Sunday, 20 February 2011

Sejuta Puisi Pablo Neruda

Nyanyian Putus Harapan
Sajak Pablo Neruda

Kenangan tentangmu bangkit dari malam seputarku.
Sungai membaurkan keluh kesahnya dengan laut.

Tinggal sunyi sendiri, bagai para liliput di fajar hari.
Ini jam bagi keberangkatan, O aku yang tinggal sepi.

Bungkul kuntum bunga beku menghujani hatiku.
O lorong runtuh, puing berkeping kapal karam.

Padamu yang perang dan yang terbang tersatu.
Darimu sayap-sayap pada lagu burung terbangkit.

Engkau menelan habis segalanya, seperti jarak.
Seperti laut, seperti waktu. Padamu segala terbenam!

Ini saatnya, waktu yang leluasa menyerang dan mengecup.
Waktu untuk mengeja apa yang berkobar: rumah cahaya.

Ketakutan penerbang pesawat, kegeraman pengemudi buta.
gerak acak Cinta yang mabuk. Padamu segala terbenam!

Di masa kanak kabut jiwaku, bersayap dan terluka.
Penjelajah pun tersesat. Padamu segala terbenam!

Maka kugambar lagi, kubangun dinding bayang,
antara bertindak dan angan, kaki kulangkahkan.

Oh daging, dagingku sendiri, perempuan terkasih yang hilang,
Aku memanggilmu di jam basah, kuteriakkan lagu bagimu.

Seperti guci, engkau berumah di kerapuhan tak hingga.
dan melupa yang tak hingga menghancurmu seperti guci.

Ada kesunyian pulau-pulau yang hitam. Dan di
sana, perempuan dengan cinta, tanganmu meraihku.

Ada rasa haus dan lapar, dan engkaulah buah-buahan.
Ada batu nisan dan reruntuhan, dan engkau keajaiban.

Ah perempuan, tak tahu aku, bagaimana kau mengisiku,
di bumi jiwamu, di dekap rengkuhnya kedua lenganmu.

Dahsyat dan ganasnya, angan inginku menuju engkau,
Betapa sulit dan kepayang, betapa keras dan keranjingan

Makam-makam kecupan, masih ada api di kuburmu,
masih ada buah terbakar, dipatuk-patuki burung.

Pada mulut yang tergigit, cabang-cabang terkecup,
pada geligi yang lapar, pada tubuh-tubuh terlilitkan.

Oh sepasang kegilaan: harapan dan kekuatan,
di mana kita bersatu menyatu lalu dikecewakan.

Dan kelembutan itu, sinar adalah air dan serbuk.
Dan kata-kata mencekam, mulai ada di bibir.

Inilah takdirku dan perjalananku, dan kerinduanku
dan ketika rindu menimpa, padamu segala terbenam!

O puing-puing reruntuhan, semua jatuh menimpamu,
derita yang tak kauucap, derita yang tak kau genangkan.

Dari gelombang ke gelombang masih kau seru berlagu
Berdiri tegak seperti pelaut di haluan kapal.

Engkau masih mekar dalam lagu, menunggangi arus.
O puing retuntuhan, membuka sumur yang empedu.

Si pengendara yang rabun, penyandang tanpa keberuntungan
si pencari jejak yang sesat. Padamu segala terbenam!

Ini saatnya keberangkatan, saat yang keras membeku
Malam yang dipercepat pada setiap jadwal-jadwal.

Debar sabuk-sabuk samudera membebat pantai
Bintang yang beku memberat, burung hitam beranjak.

Tertinggal sunyi sendiri, seperti dermaga di fajar hari,
Hanya ada bayang gemetar meliuk di dua tanganku
.
O jauh dari segala, O terpencil dari segala.
Ini saatnya berangkat. O seorang telah disiakan!



Tubuhnya: Tubuh Seorang Perempuan
Sajak Pablo Neruda

Tubuh seorang perempuan, putih pebukitan, putih dua paha,
Engkau tampak bagai dunia, pada pasrah menghampar.
Tubuh jumudku, akulah petani menggali pada tubuhmu
lalu kuciptakan anak berlompatan dari kedalaman bumi.

Aku sendiri bagai terowongan. Burung-burung berhamburan,
dan malam membanjiriku dengan invasi, sebenar serangan.
Aku bertahan, aku menempamu jadi serupa hunus senjata,
seperti panah di busurku, sebongkah batu dalam tali umban.

Tapi saat pembalasan dendam luruh, maka kucintai engkau.
Tubuhmu: kulit, lumut, desak hasrat, susu yang memadu.
O, gelas piala payudara. O, mata yang nyimpan ketiadaan!
O, mawar pinka di pupumu. O, suaramu, hanya bisik berduka.

Tubuh seorang perempuan. Aku bertahan dalam semarakmu.
Haus rasaku, tak berbatas hasratku, tak berujung jalanku.
Sungai bertebing gelap, di sana mengalir haus yang kekal
dan rasa letih menyusul. Lalu pedih yang terus berterusan.



Pada Sebuah Senja di Langitku
Sajak Pablo Neruda

* Sajak ini adalah parafrase dari sajak ke-30 dalam Buku
Penjaga Taman (The Gardener) karya Rabindranath Tagore.

Pada sebuah senja, di langitku, kau menjelma jadi awan
aku jatuh cinta tersebab bentuk dan warna-warnamu itu.
Engkau milikku, milikku, perempuan berbibir madu
dan dalam hidupmu, mimpi-mimpiku tak mati-mati.

Nyala pelita di jiwaku membasuh kedua kakimu,
Anggurku yang masam, terasa lebih manis di bibirmu,
Lagu pujian malamku, seluruhnya hanya bagimu,
O betapa ada satu mimpi: meyakini kau jadi milikku!

Kau milikku. Milikku. Kuteriakkan pada angin petang,
dan angin pun menghela suaraku nelangsa di pundaknya.
Pemburu kedalaman mataku, engkau si perampas
sebab masih saja naluri malammu mengira ia telaga.

Kau terperangkap dalam jaring musikku, Sayangku,
dan perangkap musikku itu meluas seluas angkasa.
Jiwaku lahir pada pantai perkabungan di matamu.
Di mata berkabungmu itu, negeri mimpi memulai diri.



Lebah Putih
Sajak Pablo Neruda

Lebah putih, kau mendengung di jiwaku, mabuk madu,
angin kibasan sayapmu melingkarkan asap perlahan.

Akulah dia yang tak berharapan, kata tanpa suara gema.
Akulah dia yang kehilangan, dan mendapatkan segalanya.

Pada tambang kapal penghabisan, berderit rinduku.
Pulauku kering, kau di sana bunga mawar terakhirku.

Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.

Biarkan ceruk matamu mengatup. Di sana malam gugup.
Ah tubuhmu, patung yang ketakutan. Sempurna telanjang.

Matamu, mata yang dalam, di mana melecut malam.
Lengan dingin bunga-bunga, dan selingkar mawar.

Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.

Ada kesunyian itu, tersebab engkau tak ada.
Hujan turun. Angin laut memburu camar tersasar.

Maka tampak payudaramu bagai siput putih.
Kupu-kupu bayang singgah tidur di perutmu.

Di jalanan basah, air melangkah dengan kaki telanjang.
Di pohon itu, dedaunan demam menggerutu.

Lebah putih, ketika kau tak ada pun, kau berdengung di jiwaku
Dalam waktu kau hadir lagi, tak kasat mata, tak bersuara.

Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.


White Bee

White bee, you buzz in my soul, drunk with honey,
and your flight winds in slow spirals of smoke.

I am the one without hope, the word without echoes,
he who lost everything and he who had everything.

Last hawser, in you creaks my last longing.
In my barren land you are the final rose.

Ah you who are silent!

Let your deep eyes close. There the night flutters.
Ah your body, a frightened statue, naked.

You have deep eyes in which the night flails.
Cool arms of flowers and a lap of rose.

Your breasts seem like white snails.
A butterfly of shadow has come to sleep on your belly.

Ah you who are silent!

Here is the solitude from which you are absent.
It is raining. The sea wind is hunting stray gulls.

The water walks barefoot in the wet streets.
From that tree the leaves complain as though they were sick.

White bee, even when you are gone you buzz in my soul
You live again in time, slender and silent.

Ah you who are silent!



Cukup Dadamu Saja Buatku
Sajak Pablo Neruda

Cukup dadamu saja buat hatiku,
dan sayapku untuk kebebasanmu.
Apa yang tertidur di jiwamu kelak
bangun dari mulutku, ke surga menuju.

Padamu ada ilusi segenap hari-hari.
Kau datang seperti embun ke mangkuk bunga-bunga.
Ketika kau tiada, kau guyahkan kaki langit.
Seperti ombak: terbang, mengangkasa, selamanya.

Telah kusabdakan: kau bernyanyi di deru angin
seperti guruh pinus, seperti dentang tiang.
Seperti keduanya, engkau tinggi, berdiam,
dirudung murung. Kau: bagai pelayaran itu.

Kau libatkan segalanya seperti jalanan tua.
Kau dihuni gema-gema dan suara nostalgia.
Aku bangun ketika burung terbang dan beralih benua
aku dan burung yang telah lama tidur di jiwamu.


Your Breast is Enough

Your breast is enough for my heart,
and my wings for your freedom.
What was sleeping above your soul will rise
out of my mouth to heaven.

In you is the illusion of each day.
You arrive like the dew to the cupped flowers.
You undermine the horizon with your absence.
Eternally in flight like the wave.

I have said that you sang in the wind
like the pines and like the masts.
Like them you are tall and taciturn,
and you are sad, all at once, like a voyage.

You gather things to you like an old road.
You are peopled with echoes and nostalgic voices.
I awoke and at times birds fled and migrated
that had been sleeping in your soul.




Pada Sebuah Senja di Langitku
Sajak Pablo Neruda

* Sajak ini adalah parafrase dari sajak ke-30 dalam Buku
Penjaga Taman (The Gardener) karya Rabindranath Tagore.

Pada sebuah senja, di langitku, kau menjelma jadi awan
aku jadi cinta tersebab bentuk dan warna-warnamu itu.
Engkau milikku, bagiku, perempuan berbibir madu
dan dalam hidupmu, mimpi-mimpiku tak mati-mati.

Nyala pelita di jiwaku membasuh kedua kakimu,
Anggurku yang masam, terasa lebih manis di bibirmu,
Lagu pujian malamku, seluruhnya hanya bagimu,
O betapa ada satu mimpi: meyakini kau jadi milikku!

Kau milikku. Milikku. Kuteriakkan pada angin petang,
dan angin pun menghela suaraku nelangsa di pundaknya.
Pemburu kedalaman mataku, engkau si perampas
sebab masih saja naluri malammu mengira ia telaga.

Kau terperangkap dalam jaring musikku, Sayangku,
dan perangkap musikku itu meluas seluas angkasa.
Jiwaku lahir pada pantai perkabungan di matamu.
Di mata berkabungmu itu, negeri mimpi memulai diri.


In My Sky at Twilight

This poem is a paraphrase
of the 30th poem in
Rabindranath Tagore's
The Gardener

In my sky at twilight you are like a cloud
and your form and color are the way I love them.
You are mine, mine, woman with sweet lips
and in your life my infinite dreams live.

The lamp of my soul dyes your feet,
My sour wine is sweeter on your lips,
oh reaper of my evening song,
how solitary dreams believe you to be mine!

You are mine, mine, I go shouting it to the afternoon's
wind, and the wind hauls on my widowed voice.
Huntress of the depths of my eyes, you plunder
stills your nocturnal regard as though it were water.

You are taken in the net of my music, my love,
and my nets of music are wide as the sky.
My soul is born on the shore of your eyes of mourning.
In your eyes of mourning the land of dreams begins.


Nyaris Saja Melampaui Angkasa
Sajak Pablo Neruda

Nyaris saja melampaui angkasa, separo bulan
menautkan jangkar di antara dua pegunungan.
Bertukaran, malam melayah, si penggali mata.
Tengok, ada bintang-bintang terbanting di kolam.

Ada persimpangan duka antara dua mataku, dan lekas berlalu.
Menempa logam biru, malam bagi pertempuran kesunyian.
Hatiku bergulung bertukar, seperti roda-roda gila.
Gadis yang datang dari jauh, terbawa dari jauh,
sesekali kelebatmu menyambar di lengkung langit.
Gemuruh, badai guruh, puting beliung kemarahan,
kau memapas di atas hatiku tanpa terhentikan.
Angin dari pemakaman terbawa lari, merongsokkan,
menghamburkan akarmu yang tadinya lelap damai.

Pohon besar di sisian lain, sisiannya, terbantun.
Tapi kau, gadis tanpa awan, pertanyaan kabut, malai jagung.
Di belakang gunung-gunung malam, lily putih lautan api,
Ah, tak ada yang bisa kusebut lagi! Kau adalah segalanya.

Rindu yang mengiris dadaku berkepingan, inilah saatnya
melintasi ke jalan lain, mengelakinya, menghindar senyuman.

Badai mengubur lonceng-lonceng, pusaran lumpur penyiksaan,
kenapa menyentuhnya sekarang, kenapa memurungkannya.

Oh, ikuti saja jalan yang membawamu jauh dari segalanya.
tanpa nestapa, kematian, musim dingin menanti di sana
dengan matanya terbuka karena embun yang ada.


Almost Out of the Sky

Almost out of the sky, half of the moon
anchors between two mountains.
Turning, wandering night, the digger of eyes.
Let's see how many stars are smashed in the pool.

It makes a cross of mourning between my eyes, and runs away.
Forge of blue metals, nights of stilled combats,
my heart revolves like a crazy wheel.
Girl who have come from so far, been brought from so far,
sometimes your glance flashes out under the sky.
Rumbling, storm, cyclone of fury,
you cross above my heart without stopping.
Wind from the tombs carries off, wrecks, scatters your sleepy root.

The big trees on the other side of her, uprooted.
But you, cloudless girl, question of smoke, corn tassel.
You were what the wind was making with illuminated leaves.
Behind the nocturnal mountains, white lily of conflagration,
ah, I can say nothing! You were made of everything.

Longing that sliced my breast into pieces,
it is time to take another road, on which she does not smile.

Storm that buries the bells, muddy swirl of torments,
why touch her now, why make her sad.

Oh to follow the road that leads away from everything,
without anguish, death, winter waiting along it
with their eyes open through the dew.



Pagi yang Penuh Seluruh
Sajak Pablo Neruda

Pagi yang penuh dengan badai ganas
di hati yang kini musim panas.

Awan mengembara bagai sapu tangan putih perpisahan,
angin, bepergian, melambaikannya di segenap tangan.

Hati angin yang tak terbilang ada
berdebaran pada kebisuan cinta kita.

Seperti takdir dan orkestra, bersuara di antara pepohonan
seperti bahasa yang disesaki perang dan tembang.

Sehembus lekas angin membawa dedaunan mati
menangkis anak panah beruntuntun burung-burung.

Seombak angin menghembusnya telanjang dada
tanpa percik, ringan tapi ada, seperti api.

Kecupan-kecupannya pecah dan lalu tenggelam,
Menyerbu memburu ke pintu angin musim panas.



The Morning is Full

The morning is full of storm
in the heart of summer.

The clouds travel like white handkerchiefs of goodbye,
the wind, travelling, waving them in its hands.

The numberless heart of the wind
beating above our loving silence.

Orchestral and divine, resounding among the trees
like a language full of wars and songs.

Wind that bears off the dead leaves with a quick raid
and deflects the pulsing arrows of the birds.

Wind that topples her in a wave without spray
and substance without weight, and leaning fires.

Her mass of kisses breaks and sinks,
assailed in the door of the summer's wind.

No comments: