Tuesday 23 November 2010

Pada Sebuah Taman, Mei

Pada Sebuah Taman, Mei



Di taman kota, senja beringsut perlahan, lamban, bahkan nyaris lunglai. Senja yang kemarin juga, tapi. Mungkin karena burung-burung sudah mengungsi entah ke mana.

Pagi sekali, mereka yang hanya mengenal canda dan birahi, telah bergegas pergi dari situ. Terbang ke tempat-tempat yang jauh, mungkin ke wilayah-wilayah yang belum dikenalnya. Asing. Tapi adakah sesuatu yang asing bagi sebuah kemutlakan bernama naluri? Kukira tak ada. Ning juga pernah bilang begitu, dulu, ketika kami tidur bersama pertama kali, pada sebuah flat sederhana di Brooklynn, NY.

Dan burung-burung itu telah mengungsi meninggalkan taman di mana senja yang bisanya bersemangat menjemput malam, turun amat perlahan, lesu, meninggalkan gerah ? juga kesal lantaran langit kota telah penuh asap. Kota sedang terbakar. Revolusi, mungkin, sedang bermula.

Usai mengantar Ning, aku segera terbang ke sini. Bau tubuhnya masih tersisa dalam ketergesaan langkahku: asin, berkeringat, beraroma perempuan dengan keliaran tersembunyi di balik kecerdasan dan pendidikan yang baik. Bukan hal mudah mencapai taman ini. Gelombang masa yang bergulung-gulung bagai bah telah menyapu pertokoan, perkantoran dan meninggalkan nyala api yang perlahan-lahan makin membesar. Jalan raya yang melintang membelah-belah kota menjadi senyap, lenggang, menyisakan cungkup-cungkup api dari mobil-mobil terbakar.

Lalu di sini, senja mulai nyungsep, dan Yogo telah datang.

“Kita evaluasi perkembangan, di sana. Pergilah,” ungkapnya tadi subuh sebelum berpisah. Malam yang teramat meletihkan telah kami lewatkan dan sekarang adalah tahap menunggu. Kekuasaan, kekuatan dan ambisi adalah aura yang memancar dari tubuh tegap Yogo, sepanjang malam, tadi. Dia hanya mengenakan T-shirt polos, sepatu karet dan celana jeans. Atribut perwira yang selama ini menjadi citranya di depan publik, lenyap sama sekali. Sambil mengontrol radio, memberi komando, mematangkan dan memberi perintah ‘start’, dia bagai berada dalam situasi ekstase. Persis ketika suatu malam, nun beberapa tahun lampau, ketika kami duduk di sebuah cafĂ© di pinggir Champs Elessye, Paris, meneguk perlahan hangat tequilla.

“Perjumpaan dengan calon presiden,” aku menyebut pertemuan malam itu. Dia datang dari jauh, pedalaman Irian, usai membebaskan sandera.

Bau hutan tropis masih lekat di wajahnya. Urat-urat kesadaran yang memancarkan kharisma dari seorang prajurit lapangan, juga terekam dalam kalimat-kalimatnya yang cerdas. “Anda bantu saya. Tak perlu kontak, kukira. Anggap ini sebagai ekspresi persaudaraan, persahabatan. Juga keagungan sebuah cita-cita. Kamu pasti setuju, persahabatan adalah ikatan kita.” Singkat, simpel, khas orang lapangan yang pernah mengenyam pendidikan menengah di negeri-negeri asing.

Dan malam tadi, hingga subuh ketika kami pisah, Yogo tampak angker. Lambaian tangan kekuasaan semakin mengentalkan darah ambisinya. Persahabatan itu, segera akan terbukti, kelak, tapi rencana masih sedang berlangsung. Belum perlu ada kalkulasi menang atau kalah. Presiden memang sudah terpojok, tapi ada saja hal yang tak dapat diduga. Juga kedatangan Yogo yang telat.

Malam kemudian tiba dengan diam. Malam yang sepi.

Ning menelepon.

“Bang, Presiden mundur besok. Yogo tak mungkin datang. Pulanglah,” katanya simpel. Tak ada basa-basi, seperti irama tubuhnya: simpel, langsung, tegas dan banal.

Aku kontan diserang frustasi. Lesu, habis, pupus. Sebuah persilatan virtual telah berlangsung mulai tadi subuh, bahkan sudah dua hari sebelumnya, bahkan dua tahun sebelumnya ketika ketekunan di depan mesin komputer menjadi aktivis menggairahkan. Aku telah membaca jutaan bit dari laporan intelejen, mengamati penampilan sekian ratus tokoh di depan publik dari waktu ke waktu, menganalisis arah perkembangan berbagai kelompok. Bahkan untuk beberapa tokoh kunci, sampai ke gelagat seksualnya di ranjang, telah aku rekam di luar kepala. Dan sebagian besar kerja keras itu sudah berhasil. Para pemain valas telah terkuasai. Beberapa buah bank sudah ambruk. Markas keuangan sudah terbakar, diliputi misteri. Para aktivis telah diamankan. Sabotase, demonstrasi, dan berbagai upaya pembusukan telah terjadi. Bahkan picu massa telah berhasil melalui eksekusi mahasiswa. Presiden yang ternyata sangat lemah, masih mampu tampil sebagai satu-satunya pilar penentu. Pendek kata semua berjalan sesuai rencana. Demi Yogo, demi kesan pada sebuah malam di sebuah kaki lima di Paris, dan demi keagungan. Oh, betapa menggairahkan.

Di ufuk, bayang kegagalan mulai tampak. Tapi apa mungkin? Yogo memang bukan panglima. Dia berada satu level di bawah, tapi aku punya keyakinan, juga kepercayaan atas nama keagungan, bahwa dia takkan menyerah begitu saja. Langkah presiden selamanya memang tak terduga. Mundur mendadak tentu akan membuyarkan rencana. Akan menyetop aksi, akan memuaskan semua orang dan segera akan berbalik menyerang kami. Ini harus dicegah. Kebebalan presiden untuk bersikukuh pada kursi kekuasaan, rupanya tak dapat dipercaya; dia memilih mengalah sebelum bertempur. Dia ternyata bukan prajurit sejati seperti senantiasa dicitrakan di depan publik. Dia tak lebih seorang tua pikun yang sedang kehabisan cita-cita, ?lampu teplok kehabisan minyak; faktor yang kami tak hitung selama ini.

“Ning, kamu masih di situ?” kataku menjawab Ning.

“Ia. Kamu kok diam saja?”

“Aku bingung. Ada kontak dengan Yogo?”

“Belum, tapi kuusahakan. Mungkin dia sedang di istana.”

“Pulanglah segera, pulang. Di sini kita bisa berpikir jernih.”

Suara Ning tetap empuk. Menggairahkan. Memanggil. Tak ada kegetiran, apalagi kegentaran. Dia memang lebih matang. Mungkin kematangan yang datang dari daya-daya seksualnya yang tak pernah surut dan padam. Sebaliknya, aku yang justru panik dan gamang. Bukan karena risiko yang mesti datang, balas dendam kalangan militer, bukan. Melainkan kepanikan seorang penulis skenario yang gagal mementaskan lakonnya dengan sempurna. Lakon yang berjalan tak sampai klimaks, lantaran aktornya bermain tak terkendali. Juga kepanikan dan kegamangan seorang yang tumbuh berkembang bersama ilusi revolusi, seperti Che Guevara, Castro, dan mungkin Kaddafi ? hadir untuk berperanan menumbangkan tiran dan eksis atas nama cita-cita dan keagungan. Aku benar-benar frustasi, kini.

"Kamu masih di situ?" tanya Ning. Kali ini suaranya bernada khawatir.

“Iya,” balasku memencet “off” pada hand-phone.

Malam sudah bertahta. Udara gerah berbau asap. Taman benar-benar muram. Durja. Reranting tampak seram memantulkan malam hari. Kota masih terbakar, menghanguskan sisa rencana.

Hand-phoneku bertulilit. Suara Yogo; “Tunggu sampai besok,” katanya singkat.

Tak ada besok, Yogo: gumamku membatin. Seperti yang sering kamu katakan, sekarang atau tidak sama sekali. Kenyataan yang tak diperhitungkan akhirnya terjadi, dan tak ada rencana ulang.

Di sini, di taman tempat burung-burung bersenggama, bertelur dan berkembang biak ‘dan kini telah mengungsi entah ke mana’ semuanya telah berakhir. Keagungan itu memang ilusi, kini. Bagi Yogo, utamanya. Sementara bagiku? Masih ada Ning. Kami akan segera terbang ke negeri lain, di sana prarencana sudah tersusun. Sasaran tembak: Perdana Menteri yang terlampau cerdas dan sedang berkilau di dunia internasional, alumni Oxford, almamaterku. Ini tentu akan lebih menggairahkan. Biarlah persahabatan dengan Yogo berakhir. Atau bisa lanjut di masa yang datang. Dia terlampau cerdas untuk dihentikan. Tapi tidak malam ini.

“Ning, kamu masih di situ?”

“Ya, aku sudah mandi.”

“Sekarang pakai handuk?”

“Ya, cuma handuk. Duduk menunggumu.”

“Sebentar lagi aku datang. Aku ingin berendam.”

“Kalau begitu aku mandi lagi.”

“Berendam bersama-sama.”

“Iya.”

“Terus?”

“Terus larut seperti biasa.”

“Aku meresapkan bau mulutmu, kini.”

“Aku juga.”

“Tunggu, ya!”

“Cepat.”

Malam, di taman ini, kurasakan gairah yang lain. Gairah bulan Mei. Seperti gairah sebuah musim panas, di Brooklynn, NY, nun bertahun lampau.***



Jakarta, Juni 1998

Cerpen Moch. Hasymi Ibrahim

No comments: