Monday 20 December 2010

SEDULUR SIKEP BERHAK MENENTUKAN JALAN HIDUPNYA SENDIRI

SEDULUR SIKEP BERHAK MENENTUKAN JALAN HIDUPNYA SENDIRI





Gerakan Sedulur Sikep pada waktu itu bukanlah gerakan kekerasan, tetapi merupakan gerakan “pembangkangan pasif” terhadap kebijakan Pemerintah Belanda (negara); misalnya menolak membayar pajak dan kerja rodi. Gerakan ini mengajak pengikutnya untuk menarik diri dari kontrol Pemerintahan Kolonial Belanda dan melakukan pemurnian perilaku hidup. Gerakan Sedulur Sikep pada jaman Belanda merupakan salah satu bentuk resistensi petani.
Sejarah dan Sebaran

Keberadaan Sedulur Sikep saat ini tidak bisa dipisahkan dari gerakan yang dipelopori oleh Samin Surontiko pada awal 1890-an yang dimulai di bagian Selatan Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Samin Surontiko lahir pada tahun 1959 di Ploso Diren, Randublatung (Blora). Gerakan Sedulur Sikep yang dipelopori oleh Samin Surontiko ini pada awalnya tidak dipedulikan Belanda. Belanda baru mulai mewaspadai gerakan Sedulur Sikep ini setelah pada sekitar tahun 1904 gerakan ini bisa menghimpun pengikut sekitar 3000 orang. Samin Surontiko akhirnya dibuang ke Sawah Lunto (Sumatera Barat) pada tahun 1907.
Jadi asal muasal Sedulur Sikep bukanlah dari suatu keluarga tertentu yang memiliki hubungan kekerabatan, tetapi merupakan kumpulan petani yang berasal dari berbagai daerah di bagian timur Jawa Tengah yang menyatakan diri sebagai Wong Sikep dan mengikuri ajaran Ki Samin Surontiko.
Sedulur Sikep pada mulanya tersebar luas di Rembang, Pati, Kudus, Blora, Bojonegoro, Ngawi, Madiun, dengan konsentrasi terbesar di Kec. Kedungtuban dan Kec. Bapangan Kabupaten Blora. Sedulur Sikep, saat ini, diperkirakan hanya tersebar di Kudus, Pati, Bojonegoro, dan Blora. Permukiman Sedulur Sikep membaur dengan penduduk perdesaan di sekitarnya. Hanya di tempat-tempat tertentu permukiman Sedulur Sikep terpisah dari komunitas di sekitarnya; misalnya di Dusun Bombong Bacem, Desa Baturejo, Kec. Sukolilo. Rumah Sedulur Sikep pada umumnya masih mempertahankan model Jawa (sinom, joglo) dan berlantai tanah atau diplester semen biasa. Ruangan depan, selain ada ruang untuk tamu, biasanya dipergunakan untuk menyimpan hasil panen; padi atau palawija. Sebagian Sedulur Sikep telah mengubah rumahnya menjadi rumah modern.
Jumlah keseluruhan Sedulur Sikep tidaklah jelas, karena sistem pencacahan yang berlaku tidak memungkinkan pengidentifikasian Sedulur Sikep secara jelas. Agama Adam yang dianut Sedulur Sikep, sebagai peninggalan ajaran Samin Surostiko, bahkan tidak diakui sebagai salah satu agama atau kepercayaan dalam pencatatan administrasi negara atau proses sensus oleh aparat pemerintahan pada umumnya; sehingga semakin sulit menentukan jumlah Sedulur Sikep yang sebenarnya. Sebagai bagian dari strategi resistensi “warisan” pada jaman pemerintahan kolonial, Sedulur Sikep sangat peka terhadap upaya-upaya cacah jiwa. Seorang Sedulur Sikep akan menjawab “akeh” (banyak) bila ditanya tentang jumlah warga Sedulur Sikep di komunitasnya; karena pengalaman buruk akibat cacah jiwa pada masa kolonial dulu. Jumlah Sedulur Sikep di suatu tempat bisa terdiri dari beberapa keluarga saja, atau bisa sampai ratusan keluarga. Satu-satunya jumlah Sedulur Sikep yang tercatat adalah di Bombong-Bacem Desa Baturejo Kec. Sukolilo Kab. Pati. Pada Desember 2004, Sedulur Sikep di Bombong-Bacem memeriksa dan mencatat jumlah warganya sendiri; yakni 148 keluarga atau 706 jiwa[1].

Apa itu Sedulur Sikep ?

Banyak masyarakat yang salah dengan menyebut ”orang Samin” – dari nama Samin Surondiko -- untuk sebutan Sedulur Sikep. Sebutan yang tepat untuk paham yang mereka anut adalah “sikep”. Sikep adalah sikep laki-rabi atau perkawinan (bercinta). Jadi menurut Sedulur Sikep, inti kehidupan adalah perkawinan; yakni bertemunya antara vagina dan penis. Kesempurnaan hidup di dunia adalah kalau manusia sudah ketemu jodohnya, karena segala sesuatunya diciptakan sudah berpasang-pasangan. Ada siang ada malam, ada terang ada gelap, ada laki-laki ada perempuan, dst. Kesempurnaan adalah bila keduanya sudah menjadi satu. Sedangkan pengertian ”samin” adalah sami amin (sama). Semua manusia adalah sama baik, derajat dan kehidupannya.
Menurut pandangan Sedulur Sikep, tugas dan tujuan utama manusia adalah sikep rabi (bercinta), dan menjalankan tatane wong (menciptakan keturunan), secara mligi (lugu, terus terang, jujur, apa adanya). Pada jaman kolonial, tuntutan agar bisa menjadi lugu dan murni inilah yang menyebabkan Sedulur Sikep menarik diri dari kontrol pemerintahan kolonial, menjauhi campur tangan dari pihak lain, serta mligi bertani. Selalu waspada terhadap campur tangan negara (kolonial) ini berlangsung sampai sekarang dalam bentuk ketidakpedulian dan kehati-hatian Sedulur Sikep dalam menerima berbagai program pemerintah.
Menurut ajaran sikep, menjadi lugu dan murni itu juga dipraktekkan dalam memenuhi kebutuhan sandang pangan. Mereka meyakini bahwa hasil kerja pemenuhan sandang pangan harus bisa dijelaskan secara terbuka dan ”didunungke” (dijelaskan asal usulnya sampai pada wujudnya). Sikap terbuka dan didunungke ini menyebabkan semua hal harus dijelaskan dengan rinci dan logis. Apabila semua pekerjaan didunungke, maka hanya pekerjaan bertani lah yang tetap mligi (lugu) dan tidak menipu.
Tata cara ndunungake ini menyebabkan Sedulur Sikep, meskipun hampir semuanya buta huruf, memiliki analisis bahasa yang tajam terhadap semua hal. Kebiasaan ndunungake (membuktikan dan merinci semua hal sampai pada wujudnya) menyebabkan sebagian besar Sedulur Sikep sangat cakap menganalisis dan berbahasa jawa, sehingga rasa percaya diri Sedulur Sikep kebanyakan sangat besar; tidak sebagaimana orang-orang buta huruf dan tidak terpelajar di komunitas lain yang cenderung rendah diri dan tidak dihargai martabatnya.
Sebagai upaya untuk tetap murni dan mligi, terdapat berbagai ajaran moral yang selalu dituturkan oleh orang tua kepada anak Sedulur Sikep. Ajaran-ajaran itu antara lain melarang (adeg-adeg) dan agar warganya menjauhi: drengki, srei, panasten, dahwen, dan kemeren. Bedok, colong, pethil, jumput, nemu juga merupakan larangan. Seorang wong (manusia) sebaiknya tidak mengumbar : ucapan, tindakan, dan tatanan. Setiap wong (manusia) juga harus: rukun kepada suami, rukun kepada anak, rukun kepada orang tua, rukun kepada sesama manusia di mana saja. Sedulur Sikep dilarang keras bersuami dua dan berdagang[2].

Struktur Sedulur Sikep.

”Wong iku duwe negarane dhewe-dhewe” (setiap orang punya negaranya/keluarganya sendiri-sendiri); demikian kata salah seorang narasumber di Ngawen-Sukolilo. Jadi, menurut ajaran sikep, manusia telah menjadi wong sepenuhnya jika telah sikep laki rabi (bercinta); artinya telah memiliki keluarga. Jadi kuasa atau orientasi tertinggi wong sikep adalah ”negaranya sendiri” (keluarganya sendiri) dan tidak tertarik (kemeren) kepada kepunyaan orang lain.
Ajaran di atas merupakan dasar penghargaan atas individu yang luar biasa. Karena itu Sedulur Sikep memiliki semangat egalitarian yang sangat tinggi. Sedulur Sikep tidak mengenal struktur tertentu atau model keterwakilan tertentu. Setiap orang mewakili dirinya sendiri. Semua hal harus dibicarakan secara bersama-sama. Tidak ada ketua adat, pemimpin adat, atau tetua adat. ”Tuwa ki tuwa tuwane wicara” (tua itu tua isi pembicaraannya); jadi yang muda pun akan menjadi tua bila isi pembicaraannya ”tua” dan bisa menjadi panutan. Karena itu, seringkali Sedulur Sikep akan menjawab ”siji” (satu) bila ditanya umurnya; sebagai strategi untuk menghindari dominasi senioritas yang anti egalitarian.
Pada awal atau akhir pembicaraan, seringkali kalimat berikut ini digunakan: ”iku nek aku, ya embuh nek wong liyo” (itu kalau menurut saya, ya tidak tahu kalau menurut orang lain). Ini merupakan penghargaan yang tinggi terhadap ”kebenaran” pendapat orang lain dan menyadari akan hak-hak orang lain.
Menurut Sedulur Sikep, sebutan ”komunitas” tidak tepat kalau ditujukan kepada Sedulur Sikep. Karena pengertian ”komunitas” adalah suatu kumpulan orang yang memiliki sistem dan struktur tertentu; memiliki ketua dan berbagai perangkat lainnya. Sedulur Sikep adalah kumpulan orang-orang yang masing-masing berdiri sendiri, mempunyai miliknya sendiri-sendiri, dan bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Struktur yang dimilikinya adalah keluarganya sendiri.

Realitas-Realitas

Perubahan jaman, tekanan kelembagaan negara yang terus menerus, tekanan/dominasi masyarakat sekitarnya, menyebabkan timbulnya berbagai keseimbangan baru dalam kehidupan Sedulur Sikep di berbagai tempat. Meskipun berbagai ajaran (moral) Sedulur Sikep selalu diikhtiarkan untuk dikukuhi, tetapi interpretasi yang berbeda-beda – sebagai akibat “pengaruh luar” ini – ajaran sikep sering terjadi di antara Sedulur Sikep sendiri.
Meskipun bertani tetap dianggap pekerjaan yang paling mligi, tetapi variasi pekerjaan telah banyak dijalani oleh Sedulur Sikep. Tukang bangunan, sopir dan kerja upahan membantu pekerjaan sawah orang lain menjadi pekerjaan tambahan sebagai upaya menambah sandang pangan. Orang-orang Nggaliran (Sukolilo-Pati) banyak yang telah merasakan bekerja sebagai TKI di Malaysia. Profesi pedagang tetap menjadi pantangan bagi Sedulur Sikep. Televisi, radio, kulkas, magic jare adalah berbagai peralatan elektronik yang umum dijumpai di rumah-rumah Sedulur Sikep. Banyak keluarga Sedulur Sikep yang telah memiliki sepeda motor dan pompa air (sanyo); bahkan memiliki mobil.
Banyak keluarga Sedulur Sikep yang telah “kalah”; akibat-akibat tekanan yang terus-menerus ini. Banyak Sedulur Sikep yang telah meninggalkan cara berpakaiannya; tidak lagi mengenakan celana potong dan ikat kepala. Banyak Sedulur Sikep yang telah tidak menjalankan ajaran sikep lagi, dan telah memeluk agama resmi tertentu yang direstui pemerintah. Ada Sedulur Sikep yang telah pindah agama Islam dan naik haji. Beberapa keluarga Sedulur Sikep, selain menggunakan tata cara perkawinan sikep, juga menggunakan tata cara pernikahan berdasarkan agama tertentu. Akan tetapi, sebaliknya, ada juga Sedulur Sikep yang telah merevitalisasi dirinya sendiri; kembali meneguhi ajaran sikep setelah cukup lama meninggalkan ajaran sikep. Ada juga satu keluarga besar kiai, di Sukolilo-Pati, yang berikrar dan berubah menjadi Sedulur Sikep.
Ajaran-ajaran sikep, pada beberapa keluarga Sedulur Sikep, telah mulai luntur penerapannya. Ajaran (moral) untuk menjauhi: drengki, srei, panasten, dahwen, dan kemeren mulai ditinggalkan oleh beberapa keluarga. Rasa drengki dan kemeren mulai terjadi di antara beberapa keluarga Sedulur Sikep; pergunjingan soal diterima atau ditolaknya bantuan telah menjadi pergunjingan panas, serta tidak dilihat secara arif seperti dulu lagi sebagai hak setiap keluarga untuk menerima atau menolak bantuan.

Tekanan Negara dan Kehidupan Sekitar.

Para tokoh pendiri Negara Indonesia sangatlah luar biasa. Kesadaran akan pluralitas bangsa dan kuatnya hak asal-usul diakui dengan tegas dalam Pasal 18 UUD 1945. Pengakuan terhadap keragaman agama dan kepercayaan disuratkan dalam UUD 1945 Pasal 29, yang pada intinya mengakui hak setiap warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing.
Sayangnya kesadaran tinggi para tokoh pendiri negara ini, tidak dipahami benar oleh para pelaksana pemerintahan dari pusat sampai yang terendah (desa). Berbagai perundangan sebagai turunan dari UUD 1945 dan berbagai peraturan praktis di tingkat lapangan malahan mengijinkan dominasi agama-agama tertentu, dan mengabaikan keberadaan agama minoritas seperti agama Adam yang dianut oleh Sedulur Sikep.
Sampai saat ini tidak ada satu instansipun yang mengakui agama yang dianut Sedulur Sikep (agama Adam) sebagai salah satu agama resmi. Berbagai penganut agama yang dominan (Islam, Kristen, dll.) di sekitar permukiman Sedulur Sikep dibiarkan begitu saja secara agresif melakukan dakwah yang sistematis dengan sasaran Sedulur Sikep, yang sebenarnya telah memiliki agama Adam. Tata cara perkawinan Sedulur Sikep, sampai sekarang, masih tidak bisa dicatatkan ke Catatan Sipil; untungnya pada umumnya Sedulur Sikep tidak peduli terhadap adanya surat nikah. Pada tanggal 7 Agustus 1989, 117 pasangan Sedulur Sikep dinikahkan masal dengan tata cara agama Budha di Bombong-Bacem (Baturejo-Pati); sampai sekarang pun KTP Sedulur Sikep di Bombong-Bacem kebanyakan masih tersurat sebagai beragama Budha. Pemaksaan untuk masuk agama dominan tertentu masih terus berlangsung sampai sekarang.
Dulu, Sedulur Sikep tidak peduli dengan tanda pengenal; baik itu kartu tanda penduduk (KTP), surat ijin mengemudi (SIM), dan kartu tanda pengenal yang lain. Akan tetapi dengan semakin tingginya frekwensi perjalanan – karena tuntutan pekerjaan – dan perlunya tanda pengenal untuk mengatur hak kepemilikan (sertifikat, girik, akta jual beli, dll.), maka kartu tanda pengenal menjadi sangat penting artinya untuk Sedulur Sikep. Tanpa kartu tanda pengenal, Sedulur Sikep tidak akan bisa membeli sepeda motor dan mengurus surat-suratnya. Tanpa SIM, polisi akan menangkap Sedulur Sikep yang mengendarai kendaraan bermotor. Sayangnya kolom agama pada tanda pengenal harus diisi dengan salah satu agama resmi yang diakui pemerintah; agama Adam tidak boleh dicantumkan dalam kolom agama di tanda pengenal itu.
Laki-laki Sedulur Sikep memiliki ciri khas dalam bepergian; yakni menggunakan ikat kepala dan memakai celana potong di bawah lutut; karena salah satu pantangan Sedulur Sikep adalah memakai celana panjang. Sebagian besar kantor pemerintahan mengganggap bahwa cara berpakaian yang demikian adalah tidak pantas dan kurang sopan.
Salah satu komunitas Sedulur Sikep di Sukolilo pernah merasakan pengalaman pahit dalam berhubungan dengan penduduk sekitarnya. Karena di permukiman Sedulur Sikep itu masih baru satu generasi (baru ada beberapa keluarga yang menganut ajaran sikep), maka intensitas hubungan dan saling kesepahaman dengan penduduk sekitarnya belumlah terlalu baik. Pada saat salah satu warga Sedulur Sikep di permukiman itu meninggal, penduduk melarang mayat Sedulur Sikep itu dimakamkan di kuburan umum, karena – mungkin – dianggap memiliki agama atau kepercayaan yang tidak lumrah..
Tekanan-tekanan lembaga negara, khususnya di tingkat bawah (kabupaten, kecamatan, desa, instansi sipil), dan tekanan-tekanan masyarakat sekitar terhadap Sedulur Sikep masih akan terus berlangsung. Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) para Sedulur Sikep. Seharusnya Negara Indonesia tidak boleh membiarkan pelanggaran HAM ini terus terjadi kepada Sedulur Sikep.

Miskin dan kaya

Telah diperikan di atas bahwa struktur tertinggi Sedulur Sikep adalah keluarga. Tujuan hidup Sedulur Sikep adalah sikep rabi. Maknanya adalah bahwa keluarga (suami-istri-anak) adalah nilai kehidupan tertinggi bagi Sedulur Sikep; tidak ada lagi tujuan hidup atau ambisi yang lain. Setiap keluarga Wong Sikep akan mengurusi ”negaranya”/keluarganya sendiri-sendiri. Kalau setiap keluarga baik-baik dan tenteram maka semuanya akan baik-baik saja.
”Cukup ora cukup kuwi terserah wonge dhewe-dhewe” (kurang atau kecukupan harta itu terserah masing-masing orang). Kebutuhan kalau dituruti tidak akan pernah ada cukupnya. Salah seorang narasumber Sedulur Sikep berpendapat bahwa boleh-boleh saja pemerintah membuat standar tentang miskin atau kayanya seseorang; tetapi yang paling penting, soal miskin dan kaya, adalah pada orang itu sendiri.
Keluhuran dan kesederhanaan formulasi tujuan hidup, yakni keluarga, dan berbagai adeg-adeg (larangan moral) menyebabkan kontrol diri Sedulur Sikep pada umumnya sangat baik. Meskipun tidak punya sawah, menyewa sawah selalu diupayakan agar tetap bisa bertani; karena itu etos kerja Sedulur Sikep pada umumnya cukup baik. Karena itu kelakuan-kelakuan yang gegabah (menjual gabah sembarangan, menelantarkan anak istri, mempunyai ambisi yang berlebihan, dll.) sangat jarang dijumpai pada Sedulur Sikep. Ruang tamu biasanya menyediakan cadangan pangan untuk keluarga. Kesederhanaan cita-cita hidup menyebabkan kebanyakan Sedulur Sikep tidak terlalu ngoyo dalam mengejar kehidupan dunia.

Kenyataan Berbagai Program Pembangunan

Sebagaimana wilayah perdesaan yang lain, desa-desa di mana Sedulur Sikep tinggal merupakan sasaran berbagai macam program pembangunan perdesaan yang diselenggarakan oleh pemerintah, baik program-program yang bersifat fisik maupun berbagai program sosial kemasyarakatan. Berbagai program pembangunan perdesaan ini semakin banyak dan bervariasi penyelenggaraannya pada saat Orde Baru berkuasa. Pemerintah meluncurkan berbagai macam program pembangunan pertanianl, khususnya ke daerah-daerah perdesaan yang berpotensi persawahan. Berbagai program pemerintah bidang pertanian itu antara lain bimbingan massal (BIMAS) yang diselenggarakan pada tahun 1970-an sebagai bagian dari revolusi hijau (green revolution), intensifikasi massal (INMAS) yang juga diselenggarakan pada tahun 1970-an, intensifikasi khusus (INSUS) yang diselenggarakan pada akhir tahun 1980-an, penyuluhan pertanian reguler (pengenalan bibit unggul, percontohan pertanian, pengenalan berbagai jenis input pertanian) yang terus berlangsung sampai saat ini, kredit usaha tani (KUT) reguler. Pada umumnya Sedulur Sikep sangat hati-hati dalam menanggapi berbagai program pertanian pemerintah ini, sebagaimana kehati-hatian Sedulur Sikep dalam berhubungan dengan institusi negara. Meskipun secara umum cara bertani Sedulur Sikep telah menggunakan cara-cara baru yang diintroduksikan program revolusi hijau (penggunaan bibit unggul dan berlabel baik untuk padi dan palawija, penggunaan pupuk buatan berimbang, penggunaan pestisida, dll.), tetapi berbagai pengetahuan cara bertani yang baru ini diperoleh dari masyarakat sekitarnya, dan bukan secara langsung dari institusi negara.
Untuk memulihkan sektor pertanian, pemerintah meluncurkan program kredit usaha tani (KUT) besar-besaran setelah reformasi 1998. Program ini, secara nasional, dianggap gagal memulihkan sektor pertanian; bahkan menyisakan kredit pertanian yang gagal dibayar atau diselewengkan dalam jumlah sangat besar. Program KUT pasca reformasi ini juga “membanjiri” desa-desa tempat Sedulur Sikep tinggal. Respon Sedulur Sikep terhadap program ini sangat bervariasi. Sebagian besar menolak program ini, karena mereka merasa masih bisa menanam padi tanpa mengandalkan KUT sebagai modal tanam. Sebagian lagi menerima program ini. Pada umumnya penerapan program KUT di lapangan banyak yang melenceng dari yang seharusnya. Penyelewengan pelaksanaan program KUT ini bisa berupa jumlah kredit yang diterima petani menjadi lebih kecil dari seharusnya atau bisa berwujud penggelapan kredit/pengembalian kredit oleh pengurus koperasi atau LSM yang mengelola KUT. Sedulur Sikep yang menerima KUT banyak yang menerima kredit jauh lebih kecil dari yang seharusnya. Sedulur Sikep yang menerima program KUT, kebanyakan, telah mengembalikan KUT yang dipinjamnya. Tetapi tidaklah jelas apakah uang pengembalian KUT itu oleh pengelola KUT telah disetor ke kas negara atau tidak.
Sedulur Sikep sering menemui layanan program-program pertanian yang diselenggarakan aparat negara di lapangan melenceng dari rencana program yang sesungguhnya. Berbagai program pertanian ini dipersepsikan beragam oleh Sedulur Sikep. Meskipun secara umum Sedulur Sikep sangat menghargai pendapat setiap orang, apakah mau menerima atau menolak suatu program, tetapi harus diakui bahwa berbagai program pertanian yang diselenggarakan oleh negara ini – yang pelaksanaan lapangannya telah menyeleweng dari yang seharusnya direncanakan – telah menyebabkan friksi-friksi kecil di antara para Sedulur Sikep.
Meskipun pada umumnya Sedulur Sikep lebih senang bekerja sama dan percaya kepada sesama Sedulur Sikep, termasuk dalam mengerjakan tanah pertanian, tetapi upaya-upaya bekerja sama dengan ”orang lain” dalam bidang pertanian mulai dilakukan oleh Sedulur Sikep. Sedulur Sikep di Bombong Bacem mulai membentuk kelompok tani – yang anggotanya termasuk ”orang luar” – yang aktif mengerjakan berbagai kegiatan pertanian secara bersama-sama; misalnya dalam kerjasama mengelola pompa air sebagai alat bantu pengairan di musim kemarau. Kelompok-kelompok tani ini, bersama-sama dengan berbagai kelompok tani yang lain, telah membentuk suatu organisasi tani yang bernama Serikat Petani Pati (SPP). SPP sangat kritis terhadap berbagai program pertanian Dinas Pertanian Pati yang kurang tepat atau dianggap merugikan petani. Baru-baru ini SPP sangat keras mengkritisi program bantuan bibit padi yang digulirkan oleh Dinas Pertanian Pati.
Bantuan langsung tunia (BLT) dan beras untuk rakyat miskin (Raskin) merupakan dua buah program pemerintah untuk pengentasan kemiskinan yang sangat populer setelah tahun 2000. BLT merupakan bentuk pengalihan subsidi minyak kepada orang miskin, karena ”keterpaksaan” pemerintah menaikkan harga minyak di pasaran. Telah kita ketahui bersama, efek kenaikan harga minyak, khususnya harga minyak tanah dan harga bahan bakar kendaraan (bensin dan solar) telah menyebabkan efek domino yang menyebabkan meningkatnya jumlah orang miskin dan terancam miskin di Indonesia. BLT memberikan bantuan tunai kepada setiap keluarga miskin sejumlah Rp. 300.000,00 per tiga bulan kepada setiap keluarga yang digolongkan miskin. Sedulur Sikep merespon BLT dengan tanggapan yang bervariasi. Sebagian besar menolak bantuan ini, karena sudah merasa cukup dan tidak perlu mendapat bantuan. Sebagian lagi bersedia menerima BLT.
Raskin diluncurkan oleh pemerintah sebagai bagian dari subsidi untuk pengentasan kemiskinan. Program ini memberikan sumbangan beras sejumlah 10 kg per bulan untuk setiap keluarga yang digolongkan miskin. Sedulur Sikep memberikan respon yang beragam terhadap program Raskin. Sebagian besar menolak, karena merasa bahwa gabah yang dimilikinya cukup, dan tidaklah pantas orang yang gabah untuk keluarganya cukup menerima bantuan beras lagi. Sebagian Sedulur Sikep ada yang bersedia menerima Raskin. Akan tetapi praktik program ini sangat berbeda ketika di lapangan. Bukannya 10 kg beras untuk keluarga miskin per bulan, tetapi bantuan Raskin ini malahan diratakan untuk hampir seluruh keluarga, baik yang kaya maupun yang miskin, dengan setiap keluarga hanya mendapatkan 2 kg per bulan. Di desa yang lain setiap keluarga hanya mendapatkan 5 kg setiap bulan. Ada dugaan kuat, aparat desa menyelewengkan sebagian bantuan Raskin untuk dirinya sendiri.
Salah satu program pembangunan yang sampai sekarang kuat teringat di kalangan Sedulur Sikep Bombong Bacem (Baturejo) adalah program komunitas adat tertinggal (KAT) yang digulirkan oleh Departemen Sosial (Depsos). Program ini diperuntukkan berbagai komunitas masyarakat yang dianggap terasing, terpencil dan ketinggalan dibandingkan dengan berbagai komunitas lain di Indonesia. Sebenarnya program ini sudah digulirkan Depsos sejak pertengahan 1970-an; yang pada awalnya sasaran program ini adalah ”suku terasing”. Pada tahun 1987 istilah ”suku terasing” diubah menjadi ”masyarakat terasing”. Setelah reformasi 1998, istilah ”masyarakat terasing” diubah menjadi ”komunitas adat terpencil”.
Sedulur Sikep memperoleh program KAT, karena Sedulur Sikep dianggap terpencil adat istiadatnya; dianggap memiliki budaya yang tidak umum. Program KAT ini, yang mulai dilaksanakan di Bombong Bacem pada tahun 2004, cukup kuat diingat oleh Sedulur Sikep di Bombong Bacem, karena kontroversi yang meliputi kelangsungan program ini Bombong Bacem. Dari beberapa permukiman Sedulur Sikep yang menyebar di bagian timur Jawa Tengah, hanya Sedulur Sikep di Bombong Bacem yang menjadi sasaran program KAT.
Program KAT meliputi beragam kegiatan: perbaikan sarana fisik, dukungan perbaikan tempat tinggal, pengadaan sarana produksi pertanian (saprotan), dan dukungan kesejahteraan (beras, dll.). Sebagaimana berbagai program pemerintah yang lain, Sedulur Sikep menanggapi KAT secara berbeda; terdapat 3 kelompok pandangan terhadap program KAT. Golongan pertama adalah keluarga-keluarga yang benar-benar menolak program KAT, karena mereka menolak Sedulur Sikep disebut sebagai masyarakat terpencil dan terasing. Golongan kedua adalah keluarga-keluarga yang menyetujui sebagian program KAT, terutama yang berkaitan dengan perbaikan fasilitas umum. Golongan ketiga adalah keluarga-keluarga yang menerima program KAT sepenuhnya.
Program KAT ditujukan untuk 123 keluarga Sedulur Sikep di Bombong Bacem. Akan tetapi 97 keluarga Sedulur Sikep menolak program ini; dan hanya 26 keluarga yang menerima sepenuhnya program KAT. Bantuan program KAT (pasir, semen, bantuan pangan, saprotan, dll.) akhirnya menumpuk pada ke-26 keluarga ini. Pengelolaan program ini – yang dilakukan aparat pemerintah – tidaklah terlalu transparan; tidaklah jelas benar jumlah dan jenis bantuan program KAT yang seharusnya diberikan kepada Sedulur Sikep.
Meskipun secara umum Sedulur Sikep sangat menghargai otoritas keluarga masing-masing, tetapi adanya program KAT di Bombong Bacem ini telah menimbulkan friksi di antara Sedulur Sikep. Meskipun tidak sampai menimbulkan konflik yang keras, program KAT membuat friksi-friksi di Sedulur Sikep yang sedikit merenggangkan hubungan persaudaraan di antara Sedulur Sikep.
Program-program reguler pemerintah untuk ibu-ibu dan anak-anak juga ”membanjiri” desa-desa di mana Sedulur Sikep tinggal; program pendidikan kesejahteraan keluarga (PKK), keluarga berencana (KB) dan pemasangan kontrasepsi, pos pelayanan terpadu (Posyandu), tanaman obat keluarga (TOGA), imunisasi anak, pemberian vitamin tambahan pada anak, tawaran beragam arisan, dll. Para perempuan Sedulur Sikep pada umumnya menolak berbagai program ini. Bagi mereka, yang terpenting adalah mengurus dan membuat baik ”negaranya” (keluarganya) sendiri. Kalau keluarganya sendiri sudah baik (suami-istri-anak), maka berbagai program dari luar ini tidak perlu lagi. Daripada mengikuti berbagai program yang tidak jelas ”dununge” ini lebih baik mengurus keluarga sendiri atau membantu suami menggarap sawah. Berbagai program dari luar ini ditakutkan akan mempengaruhi keluguan Sedulur Sikep dan anak cucunya.
Bersekolah formal adalah salah satu pantangan untuk anak-anak Sedulur Sikep. Sedulur Sikep mengganggap bahwa ajaran-ajaran di sekolah akan mempengaruhi seorang anak sehingga nantinya tidak mungkin lagi dia akan mligi. Pemerintah sangat gencar mensosialisasikan kepada keluarga-keluarga Sedulur Sikep. Banyak juga anak-anak Sedulur Sikep yang telah ”kalah” dan terpaksa bersekolah agar dianggap lumrah.
Meskipun selalu hati-hati terhadap berbagai program pembangunan negara, pada umumnya Sedulur Sikep – saat ini – memahami pentingnya negara. Pajak bumi dan bangunan (PBB) pada umumnya telah diterima sebagai pungutan resmi yang ”dununge” jelas. Di Balong (Blora) pemerintah telah memberikan bantuan pompa air, sehingga pada musim kemarau sawah masih tetap bisa ditanami; Sedulur Sikep di Balong (Blora) dan masyarakat sekitar membentuk kelompok untuk mengelola pompa air ini.
Telah sangat banyak dan beragam jenis program pembangunan perdesaan yang telah dirasakan Sedulur Sikep. Berbagai program ini ada yang cukup baik, tetapi ada juga program-program tertentu yang memiliki filosofi yang salah. Sayangnya, tidak banyak program pembangunan yang pelaksanaannya di lapangan sesuai dengan yang direncanakan di tingkat pusat. Banyak contoh program pembangunan yang pelaksanaannya di lapangan penuh penyelewengan dan kolusi. Berbagai program pembangunan ini, apalagi yang pelaksanaannya banyak penyelewengan, sangat mempengaruhi perkembangan kekerabatan antar Sedulur Sikep. Program-program pembangunan ini, baik yang bermanfaat maupun yang tidak jelas manfaatnya, merupakan tekanan dari luar yang mempengaruhi keutuhan Sedulur Sikep; ini seharusnya dipahami oleh pemerintah.
Sikap mligi (lugu) dan kritis terhadap hal-hal dari luar, khususnya berbagai campur tangan negara, seharusnya dilihat sebagai potensi; dan bukannya dilihat sebagai hal yang tidak lumrah. Sedulur Sikep berhak memilih tanpa tekanan, apakah akan mengikuti berbagai program pembangunan pemerintah itu atau memilih cara hidup yang telah dikukuhinya selama ini. Cara hidup Sedulur Sikep yang mligi (lugu) dalam menghadapi hidup dan mandiri tidak menggantungkan pertolongan orang lain, termasuk pemerintah, merupakan contoh yang langka dalam era merosotnya perekonomian masyarakat yang selalu mengharapkan subsidi dari pemerintah. Sikap kritis Sedulur Sikep terhadap program-program pemerintah seharusnya dilihat sebagai koreksi terhadap tata cara dan birokrasi pelaksanaan program yang memang buruk; dan bukannya dilihat sebagai bentuk perlawanan masyarakat terhadap program pemerintah.

Penutup.

Sedulur Sikep adalah contoh ”komunitas” adat yang tetap mampu mempertahankan eksistensinya – dengan formulasi tujuan hidup yang sederhana dan luhur – di tengah-tengah perkembangan peradaban dunia yang tidak menentu. Seharusnya tata cara kehidupan Sedulur Sikep yang luhur ini – tanpa kegelisahan dan kerakusan sumberdaya – menjadi contoh hidup untuk masyarakat yang lain.
Sayangnya negara tidak memahami makna ”mutiara” ini. Aparatus negara terus menggelontorkan program-program pembangunan yang tidak dumunung filosofi dan manfaatnya. Pelaksana-pelaksana lapangan, kebanyakan, gagal melaksanakan berbagai program pembangunan ini dengan sebenar-benarnya.
Penyelewengan-penyelewengan dan berbagai deviasi penerapan program pembangunan ini, mau tidak mau, berpengaruh (buruk) terhadap keutuhan persaudaraan Sedulur Sikep. Pengaruh buruk ini, kalau dibiarkan terjadi terus, akan semakin menyurutkan keutuhan Sedulur Sikep.
Penyusunan konsep pembangunan dan aplikasinya terhadap Sedulur Sikep seharusnya bisa menjadi bahan introspeksi aparat negara. Filosofi pembangunan harus diselidiki lebih dalam; pembangunan tentunya bukan hanya penggelontoran proyek-proyek yang tidak jelas maknanya. Penghargaan terhadap hak asasi manusia (HAM) harus ditempatkan pada prioritas tertinggi.

Oleh : Restu Achmaliadi dan George Sitania

No comments: