Thursday, 27 January 2011

Senjakala Tamansari

Senjakala Tamansari

M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/

Hari ini adalah Kamis, di sore hari ketika darah telah bergejolak karena kabar angin yang memang selalu terdengar sebagai lagu duka bagi seorang lelaki pendosa. Dia memang selalu bangga menyebut dirinya sebagai lelaki pendosa, lelaki yang dilumuri dengan kesalahan di setiap tapak kehidupan. Memang, dia sengaja. Tapi, di dalam hatinya diniatkan agar namanya yang dia sematkan itu mampu mengingatkan, kalau dirinya hanya seorang lelaki pendosa dan musti berjalan jauh untuk menjadi pembenaran atas pemahaman sampai dia yakin ketika bertemu denganNya, bahwa dia bukan seorang lelaki pendosa. Bukan manusia yang dialiri darah kesalahan.

Hari Kamis, menjadi hari perjalanan bagi si Lelaki Pendosa untuk melewati perjalanan waktu bersama dengan seorang Perempuan Pendoa yang pernah dia temui ketika perjalanannya mengantarkan pada surau kecil yang bercahaya. Entah dalam alur yang bagaimana, Dia yang memiliki kuasa atas alur kehidupan telah menggariskan keduanya dalam pertemuan sunyi pada persetubuhan cinta yang akan mengkristal menjadi abadi. Lelaki Pendosa dan Perempuan Pendoa bertemu di Senin dan Kamis, pada senjakala yang memerah indah.

Lelaki Pendosa menapaki anak tangga yang terus membawanya pada dataran tinggi. Perempuan Pendoa di belakangnya, mengamit tangan kakasihnya dengan erat, sambil menahan lapar-dahaga yang bergejolak di dalam dada. Perempuan itu menahan segalanya. Hasrat di dalam dada dikekang, terantai oleh dirinya sendiri tanpa ada yang mampu mengusik. Itu lah perjuangan yang indah dalam perjalanan Perempuan Pendoa yang selalu tengadah memohon cinta yang memiliki kesempurnaan.

“Entah mulai kapan sayang, aku menjadi jatuh cinta dengan tanah kita pijak ini.” Ucap Lelaki Pendosa ketika mereka menapaki jalan ke atas dimana orang-orang bercanda, menatap matahari, mengambil foto berada di bawah keduanya. “Reruntuhan masa lalu di tengah kota. Perbukitan di tengah kota. Rumah-rumah yang padat, mengepung dalam pengabdian yang tidak terbayar oleh berjuta uang bahkan segunung Merapi emas yang berkilauan.”

Perempuan Pendoa tersenyum sambil menatap ke sekeliling dimana, lalu pada langit yang mulai memerah. “Kamu selalu memiliki kata-kata untuk setiap hal yang telah kau tangkap dan reguk, Mas!” sahut Perempuan Pendoa dalam pandangan teduh yang membuat dada Lelaki Pendosa bergetar.

“Dan kamu selalu memiliki senyuman yang manis, menyimpan semua duka dan kebahagiaanmu!” ungkap Lelaki Pendosa sampai mereka bertatapan untuk beberapa saat.

“Ah, Mas,” Perempuan Pendoa menundukkan kepala menahan senyuman yang semakin merekah.

Lelaki Pendosa menggelengkan kepala. Dia melemparkan pandangan jauh ke langit yang semakin memerah ketika matahari diam-diam merangkak untuk bersembunyi di dalam cakrawala. Pandangannya pun jatuh pada lingkaran masjid yang hanya bisa dirasakan dari atas puncak Tamansari. “Kalau kita berbuat dosa, berzina, apa yang paling kamu takutkan, sayang?” Lelaki Pendosa melemparkan pertanyaan sambil memandangi Masjid yang melingkar di bawahnya. “Adakah ketakutanmu pada Tuhan di sana?”

Seketika, pandangan Perempuan Pendoa berubah. Pandangan diarahkan ke langit yang luas. Tatapan mata perempuan itu menengadah begitu jauh. Sangat jauh sekali ke langit yang luas. Sementara itu, di dalam tubuhnya, rasa lapar memberondong benteng-benteng lambung yang begitu tipisnya. Di lorong gerbang yang lain, rasa kering kerontang menggelitik, menggerus rasa yang berbeda. Dan pada gerbang bibirnya yang tipis dan memerah, tertutup rapat untuk menggerakkan lidah yang tetap berusaha berdoa. Perempuan Pendoa itu pun kemudian menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan kekasih yang duduk di sampingnya.

“Ada, Mas, tapi baru aku sadari kalau Dia tidak menjadi ketakutan yang pertama.” Ucap Perempuan Pendoa dengan resah.

“Yah, kita masih sama, Sayangku, Kekasihku, Istriku, Pujaanku, Perempuan Pendoaku! Kita ini masih manusia. Dan bersyukurlah masih menjadi manusia!” ungkap Lelaki Pendosa dalam senyuman lebar yang di dalamnya tanpa ketakutan sedikit pun. “Pernah aku membuat suatu lingkaran, dimimpikan pada ajaran-ajaran lama yang berharga bahwa hidup manusia itu berputar. Aku mencintai simbol ini, ternyata, baru kali ini mata butaku ini mampu melihat. Bahwa dari nol akan kembali pada nol, yang dari satu akan kembali ke satu, yang dari tanah akan kembali ke tanah.”

“Mas?”

“Manusia berasal dari Tuhan, dan dia akan kembali kepadaNya!” ungkap Lelaki Pendosa yang masih dalam senyuman yang sama, senyuman tanpa ketakutan yang kemudian melemparkan pandangan pada Masjid yang melingkar di bawahnya.

Seruan telah melengking, mengalun di dalam angin dari masjid-masjid yang berdiri di sudut-sudut bumi. Perempuan Tersenyum, meraih tangan Lelaki Pendosa, Kekasihnya, dan Suaminya. Dia mencium tangan lelaki itu, “Terima kasih, Mas, Sayang!” ucap Perempuan Pendoa dalam senyuman manisnya yang telah meruntuhkan kepongahan Lelaki Pendosa.

Ketika sang Perempuan Pendosa meneguk air yang langsung menghujani tanah kering di dalam dirinya, dia memejamkan mata. Mulutnya bergetar, tentang sesuatu yang hanya dia sendiri dan Tuhannya yang tahu. Di dalam angin, sebuah tembang terdengar oleh Lelaki Pendosa yang memejamkan mata ketika senja mereka habiskan di puncak Tamansari:

Kemudian,
di puncak Tamansari kita memandang matahari
Kau memandang ke barat, berdoa dalam berbuka. *

Sang Lelaki Pendosa bangkit dari duduknya. Dia mengamit tangan kekasihnya untuk menuju ke temaram di Wijilan. Memuaskan hasrat dan kemudian untuk berdiri tegak menegakkan pelaksanaan kewajiban.

Bantul – Studio SDS Fictionbooks,
Minggu, 27 Juni 2010.

*) Dikutip dari sajak “Permata Air Mata” karya Dhian Hari M.D. Atmaja
Sumber: http://www.dhianhmda.wordpress.com/

No comments: