Sunday, 20 February 2011

L’abitudine

L’abitudine


Seringkali Andini membayangkan betapa suatu hari ia akan menjelma burung kolibri, terbang tinggi melintasi pelangi di tengah keranuman musim semi. Pada saat itulah ia akan merasakan warna-warna bunga menjadi lebih berkilauan dalam kesunyian, dan cahaya pagi terasa lebih hangat dari sebuah ciuman yang paling menenteramkan.

Sungguh Jos! Aku selalu membayangkan hari yang ajaib itu datang mengetuk jendela kamarku, bersama kabut dan dingin yang saling berebut cahaya. Pada saat itulah ketika aku membuka jendela, seketika aku menjelma burung kolibri….” Andini bicara sembari memandang pada lembah yang terjamah basah. “Setidaknya aku ingin menjadi merpati.”

Josephine yang mendengarnya, hanya tertawa. “Kalau aku punya keinginan seperti kamu, aku pasti memilih berubah menjadi ular!”

“Kenapa?”

“Biar aku bisa menyelusup masuk ke selangkanganmu. Aku akan mendekam dalam rahimmu. Atau mendekam dalam kepalamu. Biar aku mengetahui semua mimpi-mimpimu….”

“Nggak lucu!”

“Yap! Aku memang tidak sedang melucu.” Josephine sedikit mengangkat bahu. “Lagi pula kamu tidak membutuhkan aku untuk melucu. Kamu membutuhkanku untuk mendengarkanmu berkeluh-kesah soal perkawinanmu yang membosankan.”

“Terima kasih, sudah jadi psikolog gratisan!”

Lalu Andini kembali membuang pandang ke arah perbukitan, pada hutan cemara yang samar dan meliuk-liuk letih di bawah rerepih gerimis yang bagaikan bertih-bertih beras putih berhamburan diterbangkan angin. Andini menyukai tempat ini. Kafe yang menghadirkan sunyi, tetapi tidak menutup diri karena jendela-jendelanya yang besar dan lebar dibiarkan terbuka sehingga temaram ruang yang kecoklatan seakan berkarib dengan keluasan perbukitan. Sesekali ia bisa merasakan angin dan dingin yang ringan seperti belaian. Ia memilih tempat ini bila ia menginginkan perhatian. Ia memilih tempat ini bila ingin ketemu dengan Josephine.

“Kupikir, kamu mesti berani jujur terhadap dirimu sendiri….”

Andini hanya mendesah, terus memandang perbukitan itu pada cuaca yang sendu, ketika segalanya perlahan-lahan menjelma bentangan kelabu, dan ia kian merasakan kebosanan itu. Ia sudah mencoba mengatasi, tetapi kian hari ia kian merasakan betapa perkawinannya semakin membenamkan dirinya dalam keasingan yang tak kunjung ia pahami. Sering ia tergeragap bangun di malam hari, berasa kebah disesah gelisah, dengan jerit yang tersekat di kerongkongan. Betapa ia inginkan pelukan yang membuatnya sedikit merasa nyaman.

“Kupikir kamu benar, mestinya aku tak menikah,” desah Andini, lebih kepada dirinya sendiri.

Tetapi, entahlah. Ia tak yakin benar, apakah ia salah telah memutuskan menikah dengan Gunawan. Ketika laki-laki yang sudah dikenalnya sejak remaja itu melamarnya, ia tak merasa perlu berpikir dua kali untuk menjawab iya. Ia yakin, pernikahan akan membuat dirinya kian nyaman. Karena ia merasa memang begitulah hidup yang mesti dilaluinya: masa remaja yang ceria, kuliah, kerja, dan menikah. Ia selalu membayangkan hidupnya seperti sebuah kisah yang akan berakhir bahagia, dengan senyum paling lembut ketika kematian menjemput. Dulu Andini hanya tertawa setiap kali Josephine mengatakan hidupnya terlalu datar, steril dan licin bagai lantai porselin.

“Dulu aku sudah bilang, perkawinan lebih menyedihkan dari kematian…,” Josephine berkata.

“Itu karena kamu membenci perkawinan?!”

“Jangan salah paham, An,” Josephine tertawa renyah. Seringkali Andini merasa iri dengan Josephine yang bisa dengan riang memandang setiap persoalan. Bagi Josephine, hidup ini seakan-akan begitu gurih dan ringan seperti popcorn. “Aku sama sekali tak membenci perkawinan. Hanya aneh saja. Kupikir, perkawinan itu produk kebudayaan paling dungu yang pernah dihasilkan manusia. Kamu tahu, bagiku, datang ke pesta perkawinan jauh lebih menyedihkan daripada menghadiri prosesi kematian. Aku lebih bisa menerima kematian, karena kematian ialah suatu keniscayaan. Tak perlu kesedihan untuk sebuah kematian. Ia harus kita terima dengan lapang dada, karena kita memang tak bisa menghindarinya, karena kematian memang konsekuensi yang mesti ditanggung manusia. Tapi perkawinan? Bukankah kita bisa menghindarinya?! Kita selalu punya pilihan untuk tidak menjalani perkawinan. Artinya, kita punya pilihan yang bebas untuk menentukan apa yang kita pikir lebih baik buat hidup kita yang hambar dan sebentar. Kalau kita bisa bahagia tanpa perkawinan, lalu buat apa kita memilih perkawinan? Menyedihkan bukan, seseorang memilih perkawinan padahal tak ada jaminan hidupnya akan menjadi lebih bahagia setelah ia menjalani perkawinan? Kau tahu sendiri, Yesus dan Tuhan tidak menikah, dan mereka bahagia….”

Andini mendelik, tapi Josephine malah terkikik.

“Barangkali kamu perlu kejutan kecil untuk hidupmu yang membosankan itu. Kamu mesti melakukan sedikit variasi….”

“Bercinta di kamar mandi? Sambil nungging atau berdiri? Enam sembilan?”

“Tak cuma itu….”

“Lalu apa? Mencoba gimana rasanya gituan ama kamu?!”

“Sori, meski nggak percaya perkawinan, aku masih seratus persen doyan laki-laki!”

“Sialan!”

Sejenak saling diam, saling pandang, seakan mencoba saling mencari kepastian. Di mata Josephine, Andini terlihat begitu lembut dan rapuh, seperti kabut yang sebentar lagi runtuh. Pada saat-saat seperti ini, Josephine jadi merasa bersalah karena seringkali ia diam-diam begitu iri pada Andini. Adakah Andini tahu betapa sesungguhnya ia seringkali ingin menyakitinya? Semasa kanak-kanak, Josephine selalu ingin Andini bisa merasakan bagaimana sakitnya dicambuk berkali-kali oleh ayahnya yang pemarah. Tapi Andini menjalani masa kanak-kanak yang hangat. Juga masa remaja yang penuh pesta. Kemewahan yang melimpah, kemudian menikah. Semua itulah yang membuat Josephine diam-diam selalu merasa iri sekaligus juga mengagumi Andini. Ia iri karena selalu merasa tak bernasib baik seperti Andini, dan ia mengagumi karena selalu membayangkan betapa senangnya menjadi Andini. Selalu ada keinginan untuk menyakiti dan melindungi.

“Menurutmu, apakah aku mesti menyelamatkan perkawinanku?”

“Aku tahu, kamu-dan seluruh keluarga besarmu-tak pernah memikirkan perceraian sebagai penyelesaian. Tapi kalau kamu memang mesti menyelamatkan sesuatu, jangan hanya kau selamatkan perkawinanmu, tetapi juga hidupnya. Gairah dan keinginanmu, mimpi-mimpimu. Jangan buat perkawinanmu jadi kian menyedihkan.”

Tapi, barangkali perkawinanku memang sudah sedemikian menyedihkan, batin Andini. Hingga aku seringkali membayangkan betapa suatu hari aku menjelma burung kolibri, terbang tinggi melintasi pelangi di tengah keranuman musim semi….

Dan kesedihan itu kian ia rasakan, lebih cepat dari yang ia kira. Sesungguhnya Gunawan tetap punya perhatian, meski tak terlalu berlebihan. Kecupan-kecupan ringan, tetapi bukan lagi menjadi sesuatu yang tak terduga, melainkan lebih terasa sebagai kerutinan. Lalu aturan-aturan bahwa seorang istri semestinya tak kelayapan selepas jam tujuh malam. Sindiran- sindiran yang menyakitkan. Tak pantas seorang istri keluarga baik-baik berpakaian sexy, memperlihatkan belahan tetek dan pusernya. Ngapain juga pakai rok mini begitu! Pertengkaran dan hardikan yang membuatnya merasa terabaikan. Kemudian percakapan antara mereka lebih banyak memerihkan duka. Duka yang bahkan terasa di bulu-bulu mata.

Andini jadi merasa beruntung mengenal Josephine, yang selalu mau mendengar kesedihannya. Bagi Andini, Josephine adalah satu-satunya sahabat yang mau memahami dirinya. Karena itulah, Andini tak sungkan bercerita. Tak sungkan mengungkapkan perasaannya ketika kesepian kian menyesakkan, ketika ia ingin terbang jauh melintasi pelangi, ketika ia merasa betapa dirinya perlahan-lahan berubah menjadi burung kolibri. “Sungguh, Jos! Aku menjadi burung kolibri! Itulah hari paling menakjubkan. Begitu ringan, melayang-layang….”

Josephine tertawa, sebagaimana biasanya, kedengaran renyah seperti menikmati fried potatoes.

“Kamu nggak percaya?”

“Percaya. Percaya…,” Josephine masih menyimpan tawa, lebih berbinar dan kelihatan bahagia. “Aku percaya kamu lagi jatuh cinta! Selamat….”

Andini menepis tangan Josephine, tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Sialan! Ia selalu bisa menerka perasaannya.

“Kenapa mesti malu mengakui? Bukankah pernah kubilang, menyelamatkan hidupmu jauh penting ketimbang menyelamatkan perkawinanmu yang membosankan…,” Josephine menarik kursi, lebih mendekat. “Ayolah, ceritakan, siapa laki-laki yang telah membuatmu menjadi burung kolibri….”

Andini menatap senja yang bagai menyimpan rahasia. Pada senja seperti ini pula ia bertemu laki-laki itu. Saat itu senja hampir lengkap, dan langit begitu halus serupa lakmus. Laki- laki itu muncul seakan-akan diantar melankoli alun Andrea Bocelli. Tu, per quello che mi dai, quell’emozione in più, ad ogni tua parola….

Dia ringan seperti nyanyian. Mereka bertatapan, sebentar. Hanya sebentar. Tapi Andini merasakan sesuatu yang begitu tergetar. Ada yang sulit diucapkan, tetapi laki-laki itu tampak lebih menakjubkan dalam diam. Rasanya seperti menikmati puisi, menghayati sunyi yang abadi, suasana tanpa kata-kata, suasana yang lama hilang dalam igauan dan mimpi-mimpinya. Saat itulah ia merasakan bulu-bulu sunyi bertumbuhan di sekujur tubuhnya. Bulu-bulu yang halus dan bersih, putih merepih. Saat itulah Andini mendapati dirinya telah menjelma menjadi burung kolibri. Dan laki-laki itu menghampiri, tidak dengan kata-kata, tapi dengan sapaan yang lebih teduh dari nyanyian yang membuat ruangan terasa rindang, juga lebih terang.

Perché la solitudine, che non sorride mai,

diventa l’abitudine, e non la scelta che tu fai.

Pertemuan demi pertemuan, selalu berulang dan kembali seperti gema yang panjang. Dan Andini tahu laki-laki itu, seorang penyair yang menciptakan keajaiban-keajaiban dengan kata-kata. Namanya Adam.

“Kau tahu, Jos…,” desah Andini, sedikit menunduk, mengakhiri cerita. “Pertama kali mendengar namanya, aku merasa berkenalan dengan awal mula dosa.”

“Hmm. Dosa. Aku kira itu akan membuatmu kian lengkap sebagai manusia.”

“Ini rahasia kita….”

Ah, rahasia. Josephine menyandarkan punggugnya ke kursi. Alangkah banyak rahasia antara kita, batinnya. Adakah kamu ingin tahu rahasia apa yang aku sembunyikan dari kamu? Biarlah masing-masing kita bahagia dengan rahasia kita.

“Please, Jos, jangan sampai Gunawan tahu.”

Josephine diam, hanya tersenyum-seakan ingin menegaskan: aku jauh lebih bisa menyimpan rahasia lebih dari yang kamu kira.

“Lakukan, apa yang menurutmu mesti kamu lakukan. Selama kamu menikmati…,” kata Josephine. “Dan kuharap kamu memang benar-benar menikmatinya. Karena aku tahu, seks itu seperti semangkuk sup. Begitu kamu merasa enak mencicipinya, kamu akan menghabiskan semangkuk sup itu, dan ingin menambahnya….”

Keduanya tertawa. Hidup memang terasa gurih dan renyah bersama Josephine. Senja jadi lebih megah ketika perselingkuhan terasa ringan. Sentuhan lembut di telinga, kecupan ringan di puting susunya, semuanya terasa menakjubkan dalam kenangan. Si, adesso ci sei tu, nei sogni e nelle idee, nell’immaginazione…. Lebih menghanyutkan dari suara Helena yang membuatnya terlena ketika laki-laki itu mulai memasukinya….

Bersama Adam, Andini selalu menjelma burung kolibri. Adam memahami mimpi-mimpinya, barangkali karena ia seorang penyair. Andini sering menyaksikan dari jemari Adam berhamburan kata-kata yang meletup pecah di udara menjadi kupu-kupu. Kadang menjelma kunang-kunang, menjelma burung merpati. Kata-kata itu pula yang selalu mengubah Andini menjadi burung kolibri, terbang tinggi melintasi pelangi di tengah keranuman musim semi.

“Setiap bersamamu, aku merasakan saat-saat paling rawan dan membahagiakan dalam hidupku…,” katanya, dengan suara lirih seperti tengah membaca larik-larik sajak yang melankolis, sambil merentangkan tangan kanannya, menggapai udara, seakan memetik sesuatu dari kehampaan. Dan, tass, mendadak tangannya telah menggenggam sebutir apel. Merah. Ranum. Apel yang tercipta dari keajaiban kata-kata.

Andini melonjak bahagia ketika apel itu melayang-layang di hadapannya. Kemudian keduanya berdiri berhadapan, saling menyentuhkan tangan. Ah, betapa dari jarak lebih dekat Andini mendapati tubuh laki-laki itu jauh lebih berkilat, berkeringat penuh hasrat. Struktur tulangnya tampak begitu nyata. Dadanya yang tak bidang, samar memperlihatkan garis-garis kosta. Tangannya pipih, begitu bersih. Terasa lebih menggairahkan ketika bercinta bukan semata kewajiban dan kerutinan. Andini kian terpesona ketika laki-laki itu bergerak, pelan, lamban tapi bertenaga, seperti menari….

Lalu Andini rasakan desir yang perlahan-lahan mulai berpusaran. Ia mendengar desah kabut yang basah, melayah menyentuh permukaan tanah. Ada kesejukan yang membasah, menggetarkan kerimbunan hijau daun. Gemercik air. Geletar sayap kupu-kupu yang terbang di kejauhan. Ia dengar tiupan flute yang lembut, menghamparkan padang rumput, juga harum lumut. Kemudian alunan piano, mengantarnya ke sebuah danau. Bunyi-bunyi perkusi yang menghadirkan berbagai imaji, hingga kelopak-kelopak bunga seketika terbuka. Andini dapat menangkap helai-helai cahaya yang berkeredap bagaikan lembaran-lembaran kain yang berkibaran pelan membungkus tubuhnya. Ia merasakan tubuhnya perlahan-lahan terangkat, mengapung di arus waktu. Seakan-akan berada di keluasan cuaca tak bernama, dengan lengkung langit lembayung bagai payung, menahan lindap cahaya yang muncul dari punggung gunung. Kadang seperti sebatang ilalang, tubuhnya melayang-layang melintasi keluasan padang. Namun seketika itu juga ia merasa berada di tengah telaga yang sejuk dan rimbun oleh gulma. Lalu ia melintasi kerimbunan pinus, tegak lurus, lembab humus.

Kamar terasa bergetar. Lagu paling merdu, merembes dari dinding. E sono qui con te, e non ti lascerò, ti chiedo di fermarti qui, e stare insieme a te…. Dan lilin-lilin merah terangkat ke udara, melayang berkitaran. Andini mendesah. Merasakan tubuhnya membasah. Ada yang bersikeras membuncah, gairah yang sebentar lagi pecah! Aahhh….

“Ya, Tuhan…,” Andini menggigit bibirnya hingga berdarah. “Aku orgasme!!”

Ciuman yang gugup, dan Andini segera menutup pintu, menghambur ke jalan sambil mencermati kancing dan merapikan kelim gaunnya. Ia langsung menyetop taksi yang pertama lewat. Bukan saat yang tepat untuk memilih-milih taksi.

“Cepat, Bang!”

Ya, ia mesti cepat pulang. Sebelum Gunawan sampai di rumah. Ia mesti mandi. Bau tubuh laki-laki itu terasa lekat di kulitnya. Ia ingin tak ada tilas, tak ada bekas.

“Bisa lebih cepat?”

“Macet, Bu….”

Andini mendengus. Waktu seakan mengincarnya dengan kutukan. Sedetik saja terlambat, rumahnya akan berantakan. Keramik-keramik akan dibanting ke lantai. Dilempar ke arahnya. Lalu makian. Mungkin juga sekian tamparan. Lalu seluruh keluarganya tahu. Ia akan dipelototi sebagai pesakitan. Sebagai istri yang tak bisa menjaga perasaan suami. Andini meraih handphone-nya. Tak ada SMS masuk. Tak ada missed call dari Gunawan. Ia merasa sedikit nyaman. Ia tak merasa perlu mengarang alasan kenapa tak membalas SMS atau mengangkat handphone.

Tidak, ia tidak takut kehilangan Gunawan. Karena ia yakin laki-laki itu pun tak punya keberanian menceraikannya. Ia hanya takut disalahkan keluarga besarnya. Papa mamanya. Oom dan tantenya. Lagi pula ia memang tak pernah membayangkan atau punya keinginan menikah dengan laki-laki itu, dengan Adam, meski ia membuatnya menjadi burung kolibri. Laki-laki itu memang memahami mimpi-mimpi dan fantasinya. Tapi ia merasa laki-laki itu akan cepat membosankan dalam sebuah perkawinan. Sepanjang ia tahu, penyair selalu merepotkan ketika menjadi seorang suami.

Ia dapati rumah yang sunyi. Andini sedikit merasa lega. Ia berharap Gunawan pulang lebih terlambat. Semakin terlambat semakin ia bisa menata kerusuhan hatinya. Kini ia hanya perlu mandi agar merasa segar. Tapi bagaimana kalau tadi Gunawan sudah menelepon rumah? Bertanya pada Bik Jamri, apakah ia di rumah? Bila Andini menanyakan hal itu kepada Bik Jamri, malah akan membuat pembantu itu menatapnya curiga. Ia selalu merasa betapa Bik Jamri selalu memata-matainya. Maklum, Bik Jamri masih kerabat jauh Gunawan yang dibawa dari desa. Mungkin Gunawan juga sudah menelepon Rahmat, sopir pribadinya. Ke mana Nyonya pergi? Kenapa tidak kamu anter? Itu hal biasa dilakukan Gunawan untuk mengecek keberadaannya. Ke mana ia pergi, urusan apa, dengan siapa.

Sungguh, ia butuh dewa penyelamat! Dan Andini langsung ingat Josephine. Ia akan menjelaskan kalau tadi ia pergi dengan Josephine. Biarlah nanti Josephine yang mengarang ke mana mereka pergi hingga ia pulang terlambat. Segera Andini menghubungi handphone Josephine.

“Jos….”

“Hai….”

“Mengganggu?”

“Nggak. Ada apa…,” terdengar suara Josephine yang pelan dan rendah.

“Aku mau minta tolong. Nanti kalau Gunawan telepon kamu, bilang kalau tadi seharian aku sama kamu….” Lalu Andini merasa lebih tenang. Ia percaya Josephine tahu maksudnya. Ia percaya Josephine memahaminya. “Oke, Jos? Makasih lho….”

Andini meletakkan telepon.

DI kamar hotel yang temaram, Josephine duduk termangu di tepi tempat tidur. Hampir saja ia tak menguasai perasaannya. Sialan! Ia lupa mematikan handphone. Keteledoran kecil yang bisa berakibat fatal.

“Dari siapa?”

Josephine menatap laki-laki yang bertanya itu. Tatapannya mendamba, begitu manja. Seperti kucing anggora. Laki-laki memang seperti kucing anggora, ia akan selalu nurut dan manja bila kita bisa menaklukkan hatinya.

“Kok diam?”

Josephine bergerak ke tengah ranjang, membiarkan selimut yang menutupi dadanya melorot.

“Telepon dari siapa?”

“Andini….”

“Apa dia mulai mencurigai kita?”

Josephine tak menjawab. Ia hanya menyurukkan wajahnya ke dada Gunawan.

Jakarta-Yogyakarta, 2003

“L’abitudine”, satu lagu gubahan Pierpaolo Guerrini dan Giorgio Calabrese, yang dinyanyikan Andrea Bocelli dan Helena (Lihat album Andrea Bocelli “Cieli di Toscana”).


Agus Noor

No comments: