpa suami yang tetap tak akan hadir.***


Jakarta, 2 Oktober 2006


Cerpen Djenar Maesa Ayu (dimuat di Kompas, 05/20/2007)

No comments: