Duka Abadi Me Made
Mendung memperkelam segala. Juga perkabungan di sudut desa. Pepohonan, juga angin dan kematian, menjadi sekutu paling pilu di tengah puluhan kerumun wajah-wajah duka, hampa, berair mata; menatap sesosok tubuh terbujur kaku di atas rangka bambu di halaman rumah. Harum air bunga berwarna kematian bertabur rata pada sekujur tubuh kaku. Pada kain putih yang sempat tersingkap tampak sejumlah bekas bacokan yang menganga, memerah, mematikan; seperti sebuah kesempurnaan tentang arti meregang yang sangat panjang, perih, menyakitkan….
“Bli Wayan mati, Me.”
“Bli Wayan-mu mati.”
“Meme sedih?”
“Meme sedih?”
“Tapi mengapa Meme tak menangis?”
“Meme capai menangis.”
“Tapi mengapa wajah Meme tak memperlihatkan kesedihan?”
“Meme tak tahu, Ning.”
Rintik hujan memperkelam kematian. Segala tampak kuyup. Beku. Juga wajah-wajah yang merubungi sosok yang terbaring kaku itu. Sejumlah orang memindahkan mayat itu ke bale delod. Suasana sedikit riuh. Tapi wajah mereka menyemburatkan kemurungan, kecuali seorang perempuan kurus berkebaya hitam. Di tengah rintik hujan, wajah itu sungguh-sungguh kelihatan lebih teduh, tenang, tabah. Ketika semua usai, ia menghaturkan suksma ketenangan.
“Me Made jangan terlalu bersedih.”
“Tetaplah tabah.”
“Nasib memang tak bisa dielakkan.”
“Hyang Widhi bersama Me Made.”
“I Wayan tak sepantasnya menerima kematian seperti itu.”
Me Made tersenyum. Hujan mengguyur tubuhnya. Sejauh itu ia tak mengelak dari rintik-rintik air. Kebaya hitamnya melekat pada tubuhnya karena begitu kuyup. Bahkan ketika akhirnya rumah itu kembali seperti semula; senyap, sendu, dingin, perempuan paruh baya itu tetap hilir mudik menyelesaikan runtutan pekerjaan yang bersisa. Nun di bale delod, maut berbaring tak ambil pusing.
Tabuh angklung kematian menyeruak ke segenap setra di tanah ketinggian, melilit pohon-pohon kepuh yang menjulang menaungi kuburan yang teduh oleh rumput hijau, menyusup pilu ke telinga Me Made. Dalam dekapan hujan, tabuh angklung itu terasa indah, namun begitu kuat menggenggam irama kematian. Me Made tetap duduk dekat sekaa angklung itu sambil memandang gemeretak suara api yang membakar perlahan-lahan jenazah putranya. Hujan yang tak jua berhenti membuat pembakaran mayat itu sangat lambat. Kompor gas yang tiada henti mendesis keras agak mengganggu tabuh irama angklung.
Tapi Me Made tak peduli, tetap saja termangu, tetap saja membiarkan dirinya hanyut oleh lamunan daripada terusik oleh deru kencang kompor gas yang menjaga nyala besar api yang membakar jenazah putranya. Matanya yang tenang dan membagi keteduhan kepada siapa saja itu tampak redup, muram dan luka.
Irama angklung itu terus merasuk ke dalam dirinya, melemparkannya kepada suatu masa yang merobek batin dan ketenangannya… suatu masa di tahun ’65 yang mengharuskan ia dibiarkan dengan mata nyalang memandang leher suaminya ditebas dengan dingin. Kilatan kelewang yang bercahaya oleh kilau darah mematri ingatannya hingga kini. Atas nama kekuasaan dan ideologi yang berseberangan… nyawa suaminya tak pantas ada.
Sebuah sentuhan di lengan mengembalikan ingatan Me Made. Perempuan itu agak terperanjat, namun wajahnya refleks tersenyum ketika memandang wajah putrinya. Wajah cantik gadis itu sembab, murung dan tak bercahaya. Me Made meraih lengan putrinya dan mengajaknya duduk di sebelahnya. Ibu dan anak itu bersibungkam.
Hujan terus merintik. Tak banyak orang berlalu lalang di pekuburan. Mereka lebih memilih berteduh di bawah pohon-pohon kepuh yang rindang. Sore seharusnya masih terang. Namun, hujan membuat sore terasa tua. Tambah pula dingin mendekap segala. Kecuali terang api kompor gas yang terus saja mendesis dan membakar jenazah, selebihnya ialah senyap mendera-dera.
Isak kecil membuat Me Made berpaling kepada putrinya. Ia merangkul gadis itu, memeluknya lembut, dan berbisik lirih membesarkan hati anaknya. Tapi gadis itu malah tersedu. Badannya yang langsing itu kelihatan berguncang. Me Made mempererat pelukannya.
“Sudah… sudah, Ning! Ikhlaskan kepergian Bli Wayan-mu,” bisik Me Made .
“Tapi Bli Wayan, Me. Mengapa ia harus mati seperti itu?”
Me Made tak sanggup menjawab.
“Mengapa, Me?”
Me Made malah termangu.
Gadis itu tak lagi mendesak. Ia suntuk dengan tangisnya.
Tabuh angklung tiba-tiba menyeruak kesunyian mereka. Iramanya sungguh menyayat-nyayat. Dan, itu sudah cukup mengembalikan ingatan Me Made pada putranya I Wayan. Dalam lamunan irama angklung, ia membayangkan putranya di kedituan begitu agung, harum, suci. Senyumnya indah dengan cahaya mata yang menatap begitu teduh; menari dengan lembut dan suci dalam balutan busana serba putih, saput putih, udeng putih….
Tapi pada kelebatan lamunan yang lain, Me Made terlempar pada kejadian beberapa hari lalu; sejumlah besar orang-orang menyerbu rumahnya sambil berteriak dengan umpatan, makian, dan kata-kata kotor, menistakan keluarganya ke titik masa lalu sambil meminta putranya I Wayan keluar dari rumah. Beberapa orang menyeruak ke dalam rumah dan menyeret paksa I Wayan ke halaman. Me Made mencoba menahan putranya sambil berteriak histeris, mencegah dan mengusir mereka.
“Kau mencabut bendera parpol kami!” teriak seseorang berbadan besar bertato.
“Memang dia!”
“Ya, memang dia!”
“Aku melihatnya, dia duduk dekat bendera parpol kita yang berjatuhan!”
“Habis dia!”
“Dasar dia!”
“Dasar anak PKI!”
“Sudah, jangan banyak omong. Sikat saja!”
Seseorang mulai memukul I Wayan. Lalu disusul yang lain. Dan puluhan orang itu, dengan membawa berbagai senjata, membantai I Wayan di depan Me Made. Perempuan itu berteriak-teriak histeris. Setelah suaminya, kini ia kembali dengan mata nyalang menyaksikan kekejian berlangsung di depan matanya. Putranya dianiaya melebihi batas-batas ukuran hati manusia. Me Made meraih I Wayan setelah tubuhnya tak lagi berbentuk, penuh darah dan darah….
Jeda tabuh angklung mengembalikan kesadaran Me Made. Ia mendapatkan sekitarnya tetap lengang, kecuali dengus berkepanjangan suara kompor gas. Hujan masih merintik. Juga putrinya masih menyisakan isak. Ketika prosesi ngaben itu akan mulai berakhir, Me Made bangkit dari duduknya sambil membantu putrinya bangun. Mereka melangkah lambat mendekati pembakaran mayat dan mendapatkan I Wayan telah berubah menjadi abu….
Di kamar yang sunyi, Me Made sepi sendiri. Sejak kepergian I Wayan, kesepian itu kian terasa perih. Ada suara lamat-lamat suara televisi, namun itu tak mengganggu deru sepi yang mendera Me Made. Pada satu dinding kamarnya, ia memandang dua wajah yang disayangi dalam bingkai foto 11R. Ia beranjak dari bibir pembaringan dan mendekat dua foto itu. Dua wajah lelaki yang disayanginya, dan keduanya pergi dengan cara keji.
Me Made meraba dua foto itu; dan pada penghayatan cinta luar biasa kepada dua wajah dalam foto itu, terasa tangannya bergetar. Me Made tak kuasa menahan diri. Ia menangis dengan tubuh terguncang. Ia seperti merasa sungguh-sungguh tak kuasa lagi menahan dera derita yang dibawanya. Ia ingin sekali Tuhan mencabut nyawanya supaya tak selalu ingat kepada orang-orang yang dikasihinya yang lebih dulu meninggalkannya. Karena jika mengingat mereka, hatinya seperti berkali-kali dibuat remuk.
Putrinya menyongsong ke kamar ketika mendengar Me Made menangis.
“Meme… Meme….”
Me Made mencoba bergegas mengusap air matanya. Ia tak ingin kelihatan tak tabah di depan putrinya. “Meme tak apa-apa, Ning,” seru Me Made, mencoba tersenyum. Ia melangkah ke tempat tidur. “Meme hanya selalu teringat dengan Bapakmu dan I Wayan.”
“Ayo kita nonton TV, supaya Meme tak sedih lagi,” ajak putrinya.
Me Made menggeleng, “Meme lebih baik tidur.”
“Tapi masih terlalu sore, Me.”
Me Made tetap menggeleng.
“Kalau begitu, Meme tidurlah. Jangan memikirkan apa-apa.”
Me Made mengangguk dan masih mencoba tersenyum. Hanya kali itu, ia merasa senyumnya amat perih.
Me Made mencoba menuruti saran anaknya. Ia tak mau memikirkan apa pun. Ia berusaha mengosongkan pikirannya sambil mengidungkan Tri Sandya. Bait-bait suci itu diucapkannya terus dalam hati… sampai kemudian terasa matanya memberat dan perlahan-lahan ia merasa damai dalam lelap.
Namun, hampir menjelang tengah malam, Me Made terjaga dari tidur. Putrinya kembali memburunya ke kamar. “Ada apa, Me? Ada apa? Meme menjerit-jerit sambil menyebut nama saya,” seru putrinya.
Wajah Me Made tampak basah oleh keringat. Sambil memeluk putrinya, ia kembali menangis. Kini perempuan setengah baya itu tak lagi dapat berpura-pura tabah. Ia menangis sejadi-jadinya tanpa mau menuturkan mengapa ia kembali menangis.
“Ada apa, Me?”
Me Made tetap saja menangis.
Gadis itu tak lagi mendesak ibunya. Dibiarkannya ibunya tetap dalam pelukan. “Meme kembali tidur saja,” saran gadis itu sambil perlahan-lahan melepaskan pelukan dan dengan hati-hati membaringkan kembali Me Made. “Tidur saja ya, Me!”
Me Made mengangguk. Saat kembali sendiri, potongan impian itu muncul kembali. Ia seperti dipaksa oleh keadaan melihat kekejian demi kekejian, tidak hanya dalam kenyataan, melainkan juga dalam impian. Dan sepotong impiannya tadi memaksanya dengan mata nyalang melihat putrinya-dalam suatu kerusuhan oleh entah apa-dikerubuti begitu banyak lelaki; ditarik, ditindih, didekap beramai-ramai….
Denpasar, Oktober 2003
I Wayan Suardika
Showing posts with label Januari 2004. Show all posts
Showing posts with label Januari 2004. Show all posts
Sunday, 20 February 2011
Angin yang Bersiul di Tingkap
Angin yang Bersiul di Tingkap
Tahukah kau tentang kisah seorang lelaki yang jatuh cinta pada seorang putri Puri Kanginan yang cantik bagai bidadari usai mandi di telaga yang tepinya ditumbuhi bunga pancawarna? Puluhan pohon bunga itu menggoyangkan dahan-dahannya sampai kembang wangi berjatuhan masuk ke dalam air telaga dan membuatnya harum mewangi lalu tak henti-hentinya meluruhkan daki para bidadari yang turun dari langit, menari-nari tanpa peduli pakaian dan selendang mereka ada yang dicuri. Bunga kenanga, cempaka, bunga kantil dan melati, bahkan semak mawar pun ditiup angin sampai kelopak-kelopak bunganya mengorbankan keindahannya, namun wanginya dicelupkan ke dalam air telaga.
Putri itu bagaikan bidadari yang kehilangan kain, baju, dan selendangnya lalu dengan malu-malu bersembunyi di dalam semak menutup sekujur tubuhnya dengan dedaunan dan kedua belah tangannya.
“Janganlah takut tuan putri, aku takkan memerkosamu. Kenakanlah pakaian ini dan engkau bisa menjadi seorang putri cantik jelita yang benar-benar ada di dunia ini.”
Dan, menjelmalah bidadari menjadi putri yang diam di puri, disayang oleh para dayang, oleh biyang danaji, olehtu pekakdan tunini. Tapi, setiap saat Tuan Putri merindukan seperangkat pakaian dan selendangnya yang bisa membawanya kembali terbang ke surga, bergabung dengan sesama bidadari dan penghuni surga lainnya, tidak seperti sekarang, terkurung di dalam sebuah puri bersama keluarga para ksatria, namun mustahil dapat menggenggam kebebasan sebagaimana saat dia menjadi penghuni surga.
Tahukah kau lelaki itu selalu merindukan Tuan Putri, namun keluarga puri tidak mengizinkannya bebas berkeliaran ke luar puri tanpa keperluan yang berarti? Berhari-hari lelaki itu berjalan hilir mudik di depan puri dengan harapan sedetik atau semenit tuan putri akan menampakkan wajahnya di pintu gerbang, tersenyum menyiramkan kesejukan yang menenteramkan hatinya sekaligus mengobarkan semangatnya untuk memetik sekuntum mawar dari istana raja-raja.
Tuan putri dari hari ke hari merasa kesepian dan merindukan Rajapala yang menyembunyikan pakaiannya dan membawa pulang dirinya ke rumahnya yang sederhana, lalu memberinya seorang anak, dan suatu saat akan menemukan kembali pakaiannya di bawah tumpukan padi yang habis dikuras dari lumbung, dan dia pun bisa mengucapkan selamat tinggal pada suami, anak, dan dunia ini, terbang kembali ke surga dan bergabung dengan para bidadari lain sebagai penghuni surga.
Tuan putri merindukan Sang Rajapala yang akan menjemputnya di gerbang puri, membawanya pergi jauh ke tepi hutan, membangun rumah di sana, membuka lahan pertanian, dan mereka dapat hidup sebagai petani yang mencintai tanahnya, sekaligus mencintai langit yang berkisah tentang datangnya hujan dan musim kemarau, tentang datangnya angin puting beliung dan tentang masa-masa yang tenang. Rahasia langit membimbing mereka menapaki hari-hari saat harus menggarap sawah, saat harus menuai.
Tetapi, Rajapala hanyalah dalam impian, sementara kenyataan membawanya dalam kancah kasih sayang keluarganya, kedua orangtuanya dan kakek neneknya. Dia adalah putri satu-satunya dalam keluarga puri ini, tercantik, terlembut, teranggun, dan paling penuh pesona. Siapa lagi yang memancarkan sinar kemolekan selain dirinya, yang akan mengundang para pangeran untuk berebut dalam sebuah sayembara mengangkat anak panah dan membentangkan busurnya untuk melesatkan anak panah ke udara mengenai sasaran yang ditentukan. Siapakah ksatria digdaya yang akan berhasil menyunting dirinya? Apakah dia lelaki yang belum lagi beristri atau justru lelaki yang sudah banyak istrinya karena kedigdayaannya tanpa tanding dapat menaklukkan wibawa lelaki-lelaki lain dalam menyunting putri cantik dari penjuru negeri, sebagaimana Raden Arjuna yang tak melewatkan setapak tanah negeri tanpa meninggalkan seorang istri?
Lelaki itu hanyalah lelaki kalangan rakyat biasa, namun santun dan halus budi bahasanya, tiada pula buruk rupa. Dia sadar kedudukan burung pungguk merindukan purnama yang diembannya, namun saat purnama tiba dia selalu duduk bersila mengatur napasnya dan menyambung jiwanya dengan Yang Maha Suci membisikkan kerinduannya pada bulan. Tidakkah aku punya hak untuk menjangkaumu, ya Yang Bercahaya? Tidakkah Kau perkenankan aku mengulurkan tanganku yang kasar ini kepada kelembutan tangan tuan putri?
Lalu, dalam diamnya dia berkelana ke alam jauh, ke sudut-sudut hatinya sendiri yang paling dalam bagai masuk ke dalam goa tak bertepi, dalam kegelapan yang pekat. Tiba-tiba dilihatnya cahaya warna-warni yang menyilaukan, namun dia tetap berkelana tak hendak berhenti terpukau oleh kilau yang sesaat sampai tiba-tiba dia hanya melihat cahaya dan tidak ada apa-apa lagi. Alangkah tenteram, alangkah damai malam atau siang dia tak lagi tahu, hanya cahaya bundar bagai pintu keluar dari goa. Tiba-tiba dilihatnya cahaya itu berpusar dan seorang lelaki duduk bersila berada di pusatnya, berpakaian serta putih bersih, dengan ikat kepala putih, dengan pandangan mata yang memancarkan cahaya putih pula.
“Siapakah engkau, wahai lelaki yang berwajah bersih?”
Terdengar gaung bagai suara dari dalam rongga dadanya sendiri:
“Aku adalah engkau, tidakkah kau tahu, wahai lelakiku?”
Dia tak tahu, tidak perlu tahu, sebab rasa tenteram dan damai menguasai dirinya, menguasai seluruh senyap yang merongga.
“Dengarkanlah pesan ini, wahai lelakiku, bilamana kau benar-benar berniat untuk mendengar.”
Lalu didengarnya suara itu, bagaikan memberi petunjuk akan apa yang harus dilakukannya, semuanya langsung dapat dipahaminya tanpa perantara kata-kata.
Bagaimana mungkin dia melakukannya? Begitu keraguan yang menerpa pikirannya ketika goa pun lenyap dan cahaya rembulan sudah mulai redup di langit barat. Mustahil aku mampu melaksanakannya, begitu protesnya. Tetapi, siapakah yang patut didengar, suara pikirannya atau bisikan hatinya?
Lelaki itu enggan berbagi masalah dengan sesama lelaki lain. Dia tidak yakin bahwa mereka bisa dipercaya memegang rahasia, sebab upah dari kegagalan hanyalah maut. Maut yang menghadang yang seharusnya tak dipersoalkan, sebab maut adalah keniscayaan dan kedatangannya haruslah disambut dengan suka cita. Tetapi, tuan putri adalah idamannya, satu langkah lagi yang harus diisi setelah kelahiran sebelum kematian.
Rencana harus disusun dan bisikan hati haruslah dilaksanakan. Lelaki itu yakin takdirnya adalah yang telah dibisikkan padanya kala sunyi menyelimuti tubuhnya, kala purnama menerangi hatinya.
Maka, sehari-hari dia berusaha tetap dekat dengan gapura puri mengintip kehadiran tuan putri dan menyiapkan langkah yang haru diambil.
Matahari belum lagi tinggi ketika tiba-tiba tuan putri menampakkan wajahnya di gerbang, menebarkan pandang ke jalan yang sepi, seolah merasa ada yang menanti. Memang, semalam dalam mimpinya dia melihat dirinya berada di pintu gerbang puri, disambut oleh lelaki Rajapala, lelakinya yang selalu berkunjung dalam mimpi, dan kemudian mereka saling mengulurkan tangan dan berlarian di atas jalan tanah, lalu tubuh mereka terangkat ke langit, melayang-layang ke sana kemari. Dengan saling berpegangan tangan mereka menikmati pemandangan rumah-rumah dan persawahan, sementara burung-burung gereja mengikuti mereka dengan suaranya yang bercericit.
Dia begitu percaya mimpi itu akan terwujud, dan ketika Matahari mulai memanjat tebing langit, diam-diam diayunkan langkahnya berahasia ke pintu gerbang puri dan benar, lelaki itu telah menunggunya di sana.
Diulurkannya tangannya dan secepat anak panah lelaki itu melompat, menyambut tangannya dan mereka berlarian di jalan tanah ke arah laut. Mereka berlari, tetapi tubuh mereka tak terangkat dari atas tanah. Kaki tuan putri terantuk batu, kaki lelaki menginjak padas, namun mereka tak peduli, sementara dari kejauhan terlihat ayah tuan putri digerbang dan mulai berteriak-teriak. Lalu, terdengar suara kulkul dipukul bertalu tanda bahaya tiba, dan mendadak dari segala arah lelaki menyerbu dengan golok dan parang di tangan.
“Tidak! Aku telah melakukan yang dibisikkan, telah kulakukan melegandang sesuai dengan tuntutan adat. Kenapa jadi begini?” kata lelaki itu pada dirinya sendiri.
Lelaki itu dan tuan putri sekejap sudah berada di kepungan para lelaki desa itu yang bersenjata parang dan kelewang.
“Bunuh saja dia!” tiba-tiba terdengar suara.
Lelaki itu dan tuan putri sekejap sudah berada di kepungan para lelaki desa itu yang bersenjata parang dan kelewang.
“Bunuh saja dia!” tiba-tiba terdengar suara.
“Tunggu!” teriaknya.
Namun, tak seorang pun berniat menyurutkan langkah dan menunggu. Tiba-tiba saja golok sudah terayun dan parang ditebaskan. Lelaki itu tersungkur ke tanah, tubuhnya bersimbah darah, namun tiba-tiba tubuhnya terangkat dari tanah, melayang di udara. Orang-orang hanya memandang dengan mulut menganga, menyaksikan adegan yang sama sekali tak mereka duga. Golok dan parang terjatuh dari tangan mereka, kaki mereka terpaku di tanah, dan mereka bahkan tak mampu menarik napas.
Jasad lelaki itu terus melayang-layang di udara, langsungmemanjat tebinglangit, sementaraterdengar nyanyian merdu darip erempuan-perempuan yang melantunkan ayat-ayat suci mengantar kepergiannya.
Tuan putri bersimpuh di tanah, memandang ke langit, dan ingat akan mimpinya sendiri. Kenapa bukan dia yang diterbangkan ke langit, kembali ke surga, berkumpul kembali dengan para bidadari? Dia menjerit memprotes ke langit seolah hendak bertanya kenapa hal itu bisa terjadi. Kenapa hukuman itu harus dia jalani?
“Wahai Tuan Putri. Kau terlalu banyak bermimpi tentang Rajapala, kisah sedih yang diwariskan oleh leluhurmu kepada Tu Ninimu, kepada Biyang Ayumu. Kau terlalu membayangkan dirimu sebagai bidadari yang terbuang ke dunia dan akhirnya harus terbang kembali ke surga meninggalkan suami dan anak yang mencintaimu.”
“Apa salahku punya mimpi tentang bidadari yang turun ke bumi?”
“Tidakkah kau sadar bahwa dari awal kamu sudah berjanji untuk tidak bersetia kepada suaminya, hanya lantaran kau temukan kembali pakaian dan selendangmu, dan kau impikan kembali kehidupan yang sudah kau tinggalkan dan seharusnya tak lagi kau inginkan? Tidakkah ini suatu dosa yang amat besar dan sekarang kau harus menanggungnya?”
“Duh Gusti, lalu kenapa lelakiku kau terbangkan ke langit?”
“Tidakkah kau lihat wajahnya yang sederhana, wajah seorang petani desa yang mengenal hanya satu kata, yakni kerja. Kerja adalah apa yang dapat dilakukan untuk bersyukur pada Yang Maha Pemberi, dan di masa dongeng, dia telah mencuri seperangkat pakaian seorang bidadari yang turun ke bumi, tetapi kemudian melarikan diri kembali ke langit.”
“Lalu, kenapa dia?”
“Tidakkah kau lihat darah Rajapala mengalir di tubuhnya? Sekarang saat yang tepat baginya bergabung kembali dengan bidadarinyadi surgasetelah beratustahun berpisah.Inilah buah dari ketekunan pada tanah yang digarapnya.”
“Jadi, aku tak bermimpi tentang Rajapala?”
“Tidak. Tetapi kau bukan bidadari. Leluhurmu terlalu sering bercerita tentang bidadari yang turun ke bumi dan tanpa merasa bersalah terbang kembali ke surga meninggalkan suami dan anaknya, dan kau telah teraliri darah bidadari di uratmu, dan segala dosa-dosanya adalah hadiah buatmu. Kelak, kalau kau sudah menyadari apa yang telah kau impikan dan kau dapat memperbaiki diri, maka kau pun mungkin akan terangkat ke langit dan tak kembali lagi ke muka bumi. Kaulah makhluk utama yang layak untuk duduk di singgasana langit, di sana, jauh di sana, dan mungkin kau akan bertemu dengan Rajapalamu.”
Tuan Putri menundukkan mukanya, tangannya meraba tanah, digenggamnya debu, dan kemudian diangkatnya tangannya, debu diterbangkan angin kesana kemari, mungkin memanjat langit menyiapkan tangga ke surga.
Dan angin yang selalu bersiul di tingkap yang terbuat dari kayu berukir motif daun dan bunga di rumah tua yang tak lagi berupa puri dengan para putri dan pangeran yang tinggal di dalamnya, siapakah yang sebenarnya bersiul-siul sepanjang hari sepanjang tahun? Puri ini sudah menjadi tempat tinggal biasa, suasana anggunnya sudah lenyap, dan pintu gerbang yang dulu kelihatan angker sekarang hanyalah seonggok batu merah yang tersusun rapi tanpa jiwa.
Itulah siul tuan putri yang setiap hari pulang kembali ke puri, berharap kelak menjadi bidadari dan terbang kembali ke langit bergabung dengan penghuni surga yang lain, bergabung dengan Rajapalanya yang telah lebih dahulu memasukinya? Mungkinkah? Bukankah lelakiku sudah bergabung dengan bidadari istrinya dan dia mustahil akan berbagi hati denganku?
Dengan demikian, Tuan Putri hanya mampu bersiul di tingkap, ingin masuk kembali ke dalam kamarnya di puri dan bermimpi tentang bidadari yang turun ke bumi dan mandi di telaga wangi.
Singaraja, 5 Agustus 2003
1. Ibu, Ayah, Kakek dan Nenek dari keluarga berkasta.
2. Rajapala, di Jawa dikenal sebagai Jaka Tarub.
3. Kulkul = kentongan.
4. Melegandang, kawin lari dengan cara paksa.
5. Di Bali, pada upacara kematian, para perempuan yang melantunkan ayat-ayat suci.
Sunaryono Basuki Ks
Tahukah kau tentang kisah seorang lelaki yang jatuh cinta pada seorang putri Puri Kanginan yang cantik bagai bidadari usai mandi di telaga yang tepinya ditumbuhi bunga pancawarna? Puluhan pohon bunga itu menggoyangkan dahan-dahannya sampai kembang wangi berjatuhan masuk ke dalam air telaga dan membuatnya harum mewangi lalu tak henti-hentinya meluruhkan daki para bidadari yang turun dari langit, menari-nari tanpa peduli pakaian dan selendang mereka ada yang dicuri. Bunga kenanga, cempaka, bunga kantil dan melati, bahkan semak mawar pun ditiup angin sampai kelopak-kelopak bunganya mengorbankan keindahannya, namun wanginya dicelupkan ke dalam air telaga.
Putri itu bagaikan bidadari yang kehilangan kain, baju, dan selendangnya lalu dengan malu-malu bersembunyi di dalam semak menutup sekujur tubuhnya dengan dedaunan dan kedua belah tangannya.
“Janganlah takut tuan putri, aku takkan memerkosamu. Kenakanlah pakaian ini dan engkau bisa menjadi seorang putri cantik jelita yang benar-benar ada di dunia ini.”
Dan, menjelmalah bidadari menjadi putri yang diam di puri, disayang oleh para dayang, oleh biyang danaji, olehtu pekakdan tunini. Tapi, setiap saat Tuan Putri merindukan seperangkat pakaian dan selendangnya yang bisa membawanya kembali terbang ke surga, bergabung dengan sesama bidadari dan penghuni surga lainnya, tidak seperti sekarang, terkurung di dalam sebuah puri bersama keluarga para ksatria, namun mustahil dapat menggenggam kebebasan sebagaimana saat dia menjadi penghuni surga.
Tahukah kau lelaki itu selalu merindukan Tuan Putri, namun keluarga puri tidak mengizinkannya bebas berkeliaran ke luar puri tanpa keperluan yang berarti? Berhari-hari lelaki itu berjalan hilir mudik di depan puri dengan harapan sedetik atau semenit tuan putri akan menampakkan wajahnya di pintu gerbang, tersenyum menyiramkan kesejukan yang menenteramkan hatinya sekaligus mengobarkan semangatnya untuk memetik sekuntum mawar dari istana raja-raja.
Tuan putri dari hari ke hari merasa kesepian dan merindukan Rajapala yang menyembunyikan pakaiannya dan membawa pulang dirinya ke rumahnya yang sederhana, lalu memberinya seorang anak, dan suatu saat akan menemukan kembali pakaiannya di bawah tumpukan padi yang habis dikuras dari lumbung, dan dia pun bisa mengucapkan selamat tinggal pada suami, anak, dan dunia ini, terbang kembali ke surga dan bergabung dengan para bidadari lain sebagai penghuni surga.
Tuan putri merindukan Sang Rajapala yang akan menjemputnya di gerbang puri, membawanya pergi jauh ke tepi hutan, membangun rumah di sana, membuka lahan pertanian, dan mereka dapat hidup sebagai petani yang mencintai tanahnya, sekaligus mencintai langit yang berkisah tentang datangnya hujan dan musim kemarau, tentang datangnya angin puting beliung dan tentang masa-masa yang tenang. Rahasia langit membimbing mereka menapaki hari-hari saat harus menggarap sawah, saat harus menuai.
Tetapi, Rajapala hanyalah dalam impian, sementara kenyataan membawanya dalam kancah kasih sayang keluarganya, kedua orangtuanya dan kakek neneknya. Dia adalah putri satu-satunya dalam keluarga puri ini, tercantik, terlembut, teranggun, dan paling penuh pesona. Siapa lagi yang memancarkan sinar kemolekan selain dirinya, yang akan mengundang para pangeran untuk berebut dalam sebuah sayembara mengangkat anak panah dan membentangkan busurnya untuk melesatkan anak panah ke udara mengenai sasaran yang ditentukan. Siapakah ksatria digdaya yang akan berhasil menyunting dirinya? Apakah dia lelaki yang belum lagi beristri atau justru lelaki yang sudah banyak istrinya karena kedigdayaannya tanpa tanding dapat menaklukkan wibawa lelaki-lelaki lain dalam menyunting putri cantik dari penjuru negeri, sebagaimana Raden Arjuna yang tak melewatkan setapak tanah negeri tanpa meninggalkan seorang istri?
Lelaki itu hanyalah lelaki kalangan rakyat biasa, namun santun dan halus budi bahasanya, tiada pula buruk rupa. Dia sadar kedudukan burung pungguk merindukan purnama yang diembannya, namun saat purnama tiba dia selalu duduk bersila mengatur napasnya dan menyambung jiwanya dengan Yang Maha Suci membisikkan kerinduannya pada bulan. Tidakkah aku punya hak untuk menjangkaumu, ya Yang Bercahaya? Tidakkah Kau perkenankan aku mengulurkan tanganku yang kasar ini kepada kelembutan tangan tuan putri?
Lalu, dalam diamnya dia berkelana ke alam jauh, ke sudut-sudut hatinya sendiri yang paling dalam bagai masuk ke dalam goa tak bertepi, dalam kegelapan yang pekat. Tiba-tiba dilihatnya cahaya warna-warni yang menyilaukan, namun dia tetap berkelana tak hendak berhenti terpukau oleh kilau yang sesaat sampai tiba-tiba dia hanya melihat cahaya dan tidak ada apa-apa lagi. Alangkah tenteram, alangkah damai malam atau siang dia tak lagi tahu, hanya cahaya bundar bagai pintu keluar dari goa. Tiba-tiba dilihatnya cahaya itu berpusar dan seorang lelaki duduk bersila berada di pusatnya, berpakaian serta putih bersih, dengan ikat kepala putih, dengan pandangan mata yang memancarkan cahaya putih pula.
“Siapakah engkau, wahai lelaki yang berwajah bersih?”
Terdengar gaung bagai suara dari dalam rongga dadanya sendiri:
“Aku adalah engkau, tidakkah kau tahu, wahai lelakiku?”
Dia tak tahu, tidak perlu tahu, sebab rasa tenteram dan damai menguasai dirinya, menguasai seluruh senyap yang merongga.
“Dengarkanlah pesan ini, wahai lelakiku, bilamana kau benar-benar berniat untuk mendengar.”
Lalu didengarnya suara itu, bagaikan memberi petunjuk akan apa yang harus dilakukannya, semuanya langsung dapat dipahaminya tanpa perantara kata-kata.
Bagaimana mungkin dia melakukannya? Begitu keraguan yang menerpa pikirannya ketika goa pun lenyap dan cahaya rembulan sudah mulai redup di langit barat. Mustahil aku mampu melaksanakannya, begitu protesnya. Tetapi, siapakah yang patut didengar, suara pikirannya atau bisikan hatinya?
Lelaki itu enggan berbagi masalah dengan sesama lelaki lain. Dia tidak yakin bahwa mereka bisa dipercaya memegang rahasia, sebab upah dari kegagalan hanyalah maut. Maut yang menghadang yang seharusnya tak dipersoalkan, sebab maut adalah keniscayaan dan kedatangannya haruslah disambut dengan suka cita. Tetapi, tuan putri adalah idamannya, satu langkah lagi yang harus diisi setelah kelahiran sebelum kematian.
Rencana harus disusun dan bisikan hati haruslah dilaksanakan. Lelaki itu yakin takdirnya adalah yang telah dibisikkan padanya kala sunyi menyelimuti tubuhnya, kala purnama menerangi hatinya.
Maka, sehari-hari dia berusaha tetap dekat dengan gapura puri mengintip kehadiran tuan putri dan menyiapkan langkah yang haru diambil.
Matahari belum lagi tinggi ketika tiba-tiba tuan putri menampakkan wajahnya di gerbang, menebarkan pandang ke jalan yang sepi, seolah merasa ada yang menanti. Memang, semalam dalam mimpinya dia melihat dirinya berada di pintu gerbang puri, disambut oleh lelaki Rajapala, lelakinya yang selalu berkunjung dalam mimpi, dan kemudian mereka saling mengulurkan tangan dan berlarian di atas jalan tanah, lalu tubuh mereka terangkat ke langit, melayang-layang ke sana kemari. Dengan saling berpegangan tangan mereka menikmati pemandangan rumah-rumah dan persawahan, sementara burung-burung gereja mengikuti mereka dengan suaranya yang bercericit.
Dia begitu percaya mimpi itu akan terwujud, dan ketika Matahari mulai memanjat tebing langit, diam-diam diayunkan langkahnya berahasia ke pintu gerbang puri dan benar, lelaki itu telah menunggunya di sana.
Diulurkannya tangannya dan secepat anak panah lelaki itu melompat, menyambut tangannya dan mereka berlarian di jalan tanah ke arah laut. Mereka berlari, tetapi tubuh mereka tak terangkat dari atas tanah. Kaki tuan putri terantuk batu, kaki lelaki menginjak padas, namun mereka tak peduli, sementara dari kejauhan terlihat ayah tuan putri digerbang dan mulai berteriak-teriak. Lalu, terdengar suara kulkul dipukul bertalu tanda bahaya tiba, dan mendadak dari segala arah lelaki menyerbu dengan golok dan parang di tangan.
“Tidak! Aku telah melakukan yang dibisikkan, telah kulakukan melegandang sesuai dengan tuntutan adat. Kenapa jadi begini?” kata lelaki itu pada dirinya sendiri.
Lelaki itu dan tuan putri sekejap sudah berada di kepungan para lelaki desa itu yang bersenjata parang dan kelewang.
“Bunuh saja dia!” tiba-tiba terdengar suara.
Lelaki itu dan tuan putri sekejap sudah berada di kepungan para lelaki desa itu yang bersenjata parang dan kelewang.
“Bunuh saja dia!” tiba-tiba terdengar suara.
“Tunggu!” teriaknya.
Namun, tak seorang pun berniat menyurutkan langkah dan menunggu. Tiba-tiba saja golok sudah terayun dan parang ditebaskan. Lelaki itu tersungkur ke tanah, tubuhnya bersimbah darah, namun tiba-tiba tubuhnya terangkat dari tanah, melayang di udara. Orang-orang hanya memandang dengan mulut menganga, menyaksikan adegan yang sama sekali tak mereka duga. Golok dan parang terjatuh dari tangan mereka, kaki mereka terpaku di tanah, dan mereka bahkan tak mampu menarik napas.
Jasad lelaki itu terus melayang-layang di udara, langsungmemanjat tebinglangit, sementaraterdengar nyanyian merdu darip erempuan-perempuan yang melantunkan ayat-ayat suci mengantar kepergiannya.
Tuan putri bersimpuh di tanah, memandang ke langit, dan ingat akan mimpinya sendiri. Kenapa bukan dia yang diterbangkan ke langit, kembali ke surga, berkumpul kembali dengan para bidadari? Dia menjerit memprotes ke langit seolah hendak bertanya kenapa hal itu bisa terjadi. Kenapa hukuman itu harus dia jalani?
“Wahai Tuan Putri. Kau terlalu banyak bermimpi tentang Rajapala, kisah sedih yang diwariskan oleh leluhurmu kepada Tu Ninimu, kepada Biyang Ayumu. Kau terlalu membayangkan dirimu sebagai bidadari yang terbuang ke dunia dan akhirnya harus terbang kembali ke surga meninggalkan suami dan anak yang mencintaimu.”
“Apa salahku punya mimpi tentang bidadari yang turun ke bumi?”
“Tidakkah kau sadar bahwa dari awal kamu sudah berjanji untuk tidak bersetia kepada suaminya, hanya lantaran kau temukan kembali pakaian dan selendangmu, dan kau impikan kembali kehidupan yang sudah kau tinggalkan dan seharusnya tak lagi kau inginkan? Tidakkah ini suatu dosa yang amat besar dan sekarang kau harus menanggungnya?”
“Duh Gusti, lalu kenapa lelakiku kau terbangkan ke langit?”
“Tidakkah kau lihat wajahnya yang sederhana, wajah seorang petani desa yang mengenal hanya satu kata, yakni kerja. Kerja adalah apa yang dapat dilakukan untuk bersyukur pada Yang Maha Pemberi, dan di masa dongeng, dia telah mencuri seperangkat pakaian seorang bidadari yang turun ke bumi, tetapi kemudian melarikan diri kembali ke langit.”
“Lalu, kenapa dia?”
“Tidakkah kau lihat darah Rajapala mengalir di tubuhnya? Sekarang saat yang tepat baginya bergabung kembali dengan bidadarinyadi surgasetelah beratustahun berpisah.Inilah buah dari ketekunan pada tanah yang digarapnya.”
“Jadi, aku tak bermimpi tentang Rajapala?”
“Tidak. Tetapi kau bukan bidadari. Leluhurmu terlalu sering bercerita tentang bidadari yang turun ke bumi dan tanpa merasa bersalah terbang kembali ke surga meninggalkan suami dan anaknya, dan kau telah teraliri darah bidadari di uratmu, dan segala dosa-dosanya adalah hadiah buatmu. Kelak, kalau kau sudah menyadari apa yang telah kau impikan dan kau dapat memperbaiki diri, maka kau pun mungkin akan terangkat ke langit dan tak kembali lagi ke muka bumi. Kaulah makhluk utama yang layak untuk duduk di singgasana langit, di sana, jauh di sana, dan mungkin kau akan bertemu dengan Rajapalamu.”
Tuan Putri menundukkan mukanya, tangannya meraba tanah, digenggamnya debu, dan kemudian diangkatnya tangannya, debu diterbangkan angin kesana kemari, mungkin memanjat langit menyiapkan tangga ke surga.
Dan angin yang selalu bersiul di tingkap yang terbuat dari kayu berukir motif daun dan bunga di rumah tua yang tak lagi berupa puri dengan para putri dan pangeran yang tinggal di dalamnya, siapakah yang sebenarnya bersiul-siul sepanjang hari sepanjang tahun? Puri ini sudah menjadi tempat tinggal biasa, suasana anggunnya sudah lenyap, dan pintu gerbang yang dulu kelihatan angker sekarang hanyalah seonggok batu merah yang tersusun rapi tanpa jiwa.
Itulah siul tuan putri yang setiap hari pulang kembali ke puri, berharap kelak menjadi bidadari dan terbang kembali ke langit bergabung dengan penghuni surga yang lain, bergabung dengan Rajapalanya yang telah lebih dahulu memasukinya? Mungkinkah? Bukankah lelakiku sudah bergabung dengan bidadari istrinya dan dia mustahil akan berbagi hati denganku?
Dengan demikian, Tuan Putri hanya mampu bersiul di tingkap, ingin masuk kembali ke dalam kamarnya di puri dan bermimpi tentang bidadari yang turun ke bumi dan mandi di telaga wangi.
Singaraja, 5 Agustus 2003
1. Ibu, Ayah, Kakek dan Nenek dari keluarga berkasta.
2. Rajapala, di Jawa dikenal sebagai Jaka Tarub.
3. Kulkul = kentongan.
4. Melegandang, kawin lari dengan cara paksa.
5. Di Bali, pada upacara kematian, para perempuan yang melantunkan ayat-ayat suci.
Sunaryono Basuki Ks
L’abitudine
L’abitudine
Seringkali Andini membayangkan betapa suatu hari ia akan menjelma burung kolibri, terbang tinggi melintasi pelangi di tengah keranuman musim semi. Pada saat itulah ia akan merasakan warna-warna bunga menjadi lebih berkilauan dalam kesunyian, dan cahaya pagi terasa lebih hangat dari sebuah ciuman yang paling menenteramkan.
Sungguh Jos! Aku selalu membayangkan hari yang ajaib itu datang mengetuk jendela kamarku, bersama kabut dan dingin yang saling berebut cahaya. Pada saat itulah ketika aku membuka jendela, seketika aku menjelma burung kolibri….” Andini bicara sembari memandang pada lembah yang terjamah basah. “Setidaknya aku ingin menjadi merpati.”
Josephine yang mendengarnya, hanya tertawa. “Kalau aku punya keinginan seperti kamu, aku pasti memilih berubah menjadi ular!”
“Kenapa?”
“Biar aku bisa menyelusup masuk ke selangkanganmu. Aku akan mendekam dalam rahimmu. Atau mendekam dalam kepalamu. Biar aku mengetahui semua mimpi-mimpimu….”
“Nggak lucu!”
“Yap! Aku memang tidak sedang melucu.” Josephine sedikit mengangkat bahu. “Lagi pula kamu tidak membutuhkan aku untuk melucu. Kamu membutuhkanku untuk mendengarkanmu berkeluh-kesah soal perkawinanmu yang membosankan.”
“Terima kasih, sudah jadi psikolog gratisan!”
Lalu Andini kembali membuang pandang ke arah perbukitan, pada hutan cemara yang samar dan meliuk-liuk letih di bawah rerepih gerimis yang bagaikan bertih-bertih beras putih berhamburan diterbangkan angin. Andini menyukai tempat ini. Kafe yang menghadirkan sunyi, tetapi tidak menutup diri karena jendela-jendelanya yang besar dan lebar dibiarkan terbuka sehingga temaram ruang yang kecoklatan seakan berkarib dengan keluasan perbukitan. Sesekali ia bisa merasakan angin dan dingin yang ringan seperti belaian. Ia memilih tempat ini bila ia menginginkan perhatian. Ia memilih tempat ini bila ingin ketemu dengan Josephine.
“Kupikir, kamu mesti berani jujur terhadap dirimu sendiri….”
Andini hanya mendesah, terus memandang perbukitan itu pada cuaca yang sendu, ketika segalanya perlahan-lahan menjelma bentangan kelabu, dan ia kian merasakan kebosanan itu. Ia sudah mencoba mengatasi, tetapi kian hari ia kian merasakan betapa perkawinannya semakin membenamkan dirinya dalam keasingan yang tak kunjung ia pahami. Sering ia tergeragap bangun di malam hari, berasa kebah disesah gelisah, dengan jerit yang tersekat di kerongkongan. Betapa ia inginkan pelukan yang membuatnya sedikit merasa nyaman.
“Kupikir kamu benar, mestinya aku tak menikah,” desah Andini, lebih kepada dirinya sendiri.
Tetapi, entahlah. Ia tak yakin benar, apakah ia salah telah memutuskan menikah dengan Gunawan. Ketika laki-laki yang sudah dikenalnya sejak remaja itu melamarnya, ia tak merasa perlu berpikir dua kali untuk menjawab iya. Ia yakin, pernikahan akan membuat dirinya kian nyaman. Karena ia merasa memang begitulah hidup yang mesti dilaluinya: masa remaja yang ceria, kuliah, kerja, dan menikah. Ia selalu membayangkan hidupnya seperti sebuah kisah yang akan berakhir bahagia, dengan senyum paling lembut ketika kematian menjemput. Dulu Andini hanya tertawa setiap kali Josephine mengatakan hidupnya terlalu datar, steril dan licin bagai lantai porselin.
“Dulu aku sudah bilang, perkawinan lebih menyedihkan dari kematian…,” Josephine berkata.
“Itu karena kamu membenci perkawinan?!”
“Jangan salah paham, An,” Josephine tertawa renyah. Seringkali Andini merasa iri dengan Josephine yang bisa dengan riang memandang setiap persoalan. Bagi Josephine, hidup ini seakan-akan begitu gurih dan ringan seperti popcorn. “Aku sama sekali tak membenci perkawinan. Hanya aneh saja. Kupikir, perkawinan itu produk kebudayaan paling dungu yang pernah dihasilkan manusia. Kamu tahu, bagiku, datang ke pesta perkawinan jauh lebih menyedihkan daripada menghadiri prosesi kematian. Aku lebih bisa menerima kematian, karena kematian ialah suatu keniscayaan. Tak perlu kesedihan untuk sebuah kematian. Ia harus kita terima dengan lapang dada, karena kita memang tak bisa menghindarinya, karena kematian memang konsekuensi yang mesti ditanggung manusia. Tapi perkawinan? Bukankah kita bisa menghindarinya?! Kita selalu punya pilihan untuk tidak menjalani perkawinan. Artinya, kita punya pilihan yang bebas untuk menentukan apa yang kita pikir lebih baik buat hidup kita yang hambar dan sebentar. Kalau kita bisa bahagia tanpa perkawinan, lalu buat apa kita memilih perkawinan? Menyedihkan bukan, seseorang memilih perkawinan padahal tak ada jaminan hidupnya akan menjadi lebih bahagia setelah ia menjalani perkawinan? Kau tahu sendiri, Yesus dan Tuhan tidak menikah, dan mereka bahagia….”
Andini mendelik, tapi Josephine malah terkikik.
“Barangkali kamu perlu kejutan kecil untuk hidupmu yang membosankan itu. Kamu mesti melakukan sedikit variasi….”
“Bercinta di kamar mandi? Sambil nungging atau berdiri? Enam sembilan?”
“Tak cuma itu….”
“Lalu apa? Mencoba gimana rasanya gituan ama kamu?!”
“Sori, meski nggak percaya perkawinan, aku masih seratus persen doyan laki-laki!”
“Sialan!”
Sejenak saling diam, saling pandang, seakan mencoba saling mencari kepastian. Di mata Josephine, Andini terlihat begitu lembut dan rapuh, seperti kabut yang sebentar lagi runtuh. Pada saat-saat seperti ini, Josephine jadi merasa bersalah karena seringkali ia diam-diam begitu iri pada Andini. Adakah Andini tahu betapa sesungguhnya ia seringkali ingin menyakitinya? Semasa kanak-kanak, Josephine selalu ingin Andini bisa merasakan bagaimana sakitnya dicambuk berkali-kali oleh ayahnya yang pemarah. Tapi Andini menjalani masa kanak-kanak yang hangat. Juga masa remaja yang penuh pesta. Kemewahan yang melimpah, kemudian menikah. Semua itulah yang membuat Josephine diam-diam selalu merasa iri sekaligus juga mengagumi Andini. Ia iri karena selalu merasa tak bernasib baik seperti Andini, dan ia mengagumi karena selalu membayangkan betapa senangnya menjadi Andini. Selalu ada keinginan untuk menyakiti dan melindungi.
“Menurutmu, apakah aku mesti menyelamatkan perkawinanku?”
“Aku tahu, kamu-dan seluruh keluarga besarmu-tak pernah memikirkan perceraian sebagai penyelesaian. Tapi kalau kamu memang mesti menyelamatkan sesuatu, jangan hanya kau selamatkan perkawinanmu, tetapi juga hidupnya. Gairah dan keinginanmu, mimpi-mimpimu. Jangan buat perkawinanmu jadi kian menyedihkan.”
Tapi, barangkali perkawinanku memang sudah sedemikian menyedihkan, batin Andini. Hingga aku seringkali membayangkan betapa suatu hari aku menjelma burung kolibri, terbang tinggi melintasi pelangi di tengah keranuman musim semi….
Dan kesedihan itu kian ia rasakan, lebih cepat dari yang ia kira. Sesungguhnya Gunawan tetap punya perhatian, meski tak terlalu berlebihan. Kecupan-kecupan ringan, tetapi bukan lagi menjadi sesuatu yang tak terduga, melainkan lebih terasa sebagai kerutinan. Lalu aturan-aturan bahwa seorang istri semestinya tak kelayapan selepas jam tujuh malam. Sindiran- sindiran yang menyakitkan. Tak pantas seorang istri keluarga baik-baik berpakaian sexy, memperlihatkan belahan tetek dan pusernya. Ngapain juga pakai rok mini begitu! Pertengkaran dan hardikan yang membuatnya merasa terabaikan. Kemudian percakapan antara mereka lebih banyak memerihkan duka. Duka yang bahkan terasa di bulu-bulu mata.
Andini jadi merasa beruntung mengenal Josephine, yang selalu mau mendengar kesedihannya. Bagi Andini, Josephine adalah satu-satunya sahabat yang mau memahami dirinya. Karena itulah, Andini tak sungkan bercerita. Tak sungkan mengungkapkan perasaannya ketika kesepian kian menyesakkan, ketika ia ingin terbang jauh melintasi pelangi, ketika ia merasa betapa dirinya perlahan-lahan berubah menjadi burung kolibri. “Sungguh, Jos! Aku menjadi burung kolibri! Itulah hari paling menakjubkan. Begitu ringan, melayang-layang….”
Josephine tertawa, sebagaimana biasanya, kedengaran renyah seperti menikmati fried potatoes.
“Kamu nggak percaya?”
“Percaya. Percaya…,” Josephine masih menyimpan tawa, lebih berbinar dan kelihatan bahagia. “Aku percaya kamu lagi jatuh cinta! Selamat….”
Andini menepis tangan Josephine, tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Sialan! Ia selalu bisa menerka perasaannya.
“Kenapa mesti malu mengakui? Bukankah pernah kubilang, menyelamatkan hidupmu jauh penting ketimbang menyelamatkan perkawinanmu yang membosankan…,” Josephine menarik kursi, lebih mendekat. “Ayolah, ceritakan, siapa laki-laki yang telah membuatmu menjadi burung kolibri….”
Andini menatap senja yang bagai menyimpan rahasia. Pada senja seperti ini pula ia bertemu laki-laki itu. Saat itu senja hampir lengkap, dan langit begitu halus serupa lakmus. Laki- laki itu muncul seakan-akan diantar melankoli alun Andrea Bocelli. Tu, per quello che mi dai, quell’emozione in più, ad ogni tua parola….
Dia ringan seperti nyanyian. Mereka bertatapan, sebentar. Hanya sebentar. Tapi Andini merasakan sesuatu yang begitu tergetar. Ada yang sulit diucapkan, tetapi laki-laki itu tampak lebih menakjubkan dalam diam. Rasanya seperti menikmati puisi, menghayati sunyi yang abadi, suasana tanpa kata-kata, suasana yang lama hilang dalam igauan dan mimpi-mimpinya. Saat itulah ia merasakan bulu-bulu sunyi bertumbuhan di sekujur tubuhnya. Bulu-bulu yang halus dan bersih, putih merepih. Saat itulah Andini mendapati dirinya telah menjelma menjadi burung kolibri. Dan laki-laki itu menghampiri, tidak dengan kata-kata, tapi dengan sapaan yang lebih teduh dari nyanyian yang membuat ruangan terasa rindang, juga lebih terang.
Perché la solitudine, che non sorride mai,
diventa l’abitudine, e non la scelta che tu fai.
Pertemuan demi pertemuan, selalu berulang dan kembali seperti gema yang panjang. Dan Andini tahu laki-laki itu, seorang penyair yang menciptakan keajaiban-keajaiban dengan kata-kata. Namanya Adam.
“Kau tahu, Jos…,” desah Andini, sedikit menunduk, mengakhiri cerita. “Pertama kali mendengar namanya, aku merasa berkenalan dengan awal mula dosa.”
“Hmm. Dosa. Aku kira itu akan membuatmu kian lengkap sebagai manusia.”
“Ini rahasia kita….”
Ah, rahasia. Josephine menyandarkan punggugnya ke kursi. Alangkah banyak rahasia antara kita, batinnya. Adakah kamu ingin tahu rahasia apa yang aku sembunyikan dari kamu? Biarlah masing-masing kita bahagia dengan rahasia kita.
“Please, Jos, jangan sampai Gunawan tahu.”
Josephine diam, hanya tersenyum-seakan ingin menegaskan: aku jauh lebih bisa menyimpan rahasia lebih dari yang kamu kira.
“Lakukan, apa yang menurutmu mesti kamu lakukan. Selama kamu menikmati…,” kata Josephine. “Dan kuharap kamu memang benar-benar menikmatinya. Karena aku tahu, seks itu seperti semangkuk sup. Begitu kamu merasa enak mencicipinya, kamu akan menghabiskan semangkuk sup itu, dan ingin menambahnya….”
Keduanya tertawa. Hidup memang terasa gurih dan renyah bersama Josephine. Senja jadi lebih megah ketika perselingkuhan terasa ringan. Sentuhan lembut di telinga, kecupan ringan di puting susunya, semuanya terasa menakjubkan dalam kenangan. Si, adesso ci sei tu, nei sogni e nelle idee, nell’immaginazione…. Lebih menghanyutkan dari suara Helena yang membuatnya terlena ketika laki-laki itu mulai memasukinya….
Bersama Adam, Andini selalu menjelma burung kolibri. Adam memahami mimpi-mimpinya, barangkali karena ia seorang penyair. Andini sering menyaksikan dari jemari Adam berhamburan kata-kata yang meletup pecah di udara menjadi kupu-kupu. Kadang menjelma kunang-kunang, menjelma burung merpati. Kata-kata itu pula yang selalu mengubah Andini menjadi burung kolibri, terbang tinggi melintasi pelangi di tengah keranuman musim semi.
“Setiap bersamamu, aku merasakan saat-saat paling rawan dan membahagiakan dalam hidupku…,” katanya, dengan suara lirih seperti tengah membaca larik-larik sajak yang melankolis, sambil merentangkan tangan kanannya, menggapai udara, seakan memetik sesuatu dari kehampaan. Dan, tass, mendadak tangannya telah menggenggam sebutir apel. Merah. Ranum. Apel yang tercipta dari keajaiban kata-kata.
Andini melonjak bahagia ketika apel itu melayang-layang di hadapannya. Kemudian keduanya berdiri berhadapan, saling menyentuhkan tangan. Ah, betapa dari jarak lebih dekat Andini mendapati tubuh laki-laki itu jauh lebih berkilat, berkeringat penuh hasrat. Struktur tulangnya tampak begitu nyata. Dadanya yang tak bidang, samar memperlihatkan garis-garis kosta. Tangannya pipih, begitu bersih. Terasa lebih menggairahkan ketika bercinta bukan semata kewajiban dan kerutinan. Andini kian terpesona ketika laki-laki itu bergerak, pelan, lamban tapi bertenaga, seperti menari….
Lalu Andini rasakan desir yang perlahan-lahan mulai berpusaran. Ia mendengar desah kabut yang basah, melayah menyentuh permukaan tanah. Ada kesejukan yang membasah, menggetarkan kerimbunan hijau daun. Gemercik air. Geletar sayap kupu-kupu yang terbang di kejauhan. Ia dengar tiupan flute yang lembut, menghamparkan padang rumput, juga harum lumut. Kemudian alunan piano, mengantarnya ke sebuah danau. Bunyi-bunyi perkusi yang menghadirkan berbagai imaji, hingga kelopak-kelopak bunga seketika terbuka. Andini dapat menangkap helai-helai cahaya yang berkeredap bagaikan lembaran-lembaran kain yang berkibaran pelan membungkus tubuhnya. Ia merasakan tubuhnya perlahan-lahan terangkat, mengapung di arus waktu. Seakan-akan berada di keluasan cuaca tak bernama, dengan lengkung langit lembayung bagai payung, menahan lindap cahaya yang muncul dari punggung gunung. Kadang seperti sebatang ilalang, tubuhnya melayang-layang melintasi keluasan padang. Namun seketika itu juga ia merasa berada di tengah telaga yang sejuk dan rimbun oleh gulma. Lalu ia melintasi kerimbunan pinus, tegak lurus, lembab humus.
Kamar terasa bergetar. Lagu paling merdu, merembes dari dinding. E sono qui con te, e non ti lascerò, ti chiedo di fermarti qui, e stare insieme a te…. Dan lilin-lilin merah terangkat ke udara, melayang berkitaran. Andini mendesah. Merasakan tubuhnya membasah. Ada yang bersikeras membuncah, gairah yang sebentar lagi pecah! Aahhh….
“Ya, Tuhan…,” Andini menggigit bibirnya hingga berdarah. “Aku orgasme!!”
Ciuman yang gugup, dan Andini segera menutup pintu, menghambur ke jalan sambil mencermati kancing dan merapikan kelim gaunnya. Ia langsung menyetop taksi yang pertama lewat. Bukan saat yang tepat untuk memilih-milih taksi.
“Cepat, Bang!”
Ya, ia mesti cepat pulang. Sebelum Gunawan sampai di rumah. Ia mesti mandi. Bau tubuh laki-laki itu terasa lekat di kulitnya. Ia ingin tak ada tilas, tak ada bekas.
“Bisa lebih cepat?”
“Macet, Bu….”
Andini mendengus. Waktu seakan mengincarnya dengan kutukan. Sedetik saja terlambat, rumahnya akan berantakan. Keramik-keramik akan dibanting ke lantai. Dilempar ke arahnya. Lalu makian. Mungkin juga sekian tamparan. Lalu seluruh keluarganya tahu. Ia akan dipelototi sebagai pesakitan. Sebagai istri yang tak bisa menjaga perasaan suami. Andini meraih handphone-nya. Tak ada SMS masuk. Tak ada missed call dari Gunawan. Ia merasa sedikit nyaman. Ia tak merasa perlu mengarang alasan kenapa tak membalas SMS atau mengangkat handphone.
Tidak, ia tidak takut kehilangan Gunawan. Karena ia yakin laki-laki itu pun tak punya keberanian menceraikannya. Ia hanya takut disalahkan keluarga besarnya. Papa mamanya. Oom dan tantenya. Lagi pula ia memang tak pernah membayangkan atau punya keinginan menikah dengan laki-laki itu, dengan Adam, meski ia membuatnya menjadi burung kolibri. Laki-laki itu memang memahami mimpi-mimpi dan fantasinya. Tapi ia merasa laki-laki itu akan cepat membosankan dalam sebuah perkawinan. Sepanjang ia tahu, penyair selalu merepotkan ketika menjadi seorang suami.
Ia dapati rumah yang sunyi. Andini sedikit merasa lega. Ia berharap Gunawan pulang lebih terlambat. Semakin terlambat semakin ia bisa menata kerusuhan hatinya. Kini ia hanya perlu mandi agar merasa segar. Tapi bagaimana kalau tadi Gunawan sudah menelepon rumah? Bertanya pada Bik Jamri, apakah ia di rumah? Bila Andini menanyakan hal itu kepada Bik Jamri, malah akan membuat pembantu itu menatapnya curiga. Ia selalu merasa betapa Bik Jamri selalu memata-matainya. Maklum, Bik Jamri masih kerabat jauh Gunawan yang dibawa dari desa. Mungkin Gunawan juga sudah menelepon Rahmat, sopir pribadinya. Ke mana Nyonya pergi? Kenapa tidak kamu anter? Itu hal biasa dilakukan Gunawan untuk mengecek keberadaannya. Ke mana ia pergi, urusan apa, dengan siapa.
Sungguh, ia butuh dewa penyelamat! Dan Andini langsung ingat Josephine. Ia akan menjelaskan kalau tadi ia pergi dengan Josephine. Biarlah nanti Josephine yang mengarang ke mana mereka pergi hingga ia pulang terlambat. Segera Andini menghubungi handphone Josephine.
“Jos….”
“Hai….”
“Mengganggu?”
“Nggak. Ada apa…,” terdengar suara Josephine yang pelan dan rendah.
“Aku mau minta tolong. Nanti kalau Gunawan telepon kamu, bilang kalau tadi seharian aku sama kamu….” Lalu Andini merasa lebih tenang. Ia percaya Josephine tahu maksudnya. Ia percaya Josephine memahaminya. “Oke, Jos? Makasih lho….”
Andini meletakkan telepon.
DI kamar hotel yang temaram, Josephine duduk termangu di tepi tempat tidur. Hampir saja ia tak menguasai perasaannya. Sialan! Ia lupa mematikan handphone. Keteledoran kecil yang bisa berakibat fatal.
“Dari siapa?”
Josephine menatap laki-laki yang bertanya itu. Tatapannya mendamba, begitu manja. Seperti kucing anggora. Laki-laki memang seperti kucing anggora, ia akan selalu nurut dan manja bila kita bisa menaklukkan hatinya.
“Kok diam?”
Josephine bergerak ke tengah ranjang, membiarkan selimut yang menutupi dadanya melorot.
“Telepon dari siapa?”
“Andini….”
“Apa dia mulai mencurigai kita?”
Josephine tak menjawab. Ia hanya menyurukkan wajahnya ke dada Gunawan.
Jakarta-Yogyakarta, 2003
“L’abitudine”, satu lagu gubahan Pierpaolo Guerrini dan Giorgio Calabrese, yang dinyanyikan Andrea Bocelli dan Helena (Lihat album Andrea Bocelli “Cieli di Toscana”).
Agus Noor
Seringkali Andini membayangkan betapa suatu hari ia akan menjelma burung kolibri, terbang tinggi melintasi pelangi di tengah keranuman musim semi. Pada saat itulah ia akan merasakan warna-warna bunga menjadi lebih berkilauan dalam kesunyian, dan cahaya pagi terasa lebih hangat dari sebuah ciuman yang paling menenteramkan.
Sungguh Jos! Aku selalu membayangkan hari yang ajaib itu datang mengetuk jendela kamarku, bersama kabut dan dingin yang saling berebut cahaya. Pada saat itulah ketika aku membuka jendela, seketika aku menjelma burung kolibri….” Andini bicara sembari memandang pada lembah yang terjamah basah. “Setidaknya aku ingin menjadi merpati.”
Josephine yang mendengarnya, hanya tertawa. “Kalau aku punya keinginan seperti kamu, aku pasti memilih berubah menjadi ular!”
“Kenapa?”
“Biar aku bisa menyelusup masuk ke selangkanganmu. Aku akan mendekam dalam rahimmu. Atau mendekam dalam kepalamu. Biar aku mengetahui semua mimpi-mimpimu….”
“Nggak lucu!”
“Yap! Aku memang tidak sedang melucu.” Josephine sedikit mengangkat bahu. “Lagi pula kamu tidak membutuhkan aku untuk melucu. Kamu membutuhkanku untuk mendengarkanmu berkeluh-kesah soal perkawinanmu yang membosankan.”
“Terima kasih, sudah jadi psikolog gratisan!”
Lalu Andini kembali membuang pandang ke arah perbukitan, pada hutan cemara yang samar dan meliuk-liuk letih di bawah rerepih gerimis yang bagaikan bertih-bertih beras putih berhamburan diterbangkan angin. Andini menyukai tempat ini. Kafe yang menghadirkan sunyi, tetapi tidak menutup diri karena jendela-jendelanya yang besar dan lebar dibiarkan terbuka sehingga temaram ruang yang kecoklatan seakan berkarib dengan keluasan perbukitan. Sesekali ia bisa merasakan angin dan dingin yang ringan seperti belaian. Ia memilih tempat ini bila ia menginginkan perhatian. Ia memilih tempat ini bila ingin ketemu dengan Josephine.
“Kupikir, kamu mesti berani jujur terhadap dirimu sendiri….”
Andini hanya mendesah, terus memandang perbukitan itu pada cuaca yang sendu, ketika segalanya perlahan-lahan menjelma bentangan kelabu, dan ia kian merasakan kebosanan itu. Ia sudah mencoba mengatasi, tetapi kian hari ia kian merasakan betapa perkawinannya semakin membenamkan dirinya dalam keasingan yang tak kunjung ia pahami. Sering ia tergeragap bangun di malam hari, berasa kebah disesah gelisah, dengan jerit yang tersekat di kerongkongan. Betapa ia inginkan pelukan yang membuatnya sedikit merasa nyaman.
“Kupikir kamu benar, mestinya aku tak menikah,” desah Andini, lebih kepada dirinya sendiri.
Tetapi, entahlah. Ia tak yakin benar, apakah ia salah telah memutuskan menikah dengan Gunawan. Ketika laki-laki yang sudah dikenalnya sejak remaja itu melamarnya, ia tak merasa perlu berpikir dua kali untuk menjawab iya. Ia yakin, pernikahan akan membuat dirinya kian nyaman. Karena ia merasa memang begitulah hidup yang mesti dilaluinya: masa remaja yang ceria, kuliah, kerja, dan menikah. Ia selalu membayangkan hidupnya seperti sebuah kisah yang akan berakhir bahagia, dengan senyum paling lembut ketika kematian menjemput. Dulu Andini hanya tertawa setiap kali Josephine mengatakan hidupnya terlalu datar, steril dan licin bagai lantai porselin.
“Dulu aku sudah bilang, perkawinan lebih menyedihkan dari kematian…,” Josephine berkata.
“Itu karena kamu membenci perkawinan?!”
“Jangan salah paham, An,” Josephine tertawa renyah. Seringkali Andini merasa iri dengan Josephine yang bisa dengan riang memandang setiap persoalan. Bagi Josephine, hidup ini seakan-akan begitu gurih dan ringan seperti popcorn. “Aku sama sekali tak membenci perkawinan. Hanya aneh saja. Kupikir, perkawinan itu produk kebudayaan paling dungu yang pernah dihasilkan manusia. Kamu tahu, bagiku, datang ke pesta perkawinan jauh lebih menyedihkan daripada menghadiri prosesi kematian. Aku lebih bisa menerima kematian, karena kematian ialah suatu keniscayaan. Tak perlu kesedihan untuk sebuah kematian. Ia harus kita terima dengan lapang dada, karena kita memang tak bisa menghindarinya, karena kematian memang konsekuensi yang mesti ditanggung manusia. Tapi perkawinan? Bukankah kita bisa menghindarinya?! Kita selalu punya pilihan untuk tidak menjalani perkawinan. Artinya, kita punya pilihan yang bebas untuk menentukan apa yang kita pikir lebih baik buat hidup kita yang hambar dan sebentar. Kalau kita bisa bahagia tanpa perkawinan, lalu buat apa kita memilih perkawinan? Menyedihkan bukan, seseorang memilih perkawinan padahal tak ada jaminan hidupnya akan menjadi lebih bahagia setelah ia menjalani perkawinan? Kau tahu sendiri, Yesus dan Tuhan tidak menikah, dan mereka bahagia….”
Andini mendelik, tapi Josephine malah terkikik.
“Barangkali kamu perlu kejutan kecil untuk hidupmu yang membosankan itu. Kamu mesti melakukan sedikit variasi….”
“Bercinta di kamar mandi? Sambil nungging atau berdiri? Enam sembilan?”
“Tak cuma itu….”
“Lalu apa? Mencoba gimana rasanya gituan ama kamu?!”
“Sori, meski nggak percaya perkawinan, aku masih seratus persen doyan laki-laki!”
“Sialan!”
Sejenak saling diam, saling pandang, seakan mencoba saling mencari kepastian. Di mata Josephine, Andini terlihat begitu lembut dan rapuh, seperti kabut yang sebentar lagi runtuh. Pada saat-saat seperti ini, Josephine jadi merasa bersalah karena seringkali ia diam-diam begitu iri pada Andini. Adakah Andini tahu betapa sesungguhnya ia seringkali ingin menyakitinya? Semasa kanak-kanak, Josephine selalu ingin Andini bisa merasakan bagaimana sakitnya dicambuk berkali-kali oleh ayahnya yang pemarah. Tapi Andini menjalani masa kanak-kanak yang hangat. Juga masa remaja yang penuh pesta. Kemewahan yang melimpah, kemudian menikah. Semua itulah yang membuat Josephine diam-diam selalu merasa iri sekaligus juga mengagumi Andini. Ia iri karena selalu merasa tak bernasib baik seperti Andini, dan ia mengagumi karena selalu membayangkan betapa senangnya menjadi Andini. Selalu ada keinginan untuk menyakiti dan melindungi.
“Menurutmu, apakah aku mesti menyelamatkan perkawinanku?”
“Aku tahu, kamu-dan seluruh keluarga besarmu-tak pernah memikirkan perceraian sebagai penyelesaian. Tapi kalau kamu memang mesti menyelamatkan sesuatu, jangan hanya kau selamatkan perkawinanmu, tetapi juga hidupnya. Gairah dan keinginanmu, mimpi-mimpimu. Jangan buat perkawinanmu jadi kian menyedihkan.”
Tapi, barangkali perkawinanku memang sudah sedemikian menyedihkan, batin Andini. Hingga aku seringkali membayangkan betapa suatu hari aku menjelma burung kolibri, terbang tinggi melintasi pelangi di tengah keranuman musim semi….
Dan kesedihan itu kian ia rasakan, lebih cepat dari yang ia kira. Sesungguhnya Gunawan tetap punya perhatian, meski tak terlalu berlebihan. Kecupan-kecupan ringan, tetapi bukan lagi menjadi sesuatu yang tak terduga, melainkan lebih terasa sebagai kerutinan. Lalu aturan-aturan bahwa seorang istri semestinya tak kelayapan selepas jam tujuh malam. Sindiran- sindiran yang menyakitkan. Tak pantas seorang istri keluarga baik-baik berpakaian sexy, memperlihatkan belahan tetek dan pusernya. Ngapain juga pakai rok mini begitu! Pertengkaran dan hardikan yang membuatnya merasa terabaikan. Kemudian percakapan antara mereka lebih banyak memerihkan duka. Duka yang bahkan terasa di bulu-bulu mata.
Andini jadi merasa beruntung mengenal Josephine, yang selalu mau mendengar kesedihannya. Bagi Andini, Josephine adalah satu-satunya sahabat yang mau memahami dirinya. Karena itulah, Andini tak sungkan bercerita. Tak sungkan mengungkapkan perasaannya ketika kesepian kian menyesakkan, ketika ia ingin terbang jauh melintasi pelangi, ketika ia merasa betapa dirinya perlahan-lahan berubah menjadi burung kolibri. “Sungguh, Jos! Aku menjadi burung kolibri! Itulah hari paling menakjubkan. Begitu ringan, melayang-layang….”
Josephine tertawa, sebagaimana biasanya, kedengaran renyah seperti menikmati fried potatoes.
“Kamu nggak percaya?”
“Percaya. Percaya…,” Josephine masih menyimpan tawa, lebih berbinar dan kelihatan bahagia. “Aku percaya kamu lagi jatuh cinta! Selamat….”
Andini menepis tangan Josephine, tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Sialan! Ia selalu bisa menerka perasaannya.
“Kenapa mesti malu mengakui? Bukankah pernah kubilang, menyelamatkan hidupmu jauh penting ketimbang menyelamatkan perkawinanmu yang membosankan…,” Josephine menarik kursi, lebih mendekat. “Ayolah, ceritakan, siapa laki-laki yang telah membuatmu menjadi burung kolibri….”
Andini menatap senja yang bagai menyimpan rahasia. Pada senja seperti ini pula ia bertemu laki-laki itu. Saat itu senja hampir lengkap, dan langit begitu halus serupa lakmus. Laki- laki itu muncul seakan-akan diantar melankoli alun Andrea Bocelli. Tu, per quello che mi dai, quell’emozione in più, ad ogni tua parola….
Dia ringan seperti nyanyian. Mereka bertatapan, sebentar. Hanya sebentar. Tapi Andini merasakan sesuatu yang begitu tergetar. Ada yang sulit diucapkan, tetapi laki-laki itu tampak lebih menakjubkan dalam diam. Rasanya seperti menikmati puisi, menghayati sunyi yang abadi, suasana tanpa kata-kata, suasana yang lama hilang dalam igauan dan mimpi-mimpinya. Saat itulah ia merasakan bulu-bulu sunyi bertumbuhan di sekujur tubuhnya. Bulu-bulu yang halus dan bersih, putih merepih. Saat itulah Andini mendapati dirinya telah menjelma menjadi burung kolibri. Dan laki-laki itu menghampiri, tidak dengan kata-kata, tapi dengan sapaan yang lebih teduh dari nyanyian yang membuat ruangan terasa rindang, juga lebih terang.
Perché la solitudine, che non sorride mai,
diventa l’abitudine, e non la scelta che tu fai.
Pertemuan demi pertemuan, selalu berulang dan kembali seperti gema yang panjang. Dan Andini tahu laki-laki itu, seorang penyair yang menciptakan keajaiban-keajaiban dengan kata-kata. Namanya Adam.
“Kau tahu, Jos…,” desah Andini, sedikit menunduk, mengakhiri cerita. “Pertama kali mendengar namanya, aku merasa berkenalan dengan awal mula dosa.”
“Hmm. Dosa. Aku kira itu akan membuatmu kian lengkap sebagai manusia.”
“Ini rahasia kita….”
Ah, rahasia. Josephine menyandarkan punggugnya ke kursi. Alangkah banyak rahasia antara kita, batinnya. Adakah kamu ingin tahu rahasia apa yang aku sembunyikan dari kamu? Biarlah masing-masing kita bahagia dengan rahasia kita.
“Please, Jos, jangan sampai Gunawan tahu.”
Josephine diam, hanya tersenyum-seakan ingin menegaskan: aku jauh lebih bisa menyimpan rahasia lebih dari yang kamu kira.
“Lakukan, apa yang menurutmu mesti kamu lakukan. Selama kamu menikmati…,” kata Josephine. “Dan kuharap kamu memang benar-benar menikmatinya. Karena aku tahu, seks itu seperti semangkuk sup. Begitu kamu merasa enak mencicipinya, kamu akan menghabiskan semangkuk sup itu, dan ingin menambahnya….”
Keduanya tertawa. Hidup memang terasa gurih dan renyah bersama Josephine. Senja jadi lebih megah ketika perselingkuhan terasa ringan. Sentuhan lembut di telinga, kecupan ringan di puting susunya, semuanya terasa menakjubkan dalam kenangan. Si, adesso ci sei tu, nei sogni e nelle idee, nell’immaginazione…. Lebih menghanyutkan dari suara Helena yang membuatnya terlena ketika laki-laki itu mulai memasukinya….
Bersama Adam, Andini selalu menjelma burung kolibri. Adam memahami mimpi-mimpinya, barangkali karena ia seorang penyair. Andini sering menyaksikan dari jemari Adam berhamburan kata-kata yang meletup pecah di udara menjadi kupu-kupu. Kadang menjelma kunang-kunang, menjelma burung merpati. Kata-kata itu pula yang selalu mengubah Andini menjadi burung kolibri, terbang tinggi melintasi pelangi di tengah keranuman musim semi.
“Setiap bersamamu, aku merasakan saat-saat paling rawan dan membahagiakan dalam hidupku…,” katanya, dengan suara lirih seperti tengah membaca larik-larik sajak yang melankolis, sambil merentangkan tangan kanannya, menggapai udara, seakan memetik sesuatu dari kehampaan. Dan, tass, mendadak tangannya telah menggenggam sebutir apel. Merah. Ranum. Apel yang tercipta dari keajaiban kata-kata.
Andini melonjak bahagia ketika apel itu melayang-layang di hadapannya. Kemudian keduanya berdiri berhadapan, saling menyentuhkan tangan. Ah, betapa dari jarak lebih dekat Andini mendapati tubuh laki-laki itu jauh lebih berkilat, berkeringat penuh hasrat. Struktur tulangnya tampak begitu nyata. Dadanya yang tak bidang, samar memperlihatkan garis-garis kosta. Tangannya pipih, begitu bersih. Terasa lebih menggairahkan ketika bercinta bukan semata kewajiban dan kerutinan. Andini kian terpesona ketika laki-laki itu bergerak, pelan, lamban tapi bertenaga, seperti menari….
Lalu Andini rasakan desir yang perlahan-lahan mulai berpusaran. Ia mendengar desah kabut yang basah, melayah menyentuh permukaan tanah. Ada kesejukan yang membasah, menggetarkan kerimbunan hijau daun. Gemercik air. Geletar sayap kupu-kupu yang terbang di kejauhan. Ia dengar tiupan flute yang lembut, menghamparkan padang rumput, juga harum lumut. Kemudian alunan piano, mengantarnya ke sebuah danau. Bunyi-bunyi perkusi yang menghadirkan berbagai imaji, hingga kelopak-kelopak bunga seketika terbuka. Andini dapat menangkap helai-helai cahaya yang berkeredap bagaikan lembaran-lembaran kain yang berkibaran pelan membungkus tubuhnya. Ia merasakan tubuhnya perlahan-lahan terangkat, mengapung di arus waktu. Seakan-akan berada di keluasan cuaca tak bernama, dengan lengkung langit lembayung bagai payung, menahan lindap cahaya yang muncul dari punggung gunung. Kadang seperti sebatang ilalang, tubuhnya melayang-layang melintasi keluasan padang. Namun seketika itu juga ia merasa berada di tengah telaga yang sejuk dan rimbun oleh gulma. Lalu ia melintasi kerimbunan pinus, tegak lurus, lembab humus.
Kamar terasa bergetar. Lagu paling merdu, merembes dari dinding. E sono qui con te, e non ti lascerò, ti chiedo di fermarti qui, e stare insieme a te…. Dan lilin-lilin merah terangkat ke udara, melayang berkitaran. Andini mendesah. Merasakan tubuhnya membasah. Ada yang bersikeras membuncah, gairah yang sebentar lagi pecah! Aahhh….
“Ya, Tuhan…,” Andini menggigit bibirnya hingga berdarah. “Aku orgasme!!”
Ciuman yang gugup, dan Andini segera menutup pintu, menghambur ke jalan sambil mencermati kancing dan merapikan kelim gaunnya. Ia langsung menyetop taksi yang pertama lewat. Bukan saat yang tepat untuk memilih-milih taksi.
“Cepat, Bang!”
Ya, ia mesti cepat pulang. Sebelum Gunawan sampai di rumah. Ia mesti mandi. Bau tubuh laki-laki itu terasa lekat di kulitnya. Ia ingin tak ada tilas, tak ada bekas.
“Bisa lebih cepat?”
“Macet, Bu….”
Andini mendengus. Waktu seakan mengincarnya dengan kutukan. Sedetik saja terlambat, rumahnya akan berantakan. Keramik-keramik akan dibanting ke lantai. Dilempar ke arahnya. Lalu makian. Mungkin juga sekian tamparan. Lalu seluruh keluarganya tahu. Ia akan dipelototi sebagai pesakitan. Sebagai istri yang tak bisa menjaga perasaan suami. Andini meraih handphone-nya. Tak ada SMS masuk. Tak ada missed call dari Gunawan. Ia merasa sedikit nyaman. Ia tak merasa perlu mengarang alasan kenapa tak membalas SMS atau mengangkat handphone.
Tidak, ia tidak takut kehilangan Gunawan. Karena ia yakin laki-laki itu pun tak punya keberanian menceraikannya. Ia hanya takut disalahkan keluarga besarnya. Papa mamanya. Oom dan tantenya. Lagi pula ia memang tak pernah membayangkan atau punya keinginan menikah dengan laki-laki itu, dengan Adam, meski ia membuatnya menjadi burung kolibri. Laki-laki itu memang memahami mimpi-mimpi dan fantasinya. Tapi ia merasa laki-laki itu akan cepat membosankan dalam sebuah perkawinan. Sepanjang ia tahu, penyair selalu merepotkan ketika menjadi seorang suami.
Ia dapati rumah yang sunyi. Andini sedikit merasa lega. Ia berharap Gunawan pulang lebih terlambat. Semakin terlambat semakin ia bisa menata kerusuhan hatinya. Kini ia hanya perlu mandi agar merasa segar. Tapi bagaimana kalau tadi Gunawan sudah menelepon rumah? Bertanya pada Bik Jamri, apakah ia di rumah? Bila Andini menanyakan hal itu kepada Bik Jamri, malah akan membuat pembantu itu menatapnya curiga. Ia selalu merasa betapa Bik Jamri selalu memata-matainya. Maklum, Bik Jamri masih kerabat jauh Gunawan yang dibawa dari desa. Mungkin Gunawan juga sudah menelepon Rahmat, sopir pribadinya. Ke mana Nyonya pergi? Kenapa tidak kamu anter? Itu hal biasa dilakukan Gunawan untuk mengecek keberadaannya. Ke mana ia pergi, urusan apa, dengan siapa.
Sungguh, ia butuh dewa penyelamat! Dan Andini langsung ingat Josephine. Ia akan menjelaskan kalau tadi ia pergi dengan Josephine. Biarlah nanti Josephine yang mengarang ke mana mereka pergi hingga ia pulang terlambat. Segera Andini menghubungi handphone Josephine.
“Jos….”
“Hai….”
“Mengganggu?”
“Nggak. Ada apa…,” terdengar suara Josephine yang pelan dan rendah.
“Aku mau minta tolong. Nanti kalau Gunawan telepon kamu, bilang kalau tadi seharian aku sama kamu….” Lalu Andini merasa lebih tenang. Ia percaya Josephine tahu maksudnya. Ia percaya Josephine memahaminya. “Oke, Jos? Makasih lho….”
Andini meletakkan telepon.
DI kamar hotel yang temaram, Josephine duduk termangu di tepi tempat tidur. Hampir saja ia tak menguasai perasaannya. Sialan! Ia lupa mematikan handphone. Keteledoran kecil yang bisa berakibat fatal.
“Dari siapa?”
Josephine menatap laki-laki yang bertanya itu. Tatapannya mendamba, begitu manja. Seperti kucing anggora. Laki-laki memang seperti kucing anggora, ia akan selalu nurut dan manja bila kita bisa menaklukkan hatinya.
“Kok diam?”
Josephine bergerak ke tengah ranjang, membiarkan selimut yang menutupi dadanya melorot.
“Telepon dari siapa?”
“Andini….”
“Apa dia mulai mencurigai kita?”
Josephine tak menjawab. Ia hanya menyurukkan wajahnya ke dada Gunawan.
Jakarta-Yogyakarta, 2003
“L’abitudine”, satu lagu gubahan Pierpaolo Guerrini dan Giorgio Calabrese, yang dinyanyikan Andrea Bocelli dan Helena (Lihat album Andrea Bocelli “Cieli di Toscana”).
Agus Noor
Abang Yun
Abang Yun
Kehadiran Abang Yun setelah puluhan tahun tidak pulang begitu cepat tersiar. Bahkan sampai kampung tetangga berita kedatangan Abang Yun menjadi perbincangan. Seakan bisa mengalahkan berita kunjungan pejabat dari kota saja. Kabar yang begitu cepat menyebar itu boleh jadi karena Abang Yun sudah dianggap meninggal hanya tak ada kuburannya.
Sangkaan itu wajar saja. Di kampung kami sangat meyakini bahwa orang yang pergi meninggalkan aib dianggap mati. Orang itu tak akan berani pulang, ia akan lenyap selama-lamanya. Jika ia berjumpa dengan orang kampung di perantauan, kalau tidak dia yang mengingatkan maka sebaliknya yang menemuinya tidak akan bercerita tentang perjumpaannya. Jangan coba-coba melanggar keyakinan ini, kalau tak hendak terkena cemooh orang sekampung.
Sudah sering terjadi yang meninggalkan kampung karena membawa aib tidak kembali-kembali lagi. Padahal di antara mereka justru sukses di perantauan, seperti pengusaha atau pejabat. Kalaupun menjadi penjahat, ah ini hanya pengecualian yang justru paling banyak, maka bukan sembarang penjahat melainkan sebagai pemimpinnya. Kebanyakan penjahat di luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Hongkong, atau di Filipina.
Ketika Abang Yun pulang ke kampung saat Idul Fitri kemarin, sekali lagi, wajar kalau berita itu cepat menyebar. Cuma tidak terjadi seperti yang dikhawatirkan bahwa kepulangan orang yang meninggalkan kampung karena aib pasti dibunuh di tangan warga lalu jenazahnya saat itu juga dimakamkan. Ini tidak terjadi. Sungguh suatu keajaiban bagi Abang Yun. Sebagai adik satu-satunya, tentunya aku sangat gembira. Kini rumahku dipenuhi tetangga, membuat ibu sangat sibuk menyiapkan makanan dan minuman.
Abang Yun datang bersama perempuan cantik, yang kuketahui kemudian adalah istrinya. Juga seorang anak perempuan berusia 10 tahun, pun tak kalah cantiknya dengan ibunya. Sementara mobil merek Escudo yang dibawa sendiri oleh Abang Yun kini diparkir di halaman rumah kami. Kucuri pandang dari jendela rumah panggung kami, anak-anak kampung mengerubungi mobil berwarna putih metalik itu. Ada yang naik di depan, di dekat pintu, ada yang sekadar mengelus-elus dinding mobil.
Abang Yun juga tidak menampakkan wajah ketakutan tatkala menerima kunjungan tetangga yang bertanya ini dan itu. Lazimnya pemudik lainnya, ia banyak bercerita tentang suksesnya di perantauan sejak ia meninggalkan kampung 15 tahun lalu. Istrinya yang sangat cantik tak beranjak dari sisinya, setia menemani Abang Yun. Mbak Mita, istri Abang Yun, ramah pada keluarga kami. Ia juga ikut terlibat mengobrol dengan para tetangga. Kulihat banyak dari kami di kampung ini, terutama para perempuan, merasa iri dengan kecantikan Mbak Mita.
Masa muda Abang Yun penuh oleh noda hitam. Berulang kali ia masuk penjara karena merampok dan mabuk. Terakhir, sampai ia harus lari dari kampung kami membawa aib, Abang Yun diburu-buru pihak keamanan karena bandar narkoba. Kesalahan yang membuat aib besar Abang Yun di mata orang kampung, beberapa jam sebelum minggat ia membawa lari istri Pak Lurah yang memang tergila-gila dengan Abang Yun. Namun beberapa hari dibawa ke kota, ia tinggalkan perempuan itu di kamar hotel. Abang Yun lari ke Medan, sedangkan istri Pak Lurah kembali ke kampung.
Peristiwa itu membuat berang Pak Lurah. Rumah kami nyaris dibakar oleh orang-orang suruhan Pak Lurah. Untunglah tetangga kami mencegah, dan berjanji akan mendapatkan segera Abang Yun untuk diadili di depan masyarakat. Memang Abang Yun tidak bisa ditemui lagi, namun kemarahan Pak Lurah akhirnya reda. Apalagi, pada pemilihan Lurah enam bulan kemudian, ia tidak terpilih kembali.
“Jadi, bagaimana caranya kau bisa kaya seperti ini? Dapat istri cantik lagi? Wah, wah, kau pasti memiliki ilmu ya? Belajar di mana? Kiai dari Banten ya?” tanya Wak Herman, orang tua yang sangat disegani di kampung kami. Kalau dia saja suka dengan kehadiran Abang Yun, otomatis yang lain akan ikut. Diam-diam aku mengagumi Abang Yun yang mampu menarik hati Wak Herman.
“Gampang Wak, yang penting mau kerja keras,” jawab Abang Yun yakin. “Soal istri cantik, saya tak bisa jelaskan. Nanti Wak mau lagi he-he-he…. Ah, enggak Wak, saya enggak punya ilmu kok, apalagi ilmu pelet ataupun ilmu kebal. Kalau Wak enggak percaya sentuh saja kulit saya dengan pisau, pasti berdarah.”
Aku tahu Abang Yun bergurau. Aku tak percaya kalau ia tidak memiliki ilmu penangkal, kulihat cincin yang melingkar di beberapa jari tangannya batunya besar-besar. Sore tadi juga, tak sengaja, aku mendapatkan kain hitam kecil di kamar. Aku yakin itu jimat milik Abang Yun.
“Kalau kau kembali ke kota, bisa sekalian bawa anak Wak. Si Iful itu nganggur di sini, lama-lama bisa nyusahin,” kata Wak Herman lagi sambil senyum-senyum. “Bagaimanapun dia kan termasuk adikmu juga, apa kau tega melihatnya susah di kampung? Iya, kan, Mar?” ujar Wak Herman lagi. Ia meminta dukunganku.
Aku hanya tersenyum. Dalam hati aku berkata, daripada membantu anak Wak Herman akan lebih baik suamiku yang dibawa Abang Yun untuk bekerja di kota. Tetapi, itu tak mungkin terucapkan. Kulihat Abang Yun hanya mengangguk-angguk, tiada terucap “ya” atau “tidak”.
“Bagaimana, Yun?” Wak Herman kembali bertanya. “Kalau kau setuju, bolehlah Wak panggil si Iful sekarang.”
“Kan masih ada hari lain, Wak. Sekarang kita ngobrol yang lain saja, soal kampung kita ini yang saya lihat mulai menampakkan kemajuan. Listrik sudah masuk sampai ke pelosok, orang kampung hampir semuanya sudah punya televisi. Bahkan waktu saya masuk pagi tadi, warga di bagian depan kampung sudah ada yang mempunyai parabola. Berarti sudah makmur,” ujar Abang Yun untuk mengalihkan percakapan. “Benar ya, panen di sini bagus-bagus? Syukurlah kalau demikian.”
“Yang makmur, ya makmur. Tetapi, banyak warga di sini masih melarat. Kau lihat sendiri, masjid kita itu tidak selesai-selesai. Kadang kami malu, shalat di masjid seperti itu. Untunglah kau mau membantu pembangunan masjid itu sampai selesai. Jangan lupa kalau kembali ke kota, uang bantuanmu itu titipkan ke ibumu atau ke Mar.”
“Ya, Wak, saya tak akan lupa. Jangan khawatir.”
“Bukan khawatir, Yun, cuma mengingatkan. Wak percaya, kau memang dermawan. Kau telah mencatat sejarah di kampung kita ini, kalau masjid itu bagus. Iya, kan, Fat?” kata Wak Herman kepada ibuku. Ibu tersenyum.
Sampai pukul 21.00, tak ada tanda kalau tamu di rumah kami bakal beranjak, sebaliknya justru bertambah. Kasihan Abang Yun dan keluarganya sampai harus telat makan. Ibu mulai gelisah. Ia panggil Mbak Mita ke dalam, maksudnya menyuruhnya makan. Istri Abang Yun tahu kode ibu, ia segera ke belakang.
“Mestinya mereka tahu kalau Abang Yun belum makan,” ucap Mbak Mita kepadaku di dapur.
“Begitulah orang kampung, Mbak, berbeda dengan di kota,” jawabku pelan. “Kehadiran perantau seperti aneh bagi mereka, apalagi kalau sukses.”
“Tapi, yang mudik, kan, bukan hanya Abang Yun?”
Aku mengangguk. “Iya sih. Tapi… entahlah,” kataku singkat. Aku khawatir kebanyakan cakap akan membeberkan peristiwa masa lalu Abang Yun, peristiwa yang dianggap aib oleh warga sekampung.
“Mungkin karena Abang sudah bertahun-tahun tidak pulang? Mungkin itu ya, Mar?” Mbak Mita kembali berujar seakan menjawab sendiri pertanyaannya.
Aku segera mengangguk. “Ya… ya, mungkin itu sebabnya.”
Sehabis makan, Mbak Mita kembali ke ruang tengah. Kali ini ia beranikan diri mengajak Abang Yun untuk makan. “Sekalian ajak yang lain, kalau ada yang belum makan,” kata Mbak Mita.
“Wah kebetulan, kalau sudah disiapkan,” kata Wak Herman segera mengikuti langkah Abang Yun. “Wak belum makan,” imbuhnya. Diikuti tiga tamu lainnya.
“Kau beruntung punya abang kaya di perantauan seperti Abang Yun,” bisik Nurhajijah, teman sepermainan kecilku, yang kini menjanda beranak satu ditinggal suaminya menjadi TKI di Arab Saudi.
“Ah, kau seperti tahu banyak abangku saja,” kataku dengan maksud tak suka dengan pujian seperti itu. Aku sebagai adiknya saja belum banyak tahu kekayaan Abang Yun. Lagi pula, benarkah abangku di kota sudah kaya, Mbak Mita adalah istri sahnya, dan Maya adalah benar anak mereka? Siapa bisa memastikan kalau Abang Yun sukses di perantauan, sedangkan belasan tahun kami tidak tahu rimbanya? Setiap orang bisa saja bersandiwara, bukankah begitu? Batinku.
“Aku memang tak tahu, tapi kulihat penampilan abangmu memang kaya. Mobilnya pun bermerek mahal,” kata Nur berkomentar lagi.
“Syukurlah kalau itu benar…”
“Sepertinya, kau tak bangga melihat abangmu sukses, kaya? Ada apa dengan kau, Mar?” sela Nur.
“Siapa yang tak senang. Aku bangga sekali,” jawabku malas. Kutinggalkan Nurhajijah yang hendak berucap. Aku ke belakang, merapikan meja makan sehabis ditinggal Abang Yun dan tamu.
Aku kembali ke ruang tengah dengan membawa teko berisi kopi dan puluhan gelas kosong. Kemudian kukeluarkan beberapa toples kue dan sepiring bolu. Kuletakkan di atas meja. “Silakan yang mau ngopi. Kuenya juga dimakan,” ujarku menawarkan.
Abang Yun memanggilku dan menyerahkan uang Rp 100.000 untuk membeli beberapa bungkus rokok. Aku segera ke warung sebelah. Kubelikan 10 bungkus rokok filter, 7 bungkus kretek 234, dan sepuluh rokok Jamboe Bol. “Sisanya kau simpan,” kata Abang Yun begitu kembalian akan kuserahkan. Wak Herman tertawa dan mengedipkan mata padaku seperti berkata: “Asyik, dapat untung….”
Abang Yun harus kembali ke kota, tiga hari setelah Idul Fitri. Ia tak mengajak serta anak Wak Herman, alasannya ke Medan dulu mau ke rumah orangtua Mbak Mita. Pesan Abang Yun kepada Wak Herman, nanti orang suruhannya akan menjemput Iful begitu ia sampai di kota. Wak Herman manggut-manggut, tampak sangat berharap janji Abang Yun jadi kenyataan. Uang bantuan sebesar Rp 2 juta untuk pembangunan masjid diserahkan kepada Wak Herman, sementara Rp 2 juta lagi untuk ibu, ia titipkan kepadaku.
“Saya berharap uang Rp 2 juta itu bisa menambah penyelesaian pembangunan masjid kita, Wak. Doain saya dapat rezeki banyak, biar bisa membantu lagi,” kata Abang Yun sebelum menghidupkan mesin mobil subuh tadi.
“Tentu… tentu. Kami selalu mendoakan kau sukses. Selama ini juga kami berdoa agar kau selamat. Betul Yun, padahal kepada warga yang lain kami tak lakukan…” jelas Wak Herman. Dalam hati, aku berkata, “Pasti itu basa-basi, cuma untuk menyenangkan hati Abang Yun.”
Sepergi Abang Yun, Wak Herman meminta restu dariku sebagai adik Abang Yun, jika uang bantuan masjid itu berlebih, maka kelebihannya untuk kantong Wak Herman. Ia juga berpesan jangan diberi tahu orang lain kalau Abang Yun memberi bantuan Rp 2 juta untuk pembangunan masjid.
“Biar Wak saja yang menjelaskan pada mereka,” kata Wak meminta pengertianku.
Mendengar itu, hatiku bergolak. “Tidak bisa Wak. Besar bantuan Abang Yun harus dijelaskan kepada jemaah masjid lainnya. Bukan kami mau dibesar-besarkan dari corong masjid, tapi supaya diketahui yang lain. Biar Wak juga tidak disangka mencari untung,” kataku kemudian.
Wak Herman merasa tersindir dengan ucapanku. “Kalau bukan Wak yang meminta langsung padanya, mana mungkin abangmu mau membantu masjid!”
“Betul, Wak, tapi uang itu untuk pembangunan masjid. Wak kan sendiri dengar tadi,” jawabku tak mau kalah.
Wak Herman bersungut-sungut meninggalkan pekarangan rumahku. Kepada ibuku juga tidak pamit. Sambil berjalan ia meracau, “Wak seperti tidak tahu saja pekerjaan abangmu. Ini uang panas.” Meski pelan, aku masih bisa mendengar.
Karena aku tak ingin bertengkar, tak kutanggapi meracaunya. Aku naiki tangga rumah, menemui ibu dan menjelaskan kalau uang ibu dari Abang Yun biar aku yang menyimpan. Ibu mengangguk. Kutuntun ibu kemudian masuk. Kami seperti sedang bermimpi, 15 tahun lebih merasa Abang Yun sudah tiada lagi di dunia karena tak ada sesobek kabar pun, kini pulang dalam keadaan sehat. Tuhan juga masih melindungi Abang Yun, kepulangannya tidak untuk menyerahkan jasad di depan warga kampung seperti yang dialami warga lain senasib Abang Yun.
“Tuhan mengabulkan doa ibu, yang ibu minta setiap malam,” bisik ibu.
Aku mengangguk. Kupeluk erat tubuh ibu. Aku menangis dan juga tersenyum. Tak lama kami berpelukan, tiba-tiba terdengar pintu diketuk. Segera aku membukakan pintu.
“Maaf, Bu, ini rumah orangtua Yun Kampak?” tanya salah seorang dari dua tamu yang berdiri di ambang.
“Bukan. Ini rumah orangtua Yunizar Salim,” kataku meralat. Kupikir tamu itu pasti salah alamat.
“Ya… ya, itu. Benar. Yunizar Salim nama aslinya,” jelas yang satu lagi. “Apa benar, dia bersembunyi di rumah ini?”
“Abang saya mudik. Memangnya, kalau boleh saya tahu kenapa dengan abang saya, Pak. Dan, bapak-bapak ini dari mana dan mau apa?” tanyaku ingin secepatnya tahu.
“Kami dari kepolisian.”
Detak jantungku seperti hendak berhenti.
“Yunizar orang yang kami cari selama ini. Dia pen… “
“Ah, sudahlah kami permisi. Ke mana dia pergi?” kata temannya.
Aku tak menjawab. Tubuhku lemas seketika, sekejap kemudian melorot di lantai. Dalam benakku, aku menerjemahkan sendiri ucapan petugas kepolisian yang terpotong itu: “Dia pen…”
Mungkinkah Abang Yun penjahat? Benarkah Wak Herman tahu banyak soal abangku di perantauan? Mungkin Wak Herman tidak memfitnah, kalau subuh tadi ia mengingatkan, “Ini uang panas.” Entahlah. Kuharap ibu tak bertanya tentang kedatangan tamu itu. (*)
Lampung, 2 Syawal 1424 H/26-11-2003
Isbedy Stiawan ZS
Kehadiran Abang Yun setelah puluhan tahun tidak pulang begitu cepat tersiar. Bahkan sampai kampung tetangga berita kedatangan Abang Yun menjadi perbincangan. Seakan bisa mengalahkan berita kunjungan pejabat dari kota saja. Kabar yang begitu cepat menyebar itu boleh jadi karena Abang Yun sudah dianggap meninggal hanya tak ada kuburannya.
Sangkaan itu wajar saja. Di kampung kami sangat meyakini bahwa orang yang pergi meninggalkan aib dianggap mati. Orang itu tak akan berani pulang, ia akan lenyap selama-lamanya. Jika ia berjumpa dengan orang kampung di perantauan, kalau tidak dia yang mengingatkan maka sebaliknya yang menemuinya tidak akan bercerita tentang perjumpaannya. Jangan coba-coba melanggar keyakinan ini, kalau tak hendak terkena cemooh orang sekampung.
Sudah sering terjadi yang meninggalkan kampung karena membawa aib tidak kembali-kembali lagi. Padahal di antara mereka justru sukses di perantauan, seperti pengusaha atau pejabat. Kalaupun menjadi penjahat, ah ini hanya pengecualian yang justru paling banyak, maka bukan sembarang penjahat melainkan sebagai pemimpinnya. Kebanyakan penjahat di luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Hongkong, atau di Filipina.
Ketika Abang Yun pulang ke kampung saat Idul Fitri kemarin, sekali lagi, wajar kalau berita itu cepat menyebar. Cuma tidak terjadi seperti yang dikhawatirkan bahwa kepulangan orang yang meninggalkan kampung karena aib pasti dibunuh di tangan warga lalu jenazahnya saat itu juga dimakamkan. Ini tidak terjadi. Sungguh suatu keajaiban bagi Abang Yun. Sebagai adik satu-satunya, tentunya aku sangat gembira. Kini rumahku dipenuhi tetangga, membuat ibu sangat sibuk menyiapkan makanan dan minuman.
Abang Yun datang bersama perempuan cantik, yang kuketahui kemudian adalah istrinya. Juga seorang anak perempuan berusia 10 tahun, pun tak kalah cantiknya dengan ibunya. Sementara mobil merek Escudo yang dibawa sendiri oleh Abang Yun kini diparkir di halaman rumah kami. Kucuri pandang dari jendela rumah panggung kami, anak-anak kampung mengerubungi mobil berwarna putih metalik itu. Ada yang naik di depan, di dekat pintu, ada yang sekadar mengelus-elus dinding mobil.
Abang Yun juga tidak menampakkan wajah ketakutan tatkala menerima kunjungan tetangga yang bertanya ini dan itu. Lazimnya pemudik lainnya, ia banyak bercerita tentang suksesnya di perantauan sejak ia meninggalkan kampung 15 tahun lalu. Istrinya yang sangat cantik tak beranjak dari sisinya, setia menemani Abang Yun. Mbak Mita, istri Abang Yun, ramah pada keluarga kami. Ia juga ikut terlibat mengobrol dengan para tetangga. Kulihat banyak dari kami di kampung ini, terutama para perempuan, merasa iri dengan kecantikan Mbak Mita.
Masa muda Abang Yun penuh oleh noda hitam. Berulang kali ia masuk penjara karena merampok dan mabuk. Terakhir, sampai ia harus lari dari kampung kami membawa aib, Abang Yun diburu-buru pihak keamanan karena bandar narkoba. Kesalahan yang membuat aib besar Abang Yun di mata orang kampung, beberapa jam sebelum minggat ia membawa lari istri Pak Lurah yang memang tergila-gila dengan Abang Yun. Namun beberapa hari dibawa ke kota, ia tinggalkan perempuan itu di kamar hotel. Abang Yun lari ke Medan, sedangkan istri Pak Lurah kembali ke kampung.
Peristiwa itu membuat berang Pak Lurah. Rumah kami nyaris dibakar oleh orang-orang suruhan Pak Lurah. Untunglah tetangga kami mencegah, dan berjanji akan mendapatkan segera Abang Yun untuk diadili di depan masyarakat. Memang Abang Yun tidak bisa ditemui lagi, namun kemarahan Pak Lurah akhirnya reda. Apalagi, pada pemilihan Lurah enam bulan kemudian, ia tidak terpilih kembali.
“Jadi, bagaimana caranya kau bisa kaya seperti ini? Dapat istri cantik lagi? Wah, wah, kau pasti memiliki ilmu ya? Belajar di mana? Kiai dari Banten ya?” tanya Wak Herman, orang tua yang sangat disegani di kampung kami. Kalau dia saja suka dengan kehadiran Abang Yun, otomatis yang lain akan ikut. Diam-diam aku mengagumi Abang Yun yang mampu menarik hati Wak Herman.
“Gampang Wak, yang penting mau kerja keras,” jawab Abang Yun yakin. “Soal istri cantik, saya tak bisa jelaskan. Nanti Wak mau lagi he-he-he…. Ah, enggak Wak, saya enggak punya ilmu kok, apalagi ilmu pelet ataupun ilmu kebal. Kalau Wak enggak percaya sentuh saja kulit saya dengan pisau, pasti berdarah.”
Aku tahu Abang Yun bergurau. Aku tak percaya kalau ia tidak memiliki ilmu penangkal, kulihat cincin yang melingkar di beberapa jari tangannya batunya besar-besar. Sore tadi juga, tak sengaja, aku mendapatkan kain hitam kecil di kamar. Aku yakin itu jimat milik Abang Yun.
“Kalau kau kembali ke kota, bisa sekalian bawa anak Wak. Si Iful itu nganggur di sini, lama-lama bisa nyusahin,” kata Wak Herman lagi sambil senyum-senyum. “Bagaimanapun dia kan termasuk adikmu juga, apa kau tega melihatnya susah di kampung? Iya, kan, Mar?” ujar Wak Herman lagi. Ia meminta dukunganku.
Aku hanya tersenyum. Dalam hati aku berkata, daripada membantu anak Wak Herman akan lebih baik suamiku yang dibawa Abang Yun untuk bekerja di kota. Tetapi, itu tak mungkin terucapkan. Kulihat Abang Yun hanya mengangguk-angguk, tiada terucap “ya” atau “tidak”.
“Bagaimana, Yun?” Wak Herman kembali bertanya. “Kalau kau setuju, bolehlah Wak panggil si Iful sekarang.”
“Kan masih ada hari lain, Wak. Sekarang kita ngobrol yang lain saja, soal kampung kita ini yang saya lihat mulai menampakkan kemajuan. Listrik sudah masuk sampai ke pelosok, orang kampung hampir semuanya sudah punya televisi. Bahkan waktu saya masuk pagi tadi, warga di bagian depan kampung sudah ada yang mempunyai parabola. Berarti sudah makmur,” ujar Abang Yun untuk mengalihkan percakapan. “Benar ya, panen di sini bagus-bagus? Syukurlah kalau demikian.”
“Yang makmur, ya makmur. Tetapi, banyak warga di sini masih melarat. Kau lihat sendiri, masjid kita itu tidak selesai-selesai. Kadang kami malu, shalat di masjid seperti itu. Untunglah kau mau membantu pembangunan masjid itu sampai selesai. Jangan lupa kalau kembali ke kota, uang bantuanmu itu titipkan ke ibumu atau ke Mar.”
“Ya, Wak, saya tak akan lupa. Jangan khawatir.”
“Bukan khawatir, Yun, cuma mengingatkan. Wak percaya, kau memang dermawan. Kau telah mencatat sejarah di kampung kita ini, kalau masjid itu bagus. Iya, kan, Fat?” kata Wak Herman kepada ibuku. Ibu tersenyum.
Sampai pukul 21.00, tak ada tanda kalau tamu di rumah kami bakal beranjak, sebaliknya justru bertambah. Kasihan Abang Yun dan keluarganya sampai harus telat makan. Ibu mulai gelisah. Ia panggil Mbak Mita ke dalam, maksudnya menyuruhnya makan. Istri Abang Yun tahu kode ibu, ia segera ke belakang.
“Mestinya mereka tahu kalau Abang Yun belum makan,” ucap Mbak Mita kepadaku di dapur.
“Begitulah orang kampung, Mbak, berbeda dengan di kota,” jawabku pelan. “Kehadiran perantau seperti aneh bagi mereka, apalagi kalau sukses.”
“Tapi, yang mudik, kan, bukan hanya Abang Yun?”
Aku mengangguk. “Iya sih. Tapi… entahlah,” kataku singkat. Aku khawatir kebanyakan cakap akan membeberkan peristiwa masa lalu Abang Yun, peristiwa yang dianggap aib oleh warga sekampung.
“Mungkin karena Abang sudah bertahun-tahun tidak pulang? Mungkin itu ya, Mar?” Mbak Mita kembali berujar seakan menjawab sendiri pertanyaannya.
Aku segera mengangguk. “Ya… ya, mungkin itu sebabnya.”
Sehabis makan, Mbak Mita kembali ke ruang tengah. Kali ini ia beranikan diri mengajak Abang Yun untuk makan. “Sekalian ajak yang lain, kalau ada yang belum makan,” kata Mbak Mita.
“Wah kebetulan, kalau sudah disiapkan,” kata Wak Herman segera mengikuti langkah Abang Yun. “Wak belum makan,” imbuhnya. Diikuti tiga tamu lainnya.
“Kau beruntung punya abang kaya di perantauan seperti Abang Yun,” bisik Nurhajijah, teman sepermainan kecilku, yang kini menjanda beranak satu ditinggal suaminya menjadi TKI di Arab Saudi.
“Ah, kau seperti tahu banyak abangku saja,” kataku dengan maksud tak suka dengan pujian seperti itu. Aku sebagai adiknya saja belum banyak tahu kekayaan Abang Yun. Lagi pula, benarkah abangku di kota sudah kaya, Mbak Mita adalah istri sahnya, dan Maya adalah benar anak mereka? Siapa bisa memastikan kalau Abang Yun sukses di perantauan, sedangkan belasan tahun kami tidak tahu rimbanya? Setiap orang bisa saja bersandiwara, bukankah begitu? Batinku.
“Aku memang tak tahu, tapi kulihat penampilan abangmu memang kaya. Mobilnya pun bermerek mahal,” kata Nur berkomentar lagi.
“Syukurlah kalau itu benar…”
“Sepertinya, kau tak bangga melihat abangmu sukses, kaya? Ada apa dengan kau, Mar?” sela Nur.
“Siapa yang tak senang. Aku bangga sekali,” jawabku malas. Kutinggalkan Nurhajijah yang hendak berucap. Aku ke belakang, merapikan meja makan sehabis ditinggal Abang Yun dan tamu.
Aku kembali ke ruang tengah dengan membawa teko berisi kopi dan puluhan gelas kosong. Kemudian kukeluarkan beberapa toples kue dan sepiring bolu. Kuletakkan di atas meja. “Silakan yang mau ngopi. Kuenya juga dimakan,” ujarku menawarkan.
Abang Yun memanggilku dan menyerahkan uang Rp 100.000 untuk membeli beberapa bungkus rokok. Aku segera ke warung sebelah. Kubelikan 10 bungkus rokok filter, 7 bungkus kretek 234, dan sepuluh rokok Jamboe Bol. “Sisanya kau simpan,” kata Abang Yun begitu kembalian akan kuserahkan. Wak Herman tertawa dan mengedipkan mata padaku seperti berkata: “Asyik, dapat untung….”
Abang Yun harus kembali ke kota, tiga hari setelah Idul Fitri. Ia tak mengajak serta anak Wak Herman, alasannya ke Medan dulu mau ke rumah orangtua Mbak Mita. Pesan Abang Yun kepada Wak Herman, nanti orang suruhannya akan menjemput Iful begitu ia sampai di kota. Wak Herman manggut-manggut, tampak sangat berharap janji Abang Yun jadi kenyataan. Uang bantuan sebesar Rp 2 juta untuk pembangunan masjid diserahkan kepada Wak Herman, sementara Rp 2 juta lagi untuk ibu, ia titipkan kepadaku.
“Saya berharap uang Rp 2 juta itu bisa menambah penyelesaian pembangunan masjid kita, Wak. Doain saya dapat rezeki banyak, biar bisa membantu lagi,” kata Abang Yun sebelum menghidupkan mesin mobil subuh tadi.
“Tentu… tentu. Kami selalu mendoakan kau sukses. Selama ini juga kami berdoa agar kau selamat. Betul Yun, padahal kepada warga yang lain kami tak lakukan…” jelas Wak Herman. Dalam hati, aku berkata, “Pasti itu basa-basi, cuma untuk menyenangkan hati Abang Yun.”
Sepergi Abang Yun, Wak Herman meminta restu dariku sebagai adik Abang Yun, jika uang bantuan masjid itu berlebih, maka kelebihannya untuk kantong Wak Herman. Ia juga berpesan jangan diberi tahu orang lain kalau Abang Yun memberi bantuan Rp 2 juta untuk pembangunan masjid.
“Biar Wak saja yang menjelaskan pada mereka,” kata Wak meminta pengertianku.
Mendengar itu, hatiku bergolak. “Tidak bisa Wak. Besar bantuan Abang Yun harus dijelaskan kepada jemaah masjid lainnya. Bukan kami mau dibesar-besarkan dari corong masjid, tapi supaya diketahui yang lain. Biar Wak juga tidak disangka mencari untung,” kataku kemudian.
Wak Herman merasa tersindir dengan ucapanku. “Kalau bukan Wak yang meminta langsung padanya, mana mungkin abangmu mau membantu masjid!”
“Betul, Wak, tapi uang itu untuk pembangunan masjid. Wak kan sendiri dengar tadi,” jawabku tak mau kalah.
Wak Herman bersungut-sungut meninggalkan pekarangan rumahku. Kepada ibuku juga tidak pamit. Sambil berjalan ia meracau, “Wak seperti tidak tahu saja pekerjaan abangmu. Ini uang panas.” Meski pelan, aku masih bisa mendengar.
Karena aku tak ingin bertengkar, tak kutanggapi meracaunya. Aku naiki tangga rumah, menemui ibu dan menjelaskan kalau uang ibu dari Abang Yun biar aku yang menyimpan. Ibu mengangguk. Kutuntun ibu kemudian masuk. Kami seperti sedang bermimpi, 15 tahun lebih merasa Abang Yun sudah tiada lagi di dunia karena tak ada sesobek kabar pun, kini pulang dalam keadaan sehat. Tuhan juga masih melindungi Abang Yun, kepulangannya tidak untuk menyerahkan jasad di depan warga kampung seperti yang dialami warga lain senasib Abang Yun.
“Tuhan mengabulkan doa ibu, yang ibu minta setiap malam,” bisik ibu.
Aku mengangguk. Kupeluk erat tubuh ibu. Aku menangis dan juga tersenyum. Tak lama kami berpelukan, tiba-tiba terdengar pintu diketuk. Segera aku membukakan pintu.
“Maaf, Bu, ini rumah orangtua Yun Kampak?” tanya salah seorang dari dua tamu yang berdiri di ambang.
“Bukan. Ini rumah orangtua Yunizar Salim,” kataku meralat. Kupikir tamu itu pasti salah alamat.
“Ya… ya, itu. Benar. Yunizar Salim nama aslinya,” jelas yang satu lagi. “Apa benar, dia bersembunyi di rumah ini?”
“Abang saya mudik. Memangnya, kalau boleh saya tahu kenapa dengan abang saya, Pak. Dan, bapak-bapak ini dari mana dan mau apa?” tanyaku ingin secepatnya tahu.
“Kami dari kepolisian.”
Detak jantungku seperti hendak berhenti.
“Yunizar orang yang kami cari selama ini. Dia pen… “
“Ah, sudahlah kami permisi. Ke mana dia pergi?” kata temannya.
Aku tak menjawab. Tubuhku lemas seketika, sekejap kemudian melorot di lantai. Dalam benakku, aku menerjemahkan sendiri ucapan petugas kepolisian yang terpotong itu: “Dia pen…”
Mungkinkah Abang Yun penjahat? Benarkah Wak Herman tahu banyak soal abangku di perantauan? Mungkin Wak Herman tidak memfitnah, kalau subuh tadi ia mengingatkan, “Ini uang panas.” Entahlah. Kuharap ibu tak bertanya tentang kedatangan tamu itu. (*)
Lampung, 2 Syawal 1424 H/26-11-2003
Isbedy Stiawan ZS
Subscribe to:
Posts (Atom)