Para Pemburu
Oleh: Agus Noor
Purnama mengapung di telaga, sesekali meleleh oleh arus gelombang. Kami memandanginya dengan gamang. Angin bergegas pergi oleh kedatangan kami. Seperti juga semua makhluk yang ketakutan mendengar gemuruh kaki kami. Hingga kami merasa benar-benar sendiri, ditangkup sunyi daun-daun yang mandi cahaya. Kami beristirahat di pinggir telaga itu, hanyut oleh pikiran kami. Meletakkan semua senjata yang selama ini kami jinjing dan gendong. Sebagian dari kami langsung merebahkan tubuh atau bersandaran pada batang pohon dan gundukan batu. Sebagian lagi menyempatkan diri membersihkan wajah terlebih dahulu, melulurkan kesejukan pada lengan dan kaki yang bengkak.
Inilah perjalanan terjauh dan terlelah kami, sebelum sampai ke telaga ini. Inilah pertama kali kami merasa begitu lelah, setelah bertahun-tahun memburu buruan kami yang bergerak begitu cepat. Kami seperti mengejar kilat. Seluruh kekuatan dan pengalaman kami sebagai pemburu telah kami keluarkan sampai tandas, tetapi kali ini, buruan kami tetap saja melenggang bebas. Membuat kami begitu merasa terhina. Seakan sia-sia kebesaran kami sebagai pemburu yang telah berabad-abad mengabdikan hidup dan peradaban kami hanya untuk berburu. Kami adalah bangsa pemburu yang besar. Siapakah yang tak tahu akan hal itu? Kami tak pernah gagal mem?uru sesuatu. Telah kami jelajahi seluruh hutan. Telah kami bongkar tiap lekuk pegunungan. Telah kami sibak semua palung lautan. Nenek moyang kami telah membentuk kami sebagai pemburu paling ulung.
Lagu-lagu kami adalah lagu-lagu perburuan. Legenda kami adalah penaklukan puluhan binatang buruan. Kami tak pernah tergoda menjadi petani atau pedagang. Tak ada yang lebih terhormat bagi kami, nenek moyang dan anak cucu kami, selain menjadi seorang pemburu besar yang sanggup merobohkan gajah dengan satu gerakan. Cerita-cerita penaklukan, mengantar tidur anak-anak kami. Menjadi hutan lebat yang tumbuh dalam kepala mereka. Setiap dari kami dibesarkan dalam belukar. Kami sudah tahu bagaimana menyembelih wildebeest, sejak kami masih dalam kandungan. Kami mengembara dari satu benua ke benua lainnya, untuk memburu binatang-binatang, bukan sebagai cara kami bertahan menghadapi hidup, tetapi lebih untuk kebanggaan dan kehormatan.
Sampai kemudian kami menyadari, betapa binatang-binatang di dunia ini perlahan-lahan
telah habis kami buru. Membuat kami cemas, melihat kehormatan kami akan goyah suatu ketika. Apalah arti kami bila tak lagi hidup sebagai pemburu. Barangkali, binatang-binatang itu juga sudah terlalu hafal dengan kami. Maka mereka buru-buru menjauh pergi, begitu tercium bau kami. Tetapi mungkin juga memang binatang-binatang itu sudah habis kami bunuhi. Gajah, badak, macan, rusa, ular, serigala dan segala macamnya. Sampai kelinci, tupai dan tikus, telah lenyap kami tangkap. Maklumlah, dari tahun-ketahun, jumlah kami memang makin membesar. Setiap bulan hampir seratus anak kami lahir, sementara orang-orang tua kami bagai tak bisa mati. Mereka sudah renta, tapi tak gampang mati. Banyak di antara kami yang sudah berusia 7890 tahun, tetapi masih sanggup berlari mengejar entelope, kemudian menghantam kepala binatang itu dengan kepalan tangan, hingga pecah berantakan. Dan itulah kehormatan.
Tapi sudah lama kami kesulitan menegakkan kehormatan macam itu. Karena, seperti kami katakan tadi, semua binatang telah habis kami buru, kami bunuh.
"Perburuan tak mungkin berhenti!"
"Kita akan cepat renta bila sehari tak memburu apa pun!"
"Takdir tak bisa dihentikan."
"Lantas bagaimana?"
"Apa pun yang terjadi kita mesti memburu sesuatu!"
"Memburu apa?"
Itu membuat kami terdiam. Sampai kemudian ide brilian terlontar. Kami akan memburu manusia, untuk menggantikan binatang yang kini telah musnah. Maka kami pun membeli ratusan budak. Mereka kami beri kesempatan untuk bebas, dengan cara melarikan diri. Mereka kami lepas ke tengah hutan, membiarkan mereka lari dan menghilang, baru kemudian kami memburu mereka. Itu menjadikan kami begitu bahagia. Bahkan membuat kami lebih merasa sempurna sebagai pemburu. Memburu budak-budak itu lebih mengasyikkan dari pada memburu binatang. Mereka lebih menantang untuk kami taklukkan. Anak-anak kami pun nampaknya lebih suka dengan perburuan macam itu. Lantas, perlahan-lahan, kebiasaan baru tumbuh dalam kehidupan kami. Menjadi tradisi. Kami tak lagi memburu binatang, tapi manusia. Kami membeli juga para penjahat yang telah divonis mati. Kepada mereka kami tawarkan kebebasan, "Masuklah dalam hutan, lari. Selamatkan kehidupanmu. Jangan cemas, meski kami akan memburu kalian, kalian masih punya kesempatan untuk memperpanjang kehidupan. Meskipun kalian juga tak luput dari kematian. Tapi itu lebih baik bagi kalian, dari pada mati di tiang gantungan: tak lagi punya pilihan. Mati dalam perburuan ini lebih terhormat bagi kalian. Anggap semua ini hanya permainan. Semoga nasib baik bersama kalian..."
Dan para pesakitan itu pun kami lepas dengan upacara kehormatan. Kami iringi dengan lengkingan terompet dan juga dentuman meriam. Selamat jalan. Inilah hidup yang sesungguhnya, yang membuat kalian akan merasa memiliki harga sebagai seorang pesakitan. Adakah yang lebih menyenangkan, selain melakukan perburuan semacam ini? Mereka kami beri kehidupan sekaligus batas kematian. Setiap detik adalah pertarungan. Banyak juga di antara kami yang mati dalam perkelahian. Para penjahat itu, memang makhluk yang tak gampang menyerah. Liat dan sigap. Dan itu, sungguh, sasaran perburuan yang menggairahkan.
Rupanya, tak hanya kami yang suka dengan permainan semacam itu. Ketika kisah-kisah kami menjalar ke banyak negara, banyak orang di luar suku kami, mendatangi kami, untuk ikut menikmati perburuan itu. Mula-mula, banyak di antara kami yang menolak, karena hal itu dianggap akan mengotori kemurnian darah pemburu kami. Tetapi kami tak bisa menolak, ketika dari banyak yang datang ke pada kami itu adalah para jendral, orang-orang besar di negara mereka, para raja, puluhan kepala negara, para bangsawan dan pengusaha besar. Para bangsawan, yang memang memiliki kebiasaan berburu seperti kami dan memiliki lahan-lahan perburuan yang luas, mengijinkan tempat-tempat itu untuk kami kelola dan kem?bangkan sebagai ladang perburuan yang lebih menantang dan menyenangkan. Bahkan mereka menjanjikan kami lahan-lahan perburuan yang lebih luas. Para jendral menyediakan kami senjata-senjata paling mutakhir. Para pengusaha mensubsidi kami modal bermilyar-milyar. Para raja dan kepala negara mempersilahkan kami untuk memilih rakyat mereka sebagai binatang buruan. Hingga kami tak lagi kekurangan buruan. Kami tak hanya punya kesempatan memburu para penjahat yang telah divonis mati, tetapi kami bebas memilih siapa pun yang paling menyenangkan kami buru. Malah sering para raja dan kepala negara memberi kemudahan kami dengan memberi lisensi untuk menghabisi para tokoh oposisi yang tak mereka sukai, para demonstran untuk kami habisi. Juga kaum intelektual yang selama ini mereka benci. Ah, begitu melimpah buruan kami.
Kami bangun juga istana-istana, tempat kami berpesta setelah seharian berburu. Kami menjadi kaum pemburu yang kian kokoh dan terhormat. Kami perlahan-lahan meninggalkan cara hidup kami di hutan, dengan setiap malam tidur di ranjang yang bersih dan nyaman. Kami tak lagi hanya terbiasa dengan bunyi pedang, tetapi juga denting gelas dalam kehangatan pesta.
"Ini darah seorang penyair untukmu, jangan sedih..." Gelas kami beradu, dan kami tertawa bahagia. Begitulah memang mestinya nasib penyair yang tak menulis syair puja-puji bagi keagungan kami. Hidup pemburu agung!
Kami pun menjadi kelompok pemburu yang besar, yang melintas bagai badai dan gelombang, menggulung apa pun yang kami sukai. Di antara kemeriahan pesta, kami terus menuliskan sejarah kami yang agung. Perburuan bukan lagi perkara kebesaran dan kehormatan, tetapi juga, terkadang, keisengan. Kami, yang telah menjadi sekelompok pemburu yang paling kuat, dengan dukungan dana yang melimpah, pasokan senjata yang bagai anggur mengalir dalam gelas-gelas kami, menjadi tak tertandingi. Kami berdiri di puncak menara peradaban, sendiri. Itu sering membuat kami terusik sunyi. Apakah arti kekuatan bila tak ada tantangan yang sepandan? Tak ada lagi yang sanggup melawan kami. Ketika kami menjarah perempuan dan membunuhi anak-anak, ketika kami memburu ribuan orang Yahudi untuk kami kirim ke kamp konsentrasi, ketika kami menembaki anak-anak Palestina, ketika kami memburu dan membantai orang-orang muslim di Bosnia, ketika kami mengirim pasukan pemburu ke banyak negara untuk meluluhlantakkan apa saja, tak ada lagi kegairahan karena kemenangan. Tak ada lagi yang berani menggertak kami, sehingga permainan menjadi tak lagi begitu punya arti. Kami terus memburu, kami terus bergerak dari benua ke benua dari zaman ke zaman, melintasi gelombang waktu, menumpuk tengkorak kepala korban kami hingga menggunung sampai menyentuh awan, tetapi kami selalu dirundung sunyi. Apalah arti semua itu bagi jiwa pemburu kami. Semua itu bukan lagi gairah petualangan dan tantangan, tetapi penaklukan yang membosankan. Karena kami sudah terlalu kuat, hingga pertarungan menjadi tak sepandan. Kami seperti kehilangan buruan yang mengasyikkan.
"Kita harus melakukan sesuatu. Jangan biarkan anak-anak kita menjadi pucat dan pasi. Jangan biarkan mereka menjadi lembek karena rasa sunyi ini."
Lalu seseorang yang paling tua di antara kami, yang sudah berumur 100 juta tahun lebih, menyarankan kami agar mengumpulkan para kiai. Suaranya sudah gemetar, seakan maut sudah menyentuh bibir orang tua itu.
"Untuk apa mengumpulkan para kiai itu?"
"Aku sudah mencium ajalku. Dan aku ingin, sebelum maut menjemputku, aku ingin menikmati perburuan yang paling menggairahkan."
"Apa hubungannya dengan para kiai itu?"
"Kumpulkan mereka, dari seluruh dunia. Suruh mereka menyediakan malaikat untuk kita buru!"
Kami terpukau oleh gagasan itu. Membuat darah kami menggelembungkan jiwa pemburu kami. Gairah menjalar, membangkitkan imajinasi kami. Ya, malaikat, kenapa kami tak memburu malaikat?
"Jibril! bagaimana kalau kita minta Jibril!"
"Kami bersorai, anggur segera kami tuang dalam gelas, bersulang, menyambut hari depan kami yang gilang gemilang. Panji perburuan berkibar. Kami segera menghimpun topan. Kami segera mengeluarkan seluruh senjata kami. Dan tentu, kami segera mengumpulkan para kiai. Mereka kami datangkan dari semua penjuru, kalau perlu dengan paksa dan kekerasan."
"Kami ingin Jibril," kata kami kepada mereka. "Kami tak mau tahu, bagaimana cara kalian mendatangkan Jibril bagi kami. Apakah kalian akan sholat sepanjang hari? Apakah kalian akan berdoa dan mengaji? Apakah kalian akan menangkar atau menjebak Jibril dengan sebuah perangkap? Kami tak mau tahu dengan itu semua. Sekarang, katakan kepada kami, kapan kalian bisa menyediakan Jibril bagi kami?"
Kami tatap wajah para kiai itu, mencari kepastian dalam mata mereka.
"Baiklah," tegas kami, "kalian kami beri waktu satu bulan. Bila selama ini kalian tak bisa mendatangkan Jibril bagi kami, kami akan membikin perhitungan sendiri..."
Mereka, para kiai itu, kami giring ke sebuah istana kami yang paling megah. Tetapi mereka menolak, dan meminta kami untuk membawa mereka ke sebuah kaki bukit di mana ada sebuah masjid kecil di pinggir hutan. Kami turut kemauan mereka, meski sesungguhnya heran. Apalagi ketika kami melihat sendiri masjid itu. Benar-benar masjid kecil yang tak terawat. Seluruh bangunan itu terbuat dari pelapah kayu, telah lapuk. Luasnya tak lebih dari lima kali lima tombak. Bagaimana tempat sekecil itu menampung jutaan kiai yang kami himpun dari seluruh penjuru ini.
"Kalian jangan bercanda!" teriak kami.
"Kalianlah yang bercanda, dengan meminta kami mendatangkan Jibril."
"Baiklah..."
Lantas kami membiarkan satu persatu para kiai itu masuk masjid kecil itu, membuat kami begitu ternganga, ketika hampir separo dari jutaan kiai itu sudah masuk ke dalam masjid, tetapi masjid itu tak juga penuh. Pintu itu terbuka untuk menerima siapa pun masuk ke dalamnya. Barisan kiai masih antri di depan masjid itu, berkelok-kelok mengikuti gigir bukit, seperti barisan semut yang begitu tertib menuju lubang sarang mereka . Jutaan kiai masuk ke dalam masjid yang bagi kami hanya cukup untuk tidur dua puluh orang, itu pun pasti sudah berhimpitan, bagaimana mungkin? Tapi, itulah yang kami saksikan. Sampai kemudian semua kiai telah masuk dalam masjid itu. Dan kami mendengar gema dzikir dari dalam sana, mengalun menidurkan rerumputan, sepanjang hari sepanjang malam. Gema itu melambung, menyentuh langit. Kadang kami merasa ada yang menggemericik dalam hati kami karena gema itu. Seperti batang-batang pohon yang bergoyang itu, seperti daun yang melayang-layang itu, yang hanyut dibuai dzikir para kiai. Kami memagarbetis masjid itu, tak membiarkan seekor tikus lolos dari amatan kami. Kami tak mau kecolongan. Kami tak mau di tipu para kiai itu, jangan-jangan semua itu sihir belaka. Kami terus berjaga, takut mereka akan keluar dan meloloskan diri ketika kami tertidur.
Satu bulan lewat, menguap begitu cepat, bersama angin dan embun. Membuat kami cemas, sekaligus marah, ketika para kiai itu tak juga muncul dari dalam masjid. Segera kami kirim seseorang untuk menemui mereka. Namun orang itu tak kembali. Membuat kami tambah cemas menunggu, kemudian kembali mengirim utusan untuk menemui para kiai di dalam masjid itu. Tetapi seperti yang pertama, orang kedua kami pun tak kembali. Kami panggil namanya, tetapi tak kunjung keluar jua. Kami kirim utusan kembali, memperingatkan para kiai bahwa waktu sudah habis buat mereka. Tapi seperti yang pertama dan kedua, utusan kami ini pun tak muncul lagi meski kami sudah menanti lebih lima hari. Begitulah berkali-kali, setiap orang yang kami kirim untuk menjumpai para kiai, tak pernah muncul kembali. Sementara suara dzikir itu terus saja bergema, membuat udara bergetar dan perasaan kami gemetar. Lantas kami tak bisa lagi sabar. Kami berteriak menyuruh para kiai itu keluar, tetapi hanya gema dzikir membalas suara kami. Kami sudah cukup punya pengertian, bukan?
Jangan salahkan kami. Dan kami segera menyerbu, masuk dalam masjid itu, tetapi, luar biasa, semua dari kami yang masuk ke dalam masjid itu, lenyap seketika, raib begitu saja. Tiba-tiba tubuh mereka hilang tak berbekas, bagai masuk ke tabir ruang dan waktu pada dimensi lain, tertelan dan lenyap. Kami panik. Kemarahan kami menyalakan api di tangan, berkobar dan segera kami lempar pada mesjid itu. Kami bakar masjid itu, hingga kayu-kayu bergemeretakan, dan api melahap cepat, membumbung.
Namun dzikir itu masih kami dengar, di pucuk api berkobar.
Pada saat itulah, seseorang di antara kami berteriak, membuat kami tengadah ke puncak api. Dan, ya Allah, di sana, di puncak kobaran api, kami melihat selesat biru cahaya menatap kami, dengan sayap terentang sampai ujung paling jauh dari semesta.
"Jibril!!"
"Jibril!!"
Seketika kami berteriak, antara takjub dan panik, gembira dan tak percaya, melihat impian kami sudah di depan mata. Apakah ini keajaiban yang dikirim bagi kami?
"Buru!"
Teriakan itu, mendadak menyadarkan kami, betapa memang inilah yang selama ini kami tunggu-tunggu. Jibril, kini telah muncul di hadapan kami, kenapa kami malah bengong begitu? Maka, dengan sigap kami segera meraih senjata-senjata kami. Tombak, anak panah, desing senapan mesin, roket dan basoka, dengan cepat berlesatan ke arah selesat cahaya biru itu yang dengan cepat bergerak dengan sayap mengepak.
"Kejar!"
Kami pun melesat, mengejar Jibril. Bertahun-tahun kami memburu. Membiarkan kaki kami koyak oleh duri, membiarkan rambut dan jenggot kami memanjang tak terawat. Kami tak punya waktu untuk memikirkan itu semua. Jiwa pemburu kami bergelora oleh gairah perburuan kali ini. Inilah perburuan paling menakjubkan bagi kami. Setelah berabad-abad kami hidup sebagai pemburu, setelah bermacam pengalaman perburuan membuat kami jadi pemburu sejati, inilah sesungguh-sesungguhnya perburuan yang sejati. Tombak terus beterbangan, roket terus berlesatan, jaring-jaring baja telah kami rentangkan, ranjau-ranjau telah kami tanam, perangkap telah kami pasang, agar kami mampu meringkus Jibril. Inilah buruan kami yang abadi. Kemanapun Jibril melesat, kami memburunya.
Sampai kami tiba di pinggir telaga ini, yang menyimpan bayangan bulan. Sebagian besar dari kami kini benar-benar renta. Kami tak sempat istirahat. Kami tak pernah tidur di satu tempat, hingga telah lama anak-anak kami tak lahir. Kami begitu sibuk memburu Jibril. Banyak dari kami yang mati dalam perburuan ini, dan kami pun tak sempat menguburkannya. Karena kami harus terus mengejar Jibril. Kami tak mau kehilangan jejak. Dan memang, kami benar-benar tak pernah punya waktu istirahat. Ketika kami baru saja rebahan dan membasuh kelelahan kami di telaga itu pun, mengharap kesegaran akan membuat tenaga kami kembali muda, kami sudah harus kembali pergi ketika pada bayangan bulan, kami lihat jejak cahaya.
"Kesana!" seseorang dari kami berteriak, dan langsung melesat. Di seberang telaga sana, kami melihat buruan abadi kami, mengepakkan sayap-sayap cahaya-Nya.
Maka kami pun kembali bangkit, meraih peralatan berburu kami. Segera menghambur, melanjutkan pemburuan abadi kami.***
Yogyakarta, 1995-1998
(Dongeng Buat Mas Danarto)
No comments:
Post a Comment