Sunday, 20 February 2011

Mawar dan Mbak Menik

Mawar dan Mbak Menik



Hari itu hari Minggu. Aku biarkan diriku terduduk di beranda-ah, sebenarnya tak bisa disebut beranda. Bayangkan, hanya 50 kali 200 cm, bagaimana mungkin bisa disebut beranda? Mungkin emper adalah kata yang tepat untuk ruang kecil di depan tembok rumahku ini. Tapi, sebenarnya emper, atau teras adalah kata lain untuk beranda. Ah, entahlah, sering kali aku mengucapkan atau memilih sebuah kata lebih kepada rasa daripada pertimbangan akal sehat.

Aku biarkan diriku terduduk di kursi plastik berdua dengan istriku. Kami diam dan memandang sesuatu yang kami sendiri sebenarnya tak tahu. Jika dilihat dari jalan, mungkin kami ini seperti dua orang yang sedang ada konflik.

“Beli koran, dong Mas,” tiba-tiba istriku nyeletuk. Pecah sudah kebekuan kami bermenit-menit lalu.

“Untuk apa?”

“Dibaca…”

“Di mana, belinya?”

“Di toko material…,” jawabnya kesal.

Aku tertawa geli. Senang rasanya bisa menggoda istriku.

“Kenapa kamu tidak memandangi mawar kita ini saja?”

“Tiap hari sudah aku pandangi, dan nggak ada istimewanya…”

“Masak?”

“Ya…, selain dia tumbuh di closet duduk…”

“Terus…?

“…warnanya merah…”

“Terus?”

Dia diam saja.

Aku pun paham… jangan-jangan dia memikirkan sesuatu yang sebenarnya sangat kutakutkan. Anak lagi. Mawar ini bisa tumbuh di tanah yang kurang subur, tapi dari rahim istriku tak tumbuh janin. Tidak berhubungan memang, tapi sering kali yang begini ini terhubung-hubungkan dengan sendirinya. Situasi memang sering kali berkelakuan aneh pada perasaan orang.

“Dulu kamu bilang… mawar itu adalah anakmu!”

“Bukan, Ma… mawar itu akan jadi tanda kasih sayang, dan anak-anak kita akan menyaksikan bukti hidup bahwa mereka tumbuh dari kasih sayang orangtuanya… Gitu.”

“Ya, pokoknya, kau sayangi mawar itu seperti kau menyayangi anakmu sendiri…”

“Lho… kok, jadi gitu?”

Aku lantas diam. Mawar yang tumbuh subur dengan bunga merahnya berdompolan di antara hijaunya daun dan putihnya porselen closet duduk itu, kini membangkitkan masalah lama. Kami sudah periksa ke dokter, dan kami berdua dinyatakan sehat-sehat saja. Istriku subur, aku pun subur. Tapi…, kami sampai saat ini, setelah sebelas tahun menikah, belum juga dikaruniai anak.

Aku mencoba bersabar, dia pun begitu. Kami menyibukkan diri dengan macam-macam kegiatan-termasuk mengurusi mawar ini, tapi… masalah yang satu itu tak bisa dihapus begitu saja. Aku sering memergoki istriku, di mal, di antrean loket bioskop, tengah hanyut memandangi seraut wajah bulat bocah mungil yang-entah mengapa-melemparkan senyumnya pada istriku. Dan setiap kali mataku menyaksikan pemandangan itu, ada desiran aneh di hatiku, lalu meluap mencair dan menggenangi pelupuk mataku.

AKU segera pergi ke kios di persimpangan jalan, membeli koran, tentu saja. Di kios itu kulihat majalah untuk keluarga muda dengan sampul sekeluarga artis muda yang baru saja punya anak. Aku membayangkan, yang perempuan adalah istriku, dan artis sinetron yang gagah itu adalah aku, tengah bahagia menggendong buah hati kami yang pertama.

Karena terlalu memandangi sampul tabloid itu, si penjual berdehem dan itu membuatku kaget. “Bagus, ya?” Komentarku sekenanya.

“Ya, bagus… wong dirawat, Mas…”

“Apanya?”

Sesaat si penjual diam, mungkin bingung. Tapi, tak lama kemudian dia jelaskan bahwa yang dimaksudkan adalah tubuh si cantik yang tengah bergaya di sampul itu. Aku pun senyum dan pura-pura setuju; padahal aku tidak berkomentar apa pun soal si artis itu.

Sesampai di rumah, istriku langsung menyambar tabloid yang kubawa. “Kok, yang ini, sih? Karena ada ’dia’ ya,” ujarnya sambil terus membolak-balik halaman tabloid. Aku terbengong-bengong, lalu kutimpali dengan “terima kasih, ya, Mas…”

Istriku tertawa, lalu mengecup pipiku. Ah, mengapa yang satu ini masih saja memberikan desiran aneh di jiwa?

“Eh, Mas… tadi Mbak Menik telepon… katanya mau ke Jakarta..”

“Mbak Menik?”

“Iya… sekeluarga.”

“Lho, ada apa? Sekeluarga? Apa anak-anak liburan?”

“Kok, nadanya nggak senang, sih, mau didatangi kakak sendiri…,” kata istriku menanggapi perubahan wajahku.

Bagaimana mungkin aku bisa gembira mendengar nama kakak perempuanku disebut-sebut, wong dia adalah wanita pembenci mawar. Di rumah kami dulu, sewaktu kami masih anak-anak, satu-satunya manusia penghuni rumah kami yang benci terhadap tanaman, terutama mawar, adalah Mbak Menik. Dia selalu mencabuti tanaman hias kami. Nggak bersih, repot, ada durinya… dan masih banyak lagi alasan untuk “membersihkan” rumah dari berbagai jenis tanaman. Sayangnya, Mbak Menik adalah kesayangan ayah jadi semua kemauannya dituruti. Sementara, kami semua sangat takut pada ayah. Akhirnya, rumah kami adalah rumah paling gersang di seluruh kampung.

Bayangkan, mawar yang dengan susah payah kutanam, bahkan dengan pengorbanan yang tak bisa dihitung dengan rupiah, akan menghadapi malapetaka. Dan bila hal itu terjadi, bagaimana mungkin aku bisa diam saja?

Malamnya, terus terang, aku tak bisa tidur. Aku sudah bisa membayangkan bahwa mulai dari gerutunya, Mbak Menik akan mengintervensi mawarku. Maklumlah, di keluargaku, dia adalah makhluk paling galak.

Haruskah mawar itu kupindahkan sementara? Tapi ke mana? Kami tak punya halaman, dan kalau hanya dipindahkan, dia tetap bisa menemukannya. Dia punya penginderaan yang aneh atas apa pun yang tidak disukainya. Niat itu pun akhirnya kubatalkan karena di samping tak mungkin melakukannya tengah malam, juga… ini kan rumahku, rumah bagi mawarku, mengapa dia yang harus disingkirkan?

Ah, aku tak tahu harus bagaimana melindungi mawarku. Aku terus saja berpikir, entah sampai mana, sampai akhirnya aku terjaga karena ada suara ribut-ribut di luar.

Di luar? Bukankah itu suara istriku yang riang gembira? Dan jika dia gembira, artinya… ampuun Tuhanku, pasti itu keluarga Mbak Menik. Mataku masih mengantuk, entah jam berapa semalam aku tertidur.

“Mana si pemimpi itu?” gelegar suara Mbak Menik mencambukku untuk segera bangkit dari tempat tidur. Istriku menjawab bahwa aku sebentar lagi akan…

“Hei…,” ucapanku memotong pembicaraan mereka.

“Hei…, kurus, kamu?” sergah Mbak Menik sambil menatap mataku yang merah. “Jangan begadang melulu, dong… punya istri, kok, ditinggal begadang…,” sambungnya dengan nada tinggi.

Aku hanya tersenyum kecut. Aku khawatir istriku tertusuk ucapannya yang selalu dimaksudkan untuk dihunjamkan ke perasaan orang lain.

Lalu kemenakanku, yang ternyata sudah besar-besar dan pendiam itu, segera mencium tanganku. Aku tersadar, ternyata kami sudah cukup lama tak bertemu. Aku mencari-cari suami Mbak Menik, barangkali sedang membayar taksi atau…

“Masih suka mawar, ya, Pong?” ucapan Mbak Menik membuatku tersengat.

Aku kehilangan kata-kata.

“Masih benci mawar?” jawabku sekenanya, akhirnya.

Mbak Menik diam. Istriku segera mempersilakan kemenakannya untuk masuk kamar, yang sejak kemarin dikosongkan.

“Apa istimewanya, sih, mawarmu? Aku pingin lihat?” sambil berkata begitu, dia segera beranjak dari tempatnya. Aku melompat dan menghalanginya.

“Jangan, Mbak. Jangan coba-coba mengusik mawarku…”

Mbak Menik tertawa, masih keras seperti dulu.

“Rosa, Cindy… lihat, Om-mu adalah malaikat pelindung mawar…,” dilanjutkan dengan gelak tawanya yang kian keras.

Aku terdiam lagi. Terasa ada sesuatu pada diriku. Ya, aku telah lama sekali tidak mendengar gelak tawanya. Aku telah lama sekali tidak mendengar teriakannya. Aku telah lama sekali tidak bertemu dengannya. Aku rindu. Dialah pengganti bundaku, sejak bunda meninggal. Entah mengapa, aku peluk dia dan air mataku tumpah ruah di pelukannya.

Mula-mula dia tertegun. Tapi, rasanya, dia pun merasakan apa yang kurasakan. Dia peluk aku, dia ciumi aku. Kurasakan pipinya hangat oleh air mata kerinduannya.

Lalu, entah bagaimana, kami duduk di beranda dan menatap mawarku. Dia sama sekali tidak menyinggung mawarku. Ini aneh. Dia bercerita bahwa dua tahun yang lalu, dia bercerai. Persoalannya klise, sepele, dan klasik: ada orang lain. Namun, sebagaimana yang aku bayangkan, dia tegar. Sebagai orang kuat sebuah perusahaan farmasi, dia memang besi. Dari seorang penjaja obat dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain dengan upah komisi penjualan, atau dari satu dokter ke dokter lain, lalu menjadi manajer area, kini dia… entah apalagi, dia memang layak hidup berkecukupan. Namun, perkawinannya kandas; kadang aku berpikir, hidup memang nggak fair.

“Anak-anak, ’gimana?” tanyaku hati-hati.

“Mereka tegar. Mereka tahu persoalannya. Mereka tahu bapaknya salah dan mereka sudah memaafkan. Karenanya, mereka juga mendukung keputusanku untuk cerai dari bapak mereka.” Ucapnya sambil menghisap sebatang rokok.

“Mulai kapan kamu merokok?”

“Sejak semuanya memanas, aku seperti menemukan kawan yang tak banyak bicara, tapi setia mendengarkan kesepianku… Ini!” ucapnya mantap sambil mengangkat rokoknya, lalu tertawa.

Kopi hangat terhidang. Lalu kami ngobrol ke sana-ke mari. Aku menanyakan sanak saudara. Dia menjawab bahwa si anu sudah kawin, si itu sudah meninggal, si A anaknya lima, si B anaknya baru satu dan seterusnya, sampai akhirnya dia menyadari bahwa ucapannya mungkin salah, dia mendadak diam.

“Sori, pong…,” dia selalu memanggilku dengan sebutan pong dari kata ompong-waktu kecil aku memang ompong. Aku mengerti arah bicaranya, dia tak mau menyinggung soal anak di depan istriku.

“Nggak apa-apa…,” jawabku.

“’Gimana?” Bisiknya.

Aku mengerti, dia masih kepingin tahu apakah aku dan istriku masih mungkin punya anak atau tidak. Aku jawab mungkin. Dia hanya mendesah. “Aku punya kenalan ginekolog. Di Jakarta, sini, tinggalnya… di bilangan Kebayoran Baru… Kalau, kau mau…”

Aku hanya tersenyum. Ah, perhatiannya padaku memang tak berkurang.

“Mawarmu, aneh, pong…”

Mati aku. Kenapa tiba-tiba dia membelokkan pembicaraan ke mawar? Lalu, seperti biasa, dia segera mendekati mawarku. Kuburu dia, berusaha mencegah hal-hal yang tak kuinginkan terjadi pada mawarku.

Sempat kulihat mawar-mawar itu seakan menguncup ketakutan. Ah, kasihan kalian. Ini adalah bude kalian, mengapa harus takut. Dia galak, tapi, kurasa dia tak akan mengutak-atik kalian.

“A… aapanya yang aneh?”

“Hmm… entahlah. Mawar kampung, kan, ini?”

“Ya…”

“Banyak durinya, kan, ini?”

“Jelas, wong, mawar…”

“Istrimu nggak pernah kena durinya?”

“Mmm… nggak, tuh.”

“Hmmm. Aneh.”

“Apanya?”

Dia diam saja. Aku tegang. Terus terang, ini saat-saat paling mendebarkan dalam hidupku. Aku terpaku beberapa saat, sampai akhirnya kusadar, Mbak Menik sudah menggenggam sekop. “Mau kau apakan mawarku?” setengah berteriak aku melompat. Dia hanya tersenyum.

“Kamu kenapa, sih, pong?”

“Aku tahu, mbak nggak suka mawar, tapi, kali ini… kumohon… jangan kau ganggu mawarku…”

“Minggir!” Dia mendorong tubuhku. Aku terhuyung, tak kusangka tenaganya luar biasa. Dengan cekatan, dia mengeduk tanah di dekat pagar. Beberapa kali kemudian, sebuah lubang besar menganga. Lalu, tanpa persetujuanku dia mengangkat closet dan mulai mengeduk mawarku. Teriakan dan ketakutanku tak digubrisnya. Istriku dan kemenakanku berlari ke depan dan tak berani melakukan apa-apa.

Sejam kemudian, mawarku telah pindah ke sudut halaman. Aku diam. Indah sekali. Mbak Menik menyiramnya. Lalu, “… tahu nggak, bunda sangat suka pada mawar. Ketika bunda meninggal, aku marah, entah pada siapa. Lalu aku hancurkan semua yang berkaitan dengan bunda, termasuk mawar.

Tapi, ketika sudah cerai… aku sering rindu pada bunda. Aku jadi ingin bunda berada di antara kehidupanku. Lalu aku tanami rumahku dengan mawar.”

Semuanya diucapkannya dengan enteng, tanpa beban, apalagi didramatisir. Hanya saja, aku jadi tercenung. Lukanya jauh lebih parah dari luka yang kuderita semenjak bunda meninggal; ya, waktu bunda meninggal aku masih belajar jalan.

“Nah, gini, kan bagus…” ucapnya bangga. Terus terang, diletakkan di sudut halaman, mawar jadi tampak indah. “Bagus, nggak?”

Aku tersenyum. Rasanya baru kali ini aku paham siapa Mbak Menik.

Pagi itu, aku disengat situasi. Pagi hari, di meja makan, di sela-sela keriangan kemenakan, senyum istri, dan suara Mbak Menik, aku saksikan sebuah vas bunga. Di tengahnya sekuntum mawar merah merekah.

Jl Pinang 982




Yanusa Nugroho

No comments: