Friday 25 February 2011

Cinta Elena & Pedro

tinggalkan komentar »




Wanita tua itu duduk sendirian di kursi pedestrian Las Ramblas. Semilir angin menggeraikan rambutnya yang keemasan. Sesekali ia mengangguk atau melemparkan sesungging senyum kepada orang-orang yang lalu lalang di depannya dan kebetulan menoleh ke arahnya. Sudah hampir pukul sembilan malam rupanya. Sinar matahari masih terlihat jelas di ufuk barat sana. Pengamen-pengamen asal Puerto Riko asyik menyanyikan lagu-lagu tradisional mereka. Lagu-lagu tentang semangat kerja rakyat petani. El Cantar de un Campesino (A Farmer’s Song), Mi Jaragual (My Little Farm), meluncur mendayu-dayu diiringi dansa-dansa yang amat indah. Beberapa orang berkerumun untuk mendengarkan. Ada juga yang membeli kaset hand made-nya seharga 10 pesetas.

“Como estas, hoy, Elena?”

“Bien. Muy bien, Pedro.”

Seorang pria duduk di sebelahnya. Sebuah tongkat kayu dari pohon ek berada di tangannya. Ia setua si wanita. Kepalanya botak. Berkilat-kilat kena cahaya lampu yang mulai dinyalakan. Si wanita mencium aroma wewangian dari tubuh si pria. Kesegaran menjalari seluruh tubuhnya.

“Apakah mereka sudah menyanyikan Cantandole a lo Nuestro?” si pria bertanya. “Aku selalu menyukai lagu itu.”

Si wanita tersenyum. “Belum. Kau bisa memberinya beberapa pesetas dan meminta mereka menyanyikannya untukmu.”

“Untuk kita.”

Tersenyum, tangan si wanita memegang tangan si pria. Bara cinta meletup di dadanya.

“Ya, untuk kita, Pedro,” katanya.

Sesaat ia diam.

“Aku baru saja mendapatkan cucu ketiga,” kata si wanita beberapa saat kemudian. Suaranya datar. Matanya menatap ke pengamen obor api yang memasukkan dan mengeluarkan obor berapi di mulutnya. “Una hija. Muy bonita.” Ia mengakhiri kalimatnya dengan sekulum senyum.

Si pria menoleh.

“Siapa orangtuanya?” ia bertanya. Suaranya lirih. Ada nada pedih. Seperti ada beban yang menindih.

“Si bungsu. Julia.”

Si pria menarik napas. Tanpa berkata.

“Kau tak ingin mengatakan apa-apa lagi, Pedro? Por que?” si wanita menoleh, memandang laki-laki di sebelahnya itu. Ia masih tampan seperti dulu, si wanita membatin. Ia menyembunyikan sukacita di hatinya. Api cinta bergejolak di dadanya.

“Kau ingin aku mengatakan apa? Aku turut bahagia dengan segala anugerah yang kau terima? Begitukah?”

“Setidaknya kau bisa berkomentar apa saja, Pedro. Kau bisa pura-pura bahagia. Demi aku.”

Malam terus merayap. Matahari sebentar lagi akan lenyap ditelan Bumi. Begitulah selalu di Spanyol. Di musim panas, matahari seolah enggan buru-buru berhenti menyinari Bumi.

“Bagaimana kabar Raul? Apakah ia bahagia dengan Bettina?” si pria bertanya. Di wajahnya lintasan kebahagiaan berpendar-pendar. Ia menunggu jawaban si wanita dengan dada berdebar. Tak sabar.

“Raul sering kali menanyakanmu. Ia selalu merindukanmu.”

Mendadak si pria tersenyum getir. Dalam benaknya, wajah Raul bergulir. Seorang pria tinggi besar yang hampir saja tewas karena serudukan banteng di gelanggang matador di La Monumental de Barcelona. Itu yang membuatnya berhenti sebagai torero, meskipun itu adalah cita-citanya sejak kecil. Ia ingin sekali menjadi seperti Pedro Romero, matador legendaris yang amat masyhur, yang selalu dielu-elukan penonton dalam setiap pertunjukan.

Si pria melirik si wanita. Tangannya masih dalam genggaman tangan si wanita. Api cintanya membara.

“Aku sebenarnya menginginkan ia menjadi pemain sepak bola,” katanya dengan sunggingan senyum tertahan. “Kalau ia menuruti kata-kataku, mungkin saat ini ia tengah bertanding di La Liga bersama Raul Gonzalez. Akan ada dua Raul di sana. El Merengues selalu jadi tim kebanggaanku meski aku orang Basque. Aku tak ingin ia berada di Nou Camp. Aku cuma ingin ia berada di Santiago Bernabeu.”

Si wanita tersenyum. Tangannya masih juga memegang tangan si pria. Ia tahu Pedro tak ingin Raul berada di Nou Camp. Stadion kebanggaan pendukung El Barca itu terlalu banyak tahu tentang mereka. Di sanalah ia dan Pedro pertama kali bertemu ketika Barcelona dikalahkan Liverpool dalam suatu pertandingan tingkat Eropa >jmp -2008m<>h 6024m,0<>w 6024m<1)>jmp 0m<>h 8000m,0<>w 8000m< 26 tahun lalu. Pedro datang dengan segala atribut El Barca. Begitu juga Elena. Dalam sekali pandang, cinta mereka bertaut. Di dada mereka bunga-bunga cinta membalut. Jantung keduanya serasa lebih cepat berdenyut.

Dua tahun Elena dan Pedro bahu-membahu sebagai pendukung Barcelona sampai kemudian cinta mereka dipisahkan oleh takdir, sama seperti El Barca yang dua tahun sebelumnya disisihkan klub sepak bola dari tanah Inggris itu. Cinta memang tak selalu mempertautkan raga meski jiwa mereka takkan terpisahkan oleh apa saja.

“Kukira sudah terlalu malam,” kata si pria kemudian. Suaranya agak parau. “Sudah saatnya kita berpisah. Aku pamit.” Si pria bangkit. Mengecup kening si wanita. “Buenas noches, Elena. Hasta luego.”

Si wanita tersenyum. “Pedro,” katanya, menghentikan langkah si pria. “Te amo.”

“Mi, tambien.”

Tak ada yang berubah di Las Ramblas. Pejalan kaki tetap berseliweran dari pagi sampai pagi. Ada yang santai, ada yang dalam gegas. Para pengamen berdiri di sisi jalan dengan kesabaran tanpa batas. Semuanya mempertontonkan kelebihan masing-masing seraya berharap ada pejalan kaki yang rela menyisihkan uang recehnya beberapa pesetas. Mereka tak menadahkan tangan. Mereka menjual kepandaian. Ada yang berperilaku seperti manekin hidup dengan tubuh berbalut semacam cat putih dan baru mengubah posisi mematungnya manakala seseorang melempar uang receh pada sebuah wadah di depannya. Kelompok penyanyi Puerto Riko juga tetap setia membawakan lagu-lagu rakyatnya di depan sebuah toko yang menjual berbagai macam majalah dan koran.

Elena, si wanita berambut keemasan itu, juga tetap setia duduk di kursi yang kemarin didudukinya. Entah ini hari ke berapa ia berada di sana. Ia belum pikun untuk menghitung masa. Tapi, ia memang tak ingin menghitung. Ia khawatir hitungannya terhenti pada bilangan tertentu. Ia ingin menikmati masa-masa tuanya seperti yang ia inginkan sendiri. Tanpa terikat apa-apa.

Seperti juga hari-hari sebelumnya, Pedro, si pria tua itu, muncul belakangan. Dengan tongkat di tangan. Yang diketuk-ketuknya perlahan-lahan ketika ia berjalan. Tanpa tongkat itu pun ia sebenarnya masih bisa bertahan. Tongkat dari kayu ek itu lebih hanya sebagai teman. Yang membuat langkahnya terasa lebih ringan.

“Buenos dias, Elena,” katanya begitu tiba. Tanpa menunggu jawaban, ia duduk di sebelah si wanita.

“Buenos dias,” Elena tersenyum sumringah. Kesejukan di hatinya singgah. Di dadanya rasa nyaman merambah. Sisa-sisa api cinta berpendar-pendar di matanya yang cerah.

“Kau sehat?” si pria bertanya, seperti coba mencari topik pembicaraan di sore yang juga cerah.

“Seperti yang kau lihat. Sejak dulu matamu selalu bagus, bukan?” si wanita menjawab. Tanpa menoleh.

Sepasang muda-mudi kemudian duduk di kursi di depan di seberang mereka. Dengan es krim di tangan mereka. Si pemudi menyodorkan es krim di tangannya ke mulut si pemuda. Si pemuda menyodorkan es krim di tangannya ke mulut si pemudi. Lalu, keduanya bersama-sama menggigit es krim di tangan si pemudi dalam waktu bersamaan. Lalu mereka tertawa-tawa berkakakan. Mereka seolah cuma ada berduaan. Mereka tak peduli dengan pejalan kaki yang berseliweran.

Si wanita tersenyum. Si pria tersenyum. Keduanya teringat masa-masa lalu yang indah di Plaza Montjuic di bawah tempias air mancur yang meloncat-loncat seiring dentuman drum dari simfoni-simfoni klasik gubahan Beethoven entah berapa waktu lalu. Ketika cinta tengah membuat mereka mabuk. Ketika saling memberi dan menerima merasuk.

“Kau masih ingat ketika itu aku meringis, bukan?” si wanita menoleh.

“Ya, katamu gigimu sedang sakit. Bukankah kau sakit gigi waktu itu?”

“Bukan sakit gigi. Sariawan membuat gusiku peka.”

Kenangan-kenangan indah bermunculan susul-menyusul memenuhi benak mereka manakala mereka tengah duduk berdua seperti sekarang ini. Selain Nou Camp, sudut-sudut Plaza Montjuic jadi saksi abadi keabadian cinta mereka. Cinta yang tak lekang oleh waktu dan perubahan. Ketika mereka saling memagut dalam alunan cinta yang kian bertaut. Ketika kelana cinta mereka menari-nari dalam sinar mercury yang remang. Saat itu mereka yakin takkan ada yang mampu memutus tali dan jalinan kasih mereka, setelah setetes benih juga tersemaikan dalam sebuah romantisme kasih tak terperi.

Tapi, takdir itu kemudian datang memisahkan mereka. Elena harus menikah dengan pria lain pilihan ayahnya. Tak pernah terbayangkan hal itu dapat terjadi. Demi sebuah bisnis keluarga, Elena, si wanita terkasih, disujudkan kepada laki-laki yang tak dicintainya. Dan keduanya pun kemudian berpisah dalam dekap penuh tangis di sebuah kamar hotel tua di sisi pedestrian Las Ramblas ini. Wajah mereka basah oleh air mata dan tetes-tetes cinta.

Hampir dua puluh delapan tahun peristiwa itu berlalu. Dan kini alam mempertemukan keduanya kembali. Dalam tubuh yang renta, cinta mereka tetap bergelora. Dalam tubuh renta mereka, api kasih masih panas membara. Masa tak mampu memupus dan memudarkan hasrat mereka untuk tetap bersama. Api cinta mereka memang terpendam. Tapi tak pernah padam. Cinta mereka memang terbelenggu. Tapi kasih mereka tak dilekangkan oleh perubahan dan waktu.

“Kau mencintai istrimu, Pedro?” si wanita bertanya.

Si pria menoleh. Inilah untuk pertama kalinya pertanyaan seperti itu meluncur. Setelah sekian lama mereka kerap bertemu dan saling mencurahkan isi hati yang pernah hancur. Haruskah aku menjawabnya secara jujur? Si pria bertanya dalam hati. Jika aku berkata jujur, apakah hatinya takkan hancur? Ia kembali mengetuk hatinya dengan pertanyaan penuh keraguan.

“Almarhumah istriku?” ia mencoba mengulur. Sambil coba mencari jawaban yang paling tepat. Yang takkan melukai hati si wanita di sisinya. Wanita yang dulu selalu hadir dalam mimpi-mimpinya.

Si wanita menoleh. Melemparkan senyum. Dengan bibir yang masih tampak ranum. Setidaknya di mata si pria yang kian rabun. Tapi, senyuman itu sekaligus membuat si pria gelisah. Membuat hatinya resah. Dan ia merasa keringat telah membuat telapak tangannya basah. Embusan angin membuat hatinya makin galau. Di dadanya menggumpal rasa risau. Pedihnya seperti tertusuk-tusuk sejuta pisau.

“Setidaknya aku punya anak dari Evita,” suaranya parau. “Aku mencintai anak-anakku. Pablo dan Javier.” Ia diam sejenak. Sesuatu seperti membuat tenggorokannya tersedak. Ketika ia melirik si wanita, ia melihat angin membuat rambut si wanita tersibak. Dan ia seperti menunggu. “Apakah, apakah kau mencintai suamimu?” ia bertanya setelah mengumpulkan segenap keberanian.

Si wanita tertawa kecil. Suaranya agak menggigil.

“Mengapa kau tertawa, Elena?” si pria bertanya.

“Seperti kau, dari Enrique aku punya Julia.”

“Dan Raul.”

“Kau tak ingin mengatakan Raul sebagai anakmu?”

Si pria tak segera menjawab. Seolah ingin membiarkan pertanyaan itu menguap.

“Kau masih mendengarkan aku, Pedro?”

“Ya,” tenggorokan si pria terasa kian tercekat. “Raul mungkin darah dagingku. Tapi ia anakmu dan Enrique.”

Malam merayap naik. Udara dingin kian terasa menusuk tubuh mereka yang renta.

“Aku pulang dulu, Elena,” kata si pria mendahului setelah seorang pemuda meluncur di depannya dengan sepatu roda di kakinya.

Elena bangkit. Pedro pun bangkit. Ia mengecup kening si wanita. Lalu melangkah ke arah utara. Si wanita melangkah ke selatan, ke Plaza de Catalunia.

HARI berikutnya, keduanya bertemu di Plaza de Toros La Monumental de Barcelona, sebuah bangunan tua yang tetap terawat dengan sangat baik. Keduanya memang selalu menyukai aksi para torero dan matador membunuh banteng.

“Kudengar makin banyak yang menentang pertunjukan seperti ini,” kata si pria ketika keduanya duduk di kursi dari kayu tua di barreras. “Kelihatannya memang tak manusiawi. Tapi alam diciptakan Tuhan untuk manusia. Makhluk-makhluk lain adalah pelengkap. Mereka harus menjadi bagian yang membahagiakan manusia.”

“Itu katamu,” si wanita menyunggingkan senyum ketika para paseillo memasuki arena dan melambaikan tangan mereka kepada para penonton. Sejak kecil, si wanita selalu dibuat kagum oleh pakaian para torero yang berwarna-warni. “Mereka, para pencinta lingkungan dan binatang, menginginkan semua makhluk hidup, hidup berdampingan secara damai.”

“Tapi ini tradisi kita,” si pria membantah.

“Aku tahu. Dan kita ke sini bukan untuk berbantah-bantahan, bukan? Kita ke sini untuk menonton.”

Si pria terperangah oleh suara si wanita yang terdengar getas. Ia masih seperti dulu, si pria membatin. Ia ingat ketika pertama kali memasuki La Monumental de Barcelona sebagai sepasang kekasih. Elena menolak duduk di barreras karena harga tiketnya mahal. Ia lebih suka duduk di gradas. Tiketnya paling murah. “Kalau kau mau duduk di sana, silakan kau duduk sendiri. Aku mau kita di gradas,” katanya ketika itu. Buru-buru si pria meraih tangan kanan si wanita dengan tangan kirinya. Menggenggamnya erat-erat. Seperti tak ingin terlepas.

Seorang novilladas memasuki arena. Siap memulai pertunjukan. Tepuk tangan kecil terdengar. Begitulah selalu nasib para matador pemula. Ia harus lebih dulu mempertontonkan kecekatannya menguasai seekor banteng sebelum kemudian diakui menjadi torero dan akhirnya setelah kemampuannya teruji, menjadi matador sesungguhnya.

“Siapa matador kesukaanmu sekarang?” si pria berdehem sesaat kemudian.

“Seperti cintaku padamu, sampai sekarang aku masih lebih menyukai Pedro Romero.”

“Tapi ia telah tiada.”

“Karena itu, hari ini aku ingin melihat aksi Enrique Ponce.”

“Enrique?”

Si wanita menoleh. Tersenyum penuh arti.

“Jangan seperti anak kecil, querido mio. Tak ada hubungannya dengan Enrique almarhum suamiku. Aku menyukainya karena kehebatannya, bukan karena namanya. Saat ini tak ada Enrique dalam batinku.”

Enrique Ponce memasuki arena. Ia akan memuncaki pertunjukan siang itu. Tepuk tangan membahana ketika ia keluar dari puerta grande. Tepuk tangan kian membahana ketika seekor banteng besar seberat 360 kg dihadapkan kepadanya. Dan, ia tak perlu berlama-lama untuk menancapkan estoque-nya melalui leher bagian atas si banteng yang kemudian perlahan-lahan seperti bersujud di hadapan sang matador.

“Ia seperti memiliki mata malaikat,” si wanita berkata, seperti mendesah.

“Ia memang luar biasa. Suatu saat ia mungkin bisa seperti Pedro Romero, sang legendaris itu,” sambung si pria.

Kini keduanya duduk di sebuah kursi panjang terbuat dari besi di sisi jalan tak jauh dari Plaza de Toros. Matahari bersinar amat cerah. Langit tampak kebiruan.

“Aku tak ingin semua ini segera berakhir,” si pria berkata, ditingkahi suara burung-burung hoopoe dari kejauhan.

“Tapi hidup ada batasnya,” sahut si wanita seiring desiran dedaunan pohon palem yang ditiup angin.

“Kau ingin kita menyudahi semuanya, Elena?”

Tak terdengar sahutan. Mata si wanita menatap ke kejauhan. Di sana tampak empat pria tua asyik bermain petanque, yaitu permainan melempar besi berbentuk bulat seperti bola lontar martil.

“Kau ingin aku menikahimu?” si pria kembali bertanya.

Si wanita meringis.

“Akan menjadi pernikahan yang menarik,” ia mendesah beberapa saat kemudian. “Tapi Raul tak ingin hal itu terjadi.”

Si pria tampak terperanjat.

“Sudah kau ceritakan siapa aku kepadanya?” si pria bertanya. Menduga-duga. Rasa galau berloncatan di dadanya.

“Tidak seperti yang mungkin kau sangka. Baginya, kau cinta pertamaku. Ia tahu apa itu artinya.”

“Tapi, kenapa ia tak setuju kita menikah?”

Tak segera terdengar sahutan.

“Aku tak ingin tahu alasannya. Aku cuma tahu ia tak setuju.”

Lama keduanya terdiam.

Hening menyungkup kamar itu. Si pria duduk memandang si wanita. Ada gelora cinta. Menggemuruhi dada keduanya.

“Kau masih secantik dulu,” katanya lebih mirip desahan. Suaranya agak tertahan. “Cintaku tak pernah dilekangkan oleh zaman.”

Setetes air bening menetes di mata si wanita. Tak ada luncuran kata. Ia tetap diam tanpa suara, beberapa lama. Tapi di dadanya kebahagiaan melanda.

Si pria berdiri. Melangkah perlahan menghampiri. Si wanita duduk diam menanti. Dadanya berdegup tiada henti.

Beberapa lama si pria dan si wanita duduk dalam diam. Keheningan mencekam. Tapi gemuruh cinta di dada keduanya berdentam-dentam.

Lalu, ruangan itu gelap. Dalam gelap, si pria menatap bebukitan tandus tapi memberinya gairah meluap. Si wanita tergagap. Dalam gagap ia menemukan sepucuk tunas tumbuh. Gairah di dadanya pun meletup. Jantungnya kian kencang berdegup.

Dalam kepasrahan ia membiarkan si pria pergi. Mendaki. Mendaki dan mendaki. Sampai kemudian semuanya berhenti. Dalam sunyi abadi.

Raul, Julia, Pablo, dan Javier berdiri berjajar. Dengan baju serba hitam. Di hadapan mereka berjajar dua tubuh dalam diam. Dalam peti berbalut kain hitam. Sebentar lagi prosesi pemakaman dilakukan.

“Aku minta maaf atas semua yang telah terjadi,” kata Pablo. Kalimat itu ia tujukan buat Raul dan Julia.

“Tak ada yang perlu dimaafkan. Tak ada yang dapat dipersalahkan,” kata Raul dengan wajah tetap tertunduk.

“Mereka pergi membawa cinta abadi mereka,” kata Julia lirih.

Tak ada yang menyahut lagi.*

Jakarta, Februari 2004

Catatan:

Como estas, hoy? Apa kabarmu?
Bien. Muy bien, baik, baik sekali.
Pesetas, nama mata uang Spanyol.
Una hija. Muy bonita, seorang anak perempuan. Cantik sekali.
Por que? Kenapa?
Torero, sebutan umum untuk matador. Matador, bintang dalam pertunjukan matador. Tingkatannya di atas torero.
La Liga, divisi utama Liga Spanyol.
El Merengues, julukan klub sepak bola Real Madrid.
Nou Camp atau Camp Nou, kandang klub sepak bola Barcelona.
El Barca (baca El Barsa), julukan klub Barcelona.
Buenas noches. Hasta luego, selamat malam, sampai jumpa.
Te amo, aku cinta padamu.
Mi, tambien, aku juga.
Buenos dias, selamat siang.
Plaza de Toros, tempat pertunjukan matador.
Paseillo, parade para matador sebelum pertunjukan.
Barreras, kursi terdepan (termahal).
Novilladas, matador pemula.
Gradas,tempat duduk paling tinggi.
Querido mio, sayangku (My dear).
Puerta grande, pintu utama.

1) Barcelona kalah 0-1 dari Liverpool dalam pertandingan semifinal Piala UEFA second leg pada 30 Maret 1976.



Aba Mardjani

No comments: