Rumah Tuhan
Sampai saat ini, seperempat abad setelah ia meninggal dunia, masih terang terngiang di telingaku kata-kata yang selalu diucapkannya dengan suara lantang, nyaris berteriak, seolah-olah ingin kata-katanya didengar oleh setiap orang di seantero dunia, ia berkata: "Atur sendiri-sendiri!"
Demikian dikatakannya setiap kali, berkali-kali, di mana pun kebetulan ia berada. Di trotoar-trotoar, di emperan-emperan toko, di perempatan jalan, di depan teras-teras rumah yang pagarnya terkunci atau ketika di dunia santai berleha-leha di pojok-pojok sepi.
Seorang laki-laki tua, lebih separo abad usianya, ditandai oleh kerit-merut di wajahnya. Ia mengenakan jas wol tua warna hitam yang bulunya telah lenyap dan kelihatannya terlalu besar menyungkup pundaknya. Mungkin jas itu diperolehnya dari belas kasihan salah seorang pegawai Palang Merah Sekutu di zaman pendudukan Nica. Ia mengenakan topi koboi yang pinggirannya geripis dan warnanya tidak menentu lagi. Memakai sarung Samarinda biru yang juga telah memat. Ia selalu mencangkingkan sebuah buntalan besar yang kumal dan entah apa isinya.
Meskipun tua, tapi pengawakannya tegap dan kekar. Sorot matanya memancar berbinar. Karenanya ia ditakuti orang, terlebih-lebih anak-anak tidak berani mendekatinya. Mungkin ia mantan pendekar silat atau bekas tukang pukul pengawal pribadi tokoh yang amat disegani orang. Dengan terompahnya yang peyot solnya ia berjalan ke sana-sini mengelilingi kota. Masuk-keluar kampung. Sekali-sekali berhenti di depan kantor, tempat orang lagi sibuk bekerja. Tidak jarang ia masuk nyelonong begitu saja ke ruang dalam kantor itu tanpa sedikit pun merasa canggung atau enggan. Kemudian seperti biasa ia menyerukan kata-kata yang telah dihapalnya di luar kepala: "Atur sendiri-sendiri!" Hingga pesuruh kantor tergopoh-gopoh mengusirnya keluar.
Boleh jadi tidak ada yang dapat memahami arti kata-kata yang diucapkannya, karena kata-kata itu seperti dilontarkan secara spontan, sekedar iseng semata tanpa maksud tujuan tertentu. Kata-kata yang sepintas lalu hampa tak bermakna, tidak ada artinya.
Atau dengan kata-kata itu ia hendak menjelaskan suatu maksud. Sesuatu yang punya arti, begitu berarti dan perlu diketahui oleh setiap orang. Hanya kata-kata itu yang selalu diucapkannya, selalu dengan tekanan nada sungguh-sungguh.
Sepintas lalu, bila direnungkan, seolah-olah kata-kata itu mengandung multi makna yang sulit ditebak artinya. "Atur sendiri-sendiri!" Bisa berarti: "Berdiri di atas kaki sendiri!" "Jangan sekali-kali ndompleng atau bergantung pada orang lain!" Atau: "Benahi dirimu sendiri, jangan pusingkan orang lain!" "Jangan sok!" "Berbuatlah sesuai kemampuan!" "Hiduplah secara tertib dan teratur!" "Tegakkan disiplin!" "Berbuat baiklah selalu, jangan sombong dan bersikap tak terkendali!" Dan masih banyak lagi arti lain yang dapat ditarik dan disimpulkan dari kata-kata tersebut.
Oh ya, belum kuceritakan siapa ia sesungguhnya. Siapa namanya. Dari mana asal-usulnya. Orang hanya mengenalnya hanya dengan panggilan pendek: "Din!" Tak lebih dari itu. Apakah "Din" itu kependekan dari nama lengkap Samsudin, Saridin, Sidin, Brodin atau Ilmudin, tak ada yang tahu.
Ada selentingan, konon di masa mudanya dulu ia pernah memiliki sebidang tanah yang subur di desanya. Tanah itu ditumbuhi berbagai jenis pohon buah-buahan. Di sampingnya mengalir sungai kecil yang jernih airnya. Ia bersama anak-bininya hidup tenteram dan makmur di sebuah gubuk mungil tak jauh dari tanahnya.
Tapi di zaman Revolusi Kemerdekaan tahun 1945 desanya diserbu oleh balatentara Sekutu yang diboncengi oleh serdadu-serdadu Nica. Mereka membumihanguskan seluruh desa, tak terkecuali gubuknya. Menghancur-leburkan kebun buahnya dan membantai anak-bininya. Berkat perlindungan Tuhan ia selamat dari bencana itu.
Sejak waktu itulah ia mulai linglung serupa orang yang kehilangan akal sehat. Diam-diam ditinggalkannya desa tempat asalnya yang penuh kenangan pahit, lalu berkelana tanpa tujuan mengikuti ayunan langkah kakinya.
Pengelanaannya tidak berjalan mulus. Martir habis-habisan Revolusi Kemerdekaan bangsa dan negara itu akhirnya terdampar di sebuah kota yang sama sekali tak ramah, penuh bertabur onak dan duri. Di mana-mana ia ditampik dan dihalau.
Ketika berada di jalan-jalan beraspal di bawah sengatan terik matahari atau diliputi hawa dingin di malam hari ada saja orang-orang usil yang memperolok-olokkannya, karena penampilannya yang tidak lazim. Kusir-kusir dokar, tukang-tukang becak, lebih-lebih anak-anak jalanan, mereka sama menertawakan dan mempergunjingkannya.
Tapi semua itu tak dihiraukannya. Sebaliknya malah ia menganggap mereka orang-orang gila. Ia tetap lewat melintasi mereka sambil merunduk penuh kesabaran, meskipun agaknya bisa saja ia menghajar dan mengobrak-abrik orang-orang usil itu.
Sudah cukup banyak tempat yang disinggahinya sejak ia meninggalkan desanya beberapa tahun lalu. Siang hari ia berkeliling mengitari jalan-jalan di kota. Bila malam tiba ia bergegas mencari tempat berteduh untuk mengistirahatkan tubuh. Tempat peristirahatannya tidak tetap, selalu berpindah-pindah. Karena ada saja orang yang mengusirnya dari tempat itu. Penjaga malam yang berpatroli atau orang senasib yang merasa lebih berhak menguasai tempat itu.
Pernah ia ngumpet di sudut tersembunyi sebuah bank. Di emperan super market. Di bawah pohon di taman hotel berbintang. Di halte-halte bus kota. Di emper stasiun kereta api. Di pemakaman-pemakaman umum. Ia melonjorkan kakinya yang penat berdebu. Bahkan pernah selama beberapa malam ia tidur di serambi rumah dinas walikota yang kebetulan tidak dijaga, karena walikota tidak pernah tidur di situ.
Ternyata sebagai gelandangan ia bisa hidup terus selama bertahun-tahun. Dari mana diperolehnya uang untuk penyambung hidupnya? Di samping ada orang-orang yang selalu menghalaunya, ada juga insan-insan yang baik hati yang berbelas-kasih yang kadang-kadang melemparkan uang recehan atau beberapa batang rokok kepadanya, yang tentu disambutnya dengan penuh rasa syukur disertai senyuman lebar.
Entah darimana, suatu ketika tiba-tiba timbul dalam benaknya pikiran itu. Setelah selalu mengalami kesulitan dalam upaya memperoleh tempat peristirahatan yang aman, senantiasa dihalau, diusir dari satu tempat ke tempat lain. Maka teringatlah ia pada Rumah Tuhan. Masjid atau surau dan musala yang jumlahnya cukup banyak di kota itu.
Mengapa ia tidak ke sana saja, pikirnya, untuk beristirahat di malam hari, sekadar numpang tidur sejenak, minta naungan dan perlindungan dari Si Empunya Rumah, yaitu Tuhan? Tiadakah rumah itu milik Tuhan? Bukan milik siapa-siapa? Tiadakah setiap hamba Tuhan yang baik berhak memperoleh naungan dan perlindungan di rumah-Nya?
Begitulah pada suatu malam dengan penuh harapan ia melangkah menuju ke salah satu masjid agung di kota itu. Tapi sial, ia tak bisa masuk ke dalam masjid, karena ada pagar tinggi menghadangnya. Pagar tinggi tersebut dari besi yang berjeruji lancip ujungnya serupa tombak lagi terkunci rapat.
Dengan hati sendu dan putus asa, ia surut, lalu mencoba mencari tempat lain utuk istirahat. Ia menuju ke salah satu surau yang diingatnya. Letak surau itu di pinggiran kota yang terpencil, jarang dikunjungi orang dan jelas tidak berpagar besi dengan jeruji yang ujungnya lancip serupa tombak.
Surau itu lengang dan kosong. Dibangun dari papan pohon waru dan pintunya terbuka lebar. Berlampu suram, lantainya dialasi tikar pandan yang telah usang dan koyak-koyak di sana-sini. Surau itu tampak kurang terpelihara. Di sampingnya ada sebuah kolam tempat air wudu yang kotor dan bau pesing.
Ia pergi ke kolam untuk mencuci kaki dan membasuh mukanya, lalu naik ke serambi surau. Dilonjorkannya tubuhnya sambil berbantalkan buntalannya. Tak lama kemudian terdengar dengkurnya. Memang tidak setiap orang bisa menikmati tidur begitu cepat dan nikmat pula seperti yang dialami oleh laki-laki tua yang terlantar itu.
Kebanyakan orang, lebih-lebih warga kota yang selalu sibuk dan bising penuh polusi, yang pikirannya selalu buncah dilanda berbagai seribu satu macam kerumitan hidup. Mereka sulit tidur, bahkan tidak mampu memicingkan mata barang sekejap pun.
Baru ia tergugah geragapan ketika seruan azan Subuh berkumandang. Di surau itu telah berkumpul sejumlah orang, kebanyakan orang-orang tua, yang akan melakukan salat subuh berjamaah. Cepat ia bangkit, lari ke kolam mengambil air wudu, lalu melangkah ke dalam surau, mengambil tempat di saf yang telah rapi berderet di belakang sang imam.
Ia ikut melakukan salat Subuh berjamaah. Dalam salat ia benar-benar menyadari akan kerapuhan dirinya di hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang disembahnya. Ketika sujud ia di bawah cerpu-Nya, sesaat ia tersedak, teringat akan nasibnya yang malang-melintang. serasa kini telah didapatkannya kedamaian hakiki yang selama ini menjauhinya. Sampai akhir hayatnya ia ingin senantiasa suasana kedamaian. Sebenarnya tak pernah ia dengan sadar melakukan perbuatan-perbuatan salah, apalagi kejahatan.
Selesai salat ia masih duduk bersimpuh khusyuk mengikuti sang imam yang memanjatkan doa ke hadirat Tuhan. Dan ketika salat rampung sudah, para jamaah sama mengarahkan pandangan mereka nanap kepadanya. Sama sekali tidak terbayang raut kebencian atau kerisihan pada wajah mereka. Mereka hanya memandang sesaat lamanya.
Seorang laki-laki tua yang kepalanya beruban menghampirinya. Lalu menyalaminya dengan akrab seraya berkata, "Saya adalah penjaga surau ini. Jika Saudara kehendaki, Saudara boleh beristirahat di sini setiap malam...."
Mendapat tawaran yang tak terduga-duga itu hampir ia berjingkrak kegirangan. Bibirnya terkatup tak dapat menyampaikan terima kasih. Diraupnya tangan penjaga surau itu lalu menciumnya.
Sejak waktu itu ia tak usah lagi berkeliaran mencari tempat berteduh. Setiap malam ia langsung pergi ke surau itu untuk beristirahat. Sesudah salat Subuh ia meninggalkan surau melakukan kebiasaannya, berkeliling kota tanpa tujuan.
Suatu ketika, tidak seperti biasanya, ia tiba di surau sebelum waktu salat Zuhur. Ia duduk bersandar ke dinding papan. Menghapus keringat di jidatnya dan menghela napas panjang, walau angin sejuk berhembus mengipasinya.
Sesaat dipejamkannya kedua belah matanya. Agak lama matanya terpejam. Seakan-akan sambil terpejam sempat disaksikannya di ruang matanya lakon kehidupannya yang sedang berputar. Hidupnya yang hancur berantakan dan porak-poranda. Keluarganya punah. Hartanya musnah. Nasibnya tercabik-cabik di tengah kehidupan kota yang tak berbelas kasih.
Harapan-harapan, ilusi dan begitu banyak hal indah mempesona telah meninggalkannya. Ia tersingkir, terpencil dan dikucilkan dari arena pergaulan hidup manusia. Seolah-olah ia sesuatu yang najis dan menjijikkan. Satu-satunya yang masih tinggal padanya ialah kepercayaannya kepada Tuhan, kepasrahan dan ketergantungannya pada kekuasan-Nya. Keyakinan dan kebesaran-Nya, limpahan karunia kasih sayang-Nya serta ampunan-Nya yang tiada batas akhirnya.
Di tengah kehiruk-pikukan dunia serba fana, ia mengelana seorang diri. Tak seorang pun peduli. Hanya Tuhan satu-satunya yang dekat padanya. Kepercayaan kepada Tuhan merupakan pelita penerang baginya yang selalu bersamanya dalam kegelapan kehidupannya, selalu dipupuknya, melindunginya dari kegetiran dan kesengsaraan hidup.
"Benarkah Tuhan melihatku?" tanya hati kecilnya, "Cukup bagiku Tuhan melihatku." jawabnya. Ia yakin lewat pelita penerangnya Tuhan selalu melihat gerak-geriknya, menguntitnya ke mana ia pergi dan di mana ia berada.
Benar telah dilihatnya keraguan sementara orang, terutama mereka yang termakan oleh apa disebut kemajuan ilmu pengetahuan. Mereka ragu terhadap hikmat pengertian yang telah diberkati.
Sementara asyik memikirkan tentang kehidupan serta kesesatan manusia dalam abad yang kisruh ini --yang disebut abad teknologi-- yang sekaligus membelakangi norma-norma agama. Serasa ia bermimpi melihat sosok yang aneh berwujud penjaga surau yang kepalanya ubanan.
Orang tua itu berkata: "Ketahuilah olehmu, hai pengelana. Ini merupakan masa paling buruk. Hal ini tentu telah engkau ketahui. Seorang ilmuwan tersohor muncul dan menyatakan, bahwa ia telah mempelajari dan meneliti bumi dan langit dari segala segi, tapi tidak pernah menemukan tanda-tanda adanya Tuhan. Sungguh keterlaluan! Padahal ia dapat menemukan Tuhan dalam dirinya, dalam hati nurani dan jiwanya, bahkan di urat-nadinya.
"Belum lama ini, dan akan selalu terjadi, ketika manusia sama ketakutan, hingga menggigil sekujur sendinya, ketika badai mengamuk dan gempa bumi menggelegar. Tapi akhirnya mereka menemukan penangkal petir dan guntur dan mereka tidak lagi merasa takut kepada Tuhan. Mereka juga mempelajari sebab-sebab turunnya hujan dan angin topan dan tidak lagi menggubris Tuhan.
"Mereka telah mendarat di permukaan bulan. Mereka coba mendekati planet Mars. Mereka mengira telah berhasil mencapai ketinggian yang luar biasa. Padahal mereka masih tetap mengorbit di seputar atmosfir bumi. Mereka malah sama sekali belum menyentuh tubir ruang angkasa semesta yang didindingi tujuh lapis langit. Sebenarnya mereka belum berbuat sesuatu yang berarti, tapi telah keburu sombong dan berlagak.
"Kini, mari kita tinggalkan dunia yang fana ini," kata sosok penjaga surau, "Bukankah di sini kita tidak mendapat tempat yang layak? mari kita pergi menghadap ke hadirat-Nya. Di sana segala sesuatu kekal abadi, indah sempurna tiada tara...."
Mendengar ajakan itu jiwanya terasa luluh. Jiwanya serasa lepas terbang ke sawang lapang tak terbatas.
Ketika saat salat Zuhur tiba, orang-orang datang bergerombol ramai-ramai mengerumuni sosok tubuh yang tersandar di dinding papan serambi surau. Kedua belah matanya rapat terpejam, seolah-olah ia tertidur lelap. Tapi ia takkan pernah bangun dari tidurnya. Laki-laki tua yang sering melontarkan kata-kata: "Atur sendiri-sendiri!" telah menghembuskan napasnya terakhir dengan penuh kedamaian di Rumah Tuhan yang sejuk dan damai.***
Cerpen Muhammad Ali
No comments:
Post a Comment