Friday, 12 November 2010

Jang Harus Dibabat dan harus Dibangun (II)

Jang Harus Dibabat dan harus Dibangun (II)

Pramoedya Ananta Toer

Bintang Timur (Lentera), 7 September 1962

Ada segolongan pengarang muda jang berpendapat bahwa dalam mengeritik sastra, orang tak boleh mengeritik pengarangnja. Sebenarnja, orang dapat menerima saran ini, sekiranja masjarakat dan manusia Indonesia adalah masjarakat dan manusia jang telah mendapatkan bentuknja, djadi bukan dalam periode transisi jang sedang membentuk dan membangun diri. Dalam periode ini sastra bukan hanja meneruskan jang sudah ada, djuga sebagaimana halnja dengan masjarakat dan manusianja, sedang membentuk dan membangun diri. Tugas sastra sangat penting peranannja dalam masa ini. Karena itu djuga setiap pengarang jang tugasnja adalah mempengaruhi djalannja pembentukan dan pembangunan diri itu harus djelas, karena bila pengarang itu seorang gelandangan tanpa tujuan, seorang nabi dari adjaran jang terkenal dengan nama "filsafat iseng" mau tak mau karjanja akan meninggalkan kotoran2 hitam dalam proses pembentukan dan pembangunan diri jang dalam djaman modern ini harus berdjalan serba tjepat, efisien dan selamat untuk dapat segera setaraf bahkan melampaui negara2 jang sudah lama menikmati kemerdekaan nasional.

Ada seorang pengarang remadja jang pernah melontarkan tanja: "Mengapa pengarang jang satu mesti gulingkan pengarang lain? Bukankah dua2nja djuga tjari duit?" Dengan mudah orang dapat menangkap bangun dan wudjud tanggapan pengarang remadja ini atau fungsi sastra sebagai sumber penghasilan doang, ia belum tahu, mungkin djuga tidak mau tahu tentang fungsi sosialnja dan lebih tidak tahu lagi tentang sedjarah sastra Indonesia itu sendiri, jang setjara tradisional berdjuang melawan penindasan, kezaliman, baik diluar maupun dalam rangka imperialisme kolonialisme. Pertanjaan itu kemudiannja: "kalau hendak menandingi madjalah X terbitkanlah madjalah jang lebih baik dari X. Kalau hendak menandingi pengarang Z terbitkanlah karja2 jang lebih baik dari karja pengarang Z." Nasihat ini tidak baik bila dikatakan pada siswa, mahasiswa, guru atau mahaguru jang tjuma tahu sastra itu dari djurusan bentuk, teknik gajabasa, idea2 dan tjara pengungkapan, pendeknja dari segi ketukangannja. Tapi, baik guru maupun murid sastra dengan predikat atau tidak, paling mula harus mengetahui, bahwa setiap sobek kertas jang digunakan dalam penerbitan, adalah dibeli dengan devisen jang dihasilkan oleh keringat buruh dan tani jang notabene sudah kekurangan kemakmuran! Adalah munafik bilan hasil keringat jang terlalu mahal diperas dari massa besar pekerdja itu tjuma dipergunakan buat mentjetak keisengan perseorangan jang diberi prepetensi dan predikat "sastra." Sastra adalah bertugas. H. B. Jassin sendiri pernah merasa perlu menterdjemahkan tugas sastra ini pada tahun2 Revolusi Agustus dari karja Sartre, dalam "Mimbar Indonesia" sedang karja Sartre ini kemudian pun ditjetak pula didalam madjalah "Indonesia" (1949). Bahwa sastra memikul tugas, kini tak banjak lagi disangsikan orang. Pada awal tahun 1950-an sastra banjak kala dianggap sebagai tudjuan, sebagai mantra, suatu anggapan jang menjalahi realita.

Ada djuga seorang pengarang muda jang baru marak namanja pada hari2 belakangan ini berpendapat, bahwa kritik sastra harus dibatasi pada masalah sastra, tidak boleh keluar dari batas sastra. Pendapat sematjam ini sesungguhnja jang beberapa tahun jang lalu ikut membisingkan persoalan tentang PASTERNAK dalam pers Indonesia. Mereka pada ramai2 mengutuk US jang "menindas kebebasan sastra," tapi sama sekali tidak bitjara tentang fitnah DOKTER ZHIVAGO terhadap Revolusi Oktober. Mereka tidak pernah bitjara, bahwa Nobel buat PASTERNAK adalah hadiah buat fitnah jang terindah oleh politik, oleh tatatertib, sastra boleh berchianat asalkan dia bernilai sastra. Sastra hidup didalam segala matjam kejakinan. Tapi jang mana jang sastra, kalau sastra itu harus punja tugas? Dan tugas jang mana? Jang menentang atau jang membantu Rakjat, ataukah jang tak perduli pada Rakjat, tapi dalam pada itu hidup dari keringat Rakjat. Maka, kalau dalam alam Manipol, tidak lain dari BUNG KARNO sendiri jang mengatakan bahwa apabila "Rakjat marah kepada saja, marahilah saja, saja akan tundukkan kepala," maka benar2 suatu keanehan bila sastra dialam Indonesia jang sedang membangun diri ini bisa benarkan hidupnja sastra didalam segala matjam kejakinan, baik kejakinan jang merusak maupun jang membangun. Tragedi sastra sematjam ini ada di Indonesia dan sedang bermain dengan meriahnja. Malah dengan mudah orang dapat menjediakan timbangan buat mengkilonja mungkin djuga dengan sebuah baskule bila penerbitan pada umumnja jang harus ditimbang. Bila dibidang ini pada tahun 1953 GAJUS SIAGIAN pernah menulis PENERBITAN MEDAN dalam sebuah madjalah Belanda terbitan Amsterdam, jakni Medan sebagai sumber-penerbitan-tanpa-tugas kini kita dapat kemukakan 2 matjam pernerbit di Djawa ini jang luarbiasa aktifnja. Analisa dan Inmajorita. Dengan tjatatan, bahwa Inmajorita jang dibangun untuk membendung Manipol tidak ketahuan dimana alamatnja.

Mengapa ada pengarang-muda berpendapat bahwa kritik sastra harus bisa dibatasi pada masalah sastra? Tidak susah untuk dapat memahaminja. Pertama karena aktivita reaksioner jang bersumberkan djiwa reaksioner dengan demikian tidak mudah dikontrol dan didjeladjah dan dengan demikian pula boleh memperpandjang keamanan dirinja. Kedua karena pengadjaran sastra masih menderita kebolongan, terutama dibidang filsafah-sosialnja. Memang berat untuk menjadari bahwa pengadjaran sastra ternjata tidak punja batas, karena hidup itu sendiri jang djadi landasan sastra memang tidak berbatas, lebih luas dari laut dan langit, dan lebih dalam daripada samudra atau djurang.

Apabila falsafah-sosial telah umum dalam sistem pengadjaran kita, pastilah sudah, bahwa setiap peladjar apalagi pengarang, akan mengerti dengan sendirinja, bahwa sastra hanjalah bangunan atas jang tergantung pada basisnja, jakni kehidupan sosial, kamunal ataupun individual. Sastra sebagai bangunan atas akan bergerak bila basis bergerak, dia akan mendjulang bila basis mendjulang, dan demikian seterusnja. Lihatlah bangunan atasnja sadja! Djangan lihat basisnja! Mengapa orang dapat mengatakan demikian? Karena basisnja, basis individual patut mendapat perlindungan dari koreksi dan penghakiman mungkin djuga penghukuman.

Demikianlah, meremehkan kehidupan satra adalah djuga meremehkan adanja kekuatan jang harus dihidupkan dalam alam pembentukan dan pembangunan diri ini. Meremehkan ini bukan sadja berarti menghambat perkembangan kearah tertjiptanja masjarakat adil dan makmur dibidang spiritual , djuga melakukan penghamburan devisen jang dihasilkan oleh djerihpajah Rakjat. Meremehkan ini adalah djuga laku tidak mendidik masarakat dan Rakjat itu sendiri.

Didalam alam Manipol sastra Indonesia harus berani bebaskan matjam kritik jang menilai sastra tjuma dari perfeksi ketukangannja. Kritik sastra Indonesia dalam alam Manipol, harus bisa memaafkan kekurangan2 jang terdapat didalam ketukangan, bahkan harus mengisi kelemahannja, tapi basis politik, basis ideologi sama sekali tidak boleh meleset. Basis sastra Indonesia adalah masjarakat dan manusia Indonesia jang sedang berkelahi dan berdjuang memenangkan keadilan dan kemakmuran. Itulah basis jang benar. Jang diluar itu adalah kuriosita atau keanehan belaka. Memang ada segolongan orang jang menilai sastra dari keanehannja, dari ketidak-samaannja dengan jang umum. Tapi bila jang demikian djadi ukuran, atau salah satu ukuran, objek2 penulisan sangat mudah didapatkan dirumahsakit2 gila.

Jang harus dibabat & harus dibangun
Oleh : Pramoedya Ananta Toer
Bintang Timur (Lentera), 12 Oktober 1962
PERDJALANAN JANG LAMBAT DARI SASTRA INDONESIA
Tidak bisa dikatakan, bahwa Indonesia tak punja tradisi sastra jang pandjang dan sangat tua. Sastra daerah jang begitu berkembang, terutama di Djawa, Sunda, Bali dan Sulawesi Selatan-Tengah, Atjeh, Minang, Lampung dts. sebenarnja telah dapat dikatakan djaminan dari adanja basis jg baik bagi kehidupan sastra modern. Dari tradisional kearah modern memang terdapat berier histori jang tebal jang melingkupi pandangandunia, sikap, volume aindex pengetahuan, resonansi hubungan internasional, penggarapan atas pengaruh2 pada generasi2 sesudahnja. Karena itu adalah tdk benar, bila tradisi hanja bersifat mengulang dan memamahbiak jg sudah ada serta membajangkan perkembangan jg modern. Perdjalanan sastra modern Indonesia semestinja tidak lambat. Tapi mengapa lambat?

MENENGOK KELUAR BARANG SEDJENAK
Negeri2 Asia lainnja djauh lebih madju daripada Indonesia pada masa2 sebelum perang dunia ke-II. India telah dimahkotai hadiah Nobel karena tjerpen2 Tagore. Singapura dan Malaja serta Vietnam (ingat sdja pd Pierre Do-Dinh), tapi dimasa sebelum Perang Dunia II itu, Indonesia baru menjumbangkan HIKAJAT KANTJIL, surat2 Kartini, dan karja Multatuli jang notabene adalah pengarang Belanda.

MENGAPA?

Apakah sebab semua ini?

Mula2 sekali dapat dinjatakan disini, karena perkembangan ilmu pengetahuan sebelum perang dunia-II tidak menggembirakan di Indonesia. Penemuan2 keilmuan dapat dihitung dengan djari2 tangan dan kaki, sedang penemuan2 jang dilakukan oleh bangsa Indonesia malah bisa dihitung dengan djari2 sebelah tangan. Dalam pada itu kosmopolitisme meradjarela dikalangan kamu intelektual, sehingga ketjintaan dan watak kebudajaan sendiri serta raut2nya menjadi mendatar. Pendalaman2 jang bersungguh2 atas man[s]alah2 nasional tidak berkembang, achirnja pun ketjinta[a]n dan pengetahuan tentang ma[n]usia Indonesia (djadi termasuk kondisi, posisi, situasinja) djadi mendatar pula. Gerakan kebudajaan "Budi Utomo" pada permulaan abad ini tidak bisa dikatakan telah diselesaikan dengan baik, terutama setelah "budi Utomo" melakukan lompatan kearah kepartaian dan mentjoba mendampingi "Sarekat Islam" serta "Indische Partij" tanpa mengurangi djasa2nja bagi sedjarah.

Terutama kos[mo]politisme jang tak terlawankan pada waktu itu, dan tidak begitu disadarinja akan bahajanja pada masa2 djauh kemudian hari, telah banjak mendjerumuskan kaum intelektual Indonesia dalam tjara pengurangan-barat. Sedang kebangunan negeri2 Asia lainnja jang sangat sedikit diperkenalkan di Indonesia sebagai akibat dari politik pemberitaan Hindia Belanda, menjebabkan kaum intelektual Indonesia kehilangan sesuatu jang sangat dibutuhkannja, jakni: bahan perbandingan. Tidaklah mengherankan apabila Kartini pernah menjatakan keheranannja, bahwa wanita berwanapun (maksudnja Pandita Ramabai) boleh dan dapat madju.

Politik pengadjaran Hindia jang terang2an mengsabat kemadjuan bangsa Indonesia dapat dikatakan biangkeladi timbulnja dari semut faktor tsb. sedang kaum feodal sebagai penguasa kedua di Hindia, dan berkompromi tanpa malu dengan Belanda. Telah berhasil dalam kurun jang sangat pandjang menikmati kemadjuan sebagai haknja, lebih dari golongan dan manapun dalam masjarakat. Maka watak penguasa, dan watak komprominja dengan pendjadjah pun membikin kaum intelektualnja sedemikian rupa, tidak mempeladjari wudjut dari masjarakatnja sendiri.

Maka djuga sastra Indonesia jg lahir dimasa itu praktis tidak dibatja oleh kaum intelektual jg karena kosmopolitismenja lebih suka membatja lektur asing. (Nasib sastra Indonesia pada waktu itu hampir dapat disamakan dengan nasib film Indonesia dewasa ini). Dengan demikian sastra Indonesia merupakan konsumsi bagi pembatja jang nisbiah kurang mempunjai persiapan dan aspresiasi. Sebuah polemik tnt karja MARCO berdjudul MATA GELAP jang menggelumbang hampir keseluruh pers di Djawa pada tahun 1914 membukakan pada kita satu pintu buat menindjau pedalaman sastra pada waktu itu, jang tak dapat dikatakan menjenangkan, dibandingkan dengan jang telah ditjapai oleh India ataupun Tiongkok. Satu kalimat diantara sekian banjak polemik jang menuduh MARCO merasa berkepala besar seakan sudah sebesar MULTATULI merupakan satu titik pula jg memberikan kemungkinan pada kita untuk menilai kader kosmopolitisme pd masa itu.

TANPA SEDJARAH SULIT
Dalam keadaan dimana fakta2 tidak menarik perhatian, amatlah muskil utk bisa mengharapkan lahirnja penjusunan fakta itu sendiri, mempeladjari perkembangannja, menjusun sedjarahnja, dan merumuskan filsafat-sedajrahnja. Sedang tanpa adanja sedjarah ini, perkembangan sastra untuk selandjutnja merupakan perdjalanan didalam kegelapan. Orang tak melihat titik tudjuan. Sekalipun sedjarah sastra Indonesia sampai dewasa ini baru berumur lk. 62 tahun, suatu perdjalanan jang tak dapat dikatakan pandjang, namun, terlalu sedikit jang telah diketahui umum tnt sedjarah sastra itu sendiri. Dan sedikitnja pengetahuan sedjarah ini djuga jang menjebabkan untuk sekian lama Balai Pustaka, badan penerbitan pemerintah djadjahan jg bertugas untuk mengimbangi satra perlawanan, bisa dianggap sebagai titiktolak sedjarah sastra modern Indonesia. Dari sini pula kita dapat memahami mengapa dalam masa gentingnja nasib revolusi bisa terdjadi seorang tjerpena mengumumkan tjerpennja tnt sang tikus jang menggerogoti bukunja, dan seorang kritikus menelaah serta memudji tjerpen tsb. (1949). Pun kita bisa mengerti mengapa banjak peminat sastra, sastrawan dan kritikus menolak unsur politik memasuki gelanggang sastra. Tidak mengherankan karena titiktolak sastra Indonesia jang sedjak tahun 1901 begitu militan menentang dan melaan pendjadjahan itu, tidak dilihatnja dalam kegelapan itu.

KETIDAKDJELASAN SEDJARAH DAN NILAI KRITIK:
Ketidakdjelasan sedjarah menjebabkan nilai kritik sastra pun mendjadi tidak djelas, karena tidak mempunjai pegangan, dan dengan sendirinja djuga ukuran tentang apa sebenarnja jang sudah terdjadi djauh sebelum itu. Sedang pada pihak lain pun meragukan kemampuannja untuk melihat perspektif dan haridepan sastra Indonesia.

Dalam situasi demikian, mau tak mau kita terpaksa terima setiap kritik sastra dengan reserve, karena kritik sastra jg mungkin telah diambil umum sebagai ukuran untuk masa kini, bila dimasukkan dalam vorm sedjarah sastra itu sendiri bisa tjuma sementara sadja maknanja.



Source:
http://www.radix.net/~bardsley/jang2.html




Hatiku selembar daun...

No comments: