Monday 13 December 2010

Ong Hok Ham (1933-2007) : Sejarawan Besar Tanpa Gelar Profesor

Ong Hok Ham (1933-2007) : Sejarawan Besar Tanpa Gelar Profesor

Sejarawan besar Indonesia tanpa gelar profesor, Ong Hok Ham, meninggal dunia dalam usia 74 tahun, Kamis 30 Agustus 2007, di kediamannya Jalan Cakrawijaya IX Blok D No 11, Kompleks Diskum TNI Angkatan Darat, Cipinang Muara, Jakarta Timur. Sebelum meninggal Ong Hok Ham sempat memberi wasiat agar rumahnya dijadikan museum.

Ong Hok Ham pria kelahiran 1 Mei 1933 itu sudah harus berada di atas kursi roda akibat serangan stroke sejak pertengahan tahun 2001. Kendati demikian dia selalu mengikuti perkembangan dunia dan menuangkan hasil renungan dalam tulisan. Di kediamannya, Onghokham pria lajang sampai akhir hayatnya, itu didampingi dua asisten (sekretaris). Sehingga dia masih bisa menulis dengan cara mendiktekan kepada asistennya.

Direktur Institut Ong Hok Ham, Andi Achdian, sempat membawa jenazah Ong Hok Ham ke Rumah Sakit (RS) Mitra Internasional, Jatinegara sebelum kemudian disemayamkan di Rumah Duka RS Dharmais. Menurut Andi, Ong Hok Ham sempat memberi wasiat agar rumahnya dijadikan museum dengan koleksi sekitar 3.000 buku sejarah.

Onghokham atau Ong Hok Ham sering menulis sejarah di berbagai media antara lain Tempo, Starweekly dan Prisma. Kumpulan artikelnya di Tempo dari tahun 1976 - 2001 telah dibukukan tahun 2002 dengan judul Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang.

Sejak sekolah di HBS (sekolah menengah zaman Belanda), dia sudah berminat pada sejarah, rapor bernila 9. Kala itu gurunya bernama Broeder Rosarius. Namun, setamat SMA, Onghokham sempat menjadi agen asuransi mengikuti keinginan orang tuanya. Juga sempat kuliah selama dua tahun di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kemudian dia pindah ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jurusan Sejarah, dan tamat 1968.

Kemudian dia mengajar sejarah di almamaternya. Pria yang melajang sampai akhir hayatnya itu, meraih gelar doktor dari Universitas Yale, Amerika Serikat dengan disertasi The Residency of Madiun ; Priyayi and Peasant in the Nineteenth Century (Keresidenan Madiun, Priyayi dan Wong Cilik Selama Abad 19), 1975. Dia pensiun dari Universitas Indonesia pada tahun 1989 dalam usia 56 tahun.

Onghokham bukan pohon pisang, yang hanya berbuah satu kali. Di usia senja yang sudah semakin larut, dengan beragam kendala yang harus dia atasi, ternyata dia masih tetap bisa membuktikan jati dirinya sebagai seorang penulis yang tetap dan akan terus berkarya. Sakit dan penyakit ternyata tidak selamanya membatasi kegiatan seseorang.

Ini pula yang terjadi dengan Dr Onghokham. Meskipun dia kini harus berada di atas kursi roda akibat serangan stroke sejak pertengahan tahun 2001, tidak berarti kegiatannya menyusut. Tidak hanya dalam mengikuti perkembangan dunia dan menuangkan hasil renungan dalam tulisan.

Bahkan, ketekunannya melakukan penelitian berikut gaya bicaranya yang selalu meledak-ledak sebagai ciri khas orang Surabaya, tetap melekat pada dirinya. Sehingga Ong, begitu para sahabatnya memanggilnya, setiap hari masih hadir serta beredar di tengah kehidupan masyarakat.

"� masak hanya karena sakit macam ini lantas tidur melulu. Harus tidur dengan siapa?" katanya pada Rabu (30/4) sore, sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-70. Ong mengatakan ini sambil bersiap-siap berangkat ke resepsi perayaan Hari Nasional Belanda. Maka, itulah yang terjadi.

Dia tidak pernah membatasi kegiatan dan aktivitasnya. Bedanya, kalau dulu orang akan selalu melihat lelaki botak bertubuh tambun dengan kacamata tebal tersebut hadir sendirian dengan baju yang lengannya dilinting sampai ke siku tangan, bersepatu sandal, serta sebuah traveling bag kumuh tersandang di bahu. Sekarang, Ong tidak lagi seperti itu.

Penampilannya sama, namun ada dua atau tiga orang mengikutinya. Mendorong kursi roda, menaikturunkan ke kendaraan, dan membantu keperluan ini-itu. "... maunya saya, ya, masih macem dulu, bisa keluyuran ke mana-mana sendirian. Tetapi, kan, tidak semua tempat umum di Jakarta ini yang bisa diakses dengan bebas oleh orang seperti saya?" katanya.

Tahun 2001, ketika sedang bertamu ke Yogyakarta, tinggal di rumah sahabatnya, seniman batik Ardianto Prananta, tiba-tiba saja Ong mengalami serangan stroke. Suasana menjadi lebih dramatis karena rumah itu relatif kosong sebab saat itu pemiliknya sedang berada di Australia.

Ardianto melukiskan suasananya, "Untung saja pembantu saya tidak panik, untung sudah ada telepon seluler, dan untung juga Yogya tidak punya traffic jam sehingga dengan cepat mereka bisa menghubungi saya, dan segera saya perintahkan untuk melarikannya ke Rumah Sakit Panti Rapih. Kalau misalnya terlambat, ya, Pak Ong mesti wis bablas tenan�."

Perjalanan hidup memang sering meluncur tanpa bisa diduga lebih dulu. Ibunya, Tan Siang Tjia, menikah dua kali, dan Ong merupakan anak pertama dari pernikahan kedua, sekaligus menjadi anak ketiga dari semua putra ibunya. Sebagai seorang penulis produktif dan selama beberapa tahun ini telah menghasilkan banyak sekali naskah di beragam media, ingatan Ong sangat tajam. Dia tetap ingat pada tulisan pertamanya yang dipublikasikan, "� judulnya Perkawinan Indonesia-Tionghoa Sebelum Abad ke XIX di Jawa, dimuat dalam Mingguan Star Weekly edisi 15 Februari 1958."

Kalau tulisan pertamanya mengenai perkawinan, mengapa justru sampai hari ini Ong tetap memilih jadi bujangan? Sambil terbahak dia menukas, "Tetapi, kan, bukan jadi bujang lapuk? To be honest, saya enggak pernah mau dikritik. Dan salah satu cara terbaik untuk tidak dikritik adalah tidak usah punya istri."

Melihat saya masih tertegun, Ong langsung menambahkan, "Saya sendiri juga tidak tahu alasan sebenarnya. It�s so happened. Mungkin saja karena tidak ada waktu. Saya sudah telanjur menghabiskan seluruh waktu untuk hal-hal lain, atau karena saya terlalu banyak terlibat ini-itu. Tetapi, percayalah, jangan salah sangka, saya tetap mempunyai kehidupan yang baik, cara hidup yang katakanlah istilahnya, bersih...."

Bersih dan kotor, baik dan buruk adalah relatif, tergantung pada sudut pandang masing-masing. Pada diri Ong, dia mampu berbaur dan selalu beredar pada semua lapisan masyarakat tanpa pernah membangun sekat-sekat yang jadi penghalang kekerabatan.

Sebagai penganut Buddhis yang juga warga keturunan Tionghoa, dia adalah minoritas yang berada di tengah lautan mayoritas. Dalam kesendiriannya, Ong terbukti diterima di semua tempat. "Paling-paling kritik paling keras yang saya dengar, saya dianggap genit. Namun, genit kan bukan bahaya karena tidak menular dan tidak harus dibenci�," katanya.

Sikap hidup membuka diri tersebut juga tercermin dalam rumah tinggalnya di kompleks Diskum, di tengah Kampung Cipinang Muara, Jakarta Timur. Sebuah rumah tropis yang akrab dengan lingkungan serta murah harganya. "Makanya tak punya jendela dan tak perlu pintu, orang bisa bebas lalu lalang keluar masuk�."

Selama ini rumah itu, meskipun letaknyalebih rendah, selalu bebas dari ancaman banjir. "� kecuali tahun lalu, ketika banjir besar menyergap seluruh Jakarta, air sempat mampir ke dalam rumah. Untung tak terlalu dalam sehingga semua buku saya masih bisa diselamatkan."

Buku merupakan harta utama yang menjadi milik Ong. Maka, tidak mengherankan kalau untuk menandai ulang tahunnya yang ke 70 hari Kamis (1/5) sore ini di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta, Ong sekaligus meluncurkan dua buku. Satu berupa kumpulan tulisannya di Mingguan Tempo antara tahun 1976-2001 yang dia beri judul Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang. Satu lagi buku bertajuk The Thugs, The Curtain Thief and The Sugar Lord: Power, Politics and Culture in Colonial Java.

Panjang jalan yang sudah dengan tertatih-tatih dilalui Onghokham, sebelum akhirnya bisa tumbuh menjadi sejarawan, dengan spesialisasi sejarah Jawa sekitar abad XIX.

Menyelesaikan pendidikan di HBS Surabaya, Ong lalu melanjutkan ke SMA di Bandung. Singgah sebentar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), akhirnya pindah ke Fakultas Sastra, masuk jurusan Sejarah dan selesai tahun 1968.

Dia melanjutkan studi di Universitas Yale, Amerika Serikat, "� oleh karena banyak ahli tentang Indonesia yang kebetulan sudah saya kenal, datang dari sana. Saya berbelok ke Universitas Yale berkat dorongan Harry J Benda, penulis buku The Crescent and the Rising Sun: Indonesia Islam Under The Japannese Ocupation 1942-1945." Gelar doktor diraih oleh Ong tahun 1975 dengan disertasi The Residency of Madiun ; Priyayi and Peasant in the Nineteenth Century.

Mungkin orang akan heran, bagaimana mungkin sejarawan yang banyak menulis buku, rajin melakukan penelitian, dan sering tampil dalam beragam forum ilmiah baik di dalam maupun di luar negeri ini tidak pernah bisa diangkat menjadi mahaguru dan bergelar profesor.

Nasib Ong memang malang. Nomor induk pegawainya sebagai dosen di UI pernah hilang. Sehingga setelah mengajar selama 25 tahun, status kepegawaiannya tetap saja mandek di golongan III A. Maka, pada tahun 1989, ketika usianya 56 tahun, dia harus menjalani masa pensiun.

Prof Dr Sartono Kartodirdjo selalu berpesan kepada para muridnya, "Jangan seperti pohon pisang yang hanya sanggup berbuah sekali."

Oleh Toeti Kakiailatu: Penelitiannya tentang sejarah masyarakat Jawa, sejarah revolusi Perancis, dan sejarah Eropa secara umum sangat reflektif. Sejarawan yang membujang ini terkena stroke sejak 2001. Namun, nafsu makan enaknya tetap digemarinya. Kegemarannya akan makan telah mendorongnya untuk meneliti kajian makanan Indonesia.

Petang itu, sekitar jam 17.00, adalah jam makan malam Onghokham. Kamis, 31 Agustus, Rochmat, salah seorang yang mengurus Ong semenjak sakit, yang melayani makan malam. Menunya, kentang goreng dan bistik kakap merah. Semuanya dimakan habis. Setelah itu kursi roda Ong pun disorong ke kamar tidurnya, menghadap ke televisi. Sekitar jam 18.00, kepala Ong miring ke kiri dan menunduk. Ternyata Ong telah meninggal. Tanpa pesan dan rasa sakit.

Ong lahir pada 1 Mei 1922 di Surabaya. Almarhum adalah cucu dari seorang kapitan China di Pasuruan. Han, begitu nama keluarga ibunya, terkenal dari golongan elite yang mungkin jadi konglomerat pertama waktu itu. Ayahnya, setamat dari Hogere Burger School (HBS), berjalan-jalan ke Eropa dan setelah itu bekerja pada kantor asuransi. Dari pasangan ini, lahir empat bersaudara, tiga laki-laki dan seorang perempuan, masing-masing diasuh oleh pengasuhnya. Ong sendiri mengaku diasuh oleh seorang embok yang mengajarinya sedikit tentang budaya Jawa. Adapun orangtuanya yang berkelimpahan uang, sepanjang hari asyik main mahyong.

Baru pada malam hari orangtua dan anak-anak berkumpul untuk makan malam. Makan bersama ini menjadi peristiwa istimewa karena ruang makan yang mewah dan makanan yang melimpah. Para pelayan sibuk melayani makan malam gaya Belanda dengan konversasi antara mereka juga dalam bahasa Belanda. Keluarga Ong hidup bergaya Belanda. Bicara, makanan, dan cara berpakaian, semua bergaya Belanda. Ong sendiri sewaktu kecil dipanggil Sinyo Hansje. Gaya hidup yang serba Blandis ini kurang begitu disenanginya. Keluarga kaya yang kebelanda-belandaan dan hanya hidup bergaul untuk keluarga saja. Oleh karena itu, Ong kurang akrab.

Hanya kegemaran makan enak dan berpesta yang diturunkan dari kebiasaan keluarganya kepada Ong. Jadi semasa masih sehat, tidak ada undangan pesta dari orang-orang kaya di Jakarta yang Ong lewatkan begitu saja. Ong sendiri gemar mengundang beberapa temannya untuk makan malam. Dia sendiri yang belanja dan memasak makanan yang akan dihidangkan. Dengan naik kendaraan umum, karena tidak punya mobil, dia pergi belanja. Ong tahu daging babi yang baik ada di Pasar Senen, daging sapi berkualitas di Blok M, dan ikan bandeng segar di Pasar Pagi. Dengan berpanas-panas, tak segan dia menyeberang jalan dengan menenteng belanjaan.

Baru pada malam hari Ong berpakaian bersih, melayani tamu yang diundangnya. Sitting dinner dengan menggelar tatanan meja bertaplak indah, penuh dengan garpu pisau perak, porselen antik, serta bunga dan tebaran bunga melati. Di rumahnya yang bergaya Bali, di samping ruang makan yang terbuka tumbuh sebatang pohon melati gambir yang kalau malam hari mengeluarkan bau harum. Masakan yang digemarinya adalah sambal gandaria, bandeng bakar, dan babi hong. Yang terakhir, tentu saja tidak disuguhkan bagi pemakan nonbabi.

Lebih-lebih kalau pada HUT-nya, setiap 1 Mei. Undangannya selalu dimulai dengan sebutan Mayday, mayday� dan itu pasti undangan dari Sinyo Hansje. Pesta ulang tahun Sinyo Hansje ini selalu ramai. Rumahnya penuh sesak oleh berbagai tamu yang datang, mulai orang-orang kedutaan, tokoh nasional, sampai ke artis-artis, berjejalan. Makanan dan berbagai minuman memeriahkan pesta ulang tahun Onghokham.

Namun, mulai kapan Ong menjadi ahli masak? Dia menjadi kuliner terkenal ketika kuliah untuk mengambil gelar doktornya di Universitas Yale (1968-1974). Disertasinya cukup terkenal, yang berjudul The Residency of Madiun, Priyayi and Peasant during the Nineteenth Century. Kemudian ketika berkunjung ke Eropa, dia mencoba bereksperimen dengan makanan Italia, Perancis, dan China. Di Italia, Ong berteman baik dengan Ruth McVey, sejarawati yang mempunyai kastil di dekat Roma. Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1975, Ong berkata kepada David Reeve, sejarawan Australia, yang tengah menulis biografi Onghokham, "Saya kembali dengan dua keahlian. Gelar PhD dan memasak. Namun, memasak rasanya lebih penting."

Dosen "killer"

Kegemarannya akan Ilmu Sejarah mulai saat dia di HBS. Entah mengapa untuk pertama kali dia memilih Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), baru kemudian pindah ke Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra UI. Setamatnya dari Jurusan Sejarah, Ong sempat mengajar di fakultas. Sebagai dosen, Ong terkenal killer. Tidak senang dengan mahasiswa belajar asalan saja. Kalau jengkel, dia melempar apa saja yang ada di genggamannya ke mahasiswa. Para mahasiswi yang berdandan menor terpaksa harus menghapus make-up-nya karena kalau si mahasiswi dianggap bodoh, Ong mengomel dengan ucapan, "Huuh, waktumu dihabiskan dengan berpupur dan bergincu saja."

Tahun 1989 Ong pensiun. Usianya baru 56 tahun. Sekitar setahun Onghokham jadi Direktur Sekolah Tinggi dan Akademi BUDDI di Tangerang. Namun, Ong bukan tipe orang yang senang jabatan atau duduk di belakang meja jadi budak manajemen. Sekitar satu tahun saja dia minta berhenti. Ong kemudian bebas menulis di berbagai media antara lain di Kompas, Tempo, atau Prisma.

Unik dan orisinal

Pada 14 Februari 2001 Ong mendapat serangan stroke di Yogyakarta ketika hadir dalam perayaan ulang tahun ke-80 Prof Sartono Kartodidjo. Sebulan kemudian sekelompok teman dekat Ong berniat mendirikan Yayasan Lembaga Studi Sejarah Indonesia (LSSI), yang didukung oleh Freedom Institute, majalah Tempo, dan QB World Books. Pada HUTnya yang ke-68 diresmikanlah yayasan itu dalam sebuah pesta di Gedung Arsip, Jalan Gajah Mada 111, Jakarta. Dua tahun kemudian, pada usia yang ke-70, ia meluncurkan dua bukunya di Auditorium Perpustakaan Nasional (Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang dan The Thugs, the Curtain Thief and the Sugar Lord).

Namun, penyakitnya semakin payah. Bicaranya sulit dimengerti, Ong tidak disiplin dalam hal makan dan minum. Wines masih diminumnya, tetapi perutnya tak kuat lagi meneguk whiskey. Ong tak mungkin lagi pergi ke pesta, sedangkan teman-temannya semakin berkurang. Pesta ulang tahunnya yang terakhir, 1 Mei 2007, kurang meriah. Dan Ong sendiri juga tampak sedih.

Adalah Hardi Halim (teman Yoop Ave), Andi Achdian, dan Ardi Apian, Agustus 2006 mendirikan OngHokHam Institute (OHHI). Berkat nama Onghokham, institut berhasil mendapat sumbangan sebesar 100.000 dollar AS dari Ford Foundation. Tiga atau empat orang kini setiap harinya bekerja di ruang studi Ong. Karena dalam pengelolaan oleh OHHI ruang studi Ong harus memakai AC, pintu harus ditutup. Ong merasa tidak bebas lagi di rumahnya. Dia tidak bisa melewati ruang studinya untuk duduk di teras depan. Tentu agak sulit untuk memutar dengan kursi rodanya menuju teras. Si pemilik rumah cuma bisa berada di kamarnya yang di depannya ada taman seluas sekitar 2 x 3 meter. Ong menjadi seorang jaba tengah di rumah Bali-nya sendiri. Tempat favoritnya ialah teras depan dan yang biasa dilakukan Ong sambil tiduran, dekat kolam ikan dan beberapa pohon bunga, tak bisa dijamahnya. Hanya kalau akhir minggu, saat staf OHHI libur, barulah Ong boleh berada di teras depan.

Konon Yayasan LSSI nasibnya ada di ujung tanduk. Yayasan yang nonprofit dan nonpartisan ini konon akan dibubarkan oleh OHHI. Dapatkah?

Dalam suasana berkecamuk seperti itulah, sejarawan yang mempertahankan ketionghoannya, tokoh yang unik dan orisinal, pergi untuk selamanya.

Sebelum dikremasi, Ong dibaringkan dalam peti dengan memakai baju China berwarna merah maroon hadiah dari perancang pakaian Peter Sie di ulang tahun terakhirnya. Pada bibirnya diselipi sebutir mutiara. Menurut kepercayaan Buddha, itu agar Ong "nun di sana" tidak akan mengeluarkan kata-kata kotor. Upacara pemakaman di Rumah Duka Rumah Sakit Dharmais, Jakarta, dilakukan dengan upacara Buddha, Katolik, dan Khonghucu pada Minggu malam. Senin, 3 September, jenazahnya dikremasikan di Tangerang.









http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/o/onghokham/biografi/03.shtml

No comments: