Monday 20 December 2010

SEJUMLAH KONSEP IDENTITAS DAN PERBEDAAN

SEJUMLAH KONSEP IDENTITAS DAN PERBEDAAN

oleh Kathryn Woodward [1]


dialihbahasakan dan disunting oleh Hendar Putranto dari Kathryn Woodward (ed.), Identity & Difference, Open University (UK), 1997, hlm. 29 – 48.

4. Bagaimana menandai relasi antara perbedaan dengan identitas?

4.1. Beberapa ‘sistem penggolongan’ (classificatory systems)
Dalam bagian sebelumnya, saya (Kathryn Woodward) sudah mengajukan argumen bahwa identitas-identitas itu dibentuk lewat ‘penandaan perbedaan’ (the marking of difference). Penandaan perbedaan ini terjadi baik lewat sistem simbolis bernama representasi, maupun lewat bentuk-bentuk tertentu dari ‘pengecualian sosial’ (social exclusion). Dengan demikian, identitas bukanlah lawan dari perbedaan, namun tergantung dari perbedaan. Dalam hubungan sosial, bentuk-bentuk perbedaan yang berkarakter simbolis dan sosial ini dimapankan, paling tidak untuk sebagian, lewat proyek bernama sistem penggolongan. Sistem penggolongan bekerja dengan cara menerapkan prinsip perbedaan terhadap sebuah populasi sedemikian rupa sehingga mampu membagi mereka dan semua karakteristik yang mereka punyai menjadi setidaknya dua kelompok yang saling berlawanan – kita/mereka (misalnya: Serbia/Kroasia, pribumi/non-pribumi, Madura/Dayak, dll.); diri/yang-lain. Sosiolog kenamaan asal perancis Emile Durkheim [2] pernah mengatakan bahwa makna bisa dihasilkan lewat pengaturan dan penataan benda-benda ke dalam sistem penggolongan. Sistem-sistem penggolongan memudahkan penataan hidup sosial dan sistem-sistem ini diafirmasi lewat pembicaraan dan ritual. Dalam bukunya The Elementary Forms of Religious Life, Durkheim mengatakan ‘tanpa adanya simbol-simbol, rasa perasaan sosial tidak mempunyai dasar keberadaan yang kokoh’ [3]. Dengan menggunakan agama sebagai model bagaimana proses-proses simbolis bekerja, Durkheim memperlihatkan bahwa hubungan-hubungan sosial diproduksi dan direproduksi lewat ritual dan simbol yang menempatkan segala sesuatunya dalam golongan yang suci dan yang profan. Tidak ada sesuatu yang ‘suci’ yang melekat sejak asali pada benda-benda. Artefak (barang-barang kuno temuan penggalian arkeologi) dan ide-ide itu suci karena mereka disimbolkan dan ditampilkan seperti itu. Ia kemudian mengatakan lebih jauh lagi bahwa gugus tampilan (representations) yang orang temukan dalam agama-agama ‘primitif’—seperti objek-objek pemujaan, topeng, objek-objek yang dipakai dalam upacara adat dan barang-barang totem (patung-patung)—dianggap suci karena mereka menubuhkan (mendarah-dagingkan) norma-norma dan nilai-nilai dari masyarakatnya dan dengan demikian menyatukan mereka secara budaya. Durkheim berpendapat bahwa, supaya memahami makna yang dihayati di balik sejumlah aspek sosial yang berbeda-beda, makna-makna ini harus dipelajari dalam kerangka penggolongan mereka secara simbolis. Misalnya, roti yang dimakan sehari-hari di rumah adalah kebutuhan hidup harian, namun ketika roti itu dipersiapkan secara khusus dan dibagi-bagi di meja perjamuan, roti menjadi suci—dan bisa menyimbolkan Tubuh Kristus (dalam tradisi keagamaan Kristen). Pada umumnya, hidup sosial distrukturkan oleh ketegangan antara yang suci dan yang profan dan lewat upacara-upacara (misalnya, muktamar dari kelompok agama tertentu, atau berbagi dalam meja perjamuan / perayaan Ekaristi) makna diproduksi, ketika cita-cita dan nilai-nilai kelembagaan dijadikan miliknya sendiri (diakukan) oleh pribadi-pribadi yang berkumpul di situ.

Agama adalah sesuatu yang sifatnya sosial. Representasi keagamaan adalah representasi kolektif yang mengungkapkan kenyataan kolektif; upacara (ritus) adalah cara bertindak yang terjadi di tengah kelompok-kelompok yang berkumpul yang bertujuan untuk memunculkan, menjaga dan menciptakan kembali keadaan kejiwaan tertentu dalam kelompok-kelompok ini. [4]

Yang suci, artinya yang ‘diletakkan secara terpisah,’ didefinisikan dan ditandai sebagai yang berbeda dalam hubungannya dengan yang profan, di mana yang suci diletakkan sebagai yang berlawanan dan sepenuhnya ‘terpisah’ (excluded) dari yang profan. Cara-cara di mana budaya menarik garis batas dan menandai perbedaan amatlah penting dalam pemahaman kita tentang identitas. Perbedaan adalah hal yang menandai satu identitas dari identitas lainnya dan menegaskan ‘distingsi’ (perbedaan yang jelas ketara), cukup sering dalam bentuk hal yang saling bertolak-belakang, seperti sudah kita lihat dalam contoh kasus tentara Serbia dan Bosnia di awal tulisan ini, di mana identitas dikonstruksi (diciptakan) lewat perlawanan sengit antara dua posisi ‘kita’ dan ‘mereka’. Penandaan perbedaan dengan demikian menjadi kata kunci dalam sistem penggolongan.
Setiap budaya mempunyai cara menggolongkan dunianya sendiri-sendiri. Lewat sarana sistem-sistem penggolongan, budaya memberikan kepada kita alat / sarana untuk membuat dunia sosial menjadi dipahami dan untuk mengkonstruksi sejumlah makna. Namun harus tercapai kesepakatan lebih dulu antar anggota masyarakat tentang bagaimana menggolongkan hal ini atau hal itu supaya tatanan sosial tetap terjaga. ‘Sistem-sistem makna yang dihayati oleh sekelompok orang’ (shared meaning systems) inilah yang kita sebut sebagai ‘budaya’ :

…budaya, dalam pengertian publik, (dan kerangka) nilai-nilai yang dijadikan standar acuan oleh sebuah komunitas, menjadi perantara dari pengalaman yang dialami oleh individu-individu yang ada di dalamnya. Budaya menjadi penyedia sejumlah kategori dasar, sebuah pola yang positif di mana gagasan-gagasan dan nilai-nilai ditata secara rapi. Di atas semua itu, budaya mempunyai otoritas, karena masing-masing diajak untuk menyepakati sesuatu karena persetujuan orang lain. [5]

Seorang antropolog dari Inggris bernama Mary Douglas [6] mengembangkan konsep budaya yang dipelopori Durkheim yang berpendapat bahwa budaya itu, dalam bentuk upacara, simbol dan penggolongan, penting dalam proses produksi makna dan reproduksi relasi sosial [7]. Bagi Douglas, upacara-upacara (yang disebut oleh Durkheim) bisa diperluas meliputi semua aspek kehidupan sehari-hari, seperti: menyiapkan sarapan, membersihkan rumah, menaruh barang di suatu tempat—semuanya, mulai dari bicara sampai menyiapkan makan. Bagian di bawah ini akan menelaah lebih jauh pentingnya penggolongan dalam budaya dan makna, dengan menggunakan contoh sehari-hari yaitu makanan.
Ahli antropologi dari Perancis bernama Claude Lévi-Strauss [8] melihat dirinya sebagai pewaris sekaligus penerus pemikiran Durkheim, dan ia menggunakan contoh makanan untuk memperjelas pemikirannya. Makanan yang kita konsumsi menegaskan identitas kita antara kita sebagai manusia (yaitu : budaya / culture) dan makanan kita (yang sifatnya alamiah / nature). Masakan adalah cara yang paling universal untuk mengubah sesuatu dari yang alamiah menjadi yang budaya. Masakan juga merupakan sebuah bahasa yang lewatnya kita ‘berbicara’ tentang diri kita dan tempat kita di dunia. Mungkin kita bisa meminjam istilah filsuf Perancis dari abad ke-16, Rene Descartes dan berkata ‘saya makan, dengan demikian saya ada.’ Sebagai makhluk hidup biologis kita butuh makan untuk bisa survive (tetap hidup dan selamat) di alam ini, namun survival kita sebagai manusia tergantung dari penggunaan kategori-kategori sosial yang muncul dari kategori-kategori budaya yang kita pakai untuk memahami alam.

KEGIATAN 3
Bisakah Anda menyebutkan cara-cara di mana makanan yang kita makan menyumbang sesuatu terhadap identitas kita? Jenis makanan apa yang Anda makan pada hari-hari istimewa / pesta besar dan apa saja yang disebut makan ‘biasa’? Jika Anda masuk ke restoran, makanan jenis apa yang Anda pesan dan santap di sana? Jenis makanan apa yang kemungkinan besar tidak dinikmati oleh kakek dan nenek Anda? Apakah ada makanan tertentu yang mereka makan namun Anda tidak menyukainya? Makanan apa yang tidak Anda makan? Mengapa tidak? Misalnya, apakah karena alasan keagamaan atau karena Anda merasa jijik memakannya? Apakah ada makanan yang hanya akan Anda makan jika sudah dimasak (bukan mentah)?

Apa yang kita makan bisa mengatakan cukup banyak tentang siapa kita dan dalam budaya macam apa kita tinggal. Makanan adalah medium (jembatan) yang lewatnya orang bisa menyatakan sesuatu tentang diri mereka. Makanan juga menggambarkan perubahan yang ada sejalan waktu dan bersifat lintas-budaya. Coba Anda pikirkan sejenak aneka macam makanan (bahan pokok makanan) yang tersedia di supermarket, dan juga kedai-kedai makanan yang berlatar belakang makanan khas suku tertentu di kota Jakarta dan juga di kota-kota lain yang lebih kecil---lapo batak, warung tegal, soto madura, warung padang, resto Thailand, hanyalah sedikit contoh dari sekian banyak warung makan / restoran bernuansa etnis / suku di kota besar semacam Jakarta, Bandung, Surabaya, dll. Bagi Lévi-Strauss, bagaimana kita mengelola (organize) makanan juga sama pentingnya—makanan pembuka, kudapan, makanan penutup, dsb.; yang mentah dan yang sudah dimasak. Konsumsi makanan bisa menjadi petunjuk seberapa berada orang atau seberapa kosmopolitan dia, juga menjadi penanda dari suku atau agama tertentu. Mengkonsumsi makanan juga bisa mempunyai dimensi politis. Orang bisa memboikot makanan produksi negara tertentu sebagai bagian dari ketidaksetujuan mereka terhadap kebijakan negeri tersebut, seperti yang pernah terjadi di Indonesia (pemboikotan terhadap gerai makanan McDonald’s yang dianggap menjadi simbol negara Amerika, saat invasi Amerika ke Irak tahun 2003 yang lalu.) Identitas juga bisa ditegaskan dengan tidak makan makanan tertentu seperti tidak makan daging (vegetarian), tidak makan makanan yang mengandung bahan pengawet (makanan organis). Batas antara apa yang boleh dimakan dan tidak memang bisa berubah-ubah, dan praktek menyantap makanan juga semakin lama semakin dibentuk seturut aliran politis, moral atau ekologis seseorang atau sekelompok orang. Konsumsi makanan juga terkait erat dengan ketersediaan material tertentu: orang hanya bisa makan apa yang sanggup ia beli atau apa yang tersedia di dalam masyarakatnya. Pertimbangan yang menyertai praktek makan dan upacara atau ritual yang diasosiasikan dengan konsumsi makanan tertentu membuat kita berpikir bahwa ‘kita adalah apa yang kita makan’, meskipun jawaban Anda terhadap beberapa pertanyaan terakhir di kegiatan 3 di atas cenderung membawa kita untuk berpikir bahwa ‘kita adalah apa yang tidak ktia makan.’ Ada sejumlah larangan budaya yang sifatnya mendasar untuk tidak memamakn makanan tertentu dan pemilahan pokok antara apa yang bisa (boleh) dan apa yang tidak bisa (tidak boleh) dimakan yang amat berbeda dari distingsi semacam apa yang sehat, yang bergizi dan yang beracun. Ada macam-macam bentuknya, contohnya: kaum Muslim menghindari minum-minuman keras, babi dan makanan yang tidak halal, atau menghindari makanan yang non-kosher bagi orang Yahudi. Namun dari semua contoh ini menjadi jelaslah bahwa makanan bisa menjadi penanda identitas yaitu siapa yang termasuk di dalam sistem kepercayaan tertentu dan siapa yang berada di luar sistem tersebut. Dimensi perlawanan atau pertentangan misalnya dikonstruksi antara vegetarian dan pemakan daging, mereka yang makan makanan yang sehat dan konsumen junk-food.
Dalam analisa Lévi-Strauss, makanan tidak hanya ‘baik untuk dimakan’ tapi juga ‘baik untuk dipikirkan.’ Maksudnya, makanan adalah pembawa makna simbolis, dan bisa berperan sebagai penanda (signifier). Bagi Lévi-Strauss, masakan mewakili transformasi alam menjadi budaya yang sifatnya mendasar dan ditiru oleh yang lain (archetypal). Berlandaskan ini, ia lalu menganalisa struktur mitos dan sistem kepercayaan yang sifatnya tersembunyi (tidak langsung jelas nampak), dengan berargumen bahwa struktur mitos dan sistem kepercayaan bisa diekspresikan sebagai, atau dikerucutkan menjadi, yang ia sebut sebagai ‘segitiga kuliner’. Semua makanan, demkian pendapatnya, bisa dibagi ke dalam skema penggolongan berikut ini (lihat gambar di bawah) [9]:

Mentah


Masak Busuk
Lévi-Strauss berpandangan bahwa, sebagaimana tidak ada masyarakat manusia yang tidak mempunyai bahasa, maka tidak ada juga masyarakat manusia yang kekurangan kuliner (yaitu cara-cara mengubah makanan dari bahan mentah hingga masak). Makanan yang sudah dimasak dianggap sebagai makanan mentah segar yang diubah atau ditransformasi oleh cara atau sarana budaya. Makanan busuk adalah makanan mentah segar yang ditransformasi oleh cara-cara yang alamiah.
Lévi-Strauss mengidentifikasi sejumlah proses memasak yang bisa menggambarkan dengan baik proses transformasi ini. Memanggang (roasting), kegiatan yang mendekatkan sesuatu secara langsung ke nyala api (api adalah agen perubahan tanpa perantaraan perangkat budaya manapun), adalah posisi netral. Sementara merebus (boiling), yang melibatkan penggunaan air, mengubah makanan mentah ke kondisi yang kurang lebih mirip dengan proses pembusukan yang alami (dekomposisi), dan mensyaratkan adanya wadah atau panci masak. Pengasapan (smoking) tidak menuntut mediasi budaya apapun. Yang dibutuhkan saat mengasapi adalah lebih banyak udara, dan bukan air. Makanan yang dipanggang (seperti barbecue) adalah makanan pesta yang memang disiapkan untuk kepentingan pesta, sementara makanan yang direbus berlaku untuk makanan sehari-hari dan hasilnya juga boleh diberikan pada anak-anak, orang sakit dan orang tua. Skema yang digambarkan Lévi-Strauss mungkin agak sedikit rumit dan nampaknya terlalu jauh. Namun, dalam pengertian-pengertian yang umum, analisa strukturalis yang dikembangkannya amatlah berpengaruh, dan contoh yang diberikan di sini amat berguna untuk menerangi pentingnya makanan secara budaya: “Menjadi bagian dari konvensi atau kesepakatan masyarakat menyangkut apa yang disebut makanan dan apa yang bukan, dan makanan jenis apa yang dimakan dan dalam kesempatan apa’ [10]. Peranan makanan dalam mengkonstruksi identitas dan mediasi (perantaraan) budaya dalam mengubah yang alamiah adalah poin penting yang pantas kita garis bawahi. Itulah sebabnya mengapa kita tadi menoleh sejenak ke dapur.
Satu aspek lagi dari analisa Lévi-Strauss yang masih terkait erat dengan pembahasan kita atas kegiatan 3 di atas adalah penggolongan makanan secara budaya menjadi ‘yang bisa dimakan’ (edible) dan ‘yang tidak bisa dimakan’ (inedible). Lewat penggolongan semacam inilah tatanan sosial bisa diciptakan dan dijaga. Seperti diutarakan Mary Douglas:

…ide tentang pemisahan, pemurnian, penarikan batas demarkasi dan penghukuman bagi mereka yang melanggar garis batas ini mempunyai fungsi utama yaitu untuk menekankan sistem pada gugus pengalaman yang acak-acakan. Hanya dengan cara melebih-lebihkan perbedaan antara ‘yang di dalam’ dengan ‘yang di luar’, atas dan bawah, lelaki dan perempuan, pro dan kontra – lah sebuah tatanan diciptakan.

Perkataan Mary Douglas ini mengajak kita berpikir bahwa (1) tatanan sosial dijaga lewat oposisi biner (dua kutub yang saling berlawanan) dalam kerangka penciptaan “orang dalam” dan “orang luar”, dan juga lewat (2) konstruksi kategori-kategori yang berbeda di dalam struktur sosial berupa sistem-sistem simbolis dan budaya yang memediasi klasifikasi ini. Kontrol sosial dilaksanakan lewat produksi golongan ini dan golongan itu di mana individu yang melanggar pembatasan ini lalu dilemparkan menjadi “orang luar / orang asing”, menurut sistem sosial yang berlaku. Penggolongan secara simbolis terkait erat dengan tatanan sosial. Contohnya, seorang penjahat adalah ‘orang luar’ yang karena pelanggarannya membuatnya tersingkir dari masyarakat umum. Karena itu ia memproduksi identitas ---yang karena dikaitkan dengan tidak mau patuh pada hukum---yang dihubungkan dengan bahaya, karenanya ia disingkirkan dan dipinggirkan. Identitas ‘orang luar’ ini diproduksi selalu dalam hubungannya dengan ‘orang dalam.’ Seperti sudah saya beberkan di contoh pada bagian awal bab ini, tentang identitas nasional, satu identitas diciptakan dalam hubungannya dengan yang lain. Douglas menganjurkan bahwa kita bisa mengetahui makna sebuah kata dalam hubungannya dengan kata yang lain, misalnya dengan menggunakan contoh hari-hari yang ada dalam satu minggu. Dalam situasi semacam ini, kita memahami konsep-konsep sebagai bagian dari sekuensi (rentetan). Untuk menerapkan prinsip ini ke dalam hidup sosial praktis, atau untuk mengatur hidup sehari-hari berdasarkan prinsip penggolong-golongan dan perbedaan, acapkali melibatkan perilaku sosial yang diulang-ulangi dan diritualkan: atau, dengan kata lain, seperangkat praktek simbolis yang dianut bersama (a set of shared symbolic practices).

Hari-hari dalam seminggu, dengan urut-urutannya yang tetap, dengan nama dan masing-masing karakteristiknya: terlepas dari fungsi praktis mereka menandai pembagian waktu, masing-masing dari mereka mempunyai makna sebagai bagian dari sebuah pola. Setiap hari mempunyai kepentingannya sendiri-sendiri dan jika ada tindakan atau kebiasaan yang diulang-ulang terus pada hari tertentu, pelaksanaan kebiasaan secara ajeg / tetap itu mempunyai dampak terhadap ritual. Hari Minggu bukanlah sekedar hari untuk beristirahat. Minggu adalah hari sebelum Senin…dalam pengertian sesungguhnya, kita tidak bisa mengalami hari Selasa jika karena sejumlah alasan tertentu kita lalai memperhatikan secara formal bahwa kita sudah melewati hari Senin. Melewati bagian dari pola adalah sebuah prosedur yang niscaya untuk sampai dan sadar mengenai tahap berikutnya.

Douglas menggunakan contoh pencemaran (polusi) dan secara khusus ia menyoroti apa yang kita anggap sebagai ‘kotoran’ (dirt), di mana ide-ide kita (tentang kotoran) ini ‘tersusun dari dua hal, yaitu peduli pada kebersihan / hygiene dan menghormati kesepakatan / conventions’ [11] Douglas berargumen bahwa kotoran memang merupakan perlawanan atau serangan terhadap tatanan namun tidak ada yang namanya ‘kotoran yang mutlak’ Kotoran adalah ‘hal yang tidak pada tempatnya’. Tanah amat cocok berada di kebun, tetapi tanah jadi masalah (‘tidak pada tempatnya’) jika berada di karpet ruang tamu. Upaya kita untuk membersihkan kotoran bukanlah gerakan negatif namun upaya yang positif untuk mengelola lingkungan---untuk membuang materi yang tidak pada tempatnya, dan memurnikan lingkungan. Douglas berpendapat lebih jauh lagi. Menurutnya, “Refleksi tentang kotoran juga melibatkan refleksi tentang relasi antara tatanan dengan kekacauan, pengada dengan non-pengada, bentuk dengan nir-bentuk, hidup dan mati’ [12] Dengan demikian, penciptaan kategori bersih dan tidak bersih, seperti juga kategori ‘orang dalam’ dan ‘orang luar’, adalah produk dari sistem-sistem klasifikasi secara budaya yang bertujuan untuk menciptakan tatanan (order).
Anda mungkin merasa para teoretikus ini cenderung melebih-lebihkan peranan yang simbolis daripada yang material. Namun demikian, dengan memperhatikan makanan yang dimakan dan tidak dimakan orang, ktia juga perlu melihat dimensi jasmaniahnya (material), sekaligus pembatasan-pembatasannya. Sebagai kemungkinan jawaban atas pertanyaan yang diajukan di kegiatan 3 di atas, Anda mungkin berpikir tentang sejumlah jenis makanan yang ingin sekali Anda cicipi tetapi tidak sanggup Anda beli. Dilihat dari sejarahnya, pilihan jenis makanan telah berkembang dalam konteks kekurangan atau kelebihan (surplus). Pilihan makanan kita juga, diandaikan kita mempunyai pilihan, berkembang dalam konteks ekonomis tertentu. Meskipun penting juga melihat segi keterbatasan ekonomis dan jasmaniah ini, namun tidak lantas berarti merongrong pentingnya segi simbolis atau sistem-sistem penggolongan. ‘Citarasa’ jauh lebih rumit daripada sekedar didikte oleh kelebihan atau kekurangannya. Faktor-faktor ekonomi tidaklah menentukan tanpa ‘diterangi’ budaya. Seperti ditegaskan Mary Douglas, dalam keterbatasan ekonomi pun, setiap rumah tangga ‘mengerjakan atau menjalankan pola makan yang reguler, jatah makan dan minum untuk anak-anak, juga untuk laki-laki di rumah itu, untuk perempuan, makanan yang cukup wah dan yang biasa-biasa saja.’ [13] Seperti apapun tingkat kemiskinan atau kemakmuran, acara minum-minum juga bertindak sebagai penanda berkarakter jender dari ‘identitas pribadi dan tentang pembatasan dari siapa yang termasuk (inklusi) dan siapa yang tidak termasuk (eksklusi)’ [14] Ada sejumlah larangan bagi kaum perempuan untuk tidak berpesta minum-minuman keras (strong drink), sebab, seperti kata pepatah ‘gin (salah satu jenis minuman beralkohol) adalah awal kehancuran ibu’, namun lelaki dari kelas dan tingkat penghasilan yang sama dinilai berdasarkan konteks tertentu (Douglas mengutip para lelaki yang bekerja di galangan kapal, namun nampaknya agak sulit untuk mencari contoh pembandingnya) dengan cara ‘seberapa baik mereka membawa minuman mereka’ [15] Sistem penanda yang didasarkan pada makanan dengan demikian berada di bawah kendali tatanan simbolis selain jender, umur, dan perbedaan kelas. Tentu saja, ada perbedaan-perbedaan kelas sosial dalam hal citarasa kita terhadap makanan tertentu. Seperti diutarakan Pierre Bourdieu (1984), sejumlah makanan tertentu lebih sering dikaitkan dengan lelaki atau perempuan seturut kelas sosial mereka. Ikan dilihat kurang cocok bagi lelaki dari kelas pekerja dan dianggap sebagai ‘makanan ringan’ yang lebih cocok untuk anak-anak dan orang cacat. Contoh promosi iklan daging di Inggris belakangan ini, yang berkampanye untuk mencegah semakin banyak orang menjadi vegetarian, nampaknya juga menegaskan hal ini dengan seolah-olah berkata ‘hanya orang lemah sajalah yang makan sayur-sayuran dan ikan’ (bunyinya: ‘Lelaki sejati makan daging; ‘Lelaki butuh daging’). Namun, kecemasan makan daging yang merebak seiring krisis BSE (Bovine Spongiform Encephalopathy, atau penyakit sapi gila) di Inggris sejak 1986 hingga 2004 yang lalu [16] lalu mungkin akan mengecilkan dampak dari promosi semacam ini. Bourdieu pernah berargumen bahwa fisik-jasmani seseorang berkembang lewat inter-relasi antara lokasi berbasis-kelas dan rasa dari si individu---mengenai rasa (taste) termasuk cara-cara si individu memperoleh, sebagai bagian dari gaya hidupnya, pilihan-pilihan dan preferensi-preferensi yang adalah produk dari keterbatasan material---dan “habitus” (istilah ini akan dijelaskan secara terpisah dalam bab 2 buku ini).

Bagian ini dengan demikian telah mengeksplorasi cara-cara di mana budaya menyediakan sistem-sistem penggolongan, menyetel batasan-batasan simbolis antara apa yang termasuk (“kita”) dan apa yang tidak (“mereka”) dan dengan demikian memapankan praktek mana yang bisa diterima secara kultural. Penggolongan (classification), seperti sudah kita lihat, terjadi lewat penandaan perbedaan yang ada di antara kategori ini dan kategori itu. Di bagian berikutnya kita akan melihat pentingnya (signifikasi) dari perbedaan ini dalam mengkonstruksi makna dan juga identitas.

4.2. Perbedaan
Salah satu cara untuk melihat bagaimana identitas dikonstruksi adalah dengan cara melihat keterkaitannya dengan identitas yang lain, dengan “orang luar” atau dalam kacamata ‘yang-lain’: yaitu, dalam hubungannya dengan apa yang bukan mereka. Bentuk yang paling umum ditemukan dengan model seperti ini adalah oposisi biner. Teori bahasa dari Ferdinand de Saussure [17] mempertahankan model oposisi biner semacam ini—bentuk paling ekstrem dari menandai perbedaan---karena dianggap bersifat esensial dalam hal produksi makna. [18] Bagian ini sekarang akan membahas tentang perbedaan, khususnya produksinya lewat oposisi biner. Istilah atau gagasan ‘perbedaan’ ini sudah merupakan bagian tak untuk memahami konstruksi identitas secara kultural dan sudah diadopsi oleh banyak ‘gerakan sosial baru’ yang sudah kita diskusikan di atas. Perbedaan bisa dilihat secara negatif seperti eksklusi (pengecualian) atau marjinalisasi (peminggiran) mereka yang didefinisikan sebagai ‘yang-lain’ atau ‘orang asing’. [19] Di sisi lain, perbedaan juga bisa menjadi sumber keanekaragaman, heterogenitas, dan hibriditas, di mana pengakuan akan perubahan dan perbedaan dilihat sebagai hal yang memperkaya; seperti contohnya dalam kasus gerakan sosial yang mau memperjuangkan identitas seksual yang berbeda dan merayakan perbedaan lepas dari kekangan-kekangan norma yang berlaku (contohnya: dengan gembira mengaku bahwa dirinya seorang gay).
Fitur yang umum dijumpai di kebanyakan sistem pemikiran adalah kesetiaannya pada model dualisme di mana perbedaan, yang menjadi pokok dalam hal makna, diekspresikan dalam istilah-istilah yang saling bertentangan—alam/budaya, tubuh/pikiran, hasrat/nalar. Mereka yang mengkritik pola oposisi biner ini akan berargumen bahwa kedua istilah yang saling berlawanan ini ditimbang secara berbeda (berat sebelah) sehingga unsur yang satu dalam dikotomi ini dinilai secara lebih atau dianggap lebih berkuasa daripada unsur yang satunya. Karena itulah maka filsuf Perancis terkemuka, Jacques Derrida [20] berpendapat bahwa kekuasaan bekerja di antara dua peristilahan yang terlibat dalam sembarang oposisi biner dengan sedemikian rupa sehingga ada ketidakseimbangan kekuasaan di antara kedua peristilahan itu yang sifatnya niscaya. Satu dikotomi yang paling dominan dan tersebar luas adalah antara alam (nature) dan budaya (culture), seperti sudah kita singgung dalam tulisan Lévi-Strauss. Seorang penulis feminis dari Perancis, Hélène Cixous mengambil posisi yang ditawarkan Derrida tentang distribusi kekuasaan di atanra dua peristilahan yang tidak seimbang, namun berfokus pada pembagian jender dan ia berargumen bahwa pertentangan kekuasaan ini juga menggarisbawahi pembagian (kelas) sosial, khususnya antara perempuan dan lelaki.

Pikiran selalu bekerja lewat
oposisi,
Bahasa Lisan / Bahasa Tulis
Tinggi / Rendah…
Apakah ini berarti sesuatu? [21]

Cixous lalu melanjutkan pemikirannya dengan berkata bahwa, tidak hanya pikiran yang dikonstruksi dalam kerangka oposisi biner, namun juga bahwa dalam dualisme ini satu istilah atau satu posisi dihargai lebih tinggi daripada yang lain; cukup sering yang satu menjadi norma, sementara yang satunya lagi ‘yang-lain’—dilihat sebagai penyimpangan atau berada di luar. Jika Anda memikirkan ‘tinggi’ dan ‘rendah’ dalam hal budaya, jenis kegiatan apa yang Anda asosiasikan dengan budaya tinggi (budaya luhur) ---apakah itu opera, tari balet, pementasan teater? Kegiatan-kegiatan macam apa yang sering masuk dalam kategori stereotip ‘budaya rendah’—apakah opera sabun, musik pop? Pendasaran ini mengundang pertanyaan lebih jauh dan menjadi dikotomi yang ramai diperdebatkan dalam ranah studi budaya (cultural studies), namun yang menjadi poin Cixous adalah bahwa pembagian-pembagian yang ada itu bersifat berat sebelah, dan secara khusus, pertentangan antara kutub yang satu dengan kutub yang lain itu bersifat jender (gendered binary oppositions).
Cixous memberikan kepada kita sejumlah contoh untuk memperjelas oposisi biner ini, sambil bertanya bagaimana bisa sampai mereka bersifat jender dan bagaimana posisi perempuan dalam dualisme berikut ini:

Dia (perempuan) berada di mana?
Aktivitas / pasivitas,
Matahari/Bulan,
Budaya/Alam,
Siang/Malam,
Bapak/Ibu,
Kepala/hati,
Berakal (intelligible)/sensitif
Lelaki,
Perempuan. [22]

Cixous berpendapat bahwa perempuan cenderung diasosiasikan dengan alam daripada dengan budaya, dengan ‘hati’serta emosi daripada dengan ‘kepala’ dan rasionalitas. Yang oleh Cixous diidentifikasi sebagai kecenderungan untuk menggolongkan dunia ke dalam posisi yang saling berlawanan antara prinsip-prinsip lelaki dan perempuan ditopang oleh analisa strukturalis dari Saussure yang menekankan kontras sebagai prinsip struktur bahasa. [23] Akan tetapi, kalau menurut Saussure oposisi biner ini merupakan jantung logika dari semua bahasa dan pikiran, bagi Cixous daya dorong dari struktur pikiran yang sudah bertahan sekian lama ini berasal dari jejaring determinasi budaya yang bersifat historis (artinya keterkaitan antara satu unsur dengan unsur lainnya itu bersifat menentukan secara kultural dan terbatas secara ruang-waktu, tidak bersifat universal dan berlaku di segala tempat dan segala waktu, seperti didaku oleh Saussure).
Pertanyaannya sekarang, seberapa mutlak dan tak terelakkan kah oposisi-oposisi ini? Apakah mereka bagian dari logika berpikir dan bahasa seperti ditengarai Saussure dan Lévi-Strauss? Atau mereka dipaksakan masuk ke dalam budaya sebagai bagian dari proses penyingkiran (yang-lain)? Apakah dikotomi ini memang bertujuan untuk mencemooh nilai dari salah satu unsur? Sejumlah feminis seperti Simone de Beauvoir (1908-1986) dan Luce Irigaray (1932 - …) memberikan contoh sebagai berikut. Menurut mereka lewat dualisme semacam ini kaum perempuan dikonstruksi sebagai ‘yang-lain’ sehingga kaum perempuan didefinisikan sebagai ‘yang bukan lelaki’ seperti dalam model psikoanalisa Lacan. Apakah perempuan bisa menjadi berbeda dari lelaki tanpa harus berlawanan? Irigaray menggunakan contoh seksualitas untuk mengembangkan argumennya bahwa perempuan dan lelaki mempunyai seksualitas yang berbeda tetapi tidak bertentangan. [24] Akan tetapi, penyejajaran perempuan dengan alam dan lelaki dengan kultur telah mempunyai tempat yang mapan di dalam teori antropologi. Oposisi semacam ini ditentang oleh Henrietta Moore dalam Bacaan B
Moore berpendapat bahwa antropologi amat berpengaruh dalam mengoyak kestabilan kategori-kategori yang menyatukan seperti “perempuan”, khususnya lewat keragaman lintas-budaya. Dalam antropologi, ketidaksetaraan ditelaah dari dua sudut pandang. Pertama, ketidaksetaraan jender adalah hasil dari penyejajaran perempuan dengan alam dan lelaki dengan budaya (argumen Lévi-Strauss). Posisi kedua berfokus pada struktur sosial, yang disampaikan dengan menyejajarkan perempuan dengan ruang privat dan (rumah dan relasi antar pribadi) dan lelaki dengan ruang publik berupa perdagangan, produksi dan politik. Bukti-bukti antropologis menunjukkan bahwa pembagian antara alam dengan budaya tidaklah berlaku secara universal. Tantangan yang diajukan Moore atas oposisi biner alam/budaya, yang ia kaitkan dengan perempuan/lelaki, membuka ruang kemungkinan untuk mencari kekhasan dari perbedaan.
Bagian ini telah menelaah oposisi biner, sebuah unsur kunci dalam analisa bahasa Saussure yan gdilanjutkan oleh strukturalisme Lévi-Strauss. Bagian ini jgua sudah berupaya mengkritik pendekatan dualisme ini, misalnya dengan meminjam pendekatan Derrida. Pertanyaan Derrida tentang oposisi biner menggambarkan bahwa dikotomi itu sendiri adalah sebuah sarana untuk meng-ajeg-kan makna, yang lewatnya pemikiran Eropa telah memperoleh relasi-relasi kekuasaan.Cixous mengembangkan kritik ini dengan memberi tekanan pada relasi-relasi kekuasaan berjender. Derrida menantang pendekatan strukturalis dari Saussure dan Lévi-Strauss dan berargumen bahwa makna hadir sebagai ‘jejak’; ia tidak ajeg dalam relasi antara yang menandai (signifier) dan yang ditandai (signified). Makna diproduksi lewat proses ‘penundaan’ (deferral), yang oleh Derrida disebut differance (bukan difference). Apa yang nampak pasti (determinate) ternyata cair (fluid) dan tidak pasti (unsure) dan tidak ada titik menutup (closure). Karya Derrida membuka alternatif dari model oposisi biner yang menutup dan kaku---lebih ada kontingensi (kesementaraan) daripada ke-ajeg-an (fixity), dan makna itu dengan mudah bergeser.

4.3. Ringkasan bagian 4
Sistem-sistem penggolongan yang lewatnya makna diproduksi berasal dari sistem-sistem sosial dan simbolis. Persepsi dan pemahaman atas kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya material dikonstruksi lewat sistem-sistem simbolis yang menandai yang suci dari yang profan, yang bersih dari yang tidak bersih dan yang mentah dari yagn matang/masak. Sistem-sistem penggolongan selalu dikonstruksi seputar perbedaan dan cara-cara di mana perbedaan itu ditandai. Diskusi kita sejauh ini sudah menawarkan sejumlah penjelasan mengenai sejumlah cara di mana sistem-sistem simbolis dan sosial bekerja untuk menghasilkan identitas---artinya posisi – posisi tertentu yang mau diambil---dan sudah menekankan dimensi-dimensi sosial dan simbolis dari identitas. Bagian ini telah melontarkan pertanyaan tentang bagaimana perbedaan itu ditandai dalam hubungannya dengan identitas dan telah menegaskan sebuah pandangan tentang perbedaan yang didasarkan pada oposisi binerseperti alam/budaya, sex/jender, sekaligus implikasi-implikasi dari pembedaan-pembedaan ini bagi mereka yang berkuasa dan bagaimana dualisme ini ternyata berat sebelah. Bagian ini juga sudah melangkah setahap demi setahap dalam berargumen tentang sejauh mana bisa mengadopsi pendirian politis tertentu; mempertahankan atau mendaku sebuah posisi identitas ternyata juga mensyaratkan keterkaitan dengan keaslian dan kebenaran yang berakar dalam biologi, dan sudah menelaah pula posisi alternatif yang bisa diambil, misalnya dengan berargumen pro pengakuan posisi tertentu dan politik berdasarkan lokasi, seperti dikembagnkan oleh Henrietta Moore, yang meliputi perbedaan-perbedaan seperti ‘ras’, kelas, seksualitas, kesukuan dan agama yang ada di antara kaum perempuan.
Perbedaan ditandai oleh representasi-representasi simbolis yang memberikan makna untuk hubungan-hubungan sosial, namun kajian kita tentang perbedaan tidak memberitahu pada kita mengapa orang mau terlibat atau menanamkan waktu, energi, perhatian bahkan dana untuk membela posisi identitas tertentu atau mengapa ada orang yang mau repot-repot mempertahankan dan memperjuangkan perbedaan. Sejumlah proses konstruksi identitas memang sudah dipaparkan, namun ktia belum menyentuh pertanyaan mengapa orang mau mengambil identitas yang ini daripada yang itu. Mari kita bergerak lebih jauh lagi untuk menyingkap dan mencoba menjawab pertanyaan “mengapa” ini.

5 Mengapa kita menanamkan investasi (terlibat) dalam identitas?
5.1. Identitas dan subjektivitas
Istilah identitas dan subjektivitas cukup sering digunakan dalam cara-cara yang membuat orang berpikir bahwa kedua istilah ini bisa saling dipertukarkan. Padahal, kenyataannya ada sejumlah pengertian yang tumpang-tindih di antara keduanya. Subjektivitas meliputi ‘rasa-perasaan tentang diri kita’ (our sense of self). Subjektivitas mencakup pikiran dan emosi dari alam sadar maupun alam bawah sadar yang menjadi penyusun dari ‘kedirian’ kita (who we are) dan perasaan-perasaan yang dibawa ke dalam aneka macam posisi dalam budaya. Subjektivitas juga melibatkan perasaan-perasaan dan buah-buah pikiran kita yang paling dalam. Namun kita mengalami subjektivitas kita dalam sebuah konteks sosial di mana bahasa dan budaya memberikan makna pada pengalaman kita akan diri kita dan di mana kita lalu mengadopsi sebuah identitas. Wacana (discourses), apapun perangkat makna yang mereka buat, hanya bisa menjadi efektif jika mereka merekrut subjek-subjek. Gugus subjek ini dengan demikian dikebawahkan (harus tunduk pada) wacana dan menganggap diri mereka memang mengambil posisi sedemikian rupa. Posisi yang kita ambil dan kita peluk (identifikasi) menyusun apa yang kita sebut identitas. Subjektivitas meliputi dimensi-dimensi bawah sadar dari diri dan menyiratkan adanya kontradiksi dan perubahan. Subjektivitas bisa bersifat irasional namun bisa juga rasional. Kita bisa menjadi manusia yang berpikiran jernih, rasional, namun adakalanya kita harus tunduk pada kekuatan-kekuatan yagn berada di luar kontrol kita. Konsep subjektivitas memungkinkan kita untuk menjelajahi dunia perasaan dan keterlibatan pribadi yang dibuat dalam kaitannya dengan posisi identitas dan alasan-alasan mengapa kita cenderung terikat pada sejumlah identitas tertentu.

KEGIATAN 4
Guna mengembangkan lebih jauh sejumlah ide tentang subjektivitas dan identitas, saya mau Anda membaca puisi berikut yang merupakan bagian dari sebuah rentetan upaya untuk menjawab pertanyaan tentang adopsi. Seorang pujangga perempuan berkulit hitam, Jackie Kay [25], adalah seorang anak adopsi. Kay menjelajahi dunia perasaannya tentang adopsi dengan menggunakan beberapa ‘suara’ yang berbeda (contohnya, suara dari ibu yang melahirkan dan ibu yang mengadopsi), dalam kumpulan puisi berjudul The Adoption Papers (1991). Puisi ini ditulis dalam bentuk suara orang-pertama dari seorang perempuan yang mau mengadopsi bayi, dan puisi ini juga memberikan informasi kepada kita tentang perasaan yang digeluti si perempuan ini dan yang lalu dibawanya ke dalam wacana keibuan yang ditampilkan di sini sebagai bagian dari asumsi-asumsi budaya yang sama (shared), secara khusus tentang bagaimana ekspektasi menjadi ‘seorang ibu yang baik.’ Pertama-tama, Jackie Kay menggambarkan pengalaman bagaimana ia harus mondar-mandir pergi menyampaikan surat lamaran mengadopsi ke sejumlah agensi pengadopsian bayi.

Agensi pertama yang kami datangi
Tidak mau kami ada dalam daftar mereka
Kami tidak hidup cukup dekat dengan gereja
Dan kurang saleh hidup menggerejanya
(walau kami diam-diam saja menjadi komunis)
Agensi kedua mengatakan bahwa penghasilan kami kurang
Yang ketiga menyukai kami
Namun mereka punya daftar tunggu panjang sekali (lima tahun).
Aku berjuang enam bulan untuk tidak coba melihat
Pada gendongan bayi atau bagian depan dari trolley belanja [26]
Tidak berpikir anak yang kumau ini bisa sampai berusia lima tahun.
Agensi keempat sudah penuh.
Agensi kelima bilang ya, tapi mereka tidak punya bayi
Persis ketika kami melangkah keluar pintu
Aku berkata ah kau tahu kami tidak keberatan soal warna kulit
Seperti itu saja, penantian berakhir sudah

Puisi ini lalu menceritakan kunjungan ke agen adopsi bayi dan persiapan-persiapan yang dilakukan si calon ibu berkulit putih ini agar bisa menyiapkan diri dan rumahnya secerah mungkin, dalam konteks ia cemas ia tidak dilihat sebagai seorang calon ibu yang tepat.

Aku pikir akan kusembunyikan
Semua jejak yang mengatakan pernah ada orang di sini

Kukesampingkan Marx Engels Lenin (tidak ada Trotsky)
Di lemari berventilasi---dia tidak akan
Mengecek handuk-handuk tentu saja
Semua kopian Daily Worker
Kuslurugkan di bawah sofa
Merpati damai kuturunkan dari tempatnya (loo)

Poster Paul Robeson [27]
Seolah berkata berikan padaku paspornya
Juga kuturunkan dari dapur

Kutinggalkan setumpuk karya Burns [28]
Cerita-cerita detektifku
Dan karya lengkap dari Shelley [29].

Ia (perempuan) datang jam11.30 tepat,
Kutuangkan kopi untuknya,
Dari perangkat minum kopi buatan Hungaria milikku
Dan dengan bodoh ia berdoa ia tidak
akan bertanya darimana asalnya – jujur saja
bayi ini akan pergi ke kepalaku.
Ia menyilangkan kakinya di sofa
Kurasa aku dengar Daily Workers
Berkemerisik di bawah kakinya

Well katanya, kamu punya rumah yang menarik
Ia melihat alisku terangkat
Berbeda, demikian ia menilai

Setan sudah kuhabiskan sepanjang pagi
Mencoba tampil biasa
Sebuah rumah yang nyaman untuk ditinggali bayi

Ia mengancingkan jasnya sambil tersenyum
Aku sedang berpikir
Aku sedang kabur dari rumah

Namun ketika kami sampai ke pos terakhir
Matanya menangkap pada saat yang besamaan dengan mataku
Pita merah dengan duapuluh badge perdamaian dunia

Terang jelas seperti palu dan paku di dinding
Oh katanya apa kamu menentang penggunan senjata nuklir?

Persetan dengan ini semua. Bayi atau tidak.
Ya kataku. Ya ya ya.
Aku mau bayiku hidup di dunia yang bebas nuklir.

Oh matanya berbinar.
Aku juga mendukung perdamaian katanya
Dan ia duduk lagi untuk menyeruput secangkir kopi.

Dalam kasus adopsi, kita teramat sadar apa yang secara sosial membentuk identitas orangtua yang bisa diterima. Jelas tergambar pengakuan identitas keibuan di sini. Perasaan apa yagn berkecamuk dalam diri si pengarang menyangkut wacana keibuan di sini? Posisi identitas semacam apa yang mau ia ambil? Identitas-identitas lain amcam apa yagn terlibat? Konflik identitas macam apa yang terjadi? Bagaimana dinegosiasikan? Kontradiksi macam apa yang ditampilkan dalam puisi ini antara subjektivitas dengan identitas?
Puisi dari Kay di atas menunjukkan sejumlah cara di mana identitas sosial dikonstruksi dan cara-cara kita bernegosiasi dengan mereka. Puisi ini menggambarkan sejumlah identitas yang berbeda, namun jelasnya hanya satu saja identitas yang oleh si pujangga diakui sebagai identitas yang secara budaya dominan: ibu yang ‘normal’ ‘baik-baik’ amat terasa di sini. Inilah identitas yang nampaknya mau ia ambil, meskipun ia sadar bahwa identitas ini (ibu yang ‘baik’) kemungkinan besar akan berkonflik dengan identitasnya yang lain, yaitu identitas politiknya, secara khusus identitas politiknya yang berhaluan kiri (sosialis). Si calon ibu mengalami konflik batin namun toh akhirnya ada hasil akhir yang menggembirakan. Pasifisme [30] nampaknya bisa diterima di sini. Mungkin ini strategi puisi untuk menghasilkan akhir yang membahagiakan, namun bisa juga dilihat bahwa menemukan sebuah identitas bisa menjadi sarana untuk menyelesaikan konflik kejiwaan dan sebagai ekspresi dari pemenuhan keinginan / dambaan; jika saja resolusi semacam itu mungkin. Puisi ini juga menunjukkan cara-cara di mana identitas bisa berubah seiring waktu. Hal ini dilambangkan dengan simbol yang khusus dan punya nilai sejarah tertentu, yaitu koran berhaluan komunis The Daily Worker, yang juga menggambarkan hal yang tidak diinginkan bila ingin menjadi orangtua adopsi yang prospektif. Akan tetapi, ada juga petunjuk ke arah perubahan jaman di mana identitas keibuan bisa saja meliputi identitas politis dengan posisi sebagai seorang pasifis. Ini adalah identitas keibuan di mana si subjek dalam puisi ini bisa menanamkan investasi dan ia bisa setia dan bertekun (committed) dengan pilihannya itu. Meskipun ia bertindak dalam kerangka tindakan yang ia rasa perlu guna memenuhi syarat memerankan peran ibu yang bisa diterima, namun ia tidak diraup-rampas (diinterpelasi) oleh posisi-subjek ini, melainkan malahan bisa mengakomodasi posisi politisnya. Interpelasi adalah istilah yang dicetuskan Louis Althusser (1918-1990) untuk menjelaskan cara di mana si subjek direkrut oleh posisi-subjek lewat pengenalan dan pengakuan diri mereka---“ya inilah aku”. Proses ini terjadi di level bawah sadar dan interpelasi merupakan salah satu cara untuk menjelaskan bagaimana individu dapat mengadopsi posisi-subjek tertentu [31]. Faktor-faktor sosial dapat saja menjelaskan konstruksi keibuan tertentu, khususnya ‘menjadi ibu yang baik’ di sebuah titik historis tertentu, namun faktor-faktor sosial tidak bisa menjelaskan investasi macam apa yang harus ditanamkan oleh si individu dalam posisi tertentu dan keterikatan-keterikatan macam apa yang harus mereka buat dalam posisi-posisi tersebut.

5.2 Dimensi psikoanalisa
Althusser mengembangkan teori subjektivitasnya dan proses-proses terkait di mana subjek dikonstruksi dalam paradigma Marxis namun sekaligus Althusser mencoba untuk menggabungkannya dengan sejumlah buah pikiran dari psikoanalisa dan linguistik strukturalis dengan posisi materialisme Marxis. Pentingnya karya Althusser adalah karena ia mencoba merevisi model bangunan atas/bawah dari kerangka Marxis, di mana bangunan bawah adalah basis material dan ekonomi dari masyarakat yang dilihat sebagai faktor yang menentukan (bukan hanya mempengaruhi) relasi-relasi sosial, lembaga-lembaga sosial dan politis dan pembentukan ideologi. Althusser juga mengembangkan pemikiran Marx mengenai ideologi. Dalam esainya yang berbicara tentang ideologi dan aparat-aparat negara yang bersifat ideologis, Althusser (1971) menekankan peran ideologi dalam me-reproduksi relasi-relasi sosial lewat upacara-upacara dan praktek-praktek kelembagaan sekaligus lewat kekuatan dan paksaan. Althusser melihat ideologi sebagai gugus sistem representasi, dan ia menawarkan analisa yang kompleks tentang bagaimana proses-proses ideologi bekerja dan bagaimana subjek direkrut oleh ideologi, sambil menunjukkan bahwa subjektivitas bisa dijelaskan dalam kerangka istilah struktur-struktur sosial dan simbolis dan praktek-prakteknya. Bagi Althusser, subjek tidak sama dengan manusia, namun sebuah kategori yang dikonstruksi secara simbolis. “Ideologi … ‘merekrut’ subjek-subjek dari antara individu-individu…atau ‘mengubah’ individu-individu…lewat mekanisme yang saya sebut interpelasi atau ‘memanggil-manggil’” [32] Proses interpelasi ini melakukan dua tugas sekaligus, pertama memberi nama, dan kedua memposisikan subjek yang kemudian dikenali dan diproduksi lewat gugus proses dan praktek simbolis. Dengan demikian, pekerjaan atau posisi-subjek kita, seperti menjadi seorang warga negara yang berjiwa pahlawan, bukanlah segampang itu pilihan sadar dan bebas kita namun justru karena kita sudah direkrut masuk ke dalam posisi itu lewat pengakuan atasnya dalam kerangka sistem representasi, dan dengan ikut terlibat (menanam investasi) di dalamnya.
Teori Marxis memberi tekanan pada peranan yang material dan relasi antara produksi dan tindakan kolektif, khususnya solidaritas sosial, dalam membentuk identitas sosial, lebih dari sekedar otonomi individu atau penentuan-diri (sesuatu yang bisa dikerjakan sendiri oleh individu). Akan tetapi, faktor-faktor fisik-material tidak bisa menjelaskan keterlibatan yang digeluti oleh si subjek berkaitan dengan posisi identitasnya. Perkembangan berikutnya dari Marxisme, seperti dipelopori esai dari Althusser yang kita singgung di atas tadi, memberikan tekanan yang lebih besar pada sistem-sistem simbolis, juga memberikan gambaran yang lebih utuh bahwa subjek itu direkrut dan diciptakan di level ketidaksadaran, bukan hanya di level sadar. Dalam mengembangkan teori subjektivitas semacam ini (faktor material + faktor simbolis), Althusser banyak menimba inspirasi dari karya Jacques Lacan dan versi tertentu dari karya psikoanalisa yang dipelopori Sigmund Freud.
Yang membedakan teori psikoanalisa Freud, yang lalu dikembangkan Lacan, dengan teori-teori psikologi lainnya adalah ‘konsep bawah sadar’ (the unconscious). Bawah sadar, menurut para psikoanalis, tersusun dari hasrat-hasrat yang menggelora, yang acapkali tidak terpenuhi, yang muncul dari kehadiran secara paksa (intrusi) sosok ayah ke dalam hubungan antar anak dan ibunya. Bawah sadar berakar pada hasrat atau keinginan yang terpendam yang mengalami represi, sehingga isi dari alam bawah sadar ini dilarang masuk ke dan dicegah oleh alam sadar (conscious mind). Bagaimanapun, hasrat-hasrat yang direpresi ini menemukan cuatan keluarnya: misalnya, lewat mimpi, kekeliruan (terpeleset lidah / Freudian slips) dan nuansa (nuances). Dengan demikian, alam bawah sadar itu sebenarnya bisa diketahui, hanya saja tidak melalui proses yang langsung. Sudah menjadi tugas para psikoanalislah untuk menyingkapkan kebenaran ini dan membaca bahasanya. Alam bawah sadar adalah gudang dari hasrat-hasrat yang terpendam, dan alam ini tidak mematuhi hukum-hukum yang ditetapkan alam sadar melainkan ia mempunyai energi dan logikanya sendiri. Seperti diajukan lacan (1977), alam bawah sadar terstruktur seperti bahasa. Lacan mengikuti Freud dalam hal memberikan tempat utama pada alam bawah sadar, namun ia berbeda dari Freud ketika menekankan simbol dan bahasa dalam proses perkembangan identitas.
‘Penemuan’ dari alam bawah sadar, yang berfungsi seturut hukum dan logikanya sendiri yang berbeda dari alam sadar si subjek rasional, mempunyai dampak yang tidak kecil terhadap teori identitas dan subjektivitas dan berpengaruh terhadap pengertian umum (akal sehat) tentang siapa diri kita seperti nampak dalam budaya pop. Gagasan tentang adanya konflik antara hasrat-hasrat yang ditekan dalam alam bawah sadar dengan tuntutan daya-daya sosial yang oleh Freud disebut super-ego telah lazim dipakai untuk menjelaskan perilaku irasional dan keterlibatan si subjek dalam tindakan-tindakan yang mungkin oleh orang lain tak bisa diterima, bahkan juga mungkin tidak diterima oleh diri-sadar si subjek, dan bukan merupakan minat pribadi dari si individu. Betapapun cakap pengetahuan kita, kita acapkali masih berperilaku bukan yang terbaik dari diri kita. Kita jatuh cinta dengan orang yang kurang sesuai, kita menghabiskan-habiskan uang untuk kegiatan yang tidak jelas, gagal melamar kerja di pekerjaan yang mampu kita kerjakan dan malah melamar di tempat yang tipis peluangnya diterima, atau bahkan berlaku gila-gilaan (ngebut-ngebutan, bogey jumping, dll.) hanya untuk sekedar menegaskan identitas kita. Kita merasakan emosi yang beraneka wajah (ambivalen)---marah pada orang yang kita cintai, dan terkadang berhasrat pada orang yang menindas kita. Psikoanalisa model Freud menawarkan pada kita sebuah sarana untuk melacak perilaku kita yang nampak irasional kembali ke ‘tanah’ represi hasrat dan kebutuhan alam bawah sadar. Bukannya menjadi pribadi yang utuh, kejiwaan manusia (psyche) terbagi-bagi ke dalam 3 kompartemen berikut: alam bawah sadar (id); super-ego yang bertindak seperti ‘hati nurani’ menyuarakan tuntutan dan batasan sosial; dan ego, yang mencoba mendamaikan kedua elemen ini. Psyche manusia dengan demikian senantiasa berada dalam keadaan konflik dan arus yang terus mengalir (flux) dan bisa dialami sebagai sesuatu yang terbagi-bagi atau terfragmentasi.
Teori psikoanalisa Lacan mengembangkan analisa Freud tentang alam bawah sadar yang berkonflik dengan diri yang berdaulat. Lacan memberikan tekanan pada bahasa sebagai ‘sistem pemaknaan’ (system of signification). Ia menyebut penanda (signifier) sebagai hal yang menentukan arah perkembangan diri si subjek dan arah dari hasrat si subjek. Identitas dibentuk dan diorientasikan secara eksternal dalam hubungannya dengan dampak/efek dari penanda itu sendiri dan artikulasi dari hasrat. Bagi Lacan, subjek manusia yang utuh adalah sebuah mitos. Rasa identitas si anak terbentuk dari internalisasi pandangan-pandangan luar tentang dirinya, pertama-tama dalam sebuah tahap yang disebut Lacan sebagai tahap cermin (mirror stage). Dalam tahapan ini terjadi fase imajiner, yaitu fase sebelum si anak mulai mencemplungkan dirinya dalam bahasa dan tatanan simbolis, ketika si anak belum mempunyai kesadaran akan dirinya sendiri sebagai hal / pribadi yang terpisah dan berbeda dari ibunya. Pada tahap awal ini, si anak (bahkan bisa dikatakan si balita) masih merupakan campuran dari fantasi benci dan cinta, dan berfokus pada tubuh sang ibu. Awal dari pembentukan identitas terjadi ketika si balita menyadari dirinya terpisah dari sang ibu. Masuk ke dalam dunia bahasa dengan demikian merupakan hasil perpisahan fundamental dalam diri si subjek [33], ketika persatuan paling dasariah antara si anak dengan sang ibu terganggu. Si anak mengenali imaji dirinya yang terpantulkan (seperti saat bercermin), mengidentifikasi dirinya dengan imaji itu, dan menjadi awas / sadar bahwa dirinya adalah entitas yang terpisah dari sang ibu. Si anak, yang pada tahapan ini masih merupakan sekumpulan dorongan yang masih belum terkoordinasi dengan baik, mengkonstruksi dirinya berdasarkan refleksi (cerminan) entah saat berkaca di depan cermin sungguhan atau cermin ‘mata’ orang lain. Ketika kita melihat cermin (berkaca), kita melihat ilusi dari ‘kesatuan’. Tahapan cermin dari Lacan mau menegaskan perwujudan dari subjektivitas ketika si anak menjadi sadar bahwa ibunya adalah objek yang terpisah dari dirinya. Menurut Lacan, perjumpaan pertama dengan proses mengkonstruksi ‘diri’, lewat melihat cermin yang memantulkan diri yang bertubuh dengan garis-garis batas yang jelas, akan menjadi contoh, menyetel adegan untuk identifikasi-identifikasi berikutnya di masa depan. Si anak mencapai rasa meng-“aku” hanya dengan cara menemukan “aku” nya yang terpantulkan oleh sesuatu di luar dirinya, yaitu oleh yang-lain; dari tempat / posisi ‘yang-lain’. Namun ia mengalami dirinya seolah-olah “aku” –yaitu kedirian / jati diri---diproduksi dari dalam dirinya, oleh identitas yang utuh tak terbagi.
Dengan cara ini, Lacan melanjutkan argumentasinya, subjektivitas bersifat ‘terpecah dan semu’ (split and illusory). Karena identitas tergantung keutuhannya dari sesuatu yang berada di luar dirinya, ia muncul dari kekurangan, yaitu hasrat untuk kembali ke kesatuan primordial antara dirinya dengan ibunya yang merupakan bagian awal dari masa kanak-kanak namun hanya bersifat semu, fantasi, sekalinya proses perpisahan telah terjadi. Si subjek masih terus mendambakan diri yang utuh dan kesatuan dengan ibunya pada fase imajiner, dan kerinduan ini, hasrat ini, akan memproduksi kecenderungan seseorang untuk mengidentifikasi diri dengan figur-figur kuat dan penting di luar dirinya. Selalu ada proses identifikasi terus menerus dalam hidup seseorang, ketika kita mencari keutuhan diri kita lewat sistem-sistem simbolis dan mengidentifikasi diri ktia dengan cara-cara tertentu di mana kita dilihat oleh orang lain. Dengan pertama-tama mengadopsi identitas yang berasal dari luar diri, kita lalu melanjutkan dengan mengidentifikasi diri dengan cita-cita kita (mau menjadi apa kita), namun terpisah dari diri, sehingga diri senantiasa terbagi-bagi di dalamnya.
Persis pada tahap Oedipal masuk ke dalam bahasa dan sistem-sistem simbolis inilah dunia fantasi si anak dirusak oleh kehadiran sang bapak, atau yang oleh Lacan disebut ‘hukum sang bapak’ (the law of the father). Sang bapak mewakili dorongan dari luar, kekuatan yang berasal dari tabu menikah dengan saudara sendiri (incest taboo) yang melarang fantasi si anak berkembang, yaitu fantasi untuk menikahi sang ibu dan fantasi menjadikan dirinya sebagai objek hasrat dari sang ibu. Sang bapak memisahkan si anak dari gulungan fantasinya, dan hasrat terhadap sang ibu lalu ditekan sehingga menjadi alam bawah sadar. Inilah titik ketika alam bawah sadar terbentuk. Ketika si anak memasuki bahasa dan ‘hukum si bapak’, si anak seketika menjadi mampu untuk mengambil salah satu posisi identitas (yaitu identitas berjender: lelaki atau perempuan) dan inilah titik ketika si anak mengenali perbedaan seksual. Sekalinya dunia imajiner pra-Oedipal dan hasrat terhadap sang ibu ini dikesampingkan, bahasa dan yang simbolis lah yang menawarkan obat penawar luka (kompensasi), menawarkan dukungan dalam bentuk bahasa yang kepadanya si anak bisa menggantungkan identitasnya. Sang bapak atau bapak simbolis, yang disimbolkan oleh kemaluan lelaki yang mengacung tegak (phallus) menjadi gambaran dari perbedaan seksual. Phallus adalah penanda pertama dalam bahasa karena phallus-lah yang pertama kali mengintroduksi perbedaan (yaitu perbedaan seksual) ke dalam semesta simbolis dari si anak---meskipun perbedaan ini palsu (bogus) sifatnya. Lacan mengatakan ‘palsu’ karena phallus hanya nampaknya saja mempunyai kekuasaan dan nilai karena bobot positif yang diberikan terhadap maskulinitas dalam kerangka dualisme yang maskulin / feminin. Juga walaupun kekuasaan (power) dari phallus ini palsu atau bohong-bohongan saja, si anak wajib mengenali makna dari phallus sebagai penanda dari kekuasaan sekaligus perbedaan. Perbedaan yang lain dikonstruksi berdasarkan analogi (perbandingan) yang diambil dari perbedaan seksual ini---yaitu bahwa yang satu (maskulin) lebih diistimewakandaripada yang lain (feminin). Hal ini juga bagi Lacan berarti masuknya seseorang ke dalam dunia bahasa itu berbeda bagi cowok dan bagi cewek. Bagi cewek, mereka diposisikan secara engatif dan sebagai ‘yang kekurangan’. Betapapun semu nilai dari phallus itu, namun statusnya berarti bahwa anak-anak cowok memasuki tatanan simbolis secara positif dan sebagai subjek yang menghasrati (the desiring subject). Sementara cewek dinilai secara negatif, dalam posisi yang pasif---yaitu sebagai yang dihasrati (the ‘desired’).
Karya Lacan teramat penting karena ia memberi tekanan pada yang simbolis (diwakili oleh bahasa dan phallus) dan sistem-sistem representasi, pada perbedaan (difference), dan padaa pengembangan konsep alam bawah sadar (the unconscious). Perhatiannya pada subjek yang berjender berfokus pada konstruksi perbedaan secara simbolis dan pada identitas yang berjenis kelamin (sexed identity). ‘Kegagalan’ pengutuhan identitas dan fragmentasi dari subjektivitas menawarkan kemungkinan adanya perubahan kepribadian, dan sekaligus bisa dimasukkan ke dalam kelompok tantangan atas subjek atau identitas yang utuh dan ajeg. Argumen yang jauh lebih kompleks dan luas seputar teori Lacan, identitas seksual dan perbedaan akan dibahas lebih lanjut di bab 4, dalam konteks teori seksualitas dan identitas seksual.
Teori yang diajukan Freud dan Lacan sudah banyak dikritik, khususnya oleh kaum feminis yang mempertanyakan batasan-batasan dari identitas berjender yang menegaskan status istimewa dari laki-laki dalam tatanan simbolis, di mana phallus didaku sebagai penanda makna yang paling kunci. Betapapun Lacan menyangkal, namun toh phallus memang terkait erat dengan penis, yang menjadi penanda dari ‘hukum sang bapak’ dan bukan sang ibu; dan Lacan memang berpendapat bahwa perempuan masuk ke dalam tatanan simbolis secara negatif---yaitu digambarkan ‘sebagai bukan-lelaki’ daripada ‘sebagai perempuan’. Akan tetapi, meskipun subjek yang utuh sudah dirongrong oleh teori psikoanalisa, nampaknya merupakan kasus saja bahwa perempuan tidak pernah diterima secara penuh atau disertakan sebagai subjek yang mampu berbicara. Sejumlah tantangan untuk hal-hal ini, dan perkembangan dari, teori psikoanalisa ditelaah lebih lanjut pada bab 5 buku ini. Sekarang, yang penting kita garisbawahi menyangkut teori psikoanalisa adalah hal-hal berikut ini: (1) pembalikan konsep subjek yang utuh (menjadi subjek yang terfragmentasi atau bersifat semu / ilusif saja); (2) konstruksi diri yang berjender lewat sistem-sistem kultural dan representasional diberi tekanan; (3) terbukanya ruang kemungkinan untuk mengeksplorasi alam bawah sadar sekaligus alam sadar untuk menjelaskan proses-proses identifikasi. Gagasan tentang alam bawah sadar membuka satu lagi jendela dimensi identitas dan menawarkan satu lagi kerangka teoretis untuk mengkaji lebih jauh sejumlah alasan mengapa kita mau tertanam dan terlibat dalam posisi-posisi tertentu dari identitas.

6. Kesimpulan
Bab ini (yaitu bab 1, “Beberapa Konsep seputar Identitas dan perbedaan”) telah menelaah sejumlah konsep penting untuk menjawab pertanyaan seputar identitas dan perbedaan, dan sudah menyediakan kerangka besar untuk memahami keseluruhan buku Identity and Difference. Alasan-alasan yang berada di belakang pertanyaan-pertanyaan soal identitas dan perbedaan sudah dilihat secara seksama, dan cara bagaimana pertanyaan tentang identitas bisa muncul di ‘sirkuit’ budaya juga sudah dikaji. Secara spesifik, bagian yang ditelaah adalah proses-proses yang dilibatkan dalam produksi makna lewat sistem-sistem representasi yang kemudian dilengkapi dengan pertanyaan-pertanyaan tentang posisi subjek dan pembentukan identitas dalam sistem-sistem simbolis (untuk gambaran dan detil yang lebih jelas tentang subjek dalam sistem representasi lihat Hall, editor, 1997)
Identitas sudah diusung sebagai isu pokok dalam debat kebudayaan dewasa ini dalam arena penciptaan ulang (rekonstruksi) identitas nasional dan etnis berskala global dan di tengah maraknya kemunculan ‘gerakan-gerakan sosial berwajah baru’ yang mempunyai perhatian pada penegasan identitas personal dan kultural, yang menantang kepastian tradisional dan sekaligus mendaku bahwa telah terjadi krisis identitas dalam kelompok masyarakat dewasa ini. Diskusi tentang seberapa jauh identitas diperdebatkan, disanggah, dirumuskan kembali dalam dunia sekarang membawa kita untuk menimbang-nimbang pentingnya perbedaan dan oposisi dalam hal pembentukan posisi-posisi identitas.
Perbedaan menjadi sentral dalam sistem-sistem penggolongan yang lewatnya makna diproduksi. Sudah kita lihat analisa strukturalis dari Lévi-Strauss dan pengembangan lebih jauh dari Mary Douglas dalam mengeksplorasi penanda perbedaan dan konstruksi ‘orang luar’ dan ‘yang-lain’, lewat sistem-sistem budaya. Baik sistem-sistem sosial maupun simbolis memproduksi struktur-struktur penggolongan yang menekankan makna dan tatanan dalam hidup sosial dan sekaligus menyingkapkan sejumlah perbedaan dasar—seperti kita dan mereka, dalam dan luar, yang suci dan yang profan, lelaki dan perempuan---yang terletak di jantung gugus sistem makna dalam budaya. Akan tetapi, studi tentang sistem-sistem penggolongan ini tidak bisa menjelaskan kadar keterlibatan pribadi yang ditanamkan oleh individu dalam identitas yang mereka pilih dan hayati. Diskusi tentang teori-teori psikoanalisa memberikan gambaran kepada kita bahwa meskipun dimensi sosial dan simbolis dalam pemahaman kita tentang bagaimana identitas diproduksi memang penting, namun tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kita bisa meneliti kadar keterlibatan subjek dalam sebuah atau beberapa identitas.
Perdebatan tentang esensialisme dan non-esensialisme menggarisbawahi penelusuran kita tentang beraneka macam dimensi identitas dalam tulisan ini. Di satu sisi, debat tentang esensialisme dalam kaitannya dengan sumber-sumber otoritas yang diasalkan secara biologis (fisik / jasmaniah) atau transhistoris (lintas ruang-dan-waktu) dan, di sisi lain, pendekatan dan klaim dari kaum konstruksionis sosial [34] memang tidak dibahas secara mendalam di sini melainkan di bagian lain dari buku ini. Bahan bacaan A dari Stuart Hall yang juga disertakan dalam bab ini (Stuart Hall, ‘Identitas Kultural dan diaspora’) menawarkan cara pandang dan cara pikir yang baru tentang identitas---dengan berupaya menghindari jebakan untuk selalu tergantung pada asal-usul atau kebenaran yang sifatnya lintas ruang-dan-waktu guna mengesahkan (validasi) identitas di masa kini. Ketegangan yang tercipta di antara kutub fundamentalis dan esensialis tentang identitas dan identitas diaspora akan ditelaah lebih jauh oleh Saudara Paul Gilroy dalam bab 6 buku ini (“Diaspora dan jalan memutar dari identitas”, hlm. 299-346 dari buku Identity and Difference). Bab-bab selanjutnya dalam buku ini akan menguraikan tema-tema yang sudah diangkat atau diintroduksi dalam bab 1 ini, khususnya debat antara posisi esensialis dan non-esensialis serta implikasi-implikasi politis dari pandangan masing-masing posisi. Pertanyaan apakah identitas itu sifatnya ‘terberi’ atau ‘ajeg’ (sudah dari sononya) akan dibahas di bab 2, dengan berfokus pada tubuh sebagai wilayah pokok penulisan identitas dan perbedaan. Sekali lagi, debat antara posisi alam/budaya (nature/culture) akan diangkat, sebagai pengembangan dari diskusi menyangkut segi sosial dan segi simbolis dari identitas, sambil memusatkan perhatian pada reproduksi sosial dari tubuh dan ide mengenai ‘tubuh sebagai pembawa nilai simbolis’ yang dikembangkan seturut kaitannya dengan daya-daya atau kekuatan-kekuatan sosial yang melingkupinya.
Bab 3 juga akan menelaah tubuh sebagai pokok kajiannya namun secara khusus akan dilihat mengenai narasi-narasi modern yang bersifat sementara tentang tubuh, misalnya relasi antara tubuh yang sehat, gejala-gejala gangguan makan, pencitraan tubuh dan obsesi budaya seputar makanan, diet dan penyakit serta bagaimana ini semua dinegosiasikan.
Tema identitas yang dibaca secara esensialis dan non-esensialis akan dikembangkan lebih jauh lagi di bab 4, yang akan menelanjangi konstruksi seputar identitas-identitas seksual, menguraikan tema perbedaan dan segi problematis dari model oposisi biner (pertentangan di antara dua kutub), khususnya konstruksi perbedaan yang berhaluan biologis dan yang berhaluan sosial.
Bab 5 melihat contoh lain dari sebuah identitas yang nampaknya ajeg dan tergantung dari realitas biologis dan kebertubuhan. Tulisan di bab ini akan mengkaji konstruksi secara budaya dari keibuaan sebagai identitas dalam sebuah konteks historis tertentu, di mana beberapa sosok figur ibu yang baru diproduksi dan dilawankan (dengan model yang lama) dalam bentuk budaya populer dan wacana politik kontemporer. Tulisan ini mengangkat konstruksi identitas secara sosial dan simbolis dan cara-cara di mana identitas ini bisa ditiru dan dinegosiasikan, dengan berfokus pada perbedaan dan cara-cara di mana identitas bisa jadi sukses.
Bab 6 akan bergerak ke konteks yang lebih global dan politis dengan menelaah identitas diaspora dan relasi di antara representasi, wacana dan ‘ras’, sekaligus sebagai pengembangan lebih lanjut dari tulisan Stuart Hall di Bahan Bacaan A, dan meluaskan debat seputar ketidakstabilan dari kategori-kategori penilai, seperti kategori yang dipakai untuk mewakili identitas bangsa dan etnis, yang juga akan diintroduksi di bab ini.

No comments: