Thursday, 11 November 2010

Tuan Goen Yang Tidak Lagi Mencatat Di Pinggiran

Tuan Goen Yang Tidak Lagi Mencatat Di Pinggiran

oleh: esito


Tuan Goen, masih hidup dia rupanya. Walaupun uban tidak lagi sanggup
diperam perawan, dia masih kuasa berjalan. Tuan Goen hidup dari kata dan
mantera. Dia menyisipkan pesan mingguan, bagai khutbah manusia
prasejarah pada zaman yang tidak lagi menghendakinya. Lihatlah Tuan Goen
menapaki jalan, dari belukar Utan Kayu hingga rindangnya Salihara. Dia
renta, tertatih dengan langkah terseok tetapi Tuan Goen percaya dia lah
pengemban wahyu untuk menyelamatkan peradaban. Tetapi pada zaman ini,
siapakah lagi yang mengerti dengan mantera Tuan Goen. Generasi kami,
Tuan Goen, bukanlah pemamah biak mantera berbalut estetika. Dan kami
tidak punya waktu melayani orang tua cengeng yang sepanjang hidupnya
bermimpi menjadi Albert Camus. Kami bukanlah pelayan mimpi-mimpimu Tuan
Goen. Tiap minggu kau bisa menggoda kami dengan rayuan gombal catatan
pinggirmu, tetapi kau tahu Tuan Goen, karena kami terlahir durhaka maka
mudah bagi kami memisahkan dusta dari kata. Lagipula, bukankah tulisanmu
lebih banyak kutipan mantra asingnya daripada mantra mu sendiri. Tuan
Goen tidak mendapat tempat di generasi kita, lalu dia beralih pada
penguasa. Tertatih mendaki tangga istana, Tuan Goen mendapati dirinya
dilarikan kereta. Di Bandung sana, Tuan Goen berikrar akan melanggengkan
kekuasaaan dengan warna-warni Amerika. Ohh Tuan Goen, sudah pikun dia
rupanya, ini Indonesia bukan negara bagian Amerika. Mari ucapkan mantera
generasi kita; sudahlah Bro, secara lo udah tuwir gitu loch…

Di Bandung sana, Tuan Goen gagah menyampaikan orasi budaya. Dia
memulai orasi dengan pekik merdeka tetapi panggungnya dihiasi triwarna
merah putih biru. Dia mengungkit Soekarno untuk menyanjung Boediono.
Tuan Goen memberi garansi kepada kita, bahwa Boediono dan tentu saja SBY
layak untuk dipilih sebab dia bukan politisi juga bukan pemain
sinetron. Dan yang lebih penting sepanjang hidupnya, Boediono dihidupi
oleh negara bukan lewat bisnis yang menjadi haram dalam panggung itu.
Bagi Tuan Goen yang katanya sering berjuang untuk menghilangkan
Islamophobia bangsa barat, mengumpulkan kekayaan dari pajak atas jasa
pada negara jauh lebih mulia daripada berniaga. Tuan Goen dan anak-anak
salah asuhannya tentu, sebagaimana Boediono, sangat percaya pada tangan
tidak terlihat yang bisa melakukan intervensi terhadap pasar. Masyarakat
sipil perlu diperkuat dengan melemahkan fungsi negara. Wajar bila
pengidap sipilis semakin meningkat. Tetapi pernahkah Tuan Goen berpikir,
dalam konsep kami masyarakat awam, di pasar-pasar rakyat tangan tidak
terlihat itu wujudnya sangat jelas yaitu copet. Itulah jenis manusia
yang selalu menerima curiga, sebab senantiasa mengambil sesuatu yang
bukan hak nya. Tuan Goen, apakah tangan tidak terlihat yang Tuan suka
itu tiada beda dengan tangan tidak terlihat yang kami mengerti?
Bukankah, tangan tidak terlihat itu yang membuat jurang antara yang
miskin dan kaya semakin besar. Bukankah, tangan tidak terlihat itu yang
membuat generasi kami mulai bosan dengan ketidakadilan. Bah, lupa aku,
Tuan Goen tentu tidak akan sanggup menjawabnya, sebab dalam referensi
Albert Camus, pertanyaan ini belum pernah muncul. Begitulah di Bandung
sana, Pak Tua Goen tidak ingin menerima takdir usia senja.

Politik adalah sebuah tugas. Tanpa diminta, Tuan Goen menuliskan
pembelaannya, kenapa dia memihak. Sang Albert Camus wanna be
ini seperti biasa merangkai kata dari beragam kutipan yang panjangnya
melebihi gagasannya sendiri. Sederhana bukan, sama sederhananya dengan
merangkai meja belajar olympic, bahan dan sekrup sudah tersedia
kau tinggal menyatukannya. Lantas kau memuji kerja kau yang tidak
seberapa itu sebagai sebuah prakarya pribadi. Tuan Goen tidak usah
berkecil hati, kau punya tulisan masih ciamik punya. Bagai rokok,
nikmatnya masih melebihi kadar Tar dan Nikotin. Tetapi inilah hukum
rokok Tuan Goen, kita menikmatinya tetapi kemudian kita lupa gunanya
untuk apa. Kau menulis, Politik adalah tugas merambah jalan di
belukar membuka celah agar keadilan itu datang. Terkadang tangan jadi
kotor, hati jadi keras – dan itu menyebabkan rasa sedih tersendiri.
Aku menghisap mantera mu dalam-dalam Tuan Goen, tetapi nafasku sesak.
Paru-paru ku memberontak sementara jantung menginginkan revolusi. Di
usia senjamu, kau masih jumawa berkehendak membuka jalan yang tidak kami
butuhkan. Kau tahu politik itu kotor Tuan Goen, kau memasukinya lewat
rusuk penguasa, ah betapa tambah kotornya kau ini. Kau menyebut nama
Munir, berharap keadilan pada penguasa yang tidak kunjung mampu
menyelesaikannya. Kau, yang menganggap dirimu intelektual publik,
menolak untuk ongkang-ongkang kaki bermatabatkan mahligai. Tetapi Pak
Tua, kenapa baru sekarang kau berani berkata, justru pada saat kau
menyokong penguasa. Kenapa dulunya mahligai mu itu susah sekali digapai
pada saat banyak sekali hal yang tidak sesuai. Tuan Goen yang
bercita-cita menjadi martir kebebasan di Indonesia justru di usia senja
terpenjara oleh kepikunannya sendiri.

Tuan Goen, sudahlah, aku lihat kau sudah lelah. Tiada guna lagi kau
berulah. Mantera-mantera mu tidak lagi bisa mengobati sakitnya generasi
kami. Tidak usah pula tubuh rentamu itu kau paksakan untuk memikirkan
masa depan kami. Masa-masa dimana kau sudah tidak ada lagi dan kami
tidak tahu, akankah kami mengenangmu sebagai seseorang, atau hanya
sebuah bidak biasa dalam panggung kampanye presiden Amerika di Bandung
sana. Pak Tua Goen, saatnya undur diri, bagi kami kau tiada guna lagi.
Perawan-perawan generasi kami tidak lagi tersihir oleh mantera mu.
Mereka suka yang praktis Pak Tua, bukan yang rethoris. Kau sudah
berbuat, kami tidak akan menghapus jejakmu. Masalah penilaian serahkan
kepada masa depan.

Pak Tua Goen sudahlah, kau tidak akan pernah lagi bisa mencatat dari
pinggiran.

http://esito/. web.id/2009/ 06/tuan-goen- yang-tidak- lagi-mencatat- di-pinggiran/

No comments: