Sunday, 20 February 2011

Kiai Genggong

Kiai Genggong


Tujuh hari setelah Mama mangkat, musyawarah memutuskan Kiai Genggong sebagai pengganti Mama. Sebagian keluarga memang ada yang kurang sreg. Menurut mereka, Kiai Sabar atau Kiai Behbar lebih pantas memimpin Pesantren Gupitan. Pasalnya, Kiai Genggong agak nyeleneh–waktu kecil suka berkelahi, semasa remaja sering kebut-kebutan, menjelang dewasa berkali-kali menampar orang, dan kini suka hidup menyendiri.

Hanya sebagian keluarga, sejumlah warga Gupitan juga merasa risau dengan terpilihnya Kiai Genggong. Kelembutan dan kewibawaan Mama berbeda sekali dengan watak keras Kiai Genggong. Tapi semua sudah diputus, lagi pula sebelum meninggal Mama berwasiat demikian. Kiai Sabar dan Kiai Behbar sendiri mengakui adik merekalah yang paling layak memimpin pesantren itu.

Mulailah Kiai Genggong memimpin pesantren. Tiap Senin pagi dan Kamis malam, orang-orang menuju pesantrennya, berduyun bagai domba putih yang akan dimandikan. Mereka menyimak pengajian kiai muda itu. Pada awalnya kegiatan berlangsung seperti di zaman Mama meski kecemasan terus bergayut dalam diri jemaah kalau-kalau watak keras Kiai Genggong muncul tak terduga.

Benar saja, seperti gempa longsor di Gunung Gede, tiba-tiba pesantren guncang. Kecemasan itu terbukti. Suatu hari, tanpa alasan jelas, Kiai Genggong menampar Jamhuri, pedagang kambing. Jamhuri tidak melawan. Ia segera meninggalkan pesantren agar pengajian terus berjalan. Namun, pada hari lain, peristiwa terjadi lagi, kali ini Mustofa yang kena. Juga tak melawan. Berikutnya Mang Yusuf, Kang Baban, Wak Jana, dan entah siapa lagi.

Sejak peristiwa itu, jemaah Kiai Genggong berkurang. Hanya beberapa puluh saja yang bertahan. Kiai Sabar dan Kiai Behbar tidak bertindak apa-apa. Mereka menghormati wasiat Mama. Mereka mencintai ayah mereka dan ayah mereka sangat menyayangi Kiai Genggong.

Sewaktu pengajian tinggal hanya dihadiri pencinta keras kepala, Kiai Genggong tetap tegar seperti pohon mahoni sepanjang jalan menuju pesantren. Suasana memang agak lengang, seperti Gupitan malam-malam. Hanya kemersik daunan gugur atau bunyi jangkrik dan suara kodok, selebihnya gema kata-kata Kiai Genggong. Setahun sejak Kiai Genggong menampar beberapa jemaah, pesantren memang mirip kuburan.

Tapi Gupitan tidak ditakdirkan menjadi kampung yang sunyi. Meski pesantren sepi, di sekitar kuburan Mama malah tumbuh semacam pasar. Banyak orang berziarah, malah mereka datang dari kota-kota yang jauh. Warga Gupitan tak menyia-nyiakan peluang itu. Mereka berdagang: sate kambing, nasi goreng, soto ayam, ikan goreng, busana muslim, mainan anak, dan lain-lain. Suasana semakin ramai ketika Kiai Genggong memaklumatkan tiap tahun akan ditradisikan haolan mangkatnya Mama.

Tradisi haolan dari tahun ke tahun pun berkembang. Lokasi pasar dekat kuburan meluas. Di lokasi kuburan, Kiai Genggong membangun gedung besar untuk berdoa. Haolan yang awalnya cuma semalam dua malam, lama-lama jadi seminggu. Pamor Kiai Genggong terangkat lagi, jemaah ke pesantrennya kembali bertambah. Pelataran parkir pesantren kemudian diperluas karena jemaah dan peziarah selalu datang bermobil-mobil, bahkan berbus-bus.

Seiring dengan banjirnya jemaah dan peziarah, perilaku Kiai Genggong kembali normal. Malah warga Gupitan dan para jemaah mulai memandang lain ketika suatu hari gilinding yang mengaspal lapangan parkir pesantren terjerumus ke jurang sungai. Semua pekerja panik, tapi Kiai Genggong tampil mencengangkan. Dengan tenang, diambilnya sehelai benang, dikaitkan ke tiang gilinding, lalu gilinding itu diangkat ke tempat semula.

Sejak itu masyarakat percaya, Kiai Genggong kiai sakti. Kesaktiannya terbukti pula pada suatu hari hujan lebat padahal banyak peziarah di luar bangunan kuburan. Hanya de- ngan mengangkat kedua tangan dan mengibaskan sorbannya, hujan di sekitar kuburan tiba-tiba reda. Bukan hanya itu, bila masjid pesantren tidak cukup menampung jemaah, Kiai Genggong meminta santrinya membentangkan tikar pandan di atas kolam pinggir masjid dan menyuruh jemaah shalat di tikar itu.

Kesaktian Kiai Genggong tersiar dari mulut ke mulut, juga berita-berita koran. Jemaah pun kian berjubel. Sementara itu, kuburan Mama terus dikunjungi peziarah dari berbagai penjuru. Memang akhirnya ada banyak orang datang hanya berharap menyaksikan kesaktian Kiai Genggong-entah sebagai hiburan, bahan cerita, atau berharap dapat barokah kesaktian tersebut.

Kiai Genggong makin termasyhur setelah beredar desas-desus bahwa orang-orang yang dulu pernah ditamparnya kini sudah pada menjadi kaya. Jamhuri bukan Jamhuri lagi. Ia telah jadi haji, punya sawah berhektar-herktar, dan domba beribu-ribu. Juga Mustofa, Haji Mustofa, kini punya angkot 15, ojek 35, dan 2 penggilingan padi. Masyarakat mengingat-ingat lagi nama yang dulu ditampar Kiai Genggong dan setiap ingat sebuah nama selalu saja orang itu memang telah menjadi kaya. Diam-diam masyarakat yakin tamparan Kiai Genggong memang bertuah. Itu sebabnya orang makin berbondong mendatangi Pesantren Gupitan. Kali ini mereka justru berharap ditampar Kiai Genggong.

Kisah kesaktian tamparan menyebar ke berbagai kota. Ada yang percaya, ada yang ragu, ada pula yang menganggapnya sekadar dongeng. Namun, apa pun tanggapan mereka, yang jelas mereka berusaha datang ke Gupitan. Dan diam-diam di hati mereka tumbuh harapan siapa tahu ditampar Kiai Genggong.

Pada suatu hari, dua lelaki bernama Hamid dan Jamal, dari kota provinsi, datang juga ke Pesantren Gupitan. Mereka shalat di sana, ziarah ke kuburan Mama, dan menyimak pengajian Kiai Genggong. Seperti jemaah lain, di hati dua petinggi partai yang juga pengusaha itu tebersit harapan siapa tahu kena tamparan Kiai Genggong.

Berkali-kali Bung Hamid dan Bung Jamal datang ke Gupitan. Bahkan pada kedatangan ketiga, strategi dibicarakan matang. Intinya, Bung Hamid dan Bung Jamal sepakat mengusahakan bagaimana caranya agar telapak tangan Kiai Genggong mendarat di muka mereka. Mereka berjanji kalau salah seorang ditampar, kekayaan yang kelak diperoleh akan dibagi dua. Itu sebabnya, dana keberangkatan ke Gupitan ditanggung bersama.

Bung Hamid dan Bung Jamal bukan tipe orang gampang putus asa. Dibuatlah strategi lain ketika sudah berkali-kali ke Gupitan be- lum juga tamparan berkhasiat itu mendarat di muka mereka. Kali ini mereka mengajak anak buahnya ke Gupitan. Anak buahnya diinstruk- sikan berusaha maksimal agar ditampar Kiai Genggong. Bung Hamid dan Bung Jamal menegaskan kalau ada yang kena tampar dan ke- lak jadi kaya, sebagian kekayaan itu harus di- serahkan ke kas partai dan ke saham perusahaan. Itu sebabnya, seluruh dana ke Gupit- an ditanggung Bung Hamid dan Bung Jamal. Tapi Tuhan itu Zat yang sulit dibaca, berkali- kali ke sana masih tak terjadi apa-apa juga. Padahal pada kedatangan kesembilan, bukan hanya 100 anak buah yang dibawa, tapi 500 sampai kemudian 1.000 pada kedatangan kesepuluh.

Tuhan sebenarnya maha pengasih dan hidup selalu bervariasi. Selalu ada jalan bagi mereka yang berusaha. Entah bagaimana mulanya, Bung Hamid dan Bung Jamal tiba-tiba kenal dengan Mang Cecep. Rupanya Mang Cecep menyarankan Bung Hamid dan Bung Jamal mendatangi dulu seorang dukun. Wak Makbul nama dukun itu. Dan atas saran Wak Makbul, Bung Hamid dan Bung Jamal membeli 7 ekor kerbau, 70 ekor kambing, dan 700 ekor ayam untuk disedekahkan kepada sebanyak-banyaknya fakir miskin di sekitar tempat tinggal Wak Makbul. Tak ada masalah bagi Bung Hamid dan Bung Jamal, yang penting bisa bertemu dan lalu ditampar Kiai Genggong.

Bung Hamid dan Bung Jamal nyaris setiap minggu, Senin pagi atau Kamis malam, datang ke Gupitan karena-menurut petunjuk Wak Makbul-suatu hari secara tak terduga mereka akan langsung ditampar Kiai Genggong. Tapi ingat, harus sabar, serahkan semuanya kepada Tuhan, begitu pesan Wak Makbul.

Beberapa bulan berlalu, tak ada hasil. Malah terasa semakin mustahil mendapatkan anugerah tamparan itu. Bung Hamid dan Bung Jamal kembali menemui Mang Cecep, tetapi apa daya Wak Makbul sudah dibunuh orang-orang bertopeng karena dicurigai sebagai dukun teluh. Tapi bukan Bung Hamid dan Bung Jamal kalau tak penasaran. Meski tabungan sudah menipis, perusahaan terancam pailit, partai digugat massa, utang ke bank bertambah, Bung Hamid dan Bung Jamal terus mencari akal agar bisa ditampar Kiai Genggong.

Dan pada suatu hari berkenalanlah Bung Hamid dan Bung Jamal dengan Om Sarjono, kepala keamanan di lokasi parkir pesantren. Perkenalan tak terduga sebenarnya, ketika Bung Hamid dan Bung Jamal hampir koit dikeroyok massa gara-gara mobil mereka menyerempet pedagang yang berjejer sepanjang jalan menuju pesantren. Om Sarjono-lah yang menyelamatkannya dari amarah massa yang sudah siap menguyurkan bensin untuk membakar mobil itu. Lewat Om Sarjono inilah akhirnya Bung Hamid dan Bung Jamal bisa bertemu malam-malam dengan Kiai Genggong. Om Sarjono, kata orang, memang teman kebut-kebutan Kiai Genggong dulu ketika muda. Om Sarjono ini jugalah yang suka menyelesaikan urusan bila sepeda motor Genggong bermasalah dengan polisi. Dan inilah yang terjadi malam itu:

Malam yang dingin. Harum bunga-bunga padi di sawah, deru daun-daun mahoni, angker rimbun beringin, kelepak pelepah palma yang jatuh, dan desah rumpun bambu di sudut pesantren mengiringi gairah-gelisah Bung Hamid dan Bung Jamal. Aku harus kembali kaya, gumam mereka. Partai boleh bubar, perusahaan boleh bangkrut, tapi aku harus tetap kaya! Begitu tekad mereka.

Dan kini sebentar lagi akan berhadapan dengan Kiai Genggong. Suara kodok di selokan mengguncang-guncang gairah-gelisah mereka. Begitu Kiai Genggong tiba di amben, duduk di tikar berlapis karpet buatan Turki, sepasang matanya langsung menyerbu muka Bung Hamid dan Bung Jamal. Seperti ada pasir longsor di dada mereka, tapi mereka berusaha menguasai detak jantung dan irama aliran darah.

“Assalamualaikum…” sapa mereka terbata-bata.

Tapi anehnya Kiai Genggong justru menggerakkan badan hingga menghadap ke bilik kiri. Deg, jantung Bung Hamid dan Bung Jamal seakan copot. Tapi mereka segera ingat cita-cita. Mereka menggeser duduknya ke sebelah kiri dan kemudian berhadapan kembali dengan Kiai. Mereka kembali ucapkan salam.

Deg, darah di jantung mereka serasa berhenti. Kiai Genggong kembali menggerakkan tubuhnya ke tempat semula. Bung Hamid dan Bung Jamal bersitatap, tapi tak ada kata yang terloncat. Mereka gelisah dan seperti akan lenyap segala gairah. Tapi mereka teguh pada cita-cita. Mereka menggeser kembali tubuh mereka hingga tepat berhadapan dengan Kiai. Kembali mengucap salam.

Dan deg, seperti ada gada menonjok dada mereka. Kiai Genggong membalik tubuhnya, kali ini ke arah kanan. Bung Hamid dan Bung Jamal kembali bertatapan seperti dua kucing menunggu pemilik rumah lengah saat menje- mur ikan. Tapi cita-cita setia memandu mere- ka. Mereka geser tempat duduk ke arah kanan hingga bisa sedikit menatap wajah Kiai. Mereka dengan pelan kembali mengucap salam.

Tetapi lagi-lagi deg, sebongkah batu seakan mengimpit tubuh mereka. Kiai kembali menggeser tubuhnya ke tempat semula. Lurus menatap kejauhan depan rumahnya yang berseberangan dengan pesantren. Tapi Bung Hamid dan Bung Jamal tak mau menyerah. Mereka kembali ke tempat semula dan mengucap salam.

“Waalaikum salam…” jawab Kiai sambil terus komat-kamit.

Plong, paru-paru Bung Hamid dan Bung Jamal seperti dibasuh angin Gupitan yang segar dan sejuk itu. Benar-benar eksentrik kiai ini, kata mereka dalam hati. Mereka merapikan posisi duduk, kemudian Kiai bertanya.

“Bapak-bapak teh ada keperluan apa, tolong segera katakan!”

“Pertama-tama.…”

“Mohon langsung ajah ke pokok tujuan!”

“Kami ingin bersilaturahmi.…”

“Alhamdulillah, kita sekarang sudah bertemu bukan?”

“Kami… ehm… ingin belajar.…”

“Niat yang mulia.…”

“Maksud kami…, kami… punya masalah.”

“Subhanallah, bertawakalah kepada Allah!” Dan Kiai seakan mau beranjak.

“Tapi… Kiai, kami…, kami… membutuhkan bantuan.…”

“Berdoalah kepada Allah, lalu berusaha.…”

“Kami… sengaja… kami mau memohon nasihat….”

“Bacalah kitab suci dan….”

“Maksud kami…, kami… ingin menyumbang.…”

“Alhamdulillah, nuhun, bersedekahlah terutama ke fakir miskin.”

“Kiai, kami ada perlu,” kata Bung Hamid tiba-tiba tegas.

“Dan penting sekali!” sambung Bung Jamal.

“Perlu apa atuh, mohon segera katakan!” Kiai Genggong suaranya dalam.

“Kami banyak kehilangan harta….”

“Carilah kembali dengan jalan yang benar.”

“Kami ingin kembali kaya.”

“Niat yang bagus, asal demi kemaslahatan dunya akherat.”

“Kami membutuhkan Kiai!” kata Bung Hamid lepas.

“Kiai harus membantu kami!” Bung Jamal teriak.

Kiai Genggong beranjak dan hendak meninggalkan mereka, tetapi Bung Hamid dan Bung Jamal berbarengan teriak, “Kami minta Kiai menampar kami!”

Kiai Genggong benar-benar meninggalkan mereka, menuju pintu ruang tengah, menyentuh gerendel kunci, tetapi Bung Hamid dan Bung Jamal sigap menepuk punggung Kiai, membalikkannya, dan kembali teriak, “Tamparlah kami, tamparlah Kiai!”

Kiai Genggong melepaskan cengkeraman tangan mereka, tapi Bung Hamid menghadang dekat pintu ruang tengah. “Kami mohon Kiai, tamparlah kami!”

“Maafkan Bapak-bapak, sayah tak pernah tega menampar orang!”

“Jangan berdusta, Kiai!” Dan plak! Bung Hamid menampar Kiai hingga terhuyung ke sudut ruang dan juga plak, sebuah tamparan lagi kali ini dari telapak tangan Bung Jamal. Darah tipis mengalir dari sela bibir Kiai. “Tamparlah kami, Kiai, kalau tidak terpaksa.…”

Namun tiba-tiba buuk, buuk, tinju Om Sarjono yang sejak tadi mengawasi mereka mendarat di hidung Bung Hamid dan mata Bung Jamal. Darah meleleh dan begitu tubuh mereka rebah, Om Sarjono menekukkan siku lengannya dan sebelah kakinya ke masing-masing dada mereka. “Pak Kiai, tolong tinggalkan kami, biar mereka saya yang ngurus!”

Malam itu-karena Bung Hamid dan Bung Jamal belum siuman-Om Sarjono terpaksa memanggul tubuh mereka keluar dari kompleks pesantren sambil bergumam, “Untung saya bertindak cepat. Kalau tidak, tulang kalian bisa remuk, kulit muka kalian bisa hangus!”

Cianjur-Serang, 2002

Keterangan
mama = panggilan untuk kiai sepuh
gilinding = stoom, alat berat untuk meratakan aspal
haolan = ulang tahun wafatnya seseorang
teluh = sejenis santet
koit = mati
teh, atuh = kata-kata penegas
nuhun = terima kasih

Dyan Anggaeni



Moh Wan Anwar

No comments: