Tuesday, 15 February 2011

KASIR KITA

KASIR KITA

Monolog Arifin C Noer




Setting :

Ruang tengah dari sebuah ruang yang cukup menyenangkan, buat suatu keluarga yang
tidak begitu rakus. Lumayan keadaannya, sebab lumayan pula penghasilan si
pemiliknya. Sebagai seorang kasir di sebuah kantor dagang yang lumayan pula
besarnya. Kasir kita itu bernama :

Misbach Jazuli

Sandiwara ini ditulis khusus untuk latihan bermain. Sebab itu sangat sederhana
sekali. Dan sangat kecil sekali. Dan sandiwara ini kita mulai pada suatu pagi.
Mestinya pada suatu pagi itu ia sudah duduk dekat kasregisternya di kantornya,
tapi pagi itu ia masih berada di ruang tengahnya, kelihatan lesu seperti
wajahnya.

Tas sudah dijinjingnya dan ia sudah melangkah hendak pergi. Tapi urung lagi
untuk yang kesekian kalinya. Dia bersiul sumbang untuk mengatasi kegelisahannya.
Tapi tak berhasil.
Saudara-saudara yang terhormat. Sungguh sayang sekali, sandiwara yang saya
mainkan ini sangat lemah sekali. Pengarangnya menerangkan bahwa kelemahannya,
maksud saya kelemahan cerita ini disebabkan ia sendiri belum pernah mengalaminya;
ini. Ya, betapa tidak saudara? Sangat susah.

Diletakkannya tasnya

Saya sangat susah sekali sebab istri saya sangat cantik sekali. Kecantikannya
itulah yang menyebabkan saya jadi susah dan hampir gila. Sungguh mati, saudara.
Dia sangat cantik sekali. Sangat jarang Tuhan menciptakan perempuan cantik.
Disengaja. Sebab perempuan-perempuan jenis itu hanya menyusahkan dunia. Luar
biasa, saudara. Bukan main cantiknya istri saya itu. Hampir-hampir saya sendiri
tidak percaya bahwa dia itu istri saya.

Saya berani sumpah! Dulu sebelum dia menjadi istri saya tatkala saya bertemu
pandang pertama kalinya disuatu pesta berkata saya dalam hati : maulah saya
meyobek telinga kiri saya dan saya berikan padanya sebagai mas kawin kalau suatu
saat nanti ia mau menjadi istri saya. Tuhan Maha Pemurah. Kemauan Tuhan
selamanya sulit diterka. Sedikit banyak rupanya suka akan surpraise.

Buktinya? Meskipun telinga saya masih utuh, toh saya telah berumah tangga dengan
Supraba selama lima tahun lebih.

Aduh cantiknya.

Saya berani mempertaruhkan kepala saya bahwa bidadari itu akan tetap bidadari
walaupun ia telah melahirkan anak saya yang nomer dua, saya hampir tidak percaya
pada apa yang saya lihat. Tubuh yang terbaring itu masih sedemikian utuhnya.
Caaaaannnnttiiik.

Ah kata cantikpun tak dapat pula untuk menyebutkan keajaibannya. Cobalah.
Seandainya suatu ketika gadis-gadis sekolah berkumpul dan istri saya berada
diantara mereka, saya yakin, saudara-saudara pasti memilih istri saya, biarpun
saudara tahu bahwa dia seorang janda.

Lesu.

Ya, saudara. Kami telah bercerai dua bulan lalu. Inilah kebodohan sejati dari
seorang lelaki. Kalau saja amarah itu tak datang dalam kepala, tak mungkin saya
akan sebodoh itu menceraikan perempuan ajaib itu.

Semua orang yang waras akan menyesali perbuatan saya, kecuali para koruptor,
sebab mereka tak mampu lagi menyaksikan harmoni dalam hidup ini. Padahal harmoni
adalah keindahan itu sendiri. Dan istri saya, harmonis dalam segala hal.
Sempurna.

Menarik napas.

Bau parfumnya! Baunya! Seribu bunga sedap malam di kala malam, seribu melati di
suatu pagi. Segar, segar!

Telepon berdering.

Itu dia! Sebentar (ragu-ragu)

Selama seminggu ini setiap pagi ia selalu menelpon. Selalu ditanyakannya :”Sarapan
apa kau, mas” Kemarin saya menjawab :”Nasi putih dengan goreng otak sapi”

Pagi ini saya akan menjawab .....

Mengangkat gagang telepon

Misbach Jazuli disini. Hallo? Hallo! Halloooo!

Meletakkan pesawat telepon

Salah sambung. Gilaa! Saya marah sekali. Penelpon itu tak tahu perasaan sama
sekali.

Tiba-tiba

Oh ya! Jam berapa sekarang?

Gugup melihat arloji

Tepat! Delapan seperempat. Saya telah terlambat tiga perempat jam. Maaf saya
harus ke kantor. Lain kali kita sambung cerita ini atau datanglah ke kantor saya,
PT Dwi Warna di jalan Merdeka. Tanyakan saja disana nama saya, kasir Jazuli.
Maaf. Sampai ketemu.

Melangkah cepat. Sampai di pintu sebentar ia ragu. Tapi kemudian ia terus juga.

Agak lama, kasir kita masuk lagi dengan lesu.

Mudah mudahan perdagangan internasional dan perdagangan nasional tidak terganggu
meskipun hari ini saya telah memutuskan tidak masuk kantor.

Tidak, saudara! Saudara tidak bisa seenaknya mencap saya punya bakat pemalas.
Saudara bisa bertanya kepada pak Sukandar kepala saya, tentang diri Misbah
Jazuli.

Tentu pak Sukandar segera mencari kata-kata yang terbaik untuk menghormati
kerajinan dan kecermatan saya. Kalau saudara mau percaya, hari inilah hari
pertama saya membolos sejak enam tahun lebih saya bekerja di PT Dwi Warna.

Seperti saudara saksikan sendiri badan saya sedemikian lesunya, bukan? Tuhanku!
Ya, hanya Tuhanlah yang tahu apa yang terjadi dalam diri saya. Saya rindu pada
istri saya dan sedang ditimpa rasa penyesalan dan saya takut masuk kantor
berhubung pertanggung jawaban keuangan....

Telepon berdering.

Sekarang pasti dia! (Menuju pesawat telepon)

Saya sendiri tidak tahu kenapa selama seminggu ini ia selalu menelpon saya.

Apa mungkin ia mengajak rukun dan rujuk kembali...tak tahulah saya. Saya sendiri
pun terus mengharap ia kembali dan, tapi tidak! Saya tak boleh menghina diri
sendiri begitu bodoh! Bukan saya yang salah. Dia yang salah. Yang menyebabkan
peristiwa perceraian ini bukan saya tapi dia. Dia yang salah. Sebab itu dia yang
selayaknya minta maaf pada saya. Ya, dia harus minta maaf.

Toch saya laki-laki berharga : saya punya penghasilan yang cukup.

Laki-laki gampang saja menarik perempuan sekalipun sudah sepuluh kali beristri.
Pandang perempuan dengan pasti, air muka disegarkan dengan sedikit senyum, dan
suatu saat berpura-pura berpikir menimbang kecantikannya dan kemudian pandang
lagi, dan pandang lagi, dan jangan sekali kali kasar, wajah lembut seperti waktu
kita berdoa dan kalau perempuan itu menundukkan kepalanya berarti laso kita
telah menjerat lehernya. Beres!

Nah, saya cukup punya martabat, bukan? Dan lagi dia yang salah! Ingat, dia yang
salah. Nah, saudara tentu sudah tahu tentang sifat saya. Saya sombong seperti
umumnya laki-laki dan kesombongan saya mungkin juga karena sedikit rasa rendah
diri, tidak! Bukankah saya punya tampang tidak begitu jelek?

Telepon berdering lagi.

Pasti isteri saya (Menarik napas panjang)

Saya telah mencium bau bedaknya. Demikian wanginya sehingga saya yakin kulitnya
yang menyebabkan bedak itu wangi. Oh, apa yang sebaiknya saya katakan?

Tidak! Saya harus tahu harga diri. Kalau dia ku maafkan niscaya akan semakin
kurang ajar. Saudara tahu? Mengapa semua ini bisa terjadi? Oh, kecantikan itu!
Ah! Bangsat! Selama ini saya diusiknya dengan perasaan-perasaan yang gila.
Bangsat!

Saudara tahu? Dia telah berhubungan lagi dengan pacarnya ketika di SMA! Ya,
memang saya tidak tahu benar, betul tidaknya prasangka itu. Tapi cobalah
bayangkan betapa besar perasaan saya. Suatu hari secara kebetulan saya pulang
dari kantor lebih cepat dari biasanya dan apa yang saya dapati? Laki-laki itu
ada di sini dan sedang tertawa-tawa. Dengar! Tertawa-tawa. Ya, Tuhan. Cemburuku
mulai menyerang lagi. Perasaan cemburu yang luar biasa.

Telepon berdering lagi.

Pasti dia.

Mengangkat gagang telepon.

Misbach Jazuli di sini, hallo?

Segera menjauhkan pesawat telepon dari telinganya.

Inilah ular yang menggoda Adam dahulu. Perempuan itu menelepon dalam keadaan aku
begini. Jahanam! (kasar) Ya, saya Jazuli, ada apa? Nanti dulu. Jangan dulu kau
memakai kata-kata cinta yang membuat kaki gemetar itu! Dengar dulu! Apa
perempuan biadap! Kau telah menghancurkan kejujuranku! Dengarkan! Kau telah
menghancurkan kejujuranku! Dengarkan! Kau telah menyebabkan semuanya semakin
berantakan dan membuat aku gelisah dan takut seperti buronan!

Meletakkan pesawat dengan marah.

Betapa saya marah. Sesudah beberapa puluh juta uang kantor saya pakai berpoya-poya,
apakah ia mengharap saya mengangkat lemari besi itu ke rumahnya. Gila!

Ya, saudara. Saya telah berhubungan dengan seorang perempuan, beberapa hari
setelah saya bertengkar di pengadilan agama itu. Saya tertipu. Uang saya ludes,
uang kantor ludes. Tapi saya masih bisa bersyukur sebab lumpur itu baru mengenai
betis saya. Setengah bulan yang lalu saya terjaga dari mimpi edan itu. Betapa
saya terkejut, waktu menghitung beberapa juta uang kantor katut. Dan sejak
itulah saya ingat isteri saya. Dan saya mendengar tangis anak-anak saya.
Tambahan lagi isteri saya selalu menelepon sejak seminggu belakangan ini.

Tuhanku! Bulan ini bulan Desember, beberapa hari lagi kantor saya mengadakan
stock opname. Inilah penderitaan itu.

Memandang potret di atas rak buku.

Sejak seminggu yang lalu saya pegang lagi potret itu. Tuhan, apakah saya mesti
menjadi penyair untuk mengutarakan sengsara badan dan sengsara jiwa ini?

Apabila anak-anak telah tidur semua, dia duduk di sini di samping saya. Dia
membuka-buka majalah dan saya membaca surat kabar. Pabila suatu saat mata kami
bertemu maka kami pun sama-sama tersenyum. Lalu saya berkata lembut : “Manis,
kau belum mengantuk?” Wajahnya yang mentakjubkan itu menggeleng-geleng indah dan
manis sekali. Dia berkata, juga dengan lembut : “Aku hanya menunggu kau, mas”
Saya tersenyum dan saya berkata lagi : “Aku hanya membaca koran, manis” Dan lalu
ia berkata : “ Aku akan menunggui kau membaca koran, mas” Kemudian kami pun sama-sama
tersenyum bagai merpati jantan dan betina.

Kubelai rambutnya yang halus mulus itu. Duuh wanginya. Nyamannya. Lautan minyak
wangi yang memingsankan dan membius sukma. Apabila dia berkata seraya menengadah
“Mas”. Maka segera kupadamkan lampu di sini dan lewat jendela kaca kami
menyaksikan pekarangan dengan bunga-bunga yang kabur, dan langit biru bening
dimana purnama yang kuning telor ayam itu merangkak-rangkak dari ranting
keranting.

Tiba-tiba ganti nada.

Hah, saya baru saja telah menjadi penyair cengeng untuk mengenang semua itu.
Tidak-tidak! Laki-laku itu ............, sebentar. Saya belum menelepon ke
kantor bukan ? Sebentar.

Diangkatnya pesawat telepon itu ! memutar nomornya.

Hallo, minta 1237 utara. Hallo ! ....... Saudara Anief ... ? Kebetulan .... Ya,
ya, mungkin pula influenza. (batuk-batuk-dan menyedot hidungnya) Yang pasti
batuk dan pilek. Saudara....ya?....Ya, ya saudara Anief, saya akan merasa senang
sekali kalau saudara sudi memintakan pamit saya kepada pak Sukandar....Terima
kasih...Ya? Apa? Saudara bertemu dengan isteri saya disebuah restoran?

Nada suaranya naik.

Apa? Dengan laki-laki? (menahan amarahnya) Tentu saja saya tidak boleh marah,
saudara. Dia bukan istri saya. Ya, ya...Hallo! Ya, jangan lupa pesan saya pada
pak Sukandar.

(batuk dan menyedot hidungnya lagi) Saya sakit. Ya, pilek. Terima kasih.

Meletakan pesawat telepon.

Seharusnya saya tak boleh marah. Bukankah dia bukan isteri saya lagi? Ah,
persetan : pokoknya saya marah! Persetan : cemburuan kumat lagi? Ah, persetan!
Saudara bisa mengira apa yang terdapat dalam hati saya. Saudara tahu apa yang
ingin saya katakan pada saudara? Saya hanya butuh satu barang, saudara. Ya,
benar-benar saya butuh pistol, saudara. Pistol. Saya akan bunuh mereka sekaligus.
Kepala mereka cukup besar untuk menjaga agar peluru saya tidak meleset dari
pelipisnya.

Nafasnya sudah kacau.

Kalau mayat-mayat itu sudah tergeletak di lantai, apakah saudara pikir saya akan
membidikkan pistol itu ke kening saya? Oh, tidak! Dunia dan hidup tidak selebar
daun kelor, saudara! Sebagai orang yang jujur dan jangan lupa saya adalah
seorang ksatria dan sportif, maka tentu saja secara jantan saya akan menghadap
dan menyerahkan diri pada pos polisi yang terdekat dan berkata dengan bangga dan
herooik : “Pak saya telah menembak Pronocitra dan Roro Mendut.”

Tentu polisi itu akan tersenyum. Dan kagum campur haru. Dan bukan tidak mungkin
ia akan memberi saya segelas teh. Dan baru setelah itu membawa saya ke dalam
sebuah sel yang pengap.

Hari selanjutnya saya akan diperiksa. Ya, diperiksa. Lalu diadili. Ya, diadili.
Saudara tahu apa yang hendak saya katakan pada hakim? Kepada hakim, kepada jaksa,
kepada panitera dan kepada seluruh hadirin akan saya katakan bahwa mereka
pengganggu masyarakat maka sudah sepatutnya dikirim ke neraka jahanam. Bukankah
bumi ini bumi Indonesia yang ketentramannya harus dijaga oleh setiap warganya?

Saudara pasti tahu seperti saya pun tahu hakim yang botak itu akan berkata
seraya menjatuhkan palunya : “Seumur hidup di Nusa Kambangan!”

Pikir saudara saya akan pingsan mendengar vonis semacam itu? Ooo, tidak saudara.
Saya akan tetap percaya pada Tuhan. Tuhan lebih tahu daripada Hakim yang botak
dan berkaca mata itu.

Lagi pula saya sudah siap untuk dibawa ke Nusa Kambangan. Di pulau itu saya
hanya akan membutuhkan beberapa rim kertas dan pulpen. Ya, saudara. Saya akan
menjadi pengarang. Saya akan menulis riwayat hidup saya dan proses pembunuhan
itu yang sebenarnya, sehingga dunia akan sama membacanya. Saya yakin dunia akan
mengerti letak soal yang sejati. Dunia akan menangis. Perempuan-perempuan akan
meratap.

Dan seluruh warga bumi ini akan berkabung sebab telah berbuat salah menghukum
seseorang yang tak bersalah. Juga saya yakin hakim itu akan mengelus-elus
botaknya dan akan mengucurkan air matanya sebab menyesal dan niscaya dia akan
membuang palunya ke luar. Itulah rancangan saya.

Saya sudah berketetapan hati. Saya sudah siap betul-betul sekarang. Siap dan
nekad. Ooo, nanti dulu. Saya ingat sekarang. Saya belum punya pistol. Dimana
saya bisa mendapatkannya? Inilah perasaan seorang pembunuh. Dendam dendam yang
cukup padat seperti padatnya kertas petasan. Dahsyat letusannya. Saya ingat
Sherlocks Holmes sekarang. Agatha Christi, Edgar Allan Poe. Sekarang saya insaf.
Siapapun tidak boleh mencibirkan segenap pembunuh. Sebab saya kini percaya ada
berbagai pembunuh di atas dunia ini. Dan yang ada di hadapan saudara, ini bukan
pembunuh sembarang pembunuh. Jenis pembunuh ini adalah jenis pembunuh asmara.

Nah, saya telah mendapatkan judul karangan itu.

“Pembunuh Asmara” Lihatlah dunia telah berubah hanya dalam tempo beberapa
anggukan kepala. Persetan! Dimana pistol itu dapat saya beli? Apakah saya harus
terbang dulu ke Amerika, ke Dallas? Tentu saja tidak mungkin. Sebab itu berarti
memberikan mereka waktu untuk melarikan diri sebelum kubekuk lehernya.

Oh, betapa marah saya. Darah seperti akan meledakan kepala saya. Betapa! Sampai-sampai
saya ingin menyobek dada ini. Oh,...saya sekarang merasa bersahabat dengan
Othello. Saudara tentu kenal dia, bukan? Dia adalah tokoh pencemburu dalam
sebuah drama Shakespeare yang terkenal.

Othello. Dia bangsa Moor sedang saya bangsa Indonesia, namun sengsara dan
senasib akibat kejahilan cantiknya anak cucu Hawa.

Telepon berdering! Seperti seekor harimau ia!

Itu dia.

Mengangkat pesawat telepon dengan kasar.

Hallo!!! Ya, disini Jazuli !! Kasir !! Ada apa?

Tiba-tiba berubah.

Oh,...maaf pak. Pak Sukandar, kepala saya. Maaf, pak. Saya kira isteri saya.
Saya baru saja marah-marah...Ya, ya memang saya...Ya, ya.

Tertawa.

Ya, pak...

Batuk-batuk. Menyedot hidungnya.

Influenza... Ya, mudah-mudahan..Ya, pak....Ya.

Saudara, dengarlah. Dia mengharap saya besok masuk kantor untuk pemberesan
keuangan....Ya?..Insya Allah, pak..Ada pegawai baru?..Siapa, pak? Istri saya,
pak?

Tertawa.

Ya, pak...

Batuk-batuk dan menyedot hidungnya.

Ya, pak. Terima kasih. Terima kasih, pak. Besok.

Meletakan pesawat telepon.

Persetan! Saya yakin istri saya pasti kehabisan uang sekarang. Apakah saya mesti
mengasihani dia? Tidak! Saya mesti membunuhnya.

Seakan menusukkan pisau.

Singa betina! Ya, sebaiknya dengan pisau saja, pisau.

Telepon berdering.

Persetan! Sekarang pasti dia.

Mengangkat telepon.

Kasir disini! Kasir PT Dwi Warna! Apa lagi! Jahanam! Ular betina yang telah
menjadikan aku koruptor itu! Jangan bicara apa-apa! Tutup mulutmu! Mulutmu bau
busuk! Aku bisa mati mendengar kata-katamu lewat telepon! Cari saja laki-laki
lain yang hidungnya besar. Penggoda bah! Cari yang lain! Toch kau seorang
petualang!

Meletakan pesawat telepon.

Jahanam! Apakah saya mesti membunuh tiga orang sekaligus dalam seketika? O, ya.
Tadi saya sudah memikirkan pisau. Ya, pisaupun cukup untuk menghentikan jantung
mereka berdenyut. (geram). Sayang sekali. Pengarang sandiwara ini bukan seorang
pembunuh sehingga hambarlah cerita ini.

Tapi tak apa. Toch saya sudah cukup marah untuk membunuh mereka. Namun sebaiknya
saya maki-maki dulu alisnya yang nista itu. Saya harus meneleponnya!

Mengangkat telepon.

Kemana saya harus menelepon? Tidak! (meletakan telepon)

Lebih baik saya rancangkan dulu secara masak-masak semuanya sekarang. Demi Allah,
saudara mesti mengerti perasaan saya. Bilanglah pada isteri saudara-saudara : “Manis,
jagalah perasaan suamimu, supaya jangan bernasib seperti Jazuli.”

Ya, memang saya adalah laki-laki yang malang. Tapi semuanya sudah terlanjur.
Sayapun telah siap. Dengan menyesal sekali saya akan menjadi seorang pembunuh
dalam sandiwara ini.

Seperti mendengar telepon berdering.

Hallo? Jazuli disini. Jazuli (sadar)

Saya kira berdering telepon tadi. Nah, saudara bisa melihat keadaan saya
sekarang. Mata saya betul-betul gelap. Telinga saya betul-betul pekak. Saya
tidak bisa lagi membedakan telepon itu berdering atau tidak. Artinya sudah cukup
masak mental saya sebagai seorang pembunuh.

Tapi seorang pembunuh yang baik senantiasa merancangkan pekerjaan dengan baik
pula seperti halnya seorang kasir yang baik. Mula-mula, nanti malam tentu, saya
masuki halaman rumahnya. Saya berani mempertaruhkan separuh nyawa saya, pasti
laki-laki itu ada disana. Dalam cahaya bulan yang diterangi kabut : ..Saya
bayangkan begitulah suasananya.

Bulan berkabut, udara beku oleh dendam, sementara belati telah siap tersembunyi
di pinggang dalam kemeja, saya ketok pintu serambinya.

Mereka pasti terkejut. Lebih-lebih mereka terkejut melihat pandangan mata saya
yang dingin, pandangan mata seorang pembunuh.

Untuk beberapa saat akan saya pandangi saja mereka sehingga badan mereka
bergetaran dan seketika menjadi tua karena ketakutan. Dan sebelum laki-laki itu
sempat mengucapkan kalimatnya yang pertama, pisau telah tertancap di usarnya.
Dan pasti isteri saya menjerit, tapi sebelum jerit itu cukup dapat memanggil
tetangga-tetangga maka belati ini telah bersarang dalam perutnya. Tentu. Saya
akan menarik nafas lega. Kalau mayat-mayat itu telah kaku terkapar di lantai,
saya akan berkata : “Terpaksa. Jangan salahkan saya. Keadilan menuntut balas.”

Tiba-tiba pening di kepala.

Tapi kalau sekonyong-konyong muncul kedua anak saya? Ita dan Imam? Kalau mereka
bertanya : “Pak, ibu kenapa pak? Pak, ibu pak?

Memukul-mukul kepalanya.

Tuhanku!

Duduk.

Dia melamun sekarang. Dua orang anaknya, Ita dan Imam, 5 dan 4 tahun menari-nari
disekelilingnya. Di ruang tengah itu dengan sebuah nyanyian kanak-kanak :
Bungaku.

Saudara-saudara bisa merasakan hal ini? Mereka sangat manisnya. Lihatlah. Saya
tidak bisa lagi marah. Saya pun tak bisa lagi peduli pada apa saja selain kepada
anak-anak yang manis itu. Saya tidak tahu lagi apakah isteri saya cantik apakah
tidak. Saya tidak tahu lagi apakah laki-laki itu jahanam apakah tidak.

Saya hanya tahu anak-anak itu sangat manisnya. Betapa saya ingin melihat lagi
bagaimana mereka tertawa. Tak ada yang lain mutlak harus dipertahankan kecuali
anak-anak itu. Saudara-saudara mengerti maksud saya? Apakah hanya karena cemburu
saya mesti merusak kembang-kembang yang telah bermekaran itu?

Balerina-balerina kecil itu menari bagai malaikat-malaikat kecil.

Semangat hidup yang sejati dan keberanian yang sejati timbul dalam diri begitu
saya ingat Ita dan Imam anak-anak saya. Seakan mereka berkata : “Pak susulah ibu,
pak. Pak, ke kantorlah, pak.”

Ya, Ita. Ya, Imam.

Malaikat-malaikat kecil itu gaib menjelma udara.

Saya harus pergi ke kantor. Akan saya katakan semuanya pada pak Sukandar. Saya
akan mengganti uang itu setelah besok saya jual beberapa barang dalam rumah ini.
Setelah semua beres saya akan mulai lagi hidup dengan tenang dan tawakal kepada
Tuhan. Hari ini hari Jumat, di masjid setelah sembahyang saya akan minta ampun
kepada Allah.

Saya tak mau tahu lagi apakah laki-laki Rahwana atau bukan. Saya tak mau tahu
lagi apakah Sinta itu serong atau tidak. Saya tidak peduli. Tuhan ada dan laki-laki
yang macam itu dan perempuan itu ada dalam hidup saya. Semuanya harus saya
hadapi dengan arif, sebab kalau tidak Indonesia akan hancur berhubung saya
menelantarkan anak-anak saya, Ita dan Imam.

Telepon berdering.

Jahanam! Kalau saudara mau percaya, inilah sundal itu. Setiap kali saya tengah
berpikir begini, jahanam itu menelpon saya.

Telepon berdering lagi.

Jahanam! Inilah sundal itu sesudah uang kantor ludes, apakah ia mengharap rumah
ini dijual.

Mengangkat pesawat telepon.

Ya, Misbach Jazuli

Tersirap darahnya.

Saudara, jantung saya berdebar seperti kala duduk di kursi pengantin. Demi Tuhan,
tak salah ini adalah suara istri saya. Oh saya telah mencium bau bedaknya. Hutan
mawar dan hutan anggrek. Ya, manis. Saya sendiri. Saya yakin dia pun sepikiran
dengan saya. Saya akan mencoba menyingkap kenangan lama.

Hallo?..Tentu...Tentu. kenapa kau tidak menelepon tadi? Ya...ke kantor, bukan?
Memang saya agak flu dan batuk-batuk.

(akan batuk tapi urung) ...Ya, manis. Kau ingat laut, pantai, pasir, tikar,
kulit-kulit kacang..ah, indah sekali bukan?...Tentu...Tentu...He...?...Bagaimana?....Kawin?
Kau?...Segera?

Lihatlah, niat baik selamanya tidak mudah segera terwujud. Apa?...Apa? Ha???
Saudara, gila perempuan itu. Apakah ini bukan suatu penghinaan? Dia mengharap
agar nanti sore saya datang ke rumahnya untuk melihat apakah laki-laki calon
suaminya itu cocok atau tidak baginya. Gila. Hmm, rupanya laki-laki yang dulu
itu cuma iseng saja. Ya, tentu..bisa!

Meletakan pesawat dengan kasar.

Jahanam. Saudara tentu mampu merasakan apa yang saya rasakan. Beginilah, kalau
pengarang sandiwara ini belum pernah mengalami peristiwa ini. Beginilah jadinya.
Saya sendiri pun jadi bingung untuk mengakhiri cerita ini.

(tiba-tiba) Persetan pengarang itu! Jam berapa sekarang? Persetan semuanya! Yang
penting saya akan ke kantor meski sudah siang. Dari kantor saya akan langsung ke
masjid. Dari masjid langsung ke rumah mertua saya. Langsung saya boyong semuanya.
Anak-anak itu menanti saya. Persetan! Sampai ketemu. Selamat siang.

Melangkah seraya menyambar tasnya. Tiba-tiba berhenti. Setelah mengeluarkan sapu
tangan, batuk-batuk dan menyedot hidungnya.

Saya influenza, bukan ?

SELESAI

No comments: