Sunday, 14 November 2010

LUKISAN PERKAWINAN

LUKISAN PERKAWINAN

Cerpen Hamsad Rangkuti



Kecurigaan sudah lama mengganggu ketentraman hidup Jody Sutisna. Ia membayangkan yang tidak-tidak tentang apa yang terjadi di rumah ketika ia berada di kantor. Ia mula-mula membantah kecurigaan yang menghinggapi pikirannya itu. Bukankah cinta itu sendiri telah membuahkan tiga anak yang mereka kasihi? Apakah mungkin penyelewengan itu dimulai oleh campur tangannya dokter untuk tidak terjadinya pembuahan di rahim para wanita? Mereka memberikan obat-obat kepada kaum ibu untuk menghentikan kelahiran. Mereka menjadi cantik kembali. Mereka lebih banyak punya waktu untuk menghias diri. Mereka tidak diganggu oleh kesibukkan untuk mengurus anak-anak. Mereka lalu menghabiskan waktu untuk mempersolek diri. Pada mulanya mereka melakukan itu untuk mengikat suami agar betah tinggal di rumah. Tetapi lama-kelamaan mereka melakukan itu untuk memikat kekasih-kekasih gelap mereka. Mereka mempersolek diri untuk dua sasaran sekaligus. Untuk sang suami dan untuk para kekasih gelap mereka. Begitulah pada mulanya terjadi seperti hal yang tidak sengaja. Tetapi lama-kelamaan cinta telah terbagi. Hati telah terpecah. Mula-mula terpecah menjadi dua. Dan sehari ke sehari hati terpecah sudah tidak seimbang.
Kepingan-kepingan baru telah bertambah lebih banyak berpindah dan kepingan sang suami ke kepingan kekasih gelap. Sampai akhirnya mereka telah berani berpihak kepada yang baru. Menemukan kekurangan-kekurangan yang lama. Kelemahan-kelemahan maupun kejelekkan sang suami sudah tampak jelas terpapar di hadapan sang istri. Kalau sudah sampai ke taraf demikian, seorang dan keduanya harus mengalah. Seseorang harus melepaskan sesuatu yang telah menjadi miliknya, atau memusnahkan keduanya sama sekali. Pikiran itulah yang telah mengganggu Jody Sutisna pada akhir-akhir ini. Mana yang harus dilakukan. Mengusir si istri bersama pelukis itu, atau membunuh keduanya sekaligus.
Kecelakaan yang datang menimpa keluarga Jody Sutisna diawali oleh keterampilannya menembak seekor macan di tengah rimba. Macan itu persis tertembak di antara kedua matanya. Ia bergambar dengan hasil buruannya di tengah rimba. Teman-teman seperburuannya mengambil foto itu untuk mengabadikan Jody Sutisna dengan bangkai binatang hasil buruannya. Jody Sutisna di dalam foto itu mengangkat sebelah kakinya menginjak tubuh macan yang telah mati tergeletak di antara semak belukar. Beberapa bulan kemudian, timbul pikirannya untuk membesarkan potret itu. Dia adalah orang yang mampu. Dia bisa membayar seorang pelukis untuk membesarkan potret itu dalam ukuran yang besar. Dia merencanakan memajang lukisan itu kelak di atas bangkai macan yang telah diawetkan itu di ruang tamu. Pasti para tamunya sesama pemburu menjadi kagum melihat lukisan dirinya bersama macan hasil buruannya diabadikan dalam bentuk lukisan. Mereka bisa melihat binatang itu dalam wujud yang utuh, diawetkan, berdiri siap menerkam, dan di belakangnya, di dinding ruang tamu itu, para sahabatnya itu juga dapat melihat dirinya bersama binatang buruannya diabadikan di atas kanvas dalam karya lukis.

Itulah awal dan mala petaka itu. Ia mendatangkan seorang pelukis ke rumahnya. Pada mulanya si pelukis membawa pulang potret itu untuk dilukis. Sebulan kemudian lukisan itu telah selesai. Lukisan itu cukup sempurna. Di pajang di ruang tamu.
Tibalah, gilirannya si istri minta dilukis berdiri di samping bangkai macan yang telah diawetkan itu. Si suami tidak keberatan. Malah ia merasa senang mendengar permintaan istrinya agar dilukis bersama macan hasil buruannya. Dia tidak menyadari bahwa ia sebenarnya telah mengundang bencana ke dalam rumahnya. Pada mulanya bencana itu tidak akan tampak dengan segera. Tetapi awal dan itu semua dimulai oleh pandangan yang saling beradu. Si pelukis memandang tepat ke dalam mata si istri, memindahkan garis-garis bentuk tubuh wanita itu ke atas kain kanvas. Bagi si pelukis, melukis seorang wanita adalah hal yang biasa. Dia telah banyak melukis wanita-wanita genit dijadikan model. Pelukis-pelukis itu juga pada akhirnya meniduri model-model mereka. Meniduri model adalah hal yang biasa bagi seorang pelukis. Bila tubuh sudah menyatu, maka kekuatan goresan kuas akan lebih sempurna memindahkan wujud wanita yang dilukis. Menyatulah segala-galanya.
Tetapi kali ini si pelukis bukanlah melukis seorang model dan wanita-wanita yang semacam itu. Ia melukis seorang istri orang yang terhormat. Istri dan orang yang punya kedudukan yang baik di masyarakat. Tidak mungkin ia harus menyamakannya dengan model-model lukisannya yang lain.
Tiap hari si pelukis datang ke rumah Jody untuk meneruskan lukisan yang belum selesai. Dan hari ke hari ia memandang tepat ke dalam mata si istri. Rumah yang luas, kesenyapan ruangan yang terjaga terus-menerus sepanjang siang, adalah faktor penunjang kesuksesan liciknya iblis menganggu kedua mereka. Anak-anak pergi ke sekolah. Pembantu rumah sibuk di dapur. Tukang kebun tidak akan berani masuk ke ruang tamu. Si iblis pun mulai memasuki naluri rendah manusia. Ia menggerakkan keberanian si pelukis untuk menyentuh si istri guna mengatur posisi lebih sempurna.
“Coba Nyonya memandang tepat kepada saya. Ingat posisi yang kemarin. Sedikit Nyonya berubah, akan mengganggu keserasian lukisan yang sedang kita selesaikan ini. Apakah Nyonya telah lelah?”
Si nyonya rumah senyum. Ia bergerak ke arah yang diminta si pelukis. Tetapi bagi si pelukis, gerakan itu belum sempurna seperti yang ia kehendaki. Si pelukis meninggalkan kanvasnya dan mendekati si nyonya rumah yang tampak agak gugup. Si pelukis menyentuh dagu si wanita.
“Nyonya harus bersikap seperti ini.” Sentuhan telah terjadi. Degup jantung keduanya tambah keras. Tetapi keduanya masih saling menjaga nafsu rendah mereka. Tetapi sentuhan yang sedikit itu telah membuka jalan untuk belaian-belaian yang lebih jauh.
Ada semacam petualangan baru dalam diri Sri Suharti Jody Sutisna. Dia merasakan kokok ayam menyambut fajar semacam genta yang merdu ditelinganya. Hari sebentar lagi akan siang. Ayam itu membangunkan Sri untuk bersiap-siap menyambut si pelukis di ruang depan. Sri pagi-pagi telah mandi dan mulai membenahi diri. Bila Jody telah berangkat ke kantor, Sri duduk berlama-lama di depan kaca. Ia memakai baju yang tipis Untuk memperlihatkan bentuk tubuhnya dan balik kain yang tembus pandang. Mata pelukis itu memancarkan suatu kenikmatan yang lain pada saat memandang dirinya dari balik kerlingan yang mencuri-curi. Rok yang tersingkap menunjukkan betis yang bersih. Mengapa ia selalu duduk dengan sembrono dan membiarkan ujung rok yang dipakainya tersingkap jauh di atas lutut? Mengapa ia tidak buru-buru menutupnya dan melindungi kedua betisnya yang telanjang dan sudut mata yang mencuri-curi itu? Tetapi itu adalah suatu kenikmatan yang baru. Mengundang keberahian yang terlarang.
Mengapakah aku ini, pikir Sri, menanggapi sikapnya yang membiarkan bagian-bagian tubuhnya yang telanjang itu dinikmati oleh kerlingan nakal si pelukis. Apakah cintaku pada Jody telah luntur? Bukankah cinta semacam pelita yang menerangi terus-menerus perjalanan hidup sebuah perkawinan? Perkawinan sejati adalah tidak ubahnya seperti dua orang kekasih berjalan di dalam gelap, cintalah yang akan bertindak sebagai pelita menerangi perjalanan hidup perkawinan itu. Apakah pelita itu telah padam di dalam diriku. Cinta adalah suatu pengutamaan yang luar biasa yang dituntut baik bagi seorang pria ataupun wanita. Perkawinan menuntut saling rasa terikat yang wajar, cintalah yang bertindak sebagai benang pengikat itu, sehingga seseorang tidak terlepas dan kewajiban moral. Tetapi itu untuk berapa lama bisa bertahan pada seseorang, baik lelaki maupun pria. Pengutamaan yang luar biasa itu bisa berapa lama bertahan pada seseorang. Sebulan, setahun, ataukah sampai mempunyai beberapa makhluk sebagai basil dan buah perkawinan itu? Dasar agamakukah yang tidak kukuh, Sehingga aku tidak takut dengan bayangan dosa? Ataukah aku mencintai pelukis ini? Bukankah cinta bisa mendobrak kekuatan dasar rasa terikat seseorang dengan hidup perkawinan ataupun dasar keagamaan seseorang? Apakah aku telah menaruh cinta pada pelukis ini? Bukankah nafsu dan cinta saling berdekatan satu dengan yang lain? Keduanya tidak dapat dipisahkan bagi seorang pria dan wanita yang normal. Cinta dan nafsu datangnya berbarengan pada diri seseorang. Apakah aku sudah tidak kuat untuk mengelakkannya? Keheningan ini, ketenangan dalam rumah yang luas ini telah menggiring keduanya ke dalam suasana yang baru bagi mereka.
Pernah suatu hari Jody menelepon ke rumahnya dan kantor. Lama ia menanti orang untuk mengangkat telepon itu. Baru kemudian pembantu rumah mengangkat dan menyambut teleponnya. Pembantu rumah berkata pada Jody bahwa nyonya pergi bersama pelukis itu dengan mobil sejak pagi. Ke mana mereka pergi, pikir Jody. Ia mulai tidak tentram duduk di belakang meja dalam ruangan yang ber-ac. Pikirannya mulai menerawang tentang sesuatu yang menyakitkan yang dilakukan oleh istrinya. Mengapa ia mengundang kesempatan kepada istrinya. Mengapa ia memberi kesempatan itu datang ke rumahnya. Mengapa ia memberi kebebasan pada istrinya untuk menerima pelukis itu di ruang tamu mereka. Apakah ia tidak dapat melihat perubahan-perubahan yang begitu menyolok yang diperlihatkan istrinya? Mereka sering bertengkar akhir-akhir ini. Hal-hal kecil telah menimbulkan buah pertengkaran di antara mereka. Apakah ini bukan suatu pelampiasan dari rasa cernburunya? Tetapi mengapa ia tidak berani berterus terang untuk mengatakan rasa cemburunya pada si istri? Dan mengapa ia menunjukkan sikap yang sedikit pun tidak merasa kegoncangan dengan hadirnya pelukis itu tiap hari di rumahnya. Ia memandang hal itu suatu yang wajar. Bahwa pelukis itu harus menyelesaikan lukisannya dan si istri harus menyediakan dirinya untuk terus-menerus dipandang oleh si pelukis. Tetapi apakah aku tidak menyadari bahwa perkembangan dan lukisan itu sangat lambat? Apakah aku tidak melihat bahwa ada semacam taktik yang dilancarkan oleh si pelukis untuk melama-lamakan rampungnya lukisan itu. Keangkuhannya sebagai seorang yang berkedudukan tinggilah yang membuat ia tampak tidak goyah sedikit pun. Ia merasa kuat dan penuh keyakinan diri untuk tidak semudah itu milik yang dicintainya lepas begitu saja jatuh ke tangan seorang seniman seperti pelukis itu. Apa yang lebih pada diri pelukis itu untuk membikin cinta istrinya mulai beralih? Itu tidak masuk akal. Iblis yang mengganggu pikiranku. Tidak ada alasan yang kuat untuk membikin aku cemburu padanya. Tetapi mengingat masa mudanya yang liar, telah mendatangkan rasa curiganya pada pelukis itu. Bukankah seniman-seniman itu menganggap wanita semacam alat untuk memperoleh kenikmatan? Sejak umur remajaku, aku telah merusak diri sendiri dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan. Menghabiskan masa remajaku dengan wanita-wanita yang menjual dirinya. Aku tahu pelukis itu menganggap hubungan seks antara pria dan wanita di luar nikah suatu hal yang wajar. Kalau mereka mau meniduri wanita-wanita yang penuh dengan kuman-kuman penyakit di tempat-tempat pelacuran, mengapa ia tidak mungkin mempergunakan untuk menikmati tubuh istriku yang bersih? Aku harus mencegahnya sebelum penyelewengan itu terjadi. Skandal adalah peristiwa yang memalukan keluarga. Aku harus mencegahnya. Kalau di meja makan, kita jangan terlalu percaya pada kucing, di tempat tidur, kita jangan terlampau percaya pada istri. Perempuan seperti kuda. Harus dikekang dan diikat di tengah padang. Kalau kau membiarkannya lepas, bisa celaka. Tutup matanya bila kau membawanya menarik kereta. Bila tidak, dia akan melihat ke segala jurusan, sehingga kereta kudamu akan tergelincir masuk jurang dibuatnya. Pikiran itulah yang menguasai Jody pada saat-saat kritis ini. Jangan dibiarkan mereka terus-menerus di ruang tamu, lama-kelamaan mereka akan masuk ke ruang dalam. Dan kalau aku membiarkannya, mereka akan masuk ke kamar tidur. Itu tidak boleh terjadi.
“Ke mana kau pergi dengan pelukis itu siang tadi?”
“Kami membeli cat. Cat merahnya habis.”
“Mengapa tidak kau biarkan ia pergi sendiri dengan kendaraan umum.”
“Ia ingin cepat-cepat. Lagi pula aku telah capek duduk terus-menerus di depannya. Apa salahnya aku antar ia ke toko cat.”
“Mobil itu kubeli bukan untuk menyuruhmu mengantar pelukis ke toko cat. Aku tidak senang kau berbuat sejauh itu.”
“Aku tidak melihat perbuatan tercela untuk itu.”
“Suruh pelukis itu selesaikan lebih cepat lukisanmu. Aku tidak suka ia datang terus-menerus tiap hari kemari. Aku curiga membiarkan kamu berdua dalam rumah ini.”
“Kau menuduhku sekotor itu? Jiwamu sudah sekotor yang kautuduhkan padaku.”
Begitulah istri-istri itu membela dirinya. Ia berlindung di balik air matanya. Ia menangis menutupi perbuatannya. Ia mengelak dengan kata-katanya. Ia sedikit pun tidak merasa berdosa. Begitukah wanita-wanita itu bila telah melangkah terlampau jauh? Jody berkesimpulan seperti itu.
Retak sudah hampir tidak bisa dipertahankan lagi dalam perjalanan hidup rumah tangga Jody Sutisna. Keadaan sudah makin kritis. Keduanya saling tegang. Percekcokan sering terjadi. Hal-hal yang tidak perlu di persoalkan telah menjurus ke sebab pertengkaran mulut. Sementara itu pun lukisan telah rampung. Bagi Jody, kerampungan lukisan itu adalah penyelesaian yang baik terhadap kecurigaannya. Lukisan telah dipajang di ruang tamu. Kecurigaannya sudah berangsur lenyap. Untuk lenyap sama sekali tidaklah semudah itu. Dia harus diyakinkan sedemikian rupa sampai bekas itu hilang sama sekali. Apakah bekas itu akan dilenyapkan? Apakah kedua lukisan itu harus dilenyapkan? Tidak. Itu adalah hal yang kekanak-kanakan. Aku harus mempercayai pengakuan istriku. Apalagi yang harus kupercayai, kalau bukan pengakuan istriku sendiri? Apa salahnya aku mempercayai pengakuan orang yang kucintai? Mengapa aku menuduhnya sekotor itu? Bukankah itu semacam tuduhan yang belum pasti? Jiwaku yang telah kotor. Kotor semenjak usia remajaku. Semenjak kawin aku tidak pernah melakukan itu. Aku sekarang suci dan perbuatan-perbuatan seperti itu. Bukankah kekotoran masa lalu itu suatu kemungkinan mengotori jalan pikiranku? Aku menuduh orang sama berbuat seperti yang kulakukan pada masa remajaku. Jangan. Jangan sama ratakan orang Seperti masa remajaku. Itu tidak adil.
Jody mengikis kecurigaannya seperti itu. Dengan demikian ia menjadi tenang dalam hidupnya. Keadaan rumah tangga sudah mulai menjadi normal. Kemesraan hidup berkeluarga sudah mulai tumbuh kembali antar dia, istrinya dan anak-anaknya. Kerukunan itu tiba-tiba buyar kembali ketika pada suatu siang ia mendapat kabar melalui laporan teman baiknya. Jody kaget mendengar temannya bercanda dalam telepon.
“Mengapa kau biarkan nasi di piringmu di makan orang lain?”
“Mengapa kau bergurau seperti itu?”
“Aku melihat istrimu dengan pelukis yang melukis bangkai macan di rumahmu. Mereka berdua dalam mobil. Istrimu menyetir mobilmu sendiri. Pelukis itu duduk di sampingnya. Aku tidak tahu mereka habis pergi dan mana.”
“Bajingan!” Jody menghentakkan gagang telepon. Ia mengeluarkan mobil dari taman parkir dan melejit menuju ke rumahnya.
Di rumah dia temui pelukis itu duduk di ruang tamu. Pelukis itu berdiri memberi salam. Ia tidak acuh dan langsung ke ruang dalam. Istrinya terperanjat. Ia berdiri lemas memegang dinding.
“Aku meminta pelukis itu melukis protret perkawinan kita, Mas. Aku memang sengaja tidak mengatakannya padamu. Lukisan itu telah rampung. Aku ingin menghadiahkannya pada kita berdua sebagai kado ulang tahun perkawinan kita yang kesepuluh. Lukisan itu telah selesal. Ada kau lihat di ruang tamu?”
“Apa pun alasanmu, aku sudah tidak percaya pada omonganmu. Suruh pelukis itu pergi. Aku tidak kuat melihatnya. Apa kau mau ia tewas seperti macan dalam lukisannya seni ini?”
Sri bergegas membawa sejumlah uang ke ruang depan. Ia menyerahkan uang pada pelukis itu sebagai penyelesaian sisa pembayaran. Setelah itu si pelukis pergi penuh tanda tanya di hatinya.
Jody menarik tangan istrinya dengan kasar, dan menghempaskannya di atas sofa.

“Perempuan jalang. Sudah kularang kau bergaul dengan pelukis itu, malah sekarang kau bawa ia ke rumah mi. Apa yang kau lihat pada dirinya sehingga kau berpaling dan diriku?”

“Aku hanya ingin membuat kejutan pada hari ulang tahun perkawrnan kita. Kau lihat lukisan yang dibuatnya itu. Malam penganten kita, Mas. Aku hanya memesan itu untuk dia lukis. Kau lihat foto yang lama itu. Kertasnya telah rusak. Gambar perkawinan kita dalam foto itu telah rusak dimakan ngengat. Aku ingin menjadikannya baru sama sekali.”

“Omong kosong. Dasar wanita pandai menyembunyikan kebusukan yang pernah di lakukan. Aku tidak bisa berlama-lama melihatmu. Aku sudah lama tidak berburu. Aku khawatir kau bisa menjadi mangsa senapan berburu itu!” Jody menunjuk bedil berburunya yang tersangkut rapi di dinding ruang tamu. Bedil itu tersangkut di sana berfungsi sebagai perabotan dan sekaligus hiasan dinding.

Jody pergi dengan kasar meninggalkan istrinya duduk menangis di ruang tamu di atas sofa. Dia dengar mobil suaminya dilarikan dengan kecepatan luar biasa waktu masuk ke jalan besar. Sri menangis. Ia menyesali ketidakterusterangannya waktu memesan lukisan itu. Apa artinya membuat kejutan bila ketidakpercayaan sang suami pada kesuciannya telah timbul akibatnya. Aku harus menjelaskannya pada Jody. Dia harus tahu siapa sebenarnya pelukis itu. Apakah ia tidak tergugah melihat kemiskinannya? Apakah aku salah memesan lukisan hanya untuk menyelamatkan hidup istri dan anak-anaknya? Mengapa ia menuduh hidup seorang seniman, moral seorang seniman, sekotor yang dia tuduhkan? Aku harus bawa dia kemari bersama keluarga dan anak-anaknya. Besok pada hari ulang tahun perkawinan kami ia akan kubawa kemari. Itu harus dijelaskan. Istrinya dan anak-anaknya. Apa salahnya membawa mereka ke dalam rumah yang mereka sendiri belum pernah memasukinya? Istri pelukis itu, anak-anak pelukis itu.

Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan Jody dan Sri yang kesepuluh. Jody telah reda marahnya kepada istrinya. Ia telah memaafkan kelancangan istrinya yang telah terlanjur memesan lukisan hari pernikahan mereka kepada pelukis yang dicemburuinya. Ia duduk tenang di belakang meja dalam ruangan yang ber-ac. Tetapi tiba-tiba telepon berdering. Seorang teman menelepon, dan nada telepon itu tidak jauh berbeda ketika ia menerima laporan tentang istrinya.
“Aku melihat dan balik kaca mobilku. Istrimu dan pelukis itu bepergian dalam mobil yang disetir istrimu.”

“Kau jangan main-main. Istriku telah berjanji untuk tidak bergaul dengan pelukis itu. Lagi pula hari ini ia mesti di rumah untuk menanti tamu-tamu kami.”

“Aku tidak mungkin keliru dengan penglihatanku. Kau adalah sahabatku Jody. Apakah kau cukup percaya dengan seniman-seniman itu? Kau tentu telah banyak membaca tentang skandal-skandal yang mereka lakukan di antara istri-istri teman mereka. Semoga mataku salah melihat apa yang sebenarnya tidak benar itu. Semoga aku keliru.”

Jody meletakkan gagang telepon, karena orang yang meneleponnya meletakkan lebih dahulu gagang telepon di seberang sana. Jody menyandarkan diri di sandaran kursi duduknya. Ia menarik napas dalam-dalam. Bulu-bulu tangannya merinding membayangkan seandainya apa yang dikatakan temannya itu benar. Apakah aku akan menjadi seorang pembunuh. Ia keluar dan kamar kerjanya. Suara mobilnya melenyap meninggalkan taman parkir Wisma Nusantara. Kantornya tampak mengecil di tingkat ke sepuluh gedung itu,

Didapatinya keadaan rumah masih sepi oleh para tetamu. Pesta dimulai pada sore hari sampai dekat senja. Para tetamu adalah teman-teman dekat mereka. Paling banyak dua puluh pasang suami istri. Sekarang baru pukul tiga siang. Ke mana mereka semua? Pikir Jody. Dan pembantu rumah, dia tahu bahwa ketiga anaknya bermain di pekarangan belakang. Para pembantu rumah tangga sibuk menyiapkan makanan untuk pesta di dapur. Dan si istri memang tidak ada di rumah. Sri kira-kira lima belas menit yang lalu pergi dengan menyetir sendiri mobilnya. Tidak meninggalkan pesan.

Sudah pasti sundal itu mendatangi kekasih gelapnya, si pelukis keparat. Apa yang dilihat Muharso adalah benar. Ia bepergian dengan kekasih gelapnya, sementara orang di rumah sibuk menyiapkan makanan untuk pesta peningatan perkawinannya sendiri. Bukankah itu seorang perempuan terkutuk? Aku harus membunuhnya. Setelah itu, baru aku membunuh pelukis itu.
Jody memanggil ketiga anaknya dan menyuruh mereka diam di dalam kamar. Pembantu rumah tidak diperkenankannya masuk ruang tamu bila tidak diperlukan. Tukang kebun harus tetap berdiam diri dalam kebun di belakang rumah. Setelah semua perintahnya dilaksanakan, Jody menurunkan senapan berburunya dan dinding. Dia memasukkan peluru-peluru ke dalam senjata api itu. Debu berterbangan dan gagang senjata berburu itu tertiup oleh napas Jody yang mulai sesak karena amarah. Ia mencoba membidikkannya ke arah bangkai macan yang diawetkan. Aku mesti menembak tepat di antara kedua mata Sri, si khianat itu.
Jody menunggu dengan amarahnya. Pada saat-saat begitulah ia mengenang masa-masa bahagia mereka. Mata Jody berlinangan. Ia mengingat pertemuan mereka di bangku kuliah. Sri duduk di bawah satu tingkat dengan Jody. Mereka bertemu, saling jatuh cinta dan disudahi memasuki jenjang pernikahan. Mereka kawin atas dasar cinta-mencintai. Tetapi pengkhianatan itu harus dimusnahkan. Aku luka dibuatnya. Tidak ada artinya aku memacu diri dalam dunia bisnis untuk menyenangkan hidupnya. Menyenangkan hidup anak-anak kami. Aku telah dilangkahi sedemikian jauh. Pengkhianatan itu. Biarlah aku membunuh demi harga diri. Memulihkan kembali nama baik keluarga.

Dia perhatikan lukisan-lukisan yang dipajang di dinding. Lukisan dirinya sendiri menginjak bangkai seekor macan yang ia tembak dalam rimba Sumatra. Lukisan istrinya duduk di belakang tubuh bangkai macan yang diawetkan. Kemudian dia perhatikan lukisan perkawinan mereka yang diabadikan sepuluh tahun yang lalu. Sri memakai pakaian putih-putih dan dia sendiri memakai pakaian jas warna kelabu, di latar belakang ada hiasan pelaminan berbentuk sungkup dalam warna kuning keemasan.

Betapa cepat itu semua tertinggal oleh waktu. Anak-anak telah menjadi besar. Aku sibuk dengan pekerjaanku. Dia sibuk sendiri mengurus dirinya sendiri. Apakah aku juga tidak bersalah dalam hal ini? Aku kurang memperhatikannya. Aku sibuk dengan teman-teman bisnisku. Aku sibuk dengan cerita-cerita berburu di antara teman-teman berburuku. Mengapa aku tidak pernah sekalipun dalam hidupnya pada masa akhir-akhir ini untuk membicarakan kesenangan-kesenangannya? Membicarakan masa lalu perkawinan kami. Mengapa aku tidak pernah memperhatikannya? Membawanya kembali. mengunjungi tempat-tempat bersejarah dalam kehidupan cinta kami. Mengapa aku tidak pernah memuji hanya sekali saja tentang masakan-masakan yang ia buat khusus untuk aku. Aku telah terlampau jauh meninggalkannya. Aku harus memperhatikan Sri. Ia membutuhkan itu. Tetapi pengkhianatan itu sudah keterlaluan. Mengapa ia sampai hati mengkhianati kesetiaannya. Mengkhianati janji setia yang kami ucapkan bersama begitu masing-masing meninggalkan bangku kuliah. Apakah waktu yang sekian lama itu cukup kuat mengalahkan kekuatan cinta seseorang? Cinta menuntut pengutamaan sesuatu untuk kelangsungan cinta itu sendiri dan menyampingkan segala sesuatu untuk menyelamatkan cinta itu. Tetapi Sri telah meninggalkan pengutamaan sesuatu itu, dan dia telah membiarkan penyimpangan yang merusak cmta itu. Aku tidak kuat hidup terus-menerus berdampingan dengan orang yang kucintai, yang sekarang telah menjadi orang yang khianat. Aku juga tidak rela melepaskannya untuk dinikmati atau dimiliki oleh orang lain, sementara aku masih bisa melihat kebahagiannya dengan orang lain. Itulah egoisme dalam cinta. Cinta bagiku adalah sesuatu yang harus dimiliki untuk selamanya. Sekali ia ternoda, ia harus dimusnahkan.

Suara mobil terdengar masuk ke pekarangan. Jody memandang dengan pandangan yang tajam seperti berpuluh-puluh anak panah dilepaskan ke tubuh Sri dan pelukis yang duduk di sampingnya di balik kaca depan mobil. Jody memandang dengan gemas. Mobil itu diparkir jauh dar rumah. Sri turun dan dalam mobil. Si pelukis juga turun dan dalam mobil. Jody tidak kuat menahan amarahnya. Sundal dan kekasihnya harus dibunuh. Kata Jody membidik tepat ke kepala istrinya. Dia melihat Sri seperti dia melihat pertama sekali Sri waktu melaksanakan masa-masa perpeloncoan.

Sri kembali mendekati mobil yang diparkir. Ia seperti mengingat sesuatu yang terlupakan. Ia melihat ke dalam mobil. Di tempat duduk belakang, istri pelukis dan tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil duduk diam-diam di pangkuan ibunya. Anak yang terkecil, melekat erat di buah dada ibunya. Anak itu menyusu dengan lahap.
“Kakak dan anak-anak di sini saja dulu. Kalau aku telah ceritakan maksud kedatangan kakak dan anak-anak beserta suami kakak kepada suamiku, barulah kakak aku jemput kemari. Aku lihat mobilnya sudah ada. Berarti Jody ada di rumah.”

Sri kembali berjalan berdampingan bersama si pelukis. Ini adalah saat yang tepat untuk memperkenalkan si pelukis, istrinya dan anak-anaknya kepada Jody. Dengan demikian, Jody bisa mengerti duduk persoalannya, dan dia bisa memaafkan aku, menghapus segala kecurigaannya selama in Tetapi Sri tidak tahu, bahwa kepalanya sedang dalam sasaran peluru suaminya sendiri. Dia berjalan seperti dia tidak menghadapi suatu bahaya apa pun. Manusia memang tidak tahu, bahwa sedetik lagi maut akan menjemputnya. Siapa yang bias menduga tentang kematiannya sendiri. Begitulah Sri berjalan seperti ia menyongsong kematian itu sendiri. Selangkah. Dua langkah. Tiba-tiba saja dia telah menjadi lebih dekat dengan tempat di mana suaminya berdiri kukuh dengan senapan berburu yang siap diledakkan ke atas pelipis si istri. Sedetik lagi, atau mungkin beberapa detik lagi, kepala Sri akan pecah berhamburan di atas kerikil ditembus peluru yang diledakkan oleh suaminya sendiri.
Dari balik kaca mobil, istri pelukis memandang suaminya melangkah berdampingan dengan Sri mendekati ambang pintu. Anaknya yang terkecil masih terus mendekap dan menyusu. Anak kecil itu terpekik mendengar ledakan. Ibunya mencoba membuka pintu mobil. Ledakan kedua menyusul. Ledakan ketmga memekakkan bayi itu. Beberapa ekor burung merpati menggelepar kaget dan terbang dan ujung-ujung genteng. Seisi rumah menjadi panik. Anak-anak yang terkunung di kaman belakang menangis menggedor-gedor daun pintu yang terkunci.

Tidak terdengar letusan lagi. Suasana menjadi Senyap. Keadaan menjadi hening, karena suana yang menggelegar barn saja lenyap. Angin menampan daun-daun. Tidak terdengan bunyi kerikil diinjak tapak-tapak sepatu. Sri berdini di tempat ia melangkah. Si pelukis terpaku di atas sepatu-patunya. Semua bertanya-tanya ten- tang apa yang telah terjadi di ruang tamu.
Sri tiba-tiba memekik dan berlani ke dalam rumah. Ia telah mengira yang tidak-tidak. Apakah Jody membunuh dininya. Menembak pelipisnya sendiri. Tetapi dia tidak meithat hal yang mencurigakan untuk menguatkan dugaan itu. Jody duduk tenang-tenang di atas sofa. Senapan di tangannya masih mengeluarkan asap bekas mesiu. Lukisan perkawinan mereka jatuh dan atas dinding.
“Apa yang terjadi, Mas? Mengapa kau? Aku membawa pelukis itu dan keluarganya. Mereka aku jemput untuk ikut merayakan pesta peringatan perkawinan kita. Aku ingin kau menyambut mereka seperti kau menyambut tamu-tamu terhormat kita yang lain. Kau lihatlah mereka, Mas. Mereka hidup sengsara. Pelukis-pelukis itu sengsara. Lukisan-lukisan mereka tidak laku. Aku memesan lukisan perkawinan kita, hanya untuk memberi pekerjaan padanya. Kau tidak tahu, Mas. Dia bercerita ketika dia melukis aku sepanjang hari. Mereka menderita. Orang tidak membeli lukisan-lukisan mereka. Istri dan ketiga anaknya ada di dalam mobil. Mereka aku paksa untuk berani datang kemari. Mereka aku minta untuk menjelaskan kepadamu. Untuk menghapus kecurigaanmu. Apa yang telah terjadi dengan kau Mas? Di mana anak-anak kita?”

Jody duduk diam tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan istrinya. Dia tunduk memandangi slongsong peluru yang tenlempar di atas permadani dekat kaki meja.

“Aku sebenarnya mau membunuh lalat-lalat itu. Mereka terbang dan hinggap mengotori lukisan perkawinan kita. Tetapi lalat-lalat itu terlalu kecil untuk sasaran peluruku. Aku tidak mengenal lalat-lalat itu. Tetapi lukisan itu telah menjadi rusak. Dinding di belakangnya menjadi berlobang-lobang bekas peluru.”
“Maafkan aku kalau telah mengganggu ketentraman keluarga Tuan. Aku hanya mengerjakan profesiku.”

“Di mana anak-anak?”

“Aku mengurung mereka dalam kamar. Aku tidak tega membiarkan anak-anak itu melihat apa yang akan terjadi pada ibu mereka.”

“Apa maksudmu Mas?”

“Aku sebenarnya telah membidik tepat senapan berburu ini ke atas pelipis di antara kedua matamu. Aku hanya tinggal menarik pelatuknya. Tetapi aku tidak kuat untuk melakukannya. Aku benar-benar tidak kuat. Tetapi aku terus memaksanya. Dan. . . begitu aku menarik pelatuk, secepat itu pula aku mengalihkan laras senjata api ini ke pelipismu di dalam lukisan perkawinan kita. Aku menembakmu dan menambak diriku sendiri di dalam lukisan itu. Aku hampir saja membunuhmu.”
“Alangkah mengerikan kedengarannya.”
Sri berlari ke kamar belakang. Ia buka pintu kamar, dan ketiga anaknya berhamburan lari menerkam ibu mereka.
“Di mana istrii dan ketiga anakmu Bung?”
“Di dalam mobil.”
“Ambil mereka. Bawa masuk.”
Jody menyangkutkan kembali senapan berburunya ke atas dinding. Si pelukis membawa masuk istri dan ketiga anaknya. Mereka kelihatan takut-takut memasuki ruang tamu yang mewah itu. Sri juga datang ke ruang tamu. Ia membawa serta ketiga orang anaknya.

“Mari silakan duduk,” kata Jody.
“Terima kasih. Kami telah mengganggu ketentraman hidup keluarga Tuan.”
“Apakah Saudara bisa memperbaiki lukisan perkawinan ini?”
“Saya yakin, saya bisa. Saya akan memperbaikinya, Tuan Jody. Lukisan itu akan saya perbaiki sesempurna mungkin. Saya yakin, Tuan kelak tidak akan dapat menandai lagi, bahwa lukisan perkawinan itu pernah dirobek tiga butir peluru yang Tuan tembakkan sendiri dan senapan berburu Tuan.”



Depok, 1979

No comments: