Showing posts with label Monolog. Show all posts
Showing posts with label Monolog. Show all posts

Tuesday, 15 February 2011

KASIR KITA

KASIR KITA

Monolog Arifin C Noer




Setting :

Ruang tengah dari sebuah ruang yang cukup menyenangkan, buat suatu keluarga yang
tidak begitu rakus. Lumayan keadaannya, sebab lumayan pula penghasilan si
pemiliknya. Sebagai seorang kasir di sebuah kantor dagang yang lumayan pula
besarnya. Kasir kita itu bernama :

Misbach Jazuli

Sandiwara ini ditulis khusus untuk latihan bermain. Sebab itu sangat sederhana
sekali. Dan sangat kecil sekali. Dan sandiwara ini kita mulai pada suatu pagi.
Mestinya pada suatu pagi itu ia sudah duduk dekat kasregisternya di kantornya,
tapi pagi itu ia masih berada di ruang tengahnya, kelihatan lesu seperti
wajahnya.

Tas sudah dijinjingnya dan ia sudah melangkah hendak pergi. Tapi urung lagi
untuk yang kesekian kalinya. Dia bersiul sumbang untuk mengatasi kegelisahannya.
Tapi tak berhasil.
Saudara-saudara yang terhormat. Sungguh sayang sekali, sandiwara yang saya
mainkan ini sangat lemah sekali. Pengarangnya menerangkan bahwa kelemahannya,
maksud saya kelemahan cerita ini disebabkan ia sendiri belum pernah mengalaminya;
ini. Ya, betapa tidak saudara? Sangat susah.

Diletakkannya tasnya

Saya sangat susah sekali sebab istri saya sangat cantik sekali. Kecantikannya
itulah yang menyebabkan saya jadi susah dan hampir gila. Sungguh mati, saudara.
Dia sangat cantik sekali. Sangat jarang Tuhan menciptakan perempuan cantik.
Disengaja. Sebab perempuan-perempuan jenis itu hanya menyusahkan dunia. Luar
biasa, saudara. Bukan main cantiknya istri saya itu. Hampir-hampir saya sendiri
tidak percaya bahwa dia itu istri saya.

Saya berani sumpah! Dulu sebelum dia menjadi istri saya tatkala saya bertemu
pandang pertama kalinya disuatu pesta berkata saya dalam hati : maulah saya
meyobek telinga kiri saya dan saya berikan padanya sebagai mas kawin kalau suatu
saat nanti ia mau menjadi istri saya. Tuhan Maha Pemurah. Kemauan Tuhan
selamanya sulit diterka. Sedikit banyak rupanya suka akan surpraise.

Buktinya? Meskipun telinga saya masih utuh, toh saya telah berumah tangga dengan
Supraba selama lima tahun lebih.

Aduh cantiknya.

Saya berani mempertaruhkan kepala saya bahwa bidadari itu akan tetap bidadari
walaupun ia telah melahirkan anak saya yang nomer dua, saya hampir tidak percaya
pada apa yang saya lihat. Tubuh yang terbaring itu masih sedemikian utuhnya.
Caaaaannnnttiiik.

Ah kata cantikpun tak dapat pula untuk menyebutkan keajaibannya. Cobalah.
Seandainya suatu ketika gadis-gadis sekolah berkumpul dan istri saya berada
diantara mereka, saya yakin, saudara-saudara pasti memilih istri saya, biarpun
saudara tahu bahwa dia seorang janda.

Lesu.

Ya, saudara. Kami telah bercerai dua bulan lalu. Inilah kebodohan sejati dari
seorang lelaki. Kalau saja amarah itu tak datang dalam kepala, tak mungkin saya
akan sebodoh itu menceraikan perempuan ajaib itu.

Semua orang yang waras akan menyesali perbuatan saya, kecuali para koruptor,
sebab mereka tak mampu lagi menyaksikan harmoni dalam hidup ini. Padahal harmoni
adalah keindahan itu sendiri. Dan istri saya, harmonis dalam segala hal.
Sempurna.

Menarik napas.

Bau parfumnya! Baunya! Seribu bunga sedap malam di kala malam, seribu melati di
suatu pagi. Segar, segar!

Telepon berdering.

Itu dia! Sebentar (ragu-ragu)

Selama seminggu ini setiap pagi ia selalu menelpon. Selalu ditanyakannya :”Sarapan
apa kau, mas” Kemarin saya menjawab :”Nasi putih dengan goreng otak sapi”

Pagi ini saya akan menjawab .....

Mengangkat gagang telepon

Misbach Jazuli disini. Hallo? Hallo! Halloooo!

Meletakkan pesawat telepon

Salah sambung. Gilaa! Saya marah sekali. Penelpon itu tak tahu perasaan sama
sekali.

Tiba-tiba

Oh ya! Jam berapa sekarang?

Gugup melihat arloji

Tepat! Delapan seperempat. Saya telah terlambat tiga perempat jam. Maaf saya
harus ke kantor. Lain kali kita sambung cerita ini atau datanglah ke kantor saya,
PT Dwi Warna di jalan Merdeka. Tanyakan saja disana nama saya, kasir Jazuli.
Maaf. Sampai ketemu.

Melangkah cepat. Sampai di pintu sebentar ia ragu. Tapi kemudian ia terus juga.

Agak lama, kasir kita masuk lagi dengan lesu.

Mudah mudahan perdagangan internasional dan perdagangan nasional tidak terganggu
meskipun hari ini saya telah memutuskan tidak masuk kantor.

Tidak, saudara! Saudara tidak bisa seenaknya mencap saya punya bakat pemalas.
Saudara bisa bertanya kepada pak Sukandar kepala saya, tentang diri Misbah
Jazuli.

Tentu pak Sukandar segera mencari kata-kata yang terbaik untuk menghormati
kerajinan dan kecermatan saya. Kalau saudara mau percaya, hari inilah hari
pertama saya membolos sejak enam tahun lebih saya bekerja di PT Dwi Warna.

Seperti saudara saksikan sendiri badan saya sedemikian lesunya, bukan? Tuhanku!
Ya, hanya Tuhanlah yang tahu apa yang terjadi dalam diri saya. Saya rindu pada
istri saya dan sedang ditimpa rasa penyesalan dan saya takut masuk kantor
berhubung pertanggung jawaban keuangan....

Telepon berdering.

Sekarang pasti dia! (Menuju pesawat telepon)

Saya sendiri tidak tahu kenapa selama seminggu ini ia selalu menelpon saya.

Apa mungkin ia mengajak rukun dan rujuk kembali...tak tahulah saya. Saya sendiri
pun terus mengharap ia kembali dan, tapi tidak! Saya tak boleh menghina diri
sendiri begitu bodoh! Bukan saya yang salah. Dia yang salah. Yang menyebabkan
peristiwa perceraian ini bukan saya tapi dia. Dia yang salah. Sebab itu dia yang
selayaknya minta maaf pada saya. Ya, dia harus minta maaf.

Toch saya laki-laki berharga : saya punya penghasilan yang cukup.

Laki-laki gampang saja menarik perempuan sekalipun sudah sepuluh kali beristri.
Pandang perempuan dengan pasti, air muka disegarkan dengan sedikit senyum, dan
suatu saat berpura-pura berpikir menimbang kecantikannya dan kemudian pandang
lagi, dan pandang lagi, dan jangan sekali kali kasar, wajah lembut seperti waktu
kita berdoa dan kalau perempuan itu menundukkan kepalanya berarti laso kita
telah menjerat lehernya. Beres!

Nah, saya cukup punya martabat, bukan? Dan lagi dia yang salah! Ingat, dia yang
salah. Nah, saudara tentu sudah tahu tentang sifat saya. Saya sombong seperti
umumnya laki-laki dan kesombongan saya mungkin juga karena sedikit rasa rendah
diri, tidak! Bukankah saya punya tampang tidak begitu jelek?

Telepon berdering lagi.

Pasti isteri saya (Menarik napas panjang)

Saya telah mencium bau bedaknya. Demikian wanginya sehingga saya yakin kulitnya
yang menyebabkan bedak itu wangi. Oh, apa yang sebaiknya saya katakan?

Tidak! Saya harus tahu harga diri. Kalau dia ku maafkan niscaya akan semakin
kurang ajar. Saudara tahu? Mengapa semua ini bisa terjadi? Oh, kecantikan itu!
Ah! Bangsat! Selama ini saya diusiknya dengan perasaan-perasaan yang gila.
Bangsat!

Saudara tahu? Dia telah berhubungan lagi dengan pacarnya ketika di SMA! Ya,
memang saya tidak tahu benar, betul tidaknya prasangka itu. Tapi cobalah
bayangkan betapa besar perasaan saya. Suatu hari secara kebetulan saya pulang
dari kantor lebih cepat dari biasanya dan apa yang saya dapati? Laki-laki itu
ada di sini dan sedang tertawa-tawa. Dengar! Tertawa-tawa. Ya, Tuhan. Cemburuku
mulai menyerang lagi. Perasaan cemburu yang luar biasa.

Telepon berdering lagi.

Pasti dia.

Mengangkat gagang telepon.

Misbach Jazuli di sini, hallo?

Segera menjauhkan pesawat telepon dari telinganya.

Inilah ular yang menggoda Adam dahulu. Perempuan itu menelepon dalam keadaan aku
begini. Jahanam! (kasar) Ya, saya Jazuli, ada apa? Nanti dulu. Jangan dulu kau
memakai kata-kata cinta yang membuat kaki gemetar itu! Dengar dulu! Apa
perempuan biadap! Kau telah menghancurkan kejujuranku! Dengarkan! Kau telah
menghancurkan kejujuranku! Dengarkan! Kau telah menyebabkan semuanya semakin
berantakan dan membuat aku gelisah dan takut seperti buronan!

Meletakkan pesawat dengan marah.

Betapa saya marah. Sesudah beberapa puluh juta uang kantor saya pakai berpoya-poya,
apakah ia mengharap saya mengangkat lemari besi itu ke rumahnya. Gila!

Ya, saudara. Saya telah berhubungan dengan seorang perempuan, beberapa hari
setelah saya bertengkar di pengadilan agama itu. Saya tertipu. Uang saya ludes,
uang kantor ludes. Tapi saya masih bisa bersyukur sebab lumpur itu baru mengenai
betis saya. Setengah bulan yang lalu saya terjaga dari mimpi edan itu. Betapa
saya terkejut, waktu menghitung beberapa juta uang kantor katut. Dan sejak
itulah saya ingat isteri saya. Dan saya mendengar tangis anak-anak saya.
Tambahan lagi isteri saya selalu menelepon sejak seminggu belakangan ini.

Tuhanku! Bulan ini bulan Desember, beberapa hari lagi kantor saya mengadakan
stock opname. Inilah penderitaan itu.

Memandang potret di atas rak buku.

Sejak seminggu yang lalu saya pegang lagi potret itu. Tuhan, apakah saya mesti
menjadi penyair untuk mengutarakan sengsara badan dan sengsara jiwa ini?

Apabila anak-anak telah tidur semua, dia duduk di sini di samping saya. Dia
membuka-buka majalah dan saya membaca surat kabar. Pabila suatu saat mata kami
bertemu maka kami pun sama-sama tersenyum. Lalu saya berkata lembut : “Manis,
kau belum mengantuk?” Wajahnya yang mentakjubkan itu menggeleng-geleng indah dan
manis sekali. Dia berkata, juga dengan lembut : “Aku hanya menunggu kau, mas”
Saya tersenyum dan saya berkata lagi : “Aku hanya membaca koran, manis” Dan lalu
ia berkata : “ Aku akan menunggui kau membaca koran, mas” Kemudian kami pun sama-sama
tersenyum bagai merpati jantan dan betina.

Kubelai rambutnya yang halus mulus itu. Duuh wanginya. Nyamannya. Lautan minyak
wangi yang memingsankan dan membius sukma. Apabila dia berkata seraya menengadah
“Mas”. Maka segera kupadamkan lampu di sini dan lewat jendela kaca kami
menyaksikan pekarangan dengan bunga-bunga yang kabur, dan langit biru bening
dimana purnama yang kuning telor ayam itu merangkak-rangkak dari ranting
keranting.

Tiba-tiba ganti nada.

Hah, saya baru saja telah menjadi penyair cengeng untuk mengenang semua itu.
Tidak-tidak! Laki-laku itu ............, sebentar. Saya belum menelepon ke
kantor bukan ? Sebentar.

Diangkatnya pesawat telepon itu ! memutar nomornya.

Hallo, minta 1237 utara. Hallo ! ....... Saudara Anief ... ? Kebetulan .... Ya,
ya, mungkin pula influenza. (batuk-batuk-dan menyedot hidungnya) Yang pasti
batuk dan pilek. Saudara....ya?....Ya, ya saudara Anief, saya akan merasa senang
sekali kalau saudara sudi memintakan pamit saya kepada pak Sukandar....Terima
kasih...Ya? Apa? Saudara bertemu dengan isteri saya disebuah restoran?

Nada suaranya naik.

Apa? Dengan laki-laki? (menahan amarahnya) Tentu saja saya tidak boleh marah,
saudara. Dia bukan istri saya. Ya, ya...Hallo! Ya, jangan lupa pesan saya pada
pak Sukandar.

(batuk dan menyedot hidungnya lagi) Saya sakit. Ya, pilek. Terima kasih.

Meletakan pesawat telepon.

Seharusnya saya tak boleh marah. Bukankah dia bukan isteri saya lagi? Ah,
persetan : pokoknya saya marah! Persetan : cemburuan kumat lagi? Ah, persetan!
Saudara bisa mengira apa yang terdapat dalam hati saya. Saudara tahu apa yang
ingin saya katakan pada saudara? Saya hanya butuh satu barang, saudara. Ya,
benar-benar saya butuh pistol, saudara. Pistol. Saya akan bunuh mereka sekaligus.
Kepala mereka cukup besar untuk menjaga agar peluru saya tidak meleset dari
pelipisnya.

Nafasnya sudah kacau.

Kalau mayat-mayat itu sudah tergeletak di lantai, apakah saudara pikir saya akan
membidikkan pistol itu ke kening saya? Oh, tidak! Dunia dan hidup tidak selebar
daun kelor, saudara! Sebagai orang yang jujur dan jangan lupa saya adalah
seorang ksatria dan sportif, maka tentu saja secara jantan saya akan menghadap
dan menyerahkan diri pada pos polisi yang terdekat dan berkata dengan bangga dan
herooik : “Pak saya telah menembak Pronocitra dan Roro Mendut.”

Tentu polisi itu akan tersenyum. Dan kagum campur haru. Dan bukan tidak mungkin
ia akan memberi saya segelas teh. Dan baru setelah itu membawa saya ke dalam
sebuah sel yang pengap.

Hari selanjutnya saya akan diperiksa. Ya, diperiksa. Lalu diadili. Ya, diadili.
Saudara tahu apa yang hendak saya katakan pada hakim? Kepada hakim, kepada jaksa,
kepada panitera dan kepada seluruh hadirin akan saya katakan bahwa mereka
pengganggu masyarakat maka sudah sepatutnya dikirim ke neraka jahanam. Bukankah
bumi ini bumi Indonesia yang ketentramannya harus dijaga oleh setiap warganya?

Saudara pasti tahu seperti saya pun tahu hakim yang botak itu akan berkata
seraya menjatuhkan palunya : “Seumur hidup di Nusa Kambangan!”

Pikir saudara saya akan pingsan mendengar vonis semacam itu? Ooo, tidak saudara.
Saya akan tetap percaya pada Tuhan. Tuhan lebih tahu daripada Hakim yang botak
dan berkaca mata itu.

Lagi pula saya sudah siap untuk dibawa ke Nusa Kambangan. Di pulau itu saya
hanya akan membutuhkan beberapa rim kertas dan pulpen. Ya, saudara. Saya akan
menjadi pengarang. Saya akan menulis riwayat hidup saya dan proses pembunuhan
itu yang sebenarnya, sehingga dunia akan sama membacanya. Saya yakin dunia akan
mengerti letak soal yang sejati. Dunia akan menangis. Perempuan-perempuan akan
meratap.

Dan seluruh warga bumi ini akan berkabung sebab telah berbuat salah menghukum
seseorang yang tak bersalah. Juga saya yakin hakim itu akan mengelus-elus
botaknya dan akan mengucurkan air matanya sebab menyesal dan niscaya dia akan
membuang palunya ke luar. Itulah rancangan saya.

Saya sudah berketetapan hati. Saya sudah siap betul-betul sekarang. Siap dan
nekad. Ooo, nanti dulu. Saya ingat sekarang. Saya belum punya pistol. Dimana
saya bisa mendapatkannya? Inilah perasaan seorang pembunuh. Dendam dendam yang
cukup padat seperti padatnya kertas petasan. Dahsyat letusannya. Saya ingat
Sherlocks Holmes sekarang. Agatha Christi, Edgar Allan Poe. Sekarang saya insaf.
Siapapun tidak boleh mencibirkan segenap pembunuh. Sebab saya kini percaya ada
berbagai pembunuh di atas dunia ini. Dan yang ada di hadapan saudara, ini bukan
pembunuh sembarang pembunuh. Jenis pembunuh ini adalah jenis pembunuh asmara.

Nah, saya telah mendapatkan judul karangan itu.

“Pembunuh Asmara” Lihatlah dunia telah berubah hanya dalam tempo beberapa
anggukan kepala. Persetan! Dimana pistol itu dapat saya beli? Apakah saya harus
terbang dulu ke Amerika, ke Dallas? Tentu saja tidak mungkin. Sebab itu berarti
memberikan mereka waktu untuk melarikan diri sebelum kubekuk lehernya.

Oh, betapa marah saya. Darah seperti akan meledakan kepala saya. Betapa! Sampai-sampai
saya ingin menyobek dada ini. Oh,...saya sekarang merasa bersahabat dengan
Othello. Saudara tentu kenal dia, bukan? Dia adalah tokoh pencemburu dalam
sebuah drama Shakespeare yang terkenal.

Othello. Dia bangsa Moor sedang saya bangsa Indonesia, namun sengsara dan
senasib akibat kejahilan cantiknya anak cucu Hawa.

Telepon berdering! Seperti seekor harimau ia!

Itu dia.

Mengangkat pesawat telepon dengan kasar.

Hallo!!! Ya, disini Jazuli !! Kasir !! Ada apa?

Tiba-tiba berubah.

Oh,...maaf pak. Pak Sukandar, kepala saya. Maaf, pak. Saya kira isteri saya.
Saya baru saja marah-marah...Ya, ya memang saya...Ya, ya.

Tertawa.

Ya, pak...

Batuk-batuk. Menyedot hidungnya.

Influenza... Ya, mudah-mudahan..Ya, pak....Ya.

Saudara, dengarlah. Dia mengharap saya besok masuk kantor untuk pemberesan
keuangan....Ya?..Insya Allah, pak..Ada pegawai baru?..Siapa, pak? Istri saya,
pak?

Tertawa.

Ya, pak...

Batuk-batuk dan menyedot hidungnya.

Ya, pak. Terima kasih. Terima kasih, pak. Besok.

Meletakan pesawat telepon.

Persetan! Saya yakin istri saya pasti kehabisan uang sekarang. Apakah saya mesti
mengasihani dia? Tidak! Saya mesti membunuhnya.

Seakan menusukkan pisau.

Singa betina! Ya, sebaiknya dengan pisau saja, pisau.

Telepon berdering.

Persetan! Sekarang pasti dia.

Mengangkat telepon.

Kasir disini! Kasir PT Dwi Warna! Apa lagi! Jahanam! Ular betina yang telah
menjadikan aku koruptor itu! Jangan bicara apa-apa! Tutup mulutmu! Mulutmu bau
busuk! Aku bisa mati mendengar kata-katamu lewat telepon! Cari saja laki-laki
lain yang hidungnya besar. Penggoda bah! Cari yang lain! Toch kau seorang
petualang!

Meletakan pesawat telepon.

Jahanam! Apakah saya mesti membunuh tiga orang sekaligus dalam seketika? O, ya.
Tadi saya sudah memikirkan pisau. Ya, pisaupun cukup untuk menghentikan jantung
mereka berdenyut. (geram). Sayang sekali. Pengarang sandiwara ini bukan seorang
pembunuh sehingga hambarlah cerita ini.

Tapi tak apa. Toch saya sudah cukup marah untuk membunuh mereka. Namun sebaiknya
saya maki-maki dulu alisnya yang nista itu. Saya harus meneleponnya!

Mengangkat telepon.

Kemana saya harus menelepon? Tidak! (meletakan telepon)

Lebih baik saya rancangkan dulu secara masak-masak semuanya sekarang. Demi Allah,
saudara mesti mengerti perasaan saya. Bilanglah pada isteri saudara-saudara : “Manis,
jagalah perasaan suamimu, supaya jangan bernasib seperti Jazuli.”

Ya, memang saya adalah laki-laki yang malang. Tapi semuanya sudah terlanjur.
Sayapun telah siap. Dengan menyesal sekali saya akan menjadi seorang pembunuh
dalam sandiwara ini.

Seperti mendengar telepon berdering.

Hallo? Jazuli disini. Jazuli (sadar)

Saya kira berdering telepon tadi. Nah, saudara bisa melihat keadaan saya
sekarang. Mata saya betul-betul gelap. Telinga saya betul-betul pekak. Saya
tidak bisa lagi membedakan telepon itu berdering atau tidak. Artinya sudah cukup
masak mental saya sebagai seorang pembunuh.

Tapi seorang pembunuh yang baik senantiasa merancangkan pekerjaan dengan baik
pula seperti halnya seorang kasir yang baik. Mula-mula, nanti malam tentu, saya
masuki halaman rumahnya. Saya berani mempertaruhkan separuh nyawa saya, pasti
laki-laki itu ada disana. Dalam cahaya bulan yang diterangi kabut : ..Saya
bayangkan begitulah suasananya.

Bulan berkabut, udara beku oleh dendam, sementara belati telah siap tersembunyi
di pinggang dalam kemeja, saya ketok pintu serambinya.

Mereka pasti terkejut. Lebih-lebih mereka terkejut melihat pandangan mata saya
yang dingin, pandangan mata seorang pembunuh.

Untuk beberapa saat akan saya pandangi saja mereka sehingga badan mereka
bergetaran dan seketika menjadi tua karena ketakutan. Dan sebelum laki-laki itu
sempat mengucapkan kalimatnya yang pertama, pisau telah tertancap di usarnya.
Dan pasti isteri saya menjerit, tapi sebelum jerit itu cukup dapat memanggil
tetangga-tetangga maka belati ini telah bersarang dalam perutnya. Tentu. Saya
akan menarik nafas lega. Kalau mayat-mayat itu telah kaku terkapar di lantai,
saya akan berkata : “Terpaksa. Jangan salahkan saya. Keadilan menuntut balas.”

Tiba-tiba pening di kepala.

Tapi kalau sekonyong-konyong muncul kedua anak saya? Ita dan Imam? Kalau mereka
bertanya : “Pak, ibu kenapa pak? Pak, ibu pak?

Memukul-mukul kepalanya.

Tuhanku!

Duduk.

Dia melamun sekarang. Dua orang anaknya, Ita dan Imam, 5 dan 4 tahun menari-nari
disekelilingnya. Di ruang tengah itu dengan sebuah nyanyian kanak-kanak :
Bungaku.

Saudara-saudara bisa merasakan hal ini? Mereka sangat manisnya. Lihatlah. Saya
tidak bisa lagi marah. Saya pun tak bisa lagi peduli pada apa saja selain kepada
anak-anak yang manis itu. Saya tidak tahu lagi apakah isteri saya cantik apakah
tidak. Saya tidak tahu lagi apakah laki-laki itu jahanam apakah tidak.

Saya hanya tahu anak-anak itu sangat manisnya. Betapa saya ingin melihat lagi
bagaimana mereka tertawa. Tak ada yang lain mutlak harus dipertahankan kecuali
anak-anak itu. Saudara-saudara mengerti maksud saya? Apakah hanya karena cemburu
saya mesti merusak kembang-kembang yang telah bermekaran itu?

Balerina-balerina kecil itu menari bagai malaikat-malaikat kecil.

Semangat hidup yang sejati dan keberanian yang sejati timbul dalam diri begitu
saya ingat Ita dan Imam anak-anak saya. Seakan mereka berkata : “Pak susulah ibu,
pak. Pak, ke kantorlah, pak.”

Ya, Ita. Ya, Imam.

Malaikat-malaikat kecil itu gaib menjelma udara.

Saya harus pergi ke kantor. Akan saya katakan semuanya pada pak Sukandar. Saya
akan mengganti uang itu setelah besok saya jual beberapa barang dalam rumah ini.
Setelah semua beres saya akan mulai lagi hidup dengan tenang dan tawakal kepada
Tuhan. Hari ini hari Jumat, di masjid setelah sembahyang saya akan minta ampun
kepada Allah.

Saya tak mau tahu lagi apakah laki-laki Rahwana atau bukan. Saya tak mau tahu
lagi apakah Sinta itu serong atau tidak. Saya tidak peduli. Tuhan ada dan laki-laki
yang macam itu dan perempuan itu ada dalam hidup saya. Semuanya harus saya
hadapi dengan arif, sebab kalau tidak Indonesia akan hancur berhubung saya
menelantarkan anak-anak saya, Ita dan Imam.

Telepon berdering.

Jahanam! Kalau saudara mau percaya, inilah sundal itu. Setiap kali saya tengah
berpikir begini, jahanam itu menelpon saya.

Telepon berdering lagi.

Jahanam! Inilah sundal itu sesudah uang kantor ludes, apakah ia mengharap rumah
ini dijual.

Mengangkat pesawat telepon.

Ya, Misbach Jazuli

Tersirap darahnya.

Saudara, jantung saya berdebar seperti kala duduk di kursi pengantin. Demi Tuhan,
tak salah ini adalah suara istri saya. Oh saya telah mencium bau bedaknya. Hutan
mawar dan hutan anggrek. Ya, manis. Saya sendiri. Saya yakin dia pun sepikiran
dengan saya. Saya akan mencoba menyingkap kenangan lama.

Hallo?..Tentu...Tentu. kenapa kau tidak menelepon tadi? Ya...ke kantor, bukan?
Memang saya agak flu dan batuk-batuk.

(akan batuk tapi urung) ...Ya, manis. Kau ingat laut, pantai, pasir, tikar,
kulit-kulit kacang..ah, indah sekali bukan?...Tentu...Tentu...He...?...Bagaimana?....Kawin?
Kau?...Segera?

Lihatlah, niat baik selamanya tidak mudah segera terwujud. Apa?...Apa? Ha???
Saudara, gila perempuan itu. Apakah ini bukan suatu penghinaan? Dia mengharap
agar nanti sore saya datang ke rumahnya untuk melihat apakah laki-laki calon
suaminya itu cocok atau tidak baginya. Gila. Hmm, rupanya laki-laki yang dulu
itu cuma iseng saja. Ya, tentu..bisa!

Meletakan pesawat dengan kasar.

Jahanam. Saudara tentu mampu merasakan apa yang saya rasakan. Beginilah, kalau
pengarang sandiwara ini belum pernah mengalami peristiwa ini. Beginilah jadinya.
Saya sendiri pun jadi bingung untuk mengakhiri cerita ini.

(tiba-tiba) Persetan pengarang itu! Jam berapa sekarang? Persetan semuanya! Yang
penting saya akan ke kantor meski sudah siang. Dari kantor saya akan langsung ke
masjid. Dari masjid langsung ke rumah mertua saya. Langsung saya boyong semuanya.
Anak-anak itu menanti saya. Persetan! Sampai ketemu. Selamat siang.

Melangkah seraya menyambar tasnya. Tiba-tiba berhenti. Setelah mengeluarkan sapu
tangan, batuk-batuk dan menyedot hidungnya.

Saya influenza, bukan ?

SELESAI

Manequin

Manequin

Monolog karya Jonathan H.
Kelas XII Bhs, No. Absen: 6


(Sory Jo, naskah monolog-mu saya posting di sini untuk contoh dalam pengajaran teater)

Suasana sebuah etalase sebuah toko pakaian. Ada sebuah manequin separuh badan (MSB) dan manequin laki-laki (ML).

(semua lampu menyala)

Ting… ting… ting… ting… (suara bel masuk)

“Perhatian kepada semua pengunjung Rembulan Department Store, Rembulan Department Store akan tutup kurang lebih dua menit lagi. Harap para pengunjung yang terhormat segera menyelesaikan aktivitas pembayaran. Kami mengucapkan terimakasih karena sudah berbelanja di Rembulan Department Store. Kami beritahukan bahwa besok, Minggu, 24 Juni 2015 akan ada diskon sampai dengan 70 % di Rembulan Department Store. Terima kasih dan selamat malam.”
Ting… ting… ting… ting… (suara bel masuk)

(Lampu dipadamkan, hanya di atas pemain yang menyala)

ML :
Ah… akhirnya semua orang udah gak ada. Jadi bisa bersantai. Mematung dan membeku selama 12 jam sangat membosankan. Hanya bisa memperhatikan dari etalase ini. Hah… di luar sana ada dunia yang katanya begitu luas, tapi aku hanya terjebak di sebuah balok kaca berukuran 3 x 2 m. Terdiam, terpaku, termanequin. Hah… Kenapa kalau ada manusia aku gak bisa bergerak. Coba kalau gak ada manusia, aku bisa bersenda gurau, aku bisa berlari dan gak berhenti, dan bahkan aku bisa seperti manusia. Tapi tentu saja lebih dari manusia. Aku abadi, sedangkan manusia… ha… ha… ha… kemarin lahir, besok mati!

(Mendekati MSB)

Ups… I’m sorry. Bukannya nglupain kamu. Sejak pertama kali aku sadar aku bisa bergerak kala gak ada orang, kamu sudah ada di sampingku. Aku tahu kamu gak bisa bergerak apalagi berbicara. Kepala, gak ada; tangan, invisible; kaki, ada sih, tapi bentuknya stick. Ha… ha… ha… Tapi entah kenapa aku merasa kamu bisa berbicara padaku. Am I already crazy? Harus segera diperiksa nih!

Menjadi manequin sangat enak, ya kan? Tiap dua bulan sekali bisa ganti gaya. Tiap ada acara khusus, bisa dipajang di etalase. Semua mata memandang, semua merek terpasang. Dari merk terbaru: Glue, Lava, dan Vella, sampai merk lama kayak Polo, Versace, Planet Surf, Nevada, udah pernah tak pakai. Disainer terkenal dari Luis Vitton sampai Ivan Gunawan sudah pernah melekat di aku dengan gagahnya. Look at me! Aku punya banyak gaya. (berpose seperti model) I’m very fashionable, you know!

Tapi aku merasa muak dan bosan juga. Aku dipakai untuk menyombong. Baju biasa aja, dilekatkan padaku agar semua pengunjung bisa melihat. Dasar sombong! Aku benci kesombongan, berbeda dengan aku, sudah tampan, rendah hati pula.

(jeda, mendengarkan MSB)

Nah, mulai lagi kan. Aku merasa kamu bisa ngobrol dengan aku. Tapi please deh, kalau mau ngobrol mikir dulu. Kamu bilang aku sombong? Heh… yang punya sifat sombong itu di mana-mana juga manusia. Tiap hari hilir mudik ke sini cuma buat nyombong. Entah cuma punya anting berlian baru atau punya nama yang terkenal, datang ke sini untuk mengangkat derajat mereka atau sekedar bikin heboh. Mending kita, tubuh berisi kehampaan tapi tetap merasa sederajat antar manequin. Sedangkan mereka, hah… katanya punya hati tapi kok menimbulkan kesenjangan.

(jeda, mendengarkan MSB)

OK! Nih buktinya. Inget ga cerita ibu-ibu di café depan etalase kita. Tiap hari bolak balik ke café, cuman pesen es capucino, tapi bisa ngobrol berjam-jam. Kalau diperhatikan, tiap kali datang selalu aja ada yang baru. Dua hari yang lalu, si ibu A punya gelang baru. Kemarin, dianya punya tas kulit beruang baru, hari ini punya bulu mata palsu baru. Eh, inget gak, tiap ada cowok muda keren, mereka langsung berbincang mengenai kekayaan mereka dengan suara yang bisa didenger satu lantai. And the conclusion is mereka sombong, manusia sombong.

Trap… trap… trap… (suara langkah sepatu).

Aduh satpam datang lagi. Berarti sebentar lagi kit… (tiba-tiba mematung)

(Pemain berganti peran menjadi seorang satpam dengan gaya 70-an, lampu di atas etalase mati dan semua lampu menyala)

(Satpam datang lalu sambil memandang etalase, menyisiri rambutnya)

Satpam:

Roger… Roger… kamu kok ganteng banget sih? Rambut rapi, postur tubuh tegap bersahaja, paras… wah sudah tidak usah diragukan lagi. Untuk mengomentari parasmu, Roger, semua kata di dunia tidak bisa menggambarkannya. Serba terlalu, terlalu tampan, terlalu keren, terlalu top, terlalu…

Heh… manequin! Ngapain liat-liat? Tar naksir lo! Kamu tuh aneh, tiap siang posenya sama. Tapi kalau malam posemu selalu berubah, seperti sedang berbicara. Hi… serem! Aduh Roger, walau mukamu menunjukkan ekspresi takut, tapi mukamu tetap ganteng. (Pergi ke samping panggung)

(Pemain kembali menjadi manequini, semua lampu mati, kecuali di atas etalase)

ML:
Bener kan. Capek deh… kalau lagi asyik chit-chat lalu muncul manusia. Lihat satpam tadi, jaga mall apa asik nyombong. Muka abstrak gitu, dibilang ganteng. Karena terlalu asyik nyombong, pasti dia gak tahu kalau-kalau ada pencuri. Telalu percaya pada keheningan. Manusia, manusia, gak orang hebat, gak satpam, manusia selalu sombong.

(jeda, mendengarkan MSB)

Munafik? Bagaimana bisa?

(jeda, mendengarkan MSB)

Apa? I was a human? Heh… buntung, jangan samakan aku dengan manusia! Aku jelas-jelas manequin yang keren dan abadi! Bagaimana mungkin aku manusia! Dasar buntung!
(jeda, mendengarkan MSB)

Sifat manusiaku keluar? Aku ini manequin, dari dulu juga maneguin. Tapi baiklah, sekedar untuk hiburan dan tambah-tambah pengetahuan, coba jelaskan teori anehmu itu, buntung!

(jeda, mendengarkan MSB)

Gak masuk akal! It’s impossible! Kamu bilang aku fenomena di dunia manusia dan manequin? Aku adalah manequin yang masa lalunya manusia? How come?

(jeda, mendengarkan MSB)

Di tahun 2005 aku adalah model? Pantas aku tampan, lalu saat itu aku menjadi terlalu sombong? So what?

(jeda, mendengarkan MSB)

Lalu suatu hari saat aku di mall ini… Apa? Saat aku menyombongkan diriku di depan semua orang, kulitku mengeras, mataku membeku, mulutku terdiam, dan aku tiba- tiba jadi manequin? Ih… gak masuk akal banget!

(jeda, mendengarkan MSB)

Bagaimana tanggapan manusia?

(jeda, mendengarkan MSB)

Seorang tetua berkata bahwa kejadian seperti ini pernah terjadi di seluruh dunia. Ada kala di mana kesombongan sudah merajai manusia maka manusia tersebut akan berubah. Lalu para manusia manequin dijadikan legenda bagi anak-anak agar jangan terlalu sombong. Sama seperti cerita Malin Kundang yang menjadi patung karena durhaka. Bila manusia terlalu sombong, maka mereka akan terkena ganjarannya, menjadi manequin.

(jeda, mendengarkan MSB)
Berarti ada manequin lain yang kayak aku?
(jeda, mendengarkan MSB)
Hah? Manequin di lantai 5 dan lantai 6 dan kamu ? Heh, kalau kamu manusia manequin, kenapa kamu buntung? Selain itu, manequin di lantai 5 dan 6 semuanya buntung kan?
(jeda, mendengarkan MSB)

Kamu dan manusai manequin yang lain terlalu sombong dan kelihatan dari ekspersi wajahmu. Para manusia membencinya dan memutuskan untuk memotong kepala kalin bertahun-tahun yang lalu. Ha… ha… ha… so pathetic. Makanya, jangan sombong. Kayak aku ini lho, rendah hati.
(jeda, mendengarkan MSB)

Apa? Se… sebentar lagi aku pasti akan… akan dipotong dan jadi kayak kalian? Kenapa?
(jeda, mendengarkan MSB)
Mukaku… mukaku sudah menunjukkan keangkuhan? Dan itu berarti, mukaku sudah gak layak untuk dipajang?

(jeda, mendengarkan MSB)

Gak mungkin! Aku hanya berhalusinasi! Kamu gak nyata! Kamu berdusta! Kamu kan hanya imajinasiku! Kamu khayalan! Kamu kepalsuan. Kamu…

(jeda, mendengarkan MSB)

Aku akan dipotong? Kepalaku hilang? Aku buntung? Aku…

(jeda, mendengarkan MSB)

Aku seorang manusia yang sombong? Bukan… Bukan… Aku lebih parah! Aku manequin yang terlalu sombong! Dan kini aku akan dipotong karena aku manequin sombong. Shut up! Jangan berteriak-teriak! Jangan mengejek aku! Aku manequin, titik!

(berpura-pura memukul kaca etalase)

Keluarkan… Keluarkan aku dari etalase ini! Aku mau menyelamatkan wajah tampanku!

(berpura-pura memukul kaca etalase)

Diam buntung! Jangan menghina aku! Cukup… Cukup…

(menjatuhkan manequin separuh badan lalu memukul-mukul kaca etalase)

Let me go! Biarkan aku lari! Keluarkan aku dari sini!

(berpura-pura memukul kaca etalase)

Aku… Aku manusia sombong… Aku manequin sombong… Aku sombong… Aku sombong… Aku sombong… (menjadi manequin kembali dengan ekspresi menangis dan takut)

(Lampu di atas etalase dimatikan dan semua lampu menyala)

(Pemain menjadi sylist dengan gaya kebencong-bencongan, semua lampu dinyalakan)

(Stylist datang dan langsung memperhatikan etalase)

Stylist:
Semuanya kumpul! Catet! Segera ganti manequin ini. Atau paling gak, potong kepalanya. Tampangnya udah out of date dan ekspresinya aneh.

(semua lampu dimatikan, lampu di atas etalase dikedip-kedipkan)

ML:
Aku… Aku manusia sombong… Aku manequin sombong… Aku sombong… Aku sombong… Aku sombong…

Catatan:
Naskah ini digunakan untuk Ujian Praktik Mata pelajaran Seni teater

SAMPAH

SAMPAH

Naskah Monolog karya Felix Hendi
Kelas XII Bahasa


(Lampu hidup, fokus pada seorang lelaki, murung, duduk di kursi sisi belakang panggung, tertunduk.)

► : Aku manusia, sama seperti manusia-manusia lainnya. Manusia yang punya hak untuk hidup layak, punya istri, anak, uang, rumah dan kebebasan (kesal). Aku dulu anak desa, hidup dari mencangkul. (kaki disilangkan di atas kaki lainnya, masih bersandar pada kursi).
(Lampu meredup & mati)
(Lampu menyala, seorang lelaki terlihat).

► : Pak, apa warung ini butuh pekerja? Saya sedang cari kerja, Pak (memohon, lalu pindak ke warung lain), Pak, saya boleh membantu? Saya mau digaji berapa saja asal ada kerjaan buat saya (terlihat bergairah, lalu muram dan pindah lagi ke warung lain), Bu, saya butuh kerja, saya bisa bantu cuci piring atau apa saja, asal saya bisa makan (muram, lalu pergi karena tak ada yang menanggapi).

(kembali duduk di sisi belakang panggung).
► : Begitulah. Aku hidup tak jelas di Jakarta, uang tak punya, baju apalagi, bisa makan saja sudah untung. Aku menyesal meninggalkan orangtuaku di desa. Di desa, aku malah bisa makan kenyang meskipun seadanya, tapi setidaknya bisa makan, tak seperti di sini, makan aja susah.

(Berusaha mengingat sesuatu, berjalan di sekitar panggung)
► : Satu hari, aku melewati sebuah TPA. Banyak orang mengais sampah di sana. Aku merasa jijik melihatnya. Tapi demi perut, aku mulai ikut bekerja.


(duduk di lantai, kesal)
► : Tapi menurutku yang kulakukan itu bukanlah yang disebut kerja, entah kenapa banyak orang di Jakarta ini yang mau menyebutnya kerja, bahkan profesi (sinis). Yang kulakukan hanyalah mengais sampah, sampah yang bisa kujual lagi untuk memberi makan perutku (menepuk nepuk perutnya sendiri, masih duduk di lantai). Mungkin karena aku bekerja dengan sampah, (berdiri, berjalan menuju kursi) maka pemerintah dan orang-orang menyebut aku dan teman-temanku lainnya sebagai sampah masyarakat. Seperti sampah-sampah sebenarnya, kami yang jelas-jelas bukan sampah ,melainkan manusia yang bekerja dengan sampah, harus dibuang agar tidak membusuk dan mengotori kota. (sangat kesal).

(kembali mengingat sesuatu).
► : Saat kami para sampah sedang istirahat di emper kota satu hari, rantib keparat suruhan pemerintah itu menyeretku ke penampungan dan rehabilitasi. Memang pemerintah, dari dulu cuma bisa korupsi, tak memikirkan orang sepertiku. Tapi di barak itulah, aku menemuinya, sampai…
(Lampu mati & kembali hidup, sekarang seorang lelaki mengenakan peci, duduk di lantai, bersimpuh)
► : Saya terima nikahnya, Sholehah binti Maemunah dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai (mengucapkan ijap kabul).

(kembali berjalan menuju kursi, melepas peci).
► : Aku menikahinya. Aku punya istri dan anak. Senang sekali mengenang masa itu (terlihat bahagia), anakku satu laki-laki. Kami hidup di rumah kontrakan, yang kusebut gubug di pinggiran kali. Meskipun dengan susah payah, aku berhasil menghidupi keluargaku dari hasil memulung. Saat anakku berumur 1,5 tahun, musibah datang lagi…

(bersimpuh, menunduk, menaburkan bunga)
► : Maaf aku tak bisa menjagamu baik-baik, kau tenang sekarang di atas sana, tak usah mikir makan, utang & uang. Jaga anak kita baik-baik. Aku akan rajin-rajin datang kemari.

(kembali duduk di kursi).
► : Istriku mati. Terbakar bersama anakku satu-satunya. Sekarang aku duduk disini,mengingatnya. Dan pemerintah tak pernah peduli. Mereka tetap menganggapku sampah yang harus disingkirkan. Aku tetaplah sampah, yang bau, busuk, menjijikkan & kotor. Sampah, sampah, sampah….

Patung Penjaga

Patung Penjaga

Naskah Monolog karya Theo Adimas
Kelas XII Bahasa



Patung penjaga yang merupakan simbol dari keadilan dan keamanan berdiri tegak di tengah dengan tulisan “INI ADALAH PERLAMBANGAN DARI NIAT KAMI UNTUK MENJALANKAN TUGAS SEJUJUR – JUJURNYA DALAM MENJAGA HUKUM DAN KEAMANAN”.

(suara angin dan hewan-hewan yang menunjukkan suasana malam hari)

Patung penjaga perlahan-lahan bergerak dan turun dari tempatnya. Mulai berjalan. Melihat sekelilingnya kemudian duduk ditempatnya tadi berdiri.

Patung penjaga : Huaah, akhirnya sudah malam lagi! (melihat keatas sambil menggerak-gerakkan tubuh dan tangannya)

Patung penjaga : hari ini benar-benar hari yang aneh. Yah, sesungguhnya sudah tidak aneh lagi sih untukku. Sudah cukup sering terjadi di sini (terlihat tidak suka)

Patung penjaga : orang minta keringanan hukuman, minta dibebaskan, minta jaminan keamanan, dan bahkan memaksa bebas dengan caranya pun ada (mulai berdiri dan berjalan-jalan)

Patung penjaga : Padahal jelas mereka menempatkan aku disini sebagai simbol. “Inilah perlambangan dari niat kami untuk menjalankan tugas sejujur-jujurnya dalam menjaga hukum dan keamanan.” Itu yang mereka katakan saat meletakkanku disini (terlihat mengenang dan kemudian tampak kecewa)

Patung penjaga : huh, niat!? Niat apa? Niat yang mana? (tampak kesal dan duduk kembali)

Patung penjaga : Keadilan dan keamanan, memang aku ada untuk melambangkan hal itu. Yah, terkadang memang aku bisa dibuat bangga. Seperti yang terjadi di pagi hari tadi.
(musik berbunyi)

Berganti pakaian dengan jas. Berjalan dengan tegap dan tampak meyakinkan sebagai pengusaha dan pejabat yang baik.

Berhenti di depan tempat patung berdiri dan berbicara dengan pejabat pelaksana kantor tersebut .
Pejabat Luar : Selamat pagi, Pak! (mengulurkan tangan)

Pejabat Luar : Bagaimana kabar kau?

Pejabat Luar : Ya, ya! Aku dan keluargaku cukup baik. Kecuali anakku yang satu itu. Tentu kau tau kan masalah ini.

Pejabat Luar : untuk itulah aku menyempatkan diri untuk bertemu denganmu dan aku yakin kau pun pasti mengerti.

Pejabat Luar : Ya aku tahu memang ada anakku di pengeroyokan itu tapi belum tentukan dia dalangnya.

Pejabat Luar : Ayolah kita kan sudah lama kenal dan kau cukup mengenal anakku juga kan.
(tampak bingung dan melihat kearah patung)

Pejabat Luar : ah, kenapa kau ini?

(melihat kearah patung lagi)

Pejabat Luar : Ayolah! Tak perlu kau kawatir seperti itu, itu hanya patung.

Pejabat Luar : benar, memang itu symbol kantormu tapi dia tak bisa gebuk kepalamu! Tenanglah!

Pejabat Luar : aku tau tindakannya memang mengganggu keamanan tapi kau bantulah aku.
(bingung dan melihat ke patung lagi)

Pejabat Luar : Ah! Jadi kau memang tak mau bantu aku!

(suara angin dan hewan-hewan yang menunjukkan suasana malam hari)

Patung Penjaga : ya! Kadang-kadang aku dibuat bangga dengan petugas yang seperti itu.

Patung Penjaga : Memang keadilan itu mutlak dan karena itulah ada hukum di negara ini.(berdiri)

Patung Penjaga : dengan begitu maka keamanan pun akan terjamin.
(kembali duduk)

Patung Penjaga : Tapi… benarkah aku bisa bangga berdiri di sini?

Patung Penjaga : hari ini saja… baru pagi hari aku dibuat bangga lalu sore ini….

(Musik berbunyi)
Berganti pakaian dan membawa tas kerja berjalan ke dalam panggung kemudian berhenti di depan patung.
Pejabat Pelaksana : Huahh, akhirnya pulang juga!

Pejabat Pelaksana : benar-benar hari yang melelahkan!

Pejabat Pelaksana : Waduh, kok bapak balik lagi? (terkejut)

Pejabat Pelaksana : kan sudah saya bilangin tadi pagi, pak! saya tidak bisa membantu anak anda karena urusanya rumit.

Pejabat Luar : tapi aku percaya kau pasti bisa bantu aku.

Pejabat Pelaksana : Bantu gimana? Kan sudah saya terangkan kalau untuk mengurus itu prosedurnya rumit.

Pejabat Luar : dan prosedur itu kau yang menjalankan kan? Jadi pasti bisa kau atur!

Pejabat Pelaksana : administrasi yang harus diurus sangatlah rumit pak! anda harus mengerti itu.

Pejabat Pelaksana : berbagai macam administrasi harus diselesaikan. Lagi pula…. (melihat ke arah patung)

Pejabat Luar : Kalau begitu kau uruslah! Kenapa kau tampak takut pada patung itu? Itu cuma patung.

Pejabat Pelaksana : dan itu sebuah lambang!

Pejabat Luar : kesini kau (meminta pejabat pelaksana mendekat)

Pejabat luar : kau bilang tadi masalah administrasi kan? Bagaimana dengan ini? (menyerahkan bungkusan pada pejabat pelaksana)

Pejabat Pelaksana : ini…ini….ini untuk saya? (setelah melihat isi bungkusan sambil terus melirik ke patung)

Pejabat Pelaksana : Tidak.

Pejabat Pelaksana : eh…maksud saya tidak kurang. Ya, ini cukup untuk administrasi. (kembali melirik ke patung)

Pejabat Pelaksana : ya, memang hanya sebuah patung.

Pejabat Pelaksana : mitos patung itu mengawasi paling cuma untuk menakut-nakuti saja.

(suara angin dan hewan-hewan yang menunjukkan suasana malam hari)

Patung penjaga : Cuh! Niat apa? Niat yang mana? (marah)

Patung penjaga : Sampah semua! Untuk apa aku diletakkan disini kalau begitu.

Patung penjaga : Benar-benar memalukan!

Patung penjaga : sejujur-jujurnya dalam menjaga hukum dan keamanan?

Patung penjaga : Omong kosong!

(suara ayam berkokok)

Patung penjaga tampak kaget dan bingung. Naik kembali ke tempat patung dan tampak ragu untuk tetap berdiri tegap seperti biasanya. Memunggut spidol yang tergeletak di depanya dan menambahkan tulisan “dahulu” di tempatnya berdiri menjadi “DAHULU INI ADALAH PERLAMBANGAN DARI NIAT KAMI UNTUK MENJALANKAN TUGAS SEJUJUR – JUJURNYA DALAM MENJAGA HUKUM DAN KEAMANAN”. Kemudian patung terdiam dalam posisi tampak malu.

Sahud Sabeni atawa “The Hood”

Sahud Sabeni atawa “The Hood”

Naskah Monolog Rembrant



Adegan 1



Hood berada ditempat yang terang benderang dengan posisi duduk di kursi,berpakaian putih dan baru tersadar dari tidur. (lampu terang menyorot ke arah wajah Hood)

Hood : Ah, dimana aku? Cahaya ini? Apa maksudnya? Pakaian putih ini? Luka tembakku? Dimana? Mengapa? Kenapa? (diam) coba aku ingat-ingat dulu..terakhir yang aku ingat..
KLAP!(Lampu yang menyorot wajah tiba-tiba mati)

Adegan 2

Di sebuah bank terkenal milik negara, seorang komandan polisi berteriak-teriak menggunakan TOA dengan tampang garang.

*Suara; banyak mobil polisi*

Kom.Pol : AYOLAH HOOD! KELUARLAH DARI SANA! KELUARLAH DARI TEMPAT PERSEMBUNYIANMU ITU! BANK INI TELAH KAMI KEPUNG KAU TIDAK BISA LARI KEMANA-MANA LAGI! KAMI AKAN MEMBERIMU PILIHAN ; PERTAMA, KAU SERAHKAN DIRIMU SENDIRI BESERTA UANG-UANG YANG TELAH KAU RAMPOK DARI BANK-BANK TERDAHULU DAN KAMI AKAN MEMBERIMU KESEMPATAN UNTUK HIDUP ATAU KEDUA, KAMI MASUK DAN MENEMBAK KEPALAMU! JADI KELUARLAH!!

Adegan 3

Reporter televisi (meja dan kursi di panggung) menyiarkan berita terkini ke seluruh Indonesia.
*Diawali dengan musik pembuka berita televisi*

Repoter : Selamat pagi Indonesia! Hari ini pukul dua pagi Bank Indonesia dinyatakan telah dirampok! Pihak kepolisian menduga perampokan ini dilakukan oleh SAHUD SABENI alias Bang Hood atau The Hood, Robin Hoodnya Indonesia perampok legendaris yang konon selalu mendonasikan hasil rampokannya kepada para korban bencana alam. Perampok dermawan ini telah melakukan perampokan di hampir 20 bank terbesar Indonesia sebelumnya dan belum pernah tertangkap, penjahat bersama komplotannya ini selalu lolos sebelum polisi datang ke tempat kejadian. Tapi hari ini kita akan melihat keberhasilan para polisi dalam penangkapan The Hood! Kami akan terus menyiarkan perkembangan ini kedalam layar kaca anda!

Adegan 4

Hood mengangkat kedua tangan keluar dari arah bank.

Hood : Baiklah! Baiklah! Aku menyerah! Memang sepertinya ini adalah akhir dari perjumpan kita komandan! Obsesiku hanyalah mengkoreksi setiap kesalahan para pemimpin, dan mengambil kembali apa seharusnya dimiliki oleh orang kecil! Orang kaya bukan seharusnya bertambah kaya dan orang miskin juga bukan seharusnya bertambah miskin! DIMANA JANTUNG HATI KALIAN?

*Suara; instrumen yang menyayat hati/lirih*

Anak-anak miskin yang kelaparan di pinggir jalan kalian tertawakan, sedangkan kalian makan enak dengan tenangnya tanpa ada perasaan kecewa! Para bapak yang tak mampu menyekolahkan anaknya dan bahkan tak bisa memberi makan keluarganya tiga kali sehari, sedangkan kalian memboroskan uang dengan rapat-rapat yang tiada hasil dan meminta kenaikan gaji tanpa memikirkan perasaan rakyat miskin! Para ibu yang merasa bersalah karena melahirkan anaknya tapi tak bisa menghidupinya! Para gelandangan yang tak punya rumah! Para pelacur yang haus akan cinta! APA KALIAN PEDULI? AKU PEDULI! (mengeluarkan pistol tangan dan mengacung-acungkannya ke arah polisi) Tidak,tidak..aku tidak akan menurunkan pistol ini..jadi ‘selamat tinggal’!

…DOR!...(menembak kepalanya sendiri)

*suara pistol, musik instrumen berhenti*

Adegan 5

Lanjutan adegan pertama, hood masih duduk diata kursi berbicara sendiri dengan lampu yang menyorot wajahnya.

Hood : (Diam beberapa lama, merenung, dan tersenyum sendiri) Inilah hasil dari semuanya, inilah akhir dari petulanganku.. bagaimana menurutmu? (bertanya kearah penonton, lampu mati) *musik penutup meriah*

KEBOHONGAN ATAU?

KEBOHONGAN ATAU?

Naskah Monolog Aji Moundry

Adegan 1

(lampu agak redup, Aku duduk di sebuah kursi kayu yang sudah sangat tua dan merenung dan bergumam sendirian meratapi dan mengingat kejadian-kejadian dulu)

Aku : “hm…hm…memang kita tidak pernah tahu rencana Tuhan. Rencana-Nya pasti aneh-aneh, tidak ada yang tahu”

(diam beberapa saat, sambil sesekali melihat jam dinding)

Aku :”sudah jam segini, apa yang harus kulakukan ?berdiam diri atau melawan? Tetapi apa gunanya melawan misalnya tetap kalah. Hah..”

(diam sebentar)

Aku :”nama saya Odoy, umur saya belum terlalu tua sekitar 25-an lah… saya cuma lulusan sma…penganguran… pasti banyak yang berpikir bahwa saya menggerutu dari tadi karena saya tidak bekerja. Salah. Saya menggerutu karena saya akan mati. Ya…mati. Bertemu dengan yang
menciptakan saya. Saya akan mati beberapa menit lagi. Pasti banyak yang tidak percaya kalau saya sebentar lagi dan bertanya-tanya. Saya akan ditembak mati. Benar di tembak di kepala tepat di depan jidat saya karena saya…”


Adegan 2

(langsung gelap dan ganti adegan)

Aku : (terbirit-birit) “ bukan…bukan…bukan saya. Saya bukan pembunuhnya, Tolong jangan di buru saya ini. Tolong,,tolong,, bukan saya,,” (kecapekan dan bersembunyi di belakang batu)

Aku :”hah..hah…ha…capek, sumpah capek. Kok bisa saya diburu dan dituduh maling seperti itu ya…padahal saya kan cuma mau menolong orang yang tabrak lari, dan ketika saya pegang, orang itu sudah mati lalu banyak orang datang mengejar saya dan menuduh saya pembunuh. Kok pada tidak mau mendengarkan penjelasan saya ya…”

(lampu gelap dan pindah lagi ke adegan 1)

Aku :”nah…seperti itu lah awalnya kenapa sekarang saya menunggu maut menjemput saya. Saya dituduh sebagai pembunuh dan tidak ada yang percaya kata-kata saya”

Adegan 3
(lampu gelap dan langsung pindah adegan)
Aku :”hm…apa yang sebaiknya saya lakukan ya ?”
Aku :”saya akan melaporkan peristiwa ini kepada polisi pasti para polisi mempercayai saya”
(lampu gelap lalu adegan di kantor polisi)
Aku :”na…na…nama saya odoy” (dengan ketakutan) (diam)
Aku :”u…u…umur saya 25 tahun (dengan ketakutan) (diam)

Aku :”gini pak, faktanya, saya mau ban…bantuin seorang cowok yang di ta…tabrak lari tapi saat saya mau menolong, dia nya sudah tidak bernapas, orang2 yang melihat, menyangka saya yang membunuhnya, begitu pak cerita yang benar…tidak seperti cerita orang-orang kampung itu…mereka memfitnah saya”
(diam)

Aku :”itu bukan alibi atau apalah itu, saya tidak menutup-nutupi tetapi itulah fakta sebenarnya…saya bukanlah pembunuh” (dengan agak kasar) (diam)

Aku :” ya…memang sih, tak ada saksi yang melihat orang itu di tabrak lari, tetapi saya tidak berbohong.” (diam)

Aku :”bagaimana lagi saya bisa membuat bapak polisi ini percaya?, saya bukan pembunuh” (diam)

Aku :”kok bapak bisa tidak percaya dan mau menangkap saya yang dituduh pembunuh ini oleh para orang2 kampung?, tapi bapak bisa percaya kepada para pejabat yang sudah jelas memakan duit rakyat dan sudah dituduh sedemikian rupa tetapi tetap saja mereka tidak pernah merasakan “kelam”nya penjara” (nada meninggi) (diam)
Aku :”bukannya saya ingin melecehkan kerja bapak, tapi memang itu faktanyakan…yang jelas saya bukan pembunuh” (nada makin tinggi) (diam)

Aku :”saya akan melawan bapak pokoknya agar saya bebas” (diam)

Aku :”ya…saya akan melaksanakan apa saja…” (diam)

Aku :”contohnya…” (diam)

Aku :”tidak…tidak…saya tidak akan memakai pengacara…itu mahal… (diam)

Aku :”hm…hm…(dengan lemas) saya tidak tahu harus berbuat apa…hah…” (diam)

(lampu gelap, pindah adegan 1)

Aku :” ya…akhirnya saya dipenjara, memang tidak terlalu buruk di penjara, dapat makan dan tidur yang terjamin…tetapi masalah datang setelah kurang lebih 3 minggu saya dipenjara…saya dipanggil ke pengadilan…”

Adegan 4

Aku :”pak hakim, saya tidak bersalah…saya hanya di tuduh…percayalah” (diam)

Aku :”kenapa semua orang menanyakan seperti itu ?, saya tak punya bukti” (diam)

Aku :”kalau tak punya bukti berarti bersalah ? siapa yang membuat peraturan seperti itu ? apakah sudah tidak ada kepercayaan antar setiap orang ?” (diam)

Aku :”ya…aku tahu…ini bukan masalah kepercayaan…tapi benar, saya tidak bersalah” (diam)

Aku :”tidak…tidak…saya tidak punya pengacara. Mahal biaya sewanya.” (diam)

Aku :”lalu apa yang mau bapak perbuat kepada saya…terserah bapak saja” (diam)

Aku :”apa ? menghukum ? saya kan tidak bersalah…” (diam)

Aku :”ya…tadi saya memang bilang terserah bapak, tapi saya tidak mau di hukum atas kesalahan yang bukan saya yang melakukan” (diam)

Aku :”tapi…ya sudah, apa hukumannya, jangan berat-berat, ya…”(diam)

Aku :”apa ?(tidak percaya) hukuman tembak ?...tidak bisa…tidak… itu tidak mungkin terjadi padaku…itu namanya pelanggaran HAM… apa pak hakim tega ?... walaupun saya terbukti bersalah pun, saya tidak pantas dihukum tembak. Saya tidak terima” (diam)

Aku :”yang mau saya perbuat adalah…” (diam)

Aku :”adalah…” (diam)

Aku :”ya…memang tidak ada, tapi saya mau mengajukan pertanyaan ?” (diam)

Aku :”kenapa saya apabila terbukti bersalah telah membunuh 1 orang maka dihukum tembak, apa yang terjadi apabila ada seseorang yang membunuh hampir seperempat negara tetapi tidak langsung di bunuh melainkan di siksa perlahan sampai mati, apa hukumannya ?” (diam)

Aku :”dia juga akan disiksa dan dihukum mati…itu jawaban pak hakim…tetapi saya masih belum mengerti kenapa para koruptor masih banyak saja di negeri ini, padahal mereka sudah mati harusnya kalau menurut jawaban bapak hakim tadi” (diam)

Aku :”saya berbicara seperti ini karena saya sudah mau mati dan saya ingin mengeluarkan fakta-fakta di negeri ini, saya tidak takut lagi untuk berkata yang sebenarnya tentang negeri ini. Yasudah pak hakim, waktu saya kan 30 hari sebelum penembakan, jadi boleh g saya tinggal di rumah sebelum penembakan” (diam)

Aku :”terimahkasih pak, dan doakan saya semoga dapat melihat kejujuran yang sejujur-jujurnya di atas sana”

(kembali ke adegan 1)

Aku :”itulah alasan kenapa aku merenung terus dan menunggu waktu yang sepertinya berjalan cepat sekali. Aku mau mati” (setelah beberapa lama, melihat jam)

Aku :”sebentar lagi…” (diam)

(ekspresi senang)

Aku :”nah…itu jemputan ku datang…selamat tinggal semuanya, akhirnya aku tidak melihat kebohongan dan fakta-fakta tidak jelas lagi. Selamat tinggal” (meninggalkan panggung)

Ibu Kita Raminten

Monolog
Ibu Kita Raminten
Diangkat dari novel karya Muhamad Ali
Teks Pra- lakon: Ikun Sri Kuncoro


1. Yang aku bayangkan adalah ruang pengadilan. Tapi ruang ini sekaligus juga harus hadir secara simbolik sebagai sebuah kungkungan, yang dengan itu berarti ia juga menindas, entah sebagai sebuah sistem (termasuk tata nilai, di sini) atau sesuatu hal yang lain yang muaranya pada konstruksi sosial.

2. Maka, bayangannya adalah pilar-pilar tiang dengan berbagai ukuran yang secara kompositif memberi efek visual menekan karena stage dalam pembayangannya hanya berisi sebuah tempat duduk terdakwa (Raminten), maka tiang-tiang ini harus dipermainkan dengan cahaya yang memberi aksentuasi atas suasana monolog Raminten. Jika ditemdukan ikon lain yang lebih menggugah tentu itu yang diharapkan.

3. Andai potensi teaternya mampu, yang aku bayangkan dari teater ini hanyalah teater auditif: sebuah rangkaian irama bunyi yang memukau (membuat penonton betah) yang muncul dari wilayah tekanik ucapan dan ilustrasi musik. Sehingga, Raminten tidak perlu beranjak dari kursi terdakwanya untuk sebuah spektakel yang lain.

4. Tetapi sejujurnya saya juga tak mengelak, andai prosesi latihan, proses penciptaan teater yang sesungguhnya memberikan penawaran lain yang sering tak terduga dan tak dibayangkan pada awalnya. Karena, sebenarnya, di situlah letak keajaiban teater.

Marilah dimulai saja:

Panggung itu gelap, ketika lamat-lamat detak sepatu membentur ubin hadir semakin nyata dan berselah-selih dengan suara “ngremo” antara bunyi gamelan dan tembang, juga dentam besi dari gembok dan kerangkeng penjara. Sampai suasana menjadi.

Lalu dalam kelam itu sidang dibuka oleh suara hakim:
Hakim (Off Stage): Sidang perkara pembunuhan Prihartono warga negara Indonesia kelahiran Hongkong, dengan agenda utama pembelaan terdakwa II Saudari Raminten yang akan disampaikan oleh terdakwa sendiri, dengan ini dinyatakan dibuka.
Lalu lampu merayap pelan pada Raminten yang duduk di kursi terdakwa.

RAMINTEN

Trima-kasih. Sebagaimana dinyatakan kepada saya dan telah saya jawab, saya tidak akan menambahkan atau mengurangi. Saya... hanya akan melihatnya dan mengatakannya dari sisi diri saya tentang peristiwa apa yang telah saya jalani dan tentang apa yang telah bapak dan ibu simpulkan atas diri saya.

Saya, malam itu, tanggal 22 Desember 2004 memang berada di kamar bapak Prihartono di jalan Ahmad Yani no. 1. Tetapi seperti yang telah saya katakan, kenapa saya di rumah itu? ... Saya, ... dipaksa Stambul ... Anak saya.

Malam itu, Stambul pulang. Dan seperti beberapa malam sebelumnya, Stambul membujuk saya.
Setelah berbulan-bulan tidak pulang—juga, ketika bapaknya meninggal—beberapa malam sebelum peristiwa itu Stambul membujuk saya untuk menjadi gundik bapak Prihartono.

Menurut Stambul, hidup saya akan lebih baik kalau saya bersedia bekerja pada Pak Prihartono. Katanya, Pak Prihartono sedang membutuhkan seorang tukang pijat. Yang diinginkan adalah seorang tukang pijat yang muda. Tapi Stambul yakin bahwa tak akan ada perempuan muda yang bersedia menjadi tukang pijat Pak Pri.

Stambul, anak saya itu, dari pada saya hidup seperti ini: nganggur, kelaparan dan kesepian. Hidup bukan mati pun tidak. Lebih baik ikut Pak Prihartono. Meskipun tua, Pak Pri duitnya banyak. Pak Pri akan memberi uang berlimpahan, cukup makan, cukup pakaian, dan saya hanya disuruh memijat-mijat. Hanya itu saja. Memijat.

Memang, sejak Markeso meninggal, saya hidup dari belas-kasih tetangga. Setiap hari tetangga-tetangga memang saya dtang mengantar makanan untuk saya. Itu berjalan lebih dari tiga bulan lamanya. Dan, mungkin akan lebih lama lagi seandainya peristiwa ini tidak terjadi.

Sepeninggal Markeso, saya memang malas melakukan apa saja. Saya tidak keluar rumah. Saya memang tidak pernah bekerja sejak saya menjadi istri Markeso. Saya, Stambul, dan Markeso, hidup hanya dari hasil Markeso mbarang, mengamen sebagai ludruk garingan. Atau ludruk ontang-anting: sendirian mengamen dengan menembang, menari dan ngremo. Dan kami hidup.
Dulu Markeso bekerja sebagai kernet angkot. Sebelum bertemu saya. Sebelum kami menikah. Saya masih ingat benar ketika kami bertemu. Waktu itu usia saya baru 15 tahuanan. Seperti biasa, saya membantu bapak yang berjualan obat keliling, menggelar perlak untuk alas menata dagangan bapak. Ketika itu sebuah angkot berhenti menurunkan dan menaikkan penumpang. Entah kenapa, ketika mendengar dari mesinnya saya tiba-tiba berhenti dan entah kenapa saya jadi memandangnya. Saya melihat Markeso, meloncat turun dan melayani para penumpang turun. Waktu itu, mungkin Markeso masih berusia 20-an. Ia sibuk mempersilakan penumpang turu, membantu menurunkan barang lalu sibuk menawarkan pada orang-orang yang barangkali akan ikut dalam angkotnya. Lalu tiba-tiba ia berpaling. Sejenak kami berpandangan. Lalu ia teruskan menawarkan angkotnya, dan saya meneruskan menata obat-obatan dagangan bapak. Tapi entah kenapa, setiap kali saya mendongak melihatnya, ia selalu juga sedang melihat saya.. Seterusnya, wajh Markeso selalu saya ingat dan setiap kali bapak berjualan di pasar itu, saya selalu berharap melihatnya lagi.

Tak sampai setahun saya pun menikah dengan Markeso. Kami keluar dari rumah bapak dan menyewa rumah bedeng yang murah di pemukiman padat. Markeso berhenti sebagai kernet angkot dan memilih menjadi pengamen. Dari hasil mengamen itulah kami hidup. Dan setahun kemudian lahirlah Ruba’i.

Kami pun cemas. Bagaimanakah kami harus hidup dari hasil mbarang Markeso dengan tambahan seorang bayi? Untuk hidup berdua kami, kadang makan hanya 2 kali/ entah dari mana pikiran itu datang, tiba-tiba kami memutuskan untuk menyerahkan Ruba’i pada orang yang bersedia memungutnya. Dan kebahagiaan kami pun pulih kembali begitu ada orang datang dan sangat berterimakasih kepada kami ketika mereka menerima Ruba’i.

Tapi sungguh kami tidak menjualnya. Memang, Pak Rus, yang memungut Ruba’i memberikan uang ungkapan kebahagiaannya pada kami. Tetapi, Pak Rus sendiri yang menyatakan itu hanya sebagian ungkapan kebahagiaan karena ia mendapatkan kesempatan dari Tuhan untuk bisa membesarkan seorang bocah. Dan kami pun berpesan agar nama Ruba’i tak diganti dengan nama lainnya.

Begitulah. Nasib Lastri pun sama ketika setahun kemudian adik Ruba’i itu lahir. Kami yang membayangkan nasibnya tidak bersekolah, makan dan pakaian yang tidak akan tercukupi, menyerahkan Lastri pada Bu Broto begitu usianya telah lebh dari tiga bulan. Orang-orang pun mengira terutama tetangga-tetangga kami, bahwa kami telah menjual anak-anak kami. Apalagi pada tahun berukutnya Gani lahir dan Pak Irham memintanya untuk membesarkannya.

Juga, ketika Fitri lahir, Alamsyah, dan Samsi pada tahun-tahun berikutnya. Ketiganya diminta oleh Pak Subandi seorang pengusaha oli yang anak-anaknya sudah besar semua.

Tetapi sungguh kami tidak menjual anak-anak kami. Kami selalu meminta agar mereka tidak mengganti nama anak-anak kami dan kami selalu tahu pada siapa anak-anak kami serahkan.

Anak ketujuh kami, Joko, kami serahkan pada pedagang koran, Pak Hasan namanya. Falhi, anak kedelapan kami serahkan pada Pak Badawi, seorang guru agama di SD kampung sebelah. Dewi diminta Ibu Kartika yang telah menjanda. Ningsih dan Ningrum anak kembar kami dibesarkan Pak Widodo dan Pak Alam. Sedangkan Anwar diminta oleh Pak Effendi, seorang pelaut.

Memang, terkadang ada saja dari mereka yang mengambil anak kami, tidak saja memberikan uang begitu mereka bawa anak-anak kami. Sering, ada saja yang telah memberikan kepada kami uang sejak bayi-bayi itu masih ada dalam kandungan. Mereka bilang, agar bayi yang saya kandung tidak kekurangan gizi sehingga saya harus menjaga makanan yang saya makan. Itu pengakuan mereka. Bapak-bapak dan ibu-ibu boleh tidak percaya. Tapi begitulah mereka mengatakannya kepada kami, setiap kali pada setiap bulan mereka memberikan uang itu ketika saya mengandung anak yang hendak mereka minta.

Begitulah kami mengandung anak-anak kami. Kami memberikan bayi-bayi kami kepada orang lain lantaran kami tahu, kami tak akan bisa menghidupinya. Kami tak akan pernah sanggup menyekolahkan, dan kami tak akan bisa mendidiknya sendiri. Kami bahkan tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi seandainya anak-anak kami besarkan pada lingkungan kami yang pepat oleh rumah-rumah bedeng kemiskinan kami. Kami sudah melihat apa yang terjadi dengan anak-anak tetangga kami; yang dekil, yang kurus, yang tak bersekolah, dan kami sudah tahu apa yang terjadi pada saat besarnya nanti.

Tetapi kenapa kami bisa beranak sampai 12, sampai 13, hanya kemiskinak kami yang tahu. Saya dan Markeso tak punya pekerjaan lain begitu maghrib tiba. Setiap kali pulang ngamen, Markeso tak akan pergi lagi. Dan kami hanya akan bersembunyi dalam bedeng gubuk kami. Kami jarang, atau malah tidak pernah bermain ke gubuk tetangga kami. Mengunjungi mereka lebih sering hanyalah mengunjungi sumpah serapah yang mengutuk nasib dan kehidupan. Berjalan-jalan ke pertokoan hanya akan tersiksa sebagaiamana, mungkin, tiba di neraka. Neraka bagi kami adalah menyaksikan melimpahnya barang-barang yang ditawarkan tanpa pernah bisa membelinya. Neraka bagi kami adalah kelaparan yang tak pernah lekang.

Dan Markeso, suami saya, adalah laki-laki yang tahu bagaimana membangun surga di dalam gubuk kami. (JIKA ADA TRANSISI TEATER BISA DIAWALI DI SINI). Tangan yang kasar, bau keringatnya yang sengak, mulutnya yang bertembakau, selalau saja bisa mendatangkan surga di bedeng kami yang pengap bila sudah berbaring di dekat saya.

Saya ingat benar, apa yang dikatakannya di suatu malam:
“Ram, sungguh buruk nasib kita. Bayangkan kepada siapa kita akan menitipkan hidup kita kalau kita sudah tua dan ak mampu lagi buat bekerja? Kita akan jadi tua bangka, nantinya.

Apakah akan ada yang ingat kepada kita, Ram? Satu saja dari 12 anak yang kita buang itu?
Kamu jangan marah, Ram. Tapi apalagi kalau bukan membuangnya? Memberikannya kepoada orang lain sama artinya dengan membuang. Meskipun, kita tetap meminta agar nama-nam anak-anak itu tidak diganti. Meskipun kita tahu dan hapal, siapa-siapa saja yang telah memungut anak kita. Tetapi, kita tetaplah melepaskan tanggungjawab itu. Atau, ka mu lebih suka aku menyebutnya menjual, Ram? Kamu lebih keberatan, kan? Meskipun kenyataannya kita tidak hanya menerima ucapan terimakasihnya dalam sejumlah uang, tetapi juga menerima uang belanja selama kamu hamil dan selama tiga bulan awal menyusui hanya agar bayimu tidak kekurangan gizi. Tapi apa kenyataannya, Ram? Kita juga menumpang makan dari uang membeli bubur dan susu itu.

Kita memang telah menjual bayi-bayi itu. Atau mungkin kita telah menjualnya. Tetapi sungguh, sekarang aku justru sangat ketakutan kepada siapa kita akan menitipkan hidup kita kalau kita sudah tua. Kita akan menjadi tua, Ram. Kita akan, menjadi tua bangka dan tidak punya siapa-siapa.

Tidak, Ram. Tidak.

Kita harus punya anak lagi, harus. Dan kita juga harus memeliharanya sendiri. Kita harus membesarkannya. Karena, karena aku tidak yakin 12 anak kita akan ada yang bersedia menerima kita pada waktu kita telah menjadi bangka. Ayo, Ram. Kau harus hamil. Harus hamil lagi. Dan kita harus berani memelihara anak sendiri. Kita harus membesarkannya. Kita akan menyekolahkannya, akan mengajarinya bermain, akan mengajaknya berjalan-jalan. Apapun yang kita punya.”

(WAKTU LEWAT DALAM HITUNGAN BANYAK BULAN. INI ZAMAN KETIKA RAMINTEN TENGAH MENGANDUNG ANAK KE-13. USIA PERUTNYA MUNGKIN 7 ATAU 8 BULAN. ANDAI TEATER DIPERMAINKAN SET BISA BERUBAH: AKU MEMBAYANGKAN PERISTIWANYA DI DALAM GUBUK BEDENG RAMINTEN. ADAPUN TOKOHNYA ADALAH MARKESO. WAKTUNYA SORE SEPULANG DARI MENGAMEN. JADI, MINIMALNYA, AKTOR MEMBAWA SATU ALAT YANG DIGUNAKAN MENGAMEN. SEMISAL, KEDANG KECIL. LALU MENGAMEN SEBENTAR DI WILAYAH PENONTON. JIKA SANGGUP, AKTOR BERIMPROVISASI SEBENTAR DENGAN PENONTON. TETAPI ANDAI TETAP DIPERTAHANKAN KONSEP AWAL SEBAGAI TEATER AUDITIF. MAKA YANG TERJADI DALAM SESAAT HANYALAH SEMACAM LAMPU PADAM. DAN KETIKA CAHAYA TUMBUH PENGADILAN ITU BERLANJUT.)

RAMINTEN:
Sore itu Markeso datang dengan wajah yang bungah. Aku sudah mendengar teriaknya sejak dari luar:

“Ram.., Ram..., Raminten..

Ini yang namanya rezeki nomplok. Aku bertemu dengan Mas-mas seniman. Jangan salah ucap lagi dengan “si Niman.” Aku ditraktirnya. Dibayari makan sepuasku, dan masih diberi duit. Sekarang kamu percaya, kan? Anak memang selalu membawa rezekinya sendiri. Aku juga menemukan nama untuk anak kita: Stambul. Kamu pengen ngerti apa itu Stambul? Itu artinya, sandiwara. Drama. Orang-orang pinter, mas-mas seniman itu, menyebutnya titer. Mas seniman tadi yang bilang. Jangan takut kalau nama itu membebani anak kita. Nanti kita selamati dengan tiga ekor ayam yang masih kita punya. Dengan selamat tiga ekor ayam pasti tidak akan ada aral yang melintangai Stambul. Kamu tahu, kan? Nabi Ibrahim? Nama Ibrahim memberikan sesaji satu ekor kambing untuk mengganti nyawa anaknya, Nabi Ismail. Nah, karena kita bukan nabi maka cukup ayam saja: tiga ekor.

Nama itu tentu akan membawa berkah. Kalau sudah besar, Stambul, Stambul akan menjadi seniman sandiwara. Titer. Tapi kalau nanti dia ternyata perempuan, aku lebih suka kalau dia menjadi penyanyi ndangdhut. Kita harus dibelikan teve agar bisa menonton dia.

Aku jadi tidak sabar menunggu 2 atau 3 bulan lagi. Tabungan kita rasanya cukup untuk membayar Bu Bidan. Kamu ingin anak kita, laki-laki apa perempuan? Kalau aku, aku ingin anak kita laki-laki. Kamu ingin anak kita, laki-laki apa perempuan? Kalau aku, aku ingin anak kita laki-laki. Aku akan mengajarinya main kendang, menembang. Aku akan mengajarinya menari. Maka, kalau sudah besar dia akan menjadi...

(KALIMAT ITU TIDAK SELESAI. DAN RAMINTEN TERISAK. DI SINI TRANSISI UNTUK MASUK KE TOKOH STAMBUL.)

RAMINTEN:

Apa yang terjadi dengan Stambul setelah besar adalah apa yang tidak pernah kami harapkan. Bahkan, membayangkan pun, kami; tidak. Sore, apabila Markeso telah pulang dari mengamen, Stambul pastilah akan datang.

“Ram..., Raminten... Di mana Markeso? Aku sudah melihatnya pulang, tadi. Mar..., Markeso... Atu, uang itu sudah diberikan padamu? Mana? Mana? Berikan padaku! Kalau tidak kamu berikan padaku, kepada anakmu, akan kamu berikan kepada siapa hasil kerja bapakku? Atau kalian belum makan? Baik, kita bagi tiga uang itu. Aku minta bagianku, dan kalian ambil bagian kalian. Atau begini saja. Berikan uang itu semua padaku, nanti aku akan membelikan kalian makan malam ini. Daripada kalian harus keluar, naik-turun, tebing sungai ini, tentu hanya akan membuat kalian lapar lagi. Iya, kan? Nah, biarkan aku sekalian membelikan kalian makan untuk malam ini. Setuju, kan?

Ram, aku dengar dari para tetangga, kamu dulu menjual 12 kakakku selagi masih bayi. Kenapa itu tidak dilakukan lagi? Biar aku nanti yang mencari pembeli. Aku punya banyak kenalan. Dan aku dengar harga bayi sangat mahal sekarang. Malah, Ram, ada yang bisa menjualkan dengan harga yang lebih tinggi lagi bila kamu bersediah dioperasi selagi bayi itu berusia 3 bulan dalam kandunganmu. Kita tidak perlu mengeluarkan biaya operasi itu, Ram. Kita hanya tinggal menerima harga bayi itu. Katanya untuk dibikin sop, atau diawetkan untuk diminum sebagai jamu. Kamu tidak tertarik, Ram? Hanya mengandung tiga bulan, Ram. Dan kit abisa pindah dari bedeng ini. Kamu tidak bosan tinggal di gubuk yang berdempet-dempet ini? Kamu tidak bosan terus melarat seperti ini? (Kere kok ra jeleh.) ah, aku yakin, Markeso pasti setuju. Di mana? Di mana Markeso sekarang?

Mar... Markeso... Mar. Kamu sembunyikan di mana Markeso? Tapi uang itu sudah diberikan padamu, kan? Mana, berikan padaku. Nanti aku belikan kalian makan, malam ini. Atau..., baik..., aku belikan juga makan sampai besok pagi. Bagaimana? Mana sekarang uangnya? Ayo, berikan. Berikanlah \ram. Aku kan anakmu.

Ram, aku memang pernah mencuri. Sering, malah. Aku juga kadang memeras. Atau, memaksa. Tapi, aku tidak mau melakukan itu pada kalian. Ayolah, Ram. Berikan uang itu padaku. Jangan paksa aku menjadi pemeras, atau penjahat pada kalian. Ram, meskipun orang-orang selalu mengatakan aku sama jahatnya denan kalian yang telah menjual kakak-kakakku, tapi aku tetap tidak ingin jahat pada kalian dengan memaksa kalian menyerahkan uang itu padaku. Kalian itu Ram, berikan uang itu padaku. Ayolah, nanti aku belikan nasi untuk malam ini, besok pagi, dan juga siangnya. Bagaimana? Ayolah, Ram. Jangan suruh aku untuk kasar padamu.

Ram, kalian tahu apa yang dikatakan orang-orang di luar? Mereka bilang, kalian; kamu dan Markeso, lebih jahat daripada aku. Mereka juga bilang bahwa kalian bodoh. Kata mereka, kalau dulu kalian membesarkan sendiri anak-anak kalian, kalian akan beruntung. Kalian bisa menjualnya ke luar negeri, sekarang. Dan kalian bisa terus menerima kiriman uangnya. Kata mereka, kalian bisa menjualnya sebagai babu, sebagai buruh pabrik, bahkan kalau perlu kalian bisa menjualnya sebagai pelacur.

Aku tidak bisa membayangkannya, Ram. Andai 12 kakakku kamu jual ke luar negeri. Apa yang akan terjadi pada kita saat ini, Ram? Aku pasti, sudah tentu, tidak perlu menunggu saban sore hanya untuk meminta uang Markeso yang hanya receh itu. Bayangkan, Ram, 12 anak dalam satu tahun. Kalau mereka mengirim satu juta saja satu orang sekali dalam satu tahun, kita sudah harus menghabiskan uang segepok itu setiap bulan. Itu hanya sekali mereka mengirimkan. Kalau setiap anakmu itu mengirimkan dua kali saja dalam satu tahun, apa kita tidak repot untuk menghabiskannya? Ah.., Markeso pasti tidak perlu bekerja seperti topeng monyet itu. Keliling kota, mengumpulkan recehan.

Markeso, pasti akan duduk-duduk setiap hari dengan rokok kreteknya yang berbau menyan itu. Atau, ah.., jangan-jangan dia akan kawin lagi. Beranak-pinak banyak, dan pasti dikualnya lagi.
Kita akan hidup enak, Ram, hanya dengan 12 kakakku yang mengirimkan uang bergiliran. Dasar, kamu memang bodoh, Ram. Dan karena kamu bodoh, maka kamu pun tidak mau memberikan uangmu padaku sekarang untuk kubelikan nasi. Mana? Di mana sebenarnya uang itu? Atau, aku harus mengambilnya sendiri? Kamu sembunyikan di mana? Di bawah tikar? Dalam besek pakaianmu? Atau kau simpan dalam kutangmu? Mana biar aku ambil sekalipun kau sembunyikan dalam celana dalammu.”

(ADA SESUATU YANG BERUBAH DI DALAM PANGGUNG).

Begitulah Stambul memaksa saya. Syukurlah, semenjak itu dia tidak kembali lagi. Dia tidak pernah pulang lagi. Tapi suaranya yang terus menuduh saya menjual kakak-kakaknya tak bisa saya lupakan. Dan malam itu, saya dan Markeso tak lagi bisa makan. Uang seharian Markeso mengamen telah dirampasnya. Semua.

Kepergian Stambul memang membuat kami lega, meskipun terkadang kami merasa kehilangan juga. Bagaimanapun Stambul adalah anak kami. Anak yang kami niatkan untuk kami asuh sendiri. Kami besarkan, dan kami harap untuk bisa merawat hari tua kami. Lambat-laun kami memang bisa melupakan dan mengikhlaskannya. Kami terkadang bersyukur tidak membesarkan sendiri ketiga belas anak-anak kami. Kalau yang terjadi adalah apa yang sudah dinasibkan pada Stambul pastilah rumah bedeng kami hanya akan menjadi sarang, perampas, pemabuk dan pelacur. Anak-anak kami.

Lalu datanglah peristiwa itu. Beberapa bulan setelah Markeso meninggal. Stambul datang. Dia meminta saya untuk menjadi tukan pijat Pak Prihartono. Saya tidak hanya menolaknya. Tetapi juga, dengan sangat terpaksa, mengumpatinya. Dan dia pergi.

Tetapi beberapa malam kemudian, dia tidak hanya meminta saya. Dia, bahkan, telah memaksa dan menyeret saya. Saya digelandang sampai rumah Pak Prihartono. Dan saya diseretnya sampai ke dalam kamar. Diseretnya.. Diseretnya saya...

Di dalam kamar itu saya tidak tahu berapa saya telah dijualnya. Tapi saya dengar apa yang dikatakan Prihartono pada Stambul:

“Brengsek. Aku bilang akan memberikanmu 250 ribu kalau yang kamu bawa perempuan muda. Tapi apa yang kamu bawa sekarang? Mayat tua. Apa matamu sudah tidak bisa membedakan perempuan muda dengan orang yang sudah bau tanah? Sekarang bawa uang itu kalau mau. Kalau tidak, bawa juga pergi nenek-nenek itu. Aku bisa minta orang lain mencari apa yang aku inginkan. Dasar goblok.”

Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan di kamar mandi itu. Saya seperti tidak bisa berpikir. Tidak bisa menalar. Ketika, saya lepas baju saya dan menuruti perintahnya untuk membersihkan diri.

Lalu terdengar suaranya lagi:

“Kenapa lama? Cepatlah keluar.”

Dan ketika saya keluar dari kamar mandi, saya tidak berani melihat matanya. Saya hanya bisa mendengar perintah-perintahnya:

“Stop. Berhenti di situ. Buka bajumu. Rokmu. Kutangmu. Celana dalammu. Berbaliklah. Aku ingin melihatmu dari belakang.

Nah, mendekatlah. Sekarang pijitlah aku. Kamu bisa memijat juga ternyata. Atau kamu sudah menyiapkannya? Karena menjadi pelacur tentu tak bisa selamanya? Pintar juga kamu punya otak. Kalau kamu mau, kamu bisa juga bekerja di sini. Kamu pasti bisa memasak, kan? Kerjamu hanya memasak, membersihkan rumah, menyeterika, dan memijit. Kamu tidak usah mencuci karena di sini sudah ada mesin cucinya. Berapa kamu minta dibayar setiap bulan? 150 ribu, mau? Aku juga akan mengijinkan kamu menerima panggilan memijat dari orang lain apabila aku tidak sedang ingin dipijat.

Ya, terus ke bawah. Jangan sungkan-sungkan. Aku juga ingin dipijat di bagian itu. Ayo! Kenapa berhenti? Pijatlah di mana saja aku ingin kau memijatnya. Aku telah membayarmu. Aku berhak menyuruh apa saja padamu. Aku bahkan berhak tidak hanya memintamu memijat. Aku bahkan berhak memintamu untuk melayaniku.”

(ADA PERKOSAAN PERSETUBUHAN YANG KASAR, DI SINI)

Lalu tiba-tiba Stambul datang. Saya sudah tidak bisa mendengar apa yang mereka percakapkan. Saya takut. Saya bingung. Saya sedih, marah tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Apa yang terjadi di situ tak bisa semuanya saya ingat.

Sesekali saya memang mendengar dan melihat Stambul menggertak dan meminta uang. Sesekali saya mendengar Prihartono yang membentak-bentak Stambul. Saya ingat Markeso. Andai dia masih hidup, aakah dia juga akan membiarkan saya digelandang Stambul?

Lalu saya mendengar kaca pecah. Ketika saya berpaling saya melihat Stambul bergulat dengan Prihartono. Saya tidak tahu bagaimana perkelahian itu terus terjadi. Pikiran saya kacau. Saya bingung. Saya sedih. Saya takut. Tapi juga marah. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya ingin menangis tapi sudah tidak bisa. Saya ingin berteriak. Tapi saya telah kehilangan suara saya.

(RAMINTEN TERUS BICARA. TANGANNYA BERGERAK-GERAK. TAPI SUARA ITU TAK ADA. LAMPU MENYUSUT. HINGGA MENEMUKAN KELAM.)

Anak Kabut

Anak Kabut
Oleh: Soni Farid Maulana


(cahaya biru berlapis kehijauan jatuh di atas permukaan kayu, semacam meja tulis, atau meja apapun. Di balik cahaya tersebut, tampak seorang perempuan tengah duduk termenung. Sesekali tarikan nafasnya yang berait itu terdengar. Wajah perempuan yang berada di balik cahaya itu seperti bayang-bayang. Saat itu malam begitu larut. Cahaya tersebut masih seperti itu ketika perempuan tersebut tengah berkata-kata).

Tatolah aku, kekasihku, dengan segenap cintamu. Janganlah ragu, gambarlah seekor naga mungil pada kedua belah payudaraku. Sungguh aku tidak suka gambar kupu-kupu atau bunga. Keduanya tidak melambangkan jiwa kita yang liar—keluar masuk nilai-nilai dari malam ke malam, dari pintu ke pintu diskotik. Disergap asap rokok. Irisan cahaya melambungkan jiwa kita pada impian Amerika atau impian apa saja.

Tatolah aku, kasihku, jangan ragu walau ayah dan ibuku tidak setuju. Dulu, ya, dulu. Tato memang simbol napi tapi sekarang lain maknanya. Ia sumber keindahan, semacam aksesoris, semacam tanda, postmodern di akhir abad 20. ya, memang, sejak 12000 tahun sebelum masehi orang sudah mengenal tato. Tapi adakah mereka seberani aku? Kasihku, jangan ragu, tatolah aku, aku tak mau kalah dengan ratu Alexandra yang hidup di abad 19 di Rusia.

Apa? Pencemaran darah, hepatitis B? Jangan takuti aku dengan hal demikian. Kasihku jangan ragu, tatolah tubuhku dengan segenap cintamu. Buatlah aku bahagia karenanya jangan pedulikan apa kata orang. Sungguh jiwa kita yang lapar dan liar ini perlu semacam perlambang, semacam pegangan nilai-nilai; setelah keasingan demi keasingan melontarkan kita pada sehampar dunia tak dikenal. Ya, betapa banyak tanda dan ayat dihadapanku, tapi aku salah menangkap makna*. Selalu kegelapan bersambung kegelapan yang kujelang; setelah kehidupan malam setelah nilai demi nilai berubah makna lebih cepat dari putaran jarum jam.

Tatolah tubuhku, jangan ragu dengan gambar yang permanent dengan model yang mutakhir. Aku tidak suka dengan tato temporer yang akan lenyap dalam waktu dekat, di masa tua nanti tidak punya kenangan yang bisa aku banggakan pada anak-cucuku. Sekali lagi aku minta padamu tatolah kedua belah payudaraku dengan gambar naga, naga cintamu yang jantan itu, yang menggairahkan itu dari malam ke malam membunuh kesepian yang menghadang di depan. Jangan ragu tatolah jiwaku yang lapar dan liar ini dengan jarum cintamu yang tajam dan runcing bertinta putih.

Hahahaha (perempuan itu tertawa. Cahaya sedikit demi sedikit benderang dengan warna netral). Ini pasti bukan sajak Saini KM. Saya berani bertaruhbahwa Saini KM tak akan berani menulis larik-larik puisi yang liar seperti ini:
‘tatolah jiwaku yang lapar dan liar ini dengan jarum cintamu yang tajam dan runcing bertinta putih’.

Sialan, semakin dihayati, puisi ini semakin menggelorakan gairah terpendam. Gairah yang bertahun-tahun sudah lenyap dari dadaku. Ya, bertahun-tahun sudah aku jadi tawanan kehidupan yang tidak jelas bentuk dan rupanya. Sungguh, bertahun-tahun sudah yang aku hadapi adalah anyir darah. Ya, amis darah yang melayah di gigir hari, yang menetes dari tubuh-tubuh tak dikenal.

Masih jelas dalam ingatanku, akan jerit tangis yang tertahan itu, aku dan kaumku saat itu tak lebih dari hewan qurban, yang dengan liar dan ganas dimangsa orang-orang berhati serigala. Ya, masih segar dalam ingatanku bagaimana aku dimangsa orang-orang berhati Nero di tengah-tengah kobaran api yang melahap bangunan demi bangunan bertingkat, sementara di jauhnya orang-orang lapar berteriak dengan suara-suara yang aneh sambil menggasak berbagai benda apa saja yang ada di hadapan dirinya.

Dan kini apa artinya reformasi? Apa artinya menangisi nasib hitam yang telah meruntuhkan jiwaku ke dalam kelam?
Apakah hukum telah berpihak pada orang-orang seperti diriku atau malah dibuang ke dalam tong sampah untuk kemudian dilenyapkan dengan guyuran bensin dan kobaran api, apa jadinya?

Mengapa penderitaan yang demikian hitam menimpa diriku dan teman-temanku hanya dianggap isapan jempol belaka? Orang bilang komnas HAM akan memperjuangkan nasibku hingga mendapat keadilan yang setimpal dengan apa yang aku derita. Tetapi kenyataannya semua itu hanya ramai diperbincangkan di koran-koran, sementara barisan pemerkosa yang bermuka garang itu tak pernah bisa ditemukan batang hidungnya. Demikian pula dengan para penembak gelap yang membunuh mahasiswa juga kekasihku tak pernah pula bisa ditangkap dan bahkan diseret ke muka pengadilan.

Adakah yang terjadi di bula Mei itu akan juga dianggap sebagai fiksi semacam lakon drama yang dibikin haru dan sedih?

Tidak. Semua itu adalah kenyataan yang tidak bisa kuhapus begitu juga dalam ingatanku dan juga ingatanmu yang memperkosa diriku dengan muka yang menyebalkan. Sekali lagi pembunuhan yang terjadi di bulan Mei tidak bisa pula kau hapus dari ingatanmu meski saat ini kau tenang-tenang saja duduk sambil menghisap rokok kesukaanmu di tempat yang jauh. Yang jauh.

Aku yakin kau dan aku sama menderitanya kecuali dirimu telah menjelma iblis yang merajai kegelapan. Dengar, dengan segenap penderitaanku aku kutuk kau hingga hari perhitungan kelak yang tiada seorang pun bisa mengelak dari kepastian hukumNya.

Ya Tuhan yang maha pengasih aku serahkan padaMu. Semata padaMu.

Hening. Sesekali terdengar tiang listrik dipukul orang.

Sayup-sayup terdengar suara hujan yang demikian keras. Perempuan itu bangkit dari tempat duduknya, seperti menuju sebuah jendela terbuka. Lalu balik lagi ke arah semacam meja tulis bagian depannya. Suara nafasnya yang berat terdengar.

Kini setiap malam tiba selalu aku rindukan kekasihku hadir disisiku tidak sekedar membelai rambutku, tetapi juga memelukku. Tapi dimana kekasihku berada? Orang-orang bilang tubuhnya hangus dibakar api. Entah apa kesalahannya, sebagian mengatakan ia mirip dengan intel, sebagian lagi mengatakan mirip dengan provokator dari pihak lawan?

Sungguh, semua tuduhan itu tidak benar. Mana mungkin ia berani melakukan hal yang tidak diketahui dan dikuasainya. Ia hanya seorang buruh bangunan yang kerjanya serabutan. Ia memang punya gelar lulusan sebuah perguruan tinggi ternama di negeri ini. Sayangnya, ia tidak punya koneksi hingga tidak bisa jadi pegawai negeri. Karena tidak punya uang jutaan rupiah sebagai uang pelicin. Mereka yang berkuasa di negeri ini dihadapan dirinya benar-benar telah menjelma seekor naga yang lapar dan liar memangsa apa saja.

O kau yang mati di tengah-tengah kerusuhan. Sejumlah orang tak dikenal mengejar dan menyuruhnya masuk ke dalam sebuah bangunan bertingkat, yang setelah itu kemudian dibakarnya gedung tersebut sehabis sejumlah barang-barang yang ada didalamnya dijarah mereka.

O dari dunia mana mereka datang? Apa agama mereka? Mengapa api dan batu harus bicara? Mengapa mereka yang jelas-jelas telah menghancurkan bangsa dan negeri ini kedalam jurang peradaban yang hitam pekat ini masih ongkang-ongkang kaki, bebas dari segala tuntutan hukum? Negeri apakah ini, kok berani-beraninya seorang terpidana tindak korupsi mengajukan diri jadi calon Walikota, Bupati, Gubernur, malah Presiden?

Ya Allah, apa yang sesungguhnya tengah terjadi dengan diriku saat ini? Betapa dari tahun ke tahun aku tidak bisa menghanguskan rasa rinduku pada kekasihku yang kini entah dimana.
Aku masih ingat bagaimana ia pada sebuah malam hari dan tanggalnya kulupa, menulis sebuah puisi untukku, yang kemudian dibacakannya dengan tekanan suara yang malu-malu karena gelora cinta meluap-luap di dadanya.

Saat itu ia duduk di sebelahku sambil membaca sebuah puisi yang baru selesai ditulisnya. Demikian puisi itu dibacanya: duduk di bangku kayu, menghayati sorot matamu yang kelam oleh kabut dukacita aku temukan bintang mati bintang yang dulu berpijar dalam langit jiwaku. Aku temuka kembali-begitu hitam dan gosong dan kau menjerit terpisah dari cintaku.

Dengarkan aku bicara, suaraku bagai ketenangan air sungai, bagai keheningan batu-batu dasar kali melepas bau segar tumbuhan. Bila hari kembang, suaraku membangun kehidupan yang porak poranda oleh gempa peradaban. Ya, kutahu kota yang gemerlap menyesatkan rohanimu dari jalanku. Hanya ini yang bisa kuberikan padamu: rasa gula yang terperas dari tebu jiwaku. Reguklah, biar jiwamu berkilau kembali. O, bintang yang dulu benderang dalam langit jiwaku.

(terdengar batuk tiga kali dengan tarikan nafas yang terasa berat. Di liar hujan mungki sudah berhenti. Tiba-tiba terdengar suara ledakan dengan amat kerasnya. Perempuan itu segera mendekat ke arah jendela kaca, yang dibiarkan terbuka sejak awal pertunjukan. Dalam pandangan matanya ia seperti melihat kobaran api yang menjulang ke langit jauh.)

Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan bangunan bertingkat itu? Adakah suara ledakan yang aku dengar itu adalah suara bom? Jika ya, mengapa bom sering benar meledak di negeri ini? Tangki air mata nyata saat ini tidak hanya bedah di Aceh, Ambon, Bali, Jakarta dan kota-kota tak terduga dalam peta. Tetapi juga bedah dalam diriku. Aku masih ingat bagaimana kata-kata yang diucap oleh lelaki yang menghinakan diriku itu disuarakan dengan nada yang keras dan penuh kebencian.

Perempuan, katanya. Kau Cuma daging yang tidak hanya enak dipandang tetapi juga ditunggangi. Kau tidak lebih dari akar malapetaka di bumi ini. Kaulah yang menyebabkan kejatuhan Adam dari tanah sorga. Dan kini aku menderita harus menanggung segala siksa. Demi segala rasa haus dan lapar sirna dari tubuhku, ayo buka bajumu. Saat itu aku benar-benar takut melihat pandang matanya yang merah padam seperti orang mabuk yang kerasukan setan. Dengan kasar, pakaianku dibukanya secara paksa. Tubuhku diseretnya ke pojok bangunan yang gelap. Dan dengan buas dilahapnya diriku tanpa ampun.

Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

O, rasa sakit itu tidak hanya bersumber di pangkal paha. Tetapi bersumber di seluruh tubuhku, jiwaku, dan bahkan nyawaku tak kuat menanggungnya. Dan kini aku terus dikejar bayang-bayang yang menakutkan.

Engkau benar cintaku, kita lahir sebagai dongengan. Peran yang kita mainkan adalah kehidupan yang kelam, lebih hitam dari aspal jalanan.

(sunyi. sesekali terdengar suara sirine meraung-raung. Dengan amat kerasnya. Perempuan itu sejurus menarik napasnya kuat-kuat, lalu kembali duduk di tubir meja semacam meja tulis tadi. Cahaya lampu kembali biru berlapis kehijauan. Sunyi.)

Saat seperti ini, aku ingat bagaimana kau berkata untuk terakhir kalinya, sebelum engkau benar-benar pergi meninggalkan diriku selama-lamanya. Ya, malam itu kau tidur di rumahku. Aku begitu kangen, begitu rindu padamu. Kita tidak berbuat apa-apa saat itu. Selain berpandangan dan berpelukan, setelah kau ucap kalimat-kalimat itu, kata-kata cinta yang sangat memabukkan itu.

Telah kau tiup pintu dan jendela kamarmu. Malam yang turun berudara buruk dengarlah ringkik kuda itu, seperti hendak membekukan jantungmu! Larut malam ini aku disisimu. Aku dan kau tersenyum seakan tahu apa yang bergelora di dada. Ya, pelan dan lembut kau dengar guguran daun diluar jendela.

Kita terlahir sebagai dongengan, bisikmu. Malam larut dan sunyi.

Kita semakin koyak oleh harapan purba, Abu kelahiran kita hanya pantas jadi dongengan santapan nasib yang bengis.

(sayup tiang listrik dipukul orang)

Kekayaan kita adalah kemiskinan kita, adalah rumah kita yang lembab oleh air mata, kita hanya pantas menjadi dongengan.

Salak anjing mengusap pendengaran deru kereta memecah kesunyian kata-kata menggumpal dalam dada. Beku tak bersuara menyumpah matahari hitam digilas ruang dan waktu negeri kelam.

Kita hanya pantas jadi dongengan. Ya.

Sungguh aku tak bisa melupakan kalimat-kalimat yang kau ucap malam itu, ketika angin dingin bersiutan diluar jendela menggugurkan ribuan dedaunan. Aku tidak bisa melupakan pancaran matamu yang hangat dan lembut.

Ya, aku tidak bisa melupakan semua itu, termasuk tidak bisa melupakan kata-kata dan pancaran mata lelaki jahanam itu yang telah mereguk kegadisanku secara paksa.

O, api yang berkobar diluar dan didalam dadaku. Seberapa jarak lagikah kebahagiaan itu bisa kujelang. O, maut yang diam-diam mengintai dan mengendap dalam dadaku seberapa detik lagikah nyawa ini kau paut dari tubuh yang penuh luka ini.


Dan kini: aku mendengar langkahmu menyusuri lorong gelap jiwaku begitu teratur, bagai detik jam. Anngin dan daun-daun jatuh mempertegas sunyi yang kelak mekar pada sisa-sisa ranting patah percakapan kita.

Bulan yang memulas langit dengan warna darah: mengundang ribuan kelelawar yang terbang dari goa dadaku dengan suara aneh.

Sungguh setiap jiwaku merindu cahaya matahari. Malam terasa beku sepadat es di kulkas waktu.

Sedang doa-doa para pelayat, genangan air sisa hujan, wangi kembang setaman dan bau kemenyan beraduk jadi satu. Urat-urat syarafku terasa kaku.

O, maut, kebengisan apalagikah yang kelak kau mainkan dalam konser kematianku ini? Sedang Tuhan sulit dijangkau dari keluh-kesah kegelapanku.

(hening, terdengar tiang listrik dipukul orang berkali-kali. Cahaya panggung sedikit demi sedikit kembali netral. Perempuan itu menjatuhkan kepalanya diatas meja. Kemudian menegakkan kepalanya secara perlahan-lahan seiring dengan suara orang yang melantunkan tahrim dari sebuah masjid yang jauh.)

Jam berapa ini? Ya Tuhan betapa cepat waktu berlalu. Hidupku tidak berubah pula. Jika ini semacam ujian yang harus kutempuh dengan tangan dan kaki berdarah-darah, maka aku jalani semua ini dengan kesabaran tanpa batas.

Ya Allah yang maha pemurah. Jika semua ini adalah siksa dariMu. Semoga apa yang kualami di bumi ini menjadi tebusan bagi kehidupan di akherat kelak yang lebih baik dari apa yang aku alami hari ini.

SELESAI

TOPENG TOPENG

MONOLOG
TOPENG
TOPENG
(RACHMAN SABUR)






















DARI BAGIAN ATAS PANGGUNG ADA DUA BENTANGAN KAIN HITAM DAN KAIN PUTIH. MASING-MASING BERJARAK. DARI DUA BENTANGAN KAIN PUTIH DAN HITAM YANG VERTIKAL INI BISA DIJADIKAN SEBAGAI BATAS AREA PERMAINAN BAGI SANG PEMAIN. ATAU BISA JUGA DIJADIKAN SEBAGAI BATAS ALAM NYATA YANG DILATAR BELAKANGI BENTANGAN KAIN HITAM. DAN BATAS ALAM KHAYALI YANG DILATAR BELAKANGI BENTANGAN KAIN PUTIH. YANG SEWAKTU-WAKTU BISA DIPAKAI JUGA UNTUK ADEGAN BAYANG-BAYANG. DI DEPANNYA ADA SEBUAH PETI PANJANG BERWARNA HITAM. DI ATASNYA ADA DUA BUAH TOPENG YANG BERWARNA HITAM DAN PUTIH.

PADA BAGIAN AWAL TERDENGAR BUNYI-BUNYI TETABUHAN. SANG PEMAIN BERGERAK MENGELILINGI PETI. BUNYI-BUNYI TETABUHAN TERDENGAR SEMAKIN MENINGGI. SANG PEMAIN BERGERAK SEMAKIN CEPAT MENGELILINGI PETI. SAMPAI PADA PUNCAKNYA BUNYI-BUNYI TETABUHAN TIBA-IBA BERHENTI. SANG PEMAIN MENGHILANG DI BALIK PETI. TAPI TAK LAMA KEMUDIAN MUNCUL KEMBALI.

Sebagai seorang anak panggung, sebelumnya saya mengingatkan, bahwa dua tokoh yang nanti akan saya perankan, mungkin mempunyai permasalahan yang tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang sedang dihadapi oleh seseorang, atau sekelompok orang, atau oleh siapapun. Mungkin sama, atau mungkin juga berbeda. Mungkin. Tetapi hal itu tidak menjadi masalah sama sekali. Jamak saja kalau kita mempunyai pikiran yang berbeda. Wajar saja kalau kita mempunyai perasaan yang sama. Dan sah-sah saja kalau kita mempunyai pikiran yang sama, dan perasaan yang berbeda dengan seseorang, atau sekelompok orang, atau dengan siapapun. Yang menjadi pikiran kita sekarang adalah, bagaimana sikap kita dalam menghadapi situasi itu. Apakah kita harus menjadi marah? Sakit? Menangis? Benci? Kecewa? Tertawa? Atau kita harus terus membohongi pikiran dan hati nurani sendiri?

Kalau saja, saya bisa percaya…, kalau saja kita mau bijaksana sedikit. Tentunya kita dapat membicarakan segala kebohongan yang ada. Segala yang terjadi dan akan terjadi…
Baik. Kalau begitu akan saya mulai saja.

SANG PEMAIN MENGENAKAN TOPENG HITAM. IA BERADA DI LATAR BELAKANG KAIN PUTIH. PADA DIALOG BERIKUT INI, SANG PEMIAN SEOLAH-OLAH SEDANG BERHADAPAN DENGAN SESEORANG. MEREKA SALING BERTATAPAN.

Wajah kita adalah topeng-topeng. Segala wajah semua bertopeng. Ayo! Siapa diantara kita yang bersedia menanggalkan topeng dirinya? Aku tahu wajahmu. Kaupun tahu wajahku yang sebenarnya. Topengku dan topengmu saling menatap penuh kejatahan! Wajah-wajah kita bersembunyi di balik topeng. Topeng-topeng kita bercengkrama di panggung hidup. Lalu kita saling bunuh membunuh! Topengmu dan topengku terus bergerak menarikan kehidupan dan kematian. Bersama para gagak hitam. Yang bersemayam di bukit-bukit kubur.

TERDENGAR KEMBALI BUNYI-BUNYI TETABUHAN. SANG PEMAIN DIAM BEBERAPA SAAT. HANYA EKSPRESI TOPENGNYA MASIH MENATAP NANAR. PADA DIALOG SELANJUTNYA, SANG PEMAIN SEOLAH-OLAH SEANG BERHADAPAN DENGAN SESEORANG YANG LAIN. BUNYI-BUNYI TETABUHAN MENGHILANG. YANG TERDENGAR HANYA BUNYI PETI YANG DIPUKUL SECARA KONSTAN. SANG PEMAIN DUDUK DI PETI ITU.

Waska! Aku dengar kemiskinanmu di mana-mana. Lapar badan dan lapar jiwa telah membuatmu angkuh! Dan engkau tidak pernah takut mati. Kau dengar Waska? Nasibmu bagai acuan kereta waktu. Berjalan terus berjalan, menyelusuri rel-rel kehidupan yang kumal. Yang telah begitu lama kau kenal.

Waska! Aku lihat borok-borok di seluruh tubuhmu pagi hari. Dan kau sungguh tak peduli matahari! Sementara kau diam membisu di situ, kereta waktumu lewat begitu saja. Tanpa pesan. Perjalan hendak kemana Waska? Dan kau tidak menjawab. Tetap tak peduli.
Waska! Aku lihat sinar di matamu merah menyala-nyala! Waska! Kau dengar? Berjuta-juta orang meneriakkan lapar di belakangmu. Dan aku dengar, siang malam Waska-Waskamu meraung-raung! Mereka menggeram dengan lapar! Mereka menatap nanar! Mereka berkeliaran di mana-mana!

Waska! Mereka gelisah di mana-mana! Mereka kini mengembara keseluruh penjuru kota, mencari-cari kuburnya sendiri, membuat kuburnya sendiri. Lalu tentang mimpi bersarmu, tentang perampokan semesta. Mengendap dalam kekosongan…
Waska! Kini aku melihat kau telah bunuh diri. Kekosongan dan nasibmu, sungguh sempurna.

SANG PEMAIN TIBA-TIBA JATUH DARI ATAS PETI. KEMUDIAN SUNYI. SANG PEMAIN BANGKIT KEMBALI SAMBIL MEMBUKA TOPENGNYA.

Begitulah. Kegelisahan dramatik yang sedang terjadi pada tokoh yang satu ini. Ia telah bertemu dengan tokoh Waska. Seorang tokoh legendaris yang ada dalam lakon sandiwara Umang-Umang. Dimana dalam lakon itu pengembaraan hidup seorang Waska yang jahat, sekaligus sebagai seorang yang baik dapat kita rasakan penderitaannya. Tapi apakah benar Waska itu telah mati? Apakah benar, Waska sebelumnya pernah bertemu dengan malaikat pencabut nyawa? Dan apakah benar Waska itu gila? Sedangkan menurut kabar burung, katanya sekarang ia lagi memimpin proyek raksasa yang dananya beratus-ratus juta milyar dollar. Untuk lebih jelasnya, baik. Saya akan mencoba menghubungi dia. Mudah-mudahan dia mau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang prinsipil dan sangat hakiki itu. Saya percaya, Waska mau memenuhi permintaan sahabatnya. Saya permisi dulu. Waska! Waska! Waska! Waska……!

SANG PEMAIN SEKARANG MENGENAKAN TOPENG PUTIH. BUNYI-BUNYI TETABUHAN MENGIRINGI KEMUNCULAN HADIRNYA SEORANG WASKA.

Sebelum saya menjawab pertanyaan-pertanyaan sahabat saya, yang profesinya sebagai anak panggung. Kiranya saya perlu menjelaskan, bahwa nama saya bukan lagi Waska. Nama saya saya sekarang adalah Semar. Siapa bilang saya ini sudah mati? He… he… he… Itu kan hanya dalam lakon sandiwara saja. Itu kan sebetulnya hanya trik saja untuk memancing rasa emosi penonton. Untuk merebut simpati pengikut-pengikut saya, dan masyarakat lingkungan saya. Dan itupun saya tidak mati-mati. Saya menjadi sakit di situ. Dan yang paling jelas, itu rekaan pengarangnya. Karena pengarangnya menghendaki demikian, ya sudah.

Sungguh! Saya belum ingin mati. Saya masih cinta hidup, kok. Kecintaan saya terhadap kehidupan ini begitu luar biasa. Makanya saya masih tetap muda, dan tetap perkasa. Saya betul-betul menikmati kehidupan ini. Setiap detik saya menghirup dan menghembuskan nafas, bagi saya itu adalah kenikmatan, suatu anugerah. Jangan percaya! Itu hanya isu. Orang masih hidup, kok, … dikatakan sudah mati. Bagaimana ini…? Lalu dikatakan juga bahwa saya ini, katanya pernah bertemu dengan Malaikat Jibril. Bohong itu! Lha, saya hanya pernah bermimpi bertemu dengan Mbah saya. Masa Mbah saya dikatakan malaikat? Itu mengada-ngada, dan itu berlebihan. Jangan-jangan Malaikat Jibril nantinya tersinggung. Mbah saya juga pasti bakal tersinggung dengan fitnah ini.

Baik. Sekarang pertanyaan yang mana, yang belum saya jawab? Oh, ya! Tentang proyek raksasa saya. Memang benar. Proyek ini adalah salah satu dari sekian banyak proyek yang saya kerjakan. Sebetulnya proyek ini adalah proyek kemanusiaan. Dan saya beruntung sekali dapat mengkompensasikannya kedalam bentuk proyek kerohanian, yang semata-mata pengabdian saya terhadap manusia sesama, dan juga pengabdian saya terhadap Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Beruntung sekali saya mendapat kepercayaan untuk mengerjakan proyek raksasa ini. Terus terang saja, saya tidak melihat ini sebagai proyek bisnis semata. Tapi ada yang lebih berharga, lebih bernilai dari itu. Yaitu: pengabdian saya terhadap manusia sesama. Juga pengabdian saya terhadap Tuhan saya. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Mudah-mudahan proyek ini dapat berjalan dengan lancar, sebagaimana yang diharapkan. Proyek ini juga dapat dikatakan sebagai tanda rasa syukur saya kepada Tuhan, yang telah memberikan rejeki yang berlimpah kepada saya. Karena terus terang saja, kehidupan saya sebelumnya tidak seperti sekarang ini. Oh… kalau saya teringat kembali kebelakang, kemasa-masa hidup saya yang serba sulit, serba berantakan, serba gelap…, saya jadi teringat kembali kemasa itu.

Tentunya semua orangpun tahu, dulu saya pernah menjadi anak wayang. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Kenapa saya berhenti menjadi seorang pemain sandiwara? Terus terang saya tidak bisa menjawabnya. Terlalu sulit untuk dibicarakan. Kalaupun saya harus menjawabnya, mmmhh… alasannya sangat pribadi sekali. Betul-betul sangat pribadi. Jadi lebih tidak usah saya katakan. Maaf. Sekali lagi… maaf. Dan maaf lagi, saya harus segera pergi. Saya ada pertemuan. Saya harus memimpin rapat para pemegang saham. Saya harus menggarap proyek baru. Masih dalam fokus proyek kemanusiaan. Saya pikir, saya sudah menjawab semua pertanyaan. Saya harap semuanya bisa menjadi puas dengan penjelasan yang telah saya sampaikan tadi. Terutama untuk sahabat saya yang paling setia. Saya harap anda puas. Kalau anda merasa belum puas, kita bisa ngobrol-ngobrol lagi nanti. Atau lebih baik saya undang anda, atau siapa sajalah. Datanglah ke Jakarta, ke hotel saya. Di sana kita bisa ngobrol-ngobrol lebih santai tentang kemanusiaan, secara ilmiah dan hakiki. Saya tunggu. Dan maaf, saya harus segera pergi.

SANG PEMAIN BERGERAK KEBELAKANG KAIN PUTIH. TAPI TAK LAMA KEMUDIAN MUNCUL KEMBALI TANPA TOPENG.

Bagaimana? Meskipun kita tidak puas, untuk sementara ini kita puas-puaskan saja. Tapi sekarang sudah jelas, bukan? Bahwa Waska itu ternyata masih hidup sehat wal afiat, segar bugar dan masih tetap muda. Kalaupun sekarang ia berganti nama menjadi Semar. Saya yakin itu hanya untuk kebutuhan administrasi dan formalitas saja. Bagaimana tidak, ia seorang Waska. Sekali Waska tetap Waska! Hidup Waska!

Saya heran, kenapa dia harus berhenti menjadi pemain sandiwara. Padahal kita semua menyaksikan sendiri, dia begitu berbakat, potensial. Kemampuannya sangat luar biasa. Refleksinya begitu kuat san sangat sensitif. Padahal dia sebenarnya bisa menjadi seorang pemain yang sempurna. Saya belum pernah melihat orang lain setangguh dia. Betul-betul luar biasa! Saya sampai-sampai pangling melihat perubahan yang begitu besar pada dirinya.

Tapi rasanya saya tidak adil kalau saya harus terus membicarakan tentang kesuksesan Waska. Waska sendiri sudah diberikan kesempatan secara panjang untuk menjawab semua pertanyaan dan isu-isu yang tersiar selama ini. Rasanya kita juga harus sedikit bijaksana untuk memberikan kesempatan bicara kepada Semar. Barangkali ia juga juga ingin menyampaikan sesuatu. Barangkali keanehan atau keajaiban jaman telah terjadi dan harus segera diwartakan kepada semua orang. Segera akan saya panggil Semar.
Semar! Semar! Semar! Semar……!

SANG PEMAIN BERGERAK MENCARI-CARI SEMAR. KEMUDIAN IA MASUK KEBELAKANG KAIN HITAM. SEBENTAR KEMUDIAN IA MUNCUL KEMBALI MENGENAKAN TOPENG HITAM.

Sebelum saya berbicara lebih jauh, terlebih dahulu saya akan meluruskan sebuah kekeliruan. Saya bukanlah Semar. Saya adalah Waska. Saya betul-betul Waska. Memang banyak sekali orang bernama Waska. Tapi saya adalah Waska yang paling Waska. Dunia saya adalah dunia Waska. Penderitaan saya adalah penderitaan Waska. Borok saya adalah borok Waska. Kesunyian saya adalah kesunyian Waska. Mimpi saya adalah mimpi Waska. Sakit saya adalah sakit Waska. Hati saya adalah hati Waska. Keinginan saya adalah keinginan Waska. Dendam saya adalah dendam Waska. Kemiskinan saya adalah kemiskinan Waska. Lapar saya adalah lapar Waska. Sembahyang saya adalah sembahyang Waska. Tuhan saya adalah Tuhan Waska.

Waskawaskawaskawaskawaskawaskawaskawaskawaskawaskawaskawaskawaskawaskawaskawaska…!

IA MENANGIS. SUARANYA MERINTIH MEMILUKAN. KEMUDIAN MEMUKUL-MUKUL PETI. TIBA-TIBA TANGISANNYA BERHENTI. IA GELISAH BERGERAK KESANA-KEMARI. IA SEMAKIN GELISAH. LALU IA BERSEMBUNYI DI BALIK KAIN HITAM. KEMUDIAN IA MUNCUL KEMBALI DALAM GELISAH YANG SAMA.

Bagaimana lagi aku harus menjelaskan? Bagaimana lagi Waska? Percuma saja aku berteriak-teriak, karena orang-orang sudah tidak punya telinga. Berpikir Waska! Berpikir! Percuma saja aku berpikir, karena orang-orang sudah tidak mau lagi menerima pikiran orang lain. Berdoa Waska! Berdoa! Percuma saja aku berdoa, karena Tuhan sudah tidak mau mendengar lagi keluhanku. Lebih baik aku melanjutkan mimpi-mimpiku. Mimpi-mimpi yang dapat memberikan kesunyian yang indah. Ya, lebih baik aku diam dalam mimpi-mimpi itu. Diam bagai batu. Aku memang batu! Batu hitam yang angkuh! Aku harus menjadi angkuh, karena semua orang telah menjadi musuh! Tiba saatnya aku harus mengatakan: tidak kepada semua! Terlebih-lebih kepada orang-orang yang menganggapku sebagai orang tanpa daya upaya, tua dan penyakitan. Akan kubuktikan kepada mereka, bahwa aku adalah seorang Waska. Seorang manusia berantakan, tapi masih punya pikiran. Akan kujelaskan kepada mereka, bahwa aku adalah manusia yang terseret oleh jaman dan peradaban yang edan, namun aku masih tetap punya perasaan. Punya hati nurani. Punya perasaan sakit yang sama seperti orang-orang lainnya. Punya dendam yang sama. Oh! Dendam yang tiada akhirnya. Mengepul panas di ubun-ubunku. Membakar sekujur tubuhku yang hitam berkarat.
Istirahatlah Waska! Kau begitu lelah. Tidurlah…

Siapa bilang aku lelah? Aku tidak lelah! Dan aku tidak butuh tidur! Yang kubutuhkan hanya mimpi! Aku butuh mimpi-mimpi itu. Mimpi sunyi yang indah. Yang membangkitkan gairah hidupku. Dan bintang-bintang berada di tanganku. Kugenggam ia… Ya! Aku harus mendapatkannya. Belum terlambat. Ya! Belum terlambat. Hari masih malam. Masih banyak yang harus kuraih. Bangsat! (BERGERAK LIAR) Mereka mengunyah-ngunyah dagingku! Mereka menghisap darahku! Lintah! Mereka masih tetap saja lapar. Oh…, kebiadaban mana lagi yang harus kusaksikan. Begitu banyak binatang-binatang di sekitarku. Binatang mahal, terpelihara, tapi buasnya minta ampun!

Kau harus lebih buas dari mereka Waska…! Tunjukkan kebuasanmu! Tunjukkan taringmu! Tunjukkan matamu yang merah menyala-nyala! Ayo! Tunjukkan Waska…! Ya… Tuhan! Pandanganku begitu gelap. Sekujur tubuhku demam…. pori-poriku seakan tersumbat. Darah menggelegak naik keatas kepala. Pandangan mataku meremang, kepalaku seakan mau copot… tubuhku… tubuhku terasa kaku dan berat. Lidahku… kenapa lidahku menjadi kelu? (TUMBANG) Bertahanlah Waska! Kau harus bertahan! Dukamu adalah duka semesta! Bangkitlah Waska! Ayo bangkit! (BANGKIT) Ya, aku harus bangkit… aku harus berdiri, aku harus berjalan, aku harus tetap bertahan. Akan kubuktikan, bahwa aku adalah seorang Waska… (TUMBANG LAGI) Berdirilah Waska! Ayo berdiri! Kau harus berdiri di atas kakimu sendiri! Ya, aku harus berdiri… (BANGKIT LAGI) Ayo… kakiku berjalanlah, aku harus menebus kekalahanku… aku harus membayar hutang-hutangku kepada kehidupan ini. Akan aku selesaikan semua persoalan-persoalan ku dengan hidup ini… (TUMBANG LAGI) Waska! Seluruh alam akan berkabung, apabila kau menyerah! Maka bangkitlah Waska! Ayo bangkitlah! Buktikan bahwa kau adalah seorang manusia baja! Buktikan bahwa kau adalah batu hitam yang angkuh! Ayo buktikan Waska! (BANGKIT LAGI) Bnagsat… aku masih tetap seorang Waska, aku masih mampu bangkit, aku masih bisa tegak berdiri, aku masih mampu berjalan. Ayo…! Kakiku berjalanlah…, berjalanlah kemana kau suka. Ayo, kakiku, kau harus berjalan. Pergilah kemana kau mau. Mengembaralah kegunung-gunung, kebukit-bukit, kelembah-lembah. Dan carilah mata air yang sejuk untuk membasuh kakimu yang lusuh. Untuk mengobati luka di sekujur tubuhku. Oh, betapa sejuknya mata air itu menyentuh kepalaku yang lelah. Ayo kaki… berjalanlah. Tempuhlah segala rintangan… (TUMBANG LAGI) Oh…! Rupanya aku ini betul-betul sudah tua… aku lelah… Ya, Tuhan! Sungguh! Aku sudah terlalu lelah… aku berat… oh! Tiba-tiba seluruh pandanganku menjadi gelap (IA MERANGKAK) Begitu gelap… aku seperti masuk kedalam sebuah lorong yang gelap pekat.

Waska! Bertahanlah Waska! Semua itu hanya ilusi Waska! Bukalah matamu! Bukalah pikiranmu! Bukalah pintu hatimu! Buktikan bahwa kau adalah seorang Waska! (IA MASIH TETAP MERANGKAK) Aku sudah tidak tahan lagi Waska! Aku sudah sangat lelah… dan kini aku sedang sekarat…, sudahlah Waska… kau… kau memang kalah…, tapi kau tetap seorang Waska… Ya, Tuhan… aku sangat lelah.

IA MENANGIS. KEMUDIAN SUNYI. BEBERAPA SAAT KEMUDIAN SANG PEMAIN BANGKIT SAMBIL MEMBUKA TOPENGNYA. IA BERJALAN SEPERTI SEDIAKALA.

Begitu besar penderitaan Waska. Begitu besar keinginan Waska untuk hidup, untuk tetap bertahan menjadi seorang manusia. Sampai-sampai ia harus menitikkan air matanya. Begitu indah dan menyakitkan. Sulit untuk dibayangkan, nasibnya begitu mengenaskan. Ucapan-ucapannya, kata-katanya…, begitu simbolis, penuh kemarahan dan ketahanan. Tapi sampai pada akhirnya, ia masih tetap punya pikiran. Ia masih tetap punya perasaan.

Sekarang akan saya panggil: Semar…! Waska…! Semar…! Waska…! Semar…! (SANG PEMAIN BERGERAK MENCARI-CARI SEMAR DAN WASKA) Waska…! Semar….? Waska…? Semar…? Waska…? Tidak seorangpun yang muncul. Seorang Waska tidak mau dikatakan sebagai seorang Waska lagi. Ia sudah menjadi seorang Semar. Seorang Waska tidak mau juga dikatakan sebagai seorang Semar, karena ia adalah seorang Waska. Semar adalah Semar. Seorang Waska adalah seorang Waska. Seorang Waska menginginkan menjadi seorang Semar. Seorang Waska tidak menginginkan menjadi seorang Semar. Kedua-duanya bisa ada. Dan kedua-duanya bisa tidak ada. Sedangkan saya, saya adalah seorang sahabat Waska. Saya hanyalah seorang anak panggung, yang telah lama ditinggalkan……


SELESAI