Sunday, 5 December 2010

KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN 2000 PADA SIDANG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
TAHUN 2000 PADA SIDANG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT



Saudara Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Dewan yang saya hormati,
Hadirin dan hadirat yang saya muliakan,
Saudara sebangsa dan se-Tanah Air,
Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Hari ini, dengan rasa bahagia yang dalam, saya akan melaksanakan salah satu kewajiban konstitusional Presiden, yaitu menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2000 kepada Dewan yang terhormat. Oleh karena itu, saya mengajak Pimpinan Dewan dan anggota Dewan yang terhormat untuk memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas terselenggaranya Sidang Paripurna Dewan hari ini. Selanjutnya sebelum saya masuk ke materi APBN, terlebih dahulu saya menyampaikan Selamat Natal dan Selamat Tahun Baru 2000, Selamat Hari Raya Galungan serta Selamat Idul Fitri 1420 Hijriyah. Pemerintah mengharapkan suasana Natal, bulan suci Ramadhan dan Idul Fitri serta Hari Raya Galungan akan membawa kedamaian dan hubungan yang baik antarsesama kita.
RAPBN Tahun 2000 ini merupakan rencana anggaran tahun pertama yang disusun berdasarkan Garis-garis Besar Haluan Negara 1999-2004.
Sesuai dengan arahan dalam GBHN tersebut, RAPBN Tahun 2000 merupakan masa transisi tahun fiskal yang berlaku dari 1 April hingga 31 Maret menjadi tahun kalender. Walaupun RAPBN Tahun 2000 merupakan transisi, Pemerintah tidak meninggalkan mekanisme yang baik dalam penyusunan RAPBN bersama DPR.
Ketentuan peralihan ini sungguh amat penting dan memang ada kebutuhan obyektif untuk itu. Baik Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat sendiri harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk bekerja dalam tatanan baru kehidupan
berbangsa dan bernegara yang diatur dalam berbagai ketetapan Majelis dalam Sidang Umum yang lalu. Dalam tatanan baru ini, titik berat kewenangan legislatif telah dialihkan dari Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Lembaga-lembaga Negara Tinggi lainnya bukan saja berkewajiban untuk melaksanakan Garis-garis Besar Haluan Negara, tetapi juga harus menyampaikan laporan pelaksanaannya dalam sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pengalaman menunjukkan bahwa Undang-Undang Dasar yang dirancang dalam rangka mendirikan negara kesatuan Republik Indonesia 55 tahun yang lalu itu bukan saja mengandung hal-hal positif yang harus kita pelihara baik-baik, tetapi juga memerlukan perbaikan-perbaikan. Seperti telah disepakati dalam Sidang Umum Majelis yang lalu, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tetap harus kita pelihara. Namun tatanan pemerintahan yang mengatur hubungan antara berbagai lembaga penyelenggara negara, perlu kita tata kembali. Langkah itu kita lakukan untuk mencegah terjadinya kembali konsentrasi dan sentralisasi kekuasaan, serta untuk memberi peluang yang sebesar-besarnya kepada seluruh potensi yang dimiliki oleh bangsa kita.
Seluruhnya itu masih berlangsung dalam suasana krisis pada berbagai bidang, yang masih belum sepenuhnya dapat kita atasi. Kita menghadapi pilihan-pilihan yang tidak mudah, yang perlu dipikirkan baik-baik sebelum diambil keputusan yang mengikat. Akumulasi masalah yang telah bertumpuk demikian lama jelas tidak bisa kita selesaikan secara serentak. Adalah jelas bahwa terlebih dahulu kita harus mengambil langkah-langkah penyelamatan berjangka pendek, bukan sekadar untuk mengatasi rangkaian krisis, tetapi juga sebagai tumpuan untuk dapat bergerak ke tahap lebih lanjut.
Di tengah suasana keresahan dan kegelisahan dalam menghadapi demikian banyak masalah nasional dewasa ini, kita patut bersyukur bahwa terdapat indikasi awal yang meyakinkan bahwa sebagai bangsa kita masih mempunyai daya tahan dan potensi untuk bangkit kembali. Daya tahan dan potensi ini jelas merupakan efek sinergi yang tumbuh dari kombinasi keseluruhan kekuatan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang majemuk ini. Kita juga patut bersyukur bahwa negara-negara sahabat memahami beratnya masalah yang harus kita atasi, dan menyambut baik kebijakan nasional yang kita sepakati untuk menghadapi masa depan.
Pemerintah menyadari sungguh-sungguh, bahwa masalah sosial politik dan keamanan juga merupakan prioritas nasional yang harus kita tangani, sebagai prakondisi yang diperlukan untuk memulihkan kembali kehidupan perekonomian kita. Berbagai kebijakan mendasar serta tindakan nyata berjangka pendek telah, sedang, dan akan diambil untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Kebijakan mendasar serta tindakan nyata tersebut masih perlu dikembangkan dengan bekerja sama seerat-eratnya dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Namun dalam kesempatan menyampaikan keterangan tentang RAPBN Tahun 2000 ini, yang hanya akan berlaku selama sembilan bulan saja, yaitu dari tanggal 1 April sampai dengan 31 Desember 2000, izinkanlah Pemerintah memusatkan perhatian pada penanganan masalah ekonomi. Keterangan berikut ini secara berturut-turut mencakup
pokok-pokok keterangan mengenai kondisi umum perekonomian kita, visi Pemerintah tentang kerangka ekonomi jangka menengah, prakondisi yang diperlukan untuk pembangunan kembali ekonomi nasional, serta pokok-pokok kebijakan penyusunan RAPBN Tahun 2000 sebagai kerangka ekonomi jangka pendek.
Saudara Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Dewan yang saya hormati,
Sebagai titik tolak dalam penyusunan RAPBN tahun ini, dapat dicatat bahwa perekonomian dunia dalam tahun 1999 diperkirakan tumbuh lebih baik daripada tahun sebelumnya. Bila pada tahun 1998 pertumbuhan ekonomi dunia adalah sebesar 2,5 persen, dalam tahun 1999 diperkirakan tumbuh sebesar 3,0 persen. Dalam tahun 2000 perekonomian dunia diperkirakan bahkan tumbuh semakin baik menjadi 3,5 persen. Dalam pada itu, negara-negara Asia yang mengalami krisis ekonomi paling berat seperti Korea Selatan, Thailand, Indonesia, dan Malaysia, secara berangsur-angsur telah pulih kembali dan mulai mengalami pertumbuhan yang positif dalam tahun 1999.
Perkembangan yang cukup baik dalam perekonomian nasional ditunjukkan dengan ekspansi sebesar 3,1 persen pada triwulan kedua tahun 1999, yang kemudian disusul dengan peningkatan 0,54 persen dalam triwulan ketiga. Dengan demikian dalam Tahun Anggaran 1999/2000, perekonomian Indonesia diperkirakan akan mengalami pertumbuhan antara 1 sampai 2 persen. Dalam Tahun Anggaran 2000, pertumbuhan ekonomi tersebut diperkirakan akan lebih cepat, yaitu mencapai sekitar 3 sampai 4 persen.
Sebagai hasil dari berbagai kebijakan Pemerintah, di antaranya pelaksanaan kebijakan moneter yang berhati-hati, cukup tersedianya pasokan kebutuhan pokok, lancarnya distribusi barang dan jasa, dan relatif stabilnya nilai tukar rupiah, pertumbuhan indeks harga konsumen (IHK) di 43 kota (di luar kota Dili) selama sembilan bulan pertama Tahun Anggaran 1999/2000 cukup terkendali. Selama periode tersebut, terjadi inflasi sebesar minus 2,61 persen, jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada tahun anggaran sebelumnya yaitu sebesar 40,70 persen.
Kebijakan moneter yang berhati-hati telah memperkuat nilai tukar rupiah dalam Tahun Anggaran 1999/2000 (sampai dengan November 1999) jika dibandingkan dengan akhir tahun anggaran sebelumnya. Nilai tukar rupiah tersebut dalam Tahun Anggaran 2000 (April-Desember 2000) diperkirakan sebesar Rp7.000,00 per US$ 1.
Sejalan dengan mulai menguatnya nilai tukar rupiah dan menurunnya laju inflasi, suku bunga perbankan juga mulai bergerak turun. Hal tersebut telah menyebabkan negative spread berangsur-angsur turun pula.
Perkembangan pasar modal selama Tahun Anggaran 1999/2000 (sampai dengan Desember 1999) juga menunjukkan indikasi yang semakin meningkat, seiring dengan adanya tanda-tanda ke arah perbaikan dalam kegiatan perekonomian. Semakin
kondusifnya situasi sosial politik sebagai hasil pelaksanaan Pemilihan Umum dan Sidang Umum MPR yang berjalan lancar dan aman, telah memicu pelaku pasar untuk aktif berinvestasi di pasar modal. Jumlah perusahaan emiten di pasar modal bertambah 15 perusahaan, yaitu 9 perusahaan emiten saham dan 6 perusahaan emiten obligasi. Selain itu, kenaikan indeks harga saham gabungan (IHSG) juga mencerminkan pulihnya kegiatan pasar modal. Nilai kapitalisasi pasar meningkat dari Rp167,3 triliun menjadi Rp451,8 triliun atau meningkat sebesar 170,05 persen.
Dalam Tahun Anggaran 1999/2000, nilai ekspor yang mencakup ekspor migas dan ekspor nonmigas diperkirakan mencapai US$ 54.151 juta atau meningkat 12,0 persen dibandingkan nilai ekspor dalam tahun anggaran sebelumnya, yang hanya sebesar US$ 48.354 juta. Dalam Tahun Anggaran 2000 yang hanya 9 bulan itu, nilai ekspor diperkirakan akan mencapai US$ 41.552 juta, yang terdiri dari ekspor migas sebesar US$ 8.003 juta dan ekspor nonmigas US$ 33.549 juta.
Sementara itu, nilai impor dalam Tahun Anggaran 1999/2000, yang terdiri dari impor migas dan impor nonmigas diperkirakan mencapai US$ 32.934 juta. Angka tersebut menunjukkan peningkatan 7,3 persen dibandingkan dengan nilai impor dalam Tahun Anggaran 1998/1999 yang besarnya US$ 30.707 juta. Dalam Tahun Anggaran 2000 nilai impor diperkirakan mencapai US$ 27.284 juta yang terdiri dari impor migas sebesar US$ 3.233 juta dan impor nonmigas US$ 24.051 juta.
Dengan perkembangan ekspor dan impor yang membaik tersebut, neraca perdagangan dalam Tahun Anggaran 1999/2000, diperkirakan surplus US$ 21.217 juta atau lebih tinggi 20,2 persen dibandingkan surplus dalam tahun anggaran sebelumnya yang hanya sebesar US$ 17.674 juta. Dalam Tahun Anggaran 2000 neraca perdagangan ini diperkirakan akan mengalami surplus sebesar US$ 14.268 juta.
Walaupun telah terdapat gejala perbaikan, kita tetap menghadapi masalah yang berat. Dalam Tahun Anggaran 1999/2000 lalu lintas modal, yang mencakup lalu lintas modal Pemerintah dan lalu lintas modal swasta, diperkirakan akan mengalami defisit sebesar US$ 3.476 juta. Dalam tahun anggaran tersebut, lalu lintas modal Pemerintah mengalami surplus US$ 5.446 juta, sedangkan lalu lintas modal swasta mengalami defisit US$ 8.922 juta. Dalam Tahun Anggaran 2000 lalu lintas modal diperkirakan mengalami surplus US$ 214 juta.
Adanya perbaikan dalam perdagangan luar negeri tersebut juga akan terlihat pada penurunan debt service ratio (DSR) nasional dalam Tahun Anggaran 1999/2000 yang diperkirakan sebesar 54,0 persen, bila dibandingkan dengan Tahun Anggaran 1998/1999 yang besarnya 57,4 persen. Dalam Tahun Anggaran 2000, DSR nasional diperkirakan sebesar 47,2 persen yang terdiri dari DSR Pemerintah sebesar 12,8 persen dan DSR swasta sebesar 34,4 persen.
Saudara Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Dewan yang saya hormati,
Baik dalam penyusunan RAPBN Tahun 2000 ini maupun dalam mempertimbangkan PROPENAS dan REPETA, Pemerintah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi umum yang diuraikan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara 1999-2004 tentang latar belakang dan akar masalah dari berbagai krisis yang kita hadapi dalam tiga tahun belakangan ini. Seiring dengan itu Pemerintah menelaah dengan teliti visi, misi, dan arah kebijakan yang telah ditetapkan Majelis, yang meliputi bidang hukum, ekonomi, politik, agama, pendidikan, sosial dan budaya, pembangunan daerah, sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.
Tetapi dalam mengantarkan RAPBN Tahun 2000, perkenankan Pemerintah menitikberatkan bidang ekonomi, dan menyampaikan visi tentang kerangka ekonomi jangka menengah yang diperlukan dalam menetapkan kebijakan dan langkah-langkah selanjutnya. Sebagai sikap dasar dan titik tolak, kita perlu mengembangkan kekuatan ekonomi kerakyatan sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi nasional. Perlu diupayakan agar tercipta peluang yang lebih adil dan merata bagi seluruh rakyat, dan sekaligus menciptakan perekonomian yang lebih efisien dan tahan goncangan. Dalam kaitan itu peran aktif masyarakat secara luas ditingkatkan, terutama dari anggota masyarakat yang sebagian besar masih tertinggal, melalui penciptaan peluang untuk maju dan berdaya. Kemajuannya dan keberdayaannya bukan saja bermanfaat bagi yang bersangkutan, melainkan juga akan lebih mampu menyumbang untuk pembangunan bangsa secara keseluruhan. Dalam pembangunan nasional di masa depan, rakyat adalah pelaku utama pembangunan. Oleh karenanya akan dikembangkan rangkaian kebijakan yang dapat mendukung partisipasi masyarakat secara luas, seperti kebijakan ketenagakerjaan, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pelaksanaan otonomi daerah.
Dalam kebijakan ketenagakerjaan ada tiga agenda pokok yang akan diberi perhatian:
Pertama, mengurangi pengangguran dan memulihkan kegiatan dunia usaha. Upaya mendorong kegiatan dunia usaha terutama diarahkan pada aktivitas yang potensial bagi pemulihan ekonomi seperti peningkatan ekspor dan perdagangan. Khusus bagi usaha kecil dan menengah (UKM), yang banyak menyerap tenaga kerja, upaya yang akan ditempuh terutama dengan menghapuskan seluruh hambatan yang masih ada, serta dengan memberikan dukungan langsung jika hal itu benar-benar dibutuhkan dan dapat dilakukan secara efektif. Selanjutnya akan dilakukan penyempurnaan pelaksanaan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) padat karya dan pengatasan kemiskinan yang diarahkan untuk menyerap tenaga kerja setempat, termasuk mereka yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat krisis.
Kedua, mendorong mobilitas tenaga kerja lintas kegiatan ekonomi, dengan pelatihan yang sistematis dan terarah. Berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh sekolah-sekolah kejuruan dan balai-balai latihan kerja selama ini, program pelatihan sebaiknya dirancang dan dilakukan oleh sektor swasta. Peranan Pemerintah dalam hal ini adalah sebagai katalisator bagi tercapainya realokasi sumber daya manusia.
Ketiga, pasar tenaga kerja diharapkan akan semakin luwes. Untuk mendukungnya, diperlukan pembenahan kembali berbagai peraturan ketenagakerjaan.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) antara lain dilakukan melalui pembangunan kesehatan dan pendidikan. Prioritas pembangunan kesehatan perlu dipertajam agar sasaran utamanya, yaitu kelompok masyarakat kurang mampu, mendapat porsi dana yang memadai. Dalam jangka menengah peranan dana kesehatan masyarakat perlu ditingkatkan. Seiring dengan proses desentralisasi, kewenangan dalam menggunakan dana yang tersedia diserahkan kepada kabupaten/kotamadya sehingga kegiatan-kegiatan yang dikembangkan akan lebih mencerminkan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Nantinya, sejalan dengan meningkatnya pembangunan dan tersedianya dana yang memadai bagi program pembangunan kesehatan masyarakat, tarif bagi golongan masyarakat yang benar-benar tidak mampu perlu diturunkan. Rumah-rumah sakit perlu didorong untuk dapat membiayai kegiatannya sehingga dana yang terbatas dapat dialokasikan untuk meningkatkan program kesehatan masyarakat dan pencegahan penyakit menular. Peranan sektor swasta dalam pembangunan kesehatan juga perlu diperluas antara lain dalam pengembangan asuransi dan industri farmasi nasional.
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan menengah akan diusahakan penyempurnaan sistem pengembangan karir bagi guru dan peningkatan efektivitas penggunaan dana yang ada. Penyelesaian tumpang tindih kewenangan antara Departemen Pendidikan Nasional dengan Departemen Dalam Negeri, dan penyederhanaan peningkatan karir guru dari sekolah dasar ke sekolah lanjutan, akan diberi perhatian. Dengan penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah dalam rangka desentralisasi, masalah yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan dan pembinaan karir guru perlu diselesaikan. Selanjutnya keterkaitan antara program di dalam sektor pendidikan dan keluwesan dalam penggunaan dana juga perlu ditingkatkan.
Dengan keterbatasan keuangan negara saat ini, sasaran dan jadwal program wajib belajar 9 tahun akan disesuaikan. Di samping itu perlu dilakukan pembenahan kurikulum pada pendidikan SD dan sekolah lanjutan. Masalah lain yang perlu dituntaskan adalah kaitan antara pembangunan pendidikan dan kebutuhan tenaga kerja. Sasaran yang ingin kita capai adalah agar pendidikan dapat menghasilkan tenaga kerja yang terlatih dan profesional. Dalam rangka peningkatan keterampilan, peran lembaga pendidikan keterampilan oleh swasta perlu ditingkatkan.
Peran swasta dalam pembangunan pendidikan tinggi perlu terus diperbesar. Otonomi pendidikan tinggi negeri perlu diperluas untuk menggali sumber dana pendidikan dan mengembangkan kurikulum, termasuk dengan membuka peluang untuk menyelenggarakan kerja sama dengan sekolah terkemuka di luar negeri. Demikian pula sistem insentif bagi tenaga pengajar di perguruan tinggi perlu disempurnakan, antara lain dalam pengangkatan guru besar dan penghargaan terhadap penelitian. Untuk memelihara kualitas perguruan tinggi serta untuk mencegah berkembangnya pemberian gelar-gelar akademik oleh lembaga-lembaga yang tidak jelas asal usulnya, pengawasan kualitas melalui Badan Akreditasi Nasional perlu diperkuat. Langkah-langkah ini akan
mendorong peningkatan mutu pendidikan tinggi yang saat ini dihadapkan pada keterbatasan dana dan rendahnya mutu tenaga pengajar.
Kita sadar bahwa kemajuan ekonomi suatu negara tidak saja ditentukan oleh ketersediaan faktor produksi yaitu modal dan tenaga kerja, tetapi lebih ditentukan oleh peningkatan produktivitas dalam perekonomian. Unsur yang sangat penting dalam mendorong produktivitas ini adalah penguasaan dan penerapan teknologi.
Pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kapasitas penguasaan dan penerapan teknologi ini karena mekanisme pasar cenderung tidak menyediakan teknologi secara luas. Kerja sama antara lembaga riset dengan kalangan dunia usaha mutlak perlu ditingkatkan agar terjalin sinergi yang saling menguntungkan. Kerja sama dimaksud paling tidak mencakup pertukaran informasi mengenai teknologi yang dikembangkan oleh lembaga riset dan kebutuhan teknologi yang diperlukan oleh dunia usaha. Melalui penyebaran informasi ini, maka akses pada peningkatan dan penerapan teknologi di sektor usaha dapat ditingkatkan.
Selain langkah-langkah untuk memperluas partisipasi rakyat dalam pembangunan seperti diuraikan di atas, ke depan juga perlu diupayakan untuk menarik investor lebih banyak lagi ke daerah-daerah. Hal ini tentunya akan sangat tergantung kepada iklim investasi di daerah dan ketersediaan prasarana ekonomi yang saat ini memang dirasakan masih belum mendukung. Konsentrasi kegiatan, terutama industri, sebagian besar masih berlokasi di dekat kota-kota besar di Jawa. Namun sejalan dengan semangat desentralisasi, perlu terus diupayakan agar daerah-daerah di luar Jawa dapat lebih berkembang dengan dukungan pemerintahan setempat yang andal. Langkah untuk itu sudah dimulai dengan diundangkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang bertujuan untuk mewujudkan desentralisasi secara nyata.
Makna yang paling hakiki dari kebijakan desentralisasi pemerintahan yang akan memberi otonomi yang luas kepada daerah terletak pada kewenangan-kewenangan untuk mengambil keputusan dan memberi pelayanan. Dengan kewenangan itu, setiap Pemerintah Daerah diharapkan mengembangkan kreativitasnya, melahirkan berbagai kebijakan, memperbaiki kualitas pelayanan, menciptakan iklim yang kondusif bagi pemberdayaan masyarakat di berbagai lapangan kehidupan, serta membangun prasarana dan sarana sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Dalam konteks ini, perlu dipahami bahwa pembicaraan tentang otonomi daerah tidak seyogyanya terfokus hanya pada tema pembagian pendapatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pilihan tema yang terfokus pada masalah perimbangan keuangan saja bisa menggiring kita pada suasana kesenjangan secara terus menerus. Di satu pihak hal itu akan menciptakan ketidakpuasan pada daerah yang memiliki potensi pendapatan yang besar, karena tuntutan maksimal yang mereka ajukan akan sangat sulit dipenuhi oleh Pemerintah Pusat. Padahal pada saat yang sama Pemerintah Pusat bertanggung jawab mengelola administrasi pemerintahan negara serta melakukan kebijakan subsidi silang ke daerah-daerah yang berpendapatan kecil. Di lain pihak, tema itu juga akan menciptakan
kekhawatiran yang luas di daerah-daerah yang berpenghasilan kecil, yang dalam kenyataan merupakan bagian terbesar dari negeri kita. Harapan mereka untuk memperoleh subsidi dari Pemerintah Pusat bisa punah jika porsi pendapatan yang harus diberikan Pemerintah Pusat kepada daerah-daerah yang kaya meningkat secara drastis.
Berdasarkan pertimbangan itu, maka seraya melaksanakan kebijakan perimbangan keuangan pusat-daerah secara bertahap, Pemerintah mengharapkan agar Pemerintah Daerah dan masyarakat di daerah-daerah, khususnya yang tidak memperoleh pendapatan dari sumber daya alam, dapat mengoptimalkan upaya kreatifnya dalam melaksanakan dan memanfaatkan kewenangan-kewenangan yang akan diberikan oleh Pemerintah Pusat.
Kewenangan di berbagai sektor pemerintahan itu bisa dikelola sedemikian rupa antara lain untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi, memudahkan proses perizinan usaha, pembukaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan, dan pelestarian lingkungan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu mempertimbangkan kebutuhan pengeluarannya secara realistis, sesuai dengan tugas-tugas fungsional dan kewenangan antara pusat dan daerah yang disepakati dan sumber-sumber penerimaan yang ada. Dalam hal ini perlu dijaga keseimbangan antara penyerahan hak penerimaan dari Pemerintah Pusat dengan tanggung jawab pengeluaran dari Pemerintah Daerah.
Saudara Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Dewan yang terhormat,
Dampak negatif globalisasi terutama di sektor keuangan telah menjadi pemicu krisis ekonomi. Namun, harus berani diakui bahwa parahnya krisis ekonomi yang dialami juga disebabkan karena lemahnya institusi-institusi yang ada. Apabila institusi-institusi yang ada cukup kuat dan bebas dari benih-benih korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta bekerja sesuai dengan standar manajemen modern, maka krisis tersebut sudah barang tentu tidak akan selama, seluas, dan sedalam seperti yang terjadi.
Oleh karena itu, pembenahan institusi secara menyeluruh merupakan langkah utama dalam mengatasi krisis serta kunci dalam melanjutkan pembangunan yang berkesinambungan. Langkah ini sekaligus mencegah terjadinya krisis di masa datang. Kita harus selalu bersiap diri, karena sebagai konsekuensi globalisasi ancaman gejolak dari luar akan lebih sering ditemui. Dengan institusi-institusi yang berfungsi baik, ketahanan nasional akan meningkat. Bahkan kemajuan dan pembangunan akan lebih mudah diupayakan.
Dalam jangka pendek upaya mendesak yang harus dilakukan untuk mempercepat pemulihan ekonomi adalah mempertahankan stabilitas ekonomi dan membenahi dunia perbankan dan dunia usaha yang dianggap menjadi akar penyebab krisis.
Selama dua tahun terakhir, 1998 dan 1999, untuk menstabilkan nilai rupiah dan menghindari hiperinflasi, telah ditempuh kebijakan moneter yang ketat dengan sangat membatasi pertumbuhan jumlah uang beredar. Sementara itu posisi penerimaan dan pengeluaran negara juga dirancang untuk memberikan stimulus fiskal agar perekonomian tidak merosot lebih jauh. Untuk itu dilakukan defisit anggaran negara. Namun, agar kebijakan fiskal tetap selaras dengan kebijakan moneter, pembiayaan defisit tidak dilakukan dengan menambah jumlah uang beredar tetapi dengan meminjam dari luar negeri.
Seiring dengan tanda-tanda perbaikan ekonomi, untuk satu atau dua tahun ke depan stimulus fiskal tetap diperlukan, tetapi secara bertahap diturunkan. Sedangkan kebijakan moneter mulai dilonggarkan untuk mendongkrak aktivitas perekonomian. Dalam tahun-tahun berikutnya diharapkan kegiatan ekonomi masyarakat sudah pulih kembali sehingga tidak diperlukan lagi stimulus fiskal tersebut dan secara bertahap defisit anggaran negara dapat dihapuskan untuk mencapai keadaan fiskal yang kurang lebih seimbang sehingga dapat berkelanjutan.
Dengan tercapainya kestabilan ekonomi makro secara umum, diharapkan pertumbuhan ekonomi akan terus berlangsung. Khususnya perusahaan-perusahaan yang berorientasi ekspor diharapkan dapat memanfaatkan momentum pemulihan yang mulai terasa. Bangkitnya kembali perekonomian nasional akan meningkatkan permintaan domestik dan daya beli masyarakat. Rasa percaya diri kita akan ikut pulih.
Sama pentingnya dengan upaya untuk mempertahankan stabilitas ekonomi, maka dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi, upaya mendesak yang harus dilakukan adalah mengatasi akar penyebab krisis, yaitu menuntaskan pembenahan kelembagaan ekonomi melalui upaya pemulihan dunia perbankan dan dunia usaha.
Keduanya merupakan program dengan sasaran pemulihan ekonomi sekaligus sasaran meletakkan landasan pembangunan berkelanjutan. Upaya pemulihan dunia usaha dan perbankan ini terkait erat satu dengan lainnya dan harus dilaksanakan bersama-sama. Besarnya jumlah kredit macet dari perusahaan hampir menghapuskan ruang gerak perbankan. Tanpa aliran dana dari perbankan, perusahaan sulit bergerak kembali dan memenuhi kewajibannya kepada perbankan. Untuk memecahkan kebuntuan, dilakukan restrukturisasi perbankan dan perusahaan sekaligus.
Banyak pihak mempertanyakan besarnya biaya yang harus ditanggung negara. Pilihan tersebut memang harus ditempuh mengingat alternatif pilihan kebijakannya tidak banyak dan tidak lebih baik. Perlu ditegaskan bahwa program restrukturisasi perbankan dilaksanakan dengan berpegang pada prinsip menekan biaya sekecil-kecilnya dan sekaligus untuk tetap melindungi para penabung yang jumlahnya jutaan orang. Para pemilik bank menduduki urutan pertama yang harus menanggung biaya ini. Selain itu sedapat mungkin harus diupayakan untuk mendapatkan kembali aset-aset perbankan. Para pemilik bank dan pengelola bank serta debitur-debitur bank yang tidak kooperatif dan terbukti melakukan kecurangan-kecurangan akan diajukan ke pengadilan.
Secara keseluruhan dana rekapitalisasi saat ini sudah mencapai lebih dari Rp 500 triliun yang sebagian besar ditanggung oleh Pemerintah. Ini berarti beban anggaran Pemerintah di tahun-tahun mendatang akan sangat berat. Karena itu kita semua harus bersungguh-sungguh melaksanakan program yang sangat penting ini. Dalam kaitan ini, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) telah diberi kewenangan sepenuhnya untuk melakukan restrukturisasi perbankan. Karena itu BPPN harus bersikap tegas dan mampu bekerja dalam kecepatan yang tinggi dan dengan hasil yang memadai. Pemerintah bertekad akan terus melakukan pembenahan untuk mewujudkan sistem perbankan nasional yang kuat dan sehat serta mampu beroperasi dengan standar internasional.
Upaya pembenahan dunia usaha melalui restrukturisasi utang swasta dan sektor riil diarahkan untuk membangkitkan kembali dan sekaligus memperkokoh kemampuan dunia usaha nasional. Hingga kini secara keseluruhan baru sebagian kecil utang swasta yang telah berhasil direstrukturisasi melalui mekanisme Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA) dan Prakarsa Jakarta. Penyelesaian utang swasta ini perlu dipercepat untuk mengembalikan citra dan kepercayaan luar negeri terhadap kredibilitas usaha nasional. Sampai saat ini, restrukturisasi perbankan dirasakan lamban penanganannya yang antara lain disebabkan oleh rumitnya program restrukturisasi utang perusahaan. Program restrukturisasi utang perusahaan ini melibatkan ribuan perusahaan dalam negeri dan kreditur di banyak negara.
Prinsip Pemerintah dalam penyelesaian masalah utang perusahaan adalah tidak mengambil alih beban perusahaan. Untuk itu Pemerintah secara terus-menerus berupaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tercapainya kesepakatan yang menguntungkan baik bagi pihak debitur maupun kreditur. Upaya-upaya tersebut antara lain dengan memastikan proses kepailitan agar berjalan dengan baik yaitu dengan meningkatkan fungsi peradilan niaga, mempermudah prosedur investasi, menyelesaikan kewajiban-kewajiban pajak yang berhubungan dengan penyitaan dan penggabungan usaha (merger) dan mengembangkan kebijakan nasional dalam pengelolaan perusahaan swasta (corporate governance).
Untuk memacu proses penyelesaian utang perusahaan yang berarti pula mendukung proses restrukturisasi perbankan, bagi debitur yang kooperatif akan diberikan pemotongan utang. Langkah ini akan dilakukan dengan sangat hati-hati. Debitur yang berhak adalah hanya yang tidak melakukan penyimpangan seperti mark up dan penyalahgunaan kredit. Di samping itu, yang dipotong hanya bunga atau denda dan bukan utang pokok. Dengan demikian, ada insentif untuk menyelesaikan restrukturisasi perbankan, tetapi dengan tetap menekan sekecil mungkin biayanya.
Seperti disebutkan tadi, langkah-langkah reformasi dan pemulihan ekonomi memerlukan waktu. Sementara itu, dampak krisis sudah merupakan beban berat bagi sebagian besar rakyat. Dalam keadaan sektor swasta yang lemah, campur tangan Pemerintah diperlukan. Instrumennya adalah kebijakan fiskal dengan program utamanya adalah JPS. Karena itu dalam waktu satu atau dua tahun ke depan program JPS ini akan diteruskan. Segala kelemahan dan kekurangan dalam pelaksanaan JPS di masa lalu diupayakan untuk terus
dihilangkan, berdasarkan masukan dari berbagai kalangan, termasuk masukan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat pers.
Dari uraian tersebut di atas, jelas terlihat bahwa kebijakan fiskal memang dirancang untuk meringankan beban rakyat, dan secara makro menahan merosotnya perekonomian. Dilema yang kita hadapi adalah kebutuhan yang meningkat ini justru dihadapkan pada sumber penerimaan yang terbatas. Karena itu pinjaman luar negeri masih diperlukan. Karena itu pula untuk tahun-tahun mendatang perlu dilakukan pergeseran titik berat kebijakan secara bertahap, yaitu dari kebijakan stimulus fiskal menuju kemampuan fiskal yang berkelanjutan. Hal ini dilakukan melalui upaya-upaya peningkatan mobilisasi sumber daya dalam negeri serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana anggaran. Dengan demikian diharapkan akan ada pengurangan pinjaman terutama pinjaman luar negeri. Langkah-langkah tersebut telah dimulai. Berbagai peraturan perpajakan termasuk insentif perpajakan dikaji secara menyeluruh untuk memperkuat dan meningkatkan penerimaan pajak.
Untuk memperingan beban anggaran dan sekaligus menjaga likuiditas neraca pembayaran perlu ditempuh berbagai upaya dalam pengelolaan utang luar negeri. Pembiayaan luar negeri bersih, yang merupakan selisih antara pencairan pinjaman baru dan pembayaran pokok utang, tidak mungkin terus dipertahankan pada tingkat sekarang ini. Cara pembiayaan yang meningkatkan stok utang seperti ini harus dihindari dengan mengupayakan pengeluaran anggaran yang disesuaikan dengan penerimaannya. Sejalan dengan peningkatan penerimaan dalam negeri, tingkat pinjaman luar negeri diupayakan menurun setiap tahunnya. Jika hal ini dapat terlaksana, pada tahun 2004 pembayaran kembali utang luar negeri diperkirakan akan lebih besar dibandingkan pinjaman baru, sehingga stok utang luar negeri berangsur turun. Dalam hal negosiasi pinjaman luar negeri yang baru, perlu diupayakan persyaratan pinjaman (terms and conditions) yang memperingan beban pembayarannya. Sementara itu produk domestik bruto (PDB) terus meningkat sehingga rasio utang luar negeri terhadap PDB menurun.
Dalam kaitan pemanfaatannya, pengeluaran anggaran, utamanya bagi proyek-proyek yang dibiayai dari utang luar negeri, perlu dikaji secara menyeluruh dan prioritasnya perlu dipertajam. Jika proyek-proyek yang sudah disetujui didanai menunjukkan hambatan dalam persiapan pelaksanaannya ataupun kinerja pelaksanaannya sangat buruk, maka proyek-proyek tersebut dibatalkan. Selanjutnya, pinjaman baru, baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, harus disesuaikan dengan kemampuan anggaran untuk membayar kembali dan penggunaannya untuk kegiatan ekonomi produktif dan dilaksanakan secara transparan, efektif dan efisien. Dalam kaitan itu pengelolaan pinjaman luar negeri dilakukan secara transparan dan selalu dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Upaya lain untuk membantu program pemulihan ekonomi adalah dengan melakukan program restrukturisasi dan privatisasi BUMN. Program ini bertujuan mendayagunakan BUMN-BUMN yang kinerjanya lemah dengan meningkatkan efisiensi, profitabilitas, dan mutu pelayanannya agar tercipta landasan untuk pertumbuhannya. Tujuan lainnya adalah
akan memperkuat keuangan negara, memperluas kepemilikannya, serta memperkuat sektor riil.
Agenda pembangunan lainnya adalah reformasi ekonomi. Agar tercipta peluang yang lebih adil dan merata bagi seluruh rakyat, dan sekaligus menciptakan perekonomian yang lebih efisien dan tahan goncangan, maka secara sungguh-sungguh upaya untuk menghapuskan berbagai distorsi ekonomi harus ditingkatkan. Untuk itu, berbagai aturan-main diperbaiki. Dalam waktu dekat akan segera diterbitkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Selain itu juga akan dihapuskan berbagai tataniaga dan perlakuan khusus, serta berbagai peraturan yang membatasi perdagangan antarpropinsi dan antarpulau. Praktik-praktik dan peraturan-peraturan seperti itu, selain menghambat arus barang dan sumber daya ekonomi yang harus diperbolehkan untuk bergerak cepat untuk memulihkan kegiatan ekonomi, juga menjadi sumber KKN. Keberhasilan upaya-upaya ini menjadi kunci untuk peningkatan kualitas dan daya saing produk nasional, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar internasional.
Pelaksanaan program pemulihan dan reformasi ekonomi akan meletakkan landasan yang kuat bagi bekerjanya mekanisme pasar yang sehat, adil, dan beretika. Jika kesemuanya itu dapat terwujud, maka seluruh lapisan masyarakat akan mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengembangkan usahanya. Reformasi di berbagai bidang, meskipun di sana-sini masih ada kekurangan, telah menghasilkan sinergi dalam mengatasi krisis. Momentum ini harus dipertahankan di masa datang. Caranya hanya satu, yaitu meneruskan reformasi yang sudah dimulai.
Saudara Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Dewan yang saya hormati,
Visi tersebut di atas hanya dapat terwujud secara berkelanjutan jika kita mampu menciptakan prakondisi yang diperlukan untuk itu. Langkah utama dalam jangka menengah adalah mengembangkan dan memperkuat kelembagaan, khususnya dua pilar utama untuk tercapainya good governance, yaitu pengelolaan pemerintahan serta sistem hukum dan peradilan yang baik.
Perubahan yang menjadi tuntutan masyarakat mencakup berbagai dimensi dan sisi, terutama mengenai sikap dan tanggung jawab dalam pengelolaan pemerintahan. Dalam era reformasi, keterbukaan (transparancy) dan kebertanggungjawaban (accountability) akan diwujudkan dan terus dikembangkan. Keterbukaan memungkinkan proses pengambilan keputusan dan kebijakan selalu dapat diawasi dan dimintakan pertanggungjawabannya.
Kebijakan-kebijakan publik dituntut untuk transparan dan dapat dipertanggungjawabkan untuk selalu menguntungkan rakyat banyak. Karena itu kebijakan publik yang berdampak luas pada rakyat akan terus dibahas secara terbuka sebelum ditetapkan. Pembahasan terbuka ini akan meningkatkan kualitas kebijakan, menghilangkan KKN, dan menjamin
dipenuhinya harapan masyarakat meskipun pada awalnya kadangkala mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang berat bagi rakyat. Keterbukaan yang lebih luas dimaksudkan untuk mendorong sikap aparatur negara agar lebih memihak dan melayani masyarakat.
Di samping itu, langkah pembenahan mendasar akan diterapkan pada aparatur pemerintah karena sistem pemerintahan yang efektif sangat tergantung pada kinerja aparatur pemerintah. Rendahnya kinerja aparatur pemerintah terutama disebabkan oleh tiga faktor utama. Pertama, sistem pengawasan yang lemah. Kedua, sistem penggajian yang kurang memadai. Ketiga, jumlah aparatur pemerintah yang berkelebihan. Ketiga faktor ini dapat menjadi pendorong bagi tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Sistem penilaian dan pengawasan merupakan hal yang sangat penting bagi peningkatan kinerja lembaga. Dewasa ini proses penilaian prestasi aparatur pemerintah sangat lemah, tingkat subyektivitas yang sangat tinggi, dan sangat kurangnya tindakan tegas yang diambil bagi mereka yang mempunyai kinerja buruk dan menyalahgunakan wewenang. Jika ini terjadi pada tingkat pimpinan, akibatnya adalah menurunnya semangat aparat di tingkat yang lebih bawah, yang pada gilirannya akan menurunkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Sistem penggajian yang ada secara tidak langsung mendorong aparatur pemerintah untuk tidak mengindahkan peraturan yang ada. Sistem penggajian tersebut mengakibatkan kurangnya insentif untuk meningkatkan prestasi dan karir, mengakibatkan ketergantungan Pemerintah pada hubungan paternal dan loyalitas pada individu, serta mendorong penyalahgunaan wewenang untuk meningkatkan taraf hidupnya. Dengan sistem pengawasan yang lemah, sering didapati perbedaan taraf kesejahteraan yang mencolok bahkan diantara aparatur pemerintah pada jenjang kepangkatan yang sama.
Hambatan utama untuk meningkatkan gaji aparatur pemerintah adalah besarnya dana yang harus disediakan. Dalam jangka panjang, salah satu jalan keluarnya adalah mengurangi jumlah pegawai negeri yang berkelebihan. Namun, adalah jelas bahwa jalan keluar ini tidak dapat dilakukan dalam jangka pendek karena dapat menimbulkan masalah sosial politik dan sosial ekonomi baru yang tidak kalah beratnya.
Dalam jangka pendek, langkah yang dapat dilakukan meliputi empat hal. Pertama, memperbaiki sistem penggajian yang mengarah pada peningkatan produktivitas pegawai negeri dan pelayanan kepada masyarakat secara luas. Kedua, meningkatkan efektivitas pengawasan, termasuk dari masyarakat, terhadap tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Upaya tersebut disertai dengan penegakan hukum terhadap setiap pelanggaran. Ketiga, mempersiapkan penyaluran pegawai negeri sipil dari pusat ke daerah termasuk penyusunan insentif yang dibutuhkan. Keempat, menyusun sistem rekrutmen bagi calon pegawai baru berdasarkan kebutuhan nyata dan dengan seleksi yang terbuka dan ketat.
Dalam jangka menengah, langkah yang dapat dipertimbangkan untuk dilakukan meliputi tiga hal. Pertama, mendorong pengurangan jumlah aparatur pemerintah secara bertahap dengan kompensasi yang memadai bagi yang mengundurkan diri secara sukarela atau memberikan pelatihan bagi yang ingin disalurkan ke sektor swasta. Kedua, secara berangsur-angsur mengurangi jumlah pegawai yang tugas dan fungsinya telah dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat; kepada mereka tetap diberikan gaji pokok sampai pensiun. Ketiga, menerapkan sistem kepegawaian yang baru untuk seluruh aparatur pemerintah yang didasarkan pada kinerja dan kebutuhan nyata, termasuk perlunya dipertimbangkan penerapan sistem kontrak kerja.
Seperti disebutkan di atas, dua pilar utama untuk menciptakan good governance adalah mengembangkan dan memperkuat pengelolaan pemerintah termasuk reformasi aparatur pemerintah seperti yang baru saja diuraikan, serta mengembangkan dan memperkuat sistem hukum dan perundang-undangan. Reformasi di bidang hukum dan perundang-undangan merupakan keharusan bagi pemulihan ekonomi dan kelangsungan pembangunan. Kepastian hukum akan menegakkan keadilan dan mengurangi risiko dalam berusaha, yang dewasa ini masih dirasakan belum memenuhi harapan. Untuk itu perlu dilaksanakan paling tidak tiga langkah perbaikan secara bersamaan.
Pertama, menyempurnakan dan menjabarkan undang-undang yang ada. Sebagai contoh adalah Undang-Undang tentang Kepailitan dan Undang-Undang tentang Peradilan Niaga untuk memutuskan kasus-kasus perusahaan yang pailit. Di samping itu juga sedang dikembangkan sistem pencatatan aset dan undang-undang yang menjamin keberadaan agunan. Sistem pencatatan dan undang-undang ini akan mengurangi risiko yang dihadapi kreditur karena penggunaan jaminan yang sama untuk mendapatkan kredit yang berbeda, seperti yang dilakukan sebagian debitur di masa lalu yang mengakibatkan membengkaknya kredit macet. Kedua, melakukan reformasi pada sistem peradilan. Peradilan yang mandiri dan profesional merupakan prioritas utama di bidang ini. Ketiga, reformasi hukum administrasi pemerintahan yang diarahkan untuk menghindarkan tumpang-tindih antara peraturan yang diterbitkan suatu lembaga pemerintah dengan lembaga pemerintah lainnya.
Saudara Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Dewan yang saya hormati,
Setelah memaparkan kondisi perekonomian nasional kita dewasa ini, yang diikuti oleh visi Pemerintah tentang kerangka ekonomi jangka menengah serta prakondisi yang diperlukan untuk keberhasilan kembali ekonomi nasional, perkenankanlah Pemerintah menyampaikan keterangan tentang dasar-dasar penyusunan RAPBN Tahun 2000 sebagai kerangka ekonomi jangka pendek.
RAPBN Tahun 2000 ini disusun secara realistis agar dapat memberikan gambaran secara tepat, jelas, dan transparan kepada DPR, para pelaku pasar di dalam dan di luar negeri, dan masyarakat luas, mengenai arah, sasaran, dan strategi kebijakan fiskal di dalam mendukung program pembaharuan struktural menuju pemulihan ekonomi nasional.
Dalam upaya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas publik, mulai Tahun Anggaran 2000 akan dilakukan perubahan terhadap struktur dan format APBN, mendekati standar statistik keuangan pemerintah (Government Finance Statistics) yang berlaku secara internasional. Berdasarkan format baru tersebut, APBN yang sebelumnya disusun berdasarkan prinsip anggaran berimbang dan dinamis, diubah menjadi anggaran defisit yang dibiayai dengan sumber-sumber pembiayaan dari dalam dan luar negeri. Dilakukannya perubahan struktur dan format RAPBN Tahun 2000 antara lain dimaksudkan untuk:
a. Meningkatkan transparansi, mengingat dalam struktur baru tersebut secara jelas dapat tergambar besarnya defisit anggaran, kemampuan sumber pembiayaan dari dalam negeri, serta ketergantungan anggaran negara terhadap pembiayaan luar negeri.
b. Mempermudah pelaksanaan analisis terhadap strategi kebijakan fiskal yang diterapkan beserta cara pembiayaannya, serta analisis perbandingan antara perkembangan operasi fiskal Indonesia dengan berbagai negara lainnya. Selain itu, dengan format baru APBN tersebut juga akan mempermudah pemantauan dan pengendalian dalam pelaksanaan serta pengawasan APBN.
c. Mengantisipasi pelaksanaan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Format baru APBN dimaksud akan mempermudah perhitungan dana perimbangan, baik dana bagi hasil penerimaan sumber daya alam maupun dana alokasi umum.
Secara garis besar, pengelompokan kembali pos-pos pendapatan dan belanja negara dalam format RAPBN Tahun 2000, adalah sebagai berikut:
a. Pada sisi pendapatan, komponen pajak yang terdapat pada penerimaan migas direalokasikan kepada fungsi dan sifat dasarnya, yaitu pada penerimaan PPh sektor migas. Demikian pula, penerimaan yang merupakan komponen penerimaaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti pertambangan migas atau bagian Pemerintah atas pengusahaan (eksplorasi dan eksploitasi) pertambangan migas dikembalikan kepada pos PNBP.
b. Pada sisi belanja, berbagai jenis pengeluaran yang selama ini masih menimbulkan kerancuan, seperti subsidi bunga kredit program, yang dalam tahun-tahun anggaran sebelumnya
dikelompokkan pada belanja pembangunan, dalam RAPBN Tahun 2000 dialokasikan kembali ke belanja rutin. Demikian pula, pembayaran bunga obligasi bagi program penyehatan perbankan nasional yang selama ini dicatat pada pos belanja pembangunan, dalam RAPBN Tahun 2000 dibebankan ke dalam belanja rutin. Sebaliknya pembayaran cicilan pokok utang luar negeri yang selama ini dicatat pada pos belanja rutin, dalam RAPBN Tahun 2000 dialihkan menjadi komponen pengurang dalam bagian pembiayaan.
c. Untuk lebih menjamin transparansi dalam penyusunan serta sekaligus mempermudah pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan dan perhitungan anggaran negara, juga dilakukan pemisahan secara tegas terhadap beberapa komponen pembiayaan anggaran yang dalam tahun-tahun anggaran sebelumnya dimasukkan ke dalam pos-pos pendapatan dan belanja negara.
Berdasarkan perkembangan terakhir dan proyeksi pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1999/2000, serta memperhitungkan potensi dan keterkaitan dengan pendapatan beban anggaran belanja negara dalam tahun mendatang, keadaan ekonomi Indonesia pada tahun anggaran mendatang diperkirakan akan lebih baik, dan mulai memperlihatkan tanda-tanda pemulihan yang makin kuat.
Beberapa indikator ekonomi makro yang menjadi asumsi di dalam penyusunan RAPBN Tahun 2000 antara lain sebagai berikut:
a. Laju pertumbuhan ekonomi 3,8 persen; b. Tingkat inflasi 4,8 persen; c. Harga ekspor minyak mentah Indonesia US$ 18 per barel; d. Nilai tukar (kurs) rupiah Rp 7.000,- untuk setiap dolar Amerika.
Secara umum struktur RAPBN Tahun 2000 terdiri dari penerimaan negara dan hibah, pengeluaran negara, surplus/defisit anggaran, dan pembiayaan dari surplus/defisit. Penerimaan negara adalah yang betul-betul dapat digalang dari dalam negeri dan bersifat berkesinambungan. Hibah adalah pemberian dari pemerintah lain atau lembaga internasional dan tidak menimbulkan kewajiban (misalnya, dalam bentuk pengembalian dana atau pembayaran bunga). Pengeluaran negara adalah seluruh belanja yang dilakukan oleh negara baik untuk kepentingan kegiatan rutin maupun untuk pembangunan. Jika pengeluaran melebihi penerimaannya maka terjadi defisit anggaran. Defisit ini harus ditutup dan dicarikan sumber pembiayaannya. Sebaliknya, kalau terjadi surplus anggaran berarti ada kelebihan dana yang dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pembayaran pinjaman pokok Pemerintah atau menambah cadangan dana Pemerintah.
Berdasarkan jumlah anggaran pendapatan negara dan hibah yang diharapkan dapat dihimpun, serta seluruh beban anggaran belanja negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan, maka dalam RAPBN Tahun 2000 diperkirakan terjadi defisit anggaran Rp 45,373 triliun atau sekitar 5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Terjadinya defisit tersebut berkaitan dengan lebih rendahnya jumlah anggaran pendapatan negara dan hibah yang direncanakan Rp 137,695 triliun (15,1 persen terhadap PDB), dibandingkan dengan jumlah anggaran belanja negara Rp 183,069 triliun (20,1 persen dari PDB). Jika dibandingkan dengan rasio defisit anggaran dalam APBN Tahun Anggaran 1999/2000 mencapai 6,8 persen terhadap PDB, maka rasio defisit anggaran terhadap PDB pada RAPBN Tahun 2000 tersebut terjadi penurunan sebesar 1,8 persen.
Dari jumlah anggaran belanja negara yang direncanakan Rp 183,069 triliun, sebagian besar yaitu Rp 143,682 triliun (78,5 persen) dialokasikan ke belanja rutin untuk mendukung kegiatan operasional pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, termasuk untuk biaya pemeliharaan kekayaan negara, pembayaran bunga utang, baik dalam negeri maupun luar negeri, serta penyediaan anggaran subsidi bagi beberapa jenis komoditi yang berkaitan dengan kebutuhan pokok masyarakat. Selebihnya, yaitu Rp 39,386 triliun atau 4,3 persen dari PDB akan dialokasikan untuk belanja pembangunan, masing-masing terdiri dari pembiayaan pembangunan rutin Rp 23,356 triliun atau 2,6 persen dari PDB, dan pembiayaan proyek Rp 16,030 triliun atau 1,7 persen dari PDB.
Pada anggaran belanja rutin, terdapat tiga jenis pengeluaran yang menyerap beban anggaran yang cukup besar, yaitu: (a) pembayaran bunga utang yang diperkirakan mencapai Rp 58,989 triliun atau 6,5 persen dari PDB, (b) belanja pegawai pusat dan daerah yang diperkirakan mencapai Rp 45,709 triliun atau 5,0 persen dari PDB yang terdiri atas belanja pegawai pusat Rp 29,355 triliun atau 3,2 persen dari PDB dan belanja pegawai daerah sebesar Rp 16,354 triliun atau 1,8 persen dari PDB, serta (c) subsidi yang pada Tahun Anggaran 2000 direncanakan Rp 26,666 triliun atau 2,9 persen dari PDB untuk BBM dan non-BBM. Beban subsidi tersebut diusahakan akan dikurangi secara bertahap.
Pada anggaran belanja pembangunan, dari anggaran pembangunan rupiah yang direncanakan sebesar Rp 23,356 triliun, yang akan dikelola oleh instansi Pemerintah Pusat berjumlah Rp 8,217 triliun atau 35,2 persen, sedangkan anggaran yang dikelola daerah mencapai Rp 15,139 triliun atau 64,8 persen. Sementara itu, pembiayaan proyek yang sumber dananya berasal dari pinjaman luar negeri (project loan) mencapai Rp 16,030 triliun atau 1,7 persen dari PDB.
Dalam rangka implementasi awal dari pelaksanaan desentralisasi fiskal sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, maka dalam RAPBN Tahun 2000 porsi alokasi anggaran pembangunan yang dikelola oleh daerah akan meningkat dari 50,8 persen terhadap total pembiayaan rupiah pada Tahun Anggaran 1999/2000 menjadi 64,8 persen pada RAPBN Tahun 2000, atau meningkat dari 1,3 persen menjadi 1,7 persen dari PDB.
Defisit anggaran pada RAPBN Tahun 2000 diharapkan dapat dibiayai dengan sumber-sumber pembiayaan dalam negeri sebesar Rp 22,189 triliun atau 2,5 persen dari PDB. Jumlah tersebut diharapkan berasal dari sektor nonperbankan, berupa hasil divestasi saham Pemerintah pada BUMN (privatisasi) sebesar Rp 5,939 triliun atau 0,7 persen dari PDB, dan penjualan (pemilikan) aset perbankan dalam program restrukturisasi (penyehatan) oleh BPPN yang berupa assets recovery sebesar Rp 16,250 triliun atau 1,8 persen dari PDB. Selebihnya, yaitu Rp 23,184 triliun atau 2,5 persen dari PDB diharapkan dapat ditutup dengan sumber pembiayaan yang berasal dari luar negeri.
Saudara Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Dewan yang saya hormati,
Sudah barang tentu dalam suasana perekonomian yang masih sulit sekarang ini kita harus bekerja keras sebelum dapat mengharapkan membaiknya keadaan.
Upaya menggalang penerimaan negara menghadapi tantangan yang tidak sedikit. Sekitar 71 persen dari penerimaan negara adalah dari penerimaan pajak. Dari jumlah tersebut, pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai mencapai sekitar 81 persen. Basis kedua jenis pajak ini relatif menyempit dibanding dengan keadaan sebelum krisis. Pajak penghasilan menurun seiring dengan menurunnya pendapatan perorangan dan perusahaan. Sementara itu, kegiatan ekonomi yang masih dalam tahap awal pemulihan dan sebagian belum terjangkau administrasi pajak, menyebabkan basis pajak pertambahan nilai juga terbatas.
Upaya meningkatkan penerimaan pajak, dimulai dengan pembenahan administrasi pajak. Untuk itu dilakukan pengelompokan wajib pajak perorangan dan perusahaan agar penetapan sasaran pemungutan pajak terutama untuk wajib pajak yang besar dan audit pajak dapat dilakukan dengan lebih baik. Di samping itu, peraturan mengenai yayasan akan ditata kembali agar benar-benar mencapai tujuan sosial yang ingin dicapai dan bukan sebagai alat untuk menghindarkan diri dari kewajiban pajak.
Basis pajak juga diperluas. Berbagai ketentuan mengenai keringanan termasuk pengecualian terhadap kewajiban pajak akan dikaji kembali. Namun hal ini tidak berarti semua insentif pajak untuk merangsang investasi dihapuskan. Misalnya, untuk investasi masih disediakan tax allowances untuk menggantikan tax holidays. Langkah ini juga sesuai dengan kesepakatan antara negara-negara ASEAN. Upaya lain adalah dengan menyederhanakan proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Dengan berbagai langkah seperti diuraikan di atas, penerimaan pajak diharapkan dapat mencapai sekitar 10,7 persen dari PDB, sementara penerimaan negara diperkirakan mencapai Rp 137,7 triliun atau 15,1 persen dari PDB. Tingginya penerimaan ini juga tidak terlepas dari perkiraan harga ekspor minyak bumi yang cukup menggembirakan. Dalam penyusunan APBN Tahun Anggaran 1999/2000 yang lalu, harga tersebut masih diperkirakan sekitar US$ 10,5 per barel. Namun dalam kenyataannya, harga terus meningkat dan mencapai harga rata-rata tertinggi pada bulan November 1999, yaitu US$
23,6 per barel. Secara historis, fluktuasi harga ekspor minyak bumi sangat tajam. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan prinsip kehati-hatian, ditetapkan asumsi harga komoditi tersebut sebesar US$ 18 per barel yang akan menghasilkan penerimaan pajak dan bukan pajak dari pos migas sebesar Rp 37,5 triliun.
Sumber penerimaan dalam negeri yang lain adalah penerimaan dari jasa pelayanan pemerintah, dividen BUMN, royalti, dan pendapatan lain seperti pengembalian pinjaman yang diberikan pemerintah. Sumber-sumber penerimaan ini disebut sebagai penerimaan bukan pajak. Untuk Tahun Anggaran 2000 pendapatan hasil privatisasi, yang dalam APBN Tahun Anggaran 1999/2000 merupakan 50 persen dari penerimaan negara bukan pajak, tidak lagi dikelompokkan ke dalam jenis penerimaan tersebut.
Pengeluaran negara terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, yang masing-masing direncanakan sebesar Rp 143,7 triliun. Dalam RAPBN tahun ini, ada beberapa perubahan pokok dalam penyajiannya, terutama di pos pengeluaran rutin. Pembayaran pokok utang tidak lagi di pos ini, tetapi merupakan bagian dari pembiayaan yang bersifat mengurangi jumlah pinjaman yang diterima. Dengan demikian, jika nilai penerimaan pinjaman melebihi pembayaran pokok utang, maka secara keseluruhan masih dibutuhkan pembiayaan dari luar negeri yang berarti pula jumlah stok utang luar negeri masih meningkat. Setidaknya, pembiayaan luar negeri bersih yang relatif menunjukkan stok utang yang menurun. Di samping itu, pembayaran bunga obligasi untuk restrukturisasi perbankan seperti halnya pembayaran bunga pinjaman luar negeri, sesuai dengan sifatnya, dicantumkan dalam pengeluaran rutin.
Penerbitan obligasi tersebut tidak dapat dihindari karena proses pemulihan ekonomi mensyaratkan penuntasan restrukturisasi perbankan. Yang perlu dilakukan adalah mempercepat proses tersebut agar biayanya dapat ditekan serendah mungkin dan sistem perbankan dapat segera pulih kembali. Langkah-langkah restrukturisasi perbankan ini dirancang secara menyeluruh, rinci, dan terbuka sehingga dapat dipantau secara cermat tidak saja oleh Pemerintah tetapi oleh seluruh rakyat. Langkah pembenahan operasional termasuk manajemen serta penguatan modal dilaksanakan untuk 4 bank pemerintah, yaitu Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BTN serta sejumlah 10 bank beku operasi (BBO), 38 bank beku kegiatan usaha (BBKU), dan 13 bank swasta yang diambil alih (bank taken over/BTO) yang empat di antaranya telah direkapitalisasi. Di samping itu, dilakukan pula penyempurnaan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan upaya tersebut yang akan diikuti dengan penegakannya secara sungguh-sungguh. Ketentuan-ketentuan tersebut tidak hanya terbatas pada dunia perbankan, tetapi juga yang menyangkut perusahaan secara umum terutama yang terkait dengan penyelesaian utang swasta.
Biaya penerbitan obligasi cukup besar. Jumlah obligasi Pemerintah pada awal Tahun Anggaran 2000, termasuk obligasi yang akan diterbitkan dalam bulan Maret, diperkirakan mencapai Rp 625 triliun, dengan biaya bunga pada tahun tersebut mencapai Rp 42,4 triliun atau sekitar 4,7 persen dari PDB. Untuk mengurangi beban ini, secara maksimal dilakukan upaya pengembalian pinjaman dengan penjualan aset perbankan yang menjadi hak negara. Dengan langkah ini, untuk Tahun Anggaran 2000 penjualan
aset diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan dari defisit anggaran, yaitu sebesar Rp 16,3 triliun.
Agar biaya yang demikian besar itu membuahkan hasil yang diharapkan, maka berbagai upaya pembenahan terus dilakukan antara lain dengan penyempurnaan organisasi BPPN, penuntasan kasus Bank Bali, dan tindakan tegas kepada debitur yang tidak kooperatif. Selain itu telah dilakukan pula audit atas Bank Indonesia oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Langkah-langkah jangka menengah untuk membenahi kelembagaan negara dan memberantas praktik KKN tidak dapat dipisahkan dari upaya memperbaiki insentif aparatur negara. Dalam APBN Tahun Anggaran 1999/2000 pengeluaran untuk itu sudah mencakup sekitar 39,0 persen dari keseluruhan pengeluaran rutin. Namun disadari bahwa penghasilan pegawai negeri masih belum memadai. Dalam masa krisis, dengan tingkat inflasi yang sebesar 36,8 persen dan 45,4 persen masing-masing untuk Tahun Anggaran 1997/1998 dan Tahun Anggaran 1998/1999, pendapatan pegawai negeri hanya dinaikkan masing-masing dengan 15 persen. Dari angka-angka tersebut jelas masih dibutuhkan perbaikan kesejahteraan pegawai negeri, terlebih dalam tingkat insentif yang sejak awal sebelum krisis, untuk tataran yang sama, rata-rata masih di bawah yang diberikan oleh swasta. Oleh karena itu, perlu dicari keseimbangan antara perbaikan insentif aparatur negara dengan upaya mengangkat kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Dengan menimbang kemampuan keuangan negara dan perlunya perbaikan kesejahteraan pegawai negeri untuk menciptakan aparatur yang bersih dan meningkatkan kinerja di satu sisi, dan di sisi lain perlunya menciptakan insentif yang tidak kontraproduktif terhadap upaya efisiensi birokrasi, disediakan anggaran untuk belanja pegawai pusat dan daerah sejumlah Rp 45,7 triliun. Meskipun ada kenaikan kesejahteraan aparatur negara, peranannya dalam pengeluaran rutin menurun dari tahun sebelumnya, yaitu 28,4 persen.
Untuk meringankan beban hidup rakyat, masih disediakan berbagai bentuk subsidi meliputi subsidi bahan bakar minyak (BBM), pangan, listrik, bunga kredit program, dan lainnya. Dalam penyediaan subsidi ini, yang terpenting adalah penetapan sasarannya agar yang dibantu adalah benar-benar yang membutuhkan. Dana yang dihemat dari pos ini dapat dipergunakan untuk memperkuat anggaran pembangunan, yang terutama diarahkan untuk mendukung proses desentralisasi dan pengatasan kemiskinan. Dengan demikian, jumlah dana yang terbatas tersebut dapat memberikan manfaat yang lebih besar.
Namun disadari pula bahwa masih ada inefisiensi dalam penyediaan energi yang menyebabkan menggelembungnya biaya subsidi. Untuk itu, akan dilaksanakan restrukturisasi di tubuh Pertamina dan upaya menekan biaya operasional di tubuh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Menindaklanjuti hasil audit terhadap Pertamina, pada bulan Maret tahun ini perusahaan tersebut diharapkan sudah dapat menyelesaikan program restrukturisasi untuk menekan biaya operasi, termasuk langkah-langkah untuk memperbaiki pos-pos yang berdasarkan hasil audit menunjukkan inefisiensi, dan sekaligus mempersiapkan Pertamina menjadi perusahaan yang kompetitif di dunia internasional. Upaya ini akan didukung dengan pembenahan pada peraturan perundang-
undangannya. Untuk PLN, diupayakan untuk melakukan renegosiasi kontrak yang adil dan transparan.
Meskipun berbagai langkah tersebut ditempuh, biaya untuk subsidi BBM dan listrik masih akan tinggi. Hal ini tidak terlepas pula dari membaiknya harga minyak bumi di pasar internasional yang akan meningkatkan subsidi BBM karena masih dibutuhkannya impor minyak mentah untuk diolah dalam kilang dan keterbatasan produksi dalam negeri sehingga diperlukan impor BBM. Untuk itu, dengan amat prihatin Pemerintah terpaksa melakukan kenaikan harga BBM. Namun kenaikan ini direncanakan berbeda untuk tiap jenis BBM, dengan mempertimbangkan tingkat pendapatan konsumen. Di samping itu, bagi masyarakat miskin disediakan skema subsidi khusus. Langkah perlindungan terhadap penduduk miskin juga dilakukan dalam penyediaan listrik dengan tidak menaikkan tarif bagi rumah tangga yang memiliki sambungan listrik 450 watt. Melalui langkah-langkah tersebut, jumlah biaya untuk subsidi BBM dan listrik masih akan cukup besar, yaitu masing-masing sebesar Rp 18,3 triliun dan Rp 3,9 triliun.
Selain itu, disediakan pula subsidi pangan sebesar Rp 2,2 triliun, terutama untuk mendukung penyediaan beras dengan harga murah dalam program Operasi Khusus Pangan (OKP). Adapun untuk subsidi bunga kredit program disediakan dana sebesar Rp 1,9 triliun yang terutama digunakan untuk program Kredit Usaha Tani (KUT).
Di samping berbagai program subsidi yang terutama untuk meringankan beban rakyat miskin, melalui anggaran pembangunan disediakan pula dana JPS dan pengatasan kemiskinan sejumlah Rp 2,8 triliun. Anggaran tersebut merupakan bagian dari anggaran yang pengelolaannya diserahkan pada daerah, atau anggaran desentralisasi. Secara keseluruhan, anggaran desentralisasi ini direncanakan mencakup 64,8 persen dari anggaran rupiah murni yang jumlahnya Rp 23,4 triliun. Jika dibandingkan dengan Tahun Anggaran 1999/2000 (untuk masa 9 bulan agar setara dengan masa anggaran tahun 2000), jumlah keseluruhan mengalami kenaikan Rp 3 triliun, sedangkan anggaran yang dikelola pusat mengalami penurunan Rp 3,5 triliun. Langkah ini merupakan langkah awal dari proses desentralisasi yang akan terus dimantapkan mekanismenya di masa datang.
Dalam jumlah anggaran desentralisasi, bagian terbesar adalah dana pembangunan kabupaten/perkotaan, yaitu sebesar Rp 5,9 triliun. Hal ini sesuai dengan semangat desentralisasi untuk menjadikan Daerah Tingkat II sebagai ujung tombak pembangunan. Daerah Tingkat II diharapkan dapat lebih menangkap aspirasi rakyat, sehingga alokasi dana dapat benar-benar sesuai dengan keinginan rakyat setempat. Alokasi dana pembangunan provinsi direncanakan berjumlah Rp 3,1 triliun dan dana pembangunan desa sejumlah Rp 670,3 miliar. Di samping dana pembangunan daerah yang terdiri dari dana pembangunan desa, dana pembangunan kabupaten/kotamadya, dana pembangunan provinsi, serta dana JPS dan pengatasan kemiskinan seperti diuraikan di atas, dalam anggaran desentralisasi masih ada dana hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sejumlah Rp 2,6 triliun. Dana ini, setelah dikurangi biaya untuk memungut sebesar 10 persen, seluruhnya dikelola daerah yang dibagi atas Pemerintah Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II.
Sejumlah Rp 8,2 triliun pengeluaran pembangunan akan dikelola oleh Pemerintah Pusat dan digunakan untuk membiayai proyek-proyek sektoral, termasuk dana pendamping untuk proyek-proyek pembangunan yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri. Jumlah pinjaman proyek pada tahun 2000 sangat dibatasi pada yang benar-benar dibutuhkan dan menunjukkan kemajuan seperti yang diharapkan. Dengan pembatasan ini, sejumlah 43 proyek senilai US$ 556 juta atau, dengan kurs Rp 7000/US$, sekitar Rp 3,9 triliun, telah dihentikan dan tidak dilanjutkan lagi. Adapun nilai pinjaman proyek yang direncanakan diserap untuk tahun 2000 ini juga sangat dibatasi, yaitu hanya Rp 16,0 triliun, jauh berkurang dari Tahun Anggaran 1999/2000 (juga dalam 9 bulan) yang senilai Rp 22,5 triliun.
Secara bertahap, jika berbagai program penyesuaian struktural yang sudah disusun dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka perekonomian dapat kembali tumbuh pada tingkat 6 persen sampai 7 persen dalam lima tahun mendatang. Pertumbuhan perekonomian tersebut akan didukung oleh basis yang lebih kuat karena partisipasi masyarakat yang lebih luas dan tidak hanya bertumpu pada kelompok pengusaha seperti di masa lalu. Perbaikan ekonomi itu juga akan semakin merata di daerah-daerah. Sementara dengan nilai tukar yang stabil pada tingkat sekitar Rp 7000/US$, inflasi dapat dikendalikan pada tingkat 3-5 persen.
Membaiknya perekonomian memperkokoh pula posisi anggaran negara di masa datang. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, maka basis penerimaan negara meningkat pula. Melalui upaya pembenahan administrasi perpajakan, pengurangan pengecualian pajak, dan penghapusan dana off-budget, maka posisi penerimaan negara akan menguat dan memungkinkan untuk memenuhi kewajiban pengembalian pinjaman dan sekaligus mendukung momentum pemulihan ekonomi. Defisit anggaran diperkirakan akan terus menurun dari 5 persen dari PDB pada tahun 2000, menjadi berimbang pada tahun 2004. Dalam kurun waktu yang sama, posisi utang Pemerintah secara keseluruhan yang mencakup utang luar dan dalam negeri diperkirakan juga menurun.
Demikianlah gambaran pokok-pokok RAPBN Tahun 2000 yang diajukan kepada DPR, sebagai langkah awal dari program-program ekonomi yang akan disusun sesuai dengan mandat MPR. Mengakhiri keterangan Pemerintah ini, perlu disampaikan beberapa hal yang kiranya dapat menjadi bahan renungan baik dalam pembahasan rancangan ini antara Pemerintah dengan DPR maupun dalam pelaksanaannya nanti.
Pelaksanaan APBN diharapkan mencerminkan kehendak GBHN untuk transparan dan demokratis. Pesan ini ditangkap agar kita harus lebih memperhatikan proses dan tidak hanya sekadar mementingkan pencapaian sasaran-sasaran pembangunan. Keterlibatan masyarakat sejak proses perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi harus benar-benar terjadi.
Oleh karena itu, Pemerintah akan tetap terbuka dan mendorong dialog yang konstruktif dengan Dewan, baik untuk mengamankan pembangunan dalam jangka panjang, maupun agar kita tidak terjebak dalam kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan dalam sesaat. Kebijakan makro untuk mendukung pembangunan berkesinambungan yang
menuntun perekonomian nasional agar lebih adil dan merata dan disertai stabilitas ekonomi yang benar-benar kokoh harus menjadi pertimbangan utama.
Dialog antara Pemerintah dengan Dewan menghadapi keterbatasan waktu. Dengan demikian, meskipun proses pembahasan mengacu pada keterbukaan dan prinsip demokrasi, adalah sangat penting untuk tetap dapat diselesaikan sesuai jadwal, sehingga APBN Tahun 2000 dapat dilaksanakan pada tanggal 1 April 2000. Pelaksanaan APBN Tahun 2000 yang tepat waktu sangat diperlukan untuk menghindari risiko persepsi yang kurang menguntungkan dari pasar. Dengan demikian, tahapan-tahapan seperti yang disusun dalam agenda ekonomi dapat berjalan sesuai dengan rencana. Insya Allah, pemulihan ekonomi dan cita-cita pembangunan secara keseluruhan akan dapat diwujudkan.
Akhirnya, kepada Tuhan Yang Maha Esa kita panjatkan do’a, semoga kita diberi kekuatan iman dan ketabahan untuk mengantarkan kehidupan bangsa pada tatanan baru yang kita cita-citakan bersama dalam gerak reformasi bangsa menuju masyarakat madani. Amiin yaa Rabbal ‘alamiin.
Terima kasih atas perhatian dan kesabaran para Anggota Dewan yang terhormat serta hadirin sekalian.
Wassalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh


Jakarta, 20 Januari 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ABDURRAHMAN WAHID



Sumber: http://www.ri.go.id/istana/speech/ind/20jan00.htm

No comments: