Wednesday, 19 January 2011

Mereka Bilang Saya Monyet!

Mereka Bilang Saya Monyet!

Cerpen Djenar Maesa Ayu


Sepanjang hidup saya melihat manusia berkaki empat. Berekor anjing, babi atau kerbau. Berbulu serigala, landak atau harimau. Dan berkepala ular, banteng atau keledai.

Namun tetap saja mereka bukan binatang. Cara mereka menyantap hidangan di depan meja makan sangat benar. Cara mereka berbicara selalu menggunakan bahasa dan sikap yang sopan. Dan mereka membaca buku-buku bermutu. Mereka menulis catatan-catatan penting. Mereka bergaun indah dan berdasi. Bahkan konon mereka mempunyai hati.

Waktu saya menyatakan bahwa saya juga mempunyai hati, mereka tertawa dan memandang saya dengan penuh iba atas kebodohan saya. Katanya hati yang mereka maksudkan adalah perasaan, selain itu mereka juga mempunyai otak. Tapi ketika saya protes dan menyatakan bahwa saya pun punya otak, lagi-lagi mereka tertawa terbahak-bahak. Katanya, otak yang mereka maksudkan adalah akal.

Saya benar-benar tidak mengerti maksud mereka. Yang saya tahu saat itu hanya hati saya terasa ngilu bagai disayat-sayat sembilu. Mungkinkah ini yang disebut perasaan? Tapi saya sudah terlanjur kehilangan keberanian untuk mengatakan apa yang saya rasakan. Dan saya tambah tidak mengerti jika benar ini adalah perasaan yang mereka maksudkan, lalu mengapa mereka bisa menertawakan saya tanpa mempedulikan perasaan saya sama sekali?

Pada saat otak saya dipenuhi pertanyaan ini, saya pun berpikir. Apakah ini yang mereka maksud dengan akal? Lalu mengapa akal mereka tidak sampai pada pikiran bahwa saya tidak senang dijadikan bahan tertawaan?

Saya meninggalkan mereka diam-diam. Suara tawa mereka makin lama makin menghilang seiring dengan bertambah jauh kaki saya melangkah. Saya tahu saya tidak perlu pergi dengan cara diam-diam. Kepergian saya toh tidak akan mengundang perhatian. Tapi mungkin itulah cara saya untuk menghibur diri sendiri dari keterasingan.

Tanpa saya sadari kaki saya sudah mengantarkan saya sampai di depan pintu kamar mandi. Kamar mandi itu terkunci dari dalam. Maka saya menunggu sambil berdiri di depan sebuah cermin besar.

Saya memperhatikan bayangan diri saya di dalam cermin dengan cermat. Saya berkaki dua, berkepala manusia, tapi menurut mereka saya adalah seekor binatang. Kata mereka saya adalah seekor monyet. Waktu mereka mengatakan itu kepada saya, saya sangat gembira. Saya katakan, jika saya seekor monyet maka saya satu-satunya binatang yang paling mendekati manusia. Berarti derajat saya berada di atas mereka. Tapi mereka bersikeras bahwa mereka manusia bukan binatang, karena mereka punya akal dan perasaan. Dan saya hanyalah seekor binatang. Hanya seekor monyet!

Kebutuhan saya untuk buang air kecil semakin mendesak. Pintu kamar mandi masih terkunci. Saya mengetuk pintu pelan-pelan. Tidak ada jawaban dari dalam. Tidak ada suara air. Tidak ada suara mengedan. Saya menempelkan telinga saya di mulut pintu. Saya mendengar desahan tertahan. Saya kembali mengetuk pintu. Desahan itu berangsur diam. Saya mengintip lewat lubang kunci bersamaan dengan pintu dibuka dari dalam. Sepasang laki-laki dan perempuan keluar dari dalam kamar mandi. Yang laki-laki lantang memaki, "Dasar binatang! Dasar monyet! Gak punya otak ngintip-ngintip orang!"

Seharusnya saya menghajar laki-laki berkepala buaya dan berekor kalajengking itu. Tapi saya memang tidak cepat bereaksi jika diserang tanpa ada persiapan. Atau mungkin saya memang tidak akan pernah mampu melawan walaupun sudah tahu akan diserang. Saya sudah terbiasa menelan rongsokan tanpa dikunyah lebih dulu. Saya sudah terbiasa kalah dan menelan kepahitan. Karena itu saya hanya terlongong-longong sambil menyaksikan mereka berdua berlalu.

***


Mereka masih duduk mengelilingi tiga meja bundar. Saya menghampiri dan duduk di kursi paling ujung. Kursi yang saya duduki sebelum saya pergi ke kamar mandi sudah terisi. Seperti biasa mereka tidak terlalu peduli akan kehadiran saya.

Laki-laki berkepala buaya dan berekor kalajengking duduk tepat di seberang saya. Perempuan yang tadi bersamanya di dalam kamar mandi duduk agak jauh dan sedang menyenderkan kepala ulamya di atas dada laki-laki berkepala buaya yang lain. Saya menggeleng-gelengkan kepala tanpa sengaja. Laki-laki berkepala buaya dan berekor kalajengking menyeringai sambil mengedipkan mata ke arah saya. Sungguh, kali ini saya merasa benar-benar ingin menghajarnya.

Malam semakin larut. Botol-botol bir kosong dan gelas-gelas yang setengah terisi memadati meja. Ketika mereka berbicara, suara mereka setengah berteriak seperti hendak mengalahkan suara penyanyi dengan keyboard-nya. Namun sikap duduk mereka masih sama seperti ketika pertama kali mereka datang ke kafe ini. Hanya rona wajah mereka saja yang mulai memerah. Yang berkepala gajah, wajah abu- abunya berubah jadi merah.Yang berkepala harimau, wajah warna cokelatnya berubah merah. Yang berkepala serigala, wajah warna hitamnya berubah merah. Meja kami dikelilingi wajah-wajah berwarna merah dan mata yang mulai sayu.Tawa mereka mulai lepas. Tapi sikap mereka tetap pada batas-batas kewajaran. Apakah itu yang mereka namakan akal dan perasaan?

Saya mulai jengah. Saya mulai mengangkat kaki saya ke atas meja. Kepala saya menghentak-hentak keras mengikuti irama lagu. Si Kepala Gajah menghentakkan belalainya ke pipi saya dengan keras. Saya menatapnya sejenak lalu kembali asyik dengan diri saya sendiri. Si Kepala Serigala menendang kaki saya di bawah meja hingga saya menjerit kesakitan. Secara bersamaan yang lainnya melotot ke arah saya. Saya tetap tidak peduli. Saya malah beranjak dari kursi lalu menuju ke panggung dan merampas mike dari tangan penyanyi.

Saya mengisyaratkan pemain keyboard untuk memainkan La Bamba. Dengan terpaksa pemain keyboard mengikuti permintaan saya. Saya mulai berjingkrak-jingkrak mengikuti irama musik dan suara saya yang terdengar tidak merdu. Saya berputar ke kiri, berputar ke kanan, bergerak maju, bergerak ke belakang bertepuk tangan, berteriak kencang, duduk di atas pangkuan pemain keyboard dan semua yang ada di kafe itu ikut bersorak-sorai dan bertepuk tangan.

Saya menyanyikan beberapa lagu lagi hingga puas dan kelelahan. Akhirnya saya kembali ke meja dan menenggak satu gelas bir besar dalam satu kali tegukan. Semua yang berada di meja itu tambah mengacuhkan saya. Saya tahu mereka yang mengaku berperasaan itu mungkin sedang diserang perasaan yang mereka namakan malu. Atau akal merekakah yang sedang memerintah hati untuk membohongi perasaannya sendiri?

Akhirnya saya tidak tahan juga dan bertanya ke Si Kepala Gajah di sebelah saya, "Sebenarnya apa sih yang sedang terlintas di kepala gajahmu?"

Si Kepala Gajah diam saja. Saya melayangkan pertanyaan yang sama kepada Si Kepala Serigala. Seperti Si Kepala Gajah, ia diam saja. Akhirnya saya menanyakan kepada semua yang berada di meja itu. Si Kepala Babi dan Si Kepala Kuda mendengus acuh tak acuh. Si Kepala Kuda meringkik. Si Kepala Sapi melenguh. Hanya Si Kepala Anjing yang berani menggonggong.

"Bagaimana kamu mau disebut manusia? Wujudmu boleh manusia, tapi kelakuanmu benar-benar monyet!"

"Tapi bukankah kalian ikut bergoyang? Bukankah kalian ikut bertepuk tangan? Bahkan saya juga mlihat sebagian dari kalian tertawa-tawa."

Ia kembali menggonggong tertahan.

"Susah bicara dengan makhluk yang tidak punya otak! Sudahlah, kamu tidak akan pernah bisa mengerti apa yang saya katakan dan maksudkan. Kamu tidak punya perasaan malu. Kamu tidak punya akal untuk membedakan mana yang tidak dan mana yang pantas untuk kamu lakukan."

Saya malas bertanya lagi. Percuma bicara kepada seseorang — atau tepatnya makhluk — yang senang dan mampu berbohong pada diri sendiri. Saya menuang bir ke dalam gelas saya dan meminumnya dalam satu kali tegukan. Saya menuang bir untuk kedua kalinya dan segera menuntaskannya kembali dalam satu kali tegukan. Ketika saya hendak menuang bir ke gelas saya untuk ketiga kalinya, Si Kepala Anjing menahan tangan saya.

Saya heran, tidak biasanya ia memperhatikan saya seperti sekarang ini. Biasanya tidak ada yang mau peduli pada saya. Keheranan saya berkembang menjadi kecurigaan. Mungkin ia tidak peduli berapa banyak saya minum. Mungkin ia tidak peduli andaikan saya mampus sekalipun! Ia hanya sedang menyelamatkan dirinya dari rasa malu. Ia hanya tidak ingin saya melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan akalnya di muka umum. Ya, di muka umum.

Saya tahu persis siapa dirinya. Saya tahu persis Si Kepala Anjing berhubungan dengan banyak laki-laki padahal ia sudah bersuami. Saya tahu persis Si Kepala Anjing sering mengendus-endus kemaluan Si Kepala Serigala. Bahkan Si Kepala Anjing juga pernah mengendus-endus kemaluan saya walaupun kami berkelamin sama.Tapi tidak di depan umum.

Di depan umum ia hanyalah wanita berkepala anjing dan berbuntut babi yang kerap menyembunyikan buntutnya di kedua belah paha singanya. Di depan umum ia hanya penggemar orange juice dan tidak merokok seperti saya. Tapi ketika ia tidak di depan umum, saya tahu ia mengisap ganja, minum cognac dan menyerepet cocaine lewat kedua lubang hidungnya yang selalu basah.

Saya mengibaskan tangan Si Kepala Anjing hingga terlepas dari tangan saya dan mengambil bir lalu menenggak langsung dari botolnya.

***


Mata saya bertubrukan dengan mata Si Kepala Buaya yang berekor kalajengking itu. Perempuan berkepala ularnya masih berasyik masyuk dengan laki-laki berkepala buaya lain. Mungkin laki-laki itu gigolo, pikir saya. Mana mungkin laki-laki sejati rela menyerahkan kekasihnya ke dalam pelukan laki-laki lain?

Saya melihat laki-laki berkepala buaya yang sedang dimesrai oleh perempuan itu lebih mentereng ketimbang laki-laki berkepala buaya yang memaki saya di depan kamar mandi. Secara fisik, laki-laki berkepala buaya di depan saya ini memang lebih menarik dan jauh lebih muda.

Namun seperti Si Kepala Anjing, sikap Si Kepala Buaya itu tidak kalah berbudayanya jika berada di tempat umum. Saya yakin, pasti tidak ada yang mengira kelakuan Si Kepala Buaya dan Si Kepala Ular juga Si Kepala Anjing, bahkan mungkin semua kepala-kepala binatang ini ketika mereka tidak berada di depan umum. Mungkin saya harus mencolok mata mereka hingga buta supaya mereka bisa melihat dunia lewat pintu hati mereka, dan mereka tahu apa yang sebenamya disebut perasaan!

Tiba-tiba saya terpanggil untuk iseng. Saya meminta selembar kertas dan meminjam pen dan pelayan. Saya mulai menulis di secarik kertas itu dan meremasnya di dalam tangan saya. Lalu saya mengedipkan mata ke arah laki-laki berkepala buaya di depan saya sambil mengisyaratkannya untuk mengikuti saya ke kamar mandi. Si Kepala Buaya mengerti maksud saya dan menyeringai senang sambil menganggukkan kepala. Saya berjalan ke arah kamar mandi, sambil dengan diam-diam menyelipkan secarik kertas di balik kerah baju si perempuan berkepala ular.

Saya menunggu di dalam kamar mandi. Tidak lama pintu diketuk. Saya membuka pintu. Si Kepala Buaya menyeruak masuk dan memberondong saya dengan ciuman. Saya cekik lehemya dan saya sandarkan dia ke dinding. Saya hajar mukanya seperti apa yang saya harapkan sebelumnya. Pintu kamar mandi diketuk. Saya membuka pintu dan Si Kepala Ular sudah berdiri berkacak pinggang di depan pintu. Saya mempersilakan ia masuk dan meninggalkan mereka. Saya mendengar suara tamparan di pipi Si Kepala Buaya tempat saya menghajarnya tadi.

***

Si Kepala Serigala memanggil pelayan dan meminta bon untuk segera dibayar. Si Kepala Serigala selalu mengeluarkan uang untuk kesenangan kami dan mungkin karena itulah Si Kepala Anjing mengendus-endus kemaluannya. Saya tahu pesta mereka sebentar lagi usai. Tapi saya juga tahu, pesta kemerdekaan saya baru akan dimulai....



Jakarta, 7 November 2001,12:19:34 AM
Jurnal Cerpen Indonesia, Edisi 1, Februari 2002

No comments: