Sunday 5 December 2010

PIDATO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DI DEPAN SIDANG TAHUNAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 7 AGUSTUS 2000

PIDATO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DI DEPAN SIDANG TAHUNAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 7 AGUSTUS 2000



Yang saya muliakan, Saudara Ketua, Para Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,
Yang saya cintai, Saudara-saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air di manapun berada,
Hadirin dan hadirat yang berbahagia,
Assalamu’alaikum Wr. Wb.,
Pertama-tama, pada hari yang bersejarah dan Insya Allah penuh berkah ini, marilah kita bersama-sama memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia, berkat dan rahmat-Nya, kita dapat berkumpul bersama, mengikuti Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia hari ini. Sidang Tahunan ini merupakan sidang yang pertama kali kita selenggarakan dalam tatanan dan tradisi baru kenegaraan kita, yang sesungguhnya amat dijiwai dan dinafasi oleh semangat reformasi. Sebuah komitmen dan kesadaran besar bangsa untuk melakukan reformasi menyeluruh dalam segala sendi kehidupan bangsa, menuju hari esok yang lebih baik.
Sebagai tatanan baru dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan, kita semua tentu berharap agar peristiwa politik penting ini dapat merupakan wahana yang konstruktif, yang mampu mendorong peningkatan embanan tugas setiap penyelenggara negara, dan yang pada gilirannya mampu menciptakan ketenteraman, kesejahteraan dan kemajuan bagi seluruh rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia yang kita cintai bersama, yang saya yakin akan mengikuti dengan seksama apa yang kita lakukan bersama selama sebelas hari persidangan ini, sungguh berharap kiranya Sidang Tahunan MPR ini benar-benar menghasilkan sesuatu yang konstruktif dan berguna bagi mereka semua. Mereka semua, yang tidak putus dalam doa, siang dan malam, yang lebih dari dua tahun mengalami penderitaan, kecemasan dan berbagai kesulitan hidup akibat krisis nasional yang kita alami, sungguh mendambakan terwujudnya Indonesia Baru yang dapat
menghadirkan sosok masyarakat yang rukun, toleran dan harmonis, yang lebih mendapatkan keadilan, hak-hak asasi dan kebebasannya, yang dapat menikmati tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, serta yang dapat hidup secara aman, tenang dan penuh ketertiban.
Kondisi dan sosok masyarakat Indonesia seperti itulah yang hendak kita bangun dan kita tuju. Kepada mereka semualah saudara-saudara, dan bukan untuk kepentingan kita semua yang ada dalam ruangan ini semata, semua komitmen moral, pikiran cerdas, dan langkah bersama untuk memperbaiki keadaan negeri kita di masa depan, kita arahkan.
Pimpinan dan segenap anggota MPR yang saya hormati,
Ketika saya melakukan berbagai kunjungan kenegaraan ke luar negeri, dengan agenda utama untuk menyampaikan komitmen Indonesia bagi terwujudnya Indonesia Baru yang lebih stabil, sejahtera dan demokratis, serta untuk mendapatkan dukungan dan bantuan yang tepat bagi langkah-langkah pemulihan ekonomi Indonesia pasca krisis, saya sering merasa prihatin melihat keadaan kita, ketika menyaksikan kehidupan bangsa lain yang telah demikian maju, stabil, demokratis dan sejahtera, yang sesungguhnya kondisi demikianlah yang hendak sama-sama kita tuju. Saya juga merasa makin tertantang untuk bersama saudara-saudara sekalian dan seluruh rakyat Indonesia, dapat segera mengatasi permasalahan nasional yang kita hadapi dewasa ini, ketika saya menyaksikan betapa negara-negara yang juga pernah mengalami krisis 2-3 tahun yang lalu, kini telah pulih bahkan mulai bangkit dan tumbuh kembali. Tentu saja saya tidak bermaksud untuk terlalu membandingkan dengan bangsa dan negara lain karena memang karakter, akar permasalahan dan kondisinya berbeda, namun setidaknya saya ingin mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk kembali bersatu dalam cita-cita, komitmen dan langkah bersama, untuk segera dapat mengatasi krisis yang masih terasa ada, menuju masa depan Indonesia yang lebih baik.
Hari ini, dalam forum terhormat ini, selaku Presiden yang mendapatkan mandat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan yang menerima amanah dari seluruh rakyat Indonesia, saya akan melaporkan apa yang telah, tengah dan akan pemerintah lakukan sejak sepuluh bulan yang lalu, berikut berbagai permasalahan fundamental dan isu-isu kritis yang dihadapi, serta sejumlah raihan yang dapat dicapai. Sudah barang tentu, dikaitkan dengan amanah GBHN untuk periode 1999-2004, dikaitkan dengan tingginya harapan dan tuntutan masyarakat, serta dikaitkan dengan sasaran-sasaran yang hendak dicapai oleh pemerintah sendiri, apa yang telah kami capai dalam sepuluh bulan ini benar-benar merupakan langkah awal dan capaian pertama, dari sebuah pekerjaan besar pemerintah dalam kurun waktu 5 tahun sebagaimana yang diamanahkan dalam GBHN.
Pimpinan dan segenap anggota Majelis yang saya hormati,
Ibarat perjalanan sebuah kapal besar yang mengarungi samudera yang luas, di samping kita harus mengetahui di mana kita berada dan ke mana kita akan berlayar dan berlabuh,
kitapun harus memahami kondisi kapal kita serta memahami rintangan dan tantangan alam, agar perjalanan kapal kita bukan hanya selamat ke pantai tujuan tetapi juga lancar, cepat dan tepat. Demikian pula perjalanan bangsa Indonesia yang besar ini, dalam upaya membangun sosoknya yang lebih stabil, demokratis dan sejahtera di masa depan.
Dewasa ini negeri kita berada dalam masa transisi. Sebuah transisi menuju terwujudnya Indonesia Baru yang lebih stabil, demokratis, dan sejahtera, tanpa meninggalkan sistem nilai, cita-cita dan jati diri kebangsaannya. Belajar dari pengalaman banyak negara yang mengalami masa transisi, masa seperti ini memang penuh dengan kerawanan dan persoalan kritis, yang tidak jarang dapat mengakibatkan mundur dan terjatuhnya kehidupan sebuah bangsa. Para pelaku politik dan bahkan masyarakat luas cenderung dan sering merasa tidak perlu patuh pada perangkat, tatanan dan mekanisme yang ada, karena justru hal-hal itulah yang hendak dirombak, sementara perangkat, tatanan dan mekanisme baru belum terbentuk. Di sinilah terjadinya ketidak pastian, ketidak tertiban dan instabilitas sosial. Periode ini menjadi makin berbahaya jika pihak yang merasa lebih kuat, lebih populer dan superior, memaksakan kehendak, pikiran, hukum dan tatanannya sendiri.
Sementara bangsa kita memang tengah berada dalam masa transisi dengan kerawanan yang melekat seperti itu, permasalahan yang muncul dan hadir pada pasca krisis ini memang sungguh beragam, komplek dan serba muka. Baik itu permasalahan kritis dalam bidang politik, ekonomi, sosial, keamanan, dan hukum, maupun yang berkaitan dengan pudarnya rasa kepercayaan di antara kita semua. Di samping masalah-masalah yang fundamental sifatnya, tidak sedikit pula yang bersifat situasional, yang saling kait-mengait satu sama lain.
Sidang Majelis yang saya hormati,
Kita pahami bersama, bahwa keberadaan Orde Baru ditandai oleh kuatnya pengaruh eksekutif terhadap legislatif dan yudikatif, oleh dominasi Pemerintah Pusat terhadap Daerah, serta oleh patronasi pemerintah terhadap masyarakat. Akibatnya, terjadilah proses akumulasi ketidakpuasan dalam masyarakat, sehingga ketika pemerintahan Orde Baru berakhir, yang muncul adalah luapan-luapan emosional dan ketidakberaturan. Suasana psikologis inilah yang menjadi awal perjalanan pemerintahan hasil reformasi.
Permasalahan utama yang kita hadapi pada saat berlangsungnya peralihan kekuasaan adalah timbulnya gejala disintegrasi bangsa akibat konflik sosial yang bernuansa primordial, lahirnya gerakan separatisme di beberapa daerah, serta maraknya tindakan-tindakan anarki dan kriminalitas di kalangan masyarakat yang diiringi dengan tindak kekerasan.
Kesemuanya ini telah menimbulkan keresahan dan menurunkan rasa aman. Gairah untuk investasi menurun, pengangguran meningkat, dan kesejahteraan sosial merosot tajam, terutama di daerah yang dilanda kerusuhan.
Gejala dan arus disintegrasi bangsa yang membahayakan ini menguat karena, di satu sisi, merupakan protes dari daerah terhadap pusat yang selama ini dinilai kurang memperhatikan serta kurang memberikan keadilan dan keseimbangan dalam pembangunan bagi daerah. Namun, di sisi lain juga diakibatkan oleh robeknya kohesi dan integrasi sosial, akibat belum kokoh dan melembaganya kerukunan, toleransi dan harmoni masyarakat yang berlangsung selama ini. Kita baru sadar, dan barangkali sungguh terlambat, bahwa bangsa kita yang amat majemuk dan kaya dengan akar konflik ini belum memiliki lembaga, perangkat hukum dan etika untuk sebuah resolusi konflik yang efektif.
Arus disintegrasi yang benar-benar mengancam eksistensi negara kesatuan dan keutuhan nasional kita dewasa ini, nampaknya makin diperkeruh lagi dengan tingginya konflik dan "power struggle" antar elit dan kekuatan politik, sehingga terus terang situasi politik memang masih terasa panas. Suhu politik seperti ini kita rasakan juga mengalir dan berdampak pada masih terasanya intensitas pertentangan dan konflik fisik di sebagian masyarakat kita.
Dalam suasana dan kondisi seperti inilah saudara-saudara, dihadapkan pada berbagai permasalahan yang kritis dan fundamental warisan masa lalu dan pasca krisis, dihadapkan pada tingginya tuntutan dan harapan masyarakat, serta dikaitkan dengan kemampuan dan batas kemampuan pemerintah, pemerintah terus berupaya, bekerja, dan berjuang untuk melaksanakan tugas-tugas besar, yaitu: mengatasi krisis, melanjutkan reformasi, menjaga keutuhan bangsa, dan melanjutkan pembangunan nasional, sesuai amanah GBHN.
Pimpinan dan Anggota Majelis yang saya hormati,
Tugas-tugas besar ini sesungguhnya adalah misi yang harus diemban oleh seluruh komponen bangsa dan seluruh rakyat Indonesia. Tentu saja pemerintah memiliki peran yang amat sentral dalam mengajak dan menggerakkan unsur masyarakat untuk berpartisipasi dan berkontribusi secara positif.
Mengalir dari visi yang tertuang dalam GBHN 1999-2004, yang pada intinya pembangunan nasional yang kita lakukan adalah menuju "terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia", pemerintah telah menyusun lima agenda pokok pembangunan. Kelima agenda tersebut adalah: (1) membangun sistem politik yang demokratis serta mempertahankan kesatuan dan persatuan; (2) mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih; (3) mempercepat pemulihan ekonomi serta membangun landasan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan; (4) meningkatkan pembangunan kesejahteraan rakyat dan ketahanan budaya; serta (5) meningkatkan pembangunan daerah.
Berangkat dari kelima agenda pokok pembangunan ini pemerintah menjabarkan dan mengaplikasikannya dalam berbagai kebijakan dan program aksi berikut prioritas-
prioritasnya. Di samping tetap merujuk kepada GBHN dan Program Pembangunan Nasional (Propenas) sebagai acuan, pemerintah tentu akan bersifat fleksibel, proaktif dan responsif. Gerak pembangunan bangsa bukanlah gerakan yang linier dan simetris, tetapi sarat dengan diskontinyuitas dan perubahan.
Pimpinan dan Anggota MPR yang saya hormati,
Di bidang politik dan keamanan, kita mewarisi keadaan yang sarat dengan pertentangan kepentingan, yang di sana-sini disertai dengan berbagai pelanggaran hukum. Walaupun pemerintahan yang lahir dari hasil pemilihan umum 1999 ini telah memiliki legitimasi dan merefleksikan kehendak rakyat, kehadirannya tidak serta merta dapat meredam seluruh suasana konflik, yang akar-akarnya tertanam jauh ke dalam bumi politik, ekonomi dan sosial kita.
Disharmoni sosial yang terjadi dalam hubungan antar suku, antar penganut agama, dan antar kelompok rasial, seperti yang kita saksikan akhir-akhir ini, telah menyulitkan pemerintah dalam menetapkan prioritas kebijakan. Semua permasalahan yang dihadapi sama pentingnya, sehingga tidak ada jalan lain kecuali menanganinya secara simultan.
Sebenarnya, keseluruhan agenda reformasi ini dapat saja kita laksanakan secara sistematis dengan hasil yang lebih baik, seandainya saja masyarakat secara keseluruhan mau bersikap sabar dan sepakat menciptakan suasana yang kondusif, dengan menghindari terjadinya berbagai konflik sosial dan tindak kekerasan. Tetapi ini tidak terjadi. Sehingga, sebagian dari tenaga dan waktu yang semestinya dapat kita gunakan untuk mempercepat pelaksanaan reformasi itu, terpaksa digunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah tambahan tadi.
Reformasi politik yang kita lakukan baru sampai pada taraf peletakan berbagai peraturan perundang-undangan sebagai landasan bekerjanya proses demokrasi; pengembangan kelembagaan baru pada taraf refungsionalisasi lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif; dan proses rekrutmen pada berbagai jabatan di ketiga cabang kekuasaan itu pun baru pada taraf awal, sehingga belum seluruhnya merefleksikan semangat reformasi itu sendiri.
Sementara itu, pada saat yang sama semangat untuk berdemokrasi telah bergerak cukup jauh, dan sebagian dari rakyat kita tidak sabar menunggu proses pelembagaan demokrasi yang sedang kita tata ulang itu. Akibatnya, terjadilah berbagai penyimpangan yang sifatnya sangat substansial. Makna demokrasi telah diperdangkal sekedar sebagai demonstrasi, supremasi hukum disimpangkan sebagai pengadilan rakyat, serta otonomi daerah didistorsi melalui berbagai tuntutan dan aksi untuk menguasai seluruh sumber-sumber pendapatan negara yang ada di daerah. Tindakan tegas aparat dalam menghadapi aksi-aksi kekerasan, sering menjadi obyek hujatan. Perlu kita pahami bersama, bahwa kebebasan tanpa keteraturan, dan tanpa ketaatan pada konstitusi, hukum dan etika, sesungguhnya bukanlah demokrasi, melainkan anarki.
Pimpinan dan Anggota MPR yang saya hormati,
Masih dalam bidang politik dan keamanan, kini kita juga berhadapan dan ditantang untuk menyelesaikan masalah gerakan separatisme yang bergerak di Aceh dan di Irian Jaya. Di dua wilayah itu, harus diakui sudah berlangsung kampanye anti Negara Kesatuan Republik Indonesia yang cukup intensif. Pada saat yang sama, kita pun berhadapan dengan suasana yang semakin buruk di Maluku, yang menyebabkan pemerintah sampai pada keputusan untuk menerapkan pendekatan darurat sipil di daerah itu. Disharmoni sosial yang melibatkan agama di Maluku tersebut jelas mengandung potensi disintegrasi bangsa yang sangat serius, yang kalau tidak segera dihentikan, bisa saja meluas ke daerah-daerah lain di Indonesia. Gejala perluasan itu dapat kita amati melalui kasus Poso, dan upaya serupa pernah dicobakan namun gagal di Jakarta dan Medan.
Dengan kata lain, secara politik, negara dan bangsa kita kini sedang berhadapan dengan ancaman disintegrasi teritorial melalui gerakan separatisme, dan ancaman disintegrasi kebangsaan melalui konflik antar pemeluk agama dan antar suku. Oleh karena itu, sekali lagi tiada pilihan lain bagi kita semua kecuali harus menyatukan langkah dan mengerahkan seluruh tenaga yang kita miliki untuk menyelesaikan masalah-masalah fundamental tersebut.
Dunia yang semakin transparan dewasa ini sesungguhnya ikut prihatin melihat perkembangan di Indonesia. Beberapa di antara negara-negara sahabat secara tulus telah menyatakan dukungan penuh mereka untuk membantu kita ke luar dari kemelut itu. Kalau kemudian kita sendiri tidak menyadari betapa perlunya membangun kembali solidaritas kebangsaan, mengkonsentrasikan diri pada upaya untuk menyelesaikan masalah ini, dan apalagi kalau yang mereka saksikan sehari-hari hanyalah gerakan protes, ekspresi ketidak-puasan, kerusuhan, proses saling menuding dan menyalahkan, maka bukan tidak mungkin mereka menilai bahwa kita tidak mampu mengatasi persoalan domestik kita.
Pimpinan dan Anggota MPR yang saya hormati,
Sesuai dengan amanah GBHN 1999, pemerintah secara konsisten telah menerapkan kebijakan politik demokratisasi secara sistematis dan terlembagakan. Salah satu wujud dari kebijakan ini adalah pemisahan antara TNI dan Polri. Proses pemisahan itu tentu tidak dapat selesai dalam waktu singkat, mengingat penataan kembali akan menyentuh seluruh piranti, mulai dari aspek struktur, kultur, doktrin hingga payung peraturan perundang-undangan yang diperlukan. Salah satu aspek terpenting yang diperlukan agar TNI dan Polri dapat melakukan fungsi masing-masing secara efektif adalah ketegasan tentang peran, tugas, dan kewenangan TNI dan Polri yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Penguatan lembaga-lembaga perwakilan rakyat di daerah, dilakukan melalui pelaksanaan Undang Undang No. 22 Tahun 1999. Pemilihan Kepala Daerah Propinsi, Kabupaten, dan
Kota seluruhnya berlangsung sesuai dengan dinamika yang ada di daerah. Intervensi pemerintah terhadap proses itu sama sekali tidak ada. Ini merupakan suatu perubahan yang luar biasa dibandingkan dengan proses serupa pada pemerintahan Orde Baru. Bahkan untuk jabatan Gubernur yang menurut Undang Undang No. 22 Tahun 1999 masih sekaligus merupakan Wakil Pemerintah, dan karena itu pencalonannya harus dengan terlebih dulu berkonsultasi dengan Presiden, dalam praktek pemilihannya sama sekali tidak pernah terganggu oleh sikap dan penilaian subyektif Presiden.
Pada saat yang sama, terbukanya kran kebebasan pers yang telah berlangsung tetap kita teruskan. Memang di sana-sini ada ekses yang ditimbulkan oleh kebebasan itu, karena masih juga ada segelintir media yang belum sepenuhnya memahami dan menerapkan etika jurnalistik secara konsekuen. Namun, saya percaya bahwa hal semacam itu akan terkoreksi dengan sendirinya oleh masyarakat madani yang semakin hari pun semakin mengalami proses penguatan.
Logika di balik kebebasan pers itu adalah dengan tersedianya berbagai alternatif sumber berita, kemampuan masyarakat untuk menyeleksi berita akan terbentuk secara wajar. Kelak, jika masyarakat madani seperti itu sudah terbentuk, maka media komunikasi yang terbiasa memanipulasi berita, menyembunyikan sebagian fakta dan mendramatisasi sebagian yang lain, apalagi yang melakukan fabrikasi berita tanpa fakta, akan tersingkir dan tidak mampu bertahan dengan sendirinya.
Karena itu, pembangunan politik kita ke depan adalah suatu upaya sadar dari pemerintah dan masyarakat untuk mencapai tingkat kesepakatan maksimal dalam memberi makna pada sistem demokrasi. Dimensi demokratis dari pemerintahan kita akan terlihat dari semakin terbangunnya tingkat keseimbangan relatif dan saling cek dalam hubungan-hubungan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sementara itu, dimensi demokratis dari masyarakat kita adalah semakin terbangunnya sejumlah kesepakatan nilai untuk kesetaraan di depan hukum dan pemerintahan, kesetaraan dalam kompetisi dan kontestasi politik, kemandirian, dan kemampuan menyelesaikan berbagai konflik dengan cara-cara damai.
Dalam bidang Pertahanan dan Keamanan, perubahan Departemen Pertahanan-Keamanan menjadi Departemen Pertahanan dimaksudkan untuk memisahkan fungsi pertahanan dari fungsi keamanan, sehingga memberi penegasan tentang perumusan kebijakan yang diperankan oleh Menteri Pertahanan dan operasionalisasinya yang diperankan oleh Panglima TNI. Pemisahan Polri dari TNI, dan penempatan Polri langsung di bawah Presiden adalah konsekuensi dari terlepasnya fungsi keamanan dari fungsi pertahanan.
Reformasi internal dalam tubuh TNI dan Polri terus bergerak maju. Esensi reformasi TNI adalah pengunduran dirinya dari fungsi sosial politik untuk memusatkan perhatian pada tugas pokok pertahanan negara dalam menghadapi ancaman dari luar negeri, seraya menyerahkan tanggungjawab keamanan dalam negeri kepada Polri. Reformasi internal TNI juga mengakhiri doktrin kekaryaan, sehingga tidak lagi kita temukan prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan sipil. Proses reformasi TNI dan Polri ini akan terus berlanjut dalam rangka pembangunan kekuatan pertahanan yang profesional dan
fungsional, serta Polri yang mandiri. Semua ini dilakukan untuk memperkuat landasan bagi bekerjanya agenda demokratisasi, yang kita sadari tidak akan berjalan tanpa suasana yang tertib dan teratur.
Dalam hubungan ini, saya perlu mengingatkan seluruh kekuatan bangsa kita bahwa sistem demokrasi yang ingin kita bangun dalam era reformasi ini adalah kombinasi dari kehadiran pemerintah yang memiliki kemampuan resistensi terhadap otoritarianisme, dan kehadiran suatu masyarakat yang memiliki kemampuan resistensi terhadap anarkisme. Otoritarianisme dan anarkisme adalah dua penyakit yang selalu mengintip perjalanan sistem demokrasi yang baru. Keduanya adalah musuh demokrasi yang harus kita lawan dengan segala cara.
Sejalan dengan komitmen demokratisasi itu, pemerintah dengan dukungan lembaga-lembaga legislatif dan yudikatif pun sudah mengambil langkah-langkah pembenahan di bidang hukum demi segera terwujudnya supremasi hukum di negeri ini. Penyelesaian berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk yang sifatnya memperkuat independensi badan-badan peradilan dan badan-badan penyidik telah dilakukan. Walaupun harus diakui bahwa penegakan hukum belum mencapai suatu prestasi yang sangat membanggakan, mengingat masa transisi yang kita lalui saat ini berhadapan dengan banyak kendala, namun sangat jelas bahwa langkah-langkah yang ditempuh sudah berada di jalur yang benar. Pemerintah akan tetap konsisten dalam penegakan supremasi hukum dan pemberantasan KKN.
Proses hukum, di negara manapun memerlukan waktu, agar keadilan yang menjadi ukuran dari supremasi hukum itu sendiri tidak dikorbankan. Dalam sistem hukum yang benar, kita tidak bisa berlaku sewenang-wenang, atau secara emosional menyelesaikan suatu perkara, hanya untuk memuaskan rasa dendam masyarakat atau kebencian orang seorang. Dunia sedang menyorot kita, apakah kita bisa melaksanakan proses demokratisasi, penjagaan kelestarian lingkungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia secara benar, terhormat, dan karena itu beradab. Sebagai bangsa yang besar, kita sedapat mungkin mampu memainkan peran keteladanan tentang bagaimana suatu proses transisi dari otoritarianisme ke demokrasi, dari sistem yang bersifat "personal rule" ke supremasi hukum, berlangsung dengan aman dan sukses.
Pimpinan dan Anggota MPR yang saya muliakan,
Penanganan masalah Aceh kita lakukan dengan meng-kombinasikan pendekatan kemanusiaan dengan penegakan hukum. Walaupun jeda kemanusiaan yang sedang berlangsung saat ini belum sepenuhnya menghentikan tindak kekerasan, mengingat masih saja ada unsur-unsur ekstremis yang bergerak di luar kendali TNI/Polri dan GAM, paling tidak telah membentuk suasana psikologis dalam masyarakat tentang adanya keinginan masing-masing pihak untuk mencari solusi atas konflik yang sudah memakan banyak korban tersebut. Pemerintah bertekad untuk terus melakukan upaya rekonsiliasi di Aceh. Kelak, apabila kondisi keamanan telah pulih kembali, pemerintah tentu akan dapat melakukan rehabilitasi secara lebih efektif atas infrastruktur yang hancur selama terjadi
pertikaian. Saat ini pun pemerintah sedang mempersiapkan RUU tentang Otonomi Khusus di Aceh, sebagai pelaksanaan dari amanah SU-MPR tahun 1999. Rancangan yang datang dari pemerintah daerah dan DPRD Aceh tentang hal ini sedang dikaji secara intensif, dan di sana-sini disesuaikan dengan semangat konstitusi negara kita. Insya Allah, Otonomi khusus Aceh tersebut akan terwujud dalam tahun 2000 ini juga. Dengan otonomi khusus itu diharapkan akan lahir pemerintah daerah yang lebih efektif dalam membawa masyarakat Aceh mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.
Penerapan otonomi khusus juga akan diberlakukan di Irian Jaya, tanah Papua, kurang lebih bersamaan dengan diberlakukannya sistem yang sama di Aceh. Ini dimaksudkan untuk memberi peluang yang lebih besar bagi pengembangan wilayah Irian Jaya dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Naskah dari DPRD Irian Jaya tentang otonomi khusus tersebut juga sedang dikaji dan segera diselesaikan dalam tahun ini.
Adanya niat baik dari DPRD-DPRD di Aceh dan Irian Jaya untuk secara mandiri merumuskan aspirasi masyarakatnya dalam tatanan otonomi khusus, merupakan bukti masih kuatnya komitmen dari mayoritas masyarakat kedua daerah itu untuk tetap mem-pertahankan kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gerakan separatisme yang muncul di dua daerah itu bukanlah representasi dari sikap masyarakatnya secara keseluruhan. Namun harus diakui, bahwa gerakan itu bukanlah sesuatu yang lahir tanpa sebab. Hal itu sekurang-kurangnya dipicu oleh bertemunya tiga faktor. Pertama, kelalaian pemerintah selama ini dalam memberi respon yang optimal terhadap tuntutan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, justru pada saat yang sama berlangsung eksploitasi yang intensif atas sumber daya alam yang ada di kedua daerah itu. Kedua, kurang terakomodasinya kepentingan lokal dalam proses politik di daerah, akibat dominasi pemerintah yang berlebihan. Khusus untuk Irian Jaya, hal ini sangat dirasakan dalam proses rekrutmen di lingkungan birokrasi pada berbagai bidang dan tingkatan. Ketiga, memang ada anasir-anasir separatis yang fanatik dan secara sistematis memanfaatkan kekecewaan masyarakat demi agenda politik anti-Indonesia.
Karena itu, pemerintah akan terus mengkombinasikan pendekatan kesejahteraan, pendekatan persuasif dan akomodatif dalam proses politik serta rekrutmen birokrasi, dan pendekatan keamanan yang berintikan penegakan hukum, di dalam menyelesaikan masalah Aceh dan Irian Jaya.
Khusus untuk kasus Maluku, pemerintah melihat konflik horizontal yang sudah berlangsung hampir dua tahun itu sebagai ancaman yang sangat serius terhadap nilai persaudaraan kita sebagai bangsa. Karena itu, upaya-upaya rekonsiliasi di antara pihak-pihak yang saling bertikai akan terus dilakukan. Pada saat yang sama, penindakan terhadap mereka yang melanggar hukum pun akan dilakukan lebih tegas lagi.
Menghadapi semua ini, pemerintah menegaskan sikapnya untuk tidak membuka jalur kompromi, apalagi memberi toleransi terhadap semua gerakan separatisme di negeri ini. Sikap yang sama juga perlu saya tegaskan dalam menghadapi semua bentuk tindak kekerasan dan pemaksaan kehendak oleh siapa pun, dan di mana pun. Bangsa ini sudah
memberikan pengorbanan sia-sia dalam jumlah yang sangat banyak, akibat berbagai tindakan kekerasan dalam dua tahun terakhir ini.
Jika kita, yang sekarang sedang mengemban amanah memimpin bangsa ini gagal mempertahankan nasionalisme, tidak mampu menegakkan kedaulatan rakyat, lambat dalam mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat, membiarkan terjadinya kemerosotan peradaban, dan gagal menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia, sejarah akan mencatat betapa kita telah menodai cita-cita luhur para pendiri bangsa dan negara ini. Sejarah akan mencatat betapa kegagalan itu akan mengakibatkan hancurnya cita-cita kemerdekaan, yang fondasinya ditegakkan dengan susah payah oleh para pendahulu kita. Oleh karena itu, hal ini tidak boleh terjadi. Kita harus bersatu-padu untuk mampu mengemban misi besar tersebut.
Dalam perkembangan dunia yang kian mengglobal dan transparan ini, kesetiaan dan solidaritas nasional merupakan prasyarat dan landasan bagi kita dalam memposisikan diri dan tampil terhormat dalam percaturan dunia. Kita juga harus mampu membuktikan kepada masyarakat dunia bahwa Indonesia tetap dapat mengatasi persoalannya, dan terus berkembang menjadi bangsa yang semakin maju dan sejahtera. Karena, betapapun intensifnya manuver diplomasi yang telah kita lakukan, keberhasilannya justru sangat ditentukan oleh apa yang telah kita lakukan di dalam negeri. Kehormatan suatu bangsa dalam pandangan dunia sangat ditentukan oleh prestasi-prestasi yang dapat dicapai oleh bangsa itu di berbagai bidang. Dan, prestasi di bidang apa pun hanya mungkin dicapai jika bangsa itu bisa memelihara suasana politik dan keamanan dalam negeri yang kondusif.
Perlu saya sampaikan bahwa dalam berbagai forum global dan penyelesaian persoalan regional, Indonesia sering diminta untuk tampil dan memberikan kontribusinya. Ini menunjukkan bahwa negeri kita masih sangat diperhitungkan dalam percaturan global yang terus berlangsung secara dinamis. Hal ini di satu sisi merupakan kehormatan, tetapi di sisi lain tentu merupakan tantangan.
Upaya pemulihan ekonomi nasional terus kita lakukan dengan mengundang masuknya investasi dari luar negeri ke Indonesia. Sesungguhnya, minat para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang besar amat tinggi. Tetapi ini hanya dapat dicapai kalau kita sukses memperbaiki citra Indonesia, sehingga kepercayaan internasional terhadap Indonesia pulih kembali. Sehubungan dengan itu, Pemerintah telah mancanangkan "diplomasi ekonomi" dalam hubungan luar negeri. Rangkaian lawatan saya beserta beberapa Menteri dan kalangan pengusaha nasional ke beberapa negara sahabat, tiada lain dimaksudkan untuk semaksimal mungkin mengupayakan pemulihan perekonomian nasional kita. Hasil kunjungan pun segera terasa dari adanya dukungan kuat masyarakat internasional terhadap upaya pemerintah dalam mengatasi dampak krisis dan menjaga integritas wilayahnya. Dari pembicaraan saya dengan para pemimpin dunia itu, saya tahu bahwa mereka semua memberi tanggapan positif dan bersedia mendukung upaya pemulihan ekonomi dan langkah-langkah demokratisasi di Indonesia.
Pelaksanaan hubungan ekonomi luar negeri semaksimal mungkin kita arahkan untuk memanfaatkan seluruh potensi yang ada pada negara-negara yang memiliki kemampuan keuangan, manajemen, teknologi dan jaringan (networking). Negara-negara tersebut mencakup Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang, serta negara-negara lain seperti negara-negara ASEAN, Asia Timur dan Pasifik serta Timur Tengah.
Pimpinan MPR dan Anggota Majelis yang saya muliakan,
Krisis ekonomi yang melanda negara kita telah menyebabkan mundurnya kegiatan perekonomian, menurunnya kesejahteraan rakyat dan rusaknya institusi-institusi ekonomi penting. Arah kebijakan ekonomi pemerintah saat ini adalah memulihkan dan memelihara stabilitas makro, termasuk pertumbuhan ekonomi, menata dan membangun kembali institusi-institusi ekonomi, memperbaiki struktur ekonomi agar menjadi sehat-adil dan kompetitif, melindungi kelompok ekonomi lemah dan miskin serta meningkatkan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Pemulihan ekonomi yang berkelanjutan, jelas tidak sekedar mendorong pertumbuhan ekonomi. Jauh lebih penting dari itu adalah melakukan tindakan korektif terhadap kesalahan-kesalahan masa lalu. Upaya menumbuhkan semangat dan nilai baru dalam penyelenggaraan kegiatan ekonomi yang berdasarkan asas kejujuran, profesionalitas, dan keseimbangan antara tanggung-jawab individual dan sosial, perlu terus dilakukan. Keberhasilan pemulihan ekonomi harus diukur melalui terciptanya rasa keadilan, rasa ikut memiliki dan berpartisipasinya rakyat dalam proses pembangunan.
Stabilitas perekonomian pada saat pergantian pemerintahan, memang cukup baik setelah mengalami gejolak yang sangat dahsyat sepanjang tahun 1998. Realitas tersebut harus kita akui sebagai keberhasilan pemerintah sebelumnya yang menjadi pondasi awal bagi kinerja pemerintahan baru, meskipun belum cukup kuat bagi sebuah kebangkitan kembali perekonomian nasional. Kondisi obyektif dari seluruh tatanan perekonomian nasional yang diwariskan kepada pemerintah baru, sungguh sangat berat. Ini ditandai oleh tingkat output riil yang lebih rendah, sistem perbankan yang masih rapuh, dan kredit macet yang sangat tinggi. Pada saat yang sama, tingkat kesejahteraan masyarakat pun mengalami kemerosotan yang ditunjukkan oleh menurunnya pendapatan per kapita dan meningkatnya jumlah penduduk miskin. Tingkat upah rata-rata yang lebih rendah dan terus berlangsungnya pemutusan hubungan kerja, telah menambah jumlah penganggur, sehingga beban sosial yang kita pikul semakin berat.
Semua itu jelas sangat menyulitkan kondisi keuangan negara. Jumlah hutang pemerintah melonjak sepanjang krisis, dan telah melewati ambang batas aman; terutama yang berasal dari hutang dalam negeri akibat pelaksanaan program restrukturisasi perbankan. Pemerintah juga masih harus menghadapi beban persoalan struktural; seperti lemahnya sistem peradilan dan sistem penegakan hukum, korupsi yang meluas, dan buruknya cara pengelolaan (governance) berbagai institusi publik dan sektor swasta. Akibatnya, kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan kepada institusi publik lainnya menurun.
Wibawa dan kredibilitas institusi publik berada pada titik yang paling rendah, sehingga pelaksanaan upaya pemulihan ekonomi tidak mungkin dilakukan secara cepat.
Sementara itu, program penanganan krisis dan pemulihan ekonomi yang dilaksanakan oleh pemerintah sebelumnya, dengan mengundang badan keuangan internasional (International Monetary Fund), telah membawa konsekuensi perubahan yang mendasar dalam proses kebijakan publik. Keikutsertaan IMF yang didukung pendanaan yang besar dalam program pemulihan ekonomi Indonesia, mengharuskan adanya disiplin dan komitmen yang tinggi dari pemerintah untuk menepati kerangka kebijakan yang telah disepakati. Hal ini sering dipersepsikan sebagai intervensi terhadap kedaulatan pemerintah. Namun, pemerintah memandang bahwa komitmen internasional itu harus tetap dijaga, dan program pemulihan ekonomi sudah seharusnya menjadi hak milik kita sendiri. Perlu saya tegaskan, bahwa dalam konteks kerjasama kita dengan IMF, tidak berarti kita tidak memiliki prakarsa dan ruang gerak yang cukup, termasuk perlunya mempertimbangkan aspek non-ekonomi dalam berbagai kebijakan ekonomi kita. Dengan kesadaran, disiplin dan sikap kemandirian, rasa tanggungjawab yang besar, pemerintah akan terus melaksanakan kebijakan-kebijakan yang memang secara obyektif akan membawa dampak baik bagi pengelolaan ekonomi kita.
Pimpinan MPR dan Anggota Majelis yang saya muliakan,
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa negara-negara yang mengalami krisis ekonomi yang berat, apalagi yang disertai persoalan multidimensi, membutuhkan waktu cukup panjang untuk mencapai kemajuan yang berarti. Namun, dalam waktu yang terbatas ini, beberapa kemajuan obyektif di bidang ekonomi dan keuangan telah kita capai.
Hingga saat ini kita tetap dapat memelihara dan mempertahankan disiplin kebijakan makro ekonomi yang merupakan kunci penting dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi suatu upaya pemulihan. Di bidang kebijakan fiskal, pemerintah telah berhasil menyusun anggaran periode transisi selama 9 bulan (April-Desember 2000) sehingga sesuai tahun kalender. Di samping itu, pemerintah juga menerapkan struktur penyajian data anggaran sesuai format internasional yang lebih transparan dan jujur.
Keberhasilan pemerintah dalam meletakkan kebijakan fiskal (APBN) yang hati-hati, sangat patut digaris bawahi, melihat begitu singkatnya waktu yang tersedia. Pemerintah juga berhasil mendapatkan dukungan pembiayaan dari luar negeri yang tergabung dalam Counsultative Group on Indonesia (CGI) untuk menutup defisit secara aman serta penjadwalan hutang. Pencapaian tersebut jelas sangat membantu kemampuan pemerintah untuk melakukan stimulasi fiskal yang memadai, mempersiapkan pelaksanaan misi desentralisasi fiskal, serta melakukan perlindungan kepada kelompok miskin tanpa mengorbankan prinsip kehati-hatian. Pada saat yang sama, tekanan populis dalam bentuk permintaan kenaikan gaji pegawai negeri yang sangat tinggi dan keinginan mempertahankan subsidi, bukanlah masalah yang mudah untuk diatasi dan dipenuhi secara memuaskan.
Kemajuan yang dicapai di sektor perbankan yang sempat rontok akibat krisis, cukup banyak untuk ukuran waktu sembilan bulan. Saat ini hampir seluruh proses rekapitalisasi perbankan telah diselesaikan. Rekapitalisasi juga didukung oleh penunjukkan manajemen baru yang lebih padu (solid), disertai penerapan kontrak manajemen dan kontrak kinerja untuk menjaga kondisi kesehatan bank tersebut. Pemerintah bersama Bank Indonesia terus meningkatkan pengawasan terhadap bank-bank pemerintah yang telah direkapitalisasi. Langkah ini dilakukan untuk mencegah tumbuhnya kembali praktik-praktik perbankan yang buruk di masa lalu, yang menyebabkan keterpurukan ekonomi kita.
Sejalan dengan upaya penyehatan perbankan, program restrukturisasi hutang perusahaan yang sudah lama tidak mencapai kemajuan berarti, telah pula ditata dan diefektifkan kembali. Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) telah menetapkan kebijakan-kebijakan dasar bagi restrukturisasi hutang perusahaan, baik yang berada di bawah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) maupun yang akan ditangani oleh Satuan Tugas Prakarsa Jakarta. Pada saat yang sama, pemerintah juga akan menerapkan mekanisme ancaman hukum yang berwibawa dan dipercaya agar percepatan restrukturisasi dapat tercapai. Pembentukan tim ekonomi bersama kejaksaan dan kepolisian untuk menangani debitur tidak kooperatif, penunjukkan hakim ad-hoc, serta pembentukan tim untuk mengawasi korupsi di pengadilan, merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memperbaiki kinerja aspek hukum dalam rangka pemulihan ekonomi. Semua kemajuan ini adalah hasil kerja keras yang telah dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan komponen bangsa lainnya, termasuk lembaga legislatif, yudikatif serta partisipasi masyarakat termasuk media massa.
Perlu saya tegaskan bahwa pemerintah memiliki komitmen yang tinggi bagi perbaikan ekonomi kecil, menengah dan koperasi yang melibatkan sebagian besar rakyat kita. Pola pendekatan yang diterapkan bersifat holistik, yaitu perpaduan berbagai kebijakan, mulai dari pemberdayaan sumber daya manusia dan manajemen, penghapusan distorsi pasar, termasuk koreksi terhadap praktek persaingan yang tidak adil dan tidak sehat, hingga perluasan akses pemasaran, modal dan informasi. Kebijakan pemihakan berupa penyediaan kredit program yang bersubsidi dan modal ventura yang bersifat konstruktif, juga diterapkan. Untuk itu, evaluasi dan tindakan korektif terhadap penyalahgunaan kredit program sedang dipersiapkan.
Dalam proses pemulihan ini, pemerintah juga terus melakukan tindakan korektif terhadap berbagai kesalahan akibat praktik KKN masa lalu, terutama yang berhubungan dengan kontrak-kontrak dan ijin produksi, investasi dan perdagangan yang merugikan rakyat, menyalahi prinsip keadilan dan mengabaikan kelestarian serta perlindungan lingkungan hidup, meskipun kita harus tetap menghormati dan menjunjung tinggi perjanjian internasional. Permasalahan ini terdapat di hampir semua sektor, termasuk sektor sarana dan prasarana seperti listrik, telekomunikasi, pelabuhan, industri manufaktur, dan sektor primer seperti pertanian, kehutanan dan perkebunan, juga sektor pertambangan dan energi.
Tindakan korektif juga akan terus dilakukan terhadap kebijakan subsidi yang tidak tepat sasaran dan membebani anggaran. Perubahan terhadap subsidi pangan melalui Operasi Pasar Khusus serta subsidi BBM dan listrik akan dilakukan demi mengurangi beban anggaran. Penyesuaian kebijakan ini dilakukan dengan tetap melindungi kepentingan kelompok miskin.
Pimpinan MPR dan Anggota Majelis yang saya muliakan,
Dengan dilaksanakannya program-program pemulihan itu, perekonomian kita telah bergerak ke luar lingkaran krisis, meskipun masih dalam taraf yang sangat dini dan belum kokoh. Pencapaian selama sembilan bulan ini, meskipun secara obyektif sudah cukup banyak, masih terlalu sedikit bila dibanding harapan pemerintah sendiri serta penugasan sesuai amanat GBHN untuk memenuhi harapan rakyat.
Kedepan, pemulihan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan, akan bersandar kepada empat pilar program yaitu: penjagaan atas stabilitas makro ekonomi; perkuatan institusi ekonomi; perbaikan kebijaksanaan struktural; serta perlindungan dan pemberdayaan kelompok tertinggal, tidak mampu, dan miskin. Untuk menjaga stabilitas makro yang kondusif bagi pemulihan ekonomi, pemerintah akan tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian yang selaras dengan dinamika pemulihan itu sendiri.
Pemerintah menyadari bahwa kondisi APBN ke depan akan semakin diperberat oleh besarnya tekanan-tekanan populis yang bisa melanggar rambu-rambu kehati-hatian, serta hutang pemerintah yang harus dikelola. Karena itu, pemerintah akan mengupayakan terpupuknya surplus fiskal primer yang cukup signifikan, dan mengurangi risiko fiskal yang berasal dari kewajiban kontinjensi. Pemerintah juga sedang membangun infrastruktur pasar obligasi dan kelengkapan kelembagaan, peraturan, serta pengelolaan risiko dan pengembangan instrumen yang tepat untuk manajemen hutangnya.
Kebijakan fiskal juga mencakup konsolidasi atas berbagai rekening pemerintah dan militer berikut yayasan-yayasan yang selama ini dicatat di luar neraca, serta konsolidasi atas anggaran pemerintah daerah. Penerapan desentralisasi dan otonomi daerah dari aspek perimbangan keuangan pusat dan daerah mulai Januari 2001, pasti tidak akan langsung memuaskan semua pihak. Meskipun demikian, komitmen pemerintah untuk melaksanakan desentralisasi fiskal tidak akan berubah.
Di bidang moneter, Bank Indonesia akan terus melaksanakan kebijakan moneter sesuai target dan kebutuhan ekonomi yang ditetapkan. Pemerintah akan terus menghormati independensi Bank Indonesia dalam menentukan kebijakan moneter. Dalam rangka menjaga stabilitas makro, pemerintah akan terus bekerjasama secara konstruktif dengan Bank Indonesia untuk memperkuat fundamental ekonomi kita sehingga tercermin secara realistis dalam nilai tukar rupiah.
Pilar kedua dalam rangka pemulihan ekonomi adalah memperbaiki dan memperkuat institusi ekonomi. Pemulihan sektor riil menjadi perhatian penting pemerintah saat ini.
Dalam jangka pendek, pemulihan sektor riil akan membuka lapangan kerja baru untuk menyerap pengangguran dengan menggunakan kapasitas industri yang lebih besar. Dalam jangka panjang, restrukturisasi perekonomian harus mendorong peningkatan daya saing nasional, penciptaan lapangan kerja yang berkualitas, dan pencapaian produk yang bermutu dan efisien.
Retrukturisasi baru dikatakan berhasil bila juga disertai penerapan prinsip pengelolaan yang baik (good governance). Salah satu amanat GBHN yang harus dilaksanakan oleh pemerintahan ini adalah pemberantasan KKN. Good governance tidak hanya mengubah peraturan, tetapi juga menerima dan menerapkan nilai-nilai baru sebagai suatu cara hidup baru. Hal ini sangat penting mengingat masalah korupsi sudah sangat struktural dan membudaya.
Dalam rangka perbaikan institusi, berdasarkan hasil audit, berbagai kegiatan korektif akan dilakukan pada institusi-institusi penting seperti Bulog, Pertamina, PLN dan berbagai lembaga strategis lainnya. Bank Indonesia juga harus melakukan tindakan korektif internal dalam rangka menciptakan kewibawaan dan kepercayaan publik terhadap fungsi dan keberadaan Bank Sentral.
BPPN dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki misi yang sama dari sisi anggaran yaitu menghasilkan penerimaan dari penjualan aset dan privatisasi. Meskipun demikian, penjualan aset dan privatisasi bukan ditujukan hanya untuk menaikkan pendapatan negara, namun yang lebih penting dari itu adalah untuk mencegah pemburukan kualitas aset dan meningkatkan efisiensi. Pengalaman internasional menunjukkan, pemburukan kualitas aset akan menyebabkan tingkat pengembalian yang hanya sekitar 30-40% dari nilai asalnya. Untuk menghindari itu, BPPN akan mempercepat penjualan aset swasta yang dikelolanya.
BUMN dimasa lalu justru menjadi sumber inefisiensi dan obyek korupsi pejabat pemerintah. Sebuah rencana menyeluruh untuk pelaksanaan program privatisasi BUMN dalam bentuk perbaikan efisiensi, transparansi, akuntabilitas publik, serta profitabilitas BUMN telah disiapkan.
Pemerintah juga akan meletakkan kembali dasar-dasar pembangunan sektor ekonomi yang sehat, kompetitif dan produktif, adil dan berkelanjutan. Titik perhatian pemerintah adalah pembangunan sektor pertanian termasuk kehutanan, perkebunan, perikanan, maritim untuk ketahanan dan diversifikasi pangan, sekaligus perbaikan kesejahteraan pelaku ekonomi. Industri manufaktur dibangun kembali untuk menciptakan struktur dan keterkaitan industri yang kuat dan kompetitif. Sektor sarana dan prasarana harus mencapai efisiensi dan keandalan, serta keamanan yang terjaga. Sektor jasa yang bermutu, efisien, kompetitif dan terjangkau juga harus diwujudkan.
Pertumbuhan ekspor yang menggembirakan, serta restrukturi-sasi industri, perhubungan, pertambangan dan energi yang memiliki kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara terus didorong dan dilaksanakan. Dalam kaitan ini aspek lingkungan hidup dan
pengembangan masyarakat (community development) merupakan prasyarat dan tidak boleh diabaikan dalam keseluruhan pengembangan ekonomi dan industri nasional.
Pilar ketiga adalah meneruskan kebijakan struktural dengan meletakkan kelengkapan aturan-aturan yang diperlukan agar mekanisme pasar dapat berjalan secara efisien dan adil. Sebagian peraturan-peraturan tersebut telah ditetapkan, seperti Undang Undang Persaingan Usaha, Undang Undang Perlindungan Konsumen, Undang Undang Lingkungan Hidup, dan Undang Undang Kepailitan.
Pilar keempat adalah meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berkeadilan, termasuk memberantas kemiskinan dan melindungi kelompok yang rawan dan rapuh. Untuk itu, pemerintah perlu mencapai pertumbuhan ekonomi yang memihak pada pemberantasan kemiskinan, peningkatan akses fasilitas dasar (kesehatan, pendidikan dan informasi), serta memperbaiki sarana dan prasarana yang diperlukan untuk memfasilitasikan mobilitas sumber daya ekonomi, faktor produksi, serta barang dan jasa.
Pimpinan dan Anggota MPR yang saya hormati,
Krisis multidimensional yang telah melanda kita sejak tahun 1997 menyebabkan terjadinya dua tahap kemunduran (set back) dalam upaya mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia. Kondisi masyarakat miskin semakin terpuruk, akibat kurangnya kesempatan kerja dan menurunnya daya beli mereka. Selain itu, merebak pula berbagai penyakit sosial seperti penyalahgunaan narkoba, prostitusi, kekerasan, dan pendangkalan nilai-nilai moral. Berbagai bencana alam, seperti gempa bumi, banjir, dan kebakaran, telah pula mempercepat proses keterpurukan tersebut.
Di berbagai kantong-kantong kemiskinan seperti kawasan kumuh perkotaan dan daerah tertinggal, tercatat masih tingginya angka kematian ibu serta masih rendahnya partisipasi pendidikan dari anak-anak usia sekolah. Semakin seringnya terjadi dan meluasnya kerusuhan sosial juga mengakibatkan penurunan derajat kesehatan dan gizi masyarakat secara drastis. Pada saat yang sama peningkatan penyakit menular seperti TBC, malaria, demam berdarah dan HIV/AIDS terus terjadi.
Semua ini memberi beban yang berat pada pembangunan kesejahteraan rakyat dan pengentasan kemiskinan. Karena itu pemerintah secara sungguh-sungguh akan terus mendorong peran masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Pemberdayaan masyarakat, terutama kelompok penduduk miskin, terus dilakukan dengan koordinasi lintas sektoral. Dunia usaha juga diajak serta dalam menangani masalah kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan. Pada saat yang sama, masyarakat juga disiapkan untuk menghadapi kemungkinan bencana alam dan kerusuhan sosial. Peningkatan kemampuan masyarakat dalam penanganan masalah lanjut usia, penyandang cacat, dan tuna sosial yang bersifat umum, serta penanganan korban narkoba dan anak jalanan yang memiliki karakteristik sendiri, juga terus dilakukan.
Dalam kurun waktu sepuluh bulan pertama ini, di bidang kesejahteraan rakyat dan pengentasan kemiskinan pemerintah telah melaksanakan berbagai program aksi berikut prioritas-prioritasnya, mulai dari bidang pendidikan, kesehatan, pembinaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan perempuan, pembangunan kepemudaan, hingga program-program penanggulangan masalah pengangguran. Semua diarahkan agar masyarakat kita segera dapat ke luar dari segala penderitaan dan kesulitan hidup akibat krisis yang melanda tanah air kita sejak tahun 1997 yang lalu.
Dalam penanggulangan dampak kerusuhan sosial dan bencana alam, pemerintah daerah dengan dukungan penuh instansi-instansi pusat telah melakukan koordinasi sejak dari fase tanggap darurat dengan aneka bantuan kemanusiaan, hingga upaya rekonsiliasi untuk kerusuhan sosial dan penanggulangan trauma untuk kasus bencana alam. Kerjasama dengan lembaga swadaya dan organisasi masyarakat juga terus digalang dalam kerja gotong royong, baik untuk rehabilitasi lingkungan fisik maupun pemulihan ekonomi masyarakat. Suatu gejala menggembirakan adalah tingginya solidaritas sosial masyarakat, terbukti dengan mengalirnya berbagai bantuan spontan dari semua pihak kepada penduduk yang terkena bencana atau menjadi korban kerusuhan sosial.
Kerjasama dalam penanggulangan kemiskinan serta ketertinggalan pembangunan di beberapa propinsi, dilakukan melalui keterpaduan program masing-masing instansi, serta percepatan pelaksanaannya. Koordinasi juga dilakukan dalam penggalangan dana, terutama bantuan luar negeri melalui negara-negara donor secara bilateral dan multilateral.
Di Aceh misalnya, telah dilakukan aksi bersama untuk rehabilitasi kerusakan berbagai sarana pendidikan, kesehatan, keagamaan, fasilitas umum, dan permukiman penduduk. Sebelumnya, berbagai kegiatan untuk memperbaiki keadaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dilakukan melalui kerjasama dengan berbagai organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, kelompok wanita dan mahasiswa, serta pengusaha lokal. Termasuk di dalamnya upaya pengembalian Sabang sebagai pelabuhan bebas dengan pembangunan infrastruktur dan fasilitasi dukungan investasi dari negara-negara sahabat. Kita bersyukur usaha-usaha ini mulai mendapat respon positif dari masyarakat setempat.
Di Irian Jaya suatu tindak percepatan (crash program) telah dirancang bersama antar berbagai instansi untuk mendukung pemerintah daerah dalam percepatan pembangunan di propinsi itu. Setiap instansi telah melakukan realokasi dan merevisi program-programnya untuk maksud itu. Berbagai proses birokrasi yang menghambat, diupayakan untuk dihilangkan. Prioritas pembangunan diarahkan pada fasilitas kesehatan, pendidikan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Pembangunan infrastruktur perhubungan dan irigasi pun menjadi perhatian kita.
Di Maluku dan Maluku Utara berbagai upaya terpadu telah pula dilakukan. Rehabilitasi sosial, mental spiritual, fisik dan ekonomi masyarakat dilakukan bersama-sama antar instansi serta dengan LSM, dan para pengusaha. Prakarsa rekonsiliasi oleh berbagai organisasi keagamaan dan kelompok masyarakat telah sempat membawa hasil berupa
kesepakatan-kesepakatan untuk memulihkan keadaan. Ribuan rumah, sarana ibadah, sekolah dan infrastruktur lainnya telah sempat terbangun.
Namun, sangat disayangkan bahwa kemudian terjadi lagi provokasi menuju konflik-konflik baru yang membuyarkan semua hasil yang telah dicapai. Tetapi, sejalan dengan upaya-upaya untuk memulihkan keamanan di daerah-daerah paling rawan, pembangunan kembali di pulau-pulau yang lebih aman, baik di Maluku Tenggara maupun Maluku Utara tetap dilakukan oleh masyarakat lokal bersama instansi-instansi pusat. Bantuan kemanusiaan terus diupayakan melalui berbagai cara dan jalan masuk yang memungkinkan.
Penanggulangan akibat bencana alam di Banggai, Belu, Bengkulu dan Sukabumi telah dilaksanakan secara lebih sistematis dan terorganisir. Kegiatannya mencakup bantuan tanggap darurat, penilaian atas kerusakan, rehabilitasi serta penelitian atas kemungkinan terjadinya bencana susulan.
Harus diakui bahwa sumber daya yang tersedia pada pemerintah belum pernah cukup untuk mengatasi semua permasalahan secara tuntas. Harapan masyarakat yang tertimpa bencana seringkali jauh melebihi kemampuan pemerintah untuk memenuhinya. Kepanikan-kepanikan terutama di awal bencana, menyebabkan sering tidak efektifnya penyaluran bantuan. Karenanya, direncanakan untuk membuat suatu unit kerjasama lintas sektoral guna meningkatkan kesiapan dan kapasitas daerah-daerah rawan bencana untuk menghadapi bencana alam.
Pimpinan dan anggota Majelis yang saya hormati,
Perlu pula saya sampaikan bahwa penanganan dampak kerusuhan sosial di Kalimantan Barat saat ini telah mencapai titik terang, dengan telah siapnya para pengungsi lokal sebanyak 2000 KK untuk dimukimkan sebagai transmigran lokal atau mengikuti program pemukiman sisipan. Mereka akan langsung mempunyai penghidupan baru dalam sistem perkebunan rakyat yang didukung oleh pengusaha setempat.
Namun harus saya akui, bahwa belum semua dampak kerusuhan sosial berhasil ditangani. Rehabilitasi fisik dan ekonomi bagi masyarakat korban kerusuhan sosial di Sulawesi Tengah, Lombok, atau Tegal belum bisa dilakukan sepenuhnya. Pemerintah memiliki keterbatasan. Ini juga yang menyebabkan penanganan pengungsi eks Timor Timur masih dihadapkan pada berbagai kesulitan. Pengorganisasian para pengungsi yang berada di wilayah NTT juga mengalami hambatan. Upaya badan internasional untuk memulangkan sebagian pengungsi ke Timor Timur belum tuntas. Meskipun demikian, semua upaya akan terus dilakukan untuk mengatasi permasalahan kemasyarakatan ini.
Pimpinan dan para anggota Majelis yang saya hormati,
Seraya memahami betapa berat tugas yang harus kita emban ke depan, pemerintah tetap kokoh dalam tekadnya untuk mengambil segala langkah yang layak untuk segera membawa negara dan bangsa ini keluar dari krisis multi dimensi yang hingga saat ini masih kita rasakan.
Kebijakan dan langkah pemerintah untuk secara konsisten dan konsekuen mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih, akan terus dikembangkan. Hal ini akan dilaksanakan terutama dengan melakukan tindakan hukum yang tegas untuk mengikis praktik KKN di lingkungan instansi/lembaga pemerintah, meningkatkan independensi lembaga peradilan disertai dengan peningkatan profesionalitas dan integritas moralnya, serta peningkatan transparansi informasi dan pengambilan keputusan.
Agenda demokratisasi di lingkungan pemerintahan dan lembaga-lembaga kenegaraan akan terus dilaksanakan. Karena itu, pembahasan panitia ad-hoc MPR atas perubahan UUD 1945 terus kami ikuti dengan cermat. Semoga hasil penyempurnaan itu dapat memberi landasan yang lebih kuat bagi bekerjanya mekanisme demokrasi dalam sistem kenegaraan dan kebangsaan kita. Semua penyelenggara negara, apapun fungsi dan tingkatannya, mestilah terikat dan harus patuh pada sistem, etika, dan aturan main yang dibangun atas logika dan norma demokrasi, serta nilai-nilai konstitusionalisme.
Penyiapan berbagai peraturan perundang-undangan dibidang politik dan pelaksanaan otonomi daerah juga terus dilakukan. Khusus untuk otonomi propinsi Irian Jaya dan Aceh Insya Allah, sudah dapat dibahas dengan DPRD masing-masing daerah pada bulan ini juga, sebelum dilanjutkan ke DPR RI. Pembahasan pendahuluan ini diperlukan untuk mencari titik temu antara aspirasi daerah dengan kewajiban pemerintah nasional menjaga kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia.
Sejalan dengan demokratisasi politik itu, pemerintah juga akan terus mendorong terwujudnya demokrasi ekonomi yang akan membuka ruang lebih luas bagi partisipasi masyarakat dalam berbagai interaksi ekonomi dan bisnis. Dalam konteks demokratisasi ekonomi ini tercakup pula upaya penguatan posisi masyarakat di dalam berhadapan dengan lembaga-lembaga pengambil keputusan di bidang Ekuin, publik atau private.
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mengatasi kemiskinan, pemerintah akan terus melakukan koordinasi agar program-programnya lebih tajam mencapai sasaran. Koordinasi ini terutama akan diselaraskan dengan komitmen semua instansi untuk melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah secara konsekuen.
Khusus tentang perbaikan kesejahteraan pegawai negeri, pemerintah akan melakukannya secara bertahap, disertai dengan peningkatan kesejahteraan pekerja, nelayan, petani, dan masyarakat berpenghasilan rendah lainnya. Pemberdayaan masyarakat melalui berbagai program kredit mikro, jaminan kesejahteraan sosial, akses pendidikan dan pelayanan kesehatan, akses prasarana yang layak, kecukupan pangan, dan perluasan kesempatan kerja sangat penting dilakukan dalam penanggulangan kemiskinan. Pemberdayaan dan meningkatkan kualitas hidup perempuan, penegakan HAM bagi perempuan, dan
pendayagunaan perempuan akan terus ditingkatkan untuk menanggulangi berbagai masalah kekerasan dan ketidakadilan.
Pimpinan dan Anggota Majelis yang saya hormati,
Tahun ini adalah tahun yang amat menentukan bagi perjalanan bangsa Indonesia. Pertalian komitmen, tanggung jawab dan prakarsa bersama kita juga amat menentukan bagi nasib dan masa depan bangsa kita. Melalui perhelatan akbar ini kita tengah diuji apakah kita semua, terutama para pemimpin dan elit politik, dapat membangun semangat persatuan dan kebersamaan baru, yang sesungguhnya merupakan jiwa dan nilai fundamental yang diwariskan oleh para pendahulu dan pejuang republik, untuk bersama-sama mengatasi semua permasalahan nasional, demi rakyat Indonesia yang kita cintai bersama.
Dunia tengah melihat kita semua, dan kitapun tengah mengukir sejarah Indonesia Baru di awal Milenium Baru. Dua ratus juta lebih rakyat Indonesia akan merasa amat bersyukur dan berbahagia jika dengan kearifan, kecerdasan dan jiwa besar, kita dapat menghasilkan sesuatu yang benar-benar menjadikan solusi nasional dalam nuansa yang demokratis dan tertib, serta penuh dengan etika dan tata krama politik, untuk masa kini dan masa depan, dan bukan sebaliknya gagal untuk membangun konsensus dan menemukan solusi yang tepat.
Selaku Kepala Pemerintahan yang memikul tugas dan tanggung jawab yang amat berat, sesuai dengan amanah GBHN dan harapan seluruh rakyat Indonesia, saya sungguh ingin bekerja dan berupaya sekuat tenaga, agar kinerja pemerintahan terus semakin meningkat, dengan kebijakan dan strategi yang tepat, serta dengan agenda dan prioritas yang makin tajam. Saya akan belajar banyak dari kekurangan dan kelemahan dalam sepuluh bulan pertama ini, agar dapat dilakukan perbaikan-perbaikan. Sebaliknya, apa yang telah berhasil diraih oleh pemerintah tentu akan kami jadikan landasan dan batu pijakan untuk mencapai keberhasilan yang lebih besar lagi.
Yang jelas, tekad dan determinasi pemerintah untuk terus mengatasi krisis, menjaga keutuhan negara dan melaksanakan reformasi tidak akan pernah surut, seberat apapun tantangan dan permasalahan yang dihadapi. Demikian pula, pemerintah akan tetap memiliki komitmen yang tinggi untuk terus mengembangkan kehidupan demokrasi, hak-hak asasi manusia, keadilan, supremasi hukum, kesejahteraan rakyat, otonomi daerah, stabilitas dan ketertiban masyarakat.
Dengan jiwa besar dan perasaan tulus, saya harus mengatakan bahwa untuk mengemban tugas-tugas yang amat berat namun mulia itu, pemerintah memerlukan dukungan dari seluruh rakyat Indonesia, karena tanpa itu pemerintah tidak akan mampu melaksanakannya dengan baik. Kritik, komentar dan pandangan dari segenap anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terhormat sungguh saya perlukan, demi meningkatkan efektifitas dan kinerja pemerintah yang saya pimpin dewasa ini.
Kepada seluruh rakyat Indonesia saya memohon maaf jika dalam waktu sepuluh bulan ini pemerintah belum sepenuhnya dapat menyelesaikan seluruh persoalan. Tetapi percayalah bahwa kami akan berupaya, bekerja keras, dan terus berjuang untuk dapat berbuat lebih banyak lagi.
Akhirnya, dengan memohon restu Majelis yang mulia ini, ijinkanlah saya mengakhiri pidato ini dengan ucapan terima kasih yang tulus atas kesabaran dan perhatian Saudara-saudara, disertai permohonan maaf jika ada sesuatu yang kurang berkenan di hati para anggota Majelis yang terhormat.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhoi niat dan cita-cita baik kita, dan semoga kita semua senantiasa mendapatkan bimbingan, petunjuk dan lindungan-Nya.
Sekian.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
KH. ABDURRAHMAN WAHID



Sumber: http://www.ri.go.id/istana/speech/ind/07agustus00.htm

No comments: