Monday 14 February 2011

Parlemen atau Soviet?

Parlemen atau Soviet?
Tan Malaka (1921)
________________________________________
Kata Pengantar dari Penerbit tahun 1987
Sehubung banyaknya permintaan dari Keluarga Besar Murba untuk buku Parlemen atau Soviet karya Tan Malaka tahun 1921 maka kami terbitkan kembali dalam bentuk foto copy dimana ejaan kata-kata lama telah dirubah dengan ejaan baru.
Perlu kami catatkan bahwa almarhum Tan Malaka pada tahun 1927 telah mendirikan PARI (Partai Republik Indonesia) yang dengan sendirinya telah keluar dari PKI (Partai Komunis Indonesia) dan seterusnya tulisan-tulisan almarhum Tan malaka sesudah tahun 1927 berkembang ke arah Nasional Revolusioner. Demikianlah para pembaca yang arif dan budiman mengetahui dan memahami! Terima kasih!
Jakarta, 20 Mei 1987
Pimpinan Yayasan Massa.
--------------------------------------------------------------------------------
PENDAHULUAN UNTUK PENJELASAN
Pertama-tama perlu dicatat dan diingat bahwa karya “Parlemen Atau Soviet” ini dituliskan Tan Malaka di Semarang, Oktober 1921. Artinya: 66 tahun lalu (1921-1987) atau lebih dari setengah abad. Dalam edisi ini istilah sengaja tidak dirubah, untuk menunjukkan keasliannya.
Namun demikian diberikan kata pengantar “Beberapa Catatan” (pada halaman I) oleh seketariat Departemen Pendidikan Kader Dewan Partai Murba, pada penerbitannya tanggal 15 September 1961, tepat 25 tahun atau seperempat abad yang lalu. Disamping itu dilengkapi dengan KOSAKATA, pada halaman 171 - 181 untuk memberi keterangan mengenai kata, istilah atau ungkapan dalam buku ini, agar dapat membantu para pembaca - terutama dari generasi-generasi muda - untuk dapat memahami isi buku ini lebih baik.
Berpangkal tolak dari penjelasan di atas pembaca diharap menempatkan isi buku ini sesuai dengan zaman ketika karya ini ditulis. Pembaca juga jangan melupakan pada usia berapa Tan Malaka menghasilkan karyanya ini. Ialah pada usia muda, baru 24 tahun, karena dia dilahirkan di Suliki, Sumatara Barat, tahun 1897.
Buku ini ditulis setelah Tan Malaka baru saja dua tahun sebelumnya, ialah tahun 1919, kembali dari Negeri Belanda belajar di Rijkskweekschool (Sekolah Pendidikan Guru Negeri) di Haarlem untuk menjadi guru mengajar anak-anak buruh perkebunan Senebah Mij, Deli Serdang, Sumatera Timur, dan kemudian pindah ke Semarang tahun 1921, bergerak dalam bidang pendidikan rakyat sebagai guru sekolah yang didirikan oleh Sarekat Islam Semarang dan VSTP (Sarekat Buruh Kereta Api), yang dipimpin oleh Semaun.
Sesuai dengan masa penulisannya dan usia penulisnya, maka isi dan sifat buku ini berlaku sebagai pengenalan sejarah badan legislatif, pendalaman hakekat masalahnya dan perkembangannya, serta perbandingan dan peneracaan untuk Indonesia dalam kerangka sejarah politik dan kepartaian yang ada, dengan kacamata penglihatan 1921.
Dengan memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal di atas ini, pembaca akan dapat memahami isi buku ini sesuai dengan keadaan zamannya dan proporsi tingkat pertumbuhan pikiran penulisnya.
Karena keadaan berkembang terus sesuai dengan kodrat dan hukum sejarah. Dan pikiran Tan Malaka juga tidak berhenti sampai di situ saja, melainkan menjadi makin matang dan makin kaya sejalan dengan pertumbuhan pengalamannya dan keadaan sekelilingnya, di dalam maupun di luar Indonesia. Hindia Belanda tidak memberi kesempatan Tan Malaka mengembangkan diri di tanah airnya sendiri.
Tahun 1921 itu juga Tan Malaka juga aktif dalam perjuangan buruh. Dia pernah menjadi wakil ketua Serikat Buruh.Pelikan (tambang) Cepu, yang didirikan Semaun. Dalam tahun ini pula Kongres PKI memilihnya menjadi ketua mewakili Semaun yang sedang berada di luar negeri. Karena kegiatannya yang terus meningkat, hingga melibatkan diri dalam pemogokan buruh, maka tanggal 2 Maret 1922, Tan Malaka akhirnya ditangkap dan dibuang ke Kupang (Timor); tapi kemudian dalam bulan ini juga keputusan dirubah menjad “externering” atau pengasingan ke Negeri Belanda.
Baru hanya sekitar satu tahun saja Tan Malaka mulai bergerak kiprah secara terbuka di tanah airnya sendiri, sudah terus dibuang oleh pemerintah Hindia Belanda. Maka tamatlah perjuangan Tan Malaka di Indonesia waktu itu.
Dalam Perang Dunia II, ketika Hindia Belanda diduduki Balatentara Dai Nippon maka Tan Malaka berhasil menyelundup masuk kembali ke Indonesia, mulai 1936 menyusup dari Cina melalui Burma masuk Singapura – sebelum pecah perang – dan setelah pecah perang meninggalkan Singapura tahun 1942, melalui Penang berlayar ke Medan, terus ke Padang dan akhirnya tiba di Jakarta, tahun 1943 menyamar bekerja sebagai buruh (romusah) pada tambang batubara di Bayah, Banten, dengan nama Husein.
Tan Malaka menolak pemberontakan 1926 yang dicetuskan oleh pimpinan PKI. Sejak itu bersama dengan beberapa teman sepahamnya, dia memisahkan diri keluar dari PKI.
Sejak karyanya “Naar de Republik Indonesia” (Menuju Republik Indonesia) yang ditulisnya di Kanton, tahun 1925, Tan Malaka mulai lebih jauh menunjukkan ketersendiriannya, “keaseliannya” yang kemudian menjadi ciri khas haluan perjuangannya.
Akhirnya Tan Malaka dkk bukan hanya keluar secara formal dari PKI. Mereka malahan mendirikan partai tandingan menghadapi PKI, yang telah hancur lebur dan kacau balau akibat pemberontakan 1926. Di Bangkok tahun 1927 Tan Malaka dkk memproklamasikan pendirian PARTAI REPUBLIK INDONESIA, PARI, berdasarkan Manifesto Bangkok yang menjelaskan pembentukan partai politik baru yang bergerak secara ilegal itu.
Jadi, pada usia 30 tahun (1897-1927) Tan Malaka mulai mempertegas dan mengkongkritkan pandangan, pendirian dan sikapnya, secara ideologis, politis dan organisatoris.
Dalam perjuangan kemerdekaan sejak 1945 pertentangan PKI cs dan Tan Malaka dkk mewarnai masa sejarah permulaan revolusi. PKI bersatu dengan PSI dengan Sayap Kirinya, menyetujui dan mendukung Persetujuan Linggarjati 1947. Tan Malaka dkk menolak dan menentangnya. PKI melalui gembongnya Mr. Amir Syarifuddin yang menjadi Perdana Menteri RI waktu itu menandatangani Perjanjian Renville 1 Januari 1948. Sedangkan Tan Malaka bersama GRR menolak dan menentangnya.
Pokoknya PKI dan kawan-kawan mempelopori politik kompromi dengan imperialisme Belanda dengan mendukung Maklumat 1 dan 3 November 1946 Wakil Presiden Muhammad Hatta, yang dengan landasan itu membuka kompromi tidak berprinsip dengan Belanda. Sedangkan Tan Malaka dengan Persatuan Perjuangan menolak dan menentang haluan seperti itu dan memperjuangkan prinsip berunding dengan Belanda, setelah Belanda terlebih dahulu mengakui Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 dan tentara mereka meninggalkan wilayah Indonesia. Untuk mewarisi haluan Persatuan Perjuangan dan meneruskan tujuan perjuangannya pada tanggal 7 November 1948, Tan Malaka mempelopori pendirian Partai Murba di Yogyakarta, yang merupakan fusi tiga partai, ialah Partai Rakyat, Partai Buruh Merdeka, dan Partai Rakyat Jelata.
Pendirian Partai Murba ini merupakan perkembangan pikiran Tan Malaka secara ideologis, politis dan organisatoris. Bagaimana isi dan bentuk kulminasi ini? Untuk mudah dan tegasnya kita kutip pidato Presiden Soekarno kepada Kongres ke-V Partai Murba tanggal 15-17 Desember 1960 di Bandung sbb:
“Saya kenal almarhum Tan Malaka. Saya baca semua ia punya tulisan-tulisan. Saya berbicara dengan beliau berjam-jam. Dan selalu di dalam pembicaraan-pembicaraan saya dengan almarhum Tan Malaka ini, kecuali tampak bahwa Tan Malaka adalah pecinta Tanah Air dan Bangsa Indonesia, ia adalah Sosialis yang sepenuh-penuhnya.”
Dan siapa tidak kenal Pahlawan Proklamator Sukarno yang menilai Pahlawan Kemerdekaan Nasional Tan Malaka dengan rumusan yang ilmiah dan populer seperti ini?
Karenanya kiranya rumusan Bung Karno di atas tidak perlu komentar lagi. Dengan karyanya “Madilog” Tan Malaka memperkenalkan cara berpikir Ilmiah kepada rakyat Indonesia. “Thesis” menunjukkan jalan sosialisme sebagai dasar dan pokok pemecahan masalah Indonesia. Kedua karya inilah yang mencerminkan puncak pertumbuhan dan perkembangan pikiran Tan Malaka, yang bersifat filsafat dan berisi idiologi. Sementara itu “Dari Penjara ke Penjara”, karya otobiografi Pahlawan Kemerdekaan ini mencerminkan pandangan dan perjalanan hidup Tan Malaka sebagai konsekuensi filsafat dan ideologinya sendiri.

Dr. Harry Albert Poeze memerincikan dan melengkapi riwayat hidup dan perjuangan Tan Malaka dalam karya ilmiah dengan judul:
“TAN MALAKA, PEJUANG KEMERDEKAAN INDONESIA, RIWAYAT HIDUP DARI 1897 SAMPAI 1945”.
Suatu desertasi akademis untuk memperoleh gelar doktor dalam ilmu sosial pada Universitas Amsterdam tahun 1976, yang aslinya ditulis dalam bahasa Belanda.
Kelanjutan karya Dr. Poeze ini akan dilengkapkan dengan periode 1945-1949 sampai Tan Malaka mati tak tentu kuburnya dan hilang tak tentu rimbanya jsutru di tanah airnya sendiri, yang belum menyadari kebenaran pemikir dan pejuang rakyat Indonesia, dengan kedalaman dan kejauhan pandangan yang jauh mendahului zamannya ini.
Untuk melengkapkan “Thesisnya” Tan Malaka merumuskan gagasan “Gabungan Aslia” - Asia-Australia - sebagai konsepsi untuk penyusunan tata politik dunia baru; makin lama makin jelas perdamaian dunia tidak mungkin dipertahankan dalam konfigurasi dan susunannya yang ada sampai menjelang tibanya Abad ke-XXI dewasa ini.
Dalam mencari dan mendapatkan alternatif untuk perbaikan dan kemajuan pengisian dan pelaksanaan kemerdekaan Indonesia, kiranya karya-karya Tan Malaka penting untuk dipelajari dan dikaji kembali, sekurang-kurangnya sebagai bahan bandingan, baik segi nasional maupun segi internasionalnya. Dan kemudian dikembangkan.
Yang jelas cara berpikir dan cara bekerja – ilmiah yang memenuhi prinsip, norma, nilai dan metode ilmiah – sangat mendesak diperlukan selama ini. Disamping watak dan iman pemikir dan pemimpin serta pejuang Tanah Air dan Rakyat Indonesia tercinta, yang taat dan konsekuen sepenuhnya dengan cara berpikir dan cara bekerja ilmiah tersebut.
Jakarta, 3 April 1987.
W. Suwarto, ex-ketua umum
Partai Murba, kongres ke-V
1960, Bandung, ex-anggota
DPA RI.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
BEBERAPA CATATAN
Buku “Parlemen atau Soviet” ini ditulis Tan Malaka 40 tahun yang lalu, tahun 1921 di Semarang, yakni masa tahun-tahun pertama masuknya ajaran Marxisme ke Indonesia. Walaupun umurnya sudah tua, ditulis 40 tahun yang lalu, tetapi isi buku ini (seperti juga isi semua buku-buku Tan Malaka yang lain) selalu segar dan hangat dan merangsang buat masa sekarang inipun.
Khususnya buat masa sekarang di waktu bangsa dan rakyat Indonesia tengah menjari tiang-tiang baru yang kokoh dan tepat sesuai dengan kepentingan rakyat di lapangan ketata-negaraan dengan mengadakan lembaga-lembaga negara, maka buku “Parlemen atau Soviet” ini merupakan buku yang tidak boleh ditinggalkan untuk dipelajari dengan seksama, merupakan buku yang memberi pedoman tegas kepada wakil-wakil rakyat yang hendak ikut menentukan haluan negara.
Itulah sebabnya buku ini kai terbitkan, walaupun sementara baru stensilan.
Sebagai partai yang didirikan oleh Tan Malaka, maka Partai kita bukan saja mempunyai hak tetapi-pun mempunyai kewajiban untuk mengumpulkan semua tulisan-tulisan Tan Malaka dalam berbagai bentuk dan ukuran, kemudian memilihnya dan menerbitkannya supaya terbaca luas oleh massa Murba.
Sudah tentu masuk kewajiban kita pula melengkapi tulisan-tulisan tersebut dalam segi-segi teknis supaya sesuai dengan zaman sekarang.
Panitia Pengumpulan tulisan-tulisan Tan Malaka yang dibentuk oleh Partai kita itu sedang melangkah bekerja.
Walaupun buku “Parlemen atau Soviet” ini ditulis Tan Malaka yang kita kenal tidak saja sebagai penulis revolusioner yang memiliki gaya-bahasa istimewa, tetapipun terkemuka dalam hal bahasa, akan tetapi karena perkembangan bahasa Indonesia amat cepat dalam tahun-tahun Perang Dunia II ini, maka bahasa dalam buku ini sudah banyak yang ketinggalan zaman.
Dan karena terburu-burunya percetakan (stensil) buku ini, maka penerbitan buku ini tanpa mengubah istilah-istilah yang sudah kuno yang seharusnya diganti, tetapi tidak, hanya ejaannya saja diganti menurut sistem sekarang. Sehingga dengan demikian pembaca akan membaca buku ini persis seperti buku aslinya. Memang di antara kita pasti merasa lebih puas jika membaca buku ini seperti aslinya, tetapi dibalik itu pasti menjumpai kesulitan-kesulitan, pembacaan tidak akan lancar.
Perkasa tertegun-tegun, sebentar-sebentar berhenti untuk merenungkan kata, ungkapan atau kalimat yang agak sukar dimengerti.
Buat menolong kelancaran pembacaan, mulai halaman 171 sampai dengan 182 kita muatkan KOSAKATA (Vocabulary), tidak menurut abjad tetapi tidak pula menurut urutan halaman buku.
Jakarta, 15 September 1961.
Sekretariat DEPENKA
DEWAN PARTAI “PARTAI MURBA”



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR OLEH PENERBIT
PENDAHULUAN
I. PARLEMEN SEBAGAI PERKAKAS SAJA DARI YANG MEMERINTAH
II. PARLEMEN YANG SEJATI
III. DARI NEGERI BELANDA KE BENUA ASIA
IV. KRITIK (CELAAN) ATAS PARLEMEN
V. BISAKAH PARLEMEN ITU DIPAKAI UNTUK MENDATANGKAN CITA-CITA SOSIALISME?
VI. SOVIET




Parlemen atau Soviet?
Tan Malaka (1921)
________________________________________
PENDAHULUAN

Pada zaman dahulu kala, kira-kira 20 abad yang lalu, maka bangsa Barat (Eropa) yang sekarang ini adalah tinggal dalam kebodohan dan kegelapan. Maka kebodohan dan kegelapan ini tiba-tiba diterangi oleh sinar yang hebat yang terpancarnya dari Timur (Asia), oleh Agama Nasrani. Tiadalah maksud kita akan menguraikan apa, dan dari mana asalnya, agama ini, dan berapa sangkutannya dengan agama yang lain-lain dari Timur, umpamanya dengan agama Yahudi atau Budha. Sengaja kita, hanya hendak mengingatkan, bahwa pergerakan Eropa dari tidurnya yang berabad-abad itu, terutama disebabkan oleh Timur.
Bagaimanakah sekarang?
Sudah dua puluh abad yang lalu. Lebih dari lima belas abad lamanya bangsa Barat dirintangi oleh agama saja. Peraturan negeri, ilmu kepandaian, ilmu hukum, pendeknya segala ilmu yang menetapkan keamanan dan kesentosaan dengan hukum, yang menetapkan keamanan dan kesentosaan di akhirat, di dalam surga. Oleh sebab itu pulanglah aturan negeri di atas dunia ini kepada yang ahli akan aturan negeri di akhirat itu, ialah pada Pendeta.
Lama kelamaan teranglah bagi mereka itu, bahwa Pendeta itu manusia juga, dan dunia ini bukan akhirat. Maka dibongkarlah kuasanya Pendeta yang begitu hebat. Bersangkutan dengan yang tersebut itu juga, maka dibongkarlah pula kuasanya raja-raja dan bangsawan-bangsawan semuanya dengan pikiran, usaha dan peperangan yang melenyapkan berjuta-juta jiwa manusia. Hasilnya usaha dan pergerakan yang beratus-ratus tahun itu ialah “akuan atas kemerdekaan dan kesamaan tiap-tiap manusia”. Kemerdekaan dan kesamaan tiap-tiap manusia dan keamanan di atas dunia ini sudah ditetapkan dalam ilmu sosialisme. Undang-undang yang dipilih dan disahkan supaya segala harta manusia yang termulia itu jangan dianiaya, atau dirusakkan, ialah Parlemen, (kata kaum Modal) dan pada masa ini gandengannya yaitu Soviet.
Sedangkan bangsa Barat sudah sampai pada keyakinan, bahwa otak dan hati itulah harta yang setinggi-tingginya dan di atas dunia ini tidak saja mungkin (bisa), tetapi harus datangnya damai dan kesentosaan, maka bangsa Timur masih tinggal di kungkung (diikat) oleh adat, masih tinggal mengejar akhirat saja dan menyia-nyiakan dunia ini masih dibelenggu oleh beberapa kepercayaan. Semua ini melemahkan tenaga, usaha dan kesayangan terhadap kepada dunia ini, yang penuh dengan pelbagai-bagai harta yang tiada terpermanai indah dan mulianya, serta menumpulkan pikiran dan perhatian kita. Apabila kita sekarang merasa dan melihat kemegahan otak dan hati yang dipersunting bangsa Barat itu, maka sambil dalam keheranan kita melihat kapal di atas udara dan dalam laut, mesin-mesin, dan kereta-kereta, telephone dan telegraf, menolelah kita ke-barat dan berbisik-bisik Parlemen atau Soviet?
Ya, Parlemen atau Soviet. Keduanya buah sengsara dan azab manusia berpuluh beratus tahun, jasa dari usaha dan korban nyawa ratusnya manusia yang suci dan mulia. Keduanya bagi kita harta yang tiada ternilai tetapi semata-mata baru. Itulah maksud kita hendak memeriksa dan perkakas ilmu yang tiada cukup, manakah di antara pelita Barat yang dua itu, sekarang tiba-tiba menyilaukan mata kita, yang sempurna sinarnya untuk jalan kemerdekaan dan kemuliaan kita.
Parlemen atau Soviet?
Tan Malaka (1921)
________________________________________
BAB I
PARLEMEN SEBAGAI PERKAKAS SAJA DARI YANG MEMERINTAH

Pasal 1. Dewan dan Parlemen
Sebenarnya perkataan Parlemen itu tiadalah boleh kita terjemahkan saja dengan perkataan yang lebih lazim kita dengar sekarang, yaitu “Dewan”. Wujud dan keadaan kedua anggota itu sangat berlainan sekali. Sungguhpun susah mencari kabar yang sah dan terang, bagaimana kuasanya Sultan atau Dewan (Dewan itu anggota yang membantu Sultan memerintah pada zaman dahulu kala). Masing-masing pada zaman purbakala, tetapi pada sangka kita cara-cara, yang dilakonkan di komedi bangsawan bolehlah dikatakan tiruan yang hampir sempurna.
Apabila tuanku yang maha tinggi itu, yang bersemayam di istana saja. Bertanyakan perihal negeri, kepada mamanda pemangku bumi atau yang mulia perdana menteri atau lain-lain pembesar kerajaan, maka jawabnya “bumi senang padi menjadi”. Jawab itu selalu hendaknya menyenangkan hati dan telinga yang dipertuan.
Pembesar-pembesar itu tiadalah dipilih oleh hamba rakyat; mereka biasanya raja-raja kecil, orang bangsawan dan terutama sekali kekasih dan kepercayaan raja. Banyaknya pula di antara isi Dewan itu, yang suka mengambil muka pada baginda dan ingin hendak mendapat pangkat tinggi. Dari pihak bangsawan semacam itu, yang hidup dengan boros, hal mana menyebabkan terpaksa memeras rakyat, tentulah kita tiada boleh mengharapkan ia terutama sekali akan menaikan keperluan rakyat atau mengeluarkan suara yang tiada nyaman didengar oleh telinga raja.
Biasanya pembesar-pembesar yang tersebut tiada pergi melihat dengan mata sendiri, bagiamana hal ihwalnya rakyat. Dengan pegawai, polisi atau mata-mata mereka merasa sudah cukup menjalankan kewajibannya. Untunglah kalau ada raja yang adil. Tetapi keuntungan ini jarang sekali didapat; raja itu manusia juga; lalimnya raja-raja Timur pada zaman dulu termasyur sekali.
Dengan peringatan yang sedikit ini bolehlah kita putuskan bahwa keadaan Dewan itu berlainan sekali dengan Parlemen masa sekarang. Seperti diterangkan tadi anggotanya Dewan itu tidaklah dipilih oleh orang banyak, melainkan oleh raja.
Dan kalau pembesar-pembesar itu bukan “untuk” anak rakyat melainkan musuhnya, tiadalah ada kuasa rakyat akan memecatkannya, dan menukar yang lain yang disukainya. Lain halnya Parlemen (Nanti kita memberi keterangan yang lebih lanjut tentang sesuatu Parlemen).
Anggotanya dipilih orang banyak dan mereka itu ada berkuasa akan memeriksa pekerjaan wakilnya itu.
Kalau kita pikir lagi, bahwa anggota-anggota Dewan itu asalnya dari golongan yang tinggi yang tiada campur dengan orang banyak, tiada merasa susahnya si Kromo (orang kecil), tiadalah kita sia-sia mengatakan yang anggota Dewan bukan wakil rakyat dan tiadalah kita heran, kalau keperluan mereka itu berlawanan dengan keperluan rakyat.
Kuasanya pun Dewan itu tidaklah berbandingan dengan Parlemen. Dewan itu gunanya untuk memberi suara saja, sungguhpun suara itu seperti diterangkan tadi, bukan suaranya orang banyak. Raja tiada perlu mendengarkan atau memperdulikan suara dan nasehat itu.
Tetulah ada juga kesamaan Dewan dengan Parlemen, yaitu dalam hal gunanya; keduanya bermaksud akan memerintah negeri, seperti ada juga kesamaan antara gerobak dengan kereta api, yaitu pengangkut barang. Tetapi seperti gerobak bukan kereta api, demikianlah juga Dewan itu bukan Parlemen.
Nanti kalau keadaan, kuasa dan gunanya Parlemen diuraikan lebih dalam dan lanjut, bolehlah kita merasa, perbedaan kedua bahwa Dewan pada zaman kuno boleh digulak-gulingkan oleh raja menurut sekehendak hatinya pada tiap-tiap ketika, sedangkan di negeri yang berparlemen sejati zaman sekarang raja itu haruslah mengikuti saja apa kemauan Parlemen, meskipun tiada setuju dengan paham atau kemauannya.
Pasal 2. Parlemen berlawanan dengan raja
Seperti diceritakan tadi Dewan itu tinggal suatu anggota yang semata-mata menjadi perkakas bagi raja. Tiadalah begitu di sebelah Barat. Barangkali sebab keras hati kemerdekaannya bangsa Barat, barangkali sebab tiada buta lantaran adat atau agama, maka Parlemen sudah melawan keras pada kemauan raja sewenang-wenang, dan perselisihan atau peperangan itu disudahi dengan kuat dari pihak raja, “bahwa Parlemen itulah yang terkuasa sebagai kemauan rakyat” (Volssouvereinitcit).
Perselisihan itu, lebih-lebih pada abad yang baru lalu boleh dikatakan di seluruh Eropa. Dimana Parlemen meminta kuasa yang tertinggi dan memaksa, supaya raja mengaku kekuasaannya. Sungguhpun perselisihan itu terjadi di antara tanah Eropa, tetapi gelanggang yang akan kita pilih ialah tanah Inggris, karena di sanalah orang banyak yang sebenarnya sadar dan di sanalah orang banyak yang sebenarnya sadar dan di sanalah Parlemen itu yang tertua. Sungguhpun tanah Perancis boleh dikatakan pokok dari pergerakan demokrasi zaman sekarang, sungguhpun di sana rakyat mengalahkan raja, bangsawan dan pendetanya dengan ribut dan topan yang hampir tiada berbanding. Tetapi kemenangan Parlemen atas raja sudah satu abad dahulu dari itu terjadinya di tanah Inggris.
Marilah kita ikut perkelahian itu.
Pada abad ke 17 tanah Inggris sudah lama mempunyai parlemen, asalnya sudah dari abad ke 13 (tahun 1215). Pada waktu ini dapatlah hamba rakyat memaksa pada rajanya yang dalam kesempitan berperang, mengaku sahnya pelakat “Magna Carta”. Di sana ditetapkan alasan kemerdekaan tiap-tiap orang dan hak pada harta bendanya. Tiadalah boleh seorang juga dihukum, kalau tiada dengan alasan undang-undang negeri. Kebenaran dan keadilan tiadalah boleh dijual atau dibeli. Wujudnya tiadalah hakim boleh menghukum menilik kekayaan, atau kemiskinan orang, atau menerima uang suapan.
Oleh karena raja tiada menepati janji yang tertulis di Magna Carta itu dan sebab keborosannya, maka berkumpullah wakil bangsawan dan rakyat dan mengadakan rapat. Kesudahannya dijadikan Parlemen yang terpaksa diakui dan disahkan raja. Anggotanya dan kuasanya Parlemen itu makin lama makin bertambah-tambah. Segala pajak haruslah dulu dibenarkannya demikianlah kehendak raja tadi tiada boleh dilakukannya saja oleh menghukumi atau perdana menteri, kalau Parlemen belum lebih dulu mengabulkan. Perlu diwartakan sedikit, bahwa Parlemen itu terbagi dua atas “Majelis Tinggi” (House of Lord, atau Majelis Tinggi – Ed.) yang beranggota bangsawan-bangsawan tinggi dan “Lagerhusis” (House of Common, atau Majelis Rendah, seringkali inilah yang disebut Parlemen – Ed.) yang beranggota bangsawan rendah-rendahan dan wakil-wakil orang banyak.
Adapun Parlemen tiadalah bisa berdamai dengan raja. Satu di antaranya mesti mundur. Satu dari perkelahian yang banyak dan hebat itu, terjadi pada abad ke 17 ketika raja Charles I memerintah tanah Inggris. Kesumatnya sudah dicari lebih dahulu oleh Jacob I., bapak dari raja tersebut tadi. Jacob I sudah mengumumkan (mengumumkan), bahwa dialah yang terkuasa dan kuasanya itu diterimanya dari Tuhan, dan hak-hak Parlemen disebabkan oleh belas kasihannya Baginda itu saja. Sekarang Parlemen mengawasi segala haknya, supaya jangan dipotong-potong.
Pemerintah Charles I disambut dengan perjuangan yang besar dengan Parlemen, oleh karena menteri beliau adalah sangat boros. Karena raja yang kalah, haruslah dia mengakui sahnya “Petition of Right, pada undang-undang mana ditentukan, bahwa tiada boleh orang ditangkap, kalau tiada bersebab, dan dilarang mengambil pajak. Memungut uang tunai pada barang-barang masuk dan ke luar tiadalah diizinkan lagi seperti biasanya, selama dia memerintah, melainkan untuk setahun saja. Masygul dan murka akan kuasanya Parlemen maka oleh sebab itu Baginda mencoba memerintah tidak dengan Parlemen, lamanya 11 tahun.
Kemudian karena berperang dengan bangsa Schot (sebagian dari beliau punya rakyat) terpaksalah pula memanggil Parlemen kembali. Jangankan Parlemen memperlihatkan takutnya, tetapi ia tiada memberi izin pula lagi kepada raja memungut tunai dan ia mencacat-cacat akan kelaliman orang-orang pemberi nasihat Baginda. Disuruh saja Parlemen itu pulang, karena suara yang macam itu tiada nyaman kedengaran oleh telinga baginda. Tetapi karena dikalahkan oleh bangsa Schot tadi, maka Bagindapun terpaksalah pula memanggil kembali (tahun 1640). Dua puluh tahun lamanya tidak disuruh-suruh pulang.
Sekarang Parlemen memperlihatkan kuasanya, serta ia menuduh seseorang kepercayaan raja, yaitu menteri Graaf Strafford, yang dihukum bunuh. Kesumat (permusuhan) antara raja dan Parlemen tiadalah berubah. Kesudahannya sampai berselisih. Baginda menuduh beberapa anggota-anggota parlemen, bahwa mereka memecahkan rahasia. Tetapi daya upaya Baginda hendak menangkap mereka itu tinggal sia-sia saja. Selisih tadi mendatangkan peperangan. Mula-mula raja ada beruntung tetapi tatkala Cromwell, juga seorang anggota Parlemen, masuk gelanggang peperangan, maka bala tentara Parlemen berurut-turut mendapat kemenangan.
Cromwell tiada dapat sekata dengan Parlemen, tetapi karangan ini akan melampaui maksudnya, kalau kita mesti menguraikan pula perselisihan antara Cromwell dengan Parlemen itu. Sebab itulah kita lekas kembali kepada Baginda. Dekat negeri Naseby beliau dikalahkan oleh Cromwell, sehingga terpaksa lari pada bangsa Schot, yang memerangi beliau dahulu, bangsa Schot menyerahkan Baginda pada Parlemen.
Sesudah Cromwell mengusir musuhnya dalam Parlemen (yaitu anggota-anggota juga seperti dia sendiri) yang selalu merintangi kemauannya maka diangkatnya satu “Sidang Hakim” yang menjatuhkan hukuman mati pada raja Charles I. Belumlah terseua dalam sejarah (sejarah) manapun kejadian semacam ini, yang hamba rakyat berani mengangkat pedang di atas kepala seorang raja.
Sesudahnya raja dibunuh, maka tanah Inggris dijadikan Republik, yang dikepalai oleh Cromwell.
Anak Cromwell tiadalah dapat mempertahankan republik yang didirikan bapaknya, sehingga “Kaum raja” sangguplah menaikkan Charles II (anak Charles I) ke atas kerajaan. Oleh karena kekasihannya kepada kaum Alim Katholik, maka ia diseterui kembali oleh Parlemen. Permusuhan itu makin lama makin dalam, disebabkan juga karena kelemahan Charles II itu tentang politik dalam dan luar negeri.
Banyaklah pula dalam masa ini undang-undang yang didirikan yang menambah pengakuan kemerdekaan orang-orang negeri tanah Inggris. Yang terutama sekali “Habeas Corpus Act.” (tahun 1679) yang menetapkan, bahwa tiada boleh seorang juga dimasukkan ke dalam penjara atau ditahan (preventief), kalau tidak lebih dahulu dengan surat perintah, dimana diterangkan kesalahannya, dan perkara seorang yang tertuduh haruslah sesudah tiga hari tutupan, atau tahanan, diperiksa. Jadi tiadalah boleh siapapun ditangkap saja atau ditahan lama, karena hal-hal itu boleh melahirkan sewenang-wenang.
Dalam pemerintahan Jacob II (anak dari Charles II), perseteruan raja dengan Parlemen tiadalah mundur. Setelah jemulah kaum di Inggris akan Rajanya, yang bersifat lalim, maka dipanggilnya Willem van Oranye dari negeri Belanda akan memerintah negerinya, permintaan itu dikabulkan. Setelah ia tiba di tanah Inggris dengan bala tentara, maka raja Jacob II larilah ke Perancis.
Willem van Oranye mengakui “Declaration of Right” dengan sumpah. Dalam undang-undang inilah ditetapkan hak-haknya rakyat. Dari sekarang tiadalah raja boleh menggulak-galikan Parlemen lagi, karena Parlemen sendiri berhak akan memilih raja. Sudah tentulah dipilihnya raja, yang mau memerintah menurut undang-undang yang menghormati kemerdekaan dan kekuasaan rakyat dan Parlemen.
Kita harap, bahwa dengan misal yang terjadi di tanah Inggris ketika 250 tahun terlampau itu akan sampai maksud kita buat memutuskan, bahwa kemauan Parlemen dan kemauan raja selalu berbantah, dan perlawanan itu tiadalah akan berhenti, sebelum salah satunya mundur. Akan penambahan keterangan yang lebar, diambil misal tanah Jerman, dimana pemerintah dan Parlemen juga tiada bisa cocok.
Pasal 3 Parlemen di Jerman sampai ke tahun 1918 hanyalah perkakas saja.
Kebetulan di tanah Inggris perlawanan Parlemen dengan pemerintahan raja (Monarki) disudahi oleh kemenangan pada pihak yang pertama. Tiadalah begitu di tanah Jerman, terutama karena lembutnya hati wakil-wakil Rakyat dan kedua, lantaran keras lawannya pemerintah, lebih-lebih pada ketika parlemen baru lahir.
Adapun kerajaan Jerman dinaikkan oleh Kaisar Bismarck. Kebetulan pada masa Bismarck menjadi kepercayaan kaisarnya (Wilhelm I), maka kaum Sosialis di Eropa dimana-mana mau merebut banyak kursi dalam Parlemen, supaya dengan jalan ini dia boleh menyampaikan niatnya akan memajukan rakyat. Kaum yang berkehendak kemajuan di dalam Parlemen, sesudah tanah Jerman menjadi masyhur, (disebabkan kemenangan atas bangsa Perancis pada tahun 1870), ialah kaum “National Liberal”. Tentulah kaum ini tidak searah (setuju) dengan partai yang kuat pula, yaitu bangsawan, dengan militernya. Bangsawan, militer dan orang kaya-kaya, yang setia pada Kaisarnya, mendapat kepala yang keras dan pintar sekali pada Kaisar Bismarck. Jaranglah satu diplomat pada abad yang ke 19 sanggup menyamai Bismarck. Oleh karena kemenangan perang atas bangsa Perancis semata-mata disebabkan oleh Kaisar perkasa itu, maka Bismarck sangatlah dicintai orang banyak dan bangsawan-bangsawan.
Kalau kita pikir, berapa banyaknya kaum bangsawan kuno, yang menyebrang di dalam Parlemen ke pihak Bismarck, maka dengan kepintaran dan kemauanya yang begitu keras, mudahlah ia melawan “national Liberal” tadi dan meneruskan kemauannya sendiri.
Tidaklah kita heran, kalau di tanah Jerman orang mengatakan, bahwa Parlemen itu berlawanan dengan Pemerintah yang dikatakan pemerintah itu yakni raja, Kaisar dan menteri-menteri. Di tanah Inggris pembesar-pembesar semuanya diangkat oleh Parlemen, dipilih dari antara anggotanya, yaitu anggota-anggota yang disukai orang banyak. Apabila anggota-anggota itu dalam pekerjaan Menteri tiada memadai, maka Parlemen ada berkuasa akan menurunkannya. Dan raja pun sudah bersumpah lebih dahulu tiada akan melanggar undang-undang orang banyak dan Parlemen, maknanya, raja, Premier (menteri yang pertama) dan segala menteri yang lain cuma menurut perintah Parlemen saja (ini sepanjang teori kaum modal).
Tetapi di tanah Jerman raja itu berkuasa sekali. Ialah yang boleh memilih menteri-menteri, ialah yang boleh memecatnya. Kita lekas merasa, bahwa wakil dari kaum buruh selalu akan berlawan dengan pemerintah yaitu menteri-menteri yang diangkat kaisar (Sultan) yang tiada memperdulikan sayang atau tiadanya hamba Rakyat pada pembesar-pembesar yang disorongkannya itu.
Tetapi apakah daya, kaum sosialis? Pada waktu memilih wakil untuk Parlemen saja, sudah kelihatan kuasanya bangsawan, hartawan dan kaum militer. Lebih-lebih di Pruisen, dimana orang gemetar kalau melihat kaum Militer, takut pada pegawai yang asalnya bangsawan; tentulah orang terpaksa memilih wakil dari golongan yang tinggi juga, yang tentu tiada akan menaikkan keperluan orang banyak, melainkan semata-mata keperluan tuan-tuan tanah yang memiliki kebun-kebun di Pruisen. Wakil yang macam itu sudah tentu mendukung pada Kaisar Bismarck dan pemerintah. Kelemahan kaum “National Liberal” adalah baik sekali dilukiskan oleh Von Gerlach, pengarang parlementarisme (ilmu tentang parlemen). Demikianlah bunyinya:
"pada pembacaan Bergrooting (maksudnya pemerintah) yang pertama kalinya, maka kedengaranlah kaum “National Liberal” mempertahankan dan mengumumkan cita-citanya. Dalam commissie (dimana maksud pemerintah itu diperiksa oleh anggota-anggota Parlemen) orang mencoba memasukkan sebagian dari pahamnya tadi ke dalam Begrooting Bismarck (cuma sebagian saja, alamat kaum National Liberal akan mundur).
Dalam pembacaan (Pembacaan) yang kedua Bismarck bertitah, bahwa pertimbangan kaum liberal tiada boleh diterima. Dalam waktu antara pembacaan ke 2 dengan ke 3 kaum Liberal mencoba tawar menawar dengan kepercayaan Bismarck, supaya Bismarck jangan membelakang (membuang) paham kaum liberal sama sekali (sudah merasa akan mundur). Tetapi seperti biasanya tiadalah ada paham kaum Liberal yang boleh dipakai. Bismarck mau atau semua atau sekali-kali tidak. Dia tinggal bersikeras dan lawannya menjadi bubur. Dan pada pembacaan yang ketiga kaum Liberal sendiri membatalkan, yaitu dengan hati keberaratan, segala yang dikehendakinya sendiri, pada pembacaan yang kedua dan ketiga. Bismarck menang. Dan kaum Liberall berserah saja."
Pada petikan dari karangan tuan Von Gerlach sedikit ini kita boleh melihat betapa kuasanya pemerintah dalam hal ini Kaisar Bismarck – dan betapa lemahnya Parlemen Jerman. Sebenarnya salah Parlemen juga, karena selalu mundur. Kalau anggotanya ada bermalu dan yakin, tentulah ia harus mempertahankan pahamnya sendiri dan keperluan orang banyak. Kalau Bismarck mau melangsungkan juga, baik, tetapi Bismarck-lah sendiri menanggung hasil perbuatannya. Sekarang kaum Liberal sendiri serta membenarkan pemerintah tadi artinya juga serta menanggung baik buruknya aturan itu.
Kelemahan itu bukan saja memberi malu bagi “Wakil Rakyat” tetapi juga boleh mendatangkan celaka pada Rakyat dan pada kaum yang membatalkan paham sendiri (Partai Liberal). Untunglah Bismark selalu beruntung. Juga karena sangat lanjut pikirannya. Tetapi bagaimanakah kalau pemerintah tiada sepintar Bismarck?
Kalau tahu, bahwa belum lama lagi antaranya, ketika tanah Jerman berperang besar, selalu kaum progresif itu (kecuali kaum Sosialis yang dikepalai oleh Liebknecht) mengabulkan sekalian permintaan pemerintah, selalu mengizinkan “memakai” orang untuk perang. Kecelakaan politik perang pemerintah itu mesti juga tertanggung oleh kaum progresif yang menamai dirinya wakil kaum buruh, yang berkata mencintai “Damai di seluruh Dunia”, dan tidak setuju dengan kemauan kaum kapitalis yang mau memiliki tanah-tanah kepunyaan orang lain.
Barangkali bangsa Jerman dipukul rata tidak sebegitu bersifat keras hati semacam bangsa Inggris dan barangkali juga Parlemen di Jerman masih ingat pada “momok Bismarck” yang pada masa kecilnya begitu kerap kali mengejut-ngejuti dan menakutinya. Tetapi sungguhlah betul, bahwa parlemen di Jerman, meskipun hidup di abad ke dua puluh, masih tidak insaf akan kodratnya, dan masih jadi perkakas pada pemerintah dan kaisarnya.
Marilah kita periksa lebih lanjut, bagaimana Parlemen ini menyia-nyiakan senjatanya yang tajam sebagai hak Initiatief (yaitu hak bagi tiap-tiap wakil untuk mengeluarkan pertimbangan yang boleh menjadi undang-undang untuuk kebaikan orang kecil) dan “hak Interpellatie” (hak wakil rakyat akan meminta keterangan pada pemerintah tentang segala pembuatannya. Maksudnya supaya pekerjaan sewenang-wenang dari pihak pejabat boleh terhindar).
Di tanah Inggris umpamanya, dimana pemerintah asalnya dari Parlemen: “hak Initiatief” tiadalah begitu perlu karena hak itu boleh dipulangkan kepada Menteri-menteri, yang dipilih oleh parlemen dari anggotanya sendiri (di tanah Inggris partai yang kuat dalam Parlemenlah yang mengangkat menteri-menteri). Tetapi di tanah Jerman di mana Parlemen dan Pemerintah berlawanan (di tanah Jerman Menteri-menteri bukan diangkat oleh Parlemen, melainkan oleh Kaisar) haruslah hak itu dimuliakan benar. Apa yang kekurangan pada urusan Pemerintah, boleh dipenuhi oleh wakil-wakil Rakyat. Meskipun pertimbangan wakil-wakil tidak dikabulkan pemerintah, tiadalah mengapa karena suara dalam Parlemen itu sudah didengar oleh orang banyak dan pertimbangan yang diketengahkan wakilnya itu boleh dipikirkannya oleh Rakyat sendiri lebih lanjut.
Kalau kelihatan berfaedah, tentulah tiada akan hilang dari kenang-kenangannya. Pada “waktu Pilihan”, yang akan datang tentulah wakil yang mengeluarkan pertimbangan tadi dan kalau sistem di Parlemen akan dipilih, dan musuh wakil itu tiada dipilih, melainkan diganti dengan yang suka menaikkan pertimbangan itu sekali lagi, sampai pemerintah terpaksa mengabulkan permintaan orang banyak.
Tetapi salah langkah, kalau percaya, bahwa wakil kaum buruh Jerman bisa boleh memakai senjata-senjata yang tajam itu.
Hari Rabu umpamanya Parlemen boleh mengeluarkan pertimbangan (hak Initiatief). Tetapi hari yang satu ini dalam satu minggu tiadalah pula boleh dipakai sama sekali, karena sudah ditetapkan lebih dulu, bahwa lima perenam bagian dan hari itu akan dipergunakan untuk membicarakan pertimbangan yang datangnya dari pihak pemerintah. Cuma seperenamnya untuk pertimbangan, yang datang dari pada pihak anggota Parlemen yang bernafsu. Tetapi biasanya pemerintah tiada memperdulikan aturan itu. Demikianlah dari antara 100 pertimbangan yang datangnya dari Parlemen pada tahun 1907 dari bulan Febuari sampai bulan Mei tiada satu diperdulikan.
Apakah gunanya hak Initiatief semacam itu?
Lagi pula Parlemen tiada berkausa buat memaksa pemerintah menjalankan apa yang sudah dikabulkan tadi. Sungguhpun begitu besar kehinaan datangnya dari pihak pemerintah, tetapi tiadalah Parlemen Jerman pernah memperlihatkan tulang kerasnya, yaitu melarang segala pertimbangan yang datang dari pemerintah dengan jalan Obtaructie artinya menghalang-halangi segala pertimbangan pemerintah dengan bermacam-macam muslihat, umpamanya membuat gaduh bersama-sama, sehingga “Pembacaan” tidak kedengaran, atau tidak boleh dilangsungkan; atau membuat pidato yang berjam-jam lamanya, sehingga pemerintah pusing. Demikianlah, kalau pemerintah besoknya datang dengan pertimbangan itu sekali lagi, perbuatan Obstructie itu diulangi lagi. Belumlah tentu siapa yang akan menang, kalau kerasnya pemerintah dilawan dengan keras pula oleh Parlemen.
Di tanah Inggris seorang anggota Parlemen boleh bertanya tentang perbuatan pemerintah (menteri-menteri). Dengan jalan ini rakyat boleh mengetahui dan menimbang, bilamana juga, baik atau tidaknya perbuatan pemerintah. Kalau pertanyaan itu ditimbang berarti atau penting, haruslah menteri yang ditanya itu esok harinya dengan berhadap-hadapan memberi jawab. Anggota boleh memutuskan, cukup, atau tidak jawaban itu.

“Hak bertanya“ semacam di Inggris ini tidak ada di tanah Jerman, tetapi “hak Interpellatie” wujudnya boleh hampir bersamaan.
Tetapi jalan untuk bertanya itu sangat sekali diperpanjang oleh pemerintah tanah Jerman. Mula-mulanya haruslah pertanyaan itu ditanda tangani oleh 30 orang anggota. Di Parlemen barulah boleh ditimbang, atau dibicarakan, kalau sekurang-kurangnya 5 orang anggota yang memberi izin. Sungguhpun tanda tangan yang 50 orang itu diperoleh, tetapi belumlah boleh dapat jawaban besok harinya seperti di tanah Inggris, karena pemerintah berhak boleh memberi jawab bila dia mau saja. Kalau pemerintah sudah “main gelap”, maka waktu menjawab tadi, dijanjikannya dari besok ke minggu yang akan datang, dari minggu itu ke bulan baru, sampai pertanyaan dan jawabnya lupa oleh segenap pihak. Tetapi, kalau pertanyaan tadi datang dari konco-konco pemerintah, yang jadi wakil dalam Parlemen, maka pertanyaan tadi segera di jawab, sebab sudah tahu dari dulu, bahwa konco-konco itu tiada akan menanyakan perkara yang akan membuka rahasia pemerintah. Demikianlah pandai pula pemerintah itu bermuka manis memperlihatkan kelurusan dalam segala perbuatannya. Dengan jalan serupa itu “hak Interpellatie” yang begitu berfaedah bagi satu Parlemen yang sejati dihinakan oleh pemerintah tanah air sendiri.
Aturan yang semacam ini tidak dapat menyelesaikan yang kusut antara Parlemen dan tidak boleh pula mendatangkan kepercayaan rakyat baik atas Parlemen baik atas pemerintahnya.
Di tanah Jerman Kaisar itu atau wakilnya bolehlah memutuskan sendiri, mau atau tidaknya ia datang di Parlemen. Biasanya kalau ia merasa, bahwa ada topan akan datang, (kalau Parlemen mau mengeluarkan suara yang tiada nyaman didengar telinga), maka ia tinggal bersemayam di istananya saja. Acap kali Kaisar itu bersituli dan kursi-kursi pembesar pemerintah kosong, kebetulan kalau anggota-anggota Parlemen datang dengan hati panas, serta hendak mengeluarkan teguran atau celaan pada perbuatan pemerintah, labraknya anggota-anggota itu dielakkan dengan jalan tidur atau sembunyi saja.
Berhamburanlah kata-kata yang pedas-pedas di Parlemen tadi, tetapi percuma saja.
Pada Parlemen yang sejati adalah “Mosi tak Percaya” pada pemerintah suatu muslihat hendak menyuruh suatu Menteri memperhentikan pekerjaannya. “Mosi tak percaya” itu tidak ada di Jerman. Apa guna? Menteri diangkat kaisar, bukan oleh Parlemen.
Menteri-menteri cuma perkakas saja, tiada memikul tanggungan sendiri. Kalau salah perbuatannya, bukanlah dia yang menanggung, karena semua itu suruhan dari yang maha tinggi. Menteri tiadalah berkemauan sendiri. Wujudnya walaupun Parlemen mengeluarkan “Mosi tak percaya” Kaisar boleh berituli.
Apa boleh buat, Kaisar Jermanlah, yang biasanya menghapuskan saja mosi apapun pada telapak sepatunya.
Menilik karangan tuan Van Gerlach tadi, menilik hal bahwa senjata tajam pada parlemen sejati, seperti hak Interpellatie, dan initiatief, hak mengeluarkan “Mosi tak percaya” tiada dipakai oleh Parlemen di tanah Jerman, menilik perbandingan antara Parlemen dengan Kaisar Wilhelm dalam peperangan yang besar yang baru lalu ini; mengenang suatu kejadian seperti tidak ada bandingannya dalam sejarah Parlemen yang balid dalam abad 20, yaitu kejadian, apabila kaisar Wilhelm II mengangkat saja seorang pejabat yang namanya hampir tiada dikenal oleh orang banyak jangankan jasanya – ialah Michaelis, menjadi Kaisar pada waktu yang begitu penting, maka tiadalah bisa kita menanggung kehormatan terhadap kepada Parlemen yang semacam itu. Tidaklah kita rasanya terlanjur mengatakan bahwa Parlemen di tanah Jerman cuma perkakas saja. Apabila Kaisar Wilhelm II dengan hati batinnya hendak memerangi tanah kerajaan lain; hendak mengambil koloni orang pendeknya dengan jalan perang ia hendak memuaskan keinginan dan kelobaannya yang tiada berhingga itu maka tiadalah ia perlu memikirkan sekejap juga, bahwa Parlemen akan menegakkan perbuatan yang barangkali akan mendatangkan celaka benar atas Rakyat dan negerinya.
Sudahlah diterangkan oleh Karl Kautky dengan keterangan yang sempurna, bahwa peperangan yang lalu (Perang Dunia Pertama – Ed.) ini semata-mata disebabkan oleh dahaganya para kekuasan dan kemasyuran. Ialah yang mencari kesumat, yang memaksa dengan tipu muslihat, supaya peperangan datang.

Apabila waktu perang tiba, maka ia memperoleh lagi perlindungan dan pertolongan dari pihak Parlemen yang mengikuti saja, apa yang dikehendakinya. Terhadap kepada Rakyatnya dan bangsa-bangsa sopan di atas dunia, dia boleh berlaku seperti orang yang teraniaya, yang dimusuhi dan dikhianati bangsa lain, dan dia tiada bermalu mengatakan bahwa Parlemen “Wakil Rakyatnya” merelakan berperang. Semuanya itu tanda kelemahan Parlemen Jerman.


Parlemen atau Soviet?
Tan Malaka (1921)
________________________________________
BAB II
PARLEMEN YANG SEJATI

Pasal 1.Tumbuh dan hidupnya Parlemen Inggris semenjak dari masa merdekanya.
Dalam tiga pasal pada bab I tadi sudahlah rasanya cukup keterangan-keterangan dan contoh-contoh yang mensahkan, bahwa datang dan tumbuhnya Parlemen itu tiadalah dengan damai saja. Dalam contoh-contoh seperti di tanah Jerman dan di tanah Inggris sudah kelihatan, bahwa tiada selalu Parlemen itu yang beroleh kemenangan. Barangkali kekalahan tadi sementara, entahlah, tetapi sudah terang bagi kita, bahwa Parlemen tanah Inggris sudah lebih dari 250 tahun yang lalu, sudah menghindarkan musuh dari badan dirinya. Sesudahnya itu barulah dia bernafas lapang, dan barulah dia boleh bebas tumbuh sampai menjadi lembaga negara yang sempurna.
Sebelum kita menetapkan apa keadaan Parlemen yang dinamai sempurna, terpaksalah kita lebih dahulu memeriksa tumbuh dan hidupnya Parlemen dari mula ia dapat kemenangan dari raja, sampai ia dewasa. Inilah kewajiban fasal ini akan melukiskan dengan ringkas hidup dan tumbuhnya Parlemen tanah Inggris itu.
Seperti dahulu telah diwartakan, bahwa perkelahian Parlemen dan raja, di Tanah Inggris, disudahi dengan pengakuan dari pihak raja atau “Declaration of Right”. Apabila seorang raja naik tahta kerajaan, haruslah ia lebih dahulu bersumpah mengakui sah undang-undang negeri; artinya tiadalah ia kelak akan melanggar hak dan milik rakyat yang ditentukan dalamnya, dan bersumpah mengakui sah kuasanya rakyat (Volkssouvereinitieit).
Semacam dalam suatu perkelahian, apabila yang seorang mengalahkan lawannya, dan yang kalah tiada berdiam diri saja, melainkan berusaha mencoba supaya belenggunya terlepas, ya, mencoba supaya kekalahannya tadi boleh dibalikkannya, supaya menjadi kemenangan. Demikianlah juga keturunan raja-raja tanah Inggris pada permulaan abad yang sudah, mencoba berjuang lagi. Perjuangan itu akan kita lukiskan pula. Bukan karena hebatnya, melainkan sebab dalam perjuangan itu ada banyak kejadian yang menambah pengetahuan dan penguatan paham kita. Tentang hidup dan tumbuhnya Parlemen tanah Inggris samapi pada masa dewasanya.
Pada permulaan abad yang tersebut, terbitlah tiga persoalan yang penting, disebabkan oleh berdirinya lembaga negara yang masing-masing mempunyai kekuasan besar.

Pertama. “siapa yang mesti memerintah, raja atau parlemen, artinya bolehkah raja mengangkat pemerintah (kabinet sidang menteri) kalau kabinet itu tiada disukai Parlemen”?
Kedua. Kuasakah Majelis Tinggi membatalkan kedaulatan Parlemen?
Ketiga. Bolehkah raja bersama dengan Majelis Tinggi membatalkan kedaulatan Parlemen? (yang dinamai kedaulatan Parlemen, yaitu kedaulatan orang, atau suara yang terbanyak).
Segala pertanyaan ini adalah jawabnya dalam sejarah bangsa Inggris pada permulaan abad yang disebut tadi.
Disebabkan oleh peperangan yang lama dan hebat antara tanah Inggris dan Kaisar Napoleon, maka Rakyat sangatlah menanggung sengsara. Kemiskinan rakyat tiadalah berhingga. Semasa perang tiadalah barang-barang Inggris boleh dimasukkan dan dijual di benua Eropa, sehingga barang-barang pabrik bertimbun-timbun tinggal di gudang-gudang. Setelah perdamaian sudah dilangsungkan, maka barang-barang masih tinggal bertimbun-timbun di tempatnya, karena tiada ada orang yang bernafsu dan mampu membelinya sebelah ke darat tanah Eropa. Sebab itulah tuan-tuan pabrik terpaksa menutup pabriknya; seterusnya banyaklah kuli terpaksa disuruh pulang, karena tiada ada pekerjaan dalam pabrik lagi. Juga disebabkan pendapatan (uitvinding) mesin-mesin yang baru, kuat, sempurna dan lebih banyak bisa menghasilkan barang-barang daripada mesin yang lama, banyaklah pula tangan yang terpisah, yang tiada perlu dipakai lagi, sehingga pendapatan itu semata-mata mendatangkan celaka saja pada si kuli.
Dan lagi serdadu yang pulang dari medang peperangan, yang sudah lama tiada menjalankan pekerjaan biasanya, menambah pula banyaknya orang yang mondar-mandir, disebabkan tidak dapat mencari penghidupan.
Demikianlah tidak ada bandingannya kemiskinan dan kelaparan orang kecil, yang tiada termanai banyaknya itu. Tidaklah kita dapat murka atau jadi heran, kalau kita baca dalam sejarah tanah Inggris pada masa itu, bagaimana orang kecil keputusan asa, dan bagaimana ia membalaskan dendam dengan jalan merusakkan mesin-mesin, yang menjadi musuh pada jalannya mencari sesuap nasi dan sehelai kain itu.
Siapakah akan membela nasibnya, si miskin dan si kecil itu? Siapakah akan menaikkan keperluannya di dalam Parlemen, yang hanyalah diduduki oleh Bangsawan, Hartawan, yang tiada merasa sengsara kelaparan, dan tiada memperdulikan nasibnya orang kecil?
Sedangkan belum lama lagi di belakang, Parlemen mendirikan undang-undang, yang melarang kuli-kuli membuat vergadering-vergadering (organisasi - Ed.) dan vereeniging (perhimpunan); artinya melarang kaum buruh memperbaiki nasibnya dengan jalan minta tambahan gaji, minta bantuan dan lain-lain. Barang siapa yang tiada dapat pekerjaan, boleh diterima dalam satu perusahaan yang memberi pertolongan, perusahaan yang mana berkuasa menyuruh kerja, umpamanya dalam pabrik. Itulah namanya pertolongan itu, yaitu dengan upah sedikit, dipaksa orang kelaparan kerja keras sehingga yang ditolong namanya itu menjadi saingannya pula pada kaumnya sendiri, yang terpaksa pada mengambil upah sedikit, kalau dia tiada mau mati kelaparan. Pun anak-anak atau perempuan bolehlah menjalankan mesin-mesin, sehingga mahluk yang lemah-lemah itu dengan upah yang kecil bersaing pula, seperti kaumnya yang diberi pertolongan oleh perusahaan tadi. Kita mengerti, betapa sengsaranya kaum buruh dan anak bininya. Tertib dan kebudayaan merekapun tiadalah perdulikan lagi. Kemiskinan dan kelaparan selalu menghilangkan kemanusiaan. Siapakah di antara orang kecil sekarang, yang tiada curiga dan paham bagi penghidupan dan kemerdekaannya sendiri?
Oleh karena kedatangan mesin-mesin, maka pabrik kecil-kecil dan kuno tiada bisa bersaing dengan pabrik yang model baru itu, sehingga kebanyakan pabrik kecil itu punah (jatuh) atau dihisap (dibeli) oleh yang besar. Demikianlah segala mata-mata pencaharian jatuh ke tangan dua tiga orang kaya saja. Saingan satu parbik dengan yang lain hilanglah, sebab tuan-tuannya berkongsi-kongsi pula, sehingga mereka boleh seenak hati menaikkan harga barang-barang. Barang makanan juga boleh ditetapkan harganya oleh sedikit orang tuan-tuan tanah, karena dari tanah luar tidak ada saingannya lagi, disebabkan oleh undang-undang Parlemen, yang memungut cukai bagi barang-barang tanah luar yang masuk. Dengan lukisan di atas ini kita insyaf, betapa kelemahan kaum buruh diperbandingkan dengan kaum uang.
Sudah disebutkan lebih dahulu, bahwa tiadalah berapa besar pengharapan kaum buruh akan mendapat pertolongan dari parlemen, karena anggotanya hampir semua asalnya dari kaum atas. Hak memilih (kiesrecht) menanggung pula, supaya anggota-anggota itu jangan dicampuri wakil kaum buruh. Yang Majelis Tinggi cuma diduduki oleh Lord (kanjeng-kanjeng) saja. Mereka itu diangkat selama hidup dan digantikan oleh anaknya (erfelijk). Anggotanya Majelis Rendah keluaran dari golongan atas juga, bangsawan kecil dan hartawan. Memilihnya dengan umum pula, sehingga tuan-tuan tanah boleh memaksa kulinya menyuruh memilih dia sendiri, atau konco-konconya. Berapapun besar kota, berapapun luas daerah (graafschap) tetapi banyak kandidat buat wakil tidak boleh ditetapkan lebih dari yang akan diangkat sehingga selalu kandidat-kandidat wakil yang biasanya kanjeng-kanjeng saja itu semuanya dipilih. Demikianlah dengan segala tipu dan muslihat, kaum atas menjaga supaya semua wakil-wakil asalnya dari kaum sendiri juga.
Hasil dan wujudnya “Hak Memilih” itu, menyebabkan ada kira-kira 2/3 dari anggota Parlemen yang diangkat atau ditolong oleh pemerintah (kaum atas juga). Banyaknya anggota-anggota Parlemen yang mewakili orang kecil, tiada sekali-kali bertanding dengan wakil-wakil atas, sehingga Parlemen masa itu, hanyalah semata-mata sidang “hantu-hantu Uang” yang tiada mengetahui hal ihwal orang banyak.
Tetapi kaum buruh yang mendesak di kota yang besar-besar itu, tiadalah berserah dan berpangku tangan saja. Ia mengerti, betapa besar kodratnya sendiri, asal ia sepakat. Dalam hal itupun, dari hari ke hari, tumbuhlah kesetiaannya satu sama lain, bertambahlah sepakat dan keberaniannya, sehingga kanjeng-kanjeng gemeletar tulangnya dalam istana-istana mendengar teriaknya kaum buruh meminta haknya sebagai manusia, dan sebagai rakyat tanah Inggris.
Mereka itu berusaha, supaya anggota-anggota di Parlemen ditambah dengan wakilnya yang sejati. Sebab itu dia membatalkan undang-undang Parlemen, yang melarang dia membuat perkumpulan. Ia percaya bahwa kalau ada Algemeen Kiesrecht (hak memilih bagi tiap-tiap orang), dia bisa mengadakan wakil yang sampai kuat akan membela kepentingannya dalam Parlemen, kodratnya kaum buruh sesungguhnya sanggup membuka pintu Parlemen untuk wakilnya sejati.
Demikianlah keadaan tanah Inggris, ketika raja Willem IV; memerintah (tahun 1830-1837). Dua kaum yang berlawanan kapitalis dan si buruh. Yang pertama kuat, yang kedua sedang mengumpulkan kodratnya. Adalah beberapa di antara kaum bangsawan, yang setelah ia melihat keras desaknya kaum buruh, mengertilah, bahwa kaum bangsawan dan hartawan tiada akan sanggup melawan musuh yang begitu besar. Sebab itu mereka tiada berani menahan dan menghalangi lagi kemajuan itu, melainkan berusaha, supaya itu jangan mendatangkan perselisihan yang boleh menjadikan celaka besar pada negeri. Kaum yang menolong kaum buruh itu dalam beberapa hal, dinamai Liberal. Kaum ini serta juga menaikkan permintaan pada pemerintah, supaya tiap-tiap orang boleh dapat Hak Memilih.
Raja Willem IV pun tiadalah benci pada paham Liberal itu, sehingga Baginda mengangkat Lord Grey jadi Premier (Menteri Pertama).
Kebetulan pada masa itu di Perancis rakyat merebut hak lagi (tahun 1830). Sebab itu di tanah Inggris orang hendak mendapat hak pula. Berhubung dengan itu Lord Grey menaikkan pertimbangan yang mau menambah hak rakyat tentang pilih-memilih. Majelis Rendah mengabulkan, tetapi Majelis Tinggi membatalkan. Rakyat berbangkit. Istana-istana orang bangsawan atau pendeta dirampok atau dibakar. Dimana-mana orang banyak membuat Meeting (mengeluarkan suara) mengambil Mosi, tanda ia suka akan pertimbangan Lord Grey.
Majelis Tinggi harus mundur. Lebih-lebih bagi kaum tengah besarlah faedahnya pergerakan itu. Sungguhpun kaum buruh tidak puas akan kemenangan itu, tetapi teranglah bagi kita, bahwa kuasanya Majelis Tinggi sudah mulai dipotong. Sesudah perjuangan tahun 1911 kekuasaannya (Majelis Tinggi – Ed.) tentang membatalkan begrooting sama sekali dihapuskan dan tentang pertimbangan lain-lain sangat dikurangi.
Dalam sejarah ini kita bisa pelajari, bahwa kalau Premier ditolong oleh Majelis Rendah, ditunjang oleh Rakyat, maka kedaulatan Majelis Tinggi menjadi nol. Bagaimanakah kedaulatan raja? Dalam hal tadi kebetulan ia mengangkat Premier, seorang yang disukai Rakyat dan Majelis Rendah. Bagaimanakah kejadiannya kelak, kalau Premier kebetulan tidak disukai Majelis Rendah?
Willem IV sudah mencoba mengangkat Premier dari kaum konservatif (kuno) sedangkan meerderheid (suara terbanyak) di Majelis Rendah menyukai seorang dari kaum Liberal. Sebab ingkarnya (tidak mau) Majelis Rendah mensahkan Premier yang diangkat Baginda itu, maka Parlemen dibubarkan dan dipilih anggotanya yang baru. Tetapi suara terbanyak tinggal “Liberal”. Sampai empat kali Majelis Rendah membatalkan pertimbangan dari Premier konservatif tadi. Sebab itu wajiblah Premier itu meletakkan jabatannya. Pembesar Peel memutuskan, bahwa kabinet (sidang menteri) tidak dapat (bisa) memerintah, kalau suara terbanyak tidak setuju, meskipun kabinet itu dipercayai dan diangkat raja dan dibantu Majelis Tinggi.
Dari semenjak tahun 1835 putusan itu tinggal kekal. Raja dan Majelis Tinggi mesti menurut suara yang terbanyak. Suara itu keluarnya dari Majelis Rendah. Sebab itulah Majelis Rendah yang berkuasa, yang memerintah, yaitu atas suara dan kedaulatannya yang terbanyak. Itulah yang Parlemen.
Supaya arti suara yang terbanyak itu lebih terang bagi kita, haruslah diambil sedikit sejarah tanah Inggris pada kesudahan abad ke 19. Pada masa 2 pembesar Inggris berganti-ganti menaiki pangkat Premier, yaitu Cladstone kepala dari kaum Liberal dan Disraeli kepala dari kaum Konservatif itu, janganlah kita menyangka, bahwa kaum konservatif selalu menahan kemajuan. Kebetulan banyak undang-undang yang berwujud kemajuan datangnya dari kaum konservatif. Itulah kemasyuran Parlemen Inggris, karena beda nama, kedua kaum itu bukan karena bermusuhan golongan selama-lamanya, melainkan sebab bertukar paham dan pendapatan, pada suatu ketika, dan tentang suatu hal. Apabila satu kaum yang membela, baik Liberal, baik konservatif kelihatan kesalahannya atau sesatnya, maka suara terbanyak tadi pada kaum itu sendiri menjadi kurang, dan kaum yang lainlah mendapat suara terbanyak, dan boleh membela negeri (naik kabinet sampai kelihatan pula kesesatannya). Demikianlah dua kaum itu sama-sama awas mengawasi, menjaga kewajibannya hemat-hemat, supaya ia tinggal tetap dipercayai orang banyak. Saingan yang suci itu sangat menaikkan tanah Inggris.
Biasanya Gladstone pintar membela politik dalam negeri dan Disraeli kuat membesarkan tanah Inggris dengan jajahan di luar Eropa. Satu dari perkara yang merintangi pembesar-pembesar pada masa itu, ialah nasib dan haknya kaum buruh. Itulah yang menjadi buah percaturan dalam politik negeri. Seperti sudah juga dikabarkan lebih dulu, kaum itu berusaha supaya wakilnya dalam Parlemen ditambah sampai cukup kuat akan merebut hak-haknya. Sebab itu haruslah “Hak Memilih” diubah. Gladstone yang setuju dengan kehendak itu menaikkan pertimbangan akan mengubah hak pilih memilih itu. Tiadalah dikabulkan oleh Majelis Rendah.
Sepanjang adat Parlemen haruslah kabinet Galdstone meletakkan jabatannya.
Demikianlah datang Disraeli mengambil urusan negeri. Mendengar kabar itu bubarlah kaum buruh pada segenap pihak (tiada mufakat). Disebabkan topan yang besar itu, maka Disraeli menjatuhkan perubahan besar, yang betul mendatangkan kebajikan bagi buruh. Sekarang orang yang berhak memilih berlipat dua banyaknya, dan lantaran itu, maka banyak wakil bertambah pula.
Tidak beberapa lama antaranya, maka oleh karena pilihan baru seperti terjadi tempo-tempo kaum Liberal mendapat suara yang terbanyak. Tentulah pertimbangan yang keluar dari kabinet yang konservatif (Disraeli) akan kalah oleh kaum Liberal dalam pengambilan suara. Sebab itulah akan percuma saja Disraeli jadi kepala kabinet. Dia diganti oleh Gladstone.
Buah percaturan politik pada masa itu ialah satu perkumpulan kaum buruh bernama “Trade Union“, yang sampai masa itu dilihat semacam partai yang membujuk mogok saja dan mendatangkan celaka bagi negeri. Sesudah disahkan kebaikannya pada satu pemeriksaan, maka pemerintah mengakui kaum itu. Supaya kaum buruh merdeka betul, haruslah juga dihapuskan hukuman bagi kuli-kuli yang membujuk kuli-kuli lain, supaya jangan mengganggu pemogokan; artinya supaya tempatnya sementara mogok, jangan digantikan orang lain (=oleh si pengecut). Tetapi Gladstone tiada mau mensahkan hak kuli-kuli itu dan tiada mau menghapuskan hukuman atas kuli dalam hal yang tersebut. Sebab Disraeli dari dulu sudah berjanji akan menghapuskan, maka dialah naik kembali menggantikan Gladstone.
Disraeli sekarang perang dengan Afganistan dan Transvaal, supaya dengan jalan itu ia meluaskan dan dapat menambah kemasyhuran kerajaan Inggris. Rakyat asyik dan sayang padanya, sebab jasa yang besar itu, tetapi ketika mereka sadar, berapa banyak uang yang habis, Disraeli ditewaskan kembali oleh saingannya (Gladstone).

Pasal 2. Sifat Dan Keadaan Parlemen Yang Sejati
Berangsur-angsur kita berjalan dari anggota yang dinamai Dewan, sampai kepada anggota pemerintah di tanah Inggris yang bernama Parlemen, yang kita ikuti dan amati dari masa lahir dan kecilnya sampai menjadi dewasa dan bersifat yang teguh-teguh, serta cukup untuk menyempurnai diri dan keadaannya.
Dalam perjalanan tadi, kita melihat, betapa banyak dan berat sengsara ditanggungnya. Kita melihat betapa dia mengalahkan segala yang merintangi dan menghambat tumbuhnya. Tetapi kita saksikan juga kelemahannya, seperti di tanah Jerman, sehingga dia tiada bisa merebut kemerdekaannya sendiri, hanyalah tinggal jadi perkakasnya seorang manusia yang bermahkota (kaisar).
Kita harap perjalanan yang panjang itu tiada mendatangkan jemu dan bosan bagi pembaca. Berapa bagian di antara Bab atau pasal-pasal yang sudah lalu, barangkali ada melimpahi yang perlu, yaitu melampui wujud karangan kita hendak menguraikan apa yang dinamai Parlemen yang sempurna. Betul kalau bagi seorang bangsa Eropa yang berpengetahuan biasa saja, (karena selalu hari-hari melihat dan mendengar beberapa hal yang bersangkutan dengan aturan Parlemen) beberapa dari bagian itu barangkali tiada perlu diceritakan lagi, tetapi kita menyangka pengetahuan biasa di Eropa itu, tiada boleh kita harapkan pada bangsa Timur dipukul rata. Dengan menceritakan sejarah Parlemen itu seperti yang terjadi di tanah asalnya, yaitu tanah Inggris, dengan menunjukkan kemauannya sendiri dan kemauan musuhnya; kita menyangka boleh sampai pada maksud yaitu memperlihatkan tubuhnya Parlemen itu sama sekali dengan jelas dan terangnya.
Berangsur-angsur kita mempelajari dan mendengar hak dan kuasanya suatu Parlemen dan dengan ilmu yang kita peroleh itu, kita sanggup menetapkan, apa yang dimaksud pasal ini, ialah menentukan keadaan suatu Parlemen yang sempurna pada segenap pihaknya.
Seperti kita pelajari dalam sejarah tanah Inggris maka perselisihan dan peperangan yang berulang-ulang itu, disebabkan oleh kedaulatannya rakyat hendak memerintah dan mengatur keperluannya sendiri.
Haruslah kita perhatikan benar perkataan “mengatur” dan memerintah itu, yang maksudnya ialah supaya ia diperintahi dengan undang-undang yang terbitnya dari Parlemen rakyat, bukan dengan undang-undang yang disorong-sorongkan saja oleh raja (Sultan) atau siapapun.
Dahulu sudah diterangkan, bahwa satu anggota (wakil) boleh melakukan pertimbangan; apabila suara yang terbanyak dalam pengambilan suara mengabulkan, maka pertimbangan itu boleh dijadikan undang-undang. Tetapi jarang pertimbangan yang datangnya dari wakil boleh menjadi undang-undang. Biasanya pertimbangan yang akan berjalan (berbuah) datangnya dari pemerintah, yaitu “kabinet”. Maka biasanya dari satu menterilah terbit sesuatu pertimbangan yang dinaikkan dalam Parlemen. Apabila suara yang terbanyak dalam parlemen membenarkan, maka barulah pertimbangan tadi dijadikan undang-undang dan barulah boleh dijalankan oleh yang memerintah (kementrian, propinsi kota dan kampung).
Apabila suatu undang-undang lahir (dibetulkan Parlemen), maka seperti tersebut di atas, undang-undang itu dipulangkan ke tangan menteri kembali, yang harus menurunkan undang-undang itu pada anggota-anggota pemerintah yang kecil-kecil. Demikianlah menteri itu satu pusat yang besar dari segala pemerintahan kota, kampung atau propinsi. Anggota kecil-kecil ini menjalankan dan menghiaskan pula undang-undang, yang turun dari pusat atau menteri tadi. Pusat itu bermacam-macam pula, ada menteri pendidikan, ada menteri dalam negeri, dan luar negeri dan lain-lain sebagainya. Segala menteri-menteri itu dikumpulkan menjadi pusat yang tersebar, yaitu kabinet, dari mana segala perintah yang bermacam-macam itu diturunkan. Seperti segala menteri berpusat di Kabinet, demikian pula segala menteri-menteri berpusat dan dikepalai oleh seorang Premier
.
Sungguhpun undang-undang, yang dikabulkan oleh Parlemen itu sudah dipulangkan kepada pemerintah (Kabinet), tetapi anggota-anggota Parlemen tiadalah tinggal berdiri berpangku tangan saja, dan percaya, bahwa pemerintah tadi tiada ada cacatnya (celanya). Parlemen berhak menjaga, supaya undang-undang itu dengan betul dan adil dijalankan. Kalau seorang wakil dalam Parlemen curiga atau kurang mengerti dalam sesuatu kelakukan pemerintah, maka haruslah ia bertanya dan meminta keterangan pada menteri. Dengan jelas dan terang haruslah menteri menjawab, sampai wakil-wakil pas hatinya, supaya wakilpun boleh memuaskan hati rakyat yang memilihnya. Inilah suatu senjata tajam bagi seorang wakil untuk menjaga keselamatan negeri. Menjaga supaya aniaya dan kelaliman terhindar. Bukan saja diberi hak bertanya kepada pemerintah, tetapi iapun boleh memeriksa dengan matanya sendiri. Kalau betul apa yang ditetapkan dalam pemeriksaan itu haruslah pemerintah membuang yang bersalah.
Satu hak wakil yang terutama ialah kemerdekaannya di dalam Parlemen. Apa saja yang terasa di hati atau terlihat di matanya bolehlah dikeluarkannya dan tiadalah akan dituntut atau dihukum oleh barang siapapun. Tentulah ia tiada akan mengeluarkan omong kosong saja. Hal ini akan memberi malu dirinya sendiri, dan akan menjauhkan orang yang mengirimnya ke Parlemen.
Bukankah kemerdekaan paham dan perkataan seorang wakil itu mestinya menjadi cermin (kaca) atas kekuasaannya rakyat yang diawasi hak dan keperluannya? Apakah guna wakil kalau wakil itu hanyalah boleh mengeluarkan suara yang nyaman didengar oleh pemerintah seperti saat zaman ketika masih bersultan atau beraja?
Terkuasanya rakyat itu sudah terbanyak lebih dahulu ketika mendirikan anggota-anggota Parlemen dengan jalan memilih. Seperti pada masa Disraeli dan Gladstone, kita ingat lagi beberapa perkara yang penting-penting yang digemari dan dipeluk oleh semua rakyat. Tiap-tiap paham sendiri tentang satu perkara umpamanya tentang “hak dan miliknya” kaum buruh. Dia sudah memutuskan sendiri dalam hatinya, bagaimana patutnya pemerintah meneruskan keperluannya. Apabila pada masa memilih (yaitu masa kabinet akan dibongkar dan diganti dengan yang baru) seorang wakil umpamanya dari kaum “liberal” membuat pidato, maka orang mendengar bolehlah memutuskan setuju atau tidaknya ia dengan paham wakil itu; kalau tidak pergilah ia mendengar pidato seorang dari kaum konservatif. Apabila datang waktu pemilu, maka dijatuhkannyalah suaranya pada wakil yang disukainya. Demikianlah, kalau pemilu itu dirahasiakan, boleh kita putuskan partai mana yang digemari oleh rakyat pada masa itu, Liberal atau Konservatif. Perbandingan banyaknya anggota dalam Parlemen itu, bolehlah dinamai ukuran bagi kegemaran dan kepercayaan orang banyak menghadap kepada kedua kaum yang terbesar itu. Partai yang kuat sekali itulah sangat disukai, itulah yang kita namai “kedaulatan orang banyak”. Bukankah perbandingan kekuatan kedua partai itu menjadi cermin bagi perbandingan kemauan rakyat yang terbagi atas dua kaum yang besar pula, Kuno dan Liberal?
Tiadalah perlu diuraikan panjang lebar sekali lagi, betapa wajibnya memilih dan mengangkat kabinet (menteri-menteri) dari kaum yang terkuat dalam Parlemen itu. Menteri-menteri dipilih dari anggotanya Parlemen, dan tiadalah boleh dijuadahkan saja sebagai santapan, seperti pada zaman kuno, atau pada masa Kaisar Wilhem II masih memerintah oleh karena datangnya pertimbangan biasanya dari menteri tentulah pertimbangan itu tak pernah ada dikabulkan dalam Parlemen, kalau kabinet diangkat dari kaum yang terkurang. Wujudnya tentu tiadalah dapat membuat undang-undang sekarang oleh karena cocoknya kabinet dengan Parlemen (yaitu karena partai menteri-menteri itu yang terkuat dalam Parlemen dari mana kabinet berasal), maka hampir segala pertimbangan dan undang-undang dengan lekas dan mudah boleh dilangsungkan, sampai ………ya, sampai pemerintah khilaf atau salah. Dalam hal itu Parlemen ada menaruh senjata-senjata, untuk menurunkan Kabinet itu dan mengganti dengan yang disukai orang banyak.
Demikianlah Parlemen dan pemerintah itu tiada tergantung di atas kayangan (udara) saja, melainkan berurat dan berakar pada orang banyak dan kemauan pemerintah ialah kemauan Parlemen, dan kemauan Parlemen ialah kemauan anak rakyat. Sebab mata pencaharian (sekarang ada pabrik, dan mesin-mesin yang besar-besar, kereta api dan kastil semacam istana) dan alat memerintah negeri pada zaman sekarang begitu sukar dan sulit, dan lagi tiap-tiap orang tiada seperti zaman yang kuno sekali, boleh sambil memerintah, (pada zaman kuno itu tiap-tiap orang boleh menjahit baju sendiri, memerah dan mengembala lembu, bertanak nasi dan menumbuk; dalam pada itupun boleh ia menghadiri vergadering negeri.)
Sekarang orang terpaksa pergi pada tukang jahit, dan mewakilkan suaranya buat rapat negeri (parlemen) sebab dari pagi sampai malam ia mesti kerja saja, baik di pabrik atau dimana-manapun. Maka rakyat, sungguhpun terkuasa sekali, terpaksa memindahkan kuasanya itu atas orang yang dipercayainya, yaitu seorang wakil. Oleh sebab wakil begitu banyak dan paham masing-masing berlain-lainan, maka kedaulatan yang diterimanya dari rakyat tadi diletakkannya pada kabinet, dan sebab kabinet juga banyak beranggota dan banyak cabang pekerjaannya, maka kabinet tadi harus pula dikepalai oleh satu orang supaya tujuan menjadi satu. Kepala itu dinamai Premier. Jadi alat memerintah, yang begitu sulit, digenggam di tangan satu orang saja.
Bukankah aturan semacam itu bertingkah dengan wujud Demokrasi, yang beralasan pemerintah orang banyak?
“Tidak” kata orang, yang mengandung paham Parlementerisme (ilmu tentang parlemen) “tidak, kepala yang seorang itu tidak tinggal turun-temurun seperti raja, karena boleh dinaik dan diturunkan oleh rakyat sendiri”. Dengan muka yang yakin dan mata yang gilang-gemilang ia akan berkata terus, mengatakan, bahwa aturan dan partai (Liberal dan Konservatif) seperti di tanah inggris yang awas-mengawasi, yang selalu masing-masing siap akan ganti menggantikan dan lantaran terkuasanya Parlemen. Akan bisa ditanggung, supaya selalu kemauan orang banyak yang menjadi alasan, dan selalu yang terpandai akan menjadi kepala pemerintah.

Parlemen atau Soviet?
Tan Malaka (1921)
________________________________________
BAB III
DARI NEGERI BELANDA KE BENUA ASIA

Pasal 1. Di Negeri Belanda
Sebelum kita memeriksa Parlemen atau bakal Parlemen yang ada di Asia, haruslah juga kita raba sedikit aturan pemerintahan di negeri Belanda. Pertama, sebab juga di sana ada Parlemen yang tiada berapa ubahnya dengan Parlemen yang sempurna seperti di tanah Inggris; kedua, sebab pengetahuan yang sedikit tentang parlemen negeri Belanda bagi kita tidak percuma saja, sebab kita banyak bersangkutan dengan negeri itu.
Serupa dengan di tanah Inggris, juga di negeri Belanda pemerintahan dijadikan oleh raja dan Parlemen. Kedua tanah itu boleh kita namakan negeri yang diperintahi menurut aturan parlemen sejati. Parlemennya bukan perkakas raja saja, sekali-kali tidak, melainkan raja yang harus memerintah dengan konstitusi.
Adapun yang dinamai konstitusi, yaitu segala alat dan perkumpulan segala undang-undang, yang menjadi alasan bagi pemerintah negeri, undang-undang mana menetapkan hak dan milik, dan kewajiban rakyat. Maka kesamaannya raja negeri Belanda itu dengan raja negeri Inggris yang terutama sekali tentang hal memerintah, karena dalam hal itu kedua mahkota tersebut hampirlah tiada berkuasa suatu apa. Segala aturan atau perintah dipetik dari Konstitusi yang sudah diakui sahnya ketika naik tahta. Aturan dan perintah itu mula-mula diperiksa oleh Parlemen dan dijalankan oleh kabinet.
Kita mengerti, bahwa hal ini tiadalah didapat dengan patut dalam perdamaian saja. Banyaklah pula perselisihan dan perkelahian besar yang sudah terjadi antara rakyat dan raja di negeri Belanda maka sampai kekuasaan Parlemen diakui semacam sekarang.
Perkelahian itu tidak akan diulang sekali lagi, tetapi hal itu bolehlah kita ingatkan untuk menyaksikan dan menetapkan paham kita bahwa kemauan seorang raja tiada akan cocok dengan kemauan dan keperluan orang banyak yang terbayang di parlemen.
Seperti biasanya perubahan konstitusi tiada pernah datangnya disebabkan oleh perubahan paham saja, melainkan lantaran paksaan dari bawah, rebutan dari orang banyak. Begitu juga huru-hara di Eropa pada tahun 1849 menyebabkan di negeri Belanda raja mesti memberikan sebagian besar haknya dan mensahkan aturan konstitusi baru. Dalam konstitusi itu ditetapkan bahwa raja onschendbaar (yaitu tiada bertanggungan, artinya tiada boleh dituntut atau dihukum kalau salah memerintah).
Rupanya perubahan itu, kalau kita baca begitu saja, tiada berapa dalam artinya, tetapi yang sebenarnya perubahan itu menjatuhkan segala kekuasaan atas parlemen dan kabinet (yang berasal dari parlemen juga).
Kita tahu, bahwa sebelum tahun 1849, di negeri Belanda menteri juga perkakas raja saja, seperti di tanah Jerman, juga Kaisar tanah Jerman tiada bertanggungan (onverantvoordelijk). Kalah ada salah, tiadalah dia dituntut, karena tiada berkemauan sendiri, melainkan mendapat perintah dari kaisar yang boleh bersimaharajalela saja. Sekarang seperti di negeri Belanda sesudah tahun 1849, menteri itu harus menanggung buruk baiknya perintah yang diturunkannya. Tentulah dia tiada akan berkata “ya” saja (inggih) kalau raja berkata karena dia sendiri nanti ikut menanggung kalau parlemen menuntut keterangan atau kebenaran. Kalau raja hendak memajukan juga apa kehendaknya, haruslah dan tentulah menteri akan berkata: ”baik, tetapi saya tiada mau menanggung hasilnya kelak, sebab itu baik saya diperhentikan saja”. Kalau betul ia sampai diberhentikan, sebab raja hendak berlaku menurut pahamnya sendiri, tentulah jarang dapat menteri gantinya yang mau menanggung saja kemauan raja itu. Lebih-lebih kalau sudah tampak kesalahannya oleh orang banyak. Jadi kemauan raja sejati, mendatangkan pertentangan antara pemerintah (menteri-menteri) dan Parlemen, artinya melanggar hak Rakyat yang dipercayakan kepada Parlemen.
Sesungguhnya perubahan tadi “yaitu raja tidak dan menteri ada bertanggungan” menyebabkan menterilah yang berkuasa. Lahirnya segala perintah disebutkan datang dari mahkota, tetapi pula perintah itu harus terkenal tanda tangannya menteri, artinya, kalau turun perintah tentang pendidikan umpamanya pada propinsi atau kota, haruslah perintah raja itu disahkan menteri pendidikan itu dengan tanda tangannya. Tiadalah boleh raja bertitah-titah saja pada siapapun. Sebab itulah boleh dipastikan bahwa yang sebenar-benarnya pemerintah ialah menteri-menteri.
Adapun menteri itu beruratnya di parlemen juga. Satu kabinet dipilih dari anggota-anggota parlemen yang disukai orang banyak, yaitu seperti di tanah inggris dari partai yang terkuat dalam parlemen. Wakil-wakil dalam parlemen negeri Belanda disebabkan karena “hak memilih” yang sempurna (evenredige vertegenwoordiging) adalah cukup perbandingan banyaknya dengan kaum-kaum dan partai-partai rakyat sendiri.
Dahulu “hak memilih” itu bergantung pada banyaknya pajak yang dibayar. Lantaran itu, orang yang berhasratlah yang berhak memilih; jadi yang kaya atau setengah kayalah, yang boleh diwakili dalam parlemen, yang dibela atau diuruskan keperluannya. Tetapi oleh karena usahanya kaum sosialis, maka pada tahun 1917 pemerintah terpaksa melebarkan hak memilih itu, sampai kepada tiap-tiap orang, sehingga siapapun orang yang beranggota sempurna, boleh menentukan sendiri siapa yang direlahinya akan membela nasibnya. Dari masa ini seorang kuli buruhpun boleh memilih (algemen kisrecht).
Lagi pula pada masa dulu itu tiadalah bebas seorang yang berhak memilih. Kalau satu daftar dari orang yang akan dipilih (bakal-bakal wakil) dikirim oleh pemerintah pada seorang yang berhak memilih, maka berkerumunlah di rumah si Pemilih itu segala yang lebih tinggi dari padanya umpamanya pendeta-pendeta dan alim-alim yang memaksa memilih orang alim juga; (kalau tidak masuk neraka nanti, awas!) atau seorang majikan yang menyuruh memilih konconya pula dan sebagainya. Demikianlah si pemilih jadi perkakas para kanjeng-kanjeng, santri-santri dan majikan-majikan, pada siapa kaum kromo bersangkutan nasib dan budi. Sekarang memilih itu terjadinya di muka pegawai pemerintah, yang menjaga supaya si pemilih bebas memilih yang disukainya. Tiadalah ia perlu sekarang mengatakan pada siapapun mana wakil yang dipilih (sungguhpun begitu, tiadalah lazim yang seorang dari kaum khatolik (agama) akan memilih seorang wakil sosialis, lebih-lebih di daerah yang penuh didiami yang alim-alim itu).
Satu dari “hak memilih” yang terutama juga ialah hak rakyat sendiri boleh memilih wakil parlemen tadi. Dahulu wakil itu datangnya dari tingkat yang tertinggi sekali, yang tiada berkenalan lagi dengan orang kecil, yaitu dari propinsi. Jalannya pilih memilih dulu itu adalah seperti berikut: “Rakyat memilih wakil untuk pemerintah kota (gemeenteraad). Cemeenterad menunjukkan orang yang akan jadi wakil di propinsi (daerah). Dan propinsi boleh baru memilih wakil untuk parlemen. Jadi dahulu adalah tiga tingkat yang mesti ditempuh supaya sampai di Parlemen, sehingga wakil Parlemen itu bukan datang dari harta rakyat, melainkan dari propinsi tingkat di atas sekali. Kita mengerti, bahwa wakil itu tentulah sudah dirusakkan dan digilakan raport-raport, dan rakest-rakest dan lupa akan rakyat yang di bawah yang harus diwakilinya. Macam yang begini sekarang sudah diubah pula, sehingga rakyat boleh dengan terus mengirim wakilnya ke Parlemen. Perasaan rakyat yang dikandungnya ketika masuk Parlemen bolehlah dikeluarkannya terus terang.
Kalau kita masukkan lagi bahwa wakil-wakil negeri Belanda berhak seperti temannya di tanah Inggris, yaitu berhak initiatief (menaikan pertimbangan) berhak Interpelatie (bertanyakan kelakuan pemerintah) berhak Enqueto (memeriksa kelakukan pemerintah dengan mata kepala sendiri) berhak amandement (untuk mengubah) satu pertimbangan yang datang dari menteri, maka bolehlah kita putuskan bahwa kekuasaan Parlemen negeri Belanda cukup dan sempurna.
Dengan hak memilih yang begitu lebar ia boleh mengadakan wakil dari segala golongan dalam negeri (golongan alim, kaum buruh, atau kapitalis dan sebagainya) sehingga Parlemen itu bolehlah dikatakan cermin bagi “kemauan dan kekuatan” segala golongan dalam negeri. Dari partai yang kuatlah dipilih kabinet, sehingga kabinet ini boleh mendapat suara lebih, kalau mengeluarkan pertimbangan untuk mendirikan undang-undang, sehingga Parlemen dan pemerintah (kabinet) boleh dikatakan cocok.
Sebaliknya, kalau parlemen dan kabinet menjadi bertentangan, maka adalah hak akan mengeluarkan “mosi tak percaya lagi” suatu senjata akan penarik kaki menteri dari tempat yang tertinggi itu. Dengan pilihan yang baru, boleh pula diukur kemauan rakyat. Kemauan itulah yang membayangkan dan ialah partai yang terkuat dalam Parlemen, yang akan menjadi tumpuan dan urat buat kabinet baru.
Cerita parlemen negeri Belanda bolehlah kita tutup dengan peringatan bahwa Eerste Kamer, seperti Majelis Tinggi di tanah Inggris, sekali-kali tidak menyamai kuasanya Twede Kamer; inilah yang sebenarnya Parlemen, yakni: “Twede Kamer”.

Pasal 2. Jepang dan Hindia
A. Jepang.
Tentulah kelak akan terlalu panjang dan tidak berfaedah, kalau di Asia kita bicarakan segala lembaga-lembaga untuk memerintah negeri. Sudah cukup rasanya kalau kita ambil lembaga itu dari negeri yang merdeka, dan kedua dari suatu jajahan (koloni). Segala bakal Parlemen di bagian besar Asia yang lain bolehlah kira-kira dimasukkan ke dalam kedua macam yang tersebut.
Adapun pemeriksaan kita atas Parlemen tanah Jepang tiadalah akan panjang, karena lembaga di sana tidak asli, malah tiruan dari Barat juga. Sebab itu cukuplah sudah, kalau kita sebutkan saja nama segala anggota di situ sambil memberi di sana-sini sedikit peringatan. Selainnya bolehlah dengan pengetahuan Parlemen di Barat kita dengan lekas menghargainya.
Seperti keterangan Sen Katayama, maka hal pilih-memilih adalah sangat kuno. Seorang wakil bukan dipilih karena pahamnya disukai, melainkan karena malu melalui kepada majikan atau ningrat-ningrat tanah Jepang. Lantaran itu si Kromo sama sekali menambah kekuasaan yang Hartawan dan Bangsawan saja. Lagipun cuma sebagian kecil orang yang berhak memilih, karena sudah ditetapkan bahwa yang berhak itu ialah mereka yang penuh membayar pajak, seperti yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Sen Katayama menunjukkan pemilihan tahun 1917 dengan angka-angka dimana kita boleh buktikan berapa kecilnya yang berhak memilih disebabkan peraturan yang berhubung dengan bayaran pajak itu.
Dan lagi si pemilih banyak kena pengaruh si kaya. Kalau dipikirkan lagi, bahwa vergadering-vergadering banyak dihalang-halangai oleh polisi, sehingga kaum buruh tidak bisa berkata terus terang, maka nyatalah bagi kita bahwa mereka yang masuk ke dalam Parlemen itu ialah wakilnya kaum Hartawan dan Bangsawan Belaka.
Kekuasaan Parlemen di tanah Jepang bolehlah dikatakan tidak berapa. Yang berkuasa ialah “Huis der Lords” (semacam Majelis Tinggi di tanah Inggris. Tempat bersemayamnya kanjeng-kanjeng dan ningrat-ningrat. Tetapi di Jepang lebih besar kuasanya daripada tanah Inggris), dan lagi suatu anggota yang bernama “Genro” yaitu sidang pembesar yang tua-tua. Genro inilah berhak mendirikan “Kabinet” (sidang menteri-menteri) dan mereka itulah pemberi nasehatnya Mikado. “Huis der Lords” dan “Genro” penuh dengan kaum Militer dan Hartawan yang menyangka bahwa memerintah negeri tak perlu memperdulikan rakyat (Parlemen). Asal saja, mereka sudah bertanggungan terhadap kepada Mikado.
Tiadalah perlu kita memakai pengetahuan yang lanjut, untuk membedakan Parlemen Jepang itu dengan Parlemen di negeri Belanda umpamanya, dimana segala yang memerintah (kabinet) dan raja harus berakar dan bersitumpu pada Parlemen.
Menurut kabar bulan Juli tahun 1920 ini, keadaan Parlemen itu, belumlah berubah, dan pemerintah di negara Jepang masih tinggal semata-mata dalam tangannya Hartawan dan Ningrat.
B. Di Hindia
Kalau kita hendak mengetahui kedudukannya pemerintahan tanah Hindia ini, haruslah kita menoleh ke negeri Belanda, dari mana segala peraturan yang terutama bagi tanah kita dijatuhkan.
Dalam “Kleintjes” (Staatsinstelling van Nederlansch Indie, aturan pemerintah negeri Hindia) pada muka kira-kira kita membaca:
“……oleh karena menteri jajahan (di negeri Belanda) itulah yang mempunyai “verantwoordelijkheid” (bertanggungan, terhadap kepada parlemen) maka pemerintahan Gubenur Jenderal itu jauh sama sekali di bawah toezich (penjagaan) Parlemen”.
Dari satu kalimat ini saja, sudah boleh kita pelajari bahwa menteri jajahanlah yang menanggung baik buruknya pemerintah Hindia. Tanggungan itu menyebabkan maka kekuasaan yang tertinggi jatuh di tangannya G.G (Governer General – Ed.) tiadalah diberi berhak boleh menjalankan perintah sekehendak hatinya, karena kalau ia salah kelak akan ditanggung oleh menteri jajahan juga. Kalau kesalahan menteri ini sah, maka Parlemen di negeri Belanda berhak akan menganti dengan menteri yang lain. Pendeknya: menteri jajahan adalah seperti menteri-menteri lain-lain, yakni takluk pada Parlemen.
Sebab menterilah yang menanggung terhadap kepada Parlemen, dan lantaran seorang G.G sebagai seorang pejabat saja. (Kleintjes muka 245, dimana diterangkan juga, bahwa G.G itu di bawah menteri jajahan). Maka tentulah seorang G.G perlu sekali cocok dengan menteri jajahan itu.
Adapun G.G itu di tanah Hindia ini dibantu pula oleh “Raad Van Indie”. Bersama dengan anggota inilah ia memerintah. Lagi pula adalah suatu biro tertinggi, yakni “De Alegemeene Secretarie”. Lembaga inilah sebetulnya yang terkuasa sekali, yang menjalankan correspondentie (surat-surat perintah) dan yang memeriksa segala persembahan terhadap G.G segala lembaga-lembaga tersebut, yang memerintah tanah kita ini (menteri jajahan, parlemen, de Algemeene Secretarie, Raad van Indie dan sebagainya) tidaklah keluar dari – dan berurat pada Rakyat Hindia sejati.
Hal ini tidak patut mendatangkan keheranan bagi kita, karena tanah Hindia bukan tanah yang merdeka. Sebab itulah sebetulnya kita tidak perlu melukiskan bagian fasal ini. Tetapi sebab banyak di antara orang-orang Hindia, maupun dalam surat-surat kabar, ataupun di lain-lain tempat, yang suka menyebut-nyebutkan nama Dewan Rakyat akan ganti nama Volsraad maka kita merasa perlu menoleh sebentar pada Dewan Rakyatnya itu.
Namanya itu adalah tiada cocok dengan keadaannya. Kalimat ini tidak perlu kita saksikan lagi. Barang siapa sudah paham akan arti dan keadaan sesuatu Parlemen yang sejati (seperti di negeri Belanda atau Inggris) anggota-anggota dalam Parlemen mempunyai hak yang cukup, seperti interpellatie, initiatief, amandement, enquote dan lain-lain; berhak menaik dan menjatuhkan pemerintah (menteri-menteri yang tiada disukai), lekas ia akan merasa perbedaan besar antara Dewan Rakyat (Volksraad) itu dengan suatu Parlemen.



Parlemen atau Soviet?
Tan Malaka (1921)
________________________________________
BAB IV
KRITIK (CELAAN) ATAS PARLEMEN

Pasal 1. Kapitalisme dan Sosialisme
Sebelum kita sampai mengeritik Parlementerisme, haruslah lebih dahulu kita uraikan keadaan Sosialisme, karena kritik itu datangnya dari pihak kaum Sosialis. Dan supaya kita mengerti akan sosialisme itu, haruslah kita pelajari dahulu Kapitalisme, karena sosialisme itu lahirnya dari Kapitalisme.
Sesungguhnya saya ingat, bahwa uraian kapitalisme dan sosialisme itu di luar daerah maksud brosur ini, yang hendak memeriksa, apakah yang baik bagi kita di antara keadaan Soviet. Sebaliknya pula kita tidak boleh memisahkan yang kita semua dipukul rata paham, tentang kedua ilmu yang tersebut. Supaya saya jangan menyimpang, haruslah keadaan ilmu itu diterangkan dengan seringkas-ringkasnya. Sungguhpun saya ingat pula akan bahaya bahwa ringkasnya itu menyebabkan yang kita tidak akan menduga dalamnya ilmu Sosialisme.
Sebermula maka yang dinamai kapitalisme itu bukanlah uang yang bertimbun-timbun saja, melainkan suatu benda yang bersenjata tajam dan yang membelenggu keperluan lahirnya manusia, dan berhubungan dengan itu juga yang menetapkan adat dan urusan negeri. Sesuatu negeri baru boleh dinamai sempurna kalau ia mempunyai beberapa dasar-dasar yang kukuh. Di antaranya ekonomi, adat dan pengadilan. Di antara yang tiga ini, ekonomilah yang menjadi pusat sebab itulah kita lebih dahulu memeriksa ekonominya negeri, seperti perusahaan tanah, perusahaan industri (kereta-kereta, kapal-kapal, pabrik-pabrik dan sebagainya) perniagaan, bank-bank dan lain-lain. Perusahaan industri yang dijalankan mesin-mesin yang lebih kuat dari raksasa datangnya pada zaman terakhir sekali, kira-kira permulaan abad yang lalu (ke 19), yaitu disebabkan oleh beberapa ditvinding (pendapatan dalam ilmu alam).
Industri itulah pula yang terutama sekali dalam segala perusahaan zaman sekarang, dan ialah pula yang mendatangkan kedudukan baru antara suatu manusia dengan manusia yang lain (buruh dan majikan). Sebab itulah kita ambil dulu pemeriksaan atas industri itu.
Akan memudahkan berpikir, marilah kita ingat saja suatu pabrik, yang cukup mesinnya dan berpuluh ratus kulinya, pada suatu kota yang besar umpamanya di Eropa, dimana industri itu sudah dewasa (sempurna tua).
Pembaca akan bertanya: dari manakah datangnya manusia yang berkumpul sampai 5 atau 6 juta itu pada suatu kota, yakni hampir sama banyak dengan penduduk pulau Sumatera?
Untuk menjawab pertanyaan itu haruslah kita pergi dulu ke desa-desa di Eropa, yang dulunya dikepalai oleh bangsawan atau hartawan.
Di bawahnya ada beberapa kuli dan di sekiling kebunnya adalah kebun-kebun kecil harta orang desa. Apalagi tuan kebun tadi mendengar kabar bahwa ada terdapat sebuah mesin yang baru, yang bisa membajak di sawah-sawah begitu lekas dan dalam, maka tentulah ia akan mencoba mengerjakan tanahnya dengan perkakas baru itu. Biasanya mesin yang baru itu sama kuatnya dengan berpuluh-puluh tangan. Setelah mesin itu dipakai, maka terpisahlah kuli-kuli yang berpuluh-puluh tadi, lantara dipecat oleh tuan tanah.
Lagi pula kebun-kebun kecil mengelilingi kebun atau sawah yang luas, yang dijalankan dengan mesin. Tentu tiiada bisa bersaing dalam perniagaan hasil tanah. Sebab itu kebun yang kecil-kecil jatuh, dan kesudahannya dibeli oleh kapitalis tanah, yang selalu berdaya upaya untuk memperluas tanahnya supaya untungnya berlipat ganda. Tani kecil-kecil yang jatuh itu terpaksalah pergi kerja pada Kapitalis tani atau terpaksalah meninggalkan desanya untuk pergi mencari pekerjaan di kota-kota yang besar.
Satu dari permintaan si kapitalis yang terutama sekali, yaitu, haruslah kuli itu seorang yang merdeka. Ia merasa keberatan kalau seorang kuli masih terikat oleh sawah ladangnya sendiri, sehingga ia setengah hari mesti kerja untuknya sendiri, dan cuma setengah hari bisa kerja pada seorang tuan pabrik. Si kapitalis harus mempunyai kuli yang merdeka betul, yaitu merdeka segenap waktu untuk mengambil putusan mau tidaknya kerja dalam sebuah pabrik. Tentulah seorang yang tiada mempunyai harta apa-apapun selalu merdeka, tidak dirintangi pekerjaan sendiri, artinya yang bathin, yakni selalu ia terpaksa menjual tenaganya pada sebuah pabrik meskipun dengan harga yang murah sekali.
Permintaan si kapitalis yang kedua, yaitu haruslah banyak kaum proletar (yang tak berharta) itu melewati dari yang perlu dipakai. Kalau sesuatu barang perniagaan tidak mencukupi banyaknya, maka harganya naik, dan sebaliknya pula kalau barang itu banyaknya melewati permintaan, maka harganya turun. Demikianlah juga halnya kaum proletar, yang dipandang semacam barang perniagaan saja oleh kaum modal. Haruslah mereka itu banyaknya melewati permintaan. Supaya harganya murah. Si buruh pun sudah bersenang hati kalau ia cuma mendapat sesuap nasi saja.
Sebuah kota yang besar adalah penuh dengan pabrik-pabrik dari segala rupa yang dijalankan dengan mesin yang kuat-kuat, penuh pula dengan kaum proletar, mereka yang datang dari segenap pihak disebabkan oleh kemelaratan. Jikalau kita masuki sebuah pabrik, maka kelihatanlah beribu-ribu kaum buruh yang dikepalai oleh opzichter, ingenitur dan boekheuder. Sia-sialah kita di sana mencari yang berhak atas pabrik itu, yakni si Kapitalis, karena ia biasanya tinggal dalam istananya saja, yang berdiri di tempat yang bagus dan hawanya sehat, tiadalah dekat pabriknya dimana dikotorkan oleh asap dan sebagainya.
Segala urusan pabrik diserahkan kepada buruhnya, yang diberi gaji dan sebagian dari untung. Kalau seorang yang memiliki sebuah pabrik masih mesti sendiri menguruskan pabrik, menjaga uang masuk dan keluar serta mengatur mesin-mesin, maka belumlah ia itu boleh dikatakan seorang kapitalis, melainkan seorang bos saja. Sedemikianlah kaum hartawan yang mempunyai suatu perusahaan pada zaman dulu biasanya bos saja dan ia masih ikut campur kerja dengan kaum buruhnya sendiri. Jadi yang si kapitalis tulen itu ialah seorang hartawan yang cuma tahu akan renten (bunga) uangnya saja, yang sungguhpun ia tidur saja bisa dapat untuk beribu-ribu atau berjuta-juta.
Dua perkara yang harus dipikirkan dalam daya upaya mencari keuntungan, yakni pokok yang tidak bernyawa dan pokok yang bernyawa. Sebagaimana kita tahu, maka pokok itu dipakai untuk membeli rumah, pabrik,mesin-mesin, gerobak-gerobak dan sebagainya (pokok tak bernyawa) dan lagi untuk membayar upah kuli (pokok bernyawa). Pokok yang tak bernyawa dan yang bernyawa itulah yang mendatangkan keuntungan. Pokok yang pertama tiadalah mendatangkan pusing, karena tiap-tiap tahun mudah dikira berapa harganya mesin-mesin yang rusak. Yang mendatangkan pusing ialah mesin bernyawa (si buruh). Seboleh-boleh ia dibayar murah, tetapi kalau terlampau murah tentu ia mati kelaparan dan tidak bisa lagi mendatangangkan keuntungan.
Itulah kesukarannya, yakni mengira banyaknya upah, sehingga kuli jangan mati, dan untungnya jangan kurang.
Bukti yang ternyata bagi kita, tentulah haruslah kuli dibayar murah dan disuruh kerja lama. Makin murah bayaran dan makin lama kerjanya kuli, maka makin besar untungnya di kapitalis.
Kaum proletar yang dalam pabrik itu tidak lain kerjanya melainkan putar-memutar sekerup, dan hampirlah tiada ada perubahannya dari bulan ke tahun. Tiadalah ia boleh memikirkan ini itu, hanyalah menurut perintahnya mesin pada segenap waktu, sehingga bolehlah dikatakan sebagian dari mesin. Berlain sekali kerja seorang kuli pada zaman kapitalisme dengan seorang yang kerja tangan pada zaman dahulu kala. Dahulu si pekerja masih merdeka untuk menentukan kapan ia mesti bekerja, bagaimana ia mau membikin suatu benda dan dengan perkakas apa.
Pendeknya perkakaslah yang berhamba pada si pekerja, bukan sebaliknya. Tiadalah kita akan heran, bahwa mesin zaman sekarang menumpulkan otaknya kaum proletar. Kita lihat bahwa mesin itu sahabat dari si Kapitalis dan musuhnya si buruh. Bukankah disini juga kereta api musuh tukang-tukang kereta, yang ditarik lembu atau kuda dan bukankah pertenunan rakyat di Jawa dan perusahaan tangan yang lain-lain dijatuhkan oleh mesin-mesin dari Eropa? Sungguhpun mesin itu musuh dari kaum Proletar, tetapi kaum Hartawan selalu berikhtiar mencari mesin yang baru, dengan itu bisa mengadakan hasil lebih banyak dan lebih cepat dari pada saingannya (concurrent) sehingga barang-barangnya boleh dijual lebih murah. Lantaran ini, maka dalam persaingan itu banyak pabrik-pabrik yang jatuh, disebabkan oleh pendapatan mesin baru itu (uitvinding). Kejatuhan pabrik-pabrik itu menyebabkan lepasan beratus dan beribu kuli mesin baru tadi, tidak saja memisahkan kuli-kuli yang tak perlu dipakai lagi, tetapi juga menyebabkan Harga barang sangat turun, sehingga gajinya kaum buruh boleh pula diturunkan. Perkara ini sama sekali menambah besarnya kaum yang tidak berharta (proletar).
Oleh karena menjalankan sekerup-sekerup mesin itu adalah enteng, maka pekerjaan ini bolehlah dilakukan oleh anak-anak dan perempuan. Kemasukan manusia yang lemah ini ke dalam pabrik dipukul rata mendatangkan celaka besar atas kaum Proletar. Kanak-kanak atau perempuan itu, niscayalah akan dibayar oleh kaum modal dengan harga lebih murah dari lelaki yang besar-besar. Sebab itulah kaum buruh itu mendapat saingan (concurrent) dari pihak sanak saudaranya sendiri, yang terpaksa keluar dari rumah, utnuk panambahan rezeki hidup. Karena “bapak” saja belum cukup mendapat upah. Tetapi kecelakaan lahir (merendahkan upah) itu belumlah berapa kalau dibandingkan dengan kerusakan kebudayaan.
Mesin-mesin pabrik yang besar-besar itu tiadalah perlu berhenti sejurus juga, untuk mengambil napas, sebab itulah maka dengan sekejab hasilnya itu boleh memenuhi gudang-gudang perniagaan. Lagi pula apabila suatu barang sangat laku diperniagakan maka timbullah berpuluh-puluh pabrik yang mau menghasilkan barang perniagaan yang laku itu, sehingga pada suatu saat, tiba-tiba barang itu melimpah, yaitu melebihi dari pada permintaannya, sehingga harganya juga tiba-tiba rurun. Maka terpaksalah pabrik yang kecil-kecil ditutup (krisis). Hal ini tiap-tiap terjadi dan tiap-tiap kali menyebabkan pemecatan beribu ya berjuta kuli.
Limpahan barang-barang dan kapital itu mengadakan politik jajahan.
Kaum modal di tanah yang mempunyai industri mengerti bahwa barang-barang yang melimpah itu boleh dijualkan dengan harga yang tetap di tanah-tanah Timur, dimana kemesinan dan industrinya sendiri bolehlah dikatakan tidak ada. Lagi pula kapital-kapital itu bisa dijalankan dan dibesar-besarkan karena di Timur ini kekurangan spoor. Sebab itulah berebut-rebut kaum modal dalam perkara mendirikan spoor, yang boleh ditanggung selalu akan mendatangkan keuntungan yang besar. Selainnya dari spoor itu adalah Timur ini penuh dengan hasil-hasil tanah, baik di atas baik di dalamnya. Getah, teh, kopi, gula, dan sebagainya sangat digemari orang di tanah Eropa dan berapa banyaknya pula barang logam yang boleh mendatangkan kekayaan. Barang-barang industri (pabrik-pabrik) dari Eropa ke jajahan dan barang-barang hasil jajahan (grondstoffen dan sebagainya) dari sini ke Eropa atau Amerika, dibawa oleh kapal-kapal, sehingga pengangkutan barang-barang dari Eropa atau Amerika ke Timur ini boleh mengadakan kaum modal transport (kapal kereta). Diringkaskan saja, bahwa mempunyai jajahan itu, bagi sebuah negeri beralasan kapitalisme, adalah hal yang penting sekali.
Kapitalisme dan politik memungut jajahan (imperialisme) adalah sebagai badan dan nyawa, tak boleh bercerai-berai.
Oleh karena tidak satu saja di atas dunia negeri yang beralasan kapitalisme, maka datanglah perlombaan buat merebut jajahan untuk indsutri masing-masing.
Perlombaan itu mengadakan politik luar negeri dengan rahasia, dan mengadakan bala tentara darat dan laut yang menghisap uang tiap tahun berpuluh juta rupiah, dan mendambakan besarnya pajak (pajak) kaum yang terbanyak dalam negeri, yaitu kaum proletar. Politik luar negeri yang rahasia (Geheime diplomatic) beserta dengan perlombaan membesarkan tentara (militerisme), menyebabkan tiba-tiba saja timbul peperangan yang merugikan uang beribu juta dan jiwa manusia, lebih-lebih kaum buruh berpuluh juta.
Dalam politik rampas merampas (imperialisme) itu kaum uang dibantu keras, tidak oleh meriam dan dinamit saja, tetapi juga oleh sekolah-sekolah, surat-surat kabar, ya, gereja-gereja, segala tipu muslihat busuk dan baik dipakai, untuk menambah kuatnya kaum sendiri dan membusukkan kaum pihak musuh.
Buku-buku cerita dalam sekolah, karangan-karangan dalam surat-surat kabar dan agama-agama pun campur menolong kaum modal mempertahankan dan memperbesar “hak milik dua tiga orang Hartawan” dalam negeri yang dalam lembaga apapun juga besar sekali pengaruhnya, lebih-lebih dalam parlemen dan bank-bank.
Dengan ringkasnya di atas tadi, maka kita boleh saksikan, bahwa kemajuan mesin itu mengumpulkan orang beribu-ribu kerja pada sebuah pabrik; menambah banyaknya orang yang tak berharta (kaum proletar); menambah sengsaranya kaum yang tak berharta itu dan membesarkan perbedaan kekayaan dan kesenangan antara yang berharta dengan kaum proletar. Kita lihat pula, bagaimana persaingan (concurentie) dalam perniagaan itu betul mendatangkan pendapat mesin baru (uitvinding) dan keuntungan bagi dua tiga orang, tetapi kerap kali menjatuhkan pabrik-pabrik yang lemah dan saudagar kecil-kecil dan tiap-tiap mendatangkan krisis (harga barang turun) dalam hal-hal mana kaum proletar dilepaskan beribu-ribu. Kelimpahan modal dan barang dagangan, mengadakan politik jajahan, mengadakan tentara laut dan darat dan kesudahannya menyebabkan peperangan, dalam hal-hal mana kaum yang terbesar dan termiskin juga yang terberat menanggung kesengsaraan.
Dalam mencari keuntungan, baik dengan jalan damai maupun dengan jalan peperangan, maka kaum modal itu dibantu oleh undang-undang yang beralasan kapitalisme itu. Sekolah-sekolah pertengahan dan yang tinggi-tinggi cuma bisa dimasuki oleh anak-anak kaum hartawan juga, dan kaum kromo terpaksa disebabkan kemiskinannya segera menarik anaknya dari sekolah, supaya kanak-kanak itu bisa menolong orang tuanya mencari penghidupan. Oleh sebab itu, maka dalam pabrik-pabrik dan kereta-kereta, kaum Kromolah juga yang jadi kaum buruh, sedangkan anak-anak hartawan itu bisa menjadi pemimpin atau bisa memiliki mata pencaharian yang besar-besar (productiemiddelen).
Dalam tentarapun mereka yang keluar dari sekolah rendah itu akan tinggal jadi serdadu saja, dan mestilah menurut perintah opsir-opsir yang tinggi-tinggi, yang asalnya dari kaum modal itu. Parlemen yang penuh dengan biro-biro (kantor) rahasia dan berhubung keras dengan bank-bank pun mempunyai sifat yang bertentangan dengan kaum buruh. Undang-undang ekonomi, pendidikan, pengadilan, tentara dan Parlemen, yang sama sekali dinamai Kapitalisme itulah yang menyebabkan kaum buruh tetap tinggal kaum buruh, tetap tinggal dalam kemiskinan, kelemahan, sedangkan kaum hartawan tetap dalam kekayaan dan keselamatan.
Peraturan kapitalisme ini sama sekali dibantah keras oleh kaum Sosialis, yang menerangkan dengan jelas kemajuan kemesinan, kedatangan peraturan negeri, yang asalnya terdapat pada peraturan hak diri (particulier bezit). Hak diri inilah yang menjatuhkan hasil (pabrik kereta, dan tanah dan sebagainya) ke tangan dua tiga orang dalam negeri. Maka tiadalah akan boleh didapat keadilan dan keselamatan dalam dunia, apabila perkakas mendapatkan hasil itu belum dijatuhkan di tangan orang bekerja.
Sesudah maksud ini dilangsungkan, maka barulah segala peraturan pendidikan, pengadilan dan Soviet (Dewan Rakyat) seperti yang dikehendaki oleh kaum Komunis, lamban laun, bisa mendatangkan keadilan dan keselamatan.

Pasal 2. Parlemen, (kekuasaan Rakyat = Volkssouvereiniteit) memihak pada Kaum Modal.
Rasanya tiada berapa lama kita menyimpang untuk memperhatikan sedikit perlawanan Kapitalisme dan Sosialisme, sekarang kita akan semata-mata menentang kepada Parlemen saja.
Dahulu, ketika kita membicarakan kelahiran, kehidupan dan kemajuan anggota Parlemen itu tiadalah kita sedikit juga mendatangkan kritik. Dengan sengaja sebab maksud kita bukan hendak menyuruh benci lebih dahulu melainkan memberi pertimbangan yang adil. Sebab itulah harus diceritakan Parlemen itu dengan sempurnanya, sehingga tiada bisa orang mengatakan bahwa kita berat sebelah. Dalam hal itu manusia itu bersifat khilaf.
Sebagaimana pada zaman kuno, seorang raja merasa perlu memakai suatu benda yang mengetahui hal ihwal suatu negeri (Dewan) demikianlah adat itu tinggal dipakai dan dilebarkan pula dalam zaman kapitalisme ini. Kemenangan kapitalisme atas feodalisme (zaman mempunyai raja dan raja-raja kecil) disertai oleh kemenangan parlemen atas ”Dewan masa kuno” itu. Perkelahian antara raja dengan kaum Hartawan – yang mau naik itu, membayang pula dalam Parlemen, dimana partai kaum Hartawan menyerang keras pada partainya kaum Bangsawan dan raja.
Kita tahu, bahwa zaman raja itu hidupnya terutama pada zaman pertanian pertukangan, yaitu pada ketika mengadakan produksi itu terutama dengan tangan dan perkakas kuno, berlainan sekali dengan zaman kapitalisme, dimana industri itu mengadakan hasil dengan mesin yang besar-besar. Sebab itulah alatnya memerintah itu (Dewan) begitu gampang kalau kita bandingkan dengan alatnya memerintah zaman sekarang, yakni dengan Parlemen.
Janganlah kita terperdaya (menjadi bingung) kalau kita mendengar bahwa dalam suatu Parlemen itu juga ada wakilnya kaum proletar. Memang ada, tetapi mereka itu sangatlah kecil pengaruhnya atas pemerintahan negeri (menteri = permusyawaratan menteri-menteri).
Kita lihat maupun masa pemerintahan Disraeli (di tanah Inggris), maupun masa Gladstone, tidaklah ada dasar-dasar atas azas-azas pembesar-pembesar itu satu sama lain yang bertentangan betul, sungguhpun yang pertama memimpin partai konservatif (kuno) dan yang lain memimpin Liberal (progresif).
Perceraian kedua itu partai itu tidaklah disebabkan perlawanan Kapital dan upah, atau Kapitalis melawan Proletar, sekali-kali tidak, malah lantaran perbedaan pikiran tentang cepatnya kemajuan negeri, yang berdasar Kapitalisme. Apabila kita baca, bahwa Gladstone memihak pada kaum buruh, maka janganlah hal ini kita artikan bahwa Gladstone itu seorang Sosialis atau Komunis yang mau menukar ”hak diri” – (Particulier bezit) dengan ”hak bersama”. Tidak, melainkan dia membujuk kaum Proletar dengan beberapa hak-hak kecil supaya wakil-wakil kaum buruh yang dalam Parlemen mau menolongnya kalau ia kelak menaikan voorstel, yang tidak pernah berbantahkan dengan keperluannya kaum Modal. Sebaliknya pula, kalau partai liberal tidak cukup memberi umpan, maka kaum buruh tadi larilah pada kaum Konservatif, yang selalu mencari pertolongan dalam perlawanan melawan kaum liberal.
Perlawanan dua partai itu jangan kita sangkakan perlawanan nyawa, melainkan perkelahian murid-murid bersilat dalam suatu guru, ialah pura-pura. Pertentangan yang tiada berapa dalamnya itu tiadalah akan mendatangkan permusuhan yang hebat, kedua partai itu cuma berkelahi pura-pura dalam rumah yang beralasan Kapitalisme.
Dalam pada itupun wakil-wakil kaum Proletar memasuki rumah itu pula dan mencampuri perkelahiannya itu. Sebab itulah ia lupa akan maksud merubuhkan rumah kapitalisme itu, dan ia semata-mata jadi perkakasnya partai-partai kaum modal yang dua tadi juga.
Kita tidak akan menghinakan wakil kaum buruh yang dalam Parlemen itu. Kita ingat juga akan kepintaran, kecakapan dan keberanian dari setengahnya mereka itu. Kita ingat juga akan hak-haknya semacam ”hak initiatief” (membikin voorstel) ”hak Interlellatie” dan sebagainya dan tidak lupa akan kemerdekaan wakil-wakil kaum itu dalam berbicara.
Tetapi kita tahu pula bahwa ”perkataan” itu saja tidak bisa menaklukkan sifat kemodalan itu. Tidaklah bisa kepintaran dan keberanian seorang wakil membatalkan kemauan suatu pemerintah (menteri) yang memihak pada kaum kapitalis.
Kebijakan orang Perancis dalam berpidato sudahlah termasyur dimana-mana. Acapkali, kalau suatu voorstel (pertimbangan dari pemerintah atau menteri) datang, voorstel itu boleh dibatalkan oleh seorang wakil dengan kebijaksanaan. Acap kali wakil itu dapat pujian rahasia dari menteri-menteri negeri. Tetapi, kalau pemungutan suara datang, wakil yang bijaksana itu akan kalah suara juga.
Yang menentukan kalah menangnya, dalam hal pemungutan suara, ialah kuatnya partai, dan partai yang terkuat baik di Eropa, baik di Amerika (yang termasyur demokrasinya itu) ialah partai kaum Modal juga. Inilah yang bisa menaikkan voorstel dengan berhasil. Ia inilah yang sebetulnya memerintah.
Bagaimanapun juga aturannya parlemen itu, konon yang kuat dalam perjuangan ekonomi, itulah juga yang akan berkuasa dalam Parlemen. Gereja-gereja yang dapat bantuan keras dari kaum Modal juga ikut menjalankan tipu muslihat kalau waktu pemilihan wakil-wakil di Parlemen itu datang. Sebagian besar dalam negeri, yakni kaum tani atau buruh masih dengan mudah kena pengaruh kuat pendeta-pendeta, yang memakai senjata-senjata agama. Sering-sering si Kromo diancam dengan ”api neraka” kalau ia berani memilih wakil yang bukan dari partai kaum agama itu. Di pabrik-pabrik, di kereta atau di sekolahpun tiadalah kurang propaganda kaum modal itu.
Surat-surat kabar yang besar-besar, yang hampir sama sekali dijalankan oleh atau kena pengaruh kaum Modal, tiada putus berteriak menyuruh memilih kandidat-kandidatnya, sehingga sungguhpun banyaknya kaum kapitalis sangat kecil, tetapi wakilnya ada kira-kira ¾ (seperti di negeri Belanda).
Lebih-lebih pada suatu negeri, yang belum dewasa Parlemennya, nyata sekali perlawanan satu golongan dengan golongan yang lain, bukan buruh melawan kapitalis saja, tetapi juga kapitalis besar melawan kapitalis kecil.
”Eugen Richter” menceritakan dalam buku peringatannya pada waktu membicarakan voorstel pajak tembakau dalam tahun 1879 di tanah Jerman seperti berikut:
”Wakil-wakil dari daerah perkebunan tembakau (tuan tanah) kecil memvoorstel, supaya tembakaunya jangan diberati pajak tetapi meminta supaya tembakau yang masuk dari negeri asing diberati betul. (Disini kelihatan, bahwa keperluan tuan tanah kecil dengan keperluan saudagar, yang menjualkan tembakau tanah asing itu di tanah jerman, adalah bertentangan). Tetapi wakil-wakil saudagar tembakau asing itu, meminta supaya tembakau masuk jangan di bea-i berat oleh pemerintah, sedangkan wakil-wakil dari tuan-tuan tembakau industri (kapitalis sejati), memvoorstel, supaya maupun tembakau tuan tanah kecil, maupun tembakaunya tuan-tuan saudagar di-bea-i betul-betul. Pengharapan raja-raja tembakau industri itu, tidak lain malah supaya saingannya sama sekali jatuh.”
Tembakau saja sudah mendatangkan begitu huru-hara. Apalagi kalau kaum modal yang lain-lain (besi, tambang, dan sebagainya) masing-masing meneruskan kemauannya. Kutipan sedikit dari ceritera tuan Von Gerlach itu memberi keyakinan bagi kita, bahwa Parlemen itu bayang-bayang perkelahian ekonomi dalam negeri, yakni antara buruh dan kapitalis, Modal kecil melawan Modal besar.
Dahulu sudah kita terangkan, bahwa voorstel, yang biasa dikabulkan, yakni yang datangnya dari pemerintah juga (menteri), yang berhubungan dengan partai yang terkuat dalam Parlemen. Tetapi tiadalah partai itu saja yang mendatangkan kemenangan.
Menteri yang mau membikin voorstel itu haruslah lebih dahulu mencari keterangan yang lanjut.
Maka segala keterangan-keterangan itu boleh didapatnya pada biro-biro, yang penuh dengan ambtenaaar-pejabat yang sudah duduk bertahun-tahun, yang ahli atas berpuluh-puluh undang-undang dan statistik-statistik. Apabila seorang menteri kelak dalam Parlemen berdebat dengan seorang wakil (wakil kaum buruh umpamanya) yang tidak pintar putar memutar undang-undang, tidak tahu atas statistik yang sudah bertahun-tahun itu, tentulah si wakil itu akan dipermainkan saja oleh menteri itu, seperti tikus dipermainakn oleh kucing. Sungguhpun wakil kaum buruh dengan keras dan yakin menyaksikan kesengsaraan si Kromo, yang tempatnya tinggal tidak berdekatan dengan biro-biro yang benar-benar itu, tetapi kekerasan dan keyakinan itu akan mudah dipadamkan oleh angka-angka dari statistik-statistik. Seorang yang menyaksikan dengan mata sendiri bisa dikalahkan oleh seorang yang pandai berhitung, sebab itulah maka keperluan kaum buruh itu kerap kali bertentangan dengan sifatnya pejabat atau biro.
Karena seorang menteri barulah merasa kuat kalau ia sudah dapat bantuan dari biro (di antaranya ada gehsim bareau = rahasia) (acapkali pejabat dari suatu biro ikut menolong menteri kalau ia berdebat), maka beranilah kita memutuskan bahwa sifatnya pemerintah yang berasalan parlementerisme itu birokratis. Apabila kita pikirkan lagi, bahwa biro-biro itu keras perhubungannya dengan Bank-bank (benteng kaum uang), maka tiada akan mendatangkan keheranan bagi kita bahwa sesuatu Parlemen tidak bisa lepas dari pengaruh kaum Modal.
Dahulu sudah kita tuliskan bahwa menurut ilmu Parlementerisme itu maka kekuasaan Rakyat (Volsksouvereniteit) dipindahkan pada Parlemen, dan kekuasaan Parlemen sebagian dipindahkan pada menteri, yang dikepalai oleh seorang Premier (seperti di tanah Inggris).
Kalimat di atas ini banyak celahnya.
Pertama wakil-wakil dalam Parlemen itu dipilih sekali 4 atau 6 tahun. Dalam waktu mereka itu duduk dalam Parlemen tentulah pikiran Rakyat yang memilihnya sudah berubah-ubah.
Juga lantaran wakil-wakil itu tidak campur lagi sama Rakyat, maka tiadalah mereka boleh dikatakan wakil Rakyat lagi, karena seorang wakil itu mestinya semata-mata orang suruhan saja.
Kedua, pemerintahan diceraikan atas ”yang membikin undang-undang” (Parlemen) dan ”Yang menjalankan undang-undang” (menteri). Oleh sebab, seperti diterangkan di atas, menteri itu penuh dengan biro-biro, maka ”pembikin undang-undang” dan ”menjalankan undang-undang” sebenarnya jatuh pada menteri. Sebab perhubungannya biro-biro dalam menteri dengan Bank-bank dan sebagainya maka lantaran itulah suatu negeri yang mempunyai Parlemen (kekuasaan rakyat jangan lupa) mau saja memungut pajak untuk militer darat dan laut, mau saja merampas tanah atau harta orang-orang, mau saja mengijinkan berperang, pendeknya mau saja mengikuti kemauannya kaum Modal, yang tidak kenyang-kenyangnya itu dalam hal mencari keuntungan.
Parlemen atau Soviet?
Tan Malaka (1921)
________________________________________
BAB V
BISAKAH PARLEMEN ITU DIPAKAI UNTUK MENDATANGKAN CITA-CITA SOSIALISME?

Akan menjawab pertanyaan ini dengan sempurna, haruslah lebih dahulu kita ingatkan, bahwa pada masa kita menulis brosur ini, kaum Buruh dengan kaum Modal di tanah Eropa tidak saja lagi bertentangan pikiran, tetapi sudah sampai musuh memusuhi dan berperang-perangan, sungguhpun kaum buruh terbanyak, sungguhpun serangannya hebat, tetapi kaum Modal lebih menahan serangannya tu, terutama lantaran bantuannya Parlemen yang berhubungan dengan balatentara, justisi, dan polisi. Teranglah anggota-anggota ini nyawanya suatu Negara, karena yang dinamai Negara itu oleh kaum Modal, ialah ”suatu kekuasaan pada suatu daerah yang dibatasi”. Kaum Modal dan kaum-kaum intelektualnya (terpelajar) mempunyai keyakinan bahwa dalam suatu Negara haruslah ada kekuasaan, yaitu buat menguasai sebagian besar dari manusia dalam perkumpulan tadi. Itulah tandanya bahwa persaudaraan atau kepercayaan manusia yang hidup dalam Negara zaman kapitalisme ini sama sekali hilang, sehingga apapun juga korban untuk keperluan bersama, pajak umpamanya, korban itu mengadakan pejabat, yang tiap-tiap mesti dibantu oleh justisi atau polisi, atau oleh rumah tahanan. Sedangkan pada zaman kuno, pada zaman familie-Negara umpamanya, seorang kepala dari familie itu tiada lain kekuasannya melainkan budi baik dan perkataan yang lemah-lemah saja.
Oleh karena curi-mencuri dan rampas-merampas itu dalam suatu Negara zaman sekarang terutama merugikan yang kaya-kaya juga, lantaran itulah maka peraturan negeri itu asalnya dari dan gunanya untuk kaum modal juga.
Dalam sejarah kita boleh buktikan, bahwa makin kaya kaum Modal, makin miskin pula kaum Buruh. Lantaran itu pertentangan kedua kaum tadi bertambah-tambah, dan hal ini terbukti pula atas sempurnanya peraturan dan kekuatan justisi, polisi dan rumah tahanan, benda-benda mana familie Negara Minangkabau umpamanya pada 100 tahun yang lalu tiada terdapat, tiada susah lagi kita menahankan arti kalimatnya Karl Marx, yang mengatakan, bahwa ”suatu Negara, yaitu pengakuan dan hasilnya pertentangan yang besar antara dua golongan (Buruh melawan Modal).”
Apabila kita perhatikan pertentangan kapital (pokok) dengan upah, perlawanan si Kapitalis dengan si Buruh, yang tiada akan habis-habisnya selama ada zaman kapitalisme, maka terbitlah dalam pikiran kita pertanyaan yang penting, apa bisakah Parlemen itu dipakai untuk mendatangkan cita-cita Sosialisme?
Berhubung dengan jawabnya, kelak, kita bisa menentukan jalan dan taktik, yaitu pertama jalan, semata-mata mendidik rakyat supaya bisa mengatur negeri ”dengan lekas” (haluan revousioner), atau kedua merebut kursi dalam Parlemen, supaya kaum buruh ”bisa menang suara” (haluan evolusi).
Persoalan itu menyebabkan datangnya beberapa partai di dalam golongan kaum sosialis sendiri, yang terutama ialah partai Sosial Demokrat dan Partai Komunis. (Partai anarkis, juga cabang dari partai Sosialis. Mereka menyangka, kalau tiap-tiap yang berkuasa, dimana bertemu, maka sifat seorang manusia menguasai manusia lain itu akan hilang dari dunia, dan kesudahannya keselamatan dan orde itu akan datang sendirinya saja. Anarkis Rusia, maksud mereka itu sosialisme juga tetapi jalannya mendatangkan tidak dengan organisasi damai). Kaum Sosial-Demokrat ini, sekarang di tanah Jerman, diakui sebagai partai yang memimpin, partai mana dikepalai oleh presiden Ebert: di negeri Belanda namanya SDAP yang dipimpin oleh Troelstra. Partai yang kedua ialah partai Komunis atau Bolshevik namanya di tanah Rusia, yang dipimpin oleh Lenin dan Trotsky.
Perselisihan kedua partai yang terbesar itu teranglah tidak lantaran maksud, karena baik Sosial-Demokrasi maupun Komunisme mau mendatangkan sosialisme (keselamatan). Tetapi daalm hal caranya berjalan dan lamanya berjalan, mereka bertukar paham. Pengarang dan juru berpikir kaum Sosial Demokrat yaitu Karl Kautsky, yang ketika mudanya juga menamai dirinya seorang Marxis, menyangka bahwa kalau lambat laun kaum buruh mendapat kursi terbanyak, maka wakil-wakil kaum buruh itu akan bisa mengalahkan suara kaum modal. Dengan jalan suara itu, maka hak diri (particulier bezit) boleh ditukar dengan hak bersama sehingga segala ”mata pencaharian” (pabrik, tambang, spoor tanah dan sebagainya) jatuh di tangan dan diurus oleh orang banyak.
Tetapi Lenin menyangka bahwa Parlemen yang berhubungan dengan biro-biro, balatentara, Negara, polisi dan justisi dan berhubungan keras dengan Bank-bank, yakni bentengnya kaum modal itu, tiada bisa akan semata-mata menaikkan keperluan rakyat yang terbukti bertentangan dengan keperluan dan sifatnya kaum modal.
Sesungguhnya zaman ini terpenting sekali, kedua partai tersebut tadi sekarang menjadi pemimpin Rakyat. Zaman inilah juga kelak akan menjadi hakim, yang memutuskan siapa yang berpaham betul. Tetapi sampai sekarang belumlah ada kemenangan kaum Buruh Jerman atas kaum Modal. Sebaliknya kaum Bangsawan dan Hartawan, yang pada tahun 1918 menarik diri dari pemerintahan negeri, dan mesti mengaku Ebert jadi presiden Rakyat, sekarang makin lama makin timbul. Pabrik-pabrik, tambang, dan spoor masih tinggal di tangan dua tiga orang dalam negeri.
Bank-bank masih bersimaharajalela seperti dahulu, pendidikan masih mencukupi anaknya kaum modal saja, surat-surat kabar yang besar-besar masih tinggal di tangan dua tiga orang kapitalis, ya, kekuasaan parlemen dan makin lama makin menjadi seperti ketika di bawah pemerintahnya kaisar Wilhelm II. Pengaruhnya kaum Modal sekali-kali tidak kurang, malah bertambah-tambah, dan tiap-tiap ia berusaha supaya kaisar Wilhelm itu dinaikkan kembali dan supaya ”republik” yang sekarang ini diganti dengan ”Kerajaan”. Hal ini tiada boleh dilangsungkan, juga disebabkan oleh lasykarnya kaum Sarekat (Inggris, Perancis, dan lain-lain) yang menjaga supaya kaum-kaum yang membikin peperangan pada tahun 1914 (kaum militeris Jerman) jangan kembali memerintah.
Oleh karena kaum Komunis di tanah Jerman, yang dipimpin oleh Almarhum Liebknicht dan Rosa Luxemburg, sama sekali tiada mau campur memerintah dalam Parlemen kaum modal itu, maupun dengan wakilnya kaum Kapitalis, maupun dengan wakilnya kaum militer, maka kaum komunis itu menjadi bertentangan dengan kaum Sosial-Demokrat. Pertentangan itu menjadikan permusuhan, sehingga kaum Sosial Demokrat alias kaum buruh itu mesti meminta-minta dan menerima pertolongan dari kaum Modal dan Militer. Lama-lama kaum ini bisa merebut kembali kekuasaannya seperti sebelum tahun 1914, sehingga sekarang Parlemen, biro-biro dan sebagainya penuh pula dengan wakilnya kaum Modal serta militer itu, sehingga Presiden Ebert itu cuma tinggal semacam bendera merah, yang terkibar di atas benteng kaum uang saja.
Teranglah sekarang bagi siapapun, bahwa Republik tanah Jerman cuma namanya saja, Republik Rakyat yang sesungguhnya berkuasa ialah kaum modal, dan kita bisa meneruskan keyakinan kita, bahwa Parlemen, yang berhubungan dengan biro-biro, justisi dan balatentara yang bersifat kemodalan itu tiadalah bisa kita pakai untuk menyampaikan cita-cita sosialisme. Sebaliknya pula haruslah kaum Buruh sendiri bikin organisasi, kelak kalau saatnya datang, sanggup mengatur pemerintah, hasil negeri, pengadilan dan pendidikan
Buanglah sama sekali pengharapan, yang disangkakan datang dari sesuatu Parlemen!!

Soviet atau Parlemen?
Tan Malaka (1921)
________________________________________
BAB VI
SOVIET
Sungguhpun kita menaruh keyakinan, bahwa zaman komunisme mesti datang, tetapi tidak sekejap juga kita lupa bahwa kita masih hidup dalam zaman kapitalisme. Sungguhpun kita tidak seperti kaum Sosial- Demokrat mengandung pengharapan atas suatu parlemen, semacam suatu anggota yang bisa menyampaikan maksud kita, tetapi kita bukan utopisten (pemimpi) atau anarkis, yang menyangka bahwa sosialisme itu akan datang saja sesudah segala lembaga-lembaga yang berkuasa dijatuhkan.
Kita tidak lupa, bahwa sifat-sifat manusia yang buruk itu, tidak bisa tiba-tiba hilang sama sekali, begitupun sifat-sifat yang baik itu, tiadalah bisa kita dapat dalam seketika saja. Sejarah pun menyaksikan sudah bahwa kesempurnaan sifat suatu hewan atau manusia itu datangnya sesudah beratus-ratus, ya beribu-ribu tahun. Sengaja kita menceritakan Parlemen dengan jalan historis supaya kita boleh buktikan bahwa Parlemenpun ada mempunyai umur kanak-kanak, dewasa, dan umur ketuaan.
Oleh karena kita tahu, bahwa komunisme itu, yaitu lahirnya dari kapitalisme, sebab itulah kita memandang penting sifat-sifatnya kapitalisme yang mesti kita tambah terus atau disempurnakan itu, tetapi oleh karena peraturan kapitalisme bertentangan dengan keperluan kaum Buruh, karena gunanya ialah untuk mengikatkan hidup keburuhan (proletar), maka terpaksalah si buruh mengambil peraturan lain, yang bertentangan sifatnya dengan peraturan kemodalan tadi.
Berhubungan dengan keterangan di atas, maka kaum komunis membagi perjalanannya atas tiga tingkat.
A. Tingkat yang pertama masih berdiri dalam Kapitalisme.
Artinya itu sebelum datang saatnya itu dimana kaum buruh bisa menjalankan peraturan sendiri, yang bertentangan dengan peraturan Kapitalisme tadi, maka ia mesti bersiap supaya kelak semuanya dilakukan dengan teratur dengan serukun. Dalam zaman Kapitalisme ini ia mesti membangun lembaga-lembaga, yang bersifat Komunsime, yang tidak bisa dimasuki oleh pengaruhnya Kapitalisme.
Dua senjatanya kaum buruh yang terutama kelak akan menyampaikan niatnya yakni serikat buruh dan organisasi politik. Yang pertama kewajibannya mengangkat senjata ekonomi, yang baru bisa tajam, kalau sudah dimasuki politik, yaitu politiknya kaum Buruh sendiri. Kalau sesuatu serikat buruh dicampuri oleh politiknya kaum Sosial Demokrat, yakni kaum yang tidak berani memutuskan perhubungan sama sekali dengan kaum modal, yang meniru-niru taktik atau politiknya kaum Modal itu dalam serikat buruhnya, maka maksudnya kaum Buruh tidak bisa sampai.
Kalau saatnya datang, dimana kaum buruh mesti sendiri mengatur ekonomi, maka pemimpin-pemimpin dari kaum Sosial Demokrat tadi menarik dan menakuti hati kaum buruh. Oleh karena urusan orang dan uang dalam tangannya maka anggota-anggota serikat buruh menyangka pemimpin yang berhaluan Sosial Demokrat itu semacam seorang pejabat, yang mesti diikuti saja, yang tidak mau dicela atau dibantahi. Hasilnya pergerakan serikat buruh semacam itu tiadalah ada cuma untuk tiap-tiap penaikkan gaji dua atau tiga sen, yang menyebabkan harga barang-barang selalu dinaikkan.
Sebab itu haruslah politiknya serikat buruh itu berdasar ”tidak” menaruh kepercayaan, yakni atas keselamatan hidup, dalam negeri berdasar kapitalisme. Meskipun ia tiap-tiap mesti bikin aksi untuk penaikkan gaji, yang kerendahan, tetapi maksudnya yang lebih jauh dan lebih mulia tiadalah boleh dilupakan yakni: ”Kelak akan mengurus ekonomi negeri untuk semua yang kerja”.
Lantaran itu sesuatu serikat buruh mesti selalu mengandung cita-cita yang lebih tinggi dari cita-cita uang saja; ia mesti mengandung politik komunisme. Sudahlah terang bahwa politiknya kaum komunis itu tidak politik damai dengan kaum Modal. Selalu ia berkewajiban, baik dalam parlemen maupun dalam organisasi ataupun dalam Vergadering, memeriksa argumen (sebab-sebab) kaum Modal dalam politiknya terhadap pada kaum buruh. Begitupun ia wajib menjaga supaya kelembekannya kaum Sosial Demokrat jangan merusakkan hati dan keyakinan kaum buruh. Sebab kekerasan itu, dan selalu ia mesti keras, lagi pula lantaran tidak lekas mendapat hasilnya pergerakan, malah selalu dapat nistaan dari pihak manapun, maka partai komunis itu dimana-mana kecil saja.
Tetapi tidak banyaknya anggota yang bisa menyampaikan maksud itu, melainkan isinya tiap-tiap anggota, yakni sifat keberanian, kelurusan dan kepintaran. Ketahuilah, bahwa tingkat yang kedua itu sukar sekali.
B. Tingkat kedua perlu untuk melangkah kepada zaman komunisme, dan untuk membatah sifat-sifat kemodalan.
Tingkat ini dinamai juga ”Diktatornya kaum Proletar”. Artinya itu, pada waktu ini kaum buruh terpaksa mengadakan lembaga dan undang-undang yang bertentangan dengan keperluannya kaum modal. Karena sifat-sifatnya peraturan ekonomi, pendidikan, engadilan, militer, parlementerisme dan sebagainya sama sekali bertentangan dengan keperluannya kaum buruh, maka haruslah dibangunkan pula lembaga-lembaga yang melawan sifat kemodalan dan mengandung bibit sosialisme.
Lembaga kaum buruh itu tentulah tidak bisa dibangunkan dalam zaman kapitalisme, melainkan dalam waktu dimana kekuasaan sama sekali sudah jatuh di tangan kaum buruh. Jatuhnya itu sekali-kali tidak perlu dengan jalan pemberontakan (revolusi) saja. Sedangkan di tanah Rusua, revolusi ketika naiknya kaum Bolshevik itu tiadalah begitu hebat kalau dibandingkan dengan revolusi di tanah Perancis (1789).
Sebenarnya ialah karena ekonominya tanah Rusia lantaran peperangan besar tahun 1914 ini jatuh sendiri. Kaisar Rusia tidak bisa perang terus, sebab uang habis, Rakyat kelaparan, serdadupun kekurangan obat bedil dan senjata. Kerajaan itu dijatuhkan oleh kaum kapitalis di bawah pimpinan Milyukof, dan Republik kemodalan ini dijatuhkan pula oleh kaum Sosial Demokrat yang dipimpin oleh Karenski. Kaum ini tidak bisa memutuskan perhubungan dengan lembaga-lembaga kaum modal sama sekali, dan tidak bisa memberi makanan, rumah-rumah dan pakaian pada Rakyat yang dalam kemelaratan sangat, dan terutama sekali tidak bisa memperhentikan peperangan untuk kaum modal serikat (Inggris, Perancis dsb). Sebab kemelaratan Rakyat bertambah-tambah, maka tibalah saatnya bagi kaum Bolshevik untuk mengatur ekonomi negeri.
Adapun peraturan itu bolehlah kita bagi dua yakni peraturan ekonomi (pabrik, bank, tambang, spoor tanah dan sebagainya) dan peraturan batin, sebagai politik, pengadilan dan pendidikan. Pada tiap-tiap pabrik tambang atau spoor, maka kaum buruh sendiri sudah mengadakan komite di lembaga mana sekarang jatuh kekuasaan. Komite kaum buruh inilah sekarang yang menggatikan majikan, dialah yang memeriksa produksi satu-satu pabrik, yang sekarang dijalankan bukan lagi untuk si Kapitalis, yang tahu diuntung saja, melainkan untuk Rakyat yang bekerja. Dahulunya pemimpin yang terpelajar pada sebuah pabrik (opzichter, bookhouder dan insinyur) kerja untuk meajikan, tetapi sekarang terpaksa disuruh kerja untuk Rakyat. Sungguhpun begitu tiadalah dilupakan yang mereka terpelajar itu mesti mendapat penghidupan yang sempurna. Karena insinyur, bokkhouder atau opzichter itu asalnya dari kaum kapitalis, maka tiadalah ia menyetujui haluan kaum Bolshevik. Dengan bermacam-macam muslihat, (sabotase) ia berdaya upaya supaya produksi pabrik menjadi kurang supaya peraturan Bolshevik boleh dibilang salah.
Tentulah sabotase itu mudah dilakukannya, karena ia pintar.
Teranglah hal ini mendatangkan permusuhan dengan kaum buruh yang kerap kali mendatangkan paksaan yang lebih besar.
Berulang-ulang kita sudah bicarakan, bahwa Bank itu pada masa sekarang besar sekali pengaruhnya. Di mana-mana ia meminjamkan uang sama satu pabrik atau perusahaan kebun, sehingga industri sesuatu negeri biasanya takluk pada Bank itu. Pun di Rusia kelihatan kekuasaannya. Pabrik-pabrik yang sudah jatuh di tangan kaum buruh tiada akan dipinjami uang lagi oleh tuan bank, kalau masih diadakan kontrolnya kaum Bolshevik. Lantaran ini, maka sesuatu pabrik niscaya mesti ditutup atau dihapuskan kaum buruh, supaya si Kapitalis bersimaharajalela kembali seperti dahulu kala.
Tanah-tanahpun banyak jatuh di tangan atau pengaruhnya Bank. Barangsiapa meminjam uang, maka bank itu meminta jaminan, sehingga dengan jalan ini banyak tanah dimilikinya. Sungguhpun serdadu-serdadu yang lari atau pulang dari medan peperangan dan Rakyat dalam kelaparan, tetapi hasil tanah-tanah itu masih diperniagakan oleh spekulator bank sehingga harga-harganya makin lama makin naik.
Dalam pemerintahan pun kelihatan pengaruhnya. Sosial Demokrat Kerenski sudah bisa membikin undang-undang untuk mendirikan rumah-rumah atau memberi makan dengan harga murah pada Rakyat yang dalam kemelaratan tadi. Tetapi semua tidak bisa dijalankan sebab menteri keuangan menjalankan sabotase (halang-halangan) dengan biro-bironya. Apabila menteri itu dipecat, maka ia dapat pertolongan besar dari Bank.
Bukankah terang perhubungan Bank dengan Pemerintah Negeri? Pengaruh Bank yang begitu besar yang bisa merusakkan daya upayanya kaum buruh barulah bisa dihapuskan sesudah bank itu dijadikan Bank Rakyat dan uang-uangnya dijalankan untuk keperluan Rakyat.
Dahulunya perniagaan itu dijalankan untuk mencari keuntungan bagi dua tiga orang dalam negeri. Kalau barang banyak, maka harganya jatuh. Sebab itulah barang itu ditahan-tahan oleh orang yang bermodal besar supaya ia bisa mendapat untung berlipat ganda. Sekarang perniagaan itu dalam negeri dihilangkan sehingga harga turun naik itu pada hal mana Rakyat juga yang dapat celaka, hilang pula. Perniagaan cuma terjadi dengan negeri luaran, yaitu dalam barang-barang yang perlu dipakai dalam pabrik. Dan yang tidak didapat di tanah Rusia.
Demikianlah ringkasnya peraturan ekonomi yang dilakukan oleh kaum Bolshevik, yaitu menjatuhkan segala perkakas mengadakan hasil (tanah, tambang, pabrik dsb) atas tangan Rakyat atau wakilnya sendiri. Segala politiknya, berasal dari peraturan itu juga, yaitu menjaga, supaya kaum Modal dalam negeri dan musuh di luar negeri jangan merusakkan peraturan itu baik lahir (dengan jalan berperang) maupun batin (sabotase). Demikianlah lahirnya peraturan Soviet, yang bukan baru atau buah pikiran saja, melainkan pendapatan Rakyat sendiri dalam pergerakannya. Peraturan Soviet itu sudah dilakukan juga pada tahun 1870 (di tanah Perancis), sungguhpun tidak bisa berdiri beberapa lama, sifat-sifat Soviet itu bertentangan dengan sifat-sifat Parlemen.
Seperti Parlemen mempunyai sifat untuk mengekalkan si Buruh, demikianlah sifat Soviet itu untuk menghilangkan kemodalan. Seperti wakil dalam Parlemen terutama mewakili harta benda, begitulah Soviet itu mewakili Rakyat dan datangnya wakil bukan dari atas melainkan dari Rakyat sendiri.
Yang terutama sekali harus dihilangkan sifat birokratis itu. Sebab itulah, maka wakil itu tidak mesti membikin undang-undang saja (Parlemen), tetapi haruslah membikin dan menjalankan undang-undang sama sekali. Seperti dalam suatu Kongres, maka yang memvoorstel itulah pula yang biasanya menjalankan. Bukanlah seperti dalam negeri beralasan Parlementerisme, yang membikin undang-undang itu dipisahkan dengan yang menjalankan, sehingga biro-birolah yang berkuasa. Lagi pula, haruslah wakil yang tiada sanggup atau kelihatan tidak sanggup, atau curang, dalam segenap waktu boleh dipecatkan.
Sebab itu, waktu memilih itu jangan sekali dalam 3 atau 6 tahun umpamanya. Dengan jalan ini, wakil itu bisa sekali campur dengan Rakyat dan Rakyat selalu bisa memeriksa pekerjaannya, dan tiadalah sempat ia menjadi pejabat yang percaya sama laporan-laporan saja, sehingga ia menjadi bertentangan dengan Rakyat.
Peraturan Soviet itu, tiadalah sukar melukiskan:

Keterangan:
Sebuah negeri ada mempunyai desa-desa, yang biasanya menghasilkan padi atau gandum, dan kota-kota, dimana terkumpul pabrik bermacam-macam barang dan spoor. Di desa tinggal pak tani, dan di kota tinggal kaum buruh.
Sekarang tiap-tiap desa haruslah mengadakan Soviet sendiri. Anggotanya dipilih oleh desa itu dengan ”hak pilihan” yang cukup. Anggota-anggota itu sering-sering dikirim ke kota untuk membicarakan ini itu. Umpamanya berapa ia harus mengadakan gandum, supaya kelebihan gandumnya itu boleh ditukarkan dengan barang-barang pabrik (barang-barang besi, minyak tanah, kertas dan sebagainya).
Di kota bolehlah ia bertemu dengan wakil-wakil desa lain, dan wakil-wakil buruh kota itu sendiri. Pendeknya wakil-wakil desa A, B, dan C seringkali datang menghardiri Kongres di Kota D (Lihat Gambar). Kembali dari Kongres ia menceritakan pendapatnya pada kaum tani di desanya, dan sesudahnya ”vergadering Desa” ia turut campur kerja bertani dan campur bergaul-gaul seperti orang bersaudara.
Di kota pun sendiri sering-sering diadakan kongres untuk kaum buruh pabrik atau spoor pada seluruh kota itu. Perkara wakil-wakil adalah seperti dalam Kongres juga dan sesudah Kongres, maka kaum buruh tadi kembali di pabrik dan sebagainya.
Oleh karena satu daerah (distrik) berbeda keperluan dan hasilnya dengan daerah lain dan juga untuk mempersatukan seluruh negeri, maka perlu diadakan kongres negeri pada ibu kota. Di sana berkumpul wakil-wakil dari segala kota-kota. Di sana dibicarakan pertukaran hasil suatu kota dengan kota yang lain, di sana dibicarakan politik umum.
Di tanah Rusia Soviet negeri itu mempunyai 2500 wakil. Inilah anggota pengganti Parlemen pada zaman Kapitalisme. ”Soviet Negeri” ini membikin kongres 2 kali satu tahun. Di antara wakil-wakil itu juga dipilih untuk menjalankan undang-undang, yang sudah ditetapkan dalam kongres tadi. Jadi pekerjaannya hampir sama dengan ”Dagelijksech Bestuur” pada suatu Vereeniging. Dia kerja sampai kongres dimuka.
Sesudah kaum Bolshevik berkuasa sendiri, maka barulah ia dapat mengadakan ”Pengadilan” yang berdasar lain daripada pengadilan zaman kapitalisme. Oleh karena dalam zaman kapitalisme, hakim-hakim itu asalnya dari kaum uang juga, dan didikannya kemodalan, maka tiadalah kita heran kalau perasaannya bertentangan dengan perasaan kaum buruh.
Lagipula yang miskin dalam negeri tiadalah mampu membayar hakim yang pintar, sehingga dalam perlawanannya dengan kaum modal tentu akan kalah saja. Bagaimana pengaruhnya uang kita boleh ingat perkara Caillieux di tanah Perancis kira-kira 1914. Sungguhpun isterinya membunuh seorang redaktur, yang ternama pandai, tetapi kecerdikan hakim mempertahankan istrinya itu bisa membebaskan dia sama sekali. Misal itu kita boleh tambah dengan seberapa saja. Kita boleh pastikan bahwa yang kaya atau kuasa dalam negeri itu kerap kali bisa dapat bebas, sedangkan si buruh yang mencuri barang sedikit saja sebab kelaparan hampir selalu kena hukuman. Sungguhpun suatu ”teori hukum dan hakim” (dalam cita-cita) ada sempurna, tetapi karena peraturan Kapitalisme, maka yang miskin dan bodoh itu juga yang kena timpa.
Kita yakin, yang Rakyat sama sekali bisa pandai sendiri menimbang apa yang dinamai adil dan apa yang tidak. Kalau pengadilan itu sebelah-sebelahnya dijadikan umum, dan artinya umum itu, yaitu kalau siapapun boleh turut bicara mempertahankan diri atau dirinya orang lain, niscaya perasaan Rakyat akan bertambah-tambah. Begitu juga keberanian dan kepintarannya berbicara. Hal ini bolehlah disaksikan dengan sejarah juga.
Di minangkabau, dimana famili Negara itu kira-kira 100 tahun lalu berdasar demokrasi, tiap-tiap orang tahu undang-undang, dan tahu menjalankan undang-undang. Pada masa itu baik laki-laki, baik perempuan, ya kanak-kanak gemar bicara gemar mengunjungi suatu perkara (rechtszaak) dimana tiap-tiap orang merdeka berbicara. Seorang yang paling miskin pun boleh menuduh, boleh menjadi saksi.
Pengadilan pada ”masa adat” itu adalah umum sekali, dan termasuk sekali pada hati dan pikiran seluruh Rakyat Minangkabau. Beberapapun sukarnya perkara, selalu ia dilakukan Rakyat sendiri. Tetapi sesudah ”Pengadilan Rakyat” itu diganti dengan anggota ”Pengadilan Pemerintah zaman sekarang”, maka segala pengetahuan Rakyat dalam hal undang-undang itu hampir sama sekali hilang, begitu juga kepandaian dan bijak berbicara. Sisa peraturan yang kuno itu sekarang di Mingangkabau masih didapat pada orang-orang tua baik laki-laki, baik perempuan; mereka masih kenal adat dan undang-undang di luar kepala.
Daya upaya kaum Bolshevik, juga hendak membangunkan Pengadilan Rakyat. Sungguhpun cita-citanya itu tidak besok atau lusa boleh didapat, tetapi peraturannya sekarang lambat laun bisa menaikkan dan menyempurnakan persamaan keadilan seluruh Rakyat. Maka cara-caranya pengadilan kaum Buruh Rusia hampir seperti di Minangkabau juga. Segala Rakyat dalam satu pergaulan, baik di desa baik di pabrik turut campur, dan putusannya jatuh pada vergadering juga. Kalau mereka yang hadir tidak tahu jalan, barulah di tolong hakim-hakim yang terpelajar. Tentulah maksudnya akan menghilangkan hukuman yang menghinakan, karena hukuman yang berat bagi seorang manusia ialah peringatannya (kesadaran) sendiri. Bahwa segala teman-temannya melihat dia seperti orang bersalah. Malu itu lebih berat dari ”tutupan” atau ”perantaian” (sungguhpun dulu di Minangkabau seorang pembunuh boleh didenda saja. Tetapi pembunuh adalah jarang sekali. Perkara-perkara biasanya tidak disebabkan oleh curi-mencuri).
Juga perkara pendidikan tiadalah disia-siakan. Pendidikan pada zaman kaum Modal, yang mengekalkan kemodalan juga, ditukar dengan didikan yang betul-betul mendidik segala Rakyat. Barang siapa pandai dalam suatu hal, maka kepandaian itu akan diteruskan. Umpamanya seorang anak kaum buruh pabrik yang pintar berhitung dan suka pada mesin-mesin akan diajar menjadi insinyur. Sebaliknya pula, meskipun ia anak seorang majikan atau pembesar negeri, tetapi, kalau ia menjadi kaum buruh pabrik saja, atau menjadi pengarang atau yang lain-lain, yang semuanya perlu dalam sesuatu pergaulan hidup. Dengan jalan semacam itu, maka tiap-tiap orang ditaruh pada tempatnya sendiri, sehingga tiap-tiap orang gemar kerja, dan lantaran ini orang kerja dengan sekehendak hatinya, juga sebab ia dapat didikan yang cukup. Apalagi kalau kesehatannya dijaga, tentulah ia tiada bisa malas, sehingga ekonomi negeri boleh berlipat ganda dari sekarang.
Pada zaman kapitalisme, anak si kaya itu, meskipun otak tiada jalan (encer), tetapi ia mau mesti ke sekolah tinggi juga. Kesudahannya ia menjadi insinyur dan sebagainya yang kurang cakap dan kurang rajin, sedangkan anak kromo, tinggal kromo juga, meskipun seribu kali encer otaknya. Sebab itulah hasil negeri zaman Kapitalisme tidak bisa menyamai hasil negeri zaman Komunisme.
Lagi pula anak-anak dalam didikan Komunisme itu tiadalah sehari-hari diajarkan pekerjaan otak saja, sehingga otaknya jadi lembek, dan ia jadi benci pada pekerjaan tangan. Inilah juga kecelakaan didikan zaman kapitalisme. Pendidikan yang tinggi-tinggi itu, dimana kerja tangan tidak diindahkan, sudah mengandung bibit kemodalan, yakni membenci pada pekerjaan, yang tidak dijalankan dengan otak saja. Pemuda-pemuda keluaran sekolah, menyangka 10 kali lebih baik dari magang (klerk) daripada jadi tani atau tukang kayu. Pada sebuah sekolah berdasar Komunisme, segala anak-anak dicampurkan, tidak memandang asal. Lagi pula pekerjaan otak (sekolah) dicampur dengan kerja tangan (yang memang mesti dengan otak juga). Barang siapa pintar dalam suatu bidang, berhitung umpamanya, maka anak itulah yang dididik betul-betul dalam hal berhitung. Pendeknya maksud pendidikan itu bukan untuk menetapkan kemodalan untuk satu pihak dan keburuhan untuk pihak yang miskin, melainkan untuk mengeluarkan segala yang mulia yang tersembunyi pada tiap-tiap manusia, dan untuk menyenangkan pergaulan hidup.
Segala peraturan ekonomi, (tambang, pabrik, spoor dan sebagainya) Soviet, pengadilan dan Pendidikan kita ambil ringkasan saja, sungguhpun kita tahu, bahwa percobaan kaum Bolshevik ada penuh dengan kepandaian dan sifat-sifat yang bisa menambah pengetahuan. Maksud kita yang terutama untuk menceritakan bahwa sesudah Soviet berdiri (yakni anggotanya memerintah buat kaum buruh), maka Soviet maupun peraturan yang lain-lain itu gunanya untuk:
1. Penjaga supaya kaum Modal berpengaruh besar itu jangan bangun kembali.
2. Pelawan musuh baik dari dalam baik dari luar.
3. Penanam bibit Komunisme.
Zaman yang mengandung ketiga daya-upaya ini dinamai ”Ditaktornya kaum Proletar”, dalam zaman mana kaum buruh menghilangkan segala sifat kemodalan. Bukanlah zaman ini zaman komunisme, karena manusianya sama sekali masih baru datang dari neraka kemodalan. Zaman ini perlu datang sebelum tingkat yang ketiga datang.
C. Tingkat yang ketiga yakni zaman Komunisme atau Sosialisme, dimana tiap-tiap orang kerja sekuatnya dan mendapat hasil dengan secukupnya.
Kita bukan kaum utopis yang berseru-seru saja dalam doa supaya komunisme itu datang. Kita yakin bahwa keselamatan dan kesempurnaan manusia itu datangnya mesti dengan daya upaya juga. Sebab itulah maka ”Diktatornya kaum Proletar” itu diadakan. Dalam pergaulan ini orang boleh berusaha mencapai yang kita maksud lebih tinggi.

Segala hasil pekerjaan yang baik bisa melaksanakan kita sampai dan kesalahan kita boleh menjadi pengajaran.
Oleh karena baru keluar dari Neraka Kapitalisme dan tiap-tiap kita dalam zaman kediktatoran mengadakan undang-undang untuk sementara, yakni: ”Barang siapa tidak bekerja, tiadalah dapat makanan” bukanlah undang-undangnya Komunisme sejati. Dalamnya ada terlintas sedikit paksaan, yakni atas orang yang malas. Sebenarnya kemalasan itu tiadalah sama sekali sifat seorang manusia, malah berhubung juga dengan sifat-sifat kemodalan dan berhubung juga dengan kesehatan badan atau dengan didikan yang diterima pada masa kecil.
Pada zaman Kapitalisme, tidak bisa seorang Proletar cinta pada pekerjaannya, maupun pada majikannya, karena sebagian besar dari pada hasil yang diadakannya dimiliki oleh yang mempunyai modal. Lagi pula hampir tiap-tiap si Buruh terpaksa mengambil sembarang pekerjaan saja, yang bisa memberi sesuap nasi dan sepotong kain, karena ia tiada mempunyai perkakas mengandalkan hasil lagi seperti zaman kuno (tani) (Pada zaman tani orang masih mempunyai tanah dan cangkul sendiri, Pada zaman Kapitalisme sama sekali pabrik dan mesin kepunyaan kaum Modal). Makin lanjut umurnya Kapitalisme, makin kurang banyaknya orang yang mempunyai harta, makin keras kemelaratan, dan makin besar ”hak milik” seorang yang bermodal besar. Berhubung dengan hal-hal ini, maka hampir tiap-tiap orang dalam negeri berdasarkan kemodalan kerja untuk mencari upah atau untung saja. Sebab itulah maka ”zaman Diktatornya kaum Proletar” sementara mesti memakai undang-undang yang tersebut di atas.
Undang-undang yang lain yang juga sementara mesti dilakukan, yakni: ”Bayaran yang sama buat pekerjaan yang sama”.
Ditilik dengan cermin kemodalan, undang-undang ini tiada ada cacatnya, karena memanglah 2 orang yang sama banyak mengadakan hasil, mesti sama mendapat bayaran. Tetapi kalau kita pikirkan dalam-dalam, maka kehasilan yang sama banyak itu hampir tiada pernah didapat dengan tenaga atau daya upaya yang sama berat. Seorang yang kuat dan pintar tentulah dengan segera bisa mengadakan hasil itu sedangkan si bodoh dan lemah, meskipun ia rajin, lama dan sukar sekali bisa mendatangkan hasil yang sebanyak itu juga. Jikalau kedua pekerja tadi dibayar sama banyak, bukankah pembayaran itu memberatkan pihak yang lemah-lemah?
Menurut dasar Komunisme juga tiada ada halangan kalau yang kuat itu umpamanya mendapat makanan yang tidak sama banyak dengan seorang kecil dan lemah, karena memanglah badannya yang kuat itu juga mempunyai keperluan yang lebih. Kalau kita ingatkan lagi bahwa satu manusia dengan manusia lain berbeda perasaan dan keperluannya lahir dan batin, maka tiadalah sukar bagi kita akan mengambil misal-misal untuk membuktikan bahwa undang-undang yang kedua tadi memang belum sempurna. Seperti undang-undang yang pertama tadi, kita terpaksa memakainya, ialah disebabkan oleh sifat-sifat yang kita peroleh lantaran kemodalan, yang dibelakang kita juga.
Undang-undang yang nyata mengandung bibit Komunisme dalam ”zaman Dikator” ialah ”Satu buat semua dan semua buat satu”. Sesudah perkakas mengadakan hasil jatuh di tangan Rakyat, maka undang-undang ini betul-betul dilakukan. Dalam Pabrik, tambang atau pun pertanian (Kommune) maka undang-undang ini dijadikan dasar. Yang jelas buahnya tentulah dalam pendidikan (didikan). Anak-anak yang hidup dalam Kommune itu tentulah lebih mudah dihinggapi sifat-sifat yang mulia, lebih mudah dari orang yang sudah dewasa yang sudah sama sekali dirusakkan oleh kemodalan. Seperti sudah kita ceritakan, maka maksud pendidikan itu untuk kerukunan kerja otak dengan kerja tangan, untuk menghilangkan persangkaan bahwa bekerja itu membuat mencari upah atau untung saja. Pada anak-anak yang dijaga betul-betul kesehatannya, dan sifat itu tentu akan mudah hinggap kegemaran kerja, yakni bekerja sebab badan kita mau, dan untuk bersama. Sebab itulah, maka Komunisme yang betul-betul itu datangnya baru sesudah satu atau dua keturunan. Kelak tiap-tiap desa atau pergaulan akan cukup mempunyai kesenian (lagu, gambar, karangan, buku-buku dan syair) dan ilmu-ilmu, yang sama sekali menambahkan perasaan halus manusia.
Sama sekali kelak harta buah perasan atau pikiran itu bukan mencari untung bagi satu atau dua orang, melainkan untuk menyenangkan pergaulan hidup.
Sebagaimana partai politiknya kaum komunis dalam zaman Diktator memegang kekuasaan negeri, begitulah juga serikat buruh memegang ekonomi. Jalan mewakili seperti dalam Soviet juga yakni dari bawah ke atas dan dilakukan oleh si pekerja atau kepercayaannya. Supaya segala cabang Industri (pabrik kain, pabrik besi, pabrik kulit dan lain-lain) jangan berpisah-pisahan, jadi supaya segala cabang-cabang merasa satu keperluan segenap Rusia, maka tiap-tiap cabang itu mengirim wakil ke Moskow.
Disana duduk wakil-wakil dari sekalian serikat buruh, seperti wakil-wakil yang terkumpul pada Pusat Kontrol dalam zaman Kapitalisme juga. Dia berhak masing-masing dengan mufakatnya wakil lain-lain industri akan menentukan upah dan lamanya kerja.
Oleh karena beratnya kerja dan juga harganya tiap-tiap macam hasil barang, besi, sepatu berlain-lainan, tentulah juga lama kerja dan upahnya untuk bermacam-macam si pekerja itu dilain-lainkan pula.
Buktinya, seorang yang kerja pada sebuah tambang (di bawah tanah) tentulah dilainkan upah dan lamanya kerja dengan pekerja dalam pabrik sepatu umpamanya. Perkara lama kerja, upah liburan, obat mengobat (geneeskundige behandeling) dirembuk ditetapkan oleh kaum pekerja sendiri dalam Pusat Kontrol tadi dan tiadalah ia dalam hal itu bisa ditindas-tindas lagi.
Supaya hasil yang bermacam-macam itu (pakaian, mesin-mesin, makanan dan sebagainya) jangan kekurangan atau kelimpahan, maka mestilah pula diadakan satu lembaga yang bisa menentukan berapa tiap-tiap cabang industri mesti mengadakan hasil. Kalau sampai hasil pakaian kelimpahan, tetapi mesin-mesin misalnya untuk seluruh Rusia kekurangan, maka haruslah pabrik-pabrik pakaian sementara ditutup, dan pabrik-pabrik mesin ditambah. Pendeknya mesti ada pimpinan pusat. Pusatnya itu didapat pada anggota yang boleh dinamakan Dewan Ekonomi. Dalam Dewan ini duduk wakilnya si pekerja Industri dan tani dan duduk juga orang-orang pandai hal ekonomi dan mesin-mesin. Dewan Ekonomi, tiadalah perkakas pemerintah, melainkan untuk menentukan hasil, untuk membeli barang-barang dari luar negeri (karet, besi dsb), membagikan barang-barang itu di pabrik-pabrik di Rusia, mengumpulkan hasil-hasil segala pabrik di Rusia dan membagikan hasil itu pada tiap-tiap kota atau desa. Bagaimana kerja dalam pabrik, seperti upah, dan lama kerja seboleh-bolehnya dipulangkan pada kaum pekerja sendiri, yang mempunyai anggota seperti Pusat Kontrol tadi. Dengan jalan ini dihindarkan penindasan atas kaum pekerja, dan faedahnya Dewan Ekonomi tadi terutama buat mempersatukan cara serta banyaknya produksi untuk segenap Rakyat.
Menilik kepala karangan kita, dan nama Bab ini (Soviet), maka orang bisa menyangka bahwa kita menyimpang dari peraturan yang mau kita bicarakan, karena sedikit saja kita menyebutkan nama-nama Soviet. Supaya hal ini jangan bisa mendatangkan ragu, maka kita merasa perlu memberi keterangan yang bisa menghilangkan keraguan itu.
Pertama sifat Soviet itu tidak terdapat pada anggota pemerintah saja, baik dalam desa, pabrik, kota ataupun negeri, tetapi dasar ”satu untuk semua, dan semua untuk satu” itu juga ditanam pada Pusat Kontrol, pendidikan dan sebagainya yang sama sekali gunanya untuk pendatangkan Komunisme. Begitulah juga dasar-dasar yang lain, seperti mewakili sepanjang kaum pekerja (Industriele vergenwoordiring) ”Kekuasaan Rakyat” terdapat dalam sekalian anggota-anggotanya zaman Diktator.
Kedua, umur Soviet di Rusia baru dua atau tiga tahun, adalah muda sekali kalau dibandingkan dengan umur Parlemen yang sudah beratus-ratus tahun (tanah Inggris). Segala hak-hak (pilih-memilih, hak initiatief, interpellatie dan sebagainya) sesuatu Parlemen, yang juga dipakai dalam ”vereeniging” biasa, yang juga menjadi Haknya sesuatu Soviet, tentulah tidak perlu kita ceritakan lagi panjang lebar. Sebab itulah cukup mudah kalau disebutkan saja sifat-sifat yang terutama bertentangan.
Pertentangan maksud yang mesti kita ingat antara Soviet (sebagai anggota pemerintah) dengan Parlemen, yakni: Suatu Parlemen gunanya untuk mengekalkan keburukan dan kapitalisme, tetapi Soviet perkakas sementara untuk menghilangkan kemodalan dan mendatangkan Sosialisme.
Dua sifat Soviet itu, (yakni ”penghilangan kemodalan dan menanam bibit Sosialisme), jangan kita lupakan! Apabila lembaga-lembaga ekonomi, pendidikan dan pengadilan kelak menjadi sempurna, maka Soviet itu akan hilang, atau dihilangkan. Dalam hal in zaman Diktator berganti dengan zaman Komunisme sejati (Sosialisme). Zaman Komunisme sejati (tingkat no.3) yang sama (cocok) dengan Sosialisme itu, boleh kita gambarkan dengan keadaan pergaulan hidup, yang berdasar: Tiap-tiap orang kerja sekuatnya dan mendapat hasil secukupnya. (Artinya seorang yang sehat, yang kena didikan sempurna, dan mengerjakan pekerjaan yang disukainya, bisa rajin. Inilah namanya kemerdekaan, karena kerja itu bukan paksaan lagi, melainkan menurut sifat manusia. Lagi pula tiap-tiap orang akan dapat rezeki cukup karena hasil negeri akan bertambah-tambah). Jadi maksud Komunisme itu, sama dengan maksud Sosialisme, tetapi sedangkan Sosialisme mempunyai bermacam-macam jalan (yakni kaum Sosial-Demokrat dengan jalan Parlemen, kaum Anarkis dengan bom dan dinamit), maka Komunisme menetapkan jalan dari 3 tingkat-tingkat, yang sudah kita terangkan. Ringkasnya: Arti kata Sosialisme itu ada lebih umum dan lebar dari perkataan Komunisme, dan sebab umumnya itu mudah mendatangkan keliru.
Berapa lamanya zaman Diktator dan berhubung dengan itu, berapa lamanya Soviet mesti dipakai, tiadalah bisa kita tentukan. Meskipun lembaga-lembaga ekonomi, pendidikan ada sempurna, tetapi kalau kaum Modal dalam dan luar negeri yang berpengaruh begitu besar, lagi bisa menipu-nipu Rakyat dan bisa menghalang-halangi daya upaya kaum Komunis, tentulah perdamaian masih jauh. Kita melihat bahwa kaum Modal di Rusia tidak saja mengadakan sabotase dan pemberontakan dalam negeri tetapi bisa memanggil pertolongan dari negeri-negeri luar yang berdasar kemodalan. Berapa sudah tentara yang dikirim oleh kemodalan dunia untuk menjatuhkan kaum Bolshevik. Berikut-ikut tentara-tentara itu ditewaskan, meskipun Rusia kelaparan, kekurangan obat bedil dan senjata, sedangkan tentara-tentara kaum yang berkecukupan serdadu, senjata dan makan. Bagi kita kaum Komunis kemenangan atas musuh yang berlipat ganda besar dan kayanya itu adalah suatu bukti bahwa peraturan Soviet betul kukuh dan betul senyawa dengan Rakyat. Tetapi sebaliknya kita tidak lupa yang Rusia sendiri tentu tidak akan bisa melawan terus musuh yang beratus kali kuat itu. Negeri-negeri lain di Eropa juga mesti mempunyai Soviet, yakni Diktatornya kaum Proletar. Barulah boleh serdadu-serdadu yang berhaluan komunis itu menukar senapan dengan perkakas pengadaan hasil.
Barulah bisa segala lembaga-lembaga ekonomi hidup dengan sempurna. Tetapi seperti sekarang ini semua kaum Komunis yang berani, lurus dan yakin, mesti saban-saban tampil di medan peperangan, mesti saban-saban menahan pelor meriamnya kaum modal.

Parlemen atau Soviet?
Tan Malaka (1921)
________________________________________
BAB VII
PENGHABISAN

Sepanjang persangkaan kita sendiri, cukuplah rasanya kita memperlihatkan sifat, asal dan lembaga-lembaga Barat, yang salah satunya mesti kita pilih, kalau kita mendapat kemerdekaan buat mengatur negeri sendiri. Sebagai seorang berhaluan Komunis, tentulah kita tidak mendoa hati lagi akan keburukan Parlemen dan kebaikannya Soviet, seperti juga kita tidak mendua hati akan kebusukannya kapitalisme dan perlunya datang Komunisme. Bagi kita buruk baiknya itu tiadalah bergantung pada kalau menangnya Soviet –Rusia. Kalau negeri-negeri beralasan Kapitalisme, yang di luar Rusia (Jerman, Inggris, Jepang, Amerika dan sebagainya) belum bisa melawan musuh kemodalan itu, atau masih tertipu oleh taktiknya kaum Sosial Demokrat, maka adalah lagi sifat kemodalan yang mesti akan membuka mata kaum Buruh seluruh dunia, dan memaksa dia menuju berjalan ke padang Komunisme.
Sifat Imperialisme, yakni nyawanya kemodalan, akan segera kembali menimbulkan peperangan, dan akhirnya sifatnya itu juga akan meracun dirinya sendiri.
Bahwasanya, maka sejarah dunia ini sudah menyaksikan, bahwa sesuatu benda yang mengandung kebenaran itu mesti akan timbul, berapapun juga halangan dan musuhnya, berapapun juga propagandanya kaum Bolshevik pada masa Tsar memerintah dihalangi, berapapun sengsaranya yang ditanggung oleh Lenin dan Trotsky sendiri tetapi konon cita-cita yang suci itu mesti akan memancarkan cahayanya. Lupakah kita sengsara nista dan maki yang ditanggung oleh Nabi Muhammad dalam 10 tahun itu, ialah sebelum ia berpindah ke Madinah? Lupakah kita, bahwa 2000 tahun dahulu, kebenaran dalam agama Nasrani mesti dibayar oleh Nabi Isa dengan darah dan nyawanya? Bukankah kaum segala nabi-nabi yang lain, sama sekali dalam awalnya kecil, dan baru sesudah sepuluh, ya, sampai beratus tahun maka berarti? Sebab bukti-bukti dunia kita sendiri itulah, maka Komunis atau tidaknya kita ini, bukan bergantung pada kalah atau menangnya kaum kita yang sedikit di tanah Rusia itu.
Lagi pula kaum Modal, yang dengan surat-surat kabarnya tak putus membusuk-busukan kaum Komunis di Rusia, boleh membaca sejarahnya sendiri. Lebih kurang 60 tahun dia mesti berperang, sampai baru bisa mengalahkan partai raja dengan bangsawannya. Kekuasaan Monarki (memerintah dengan raja dan Ningrat) mulai dibongkar oleh kaum modal pada tahun 1789 pertama di negeri Perancis. Pemberontakan itu begitu besar artinya, sehingga tahun 1789 itu dinamai batasnya sejarah yang baru. Negeri-negeri yang lain di tanah Eropa (Jerman, Inggris, dan lain-lain) juga mengambil contoh. Dalam pemberontakan-pemberontakan itu, maka kaum Modal, yang dibantu oleh Rakyat, kerap kali mendapat kalah sehingga saban-saban raja-raja yang sudah diusir dulu bisa timbul kembali. ”Menang” dan kalah, begitulah nasibnya kaum Modal yang pada masa itu berhaluan revolusioner, dari tahun 1789 sampai 1848, sesudahnya mana kaum Monarkis semuanya kalah, dan kekuasan jatuh sama sekali atas Parlemennya kaum Modal. Enampuluh tahun kaum Kapitalis mesti berperang, supaya maksudnya sampai. Sekarang dia mau, supaya kaum Bolshevik bisa mengalahkan kaum kemodalan Dunia dalam 2 atau 3 tahun!!!
Siapa yang berpikiran suci serta adil, dan tidak berhati dengki atau takut, tentulah segera akan mengerti tipu muslihatnya politik kaum Modal dunia sekarang.
Apabila hati dan pikiran kita dengan azas-azas yang sudah kita terangkan, sudah yakin akan kebaikannya Komunisme, maka tinggallah atas kita lagi kewajiban untuk memeriksa dan menunjukkan apa bisa dan mestikah negeri Hindia ini diatur menurut aturan Komunisme.
A. Asal partai-partai politik di Hindia, serta sifat dan keadaan partai-partai itu.
Menurut sejarahnya tanah Jawa, dan menilik sisa-sisa peraturan pemerintah zaman kuno, dan menilik adat istiadat rakyat, maka bolehlah kita katakan bahwa peraturan pemerintah berkasta-kasta dan berhubung dengan itu adat dan perasaan berkasta-kasta sangat termasuk dalam darah daging penduduk pulau Jawa dan Bali. Peraturan itu asalnya dari tanah Hindustan, dimana penduduk negeri dibagi atas 4 kasta, yakni kasta Brahma (pendeta), Ksatria (bangsawan), Waisa (hartawan dan kaum tukang-tukang) dan kasta Sudra (budak). Tiap-tiap kasta itu tiada boleh campur-bercampur; brahma itu bolehlah dikatakan perhubungan manusia dengan Tuhan, dunia dan akhirat; dari Ksatria datangnya raja-raja, sedangkan kaum Sudra lain tidak gunanya malah untuk bekerja buat 2 kasta yang terutama (Brahma dan Ksatria) sungguhpun ia tidak dipandang semacam manusia. Pendeknya yang mengadakan hasil, tetapi menghisap dan berkuasa ialah 3 kaum yang lain-lain itu. Cita-cita baik dalam ilmu-ilmu, maupun dalam agama, ialah berhubung dengan cara mengadakan hasil negeri itu juga. Kromo haruslah rajin, hormat, sabar, dan syukur, serta kekuasaan dan kekayaan memang sudah dinasibkan Tuhan untuk kaum Ningrat dan Pendeta saja.
Sungguhpun tanah Jawa dimasuki oleh agama-agama Budha dan Islam, yang ada berdasar demokratis, sungguhpun sudah lebih kurang 300 tahun bangsa Jawa campur dengan bangsa Barat, tetapi perasaan Kromo terhadap kepada keningratan itu tiadalah hilang.
Tiadalah kita heran, bahwa suatu partai keningratan sejati yakni Budi Utomo bisa menarik hati sebagian besar dari penduduk Jawa, lebih-lebih juga dari pihak kaum yang terpelajar. Apa-apa yang mempunyai sejarah sebegitu lama tentulah tidak mudah hilang. Tidak perlu kita periksa lagi benar apa salahnya keyakinan semacam itu, bahwa manusia itu mesti dibagi-bagi atas beberapa golongan (untuk memerintah dan bekerja) karena penuh misal akan menerangkan di segenap dunia, bahwa manusia itu sama, yakni akan pendeta pun bisa juga jadi penjahat sedangkan sebaliknya pula cukuplah anak-anak si Kromo yang bisa jadi apapun.
Pendeknya, tiadalah bisa ditentukan lebih dahulu (kaum dan turunannya) mana yang wajib memerintah. Tetapi disebabkan kelobaan manusia dan Harta Pusaka mesti turun pada anak jugalah, maka adat negeri menetapkan lebih dahulu bahwa kaum memerintah (ningrat) mesti tingkal kekal, atau sudah dikabulkan Tuhan.
Disebabkan oleh contoh-contoh di tanah eropa, baik di tanah Amerika, dimana satu-satu bangsa meninggikan kemerdekaan tanah airnya sendiri, disebabkan oleh persangkaan bahwa yang menyebabkan sengsara rakyat Hindia ini ialah pemerintahan suatu bangsa atas bangsa lain, maka timbullah di Hindia ini suatu vereeniging (NIP) yang mau mengadakan pemerintah dari orang Hindia sendiri. Pun dasar ini ada berhak buat dihormati, karena memanglah sesuatu bangsa, mesti pun bangsa apapun juga tidak akan bisa mengharuskan keperluan bangsa asing lahir dan batin! Segala lembaga-lembaga dalam negeri yang tidak berdasar kebangsaan, tentulah akan merusakkan bangsa itu juga. Jadi meskipun suatu bangsa tidak berhayat hendak menindas atau menghisap, melainkan semata-mata hendak mendidik bangsa yang berbeda sifat dan wataknya itu, adalah sesuatu pekerjaan yang amat berbahaya, apalagi kalau bangsa lain itu cuma terutama datang lantaran kelobaan saja. Sebab itulah kita mengerti betul akan haluannya kaum NIP.
Tetapi, karena yakin, bahwa bangsa yang memerintah tanah Hindia sekarang bukan dsebabkan kebangsaan atau merasa berkewajiban untuk mengembangkan ilmu dan kebudayaannya sebagai bangsa, malah disebabkan sifat kemodalan yang menjadi sendi bagi pencaharian hidupnya, maka kita tidak bisa mengadakan dan membetulkan politik yang cuma bertentangan dengan bangsa Belanda semacam bangsa saja. Kita sebaliknya tahu, bahwa nama Belanda itu dengan sekejap boleh kita tukar dengan Inggris, Jepang, Amerika dan sebagainya, yang memang sama sekali sudah menaruh besar di tanah Hindia, lebih-lebih di negeri-negeri yang baru dibuka untuk industri. Tidak akan lama lagi maka di kepulauan Sumatera, Sulawesi dan sebagainya yang penuh dengan barang-barang logam dan tumbuh-tumbuhan yang perlu untuk industrinya negeri-negeri yang beralasan kapitalisme akan didesaki oleh modalnya berjenis-jenis bangsa, sehingga, ”bendera kebangsaan” itu akan percuma saja berkibar. Negeri kita yang tidak bermodal dan sifat Rakyat Hindia lebih, bangsa Jawa yang tidak bersifat kemodalan serta kebodohan Rakyat Hindia sendirilah menyebabkan, yang kita tidak akan bisa kelak mengadakan modal yang cukup besar untuk mengalahkan modal-modal tanah asing. Karena bangsa-bangsa asing itu kebanyakan merdeka dan datangnya dari hawa yang sejuk, lantaran mana ia mesti rajin, kuat, tahan dan pintar mesti memikirkan dan mengadakan bermacam-macam mesin maka mereka itu dengan gampang saja bisa mengalahkan bangsa Hindia ini dalam dunia industri dan perniagaan. Sedangkan bangsa Hindustan yang lebih kuat, pintar berasa dan kaya dari bangsa kita, tidak bisa melawan kemodalan bangsa Inggris, yang memang dibantu oleh undang-undang dan bermacam-macam hal lain-lain.
Bangsa Hindustan tentulah tidak akan sampai begitu bodoh dan sesat, sampai ia mau meminta pertolongan pada kaum Modal Jepang dan Amerika. Bangsa Hindustan tentu tidak lupa akan cerita katak-katak dalam sebuah kolam, yang sebab takut pada seekor burung bangau, lantas minta pertolongan pada seekor ular, sesudahnya mana ular tadi menjadi raja Kolam, dan menghabiskan segala katak-katak dalam kolam tadi.
Kita Rakyat juga mesti sadar akan isi dan artinya cerita itu. Kalau minta pertolongan janganlah pada orang yang bisa jadi musuh. Kalau tidak bisa mencari pertolongan pada kaum yang senasib dan satu keperluaan, baiklah tidak minta pertolongan. Buktinya cerita tadi boleh kita lihat di kiri-kanan, dimana bangsa-bangsa kecil baik di Eropa, Asia ataupun Amerika Selatan, yang merebut kemerdekaan dengan pertolongan kaum Modal yang dipercaya, kesudahannya dihimpit oleh yang menolong tadi juga.
Keyakinan hendak melawan Modal Asing itu dengan modal sendiri, terang sekali terbukti pada permulaan gerakan Sarekat Islam beberapa tahun dahulu yang mulanya bernama Sarekat Dagang Islam dan didirikan oleh Haji Samanhudi. Adalah suatu ketika, yang kita hampir percaya, bahwa daya upaya pemimpin-pemimpin Sarekat Islam itu akan berhasil. Rakyat cukup menaruh gembira, pengharapan dan kepecayaan. Kehinaan dan kemelaratan yang beratus-ratus tahun itu disangka akan hilang. Bermacam-macam toko didirikan untuk menentang toko-toko bangsa asing. Pergerakan perniagaan (ekonomi) itu dicampuri oleh pergerakan poitik yang berdasarkan agama dan kebangsaan. Semuanya ini tiada mengherankan kita. Malah kita juga komunis harus memuji jasa pemimpin-pemimpin semacam Samanhudi, Cokroaminoto, Semaun dan lain-lain yang sekurang-kurangnya sudah membangunkan Rakyat berjuta-juta dari tidurnya yang nyenyak dan pertama sekali membuka mata yang beratus-ratus tahun tertutup. Menurut keterangan kita di atas tadi, yakni lantaran kekuatan modal, watak dan kepintaran bangsa kita dalam perkara perniagaan, niscayalah kita akan kalah. Sampai sekarang kita dalam dunia industri dan perniagaan, masih tinggal pada tingkat paling rendah. Belumlah kelihatan bukti-bukti dan keterangan yang bisa mendatangkan keyakinan buat kita, bahwa dalam beberapa tahun dimuka ini, bangsa Jawa bisa merebut golongan tengah dan atas dalam dunia perniagaan dan industri. Cumalah ada di sana sini kaum Muslimin, yang memegang perniagan kecil-kecil seperti di kota yang besar-besar, tetapi sebagian besar dari Rakyat yang menaruh perasaan Sarekat Islam masih sama melarat.
Kaya miskinnya dalam Sarekat Islam itu serta perbedaan pekerjaan anggota-anggotanya, yakni separuhnya kaum berniaga, separuhnya bertani dan memburuh, tentulah pula mesti mendatangkan perbedaan paham dan rasa tentang politik negeri.
Sudahlah tentu kaum saudagar tinggal berpikiran kesaudagaran, karena ia sekarang masih saudagar bangsa Cina dan Eropa, dan tindasan yang dirasa oleh si Kromo, terutama datangnya dari kaum Modal asing, maka lantaran itulah kaum Saudagar dan kaum Buruh dalam Sarekat Islam boleh begerak bersama-sama menentang musuh yang terbesar tadi. Tetapi kalau kelak sampai saatnya akan mengatur negeri sendiri, maka teranglah bahwa sifat kesaudagaran kecil itu akan menjadi sifat kemodalan seperti yang biasa juga.
Hal pengadilan akan terpaksa memihak pada yang kaya juga dalam negeri, seperti di negeri Turki dan negeri-negeri lain yang ”merdeka kemodalan”. Perkakas memerintah tentulah juga buat Parlemen, yakni sidangnya si Kaya saja. Pendidikannya hanyalah untuk pendidikan yang mampu membayar juga. Pendeknya tiadalah akan ada bedanya dengan negeri merdeka, yang berdasarkan kemodalan, yang sudah kita tunjukkan kedustaan dan kemurkaannya.
PARLEMENTERISME (Kekuasaan Rakyat).


Isi negeri yang 4 golongan, yang terbanyak kaum buruh
KETERANGAN:
1. Gambaran I : melukis isi negeri yang boleh kita bagi atas 4 bagian, yakni:
a) kaum ningrat, BU;
b) kaum nasionalis NIP;
c) kaum Muslimin yang kaya;
d) kaum Kromo.

Gambaran II: Parlemen (2e. Kamer di negeri Belanda), kemana isi negeri yang 4 golongan itu mengirimkan wakilnya.
Gambaran III : Menteri, sidang menteri-menteri, yang dipilih dan biasanya keluar dari Parlemen, wakil mana mesti mempunyai partai yang kuat. Minister itu penuh dengan biro-biro (birokrasi).
Gambaran IV: Bank, yakni benteng ketiga golongan yang kaya, yang keras pengaruhnya juga dalam biro-bironya menteri
2. Pergerakan yang berdasar:
a) keningratan,
b) nasionalisme,
c) agama – kebangsaan – religieusch nationalistisch.
(Turki sesudah revolusi 1908 dan cita-cita Mesir).
Mesti akan mengalir kepada pemerintahan yang kita lukiskan di atas, Ketiga dasar itu (a, b, c) tidak bertentangan dalam hal ekonomi. Ketinya mengaku hak milik dan undang-undang-undang-undang negeri melindungi hak Milik itu.
3. Kaum ningrat, nasionalis dan muslimin yang kaya raya dan berkuasa bisa masing-masing mengadakan wakil yang mengemukakan keperluan masing-masing di dalam Parlemen. Dengan propaganda di desa-desa, di pabrik spoor, tambang dan kebun, dengan surat kabar besar-besar, kepunyaan yang bermodal dalam negeri, bisa ditarik hati sebagian besar dari Rakyat buat memilih wakil yang disukai oleh kaum Modal. Pun Masjid-masjid, santri-santri dan sekolah-sekolah yang tinggi masing-masing dengan politiknya tidak akan ketinggalan. Sehingga dengan jalan yang begitu paling banyak kaum buruh bisa dapat cuma ¼ bagian dari segala wakil-wakil dari Parlemen. (Perhitungan ini juga salah, Sebab dimanapun negeri yang berdasarkan kemodalan tiadalah sampai seperempat bagian dapat wakil dalam Parlemen. Lebih-lebih di desa-desa si Kromo takut sama ilmu keningratan, dan takut akan ancaman neraka, kalau tidak kaum Muslimin yang dipilih jadi wakil memerintah negeri).
4. Oleh karena Parlemen dipisahkan dengan Kementerian (lihat II dan III) dan yang pertama namanya saja berhak ”membikin undang-undang” dan yang kedua ”menjalankan undang-undang” maka arti Parlemen itu buat kaum Buruh tidak ada. Yang memerintah yakni Menteri yang penuh dengan biro-biro yang berhubungan keras dengan Bank (Lihat IV) yakni benteng kaum uang.
5. Sehingga buat Kromo tidak ada perubahan dan keentengan sifat-sifat dan kemurkaan kemodalan (krisis jatuhnya harga barang concurentie – persaingan, berhubungan dengan itu kemelaratan, dan kesengsaraan buat Kromo) Cuma dipindahkan dari bangsa asing pada bangsa Hindia.

Tetapi tidak sekejap juga kita percaya, bahwa cita-cita Republik yang berdasar demokratis (yakni demokrasinya buat kaum Modal) itu di Hindia ini bisa dijalankan. Tidak saja lantaran kekurangan sifat dan watak-watak yang berguna buat kemodalan rakyat disini seperti sudah kita sebutkan di atas, tetapi terutama sekali lantaran kekurangan keyakinan, ketetapan dan keberanian hatinya kaum-kaum nasionalis baik dalam BU, baik dalam golongan Sarekat Islam ataupun dalam NIP. Kalau kita pisahkan dua tiga pemuka-pemuka yang betul-betul nasionalis di mulut dan di hati, maka kelihatanlah bahwa nasionalis kita dipukul rata jauh bedanya dengan nasionalis di tanah Mesir, Hindustan ataupun Irlandia.
Marilah kita periksa sebentar, apakah dengan politik Pan-Islamisme (seperti kata pemuka-pemukanya sendiri, yakni untuk mempersatukan segala kaum Muslimin di seluruh dunia) Hindia ini bisa merdeka atau dijadikan sebagian dari suatu kerajaan yang di bawah perintah seorang Khalifah? (nama Khalifah itu di dunia Muslimin penting sekali. Kita mesti tahu, bahwa ”Khalif dan Jihad” yaitu nyawanya ”Darul Salam”). Sebetulnya disini kita mesti lebih dahulu mengadakan kritik untuk pembersihan pemeriksaan kita.
Sesungguhnya nama Khalif itu sudah mendatangkan kekalutan pada kalangan kaum Muslimin sendiri. Sesudah wafat Nabi Muhammad SAW, maka berikut-ikut Khalif-khalif yang menggantikan yakni: ”Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali”.
Sesungguhnya negeri diperintahi betul-betul dengan keadilan dan sama rata, tetapi adalah timbul sudah pertanyaan pada kaum Muslimin, siapakah yang sebenarnya berhak menggantikan Nabi Muhammad, yang mesti memerintah, dan membesarkan kaum Islam, maupun dengan jalan damai, maupun dengan jalan perang.
Pertanyaan tadi mendatangkan dua partai, yakni:
Partai yang mengatakan bahwa Ali sebagai saudara (kemenakan) dari Nabi Muhammad (kaum Qurais) juga boleh menggantikan. Partai-partai tadi mengadakan pertentangan yang amat keras dan peperangan yang hebat. Kira-kira 100 tahun sesudah Nabi wafat, maka terjadilah pemberontakan yang besar. Dalam pemberontakan ini maka keturunan Umar Umaiyah, yang pada masa itu berhak menjadi Khalif hampir sama sekali dibunuh oleh partai Ali. Cuma seorang keturunan Umar Umaiyah boleh melarikan diri ke tanah Spanyol dan di sana mendirikan Khalifah baru, yang bertentangan dengan Khalifah keturunan Ali yang bertahta di Bagdad.
Dua Khalif tadi tentu masing-masing mengaku berhak memerintah kaum Muslimin. Pendeknya kekalutan lantaran pertanyaan itu tiadalah perlu kita bongkar lagi. Cuma kita mau peringatkan sedikit, bahwa perselisihan itu sekarangpun belum hilang. Masih berlain-lain paham di antara bangsa Turki, Arab, Moroko, Mesir, Persia, dll, tentang yang berhak untuk memerintah negeri Islam sendiri (dari Al-Islam). Dalam peperangan yang baru lalu, maka kaum Modal Jerman sudah menggerakkan bangsa Turki mengibarkan bendera Nabi Muhammad, supaya segala Muslimin di atas dunia sekarang memerangi si Kafit. Tetapi apa hasilnya?
Kerajaan Inggris dapat pertolongan dari kaum Muslimin di Hindustan, untuk memerangi Jerman dan Turki. Kaum uang Perancis, Rusia dan lain-lain bisa membujuk kaum Muslimin, yang di bawah perintahnya untuk memerangi kaum Uang Jerman dan Turki. Oleh karena peperangan tadi, maka kaum Muslimin yang merdeka di dunia ini hampir tidak ada lagi. Sebelumnya perang tahun 1914 Rakyat Turki ada kurang lebih 5 % dari semua kaum Muslimin; maka sekarang lantaran kekalahan, tanah Arab, Mesopotamia, Syria, Mesir, dan sebagian besar dari Turki di tanah Eropa, sudah jatuh dari tangannya.
Jadi Pan Islamisme Turki tadi, meskipun dengan pertolongan kaum Modal, yang terkuasa atas dunia (Jerman) tiadalah bisa dilakukan. Jalan yang kedua yakni, kalau semua kaum Muslimin mau bersatu dengan tidak menunggu perintah dari satu Khalif, malah dengan cara serukun (kita umpamanya yang Arab, Hindu, Persia, Turki, Jawa, Moroko dan lain-lain mengerti, yakni mau serukun). Dalam hal ini musuhnya lebih besar lagi. Kaum Muslimin yang di mana-mana dihisap oleh kaum uang, miskin, dan terpencar-pencar niscaya akan mesti bertentangan dengan negeri-negeri yang memerintahinya. Kita jangan lupa Perancis memerintah Tunis, Aljazair, dan Maroko; Italia memerintah Tripoli, Maroko di bawah Spanyol dan sebagian besar dunia Islam di bawah Inggris dan Belanda. Pendeknya untuk mempersatukan kaum Islam di dunia, haruslah melawan kapital dunia. Sedangkan kaum buruh yang terbanyak sekali di atas dunia belum bisa melawan kaum Modal. Apalagi 200 s/d 300 juta kaum Muslimin yang tidak berkepintaran cukup, senjata dan lain-lain. Perkara ini tidak perlu kita dalamkan. Kita boleh putuskan bahwa sungguhpun kaum Muslimin dalam agama bisa satu kepercayaan (Hambali, Maliki, Syafi’i dan Hanafi, sungguhpun berlain-lainan mazhab tetapi sama percaya sama Tuhan Allah), tetapi dalam hal politik negeri sudah beratus-ratus tahun berpecah-pecahan, dan rasanya tidak akan bisa disatukan, jangankan lagi akan menambah lebarnya ”Dar el Salam” dan mengurangi ”Dar el Harb” di atas dunia baik dengan propaganda halus, maupun dengan melakukan ”jihad”.
Kita tahu bahwa Nabi Muhammad SAW insyaf betul akan pokok-pokok sifat manusia yang mendatangkan racun dalam sesuatu pergaulan, yakni ”nafsu atas kekuasaan” dan nafsu kekayaan. Juga nafsu yang dua itulah yang mau dihilangkan oleh Komunisme tetapi dengan peraturan-peraturan negeri.
Kita lihat, bagaimana Nabi Muhammad SAW dan keempat Khalif yang menggantikan masih bisa menjalankan kemurahan keadilan dan persaudaraan. Kita yakin bahwa peraturan negeri ketika itu betul cocok dengan cara mengadakan hasil di tanah Arab (bertani, bergembala, dan berniaga) tetapi sesudah kerajaan Muslimin (kira-kira tahun 709) bertambah besar, sesudah pembesar-pembesar bangsa Arab yang dulu tinggal di negeri miskin sekarang memerintahi negeri yang kaya dan makmur, maka peraturan negeri seperti pada mulanya tadi tidak bisa lagi membunuh nafsu-nafsu yang dua tadi.
Khalif tidak hidup dengan enteng lagi seperti orang kecil, malah memakai istana yang besar-bear, kereta dan kuda yang indah-indah serta memakai dayang-dayang dan biduanda seperti raja di lain-lain negeri juga. Khalif tadi tiada campur lagi dengan Rakyat dan menjadi pemberi nasehat Rakyat seperti mulanya, malah menjadi wakil Tuhan yang hampir tidak keluar dari Istana lagi dan tidak boleh disanggah katanya.
Pemuda-pemuda di tanah Turki ”Yong Turken” sudah merasa perlu mengubah peraturan memerintah negeri, sehingga pada tahun 1908 sudah dilakukan peraturan baru yaitu mengadakan Parlemen dengan mengambil contoh di Eropa Barat. Sultan Turki harus memerintah sepanjang Konstitusi (azas memerintah) dan menunggu putusan dari Parlemen. Inilah suatu bukti bagi kita bahwa peraturan negeri itu mesti cocok dengan cara mengadakan hasil. Sebab itu, kalau seandainya kaum Muslimin di seluruh dunia ini bisa bersatu, dan mesti memakai pabrik, spoor dan tambang tentulah sesuatu Khalifah atau Republik kaum Muslimin itu akan tepaksa memakai peraturan Kapitalisme juga, yang jauh bedanya dengan cara memerintah ketika zaman kebesaran kaum Muslimin (kira-kira Tahun 700 – 1908) (Jadi tahun 1908 yaitu pemberontakan yang dibela oleh ”Komite persatuan dan kemajuan” adalah berarti besar buat dunia Muslimin.) Anwar dan Talaat (yang terutama) mencoba merubah peraturan-peraturan Islam yang beralasan monarkisme dan mengganti dengan alasan Parlementerisme dengan contoh dari tanah Perancis. Kita tidak heran, yang dunia Muslimin, baru sesudah plm. 1300, maka bisa bergerak keras menukar ”peraturan Khalifah” (monarki) dengan Parlementerisme. Disebabkan perang 1914 – 1918 teranglah bahwa tanah Turki tak bisa lagi menunggu buatnya daya upaya pemuda-pemuda ”Yong Turken”).
Tetapi menurut kehendaknya zaman, kita tidak bisa percaya lagi, bahwa 200 s/d 300 juta kaum Muslimin, yang diantaranya lebih dari 90 % dalam kegelapan dan kemelaratan atau mau ditarik-tarik saja untuk makanan meriam, lahirnya untuk persatuan Islam, tetapi hasilnya cuma buat kaum Islam yang hartawan. Persatuan Islam dalam kepercayaan agama selamanya bisa, bagaimana pun juga peraturan negeri, tetapi persatuan keselamatan dan kemerdekaan di atas dunia ini tidak bisa kalau tidak dengan jalan peraturan Komunisme.
Mana haluan yang kelak akan dijalankan oleh Sarekat Islam tidak dalam Statusnya belumlah boleh kita putuskan. Kalau saatnya datang yang Sarekat Islam sendiri mesti mengatur negeri, maka undang-undang pergerakan Rakyat seperti di tanah-tanah lain niscayalah disini juga akan berlaku. Sepanjang undang-undang itu maka kaum tengah yang sekarang juga ada dalam Sarekat Islam tentu akan berkeyakinan tengah, dan yang paling miskin dan melarat akan berkeyakinan keras dan belum akan puas sebelum peraturan negeri diubah sampai bisa mendatangkan keselamatan baginya. Pada suatu ketika, tentulah akan datang perselisihan antara kaum tengah (saudagar kecil-kecil sekarang dll) itu dengan kaum Proletar. Mana yang mesti mundur tentu bergantung pada banyaknya orang dan kuatnya organisasi. Oleh karena kaum yang paling miskin dan tertindaslah yang paling banyak disini serta yang paling suka bergerak, maka oleh sebab itulah kaum Komunis di Hindia tak perlu sekejappun juga ragu atau mendua hati akan kemenangan kaum Proletar. Meskipun di sana sini, atau sementara beberapa tahun dapat kekalahan, tetapi kita boleh yakinkan bahwa akhirnya sekali Komunisme juga yang bisa memadamkan dahaga si Kromo atas keselamatan, kemanusiaan dan derajat yang tinggi-tinggi.
Ringkasnya: Bagaimana juga agama, tetapi dalam peraturan negeri kita tidak boleh lari dari 3 peraturan sepeti di bawah ini:
1. Zaman kuno, dimana mata pencaharian dijalankan dengan tangan saja (tidak dengan mesin), yakni bertani dan bertukang, seperti dahulu di benua Cina, kerajaan Islam, Hindustan dan Eropa sebelum tahun 1789. Cara pemerintah ialah menurut peraturan kerajaan dan keningratan (monarkisme).
2. Kaum Kemodalan, Eropa sesudah tahun 1789 dan Amerika mengadakan hasil terutama dilakukan dengan pertolongan mesin yang besar-besar. Peraturan negeri ialah Parlementerisme.
3. Zaman antara kapitalisme dan sosialisme. Disini diadakan Soviet, yakni buahnya pergerakan Rakyat dan gambarnya kekuasaan Rakyat, untuk mendatangkan Sosialisme.
B. Menjalani Sejarah Hindia 300 tahun yang akhir ini dengan langkah Raksasa
Disebabkan oleh sangat lakunya barang Hindia ini di tanah Eropa, maka kira-kira tahun 1600 kaum Modal Belanda melayarkan beberapa buah kapal ke negeri kita ini. Sungguhpun kapal-kapal itu belum tahu jalan, sungguhpun sudah pernah terperosok di lautan es kutub utara dan penuh dengan musuhnya bangsa Spanyol di kiri-kanan, tetapi dahaganya kaum Modal yang tersebut atas keuntungan dan kekayaan tiadalah bisa padam. Akhirnya mereka itu sampai juga di tanah Hindia ini, dimana ia mengusir kaum-kaum modal bangsa Portugis dan Spanyol dan memaksa Rakyat Hindia berniaga dengan dia. Pala dan cengkeh mesti kita jual dengan harga yang paling murah pada VOC (Vereeniging Oost Indiche Compagnie) saja. Tiadalah boleh bangsa asing mengambil untung dan tiadalah boleh Rakyat Hindia berniaga dengan kaum Modal bangsa Portugis atau Spanyol, meskipun ia ini mau membayar lebih banyak. Dengan pertolongan raja-raja Hindia sendiri, maka VOC (Kompeni) serta sama bedil dan meriamnya menjalankan perniagaan monopoli itu.
Untung yang berlipat ganda itu sama sekali mengalir ke Eropa, sehingga faedah perniagaan itu buat Hindia ini bolehlah dikatakan akan nihil. Lagipun apakah guna pendidikan umpamanya?
Asal saja Rakyat bisa mengangkat cangkul dan menanam cengkeh, untung besar itu mesti bisa kekal. Yang mendatangkan pusing kepalanya VOC tiadalah kepandaian budi atau adat rakyat disini, melainkan jatuh harga barang-barang itu ialah lantaran melimpah banyaknya juga. Supaya harganya naik kembali, haruslah hasil pala dan cengkeh dikurangi. Maka rakyat di sebelah kepulauan Ambon dipaksa merusakkan sendiri kebun dan tanamannya dengan jalan mana hasil boleh berkurang-kurang. Rakyat melanggar perintah VOC itu diusir dari negerinya sendiri. Bangsa siapa yang mempunyai hati kemerdekaan dan kemanusiaan, maka perasaan itu didenda dengan pelor meriam atau kelewang serdadu VOC. Demikianlah sering terjadi pemberontakan, dalam hal mana yang tiada berkepandaian dan bersenjata cukup juga yang akan tewas .Untuk menyusutkan hasil pala dan cengkeh, maka Kompeni menetapkan supaya pulau Ambon saja menanam cengkeh dan pulau Banda saja menanam pala. Setiap waktu Kompeni berlayar ke pulau-pulau yang lain dari yang 2 tadi untuk merusakkan pokok-pokok pala dan cengkeh. Oleh sebab itu rakyat kehilangan pencaharian hidupnya terutama sekali, dan larilah mereka itu meninggalkan negerinya. Banyak pulau-pulau yang menjadi sunyi senyap, dan ditumbuhi hutan belukar. Inilah artinya Hongietechten yang masyhur dalam sejarah di kepulauan sebelah Ambon itu.
Pemberontakan-pemberontakan dihukum dengan keras. Satu di antara pahlawan dari bangsa Ambon yang tertindas itu bernama Tulu Kabessi, yang lama sungguh mempertahankan bentengnya. Kemudian Kompeni mengetahui jalan-jalan masuk ke benteng itu. Pada suatu malam tiba-tiba serdadu Kompeni perlahan-lahan masuk, membunuh orang-orang Ambon yang menjaga bentengnya, sesudah mana pahlawan Tulu Kabessi terpaksa melarikan diri.
Setelah ia mendengar kaba, bahwa Gubenur Dummer menangkap dan menuduh beberapa kepala-kepala Ambon dalam perkara pemberontakan itu maka Tulu Kabessi sendiri pergi mendapatkan Gubenur itu akan menerangkan bahwa kepala-kepala yang tertuduh itu tiada berdosa sedikit juga.
Gubenur Demmer memerintahkan menangkap dan memancung kepalanya Tulu Kabessi.
Demikianlah balasnya kesatrian dan kemuliaan hati pada zaman Kompeni itu! Politik dan kelakuan semacam itu rupanya dulu lazim sekali. Bacalah sejarah Minangkabau dan Diponegoro kira-kira satu abad yang lalu! Demikianlah buasnya kaum Modal itu, ketika 300 tahun yang lalu.
Kira-kira 200 tahun lamanya VOC itu bersimaharajelela. Akhirnya ia mendapat rugi, sebab besarnya ongkos untuk kapal perang, benteng-benteng dan serdadu-serdadu. Pada tahun 1800, maka negeri Belanda sendiri (Negara) mengambil hak milik VOC atas kepulauan Hindia ini. Baru saja bertukar pertuanan, maka Rakyat Hindia ini mendapat tindasan yang lain macam pula dari G.G Daendels memaksa mendirikan jalan raya dari Anyer ke Panarukan, dengan apa tentara pemerintah mudah dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang perlu ditaklukkan. Jalan yang penting itu mesti dibayar oleh Rakyat tanah jawa dengan beribu-ribu jiwa yang melayang, lantaran penyakit dan kerja keras. Seperti rupanya bala itu belum lagi cukup menimpa kepalanya si Kromo, maka G.G van Den Bosch tiadalah lama lagi sesudah itu menjatuhkan sistem tanam paksa.
Kromo mesti menanam sebagian besar dari sawahnya dengan tanaman yang besar untungnya di benua Eropa, yakni kopi, kemudian kina, gula dan sebagainya, barang-barang yang mana mesti dijual dengan harga paling murah pada Pemerintah Belanda. Berapa beratnya sengsara Rakyat, bagaimana jalannya hisapan dan tindasan tidaklah perlu kita periksa disini. Namanya saja Culturstelsel itu bisa memanaskan darah tiap-tiap manusia yang tidak didinginkan oleh setan kemodalan.
Keringat dan darah si Kromo yang terumpat lantaran peratuan dalam abad ke 19 itu mengalirkan harta yang bertimbun-timbun menuju ke negeri Belanda. Dengan untung itu kaum Modal Belanda bisa mendirikan Spoor dinegerinya dan bisa membayar sebagian besar dari hutangnya negeri Belanda (tersebab oleh peperangan Napoleon) dan bisa mengadakan pencaharian-pencaharian baru.
Oleh karena untung Culturstelsel itu tiada seperti pada permulannya lagi maka di negeri Belanda dijatuhkan buat tanah Hindia ini (tahun 1875) suatu undang-undang, dalam mana ditentukan bahwa seorang Eropa boleh menyewa tanah kita lamanya 75 tahun.
Sekarang nyatalah, bahwa undang-undang ini memberi kesempatan bergerak pada kaum modal yang zaman akhir sekali. Keuntungan yang bisa dipungut oleh raja-raja, pala, tembakau, minyak tanah dan lain-lain. Zaman sekarang berlipat ganda besarnya dari keuntungan kaum Modal masa VOC maupun Cultruurstelsel.
Sebab sifat dan keadaan kemodalan pada zaman Kompeni (VOC) dan sistem tanam paksa berbeda dengan sifat dan keadaan dalam sesudah tahun 1875, maka politik negeri sekarangpun menjadi berubah sedikit.
Politik ”paksaan terus terang” saja menanam kopi, gula, dan sebagainya, paksaan terus terang membikin jalan raya untuk lasykarm dan merusakkan kebun dan tanaman sendiri (Hongi-techten) sesudah tahun 1875 ditukar dengan politik yang berdasarkan etika. Anak Hindia haruslah dididik. Di Hindia haruslah didirikan bermacam-macam sekolah. Beginilah nyanyinya pemimpin-pemimpin bangsa Hindia yang kena asap candunya politik etika.
Karena kita seorang Komunis, dan kedua kaki kita berdiri atas dasar Ekonomi, maka kita mesti memberi keterangan yang cocok dengan haluan kita. Buat kita etika-etikan-an dalam politik itu tiadalah lantaran menyesal atau tiba-tiba cinta pada bangsa Hidia. Kita yakin bahwa buasnya kaum Modal pada zaman sekarang tiadalah kurang dari zaman Kompeni atau sistem tanam paksa.
Yang berubah ialah cara mengadakan hasil untuk perniagaan kaum uang. Untuk cengkeh, pala dan kopi pada zaman dulu, tiadalah perlu pandai bookhouden (pembukuan – Ed.) atau menjalankan mesin. Lain sekali pabrik gula, yang perlu memakai kaum buruh kasar dan halus, yang mesti keluar dari sekolah rendah, tengah dan sekolah tinggi. Kalau segala klerk-klerk, mechinist dan opzichter-opzichter sama sekali mesti didatangkan dari negeri Belanda, tentu kaum Modal tidak bisa dapat untung besar.
Sebab itulah mesti diadakan disini sekolah-sekolah HIS, MULO, HBS, middelbare technische scholen dll, dari sekolah-sekolah mana bisa dipungut bermacam-macam buruh halus, untuk mengadakan hasil gula. Begitu juga kebun-kebun teh, tembakau, karet dan lain-lain yang diuruskan dengan ilmu-ilmu model baru tidak bisa lagi dijalankan dengan cangkul saja seperti dahulu kala. Hasil pabrik dan kebun-kebun yang bergudang-gudang itu tentulah tidak bisa dimuatkan dipunggungnya kuda beban saja.
Kaum modal perlu memakai kereta api dan kapal api dengan perkakas mana segala hasil dunia dengan lekas boleh di bawah ke pasar-pasar Eropa, Jepang, dan Amerika. Berhubung dengan hasil yang diadakan dengan mesin, berhubungan dengan perkakas pengangkutannya model baru (kereta api) serta keadaan perniagaan zaman sekarang yang menimbulkan toko-toko, post, telgraf, kantoran seperti Bank-bank, maka perlu sekali dipakai kaum terpelajar bangsa Hindia sendiri, yang lebih tahan kerja di panas, lebih jinak, dan lebih murah bayarannya daripada bangsa Belanda.
Haruslah kita memuji-muji kaum etika? Perlukah kita meminta sedekah sekolah-sekolah? Kita yakin, bahwa kalau kepulauan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan sebagainya yang subur dan penuh dengan industri, maka di Hindia ini terpaksa mesti lebih banyak didirikan bermacam-macam sekolah yang tersebut, sehingga sampai cukup menutup keperluan kaum Modal.
Keperluan memakai kaum terpelajar Hindia itu tidak bisa lagi dibatasi oleh sekolah pertengahan. Pun insinyur-insinyur seperti juga dokter dan hakim mesti ditimbulkan dari penduduk Hindia sendiri.
Negeri Belanda yang penduduknya kira-kira 7 x lebih kecil dari Hindia ini masakan bisa mengadakan kaum terpelajar yang cukup. Lagi pula kalau kita pikirkan, berapa ongkosnya seorang insinyur dengan anak isterinya ke Hindia ini, yang saban-saban 6 tahun dapat verlof, yang dapat gaji, taniteme dan pensiun besar, tentulah kita tidak heran akan berdirinya ”technische Hoogeschool” di Bandung (yang bisa masuk tentulah anak-anak bangsa Belanda dan Cina yang kaya-kaya juga).
Seperti dimana-mana kaum Modal meracun dirinya sendiri. Ia tidak sebentar juga lupa bahwa sekolah-sekolah yang tinggi-tinggi itu dalam sesuatu koloni (jajahan) bisa mendatangkan bahaya kesentosaan dan kekuasaannya. Sebagai nasionalis ia sadar akan kodratnya alam bahwa sesuatu bangsa yang berkepandaian itu akhirnya akan berdaya upaya untuk melepaskan belenggunya bangsa asing. Tetapi sebab mereka terpaksa memakai kaum Buruh halus, yang jinak dan murah harganya, maka tiadalah lain jalan lagi dari memberi didikan associatie (berdamai). Bangsa Hindia yang terpelajar, janganlah kelak mengingat bangsanya lagi. Dengan buku-buku dalam sekolah, dengan contoh dari guru-guru bangsa yang memerintah, haruslah ditanam perasaan kemodalan Belanda, sehingga lupa pertentangan kebangsaan. Oleh karena keras teriaknya kebudayaan kemodalan itu, dan beserta jinaknya bangsa kita, maka perdamaian (associatie) yang perlu itu bisa didapat. Kaum terpelajar bangsa kita, yang sudah membuang pakaian, adat dan pikiran Kromo sama sekali, tentulah akan menyerahkan badan dan dirinya kepada kaum Modal, yang bisa memenuhi keperluannya hidup, seperti yang menjadi cita-citanya ketika masih bersekolah. Karena satu keperluannya dengan dan karena terpaksa ia memperhambakan diri kepada kaum Modal bangsa asing, maka kaum yang terpelajar bangsa kita pukul rata mesti bertentangan dengan Rakyat.
Sebaliknya pula bangsa kita, yang sudah kena ”didikan associatie” dan kena pengaruh politik etika itulah yang bisa mengekalkan perhambaan bangsa Hindia, kalau tidak ada racun yang ditanam oleh kaum Modal sendiri.
Kegopoh-gopohan dalam industri dan perniagaan zaman kemodalan sekarang menyebabkan haruslah dengan segera didirikan sekolah-sekolah yang perlu supaya dengan lekas mesin, correspondentie, (surat-menyurat) telgram dll, dalam hal kecepatan kirim mengirim menghasilkan dan menjualkan barang, jangan kalah oleh kaum Modal bangsa apapun juga di atas dunia. Pendeknya supaya keuntungan tinggal besar. Tetapi dengan segera pula kaum terpelajar itu melimpah (kebanyakan). Pabrik, tambang, spoor dan lain-lain tidak bisa lagi menerima pemuda-pemuda yang saban tahun mengalir dari berbagai bermacam-macam sekolah itu. Tidak akan berapa lama lagi, maka Hindia kita ini niscaya seperti kejadian di Hindustan, akan penuh dengan kaum terpelajar (intellectueel) yang tidak bisa dan tidak mau memegang cangkul lagi, dan tidak bisa dapat pekerjaan pada kaum Modal.
Ini racunnya kemodalan pada tiap-tiap koloni. Kaum buruh terpelajar ini, yang sama nasibnya dengan kaum buruh kasar, akan terpaksa memikirkan peraturan negeri, dan kalau hatinya suci dan pikirannya jernih mesti ia akan memihak pada Rakyat dan memihak pada peraturan Rakyat: Komunisme.
Sebelum kaum terpelajar bangsa kita kena pukul dari gurunya itu, yakni kemodalan, tentulah Rakyat Hindia ini mesti akan berjalan sendiri dan mestilah syukur dengan pemimpin-pemimpin seadanya saja.
Bahwasanya, maka kedesakan Rakyat di Hindia ini tiadalah kurang dari pada desakan Rakyat di benua kemodalan yang lain-lain. Seperti kejadian di tanah Inggris, maka kemudian itu di desa-desa di sini sudah melakukan kemurkaannya. Sawah dan ladang yang di-erfpacht (sewakan – Ed.) buat pabrik gula menyebabkan beribu-ribu rakyat yang terlantar. Beribu-ribu kaum Kromo terpaksa lari ke kota-kota, terpaksa berhamba pada kaum Modal gula, terpaksa lari ke Deli, Kalimantan dan sebagainya untuk mencari sepotong kain dan sesuap nasi. Lebih-lebih kalau sebentar lagi mesin-mesin yang ditunjukkan di jaarmarkt (pasar raya) di Bandung kelak dipakai untuk pemotongdan pengangkut tebu dan padi, sekarang dilakukan dengan tangan, tentulah ribuan pula kuli mesti dilepas lantaran tidak berguna lagi.
Oleh karena negeri Hindia tidak saja subur, tetapi juga tanahnya penuh dengan bermacam-macam barang logam (arang, timah, emas, minyak tanah, dsb), maka negeri kita menarik hati kaum Modal dunia yang berbagai-bagai itu. Bermacam-macam tambang sudah didirikan dan diantaranya adalah tambang-tambang (minyak tanah) yang tiap-tiap tahun mengadakan keuntungan yang tiada terpermanai banyaknya. Bagaimana nasibnya kaum buruh tambang (umpamanya arang, emas) yang setiap-tiap hari tak putus kerja dalam gelap dan bahaya, yang mesti mengeruk kekayaan dari lubang-lubang buat kaum Modal, tiadalah perlu kita ceritakan lagi.
Sedangkan rakyat kita, yang selamanya hidup dengan adatnya sendiri, tidak bisa hidup lagi dengan sentosa kalau tanahnya kaya. Kita masih ingat bahwa adanya minyak tanah di Jambi mendatangkan peraturan heerendiesnst, peraturan mana memaksa rakyat yang tiada semena-mena itu mendirikan jalan-jalan raya, supaya bisa hasil minyak diangkut ke pinggir laut, dan supaya mudah serdadu bergerak kalau ada perlu. Paksaan yang keras tadi menyebabkan peperangan yang baru lalu, lantaran mana yang bodoh dan tiada bersenjata juga yang mati beribu-ribu.
Adakah bedanya Hongietochten (pembunuhan di kepulauan Ambon lantaran pala dan cengkeh) pada masa kompeni dengan kebudayaan kemodalan pada abad yang ke 20 ini?
Pada zaman sebelum VOC (Kompeni) maka barang-barang produksi pulau Jawa, Sumatera dll, diangkut ke pesisir-pesisir dengan kuda beban atau pedati (kereta yang ditarik kerbau).
Dari pelabuhan-pelabuhan barang-barang itu diangkut dengan kapal-kapal bangsa Hindia sendiri ke bandar-bandar benua Cina, negeri Siam atau tanah Hindustan dan Parsi. Teranglah buat kita bahwa segala keuntungan perusahaan, upah mengangkut barang, untung perniagaan sama sekali di tangan penduduk Hindia. Pada zaman VOC maka kapal-kapal rakyat dan perusahaan (industri) membuat kapal sama sekali jatuh lantaran hasil negeri diangkut ke negeri Belanda dengan kapalnya Kompeni sendiri yang dijalankan oleh angin saja.
Sebab sesudah 1875 hasil-hasil diadakan dengan mesin, yang beribu-ribu kali cepat dan kuatnya dari pada tangan, maka haruslah pengangkutan barang itu dikencangkan pula. Kereta api yang cepatnya seperti halilintar (kilat) tiap-tiap jam melarikan teh, kopi, minyak, gula, dan sebagainya dari desa-desa atau gunung-gunung sampai ke pelabuhan. Disini barang-barang tadi dimuatkan ke dalam kapal-kapal api yang dengan segera bisa menaburkan hasil negeri kita yang mulia-mulia itu di pasar-pasar seluruh dunia. Dari pasar-pasar seluruh dunia terutama dari negeri Belanda kapal-kapal tadi membawa barang-barang pabrik (kain, barang-barang besi dsb) ke Hindia ini, dimana barang-barang tadi bisa dijual dengan tetap dan mahal.
Begitulah sentosanya mempunyai koloni itu buat kaum Modal. Hasil tanah Hindia yang tiada terpermanai harganya itu setiap menit bisa menambah modalnya kaum Hartawam, yang tinggal di negeri Belanda dalam istananya saja. Modal yang berjuta-juta dimasukkan pada Mastchappij-mastchappij Spoor, tram, kapal dan lain-lain mesti saja bisa anak beranak. Pabrik-pabrik di tanah airnya sendiri, mesti saja cukup grondstof (umpamanya karet untuk membuat ban mobil), dan hasil pabrik itu niscaya bisa dijualkan di tanah kita ini. Post dan Telegraafic, Firma-firma dan Bank-bank, yang memperhubungkan negeri Hindia dengan negeri Belanda dan lain-lain dalam perniagaan, mudah saja mendapat untung. Besar faedahnya berkoloni itu buat kaum Hartawan!!!
Sifat dan watak Rakyat Hindia tidaklah pula tinggal membantu kekal hidupnya sesuatu modal.
Sungguhpun di tanah Eropa perkakas-perkakas pabrik lebih murah dan pekerjanya lebih banyak dan pintar dari pada di Hindia ini, tetapi tumbuhnya kemodalan di sana tidaklah bisa begitu subur seperti disni. Di sana kaum Modal mesti membayar kulinya lebih mahal karena keperluan hidup kuli-kuli di sana lebih tinggi dari di Hindia. Meskipun sengsara dan tindasannya tiada berapa bedanya dengan disini, tetapi kaum Proletar di Eropa, lantaran ada musim sejuk mesti memakai pakaian tebal, makanan gemuk-gemuk dan rumah-rumah batu. Kaum Modal terpaksa membayar lebih! Lagi pula pergerakan kaum Buruh yang teratur dan keras itu, sebab merebut bermacam-macam hak lahir dan batin, sehingga kaum Buruh Eropa tidak boleh lagi dibalik-balikkan saja.
Bagaimana disini?
Karena kita tidak perlu memakai pakaian tebal dan mahal, rumah-rumah batu serta makanan yang gemuk-gemuk, maka senanglah kita dengan upah yang sedikit. Lagi pula watak-watak kesederhanaan (perhambaan), seperti sabar, menerima serta syukur, yang sudah beratus-ratus tahun kita terima dari Ratu-ratu, Pujangga dan pendeta-pendeta, pendeknya kebudayaan pada tiap-tiap negeri yang berdasar keningratan, menyebabkan maka kaum Modal Eropa bisa di sini membayar upah dengan sekehendak hatinya saja.
Bagus hawa negeri Hindia, kaya dan subur tanahnya, sabar dan syukur penduduknya, kekurangan watak dan kepintaran buat kemodalan. Inilah sifat-sifat yang terutama sekali yang menyehatkan, membesarkan, dan mengekalkan kemodalan bangsa asing di negeri kita ini.
Menurut keterangan kita yang pendek tadi dalam hal ekonomi (bermacam-macam perusahaan) maka beranilah kita memutuskan bahwa kemesinan itu di negeri kita ini sudah cukup besar pengaruhnya. Tetapi oleh karena datang dan majunya sangat baru, maka kaum Proletar tanah kita masih setengah paham pertanian, yang bercampur dengan berbagai pengetahuan dan kepercayaan kuno. Tetapi lambat launnya tentulah paham dan sifat-sifat pertanian itu akan hilang juga.
Hilangnya itu niscayalah akan diperkencangkan oleh pergerakan kaum Buruh di segenap dunia, terutama di dunia Eropa. Kemenangan kaum Buruh di tanah Rusia atas kaum Modal, majunya pergerakan kaum buruh di negeri-negeri yang lain-lain di Eropa menyebabkan maka kaum Proletar di benua Asia mulai membuka mata dan membuka selimut kekunoannya yang sudah beribu-ribu tahun itu.
Perubahan itu nyata sekali di tanah Hindia kita ini. Juga propagandanya komunis disini, maka sudah tertanam bibit-bibit yang bisa melanjutkan pergerakan-pergerakan, baik dalam hal serikat buruh maupun dalam hal politik.
Bermacam-macam kaum buruh yang kita lukiskan di atas tadi (pabrik, spoor dll) sudah mencoba memakai dan merasa gunanya senjata-senjata Barat dalam pergerakan untuk mengubah nasibnya hidup.
Kekayaan, kepintaran, dan kerukunan kaum Modal di Hindia ini boleh kita kalahkan kalau kita serukan pula karena meskipun kita tidak kaya tetapi kita beribu-ribu kali lebih banyak. Tetapi kita mesti jangan memandang bangsa (Jawa-Sunda-Melayu dsb) dan jangan memandang agama atau pekerjaan kaum buruh yang terpencar-pencar dalam pabrik, kebun, tambang, spoor dll. Itu haruslah mendirikan sebuah anggota yang mengikat segala serikat buruh-serikat buruh yaitu Vakcentrale. Vakcentrale inilah saja yang bisa melawan Syndicatnya (semacam vakcentrale juga) kaum Modal yang selalu siap tolong-menolong kalau dapat serangan dari pihak kaum buruh. Oleh karena kemodalan di Hindia ini internasional (Hindia ini sudah penuh dengan modal bangsa-bangsa Belanda, Swiss, Amerika, Inggris, Cina, Jepang dsb. Minyak tanah umpamanya sudah bisa mendatangkan pergaduhan antara Belanda dengan Amerika, yang lantaran kekurangan minyak tanah mesti kesana sini merebut dan merampaas. Oleh karena kemodalannya maka cita-cita Amerika untuk orang Amerika mesti ditukarnya dengan cita-cita imperialisme: Dunia minyak untuk Amerika), maka kaum buruh terpaksa pula mesti berhaluan internasional karena keperluannya kepada Modal sama, meskipun agama dan bangsanya bermacam-macam.
Kaum Modal sudah mendirikan Liga Bangsa-Bangsa. Tetapi yang berkuasa dalam Liga Bangsa itu ialah yang bertentara dan berkoloni banyak juga (Inggris, Perancis dsb). Liga Bangsanya kaum Modal itu sudah diakui dan dibantu oleh kaum Sosial Demokrat. Artinya itu, kaum Sosial Demokrat itu setuju haluannya Modal yang mau menetapkan hidupnya keburuhan di Eropa dan menetapkan hidupnya koloni (perhambaan bangsa Timur).
Kaum buruh Eropa sudah yakin bahwa tambah gaji dua atau tiga tadi artinya di dunia kemodalan ini nihil.
Dengan segera naik harga beras, garam, kain yang sama sekali di tangan kaum Modal. Sebab harga barang-barang ini naik, maka sebentar lagi kaum Buruh mesti minta tambah gaji pula. Demikianlah nasib si Buruh itu dalam dunia kemodalan. Gaji bertambah harga naik; harga barang naik minta tambah gaji.
Disebabkan oleh aksi tambah gaji itu dalam dunia kemodalan tak ada gunanya, oleh sebab krisis-krisis, peperangan-peperangan sama sekali menimpa kaum Buruh dunia juga; oleh sebab dunia kemodalan dengan Liga Bangsanya mau menetapkan keburukan di Eropa dan perbudakan bangsa Timur dan Afrika, maka oleh sebab itu haruslah segala kaum Buruh dan Tani di atas dunia mengumpulkan sekalian lasykarnya di bawah bendera internasionalisme dengan berhaluan revolusioner.
C. Jatuhnya Kapitalisme dan Lahirnya Komunisme.
Dahulu sudah kita terangkan (dalam fasal Kapitalisme dan Sosialisme) bahwa menghasilkan barang dengan cara Kapitalisme buat perniagaan yang bersifat concurentie (persaingan) itu mendatangkan berbagai penemuan mesin baru. Penemuan mesin baru itu membesarkan hasil, sehingga melimpah (over productie). Kelimpahan itu mengadakan politik jajahan (rebut merebut rabat atau koloni) terhadap keluar negeri, dan politik dan membesarkan tentara darat dan luat terhadap ke dalam negeri sendiri. Pajak senantiasa bertambah-tambah, supaya kapal dan meriam juga senantiasa bertambah kukuh dan kencang. Perlombaan dalam bikin membikin kapal dan meriam yang besar-besar itu menimbulkan curiga dan takut di antara satu negeri dengan negeri yang lain. Tiada satupun negeri yang percaya atas yang lain, tiada satu negeri yang merasa sentosa hidupnya. Curiga dan ketakutan masing-masing itu menyebabkan satu mencari teman pada yang lain sehingga mendatangkan perserikatan. Demikianlah sebelumnya perang yang baru lalu ini (dari tahun 1914 – 1918) didapati perserikatan Jerman, Austria, Hongaria, dan Italia (ketika perang Italia bercedera dan masuk sama Serikat Inggris), dari satu pihak serta serikat Inggris, Rusia dan Perancis dari pihak yang lain. Lama sungguh kedua serikat yang besar-besar itu bertentangan, sungguhpun baru dalam politik saja.
Akhirnya pertentangan politik ekonomi itu melahirkan peperangan.
Selama dunia berkembang, yakni selama sejarah dikenal, belumlah ada peperangan yang bisa menyamai hebatnya peperangan yang baru ini, berjuta-juta harta yang lenyap. Berjuta-juta jiwa melayang di medan peperangan di kota-kota lantaran bom dan dinamit yang dijatuhkan oleh kapal udara, berjuta-juta yang patah kaki dan tangannya, yang melarat dan mati kelaparan. Wabah penyakit atau kolera yang kadang-kadang menyerang kita manusia, belumlah 1/10-nya dari wabah yang disebabkan oleh sifat kerakusannya kaum Modal zaman sekarang.
Tetapi, seperti guntur dan petir itu mendahului udara yang bersih, demikianlah juga ribut dan topan di tanah Eropa itu mendahului zaman yang mesti datang, yang sekarang sudah merentangkan fajarnya di tanah Rusia.
Tanah Rusialah yang pertama sekali sadar. Dialah kaum Buruh yang pertama kali mengetahui bahwa dia dipakai oleh Kaum Modal semacam perkakas untuk pemuasan nafsunya atas kekayaan saja. Segala senjata-senjata yang maksudnya mula-mula mengekalkan dan membesarkan kemodalan, sekarang berbalik haluan dan melenyapkan dirinya kaum Kapitalis sendiri.
Bagaimanakah di bagian tanah Eropa dan dunia yang lain?
Baikpun serikat yang kalah, konon nasibnya serupa saja. Dalam hal ekonomi dan politik keduanya jatuh. Negeri yang satu menarik yang lain, akhirnya jatuhnya makin lama makin kencang.
Tanah jerman yang kerugian tanah, kapal-kapal, kereta-kereta pendeknya kerugian bermacam-macam perkakas pengadaan hasil mesti membayar ongkos perang beribu juta rupiah. Saban-saban diganggu oleh pemogokan dan pemberontakan yang ngeri. Seperti kita uraikan dahulu politiknya kaum Sosial Demokrat sama sekali bocor. Berdirinya sekarang tidak lain karena belum ada partai yang lebih kuat dari partai-partai yang lain-lain. Sesungguhnya partai Monarkis atau partai raja makin lama makin besar dan kuat, tetapi partai ini belum berani keluar sekarang, juga sebab ada gandengannya yakni partai Komunis. Dan partai Komunis ini belum pula bisa naik, lantaran pengaruhnya partai-partai Monarkis, pendeta, Sosial Demokrat dan lain-lain. Tetapi teranglah bahwa partai yang tiada lama lagi mesti naik ialah salah satu dari yang dua tadi yakni: Partai Monarkis atau Komunis.
Boleh jadi partai Sosial Demokrat, yang rasanya mesti akan jatuh sama sekali, mula-mula akan diganti oleh partai Monarkis, yang mau mendirikan Kaisar seperti sebelumnya tahun 1918. Alasan persangkaan ini adalah cukup. Politiknya kaum Modal Perancis sangat membangunkan hati kebangsaan, (sehingga bangsa Jerman, juga kaum Buruhnya benci sama bangsa dan kaum Buruh Perancis), sehingga perasaan ini boleh dipakai oleh kaum Modal Jerman untuk politiknya sendiri. Oleh karena kaum Monarkis itu bisa menarik hati Rakyat dengan membangunkan hati kebangsaan itu, maka kaum Komunis tidak bisa berjalan cepat. Kehinaan yang setiap-tiap waktu mesti ditanggung oleh Jerman dari pihak Perancis – ingatlah saja kedudukan tentara Perancis di sebelah barat tanah Jerman dan perhatikanlah politik Polandia di Opper-Silecie, politik mana dibantu keras pula oleh Perancis – besok atau lusa akan mendatangkan huru-hara juga. Tetapi kita tidak percaya yang peraturan Monarkis itu akan bisa kembali dengan kekal.
Sebaliknya kita yakin, bahwa kekusutan ekonomi dan pergerakannya akan membuka mata kaum Buruh, juga akan membongkar Kapitalisme di sana dengan pokok dan akarnya.
Meskipun Perancis menang berperang, tetapi hutangnya kepada bangsa-bangsa lain, yang lebih kurang 300 billiun frans (300 billiun = 300.000.000.000.000,-) itu tentu tiada akan terpikul olehnya. Bagian sebelah utara, yakni pusatnya industri hampir rata-rata hancur, lantaran pelurunya meriam-meriam dalam peperangan yang sebelumnya. Kota-kota, desa-desa, ladang dan tambang besar-besar, yang rusak haruslah didirikan kembali, supaya perjalanan ekonomi bisa terus lagi. Tetapi dengan apa kalau sebagian besar dari anak-anak muda yang kuat sudah meninggal di peperangan, dan kalau masih beribu-ribu anak muda sudah mesti sudah dipakai untuk membantu Polandia dan menjaga negeri-negeri yang baru dirampas kaum Modalnya sesudah perdamaian ini? (banyak serdadu Perancis yang sekarang mesti dipakai untuk menjaga di sebelah barat tanah Jerman, di Syria dan sebagainya). ”Lengang dan sunyi tanah Perancis”, inilah yang mengerikan pembesarnya. Lagi pula jiwa yang lahir makin berkurang-kurang. Kemenangan atas bangsa Jerman sangat mengganggu pergerakan kaum Buruh tanah Perancis. Bangsa yang berdarah panas dan berhati kembang ini mudah dihinggapi nafsu kemasyhuran. Tetapi kegirangan itu tentulah tidak akan kekal. Karena ekonominya jatuh, dan sebab hatinya yang gembira dan dipukul rata berani serta suci itu mudah pula dihinggapi oleh suaranya Komunis, maka partai Komunis di Perancis itu makin lama makin mendesak. Tiadalah percuma saja bahwa hampir semua buah pikiran manusia (begitu peraturan negeri dari persatuan Monarkis (kerajaan) sampai dengan kapitalisme dan dari Kapitalisme sampai Komunisme) yang dikemukakan zaman sekarang hampir sama sekali berasal dari Tanah Perancis, sehingga terang pengaruhnya dalam 300 tahun ini atas bangsa-bangsa di Eropa dan dunia yang lain-lain.
Meskipun tanah Ingrgis masuk serikat yang beroleh kemenangan, walaupun tanahnya kaya, isi negerinya pintar, serta jajahannya di atas dunia ini terbesar sekali, tetapi hal-hal yang tersebut tiadalah bisa mengindahkan bala-bala yang dijatuhkan oleh peperangan baru-baru ini atas dirinya. Dunia Inggris tergoncang. Sejak dari waktu perdamaian (tahun 1918) sampai sekarang tiadalah putus pemogokan yang besar-besar dan tegas. Pemerintah mesti campur, mesti mengeluarkan tentara, mesti mengeluarkan uang untuk memelihara tentara itu, pendeknya pemerintah terhadap kaum Buruh sudah berlaku seperti suatu negeri yang siap untuk berperang. Nyatalah disini bahwa pergerakan ekonomi akhirnya mesti berdasar politik, karena pemerintah sendiri terpaksa tampil membantu kaum Modal, yakni dengan polisi, justisi, dan serdadunya. Makin lanjut kemodalan sesuatu negeri, makin keras dan tajam pertentangan buruh dengan kapitalis dan mesti terang sikapnya pemerintah terhadap para kaum pekejra. Dalam hal ini kaum Proletar tak bisa curiga atau ragu-ragu, siapa yang kawan atau lawan.
Sudah tentu pemogokan-pemogokan itu menambah mundurnya ekonomi Inggris. Hasil berkurang-kurang Inggris kehilangan pasar (sebab ia tiada menghasilkan orang-orang umpamanya lantaran pemogokan, maka langganannya mesti membeli orang pada bangsa lain sehingga kaum Modal orang Inggris kehilangan langganan dan pasar) perdamaian dalam ekonomi negerinya hilang sehingga barang masuk dan keluar dalam perniagannya makin lama makin susut pula.
Penyakit yang lain yang tidak kurang kerasnya ialah perlawanan besar yang dilakukan oleh isi rumahnya sendiri, yakni daya upaya lahir dan batin dari pihak bangsa Mesir, Hindu dan Irlandia, untuk melepaskan belenggunya yang berpuluh atau beratus tahun itu. Peperangan dengan bangsa-bangsa yang saban-saban memberontak itu memakan uang berjuta-juta dan menambah kalutnya dunia Albino dan seterusnya. Kalau jajahan itu bisa merdeka, tentulah hal itu tak kecil tamparannya atas kemodalan Inggris.
Sungguhpun tanah Inggris, sebagai Kapitalisme yang tertua dan sempurna atas dunia masih bisa menahan serangan-serangan baik dalam hal ekonomi (pemogokan) ataupun kebangsaan yang baiknya ekonomi juga. Tetapi penyakit-penyakit yang selalu mengorek kesehatan badannya itu tentu akhirnya akan menjatuhkan dirinya juga, ialah dari kemodalan tadi.
Bagaimana hal negeri-negeri yang lain dari yang lima tersebut ada di tanah Eropa tiadalah perlu kita uraikan panjang lebar. Bahkan tinggal kalut seperti sebelum perang. Austria – Hongaria dahulu di bawah seorang kaisar, serta sesudah berdamai tahun 1918 dipecahkan oleh serikat sehingga menjadi dua, sekarang sudah sampai bermusuh-musuhan satu dengan lain. Austria, yang dahulu begitu besar dan masyhur, sekarang sangat mundur dalam hal ekonomi, politik ataupun dalam banyaknya cacah jiwa. Wina ibu negeri yang termasyhur di Eropa, sekarang rumahnya dan gedung yang besar-besar habis dibeli orang asing, anak-anak yang kelaparan hidupnya dengan bantuan dari luar, kelaparan senantiasa mencari mangsanya, pendeknya kota Paris tanah Eropa yang kedua ini (Weenon) bolehlah dinujumkan untuk jatuh. Italia ribut, disebabkan permusuhan antara kaum Modal dengan kaum Komunis makin lama makin kuat, dan dimana-mana kaum Proletar bertambah sadar dan mengerti akan betulnya Komunis. Tidak saja dalam negeri yang dirusakkan peperangan, tetapi juga negeri-negeri yang semasa perang tinggal netral (Swedia, Denmark, Belanda, Belgia, dan lain-lain) mesti melihat timbul dan majunya pergerakan kaum Komunis. Ringkasnya, kemodalan Eropa sama sekali condong dan pada tiap-tiap saat boleh ditunggu rubuhnya.

Kalau kita memandang pada negeri yang cuma tahu pada keuntungan saja ketika watku peperangan seperti Jepang dan Amerika, maka juga di sana kita melihat keadaan-keadaan yang tiada berapa bedanya dengan Eropa.
Di Tanah Jepang pergerakan Rakyat makin lama makin keras. Sesudah tahun 1868, maka Jepang melompat dari zaman kuno sekali (sebelum tahun 1868 di tanah Jepang masih ada berkasta-kasta seperti pada zaman kuno sekali di tanah Jawa ini) sampai kepada zaman Kapitalisme, dengan melampaui beberapa tingkat-tingkat yang mesti dinaiki oleh bangsa Barat lebih dahulu. Tetapi perlompatan itu tidak disebabkan tajamnya otak bangsa Jepang saja, tetapi lebih-lebih oleh pertolongan teknik Barat (ilmu-ilmu mesin dsb) yang didapat oleh bangsa Barat dalam beratus-ratus tahun, dan bagi bangsa Jepang sebagai sudah tersedia saja. Oleh karena lompatan itu, tentulah pikiran bangsa Jepang tidak bisa sama sekali pikiran kemodalan. Mikado masih disangka sebagai wakilnya Tuhan di atas dunia. Pemerintah negeri mesti tinggal pada tangan bangsawan dan hartawan-hartawan. Pada masa ini kasta Militer sangat terkuasa, tiada berapa bedanya dengan Jerman di bawah perintah Wilhem II. Nama-nama negeri dalam politik luar kerajaan Jepang seperti: Syantung, Manchuria, Korea, Formosa, dsb. adalah menjadi tanda bagi kebuasan dan ganasnya kata Militer dan kaum Modal bangsa Jepang. Meskipun Mikado masih dipandang semacam Tuhan, sungguhpun keuntungan yang didapat lantaran perang di Eropa tiada ternilai, baik dalam perniagaan, politik, walaupun lebarnya jajahan, tetapi Rakyat tanah Jepang terpaksa bergerak, disebabkan kemelaratan juga. Tak kurang pula kita baca pemogokan-pemogokan yang keras, tidak saja untuk minta tambah gaji, tetapi juga untuk politik buat Hak Memilih umpamanya (tahun 1920).
Ilmu Komunisme mulai diperhatikan betul-betul oleh Rakyat dan murid-murid sekolah tinggi. Baru-baru ini kita baca bahwa ada seorang profesor (kalau tidak salah namanya Kimura) yang ditangkap karena mengembangkan biji Komunisme. Siapa tahu apa kelak akhirnya Rakyat matahari naik (Jepang) yang berotak tajam dan berwatak keras itu.
Tetapi dipukul rata kerajaan Jepang dan Amerika bolehlah dikatakan sendi kemodalan.
Negeri Amerika didiami oleh bangsa Eropa juga. Tanah sangat subur dan masih luas. Orang yang masuk yang biasanya semata-mata hendak mencari kekayaan saja masih bisa dengan mudah memuaskan nafsunya itu. Sebab itulah kemodalan kuat sekali. Tetapi Komunisme tentu akan berdusta kalau ada tempat di dunia ini yang berdasarkan kapitalisme bisa memberi keselamatan bagi seluruh Rakyat, atau sebagian besar dari Rakyat. Kita tahu bahwa Amerika negerinya raksasa-raksasa uang (millioner). Perniagaan, landbouw (perusahaan tanah dengan mesin) dan industrinya jauh lebih besar dari negeri-negeri manapun juga di benua Eropa. Amerika Serikat yang selang belum berapa lama banyak kececeran oleh dan banyak berhutang pada Eropa sekarang menjadi kreditornya benua Eropa. Negeri-negeri di Eropa, maupun yang terkaya, terpintar serta terkuasa sekali, seperti Inggris, ngeri melihat kemajuannya tanah Amerika. Tetapi sungguhpun begitu sekarang ini tidak kurang dari 5.000.000 (kalau tiap-tiap si buruh itu mempunyai satu istri dan satu anak jadi adalah kira-kira 15 juta manusia dari penduduk kurang-lebih 100 juta yang dalam kesengsaraan dalam negeri yang terkaya) kaum buruh yang dipecat atau tak dapat kerja lantaran adanya krisis (kekalutan perniagaan). Angka ini sudah cukup untuk menggambarkan kemurkaan Kapitalisme dimanapun juga tumbuhnya.
Sebaliknya pula tak perlu diwartakan bahwa juga di Amerika mesti timbul dan majunya pergerakan Komunsime walaupun ketika ini beribu-ribu pemimpin-pemimpin yang ditahan dalam penjara.
Pergerakan politik di Benua Cina tidak bisa kita uraikan panjang lebar. Bukan saja lantaran kabar-kabar yang datang dari sana kurang terang, tetapi terutama sebab kalutnya benua yang mempunyai kurang-lebih 450 juta jiwa itu. Utara dengan Selatan masih tidak serukun. Sesungguhpun Peking namanya ibu negeri, tetapi kota besar yang lain-lain biasanya berbuat sekehendak hatinya saja. Lebih-lebih kota yang terbesar di sebelah selatan, yakni Kanton, hampir tak kurang kuasa dan pengaruhnya dari kota manapun juga di benua Cina. Karena kekalutan politik di benua Cina itu, maka tiadalah kita akan heran kalau kadang-kadang kita mendengar kabar yang jenderal ini atau itu sudah berlaku sekehendak hatinya saja. Pendeknya, tak ada pemerintah sentral, yang diakui sah, baik untuk menjalankan undang-undang atau untuk menghukum orang atau kata yang melanggar undang-undang.
Negeri yang belum bisa mengurus rumah tangganya sendiri itu tentulah tiada bisa menetapkan sikap terhadap keluar negeri. Kabar-kabar telegram membuktikan betapa lemahnya benua Cina terhadap Jepang yang sembilan atau sepuluh kali lebih kecil itu. Shantung, Manchuria, dll menjadi negeri rebutan Jepang saja. Jepang sudah boleh menjalanlan kontrol (kontrol itu diperoleh Jepang ketika dunia kalut karena Perang Dunia Pertama, kabarnya ada kira-kira 20 juta manusia yang ditimpa bahaya itu) atas ekonomi, spoor dan tentaranya benua Cina, sehingga pergerakan ekonomi dan politik terhambat sekali.
Kabar-kabar yang datangnya dari pihak kaum modal, yang mengatakan bahwa di benua Cina maju sekali pergerakan Bolshevismenya, tiada kita berani mensahkan, cuma boleh percaya bahwa benua besar yang dalam huru-hara sendiri, diancam bahaya kelaparan, dan diperebut-rebutkan oleh kaum Modal Inggris, Jepang, Amerika dsb. itu akan terpaksa memangku Komunsime dan memihak pada kaum Bolshevik, dengan jalan mana ia bisa kelak menghindarkan bahaya perbudakan terhadap kaum Imperialisme dunia.
Seberapa bisanya saja kita sudah menunjukkan pergerakan ekonomi dan politik di Eropa, Amerika, Jepang dan benua Cina (yakni dengan kabar-kabar eficiel, maupun dalam organnya kaum Modal, maupun dalam maklumatnya kaum Komunis dari Moskow sendiri).
Kita merasa perlu berbuat semacam ini, bukan saja karena kita mau memperhatikan gegap gempitanya dunia kapitalisme semasa dan sesudahnya peperangan tahun 1914 ini dan memperlihatkan keras majunya pergerakan Komunisme. Adalah lagi sebagian besar dari dunia ini yang perlu kita taruh di bawah pelita merah yang tidak kurang pentingnya buat Komunsime dari benua Eropa, yakni Hindustan.
Sebetulnya kita belum puas, cuma memberi keterangan sedikit saja atas pergerakan di sana.
Pertama : Sebab Hindustan begitu penting dalam hal ekonomi dan politik dunia, karena penduduk negerinya saja ada kira-kira 300 juta, yakni kira-kira 1/5 dari penduduk seluruh dunia.
Kedua : Sebab Hindustan, yang dahulunya ternyata guru dari Hindia kita ini dalam beberapa ilmu-ilmu, sesudah tahun 1600, yakni sesudah berdirinya OIC (Kompeni Inggris) nasibnya tiada berapa bedanya dengan kita, karena dalam politik, ekonomi, Kompeni Belanda banyak mengambil contoh dari politik ekonomi Kompeni Inggris.
Ketiga : Sebab Hindustan sekarang semakin hari semakin keras nafsu dan aksinya buat kemerdekaan; dan kalau sekiranya maksudnya sampai, maka perubahan politik dunia tiada akan sedikit.
Inilah alasan-alasan kita, maka sepatutnya kita mau menceritakan tanah Hindsutan dengan sejarahnya yang jelas. Tetapi karena kita takut akan membawa pembaca menyimpang, maka kita terrpaksa dengan seringkas-ringkasnya melukiskan hal ihwal tanah Hindsutan.
Kita tidak perlu membaca sejarah untuk menyaksikan bahwa kepandaian dan kebudayaan kita disini banyak sekali diperoleh dari benua Hindustan. Pun benua yang lain-lain, baik pun Eropa atau Asia (Ingat saja ilmu-ilmu di Eropa dan agama Budha di seluruh Asia) banyak menerima buah perasaan dan pikiran yang halus-halus itu, sehingga tiadalah jauh dari kebenaran kalau kita berkata bahwa Hindia muka semenjak beratus-ratus tahun sebelum nabi Isa sudah menjadi asalnya kebudayaan dunia.
Pada masa OIC (Kompeni Inggris) didirikan (tahun 1600), maka benua Hindustan masih dipuncak kepandaian dan kekayaan di atas dunia ini. Bangsa Inggris yang masuk itu jauh ketinggalannya dalam berbagai hal. Cuma ia melebihi dalam politik dan perkakas senjata perang.
Dengan tentara yang lebih sempurna bedil dan meriamnya, ia menewaskan kerajaan-kerjaaan yang di pesisir laut. Tetapi meriam itu masakan bisa menaklukkan Hindustan sama sekali. Senjata yang lebih tajam ialah: Politik menghasut raja ini dengan raja yang lain, menghasut kaum Muslimin dengan kaum beragama Hindu, menolong pihak yang sudah kena hasut melawan seterunya. Pendeknya dengan politik seperti dalam cerita Galilah dan Daminah, atau seperti kata orang Romawi politik devide et empera (hasut dan kalahkan), maka yang kecil bisa menewaskan musuh yang berpuluh-puluh lebih kuat dan besar.
Serta dengan politik membatalkan perjanjian-perjanjian dengan raja Hindustan, maka Inggris bisa menaklukkan manusia yang kurang lebih 7 kali lebih besar itu.
Dalam 300 tahun di bawah perintah Inggris, maka sejarahnya penuh dengan pemberontakan-pemberontakan, sebab penindasan, serta kelaparan (sepanjang sejarah Digby, ahli sejarah Inggris), bahaya-bahaya kelaparan di Hindustan dari tahun 1891 – 1900 mengubahkan 19 juta manusia. Padi dan dan gandum sampai cukup tetapi ditahan oleh kaum uang supaya boleh dijual mahal. Kaum Proletar yang bergaji kecil tak sanggup membeli, kata E. Macdonald. Baru-baru ini Lord Curzon menetapkan bahwa gaji orang Hindustan dipukul rata lebih kurang f 1,50 sebulan.
Lord Clive, warren Hastings, dan baru-baru ini Jenderal O’Deyer, semuanya pembesar-pembesar Inggris, yang terutama sekali menjadi gambaran untuk banjir-banjir darah yang disebabkan pemberontakan-pemberontakan tadi. Jadi berbeda benar sifat pergaulan bangsa Inggris sekarang dengan bangsa Hindustan, sungguhpun kedua bangsa tadi memasuki negeri orang lain sama-sama dengan niat hendak berniaga. Kemodalan zaman sekarang mesti berlaku lebih buas, dari sebab itu politiknya Inggris terhadap pada jajahannya mesti lebih kasar pula.
Bagaimana politik perniagaan OIC di sana, kita sudah merasakan politik perniagaan Kompeni, disini tiadalah perlu lagi diberi cerita panjang lebar.
Bangsa Hindustan harus membeli barang pabrik yang datang dari Eropa, seperti kain, perkakas-perkakas, dll. Sebab itulah maka pertukangan dan perusahaan bangsa Hindustan sendiri mati sama sekali. Begitu juga kepandaian Rakyat dalam hal bertukang dan berhubung dengan itu pendidikannya sendiri menjadi jatuh. Pendeknya Rakyat Hindustan mesti jadi bodoh, sepanjang Maz.T.Muller, maka sebelumnya Inggris datang ada di Benggala saja 80.000 sekolah rendah, sehingga untuk tiap-tiap 400 penduduk negeri ada 1 sekolah. Karena Inggris menghancurkan peraturan desa, maka pendidikan cara Hindu itu hancur pula, sehingga sekarang cuma 50 persen anak lelaki dan 5 persen anak perempuan bersekolah. Di negeri yang masih di bawah raja sendiri, Baroda umpamanya, ada 100 persen anak lelaki dan 30 persen anak perempuan bersekolah. Bandingkan saja di Jawa ini Solo dengan keresiden yang di bawah perintah Gouvernement!
Keningratan Hindustan, yang sudah tentu mau merdeka di negerinya sendiri harus diganti dengan pejabat-pejabat bangsa Inggris. Pemberontakan-pemberontakan, lantaran kerasnya nafsu kemerdekaan tadi, terpaksa mengadakan tentara yang kuat, yang setiap waktu bisa melawan pergerakan nasionalisme yang timbul.
Pejabat dan militer, politik dan rechercheur yang beribu-ribu itu menelan uang berjuta-juta rupiah. Ongkos yang sebesar itu datangnya dari pajak juga, yang sangat menekan (menindas) rakyat.
Pemerintah tak berani mengadakan leerplicht (tiap-tiap anak mesti bersekolah), karena takut kalau rakyat jadi pintar dan bisa kelak mengalahkan Kapitalisme Inggris lahir dan batin.
Politik kemodalan Inggris niscaya membunuh politik rakyat. Hak buat berkumpul, dan hak surat-surat kabar harus dipotong-potong dan rakyat yang cinta pada tanah airnya serta memperlihatkan kecintaan itu dengan perkataan atau kelakuan tentulah tiada boleh campur menimbang keperluan rakyat dalam pemerintah negeri. Pemuda-pemuda yang keluar dari sekolah tinggi di Eropa, yang berperasaan kemerdekaan tentulah terlantar hidupnya. Pemuda-pemuda yang mengunjungi sekolah-sekolah tinggi di Hindustan sendiri niscayalah dapat halangan dalam ujian atau dalam mencari pekerjaan kalau dia tidak bersifat budak.
Demikianlah keadaan politik jajahan itu. Inggris tidak bisa mengubahnya lagi. Karena Hindustan sudah jadi kemodalannya sendiri, sehingga perubahan itu kalau dilakukan bisa menjatuhkan dirinya sendiri. Kapitalis Inggris mesti terus memakai pejabat, politik, tentara yang besar itu, terus memungut pajak. Dunia Hindustan yang terkaya dan termulia sebelum tahun 1600 itu sekarang menjadi termiskin di atas dunia, karena segala kekayaan mengalir menuju ke tanah Inggris. Rakyat yang tidak mendapat pendidikan mesti membayar pajak berat yang tak putus didatangi penyakit, tak putus didatangi bahaya kelaparan itu, maka rakyat yang kira-kira 300 juta itu bolehlah kita katakan kaum kita sejati, yang satu nasib satu niat di atas dunia ini.
Sekarang ini di Hindustan ada berbagai pergerakan yang berdasarkan agama, kebangsaan, dan sosialisme. Dalam hal agama lama sungguh Muslimin (kira-kira 60 juta) bertentangan atau dipertentangkan oleh Inggris dengan agama Hindu. Walaupun pergerakan sosialsime tak kurang hebatnya, sehingga saudara Roy (komunis) tak boleh masuk di Hindustan, tetapi yang jadi suluh pergerakan pada ketika ini ialah Nasionalisme yang bertubuh pada dirinya Mahatma Gandhi.
Pahlawan ini sudah kita kenal, baik cita-cita ataupun watak dan kesatriaannya. Menurut persangkaan kita semacam komunis, yang tiada mau melompat berpikir, haruslah tingkat yang pertama ini kita akui sahnya. Haluan nasionalisme seperti di Hindustan itu di mulut dan di hati tiada boleh kita hinakan atau kecilkan harganya. Tetapi keyakinan kita juga bahwa rakyat yang 300 juta dalam kemelaratan itu kelak kalau sekiranya negeri merdeka, niscaya tak dapat tidak akan meminta keperluan dalam pertama sekali buat sesuatu manusia. Yakni terutama keperluan hidup dan tiada akan bisa kenyang lagi dengan cita-cita kebangsaan atau agama saja.
Gandhi mesti kelak terpaksa memilih: ”Kapitalisme atau Komunisme” dan peraturan negeri Parlemen atau Soviet. Artinya yang terus dalam praktek, atau ia harus memihak pada kaum Modal bangsa sendiri, atau pada rakyat. Zaman sekarang seorang pemimpin, yang sudah mengajak rakyat mencari kemerdekaan, tidak akan bisa berdiri di tengah-tengah lagi, sebab kaum Proletar dimanapun juga sudah sadar, dan lagi pula pertentangan Komunisme dan Kapitalisme tidak tinggal dalam teori lagi seperti beberapa tahun dahulu.
Kita tentu tidak bisa memberi putusan. Bagaimana kelak nasib tanah Hindustan, tidak boleh ditetapkan oleh pengharapan kita sebagai Komunis, atau pengharapan Gandhi sebagai nasionalis. Kodrat alam berlaku seperti kehendaknya sendiri saja. Tetapi Komunisme bisa menunjukkan dengan sejarah alam sendiri, bahwa akhirnya Kodrat alam itu (keadaan ekonomi) akan menarik pergerakan sesuatu nasionalisme itu kepada peraturan rakyat yakni Komunisme.
Kalau kepercayaan kita ini benar, maka ”Hindia Muka” entah mana yang penting dengan Eropa. Selama ini Eropa (negeri-negeri di luar Rusia) disangka sebagai pintu masuk ke zaman Komunisme. Artinya, kalau negeri-negeri Eropa yang di luar Rusia sama sekali mempunyai Soviet – yakni gambar Diktatornya kaum Proletar – maka dunia lain mesti mengikut. Tetapi juga kalau Hindustan lepas dari bangsa Inggris, niscaya kaum Proletar Rusia bisa berhubungan betul dengan rakyat Hindustan, perhubungan mana sekarang sangat dihalang-halangi oleh pemerintah Inggris. Dengan Persia, Afghanistan, Turkistan dan dunia Muslim yang lain-lain, perhubungan itu sudah bertambah-tambah keras (sehinga sudah sampai dua kali pemerintah Inggris mencegah kaum Bolshevik meneruskan persahabatannya itu) sehingga kalau perhubungan terus dengan Hindustan juga terdapat, maka tiadalah kurang dari kurang-lebih 500 juta manusia yang berlindung di bawah bendera merah.
Kelepasan Hindustan dari tangan Inggris adalah suatu dorongan yang keras, dan kalau kaum Proletar tanah Inggris melihat musuh kaum modalnya sendiri itu sudah lemah, tentulah segera ia akan mendirikan kekuasaan rakyat. Kalau Kapitalisme Inggris jatuh, tentulah kemodalan negeri lain-lain di Eorpa tidak bisa berdiri.
Inilah alasan-alasan kita buat menerangkan persangkaan bahwa Hindustan tak sedikit pentingnya buat Komunisme. Inilah artinya buat kita pergerakan kebangsaan atau agama di Hindustan sekarang, seterusnya pula inilah artinya Mahatma Gandhi buat zaman Komunisme yang mesti datang itu.
Tiadalah percuma saja kita menguraikan keadaan ekonominya dunia sekeliling tanah Hindia, karena ekonomi itulah jadi sendi pergaulan hidup yang terutama sekali, dan karena ekonomi itulah pula maka datang perhubungan negeri-negeri di atas dunia ini. Pada zaman Kapitalisme ini, tiadalah ada lagi negeri yang tiada terkenal atau terpencar letaknya. Dahulu kala, beribu dan beratus tahun yang lalu, maka kerajaan-kerajaan Mesir, Yunani, Romawi atau Islam hidup sendiri-sendiri. Hampir tidak ada perhubungan dengan Amerika ataupun benua Cina, yang dipagari dengan batu tembok yang tebal, panjang dan tinggi itu. Begitu juga bangsa Jepang, belum lama rakyatnya ini dilarang meninggalkan negerinya sendiri, dan melarang bangsa asing memasuki tanahnya. Lautan-lautan besar beserta gunung yang tinggi-tinggi menjadi halangan besar dalam pergaulan satu bangsa dengan bangsa yang lain, sehingga bolehlah dikatakan dunia dahulu dibagi atas beberapa dunia, yang satu dengan lainnya hampir tiada tahu-menahu.
Tetapi pada zaman sekarang, tak ada lagi lautan yang lebar, atau gunung yang tinggi bisa menghambat pergaulan satu bangsa dengan yang lain. Kapal dan kereta api mempertalikan negeri-negeri di dunia ini dengan lekasnya. Tak ada gunung yang tinggi yang tidak bisa dilampaui oleh kapal terbang, serta tak ada laut yang dalam yang tidak bisa diduga oleh kapal selam. Telegraf dan telephone boleh menyebarkan kabar di alam kita ini dalam satu atau dua menit saja.
Sifat ekonomi zaman kemodalan ini sudah internasional (seluruh dunia). Meskipun baru-baru ini umpamanya, bangsa Eropa yang berperang-perangan, tetapi rakyat Hindia disini tak kurang menanggung kecelakaan disebabkan peperangan tadi. Ingatlah saja berapa naiknya harga bermacam-macam barang-barang yang perlu kita pakai disini. Ringkasnya: Hindia ini adalah sebagian dari rumah ekonominya Kapitalisme dunia. Tiadalah bangsa Hindia bisa mengatakan: ”Saya tak perduli akan hal ihwal politik negeri sekeliling saya”.
Demikianlah juga kaum Modal bangsa apapun juga, tidak akan berkata: ”Saya tak perduli hal ihwalnya politik di Hindia”. Teh, beras dan gula kita masyhur dimana-mana. Amerika umpamanya, yang tahu akan artinya karet dan minyak tanah buat industrinya sendiri, ingin melihat negeri kita yang penuh dengan benda-benda yang tersebut.
Apabila kita sekejap memandang pada peta bumi, maka kelihatanlah bahwa selat-selat Sunda dan Malaka laksana menjadi pintu ke benua Cina, Jepang dan seterusnya Amerika, yang sama sekali di diami oleh kurang lebih ½ dari penduduk dunia. Di sebelah barat pintu tadi kita dapati benua Hindustan dan Eropa, yang juga mempunyai kurang lebih ½ dari penduduk bumi. Berapa pentingnya pintu-pintu tadi dalam perniagaan antara bangsa Cina dan Jepang dengan Hindustan dan Eropa, ahli-hali ekonomilah yang lebih maklum. Istimewa pula kalau kelak bangsa Cina atau Hindustan bertambah maju maka niscayalah Hindia kita seperti suatu pasar dimana bangsa-bangsa tadi bertemuan. Memangnya hal ini pada zaman dahulu kala sudah terjadi.
Negeri Malaka (di selat Malaka), negeri Banten (di selat Sunda) pada masa kompeni belum datang, adalah bandar-bandar yang dikunjungi oleh bangsa-bangsa tadi.
Lebih-lebih kalau peperangan timbul (antara bansga-bangsa yang sebelah Barat melawan modal Jepang dan Amerika), maka niscayalah mereka itu akan rebut-merebut pintu tadi, yang penting sekali artinya untuk satu-satu pihak.
Peperangan itu segenap waktu bisa terjadi (pada masa ini negeri-negeri Inggris, Jepang dan Amerika berlomba-lomba membuat kapal perang yang besar-besar, sungguhpun mereka itu berlomba-lomba pula menyanyikan perkataan perdamaian). Bagaimana kelak kombinasinya (serikat-serikatnya) peperangan, tentulah tiada bisa kita putuskan.
Cuma kita tahu, yang Jepang dan Amerika sedang berlomba-lomba membuat kapal perang yang besar-besar. Dalam rebut-merebut ”Lautan Teduh” niscaya Hindia kita tak akan bisa ”netral”.
Lagi pula Eropa dan Hindustan makin lama makin kusut. Kalau sekiranya benua yang dua ini menjadi merah sama sekali, maka peperangan yang akan datang itu bukanlah untuk rampas merampas tanah atau laut buat kemodalan, melainkan untuk menghancurkan Kapitalisme. Eropa – Hindustan, niscaya akan berlawanan dengan Jepang – Amerika (sebagai benteng kemodalan dunia).
Juga dalam hal ini kita akan terbawa-bawa. Kita tak perlu seorang ahli ekonomi atau peperangan untuk menyaksikan bahwa dalam peperangan antara merah (Eropa – Hindustan) melawan putih (Jepang – Amerika) Hindia ini terpenting sekali.
Berhubung dengan kepercayaan kita, bahwa Kapitalisme itu boleh jadi lekas jatuh, dan berhubung dengan kehendak rakyat disini atas kemerdekaan, maka kita bertanya:
1. Apakah kita mesti tinggal pasif (menerima) seperti beribu-ribu tahun yang sudah ini?
2. Apakah kelak kita mesti berserah saja kepada kemodalan Amerika, Australia, Jepang atau Inggris yang kalau peperangan tadi datang kelak akan berdaya upaya menduduki negeri kita?
3. Apakah mesti kita biarkan saja rakyat berjuta-juta itu dalam nafsu dan pengharapan yang keras itu buat keselamatan hidup?
Berhubung dengan pertanyaan-pertanyaan itu, maka kita meminta, kita berseru pada pemuda-pemuda bangsa Hindia ini, yang suci, adil dan berani. Kita meminta, supaya dipikirkan betul-betul persoalan-persoalan yang berguna buat keperluan hidup.
Kita ada yakin bahwa tiap-tiap pemuda di Hindia ini yang tahu akan kehinaan dan kemiskinan rakyat akan cocok dengan paham kita, yakni: Kekuasaan Sovietlah yang akan disukai rakyat disini dan hanya dialah yang kelak bisa memerdekakan rakyat yang terhina dalam beribu-ribu tahun ini.
Tetapi, kalau seseorang sudah mendapat keyakinan itu, maka haruslah pula ia berdaya upaya untuk menjalankan dan mendatangkan cita-cita itu, artinya itu haruslah ia menceburkan diri pada pergerakan rakyat. Kalau tidak, maka cita-cita itu akan tinggal cita-cita (kenang-kenangan) saja, dan tiada menambah kekuatan rakyat.
Bahwasanya Hindia ini penuh dengan kekuatan (kodrat) yang tersembunyi. Beribu-ribu kaum Proletar yang belum mempunyai organisasi yang teguh. Belum pula ada perkumpulan politik yang boleh dikatakan sempurna. Tetapi kita percaya bahwa kerukunan dan ketetapan paham dalam serikat buruh dan Perkumpulan Politik itu juga disini bisa didapat, asal kita sama sekali berpikir dan berusaha mencari sesuatu kerukunan, yang sepadan (cocok) dengan kemelaratan dan kemauan rakyat disini. Kita yakin bahwa harganya lasykar Perkumpulan Vak atau Politik yang berdasar kerakyatan itu lebih besar dari 5 Universiteit (sekolah tinggi). Karena kalau lasykar-lasykar seperti cita-cita komunisme disini sudah siap, maka apa saja yang kita kehendaki dalam pergaulan hidup mesti akan kita dapat, juga Universiteit. Kekuasaan Soviet (kekuasaan Rakyat) bisa membangun hati dan pikiran merdeka, tidak saja di Hindia ini, tetapi juga di seluruh dunia.
Syahdan maka jikalau kita Hindia ini sudah sampai mempunyai organisasi Rakyat itu, maka kita bukan hanya memperoleh senjata yang sangat tajam untuk mengubah nasib hidup disini saja, tetapi dengan senjata itu, bolehlah dengan girang kita menunggu nasibnya Kapitalisme. Jika sekira-kiranya Kapitalisme Eropa dan Hindustan betul jatuh, maka disinipun kita sudah siap untuk mengatur negeri dengan cara semestinya, sehingga kemurkaan kemodalan lenyap dengan segera, serta bergantian dengan perdamaian dan keselamatan dunia.

SEMARANG, OKTOBER 1921

No comments: