Tuesday 23 November 2010

O n d o l

O n d o l



Setelah begitu saja hilang selama enam bulan lebih, Ondol ditemukan mati di tepi kali. Mayatnya terapung tak tertutup selembar kain pun kecuali cawatnya yang putih kelabu dan tampak bolong-bolong. Beberapa bagian tubuhnya menunjukkan bahwa sebelum mati Ondol pernah mengalami penganiayaan. Jari-jari tangannya remuk bekas godaman batu. Sedangkan luka di dadanya hampir memperlihatkan beberapa buah tulang rusuknya.

Ketika pertama kali ditemukan, Ondol yang mati di tepi kali itu tidak dikenali sebagai Ondol. Wajahnya hampir-hampir dapat dikatakan hancur remuk. Beberapa luka yang cukup dalam menggaris di pipi, di dahi dan di belakang tulang rahangnya. Sebelah telin?ganya juga hampir-hampir putus. Dan matanya seolah tidak nampak karena tertutup oleh sekelilingnya yang tembam dan kebiruan.

Hilangnya Ondol yang misterius, kemudian kematiannya yang tidak lazim itu menimbulkan kecurigaan kerabat dan penduduk sedesa. Beberapa bulan sebelum tiba-tiba saja hilang, Ondol selalu diawasi beberapa orang yang entah dari mana. Kini Ondol ditemukan tewas dalam keadaan mengerikan. Pasti ada apa-apa di balik kehilangannya yang misterius dan kematiannya yang mengenaskan itu.

***

Setelah mayat Ondol diangkat dari kali dan kemudian diurus sebagaimana kebiasaan di desa, beberapa orang penduduk desa berangkat ke kota kecamatan untuk melaporkan peristiwa itu.

Sementara mayat Ondol dimakamkan di bawah langit yang mulai teduh oleh warna senja, lima orang yang melapor itu tiba di kota kecamatan. Mula-mula mereka mendatangi kantor kecamatan, tetapi kantor itu tutup dan tak ada seorang pun yang berjaga di sana. Mereka kemudian menuju ke kantor yang berwajib di kecamatan. Namun, tanpa alasan apa pun, petugas piket di sana tidak mau melayani mereka. Petugas piket itu hanya memberi mereka sebuah surat pengantar yang harus mereka bayar seharga dua bungkus Dji Sam Soe.

‘Langsung saja ke kantor yang berwajib di kabupaten, ya!” katanya.

Orang-orang yang melapor itu bergegas ke kota kabupaten.

Ruang penjagaan kantor yang berwajib di kota kabupaten itu kosong. Dengan ragu orang-orang yang melapor duduk di bangku yang ada. Beberapa lama kemudian, seseorang yang bersandal jepit keluar bersama seseorang yang berpeci. Di ambang pintu yang berpeci menyerahkan sebuah amplop kepada yang bersandal jepit.

“Kalau kena tilang lagi, temui saya saja di sini. Pasti beres,” kata yang bersandal jepit sambil mengantar yang berpeci. Yang berpeci lantas pergi dengan mobil mengkilap yang terparkir di halaman.

Yang bersandal jepit kemudian masuk dan duduk menghadapi orang-orang yang melapor. Orang-orang yang melapor serempak berdiri dan bersalaman dengan yang bersandal jepit, lalu duduk lagi.

“Saudara-saudara juga kena tilang?” tanya yang bersandal jepit.

“Oho, tidak Pak. Kami ke sini mau melapor,” kata salah seorang, mewakili yang lainnya. “Begini, Pak. Di tepi kali desa kami, tadi siang ditemukan seorang warga kami yang sudah tidak bernyawa. Ondol, Pak. Setelah hilang enam bulan lebih, Ondol ditemukan mati di tepi kali. Mayatnya terapung tak tertutup selembar kain pun kecuali cawatnya yang putih kelabu dan tampak bolong-bolong. Beberapa bagian tubuhnya menunjukkan bahwa sebelum mati Ondol pernah mengalami penganiayaan. Jari-jari tangannya remuk bekas godaman batu. Sedangkan luka di dadanya hampir mem?perlihatkan beberapa buah tulang rusuknya.”

Yang bersandal jepit batuk-batuk kecil.

“Nah, begitu Pak. Ketika pertama kali ditemukan, Ondol yang mati di tepi kali itu tidak dikenali sebagai Ondol. Wajahnya hampir-hampir dapat dikatakan hancur remuk. Beberapa luka yang cukup dalam menggaris di pipi, di dahi dan di belakang tulang rahangnya. Sebelah telinganya juga hampir-hampir putus. Dan matanya seolah tidak nampak karena tertutup oleh sekelilingnya yang tembam dan kebiruan.”

Yang bersandal jepit batuk-batuk agak keras.

“Hilangnya Ondol yang misterius, kemudian kematiannya yang tidak lazim itu menimbulkan kecurigaan kerabat dan penduduk sedesa. Beberapa bulan sebelum tiba-tiba saja hilang, Ondol selalu diawasi beberapa orang yang entah dari mana. Kini Ondol ditemukan tewas dalam keadaan mengerikan. Pasti ada apa-apa di balik kehilangannya yang misterius dan kematiannya yang mengenaskan itu....”

“Sebentar, sebentar,” yang bersandal jepit memotong. “Sorri ya Pak, saya bukan yang menangani urusan kriminal macam itu. Urusan yang saya layani adalah soal tilang, tilang, tilang. Kalau bapak-bapak kena tilang hubungi saya. Tunggu yach, sebentar lagi.”

Yang melapor hanya melongo. Untuk mengurangi rasa kesalnya, yang melapor kemudian mengeluarkan dua bungkus rokok. Dibukanya sebungkus, diambilnya sebatang dan dihisapnya dalam-dalam kemu?dian diedarkannya ke teman-temannya. Yang sebungkus lainnya disimpannya lebih dulu di hadapan yang bersandal jepit.

“Nah, itu dia orangnya, Pak.” Kata yang bersandal jepit ketika dua orang temannya, yang berkumis dan yang berkaos oblong, muncul.

“Hei, nih ada laporan kriminil,” yang bersandal jepit setengah berteriak kepada keduanya.

“Kalian akan melapor kejadian kriminal?” kata yang berkumis, sedang yang berkaos oblong langsung masuk ke ruang lain.

“Iya, Pak. Begini, Pak. Di tepi kali di desa kami, tadi siang ditemukan seorang warga kami yang sudah tidak bernyawa. Ondol, Pak. Setelah hilang enam bulan lebih, Ondol ditemukan mati di tepi kali. Mayatnya terapung tak tertutup selembar kain pun kecuali cawatnya yang putih kelabu dan tampak bolong-bolong. Beberapa bagian tubuhnya menunjukkan bahwa sebelum mati Ondol pernah mengalami penganiayaan. Jari-jari tangannya remuk bekas godaman batu. Sedangkan luka di dadanya hampir memperlihatkan beberapa buah tulang rusuknya.”

Yang berkumis batuk-batuk kecil, berdiri dan mondar-mandir.

“Nah, begitu Pak. Ketika pertama kali ditemukan, Ondol yang mati di tepi kali itu tidak dikenali sebagai Ondol. Wajahnya hampir-hampir dapat dikatakan hancur remuk. Beberapa luka yang cukup dalam menggaris di pipi, di dahi dan di belakang tulang rahangnya. Sebelah telinganya juga hampir-hampir putus. Dan matanya seolah tidak nampak karena tertutup oleh sekelilingnya yang tembam dan kebiruan.”

Yang bersandal jepit batuk-batuk agak keras, duduk sebentar dan kemudian berdiri mondar-mandir lagi.

“Hilangnya Ondol yang misterius, kemudian kematiannya yang tidak lazim itu menimbulkan kecurigaan kerabat dan penduduk sedesa. Beberapa bulan sebelum tiba-tiba saja hilang, Ondol selalu diawasi beberapa orang yang entah dari mana. Kini Ondol ditemukan tewas dalam keadaan mengerikan. Pasti ada apa-apa di balik kehilangannya yang misterius dan kematiannya yang mengenaskan itu....”

“Sebentar, sebentar,” yang berkumis memotong. “Sorri, sorri, sorri yeah, urusan kriminal itu banyak macamnya. Urusan bunuh-membunuh bukan bagian saya. Urusan saya adalah perkara kriminal yang berkaitan dengan narkotika dan perkara kenakalan remaja. Kalau kalian punya narkotika, hubungi saya yeah. He he he. Kalau yang menangani urusan bunuh-membunuh, yang berkaos oblong tadi. Nah, kalian dengar, dia lagi mandi dulu. Tunggu yeah.”

Orang-orang yang melapor kembali menyulut rokok. Salah seorang yang melapor segera menyimpan lagi sebungkus rokok di hadapan yang berkumis. Yang bersandal jepit dan yang berkumis menemani mereka merokok. Asap rokok memenuhi ruangan yang tidak terlalu luas itu.

Orang yang berkaos oblong datang sambil merapikan rambutnya. Mulutnya bersiul sumbang entah lagu apa.

“Nah, ini dia selesai mandi. Ayo sekarang lapor sama dia,” kata yang berkumis kepada orang-orang yang melapor.

“Terima kasih. Begini, Pak.”

“Nanti dulu,” yang berkaos hampir-hampir membungkam mulut yang melapor dengan tangannya, “laporan kriminalitas?”

“Iya, Pak.”

“Urusan bunuh-membunuh?” Mata yang berkaos oblong melirik ke bungkusan rokok di hadapan yang berkumis.

“Iya, Pak.” Salah seorang yang melapor dengan tergopoh menyodorkan sebungkus rokok kepada yang berkaos oblong.

“Ya, ya, ya... ayo mulai,” perintah yang berkaos oblong sambil segera menyulut rokok.

“Begini, Pak. Di tepi kali di desa kami, tadi siang ditemukan seorang warga kami yang sudah tidak bernyawa. Ondol, Pak. Setelah hilang enam bulan lebih, Ondol ditemukan mati di tepi kali. Mayatnya terapung tak tertutup selembar kain pun kecuali cawatnya yang putih kelabu dan tampak bolong-bolong. Beberapa bagian tubuhnya menunjukkan bahwa sebelum mati Ondol pernah mengalami penganiayaan. Jari-jari tangannya remuk bekas godaman batu. Sedangkan luka di dadanya hampir memperlihatkan beberapa buah tulang rusuknya.”

Yang bersandal jepit bersin, bunyinya mengagetkan yang melapor.

“Nah, begitu Pak. Ketika pertama kali ditemukan, Ondol yang mati di tepi kali itu tidak dikenali sebagai Ondol. Wajahnya hampir-hampir dapat dikatakan hancur remuk. Beberapa luka yang cukup mendalam menggaris di pipi, di dahi dan di belakang tulang rahangnya. Sebelah telinganya juga hampir-hampir putus. Dan matanya seolah tidak nampak karena tertutup oleh sekelilingnya yang tembam dan kebiruan.”

Yang bersandal jepit bersin lagi, bunyinya kembali mengage?tkan yang melapor.

“Hilangnya Ondol yang misterius, kemudian kematiannya yang tidak lazim itu menimbulkan kecurigaan kerabat dan penduduk sedesa. Beberapa bulan sebelum tiba-tiba saja hilang, Ondol, selalu diawasi beberapa orang yang entah dari mana. Kini Ondol ditemukan tewas dalam keadaan mengerikan. Pasti ada apa-apa di balik kehilangannya yang misterius dan kematiannya yang mengenaskan itu...”

“Baik, telah saya dengarkan,” kata yang berkaos, “apa kalian bawa berita acara kematiannya?”

Orang-orang yang melapor kaget dan bingung.

“Wah, kami tidak membawanya, Pak. Bagaimana, ya. Apakah tidak cukup dengan laporan lisan saya tadi, Pak?”

“Tentu saja tidak. Harus ada berita acara tertulis. Laporan lisan saja tidak cukup, walaupun yang menyampaikannya gubernur bahkan menteri sekalipun. Apalagi kalian cuma warga desa biasa! Sebuah laporan, apalagi ini adalah laporan kriminal yang berkaitan dengan pembunuhan, mesti dilaporkan secara ter-tu-lis. Ya, dengan menyerahkan berita acara kematian itu. Masa aparat desa tidak pernah mengumumkan peraturan ini!”

Yang berkaos oblong memandang tajam kepada orang-orang yang melapor. Orang-orang yang melapor menunduk semua.

“Kalau soal segawat ini hanya disampaikan secara lisan, itu namanya baru disebut is-syu. Berdasarkan peraturan nomor 12345/6/78, sebuah is-syu harus diperlakukan sebagai is-syu. Tingkat kebenarannya masih dalam tarap diragukan dan belum bisa dipercaya sedikit pun. Dengan demikian tidak perlu ditanggapi. Apalagi tanpa bukti. Ada bukti pun, jika tidak ada berita acara tertulis hitam di atas putih, ya hanya bisa dianggap sebagai kebohongan. Sebuah is-syu maksimal hanya bisa didengarkan atau dalam istilah yang lazim di sini: di-tam-pung. Nah, karena itu saya minta berita acara daripada kematian yang diis-syukan tadi. Itu pun kalau perkara ini ingin diusut tuntas, ya tass.”

“Caranya bagaimana, Pak?”

“Menurut peraturan nomor 23456/7/89, berita acara itu sekurang-kurangnya ditandatangani oleh lima orang yang melapor serta diketahui oleh ketua RT beserta ibu, Ketua RW beserta ibu, Kepala Desa beserta ibu, Camat juga beserta ibu, Kepala Kepolisian beserta ibu, dan akan lebih kuat lagi jika diketahui oleh Bupati beserta ibu. Lalu dikukuhkan oleh seorang notaris dan didaftarkan di pengadilan. Dibuat di atas kertas segel rangkap sepuluh. Dilengkapi pula dengan denah lokasi kematian, visum dokter, keterangan kelakuan baik sepanjang hayat, keterangan tidak pernah menentang dan menghina pemerintah, tidak pernah terlibat penganiayaan petugas keamanan, dan syarat lain yang tercantum di sini, nih.”

Yang berkaos menyerahkan selembar kertas.

“Nah, karena sekarang malam Minggu, sebentar lagi kantor yang berwajib ini akan tutup. Wajar dong kalau seminggu sekali kami juga menikmati kencan gratis di malam panjang. Kebetulan ada perempuan montok di ruang tahanan, he he he... pasti dia kesepian, kan?”


***

Di hadapan keluarga dan kerabat Ondol, orang-orang yang melapor menceritakan apa yang harus dilakukan agar peristiwa hilang serta tewasnya Ondol bisa diusut tuntas. Beberapa orang kerabat Ondol menyatakan bahwa kematian Ondol barangkali sudah merupakan takdir dan tak perlu diusut sebab-sebabnya. Tetapi orang-orang yang melapor meyakinkan mereka akan pentingnya pengu?sutan kematian Ondol.

“Ingat, sodara-sodara. Ondol mati tidak lazim dan keadaannya begitu mengerikan setelah setengah tahun lebih hilang secara misterius,” kata salah seorang. “Menurut yang berwajib juga ini sebuah peristiwa kriminal yang perlu diusut tuntas. Dan yang lebih penting lagi, kejadian ini menimpa Ondol yang cerdas dan berpendidikan, orang yang kita harapkan suatu saat bisa memimpin desa ini. Pasti ini ada hubungannya dengan keinginan Ondol untuk memimpin dan memajukan desa ini.”

“Betul. Bagaimana kalau semua orang yang punya keinginan untuk maju hilang dan terbunuh begitu saja?” tanya salah seorang. “Kalau soal ini dibiarkan, tak akan ada yang berani mendaftarkan diri menjadi calon kepala desa. Padahal pemilihan tinggal setahun lagi. Saya juga telah diminta masyarakat banyak untuk mencalonkan diri, tetapi saya tidak berani kalau risikonya harus seperti Ondol. Jelas bukan, ini bukan lagi soal kriminal biasa Yang berwajib saja mengatakan, ini sudah menyangkut perkara sub-ver-sif. Karena itu, pengusutan perlu dilakukan.”

Akhirnya semua kerabat Ondol menyepakati dilakukannya pengusutan. Salah seorang, yang menyatakan dirinya diminta untuk mencalonkan diri menjadi kepala desa, berbaik hati mengurus berita acara kematian Ondol. Namun pembuatan berita acara itu memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Untuk mendapatkan visum dokter, mayat yang telah dikubur digali kembali, dan itu menjadi pro dan kontra bagi masyarakat desa. Kerabat Ondol juga harus berpatungan menyiapkan sejumlah amplop untuk orang-orang yang menandatangani berita acara itu. Menurut salah seorang kerabat Ondol, lebih kurang satu juta habis digunakan untuk berita acara itu. Baru sebulan lewat satu hari berita acara itu bisa didaftarkan di pengadilan.

Pada hari itu juga, dengan semangat 45, orang-orang yang melapor kembali datang ke kantor yang berwajib di kabupaten. Mereka diterima oleh orang yang dulu mereka temui.

“Begini, Pak. Sesuai dengan petunjuk Bapak, sekarang kami serahkan berita acara kematian Ondol,” kata salah seorang, “kami semua mengharapkan kematian Ondol akan segera diusut tuntas setuntas-tuntasnya.”

Yang berkaos oblong mengerutkan dahi.

“Aduh, kenapa baru menyerahkan berita acara sekarang? Sayang sekali, ya sayang sekali. Menurut peraturan nomor 34567/8/90, sebuah peristiwa kriminal pembunuhan dengan lokasi kematian di tepi kali hanya dapat diusut tuntas bila berita acara kematiannya masuk kepada yang berwajib tidak lebih dari sebulan. Kemarin! Mestinya kemarin ke sini. Kalau kemarin datang ke sini, tentu berita acara kematian ini, atas nama hukum, bisa saya terima.”

Orang-orang yang melapor tersentak dan termangu.

“Sekarang kami tidak punya banyak waktu. Kami lagi sibuk, supersibuk. Sebuah kejadian serupa yang terjadi minggu lalu harus segera kami usut dan memerlukan penanganan yang tidak main-main. Lihat, berkas lengkap berita acaranya juga sudah kami terima," yang berkaos menunjuk setumpuk tebal kertas di atas meja.

Orang-orang yang melapor tak bisa berkata-kata.

“Jadi, lebih baik kematian e... siapa namanya itu, kalian lupakan saja. Bukan kami tidak ingin mengusut, tetapi kalian yang teledor, tidak disiplin dengan waktu. Jaman sekarang kita harus berpacu dengan waktu! Ya, kami tidak punya waktu banyak. Selain harus mengusut perkara minggu lalu, kami juga masih repot dengan perkara kematian si Udin brengsek setahun yang lalu itu," kata yang berkaos setengah marah-marah. “Sekali lagi, lupakan saja kematian si Podol itu, ya! OK?”

Dengan langkah gontai mereka pamit dan pulang dengan seberkas tebal berita acara kematian.

Dalam terik matahari yang membakar tubuh, mereka melangkah menuju sebuah warung kecil. Beberapa bungkus nasi rames mereka makan untuk menghilangkan lapar. Mereka membeli beberapa buah goreng pisang dan goreng ketan. Karena plastik pembungkus di warung itu habis, mereka membungkus gorengan itu dengan kertas-kertas segel berita acara kematian Ondol. Sebagian kertas yang lain mereka lemparkan ke udara. Kertas-kertas warna-warni berhamburan, melayang-layang dan jatuh ke tengah dan tepi jalan, ke halaman-halaman di rumah pinggir jalan, sebagian lainnya hanyut di selokan. Beberapa anak kecil memungut kertas-kertas itu untuk dibuat mainan kapal-kapalan.***




Cerpen A. Hidayat

No comments: