Friday, 25 February 2011

Seperti Angin Berlalu

Seperti Angin Berlalu




Siapa yang meninggal??

“Barangkali seorang berdarah biru.”

“Belum pernah aku melihat orang melayat sebanyak ini.”

“Pastilah ia orang yang terhormat di negerinya.”

“Kukira begitu. Terlalu banyak dari antara mereka yang meneteskan air mata. Bahkan ada yang meratap dengan keras dari balik jendela mobilnya.”

“Kukira ia seorang Oriental yang disegani.”

Kedua bule penjaga rumah duka itu berdiri di balik kaca dan memerhatikan sosok tubuh yang terbaring di situ sejak dua hari yang lalu. Mereka kembali ke kantornya di ruang sebelah kamar mayat dan membuka daftar jenazah yang dibaringkan di rumah duka itu.

“Namanya asing bagi kita,” kata yang seorang,” dibawa ke tempat ini dua hari yang lalu.”

“Sejak itu kita menjadi repot,” sambung bule yang lain seakan-akan menggumam kepada dirinya sendiri. “Rombongan pelayat seperti tidak habis-habisnya dan tidak mengenal waktu.”

Bule yang memegang buku catatan itu menoleh sejenak kepada kawannya yang duduk di depannya, di seberang meja, kemudian ia menghidupkan tape yang mengumandangkan lagu pilu.

“Lagu itu,” kata kawannya, “terlalu sendu.”

“Biarlah. Ratap perjalanan bagi jiwa yang berlalu dan menunggu.”

“Menunggu?” tanya yang seorang.

“Ya. Kita di sini sedang menunggu. Hidup itu menunggu untuk menempuh sebuah perjalanan yang jauh, yang kita tak tahu ujungnya. Kemudian, berlalu.”

“Maksudmu? Apa itu berlalu?”

“Kita juga akan menyusul ke sana walau kita sekarang sedang menunggu. Kereta kehidupan membawa kita ke tempat yang tidak kita tahu. Kita hanya menjalaninya dan menunggu. Barangkali, yang menemani kita dalam perjalanan itu hanyalah segelintir orang. Barangkali yang melayat kita hanya kerabat dekat kita, itu pun kalau mereka tidak berada di tempat yang jauh.”

“Parodi upacara berlangsung dengan seorang pendeta berjubah hitam dan petugas makam, kawan-kawan kita dengan diam-diam menurunkan kita ke liang lahat. Di atasnya hanya sebuah nama, penanggalan. Itu saja. Tidak pula ada gundukan tanah. Tiada lagu duka. Tanpa air mata. Kita tidak bakal seperti orang di sebelah. Lihat, rombongan mereka sudah tiba.”

Kedua-duanya melihat lewat pintu kantor yang terbuka. Deretan kendaraan dan jendela kaca mobil yang terbuka, kepala yang melongok dan bisik-bisik yang tidak dipahami mereka. Deretan mobil itu bergerak perlahan, cukup panjang. Satu demi satu berlalu dan deretan panjang sedang menunggu. Mereka menyaksikan tubuh yang terbaring kaku di dalam peti mati pohon oak yang kukuh, dialas kain putih, dengan pakaian jas hitam, di atas meja yang agak rendah dan dinding kaca yang penuh.

“Kapan akan dikuburkan?” tanya bule yang merunduk di balik meja, mencari sesuatu di lantai.

“Siang ini,” jawab pemegang buku catatan sambil menunjuk waktu dalam lorong baris buku.

“Di mana?”

“Garden Avenue. Tapi sebentar lagi mayatnya akan dibawa.”

“Ke mana?”

“Ke sebuah kapel, tidak jauh dari sini. Katanya, sudah ratusan pelayat menunggu di sana.”

“Ia orang saleh barangkali? Kau akan ke sana?”

“Kalau ada waktu, atau kalau kau mau menunggu di sini di luar jam tugasmu.”

“Sayang. Aku ada keperluan lain.”

“Kalau begitu, kita doakan saja.”

“Kau sering berdoa?”

“Kadang-kadang.”

“Juga untuk orang-orang mati yang diberangkatkan dari rumah duka ini? Begitu banyak setiap hari? Lalu, pernahkah kau merasa doamu dijawab?”

“Kuharap doaku meringankan duka kerabat dekatnya. Dijawab Tuhan? Entahlah. Kalau hatiku bergerak, tiap kali jenazah diangkut dari sini, aku berbisik dalam hati, kepada Tuhan, sebelum aku sendiri suatu hari kelak, mungkin kau antarkan ke tempat yang sana.”

Kawannya tersenyum. “Mungkin ia orang saleh. Baik juga berdoa untuknya sekalipun hanya dalam hati. Paling sedikit, untuk meneduhkan hati kita sendiri, saat menunggu seperti katamu tadi.”

“Kita siap atau tidak, kereta panjang sedang menunggu kita. Di terminal waktu. Waktu keberangkatan yang tidak kita tahu. Karcis sudah tersedia di sana. Tidak pernah habis. Kapan pun.”

Kedua bule itu berdiri di ambang pintu. Keduanya mengangguk kepada para pelayat yang perlahan berlalu.

Lagu-lagu melankolis dalam berbagai bahasa memenuhi ruang kapel. Kapel itu penuh dengan para pelayat dari berbagai suku bangsa. Orang-orang Asia mendominasi, sejumlah simpatisan orang kulit putih tersebar di antara mereka. Peti mayat yang terbuka dibaringkan dekat altar. Jenazah yang terkubur di dalamnya tampak tenang bagai orang yang sedang tidur. Wajah yang telah dirias untuk terakhir kalinya, setampan wajahnya ketika masih muda.

Hening seperti membeku ketika pendeta naik ke mimbar. Dengan suara yang dalam dan berat, ia menyapa hadirin yang turut berkabung. Menyampaikan salam dan doa sejahtera. Lalu ia mempersilakan koor menyanyikan sebuah lagu duka dan pengharapan. Semua mata memandang kepada anggota koor yang mengenakan jubah hitam. Orang-orang tersentak ketika kata amin yang panjang bergema. Orang-orang pun mengaminkan ketika anggota koor itu duduk kembali di kursi mereka.

Diam yang panjang. Pendeta menghela napas panjang sebelum mampu memulai khotbahnya.

“Saudara-saudaraku,” katanya memulai dengan suara berat dan dalam. “Hari ini kita berada di kapel ini untuk mengantarkan jenazah sahabat kita yang kita kasihi. Ia telah menempuh perjalanan yang panjang, hampir setengah abad. Sebuah perjalanan kebajikan, kemurahan, dan kasih sayang telah dilaluinya. Ia menghayati imannya di tengah-tengah pergumulan dan tetap setia sampai akhir kehidupan. Banyak sudah orang susah yang telah ditolongnya, banyak pembangunan rumah ibadah yang diwujudkannya. Ia contoh seorang anggota jemaat yang taat yang tidak mau membiarkan orang pulang dari rumahnya tanpa berkat, dengan tangan kosong. Kebaikan dan kebajikan yang dilakukannya sangat sesuai dengan imannya.”

“Kalau beberapa hari yang lalu ia tiba-tiba berlalu dari antara kita, itu di luar kehendaknya. Tentang kematian, hanya Tuhan yang mengetahui hari yang pasti. Bahkan burung pipit sekalipun tidak ada yang luput dari perhatian-Nya. Tidak ada penyakit yang kita tahu diidap almarhum ini yang membawanya ke rumah sakit. Kematiannya yang tiba-tiba amat mengejutkan kita. Ia tidak menyusahkan siapa-siapa. Ia tidak memberi pesan kepada kerabat dekatnya. Bahkan, tidak ada firasat tentang kepergian ini.”

“Kematian adalah sebuah misteri yang panjang, yang kusut, dan menakutkan. Tetapi kematian ini dapat juga menjadi jalan damai bagi yang bersangkutan karena ia telah menyelesaikan tugasnya di atas dunia yang fana ini. Kita tidak perlu selalu gelisah tentang kematian ini. Misteri atas misteri itu pernah juga diungkapkan oleh Yesus Kristus. Ia mati dan bangkit kembali. Ia berjanji akan kembali dan membangunkan orang yang tidur di dalam Dia, seperti sesaat mimpi di siang hari. Semuanya kelak akan menjadi pulih, dan hidup abadi di dalam Dia….”

Ia menghapus keringat yang muncul di dahinya. Tangannya menunjuk kepada seorang wanita yang berada di barisan koor. Perempuan itu langsung berdiri dan menyanyikan sebuah lagu “pengharapan akan kebangkitan” seorang diri-solo. Suaranya yang melengking mengetuk setiap pintu hati orang yang berada di tempat itu, membawa mereka jauh melayang, melayang jauh melewati langit yang biru. Membuai jauh, dan akhirnya menghempas kembali ke Bumi ketika suara itu berhenti menggema di ruang kapel itu.

Pendeta sekali lagi mengelap keringat yang mengalir di pipinya. Udara AC tampaknya tidak mampu meneduhkan gejolak duka di dalam dirinya. Kemudian ia membuka sebuah teks dari Kitab Suci dan membacakannya. Isinya, tentang pengharapan di balik kematian ini.

Baris demi baris dengan tertib orang bergerak mengelilingi peti jenazah, memberi penghormatan terakhir.

Sepintas lalu “Garden Avenue” tidak beda dengan kawasan lain. Yang membedakannya hanyalah pohon-pohonnya yang menjulang tinggi seperti tidak pernah mengenal mesin potong. Kawasan yang berhutan agak luas itu ternyata tertata rapi seperti sebuah taman. Ada jarak tertentu antara pohon yang satu dan yang lain. Rumput di bawahnya terawat dengan baik, tidak ada rumput liar. Jalan-jalan yang bertebaran di mana-mana terurus dengan baik. Kendaraan dapat parkir di sisi kanan jalan. Di bawah pohon yang rindang ada nisan di antara rumput, rata dengan tanah.

Ratusan kendaraan yang parkir memanjang di taman itu merupakan sebuah pemandangan yang luar biasa bagi orang bule, tetapi tidak bagi orang Oriental. Orang bule menyebut orang Asia dengan sebutan “Oriental” sementara orang Asia, khususnya yang berasal dari Indonesia, menyebut orang kulit putih “bule”. Barisan panjang para pelayat itu kemudian mengelilingi liang lahat yang menerima tubuh lelaki setengah baya yang diturunkan ke dalamnya.

Pendeta mengatakan, “Dari tanah kembali ke tanah, yang dari Tuhan kembali kepada Tuhan,” dan menjatuhkan tanah ke atas peti jenazah. Bunga-bunga kemudian ditaburkan para pelayat sebagai ucapan selamat jalan dan sampai “bertemu pada pagi yang cerah” suatu saat kelak.

Di atas sebuah mobil VW Combi, yang telah disulap seperti sebuah kamar pada bagian belakangnya, duduk tiga orang kulit berwarna alias Oriental, dalam perjalanan pulang dari pemakaman itu.

“Siapa sih yang dimakamkan?” tanya lelaki pertama.

“Kau tidak kenal orang itu? Mengapa kau melayatnya?”

“Tidak. Hanya karena simpati. Kawan seapartemenku mengenalnya, tetapi ia jarang menyebut-nyebut tentang dia.”

“Lelaki itu seorang yang kaya di Tanah Air kita. Ia kaya sekali. Ia menolong banyak orang, seperti yang dikatakan oleh pendeta tadi. Suatu saat, ia ditipu orang. Usahanya pailit. Ia meminjam ke sana ke mari untuk menutupi utangnya. Banyak orang yang membantunya, tetapi dengan bunga yang tinggi. Termasuk orang-orang yang dianggapnya pemimpin rohani. Pinjaman itu tidak bisa dikembalikan karena bunga yang tinggi itu. Bank menyita rumahnya. Setiap saat telepon berdering di rumahnya, dari orang yang menagih utang. Tidak ada lagi orang yang mau melihatnya. Ia pindah dari satu tempat ke tempat lain. Anak-anaknya meninggalkannya dan mengumumkan di surat kabar bahwa mereka tidak ada sangkut-paut dengan orangtua mereka. Dengan bantuan seorang sahabat yang masih bersimpati kepadanya, ia mengongkosinya, lari ke negeri ini….”

Lelaki ketiga berkata, “Ia buronan polisi.”

Lelaki pertama, “Hah? Mengapa?”

Lelaki ketiga, “Dilaporkan oleh kawan-kawan yang seiman dengannya.”

“Bukan oleh rekan bisnisnya?” tanya lelaki pertama.

“Bukan. Menurut mereka, hal seperti itu biasa dalam bisnis. Tetapi bagi kawan-kawannya seiman, itu risiko yang harus ditanggungnya. Uang mereka harus kembali! Mereka tidak peduli alasan yang lain. Orang berutang tidak masuk ke surga,” kata mereka.

“Utang? Bukankah kita semua orang yang beriman orang yang berutang? Karena itulah, Yesus datang ke dunia ini, menebus orang yang berutang?” kata lelaki pertama.

Lelaki kedua, “Menurut mereka ini soal uang, bukan soal agama. Kedua hal itu harus dipisahkan. Orang yang memiliki harta memikirkan hartanya, orang yang tidak punya apa-apa berharap kelak di surga memiliki segala-galanya.”

Orang ketiga, “Di sini ia tidak tenteram. Ada juga orang yang meminjamkan uang itu di antara pelayat, yang selalu mengejarnya, bahkan ke kuburan ini untuk mengetahui apakah benar-benar dialah yang mati itu. Mereka tidak memikirkan yang lain-lain, kecuali uang itu dan bunganya. Kalau tidak, pernah juga mereka mengungkapkan kalau tahu alamatnya, akan segera dilaporkan sebagai pendatang ilegal agar dikembalikan ke Tanah Air.”

“Siapa yang membawa ia ke rumah duka?” tanya lelaki pertama.

“Tetangga sebelahnya yang curiga karena apartemennya selalu tertutup dan polisi mengedornya. Ia telah meninggal di kursi. Visum dokter mengatakan kematiannya karena serangan jantung. Berita itu segera tersiar di antara teman sebangsa,” jawab orang ketiga.

Mobil Combi itu berhenti di depan apartemen mereka. Seminggu kemudian tidak seorang pun menyebut-nyebut nama lelaki itu lagi. Ia telah hilang bersama angin sepoi-sepoi di bawah pohon yang tinggi dan teduh. Jauh dari sanak keluarganya, jauh dari pusat kegalauan hatinya.

Kereta maut telah mengantarnya, bersama angin yang berlalu. *

Bandung, 2004


Wilson Nadeak

No comments: