Seperti Angin Berlalu
Siapa yang meninggal??
“Barangkali seorang berdarah biru.”
“Belum pernah aku melihat orang melayat sebanyak ini.”
“Pastilah ia orang yang terhormat di negerinya.”
“Kukira begitu. Terlalu banyak dari antara mereka yang meneteskan air mata. Bahkan ada yang meratap dengan keras dari balik jendela mobilnya.”
“Kukira ia seorang Oriental yang disegani.”
Kedua bule penjaga rumah duka itu berdiri di balik kaca dan memerhatikan sosok tubuh yang terbaring di situ sejak dua hari yang lalu. Mereka kembali ke kantornya di ruang sebelah kamar mayat dan membuka daftar jenazah yang dibaringkan di rumah duka itu.
“Namanya asing bagi kita,” kata yang seorang,” dibawa ke tempat ini dua hari yang lalu.”
“Sejak itu kita menjadi repot,” sambung bule yang lain seakan-akan menggumam kepada dirinya sendiri. “Rombongan pelayat seperti tidak habis-habisnya dan tidak mengenal waktu.”
Bule yang memegang buku catatan itu menoleh sejenak kepada kawannya yang duduk di depannya, di seberang meja, kemudian ia menghidupkan tape yang mengumandangkan lagu pilu.
“Lagu itu,” kata kawannya, “terlalu sendu.”
“Biarlah. Ratap perjalanan bagi jiwa yang berlalu dan menunggu.”
“Menunggu?” tanya yang seorang.
“Ya. Kita di sini sedang menunggu. Hidup itu menunggu untuk menempuh sebuah perjalanan yang jauh, yang kita tak tahu ujungnya. Kemudian, berlalu.”
“Maksudmu? Apa itu berlalu?”
“Kita juga akan menyusul ke sana walau kita sekarang sedang menunggu. Kereta kehidupan membawa kita ke tempat yang tidak kita tahu. Kita hanya menjalaninya dan menunggu. Barangkali, yang menemani kita dalam perjalanan itu hanyalah segelintir orang. Barangkali yang melayat kita hanya kerabat dekat kita, itu pun kalau mereka tidak berada di tempat yang jauh.”
“Parodi upacara berlangsung dengan seorang pendeta berjubah hitam dan petugas makam, kawan-kawan kita dengan diam-diam menurunkan kita ke liang lahat. Di atasnya hanya sebuah nama, penanggalan. Itu saja. Tidak pula ada gundukan tanah. Tiada lagu duka. Tanpa air mata. Kita tidak bakal seperti orang di sebelah. Lihat, rombongan mereka sudah tiba.”
Kedua-duanya melihat lewat pintu kantor yang terbuka. Deretan kendaraan dan jendela kaca mobil yang terbuka, kepala yang melongok dan bisik-bisik yang tidak dipahami mereka. Deretan mobil itu bergerak perlahan, cukup panjang. Satu demi satu berlalu dan deretan panjang sedang menunggu. Mereka menyaksikan tubuh yang terbaring kaku di dalam peti mati pohon oak yang kukuh, dialas kain putih, dengan pakaian jas hitam, di atas meja yang agak rendah dan dinding kaca yang penuh.
“Kapan akan dikuburkan?” tanya bule yang merunduk di balik meja, mencari sesuatu di lantai.
“Siang ini,” jawab pemegang buku catatan sambil menunjuk waktu dalam lorong baris buku.
“Di mana?”
“Garden Avenue. Tapi sebentar lagi mayatnya akan dibawa.”
“Ke mana?”
“Ke sebuah kapel, tidak jauh dari sini. Katanya, sudah ratusan pelayat menunggu di sana.”
“Ia orang saleh barangkali? Kau akan ke sana?”
“Kalau ada waktu, atau kalau kau mau menunggu di sini di luar jam tugasmu.”
“Sayang. Aku ada keperluan lain.”
“Kalau begitu, kita doakan saja.”
“Kau sering berdoa?”
“Kadang-kadang.”
“Juga untuk orang-orang mati yang diberangkatkan dari rumah duka ini? Begitu banyak setiap hari? Lalu, pernahkah kau merasa doamu dijawab?”
“Kuharap doaku meringankan duka kerabat dekatnya. Dijawab Tuhan? Entahlah. Kalau hatiku bergerak, tiap kali jenazah diangkut dari sini, aku berbisik dalam hati, kepada Tuhan, sebelum aku sendiri suatu hari kelak, mungkin kau antarkan ke tempat yang sana.”
Kawannya tersenyum. “Mungkin ia orang saleh. Baik juga berdoa untuknya sekalipun hanya dalam hati. Paling sedikit, untuk meneduhkan hati kita sendiri, saat menunggu seperti katamu tadi.”
“Kita siap atau tidak, kereta panjang sedang menunggu kita. Di terminal waktu. Waktu keberangkatan yang tidak kita tahu. Karcis sudah tersedia di sana. Tidak pernah habis. Kapan pun.”
Kedua bule itu berdiri di ambang pintu. Keduanya mengangguk kepada para pelayat yang perlahan berlalu.
Lagu-lagu melankolis dalam berbagai bahasa memenuhi ruang kapel. Kapel itu penuh dengan para pelayat dari berbagai suku bangsa. Orang-orang Asia mendominasi, sejumlah simpatisan orang kulit putih tersebar di antara mereka. Peti mayat yang terbuka dibaringkan dekat altar. Jenazah yang terkubur di dalamnya tampak tenang bagai orang yang sedang tidur. Wajah yang telah dirias untuk terakhir kalinya, setampan wajahnya ketika masih muda.
Hening seperti membeku ketika pendeta naik ke mimbar. Dengan suara yang dalam dan berat, ia menyapa hadirin yang turut berkabung. Menyampaikan salam dan doa sejahtera. Lalu ia mempersilakan koor menyanyikan sebuah lagu duka dan pengharapan. Semua mata memandang kepada anggota koor yang mengenakan jubah hitam. Orang-orang tersentak ketika kata amin yang panjang bergema. Orang-orang pun mengaminkan ketika anggota koor itu duduk kembali di kursi mereka.
Diam yang panjang. Pendeta menghela napas panjang sebelum mampu memulai khotbahnya.
“Saudara-saudaraku,” katanya memulai dengan suara berat dan dalam. “Hari ini kita berada di kapel ini untuk mengantarkan jenazah sahabat kita yang kita kasihi. Ia telah menempuh perjalanan yang panjang, hampir setengah abad. Sebuah perjalanan kebajikan, kemurahan, dan kasih sayang telah dilaluinya. Ia menghayati imannya di tengah-tengah pergumulan dan tetap setia sampai akhir kehidupan. Banyak sudah orang susah yang telah ditolongnya, banyak pembangunan rumah ibadah yang diwujudkannya. Ia contoh seorang anggota jemaat yang taat yang tidak mau membiarkan orang pulang dari rumahnya tanpa berkat, dengan tangan kosong. Kebaikan dan kebajikan yang dilakukannya sangat sesuai dengan imannya.”
“Kalau beberapa hari yang lalu ia tiba-tiba berlalu dari antara kita, itu di luar kehendaknya. Tentang kematian, hanya Tuhan yang mengetahui hari yang pasti. Bahkan burung pipit sekalipun tidak ada yang luput dari perhatian-Nya. Tidak ada penyakit yang kita tahu diidap almarhum ini yang membawanya ke rumah sakit. Kematiannya yang tiba-tiba amat mengejutkan kita. Ia tidak menyusahkan siapa-siapa. Ia tidak memberi pesan kepada kerabat dekatnya. Bahkan, tidak ada firasat tentang kepergian ini.”
“Kematian adalah sebuah misteri yang panjang, yang kusut, dan menakutkan. Tetapi kematian ini dapat juga menjadi jalan damai bagi yang bersangkutan karena ia telah menyelesaikan tugasnya di atas dunia yang fana ini. Kita tidak perlu selalu gelisah tentang kematian ini. Misteri atas misteri itu pernah juga diungkapkan oleh Yesus Kristus. Ia mati dan bangkit kembali. Ia berjanji akan kembali dan membangunkan orang yang tidur di dalam Dia, seperti sesaat mimpi di siang hari. Semuanya kelak akan menjadi pulih, dan hidup abadi di dalam Dia….”
Ia menghapus keringat yang muncul di dahinya. Tangannya menunjuk kepada seorang wanita yang berada di barisan koor. Perempuan itu langsung berdiri dan menyanyikan sebuah lagu “pengharapan akan kebangkitan” seorang diri-solo. Suaranya yang melengking mengetuk setiap pintu hati orang yang berada di tempat itu, membawa mereka jauh melayang, melayang jauh melewati langit yang biru. Membuai jauh, dan akhirnya menghempas kembali ke Bumi ketika suara itu berhenti menggema di ruang kapel itu.
Pendeta sekali lagi mengelap keringat yang mengalir di pipinya. Udara AC tampaknya tidak mampu meneduhkan gejolak duka di dalam dirinya. Kemudian ia membuka sebuah teks dari Kitab Suci dan membacakannya. Isinya, tentang pengharapan di balik kematian ini.
Baris demi baris dengan tertib orang bergerak mengelilingi peti jenazah, memberi penghormatan terakhir.
Sepintas lalu “Garden Avenue” tidak beda dengan kawasan lain. Yang membedakannya hanyalah pohon-pohonnya yang menjulang tinggi seperti tidak pernah mengenal mesin potong. Kawasan yang berhutan agak luas itu ternyata tertata rapi seperti sebuah taman. Ada jarak tertentu antara pohon yang satu dan yang lain. Rumput di bawahnya terawat dengan baik, tidak ada rumput liar. Jalan-jalan yang bertebaran di mana-mana terurus dengan baik. Kendaraan dapat parkir di sisi kanan jalan. Di bawah pohon yang rindang ada nisan di antara rumput, rata dengan tanah.
Ratusan kendaraan yang parkir memanjang di taman itu merupakan sebuah pemandangan yang luar biasa bagi orang bule, tetapi tidak bagi orang Oriental. Orang bule menyebut orang Asia dengan sebutan “Oriental” sementara orang Asia, khususnya yang berasal dari Indonesia, menyebut orang kulit putih “bule”. Barisan panjang para pelayat itu kemudian mengelilingi liang lahat yang menerima tubuh lelaki setengah baya yang diturunkan ke dalamnya.
Pendeta mengatakan, “Dari tanah kembali ke tanah, yang dari Tuhan kembali kepada Tuhan,” dan menjatuhkan tanah ke atas peti jenazah. Bunga-bunga kemudian ditaburkan para pelayat sebagai ucapan selamat jalan dan sampai “bertemu pada pagi yang cerah” suatu saat kelak.
Di atas sebuah mobil VW Combi, yang telah disulap seperti sebuah kamar pada bagian belakangnya, duduk tiga orang kulit berwarna alias Oriental, dalam perjalanan pulang dari pemakaman itu.
“Siapa sih yang dimakamkan?” tanya lelaki pertama.
“Kau tidak kenal orang itu? Mengapa kau melayatnya?”
“Tidak. Hanya karena simpati. Kawan seapartemenku mengenalnya, tetapi ia jarang menyebut-nyebut tentang dia.”
“Lelaki itu seorang yang kaya di Tanah Air kita. Ia kaya sekali. Ia menolong banyak orang, seperti yang dikatakan oleh pendeta tadi. Suatu saat, ia ditipu orang. Usahanya pailit. Ia meminjam ke sana ke mari untuk menutupi utangnya. Banyak orang yang membantunya, tetapi dengan bunga yang tinggi. Termasuk orang-orang yang dianggapnya pemimpin rohani. Pinjaman itu tidak bisa dikembalikan karena bunga yang tinggi itu. Bank menyita rumahnya. Setiap saat telepon berdering di rumahnya, dari orang yang menagih utang. Tidak ada lagi orang yang mau melihatnya. Ia pindah dari satu tempat ke tempat lain. Anak-anaknya meninggalkannya dan mengumumkan di surat kabar bahwa mereka tidak ada sangkut-paut dengan orangtua mereka. Dengan bantuan seorang sahabat yang masih bersimpati kepadanya, ia mengongkosinya, lari ke negeri ini….”
Lelaki ketiga berkata, “Ia buronan polisi.”
Lelaki pertama, “Hah? Mengapa?”
Lelaki ketiga, “Dilaporkan oleh kawan-kawan yang seiman dengannya.”
“Bukan oleh rekan bisnisnya?” tanya lelaki pertama.
“Bukan. Menurut mereka, hal seperti itu biasa dalam bisnis. Tetapi bagi kawan-kawannya seiman, itu risiko yang harus ditanggungnya. Uang mereka harus kembali! Mereka tidak peduli alasan yang lain. Orang berutang tidak masuk ke surga,” kata mereka.
“Utang? Bukankah kita semua orang yang beriman orang yang berutang? Karena itulah, Yesus datang ke dunia ini, menebus orang yang berutang?” kata lelaki pertama.
Lelaki kedua, “Menurut mereka ini soal uang, bukan soal agama. Kedua hal itu harus dipisahkan. Orang yang memiliki harta memikirkan hartanya, orang yang tidak punya apa-apa berharap kelak di surga memiliki segala-galanya.”
Orang ketiga, “Di sini ia tidak tenteram. Ada juga orang yang meminjamkan uang itu di antara pelayat, yang selalu mengejarnya, bahkan ke kuburan ini untuk mengetahui apakah benar-benar dialah yang mati itu. Mereka tidak memikirkan yang lain-lain, kecuali uang itu dan bunganya. Kalau tidak, pernah juga mereka mengungkapkan kalau tahu alamatnya, akan segera dilaporkan sebagai pendatang ilegal agar dikembalikan ke Tanah Air.”
“Siapa yang membawa ia ke rumah duka?” tanya lelaki pertama.
“Tetangga sebelahnya yang curiga karena apartemennya selalu tertutup dan polisi mengedornya. Ia telah meninggal di kursi. Visum dokter mengatakan kematiannya karena serangan jantung. Berita itu segera tersiar di antara teman sebangsa,” jawab orang ketiga.
Mobil Combi itu berhenti di depan apartemen mereka. Seminggu kemudian tidak seorang pun menyebut-nyebut nama lelaki itu lagi. Ia telah hilang bersama angin sepoi-sepoi di bawah pohon yang tinggi dan teduh. Jauh dari sanak keluarganya, jauh dari pusat kegalauan hatinya.
Kereta maut telah mengantarnya, bersama angin yang berlalu. *
Bandung, 2004
Wilson Nadeak
Showing posts with label Mei 2004. Show all posts
Showing posts with label Mei 2004. Show all posts
Friday, 25 February 2011
Berat Hidup di Barat
Berat Hidup di Barat
Siapa takkan terbangun mendengar dering suara bising yang mengganggu telinga di pagi buta? Siapa tak terganggu saat menjelang fajar mendengar tetangga dekat bertengkar? Siapa tahan tinggal di rumah sewa dengan kebisingan yang terjadi tiap hari? Siapa?
Samar-samar, baru setengah sadar, kupencet kenop lampu di meja dekat tempat tidurku. Tampak istriku tetap tidur lelap, seolah tak peduli apakah dunia sedang kiamat. Dengan malas aku kembali menggeliat, menutup telinga dengan sudut selimut, sekadar mau menikmati satu jam lagi sebelum weker berbunyi. Aku tahu, siapa lagi kalau bukan Eric Sullivan, tetangga sebelah kanan, yang tak jarang memencet kenop nama siapa saja di luar sana asal pintu gedung dibuka. Tentu saja itu sangat mengganggu penghuni flat kami, terutama di lantai satu. Lantas terdengar suara perempuan.
“Kamu mau mati, Ricki? Tahu rasa jika levermu bengkak, parumu rusak! Berapa botol nenggak alkohol, hah?”
Itu pertanda perang mulut pagi-pagi sudah mulai. Perempuan yang malang! Eric Sullivan melontarkan makian. Segala kuda betina, sapi blasteran, binatang ternak yang kerjanya cuma beranak, semua lepas berlompatan dari mulut Eric Sullivan. Takkan terbayangkan bahwa Luzia, istrinya, akan begitu ramah membiarkan suaminya mengoceh dengan segala macam hinaan. Sebaliknya perempuan itu akan sesengit singa betina, menampar dan mencakar. Adu mulut hanya reda bila anaknya bangun dan menangis mau nyusu, dan Eric Sullivan tersungkur di tempat-tidur lantas mendengkur.
Agak siang perempuan itu mengetok pintu.
“Maafkan kami, Maria. Dinas malam Ricki mabuk. Sejak dulu sudah kuperingatkan jangan layani anak- anak Lithuania, mereka bukan tandingan di kampus Lumumba. Wodka itu buat mereka air biasa, minuman sehari-hari. Buat Ricki… Ah, Maria, belum pernah kudengar suamimu mabuk. Minum apa sebenarnya kalian di Indonesia?”
Minum apa? Sebuah pertanyaan aneh yang nyleneh. Bila seseorang merasa haus, mau minum apa lagi sih! Istriku lantas menjawab, “Minum sap. Teh. Kopi. Air kendi.”
Itu bukan sekadar kelakar. Tetapi, Luzia melongo, lantas tertawa. Jelasnya, menertawakan.
“Di Rusia, cuma anak-anak kecil minum sap, atau teh, atau susu sapi. Orang dewasa minum wodka, Maria.”
Minum wodka kek, susu sapi kek, itu bukan urusan istriku. Dia cuma tak tahan mendengar ejekan beberapa tetangga di lantai satu yang kebanyakan orang pensiunan, tak mau sedikit terganggu. Sejak hari-hari pertama Eric Sullivan menghuni flatnya, mereka sudah berkeluh-kesah, tetapi tak punya nyali untuk menegur sendiri. Semua kehilangan respek.
“Kampungan. Tak ngerti aturan.”
“Dikira rumah kakeknya.”
“Biasa hidup di hutan sih. Kumpul kera.”
Aku bukan sejenis kera, tetapi langsung ikut tersinggung mendengar cerita istriku. Jangan-jangan kami pun diam-diam pernah dihina seperti mereka menghina Eric Sullivan untuk beberapa kesalahan kecil: jejak sepatu membekas di lantai, pot-pot bunga kekeringan lupa menyiram, teledor giliran mengepel…. Ada yang jengkel, lantas usul mengumpulkan tanda tangan, kirim protes via firma pemilik flat itu. Demi mencegah pengucilan, istriku menolak ikut bertanda tangan.
Pada hari lain pada bulan yang lain, semua penghuni flat kami menerima surat edaran. Firma itu melampirkan fotokopi tata tertib yang dulu pernah juga kami terima, dengan harapan agar diperhatikan. Sebuah edaran yang sangat sopan. Di dalamnya tidak tertera nama Eric Sullivan. Apakah dia merasa disasar, mesti tahu sendiri.
Sebagai tetangga terdekat, istriku merasa perlu mengajak bicara Luzia. Tanpa niat mengumpat.
“Kita sama-sama penyewa, Luzia. Semua membayar mahal buat menghuni flat ini dengan tenteram dan nyaman. Hati-hati, mereka tidak tinggal diam untuk membela haknya. Itu tabiat orang Barat.”
Apa kata Luzia?
“Ricki sungguh terlalu, Maria, dinas malam kunci rumah ketinggalan. Ceroboh itu bakatnya, Maria. Mana bisa aku menunggu. Dia datang terlalu siang. Ah, Maria, baru jam lima sebenarnya, tetapi dia tahu aku harus berangkat pagi-pagi buat mengantar koran. Larisa kan masih kecil, bisanya cuma menyusu, kakaknya tidur di atas, apa mesti turun memanjat tangga, Maria? Lain kali biar saja dia teler di luar, tak perlu bukakan pintu. Manusia harus belajar dari pengalaman sendiri, Maria.”
Seenaknya saja Luzia cari alasan, seolah orang mabuk akan mampu menarik pelajaran mengapa tak seorang sedia bangun membuka pintu baginya. Namun, Luzia berjanji akan mendamprat Ricki bila dia ulangi sekali lagi. Istriku kurang setuju, sebab kemarahan hanya memancing kemarahan. Lebih baik sambil lalu saja diajak bicara dan selalu diingatkan tentang kunci rumahnya. Kami pun percaya, sebagai makhluk sosial tentunya Eric Sullivan punya naluri normal, bisa saling tenggang sebagai sesama penyewa di gedung bertingkat empat itu. Memang benar, dia mulai mengerti keluh-kesah para tetangga dan tak pernah lagi semaunya memencet kenop siapa saja. Tetapi, kesadaran itu punya lain sebab.
Kata Luzia, “Ricki sudah berubah, Maria, lantaran dapat teguran dari bosnya, mabuk waktu dinas malam. Perkara alkohol, teman-teman Jerman bukan tandingan, Maria. Dia diancam pemecatan.”
Ceroboh itu bukan bakat seperti kata Luzia, melainkan penyakit yang tiap saat bisa kumat. Begitulah Eric Sullivan. Tingkah lelaki itu terulang lagi ketika dia datang terlalu pagi dari dinas malamnya. Lelaki yang malang! Bukan salah dia sebenarnya. Dia cuma berniat mengebel istrinya, tetapi dia lakukan berulang-ulang, sepuluh-sebelas kali barangkali! Itu juga mengganggu tetangga di lantai satu. Tentu saja mereka tak ambil pusing apakah dia kebelet kencing. Atau terdesak sesuatu yang mendadak. Mereka cuma mau hidup tenteram tanpa gangguan. Luzia pun enak saja bikin alasan.
“Aku sengaja tak mau membuka pintu, Maria.”
Istriku terperangah.
“Wah, sekarang kamu yang salah! Makanya dia ngebel berulang-ulang.”
“Ya, tetapi lama-lama aku kasihan, Maria. Masuk rumah ternyata kuncinya ada di ransel, bukan di saku mantel. Ceroboh itu bakatnya. Kumat! Tetapi bakat yang satu lagi, Maria…., mengerikan! Coba bayangkan, pagi-pagi dia datang, langsung ngajak begituan. Masak mau ditolak? Sudah itu kudesak-desak supaya mencuci… apanya itu, Maria? Anunya. Dia tidak melakukannya, Maria. Lemas, memang malas. Terus tidur dan mendengkur!”
Aku anggap istriku berlebihan, menganggap Eric Sullivan mengidap hiperseks hanya karena mengajak ketika hasrat mendesak.
“Dari mana kamu simpulkan itu?” tanyaku.
“Luzia bilang sendiri. Ricki tidak cukup dua hari sekali. Tiap hari, Pa!”
“Duilah. Kok yang begituan diomongkan.”
“Kena depresi barangkali. Masak, nyuci, ngurus suami, momong Larisa, mengantar koran. Lantas siapa bisa diajak bicara? Dia memerlukan teman. Tak ada teman Rusia-nya di sini.”
“Semua orang di Barat hidupnya berat, Ma. Dia bicara apa lagi?”
“Itulah gilanya. Dia tanya, apa kamu sama seperti Ricki, mintanya tiap hari.”
“Buset! Apa jawabmu?”
“Kusuruh dia langsung tanya sendiri.”
“Hah? Gila kau, Ma!” istriku kucerca. “Aku pilih ngumpet di kamar! Bilang saja, hiperseks itu mungkin ciri lelaki mungkin juga perempuan. Bahayanya, apa saja bisa dilanggar bila kebutuhan biologis tak terpenuhi.”
“Melanggar bagaimana maksudmu?”
“Memerkosa. Melacur. Ngeluyur di daerah lampu merah.”
Astaghfirullah! Istriku ternyata menyampaikannya. Perempuan macam Luzia sekali-sekali perlu ditakut-takuti, katanya. Agaknya dia percaya, menelan begitu saja apa-apa yang tak pernah ada di Rusia sejak Lenin hingga Yeltzin: pelacuran, pemerkosaan. Kecuali yang tersembunyi. Saran istriku, “Di Barat ini lain, Luzia. Kebebasan selalu dipertuhan. Jangan biarkan suami kita ketularan.”
Sebodoh itu Luzia tidak. Dia percaya moral suaminya. Dia mencintainya. Kalau tidak, buat apa ikut Eric Sullivan berangkat ke Eropa Barat sebelum Yeltzin diganti Putin. Barangkali suatu saat dia pun ikut Eric Sullivan pulang ke Ethiopia. Lelaki yang malang! Mengestu Heile Mariam memilih pertumpahan darah ketimbang mundur teratur. Perang saudara berkecamuk di negerinya. Kuterka, kira-kira status lelaki itu di negeri ini tidak berbeda dengan kami. Namun, aku terlalu bodoh untuk mengerti seluk-beluk dalam negeri Eric Sullivan, kecuali hadirnya Baret Biru*) dan tumbangnya Mengestu. Addis Ababa kabarnya aman.
Istriku tidak menduga ketika Luzia mengetok pintu. Napasnya gelagepan, suaranya tertekan. Tentu saja aku cepat-cepat ngumpet di kamar, dan kubiarkan istriku menemuinya sendiri.
“Maria! Maria! Mana suamimu?”
“Sudah tidur, Luzia. Ada apa?”
“Aku perlu tanya,” bisik Luzia.
“Soal itu kan? Sehari sekali!?”
“Bukan, Maria, bukan. Aku cuma tanya, sudah tidur?”
“Dia capai. Siang tadi kerja lembur. Bilang saja soalmu apa.”
“Ricki bilang dia bermaksud pulang. Addis Ababa aman. Bagaimana ini? Ada perang saudara di sana.”
“Suamimu lebih tahu.”
“Aku tahu, Mengestu sudah kalah, Maria. Sekarang perempuan terancam. Aku takut, Maria. Ngeri.”
“Kalau Ricki bilang aman, ya aman, Luzia. Jangan khawatir.”
“Aku bilang di sana perempuan mulai terancam.”
“Perempuan tidak diapa-apakan. Mereka dilindungi.”
“Tidak, Maria. Mereka disunat. Pada zaman Kaisar Heile Selassi tidak. Pada zaman Mengestu juga tidak.”
“Disunat? Yang disunat apanya?”
“Suamimu sudah tidur, Maria?” bisik Luzia lagi.
“Aku bilang dia capai, tadi siang kerja lembur. Bilang saja soalmu apa.”
“Anak gadis disunat, klitoris diiris! Pakai silet, Maria. Mengerikan. Kaulihat kemarin malam di Kanal-1?”
“Ha!?”
Aku masih terkurung di kamar. Tak kuduga begitu lama mereka mengobrol sana-sini. Satu jam lebih aku menahan kencing. Ketika tak tahan lagi, aku nekat keluar menuju kamar mandi. Mereka melihat aku lewat.
Luzia kaget, melontarkan protes.
“Kamu bilang dia sudah tidur, Maria. Kalau tadi dia dengar, bagaimana? Malu dong aku!”
“Terkadang dia pura-pura saja tidur.”
Sampai sekarang Eric Sullivan sekeluarga tetap tinggal di flat kami. Anaknya lima. Cuma satu belum sekolah. Anak kami tidak bertambah.
Koeln, awal April 2004
*) Baret Biru , Pasukan Keamanan PBB
Soeprijadi Tomodihardjo
Siapa takkan terbangun mendengar dering suara bising yang mengganggu telinga di pagi buta? Siapa tak terganggu saat menjelang fajar mendengar tetangga dekat bertengkar? Siapa tahan tinggal di rumah sewa dengan kebisingan yang terjadi tiap hari? Siapa?
Samar-samar, baru setengah sadar, kupencet kenop lampu di meja dekat tempat tidurku. Tampak istriku tetap tidur lelap, seolah tak peduli apakah dunia sedang kiamat. Dengan malas aku kembali menggeliat, menutup telinga dengan sudut selimut, sekadar mau menikmati satu jam lagi sebelum weker berbunyi. Aku tahu, siapa lagi kalau bukan Eric Sullivan, tetangga sebelah kanan, yang tak jarang memencet kenop nama siapa saja di luar sana asal pintu gedung dibuka. Tentu saja itu sangat mengganggu penghuni flat kami, terutama di lantai satu. Lantas terdengar suara perempuan.
“Kamu mau mati, Ricki? Tahu rasa jika levermu bengkak, parumu rusak! Berapa botol nenggak alkohol, hah?”
Itu pertanda perang mulut pagi-pagi sudah mulai. Perempuan yang malang! Eric Sullivan melontarkan makian. Segala kuda betina, sapi blasteran, binatang ternak yang kerjanya cuma beranak, semua lepas berlompatan dari mulut Eric Sullivan. Takkan terbayangkan bahwa Luzia, istrinya, akan begitu ramah membiarkan suaminya mengoceh dengan segala macam hinaan. Sebaliknya perempuan itu akan sesengit singa betina, menampar dan mencakar. Adu mulut hanya reda bila anaknya bangun dan menangis mau nyusu, dan Eric Sullivan tersungkur di tempat-tidur lantas mendengkur.
Agak siang perempuan itu mengetok pintu.
“Maafkan kami, Maria. Dinas malam Ricki mabuk. Sejak dulu sudah kuperingatkan jangan layani anak- anak Lithuania, mereka bukan tandingan di kampus Lumumba. Wodka itu buat mereka air biasa, minuman sehari-hari. Buat Ricki… Ah, Maria, belum pernah kudengar suamimu mabuk. Minum apa sebenarnya kalian di Indonesia?”
Minum apa? Sebuah pertanyaan aneh yang nyleneh. Bila seseorang merasa haus, mau minum apa lagi sih! Istriku lantas menjawab, “Minum sap. Teh. Kopi. Air kendi.”
Itu bukan sekadar kelakar. Tetapi, Luzia melongo, lantas tertawa. Jelasnya, menertawakan.
“Di Rusia, cuma anak-anak kecil minum sap, atau teh, atau susu sapi. Orang dewasa minum wodka, Maria.”
Minum wodka kek, susu sapi kek, itu bukan urusan istriku. Dia cuma tak tahan mendengar ejekan beberapa tetangga di lantai satu yang kebanyakan orang pensiunan, tak mau sedikit terganggu. Sejak hari-hari pertama Eric Sullivan menghuni flatnya, mereka sudah berkeluh-kesah, tetapi tak punya nyali untuk menegur sendiri. Semua kehilangan respek.
“Kampungan. Tak ngerti aturan.”
“Dikira rumah kakeknya.”
“Biasa hidup di hutan sih. Kumpul kera.”
Aku bukan sejenis kera, tetapi langsung ikut tersinggung mendengar cerita istriku. Jangan-jangan kami pun diam-diam pernah dihina seperti mereka menghina Eric Sullivan untuk beberapa kesalahan kecil: jejak sepatu membekas di lantai, pot-pot bunga kekeringan lupa menyiram, teledor giliran mengepel…. Ada yang jengkel, lantas usul mengumpulkan tanda tangan, kirim protes via firma pemilik flat itu. Demi mencegah pengucilan, istriku menolak ikut bertanda tangan.
Pada hari lain pada bulan yang lain, semua penghuni flat kami menerima surat edaran. Firma itu melampirkan fotokopi tata tertib yang dulu pernah juga kami terima, dengan harapan agar diperhatikan. Sebuah edaran yang sangat sopan. Di dalamnya tidak tertera nama Eric Sullivan. Apakah dia merasa disasar, mesti tahu sendiri.
Sebagai tetangga terdekat, istriku merasa perlu mengajak bicara Luzia. Tanpa niat mengumpat.
“Kita sama-sama penyewa, Luzia. Semua membayar mahal buat menghuni flat ini dengan tenteram dan nyaman. Hati-hati, mereka tidak tinggal diam untuk membela haknya. Itu tabiat orang Barat.”
Apa kata Luzia?
“Ricki sungguh terlalu, Maria, dinas malam kunci rumah ketinggalan. Ceroboh itu bakatnya, Maria. Mana bisa aku menunggu. Dia datang terlalu siang. Ah, Maria, baru jam lima sebenarnya, tetapi dia tahu aku harus berangkat pagi-pagi buat mengantar koran. Larisa kan masih kecil, bisanya cuma menyusu, kakaknya tidur di atas, apa mesti turun memanjat tangga, Maria? Lain kali biar saja dia teler di luar, tak perlu bukakan pintu. Manusia harus belajar dari pengalaman sendiri, Maria.”
Seenaknya saja Luzia cari alasan, seolah orang mabuk akan mampu menarik pelajaran mengapa tak seorang sedia bangun membuka pintu baginya. Namun, Luzia berjanji akan mendamprat Ricki bila dia ulangi sekali lagi. Istriku kurang setuju, sebab kemarahan hanya memancing kemarahan. Lebih baik sambil lalu saja diajak bicara dan selalu diingatkan tentang kunci rumahnya. Kami pun percaya, sebagai makhluk sosial tentunya Eric Sullivan punya naluri normal, bisa saling tenggang sebagai sesama penyewa di gedung bertingkat empat itu. Memang benar, dia mulai mengerti keluh-kesah para tetangga dan tak pernah lagi semaunya memencet kenop siapa saja. Tetapi, kesadaran itu punya lain sebab.
Kata Luzia, “Ricki sudah berubah, Maria, lantaran dapat teguran dari bosnya, mabuk waktu dinas malam. Perkara alkohol, teman-teman Jerman bukan tandingan, Maria. Dia diancam pemecatan.”
Ceroboh itu bukan bakat seperti kata Luzia, melainkan penyakit yang tiap saat bisa kumat. Begitulah Eric Sullivan. Tingkah lelaki itu terulang lagi ketika dia datang terlalu pagi dari dinas malamnya. Lelaki yang malang! Bukan salah dia sebenarnya. Dia cuma berniat mengebel istrinya, tetapi dia lakukan berulang-ulang, sepuluh-sebelas kali barangkali! Itu juga mengganggu tetangga di lantai satu. Tentu saja mereka tak ambil pusing apakah dia kebelet kencing. Atau terdesak sesuatu yang mendadak. Mereka cuma mau hidup tenteram tanpa gangguan. Luzia pun enak saja bikin alasan.
“Aku sengaja tak mau membuka pintu, Maria.”
Istriku terperangah.
“Wah, sekarang kamu yang salah! Makanya dia ngebel berulang-ulang.”
“Ya, tetapi lama-lama aku kasihan, Maria. Masuk rumah ternyata kuncinya ada di ransel, bukan di saku mantel. Ceroboh itu bakatnya. Kumat! Tetapi bakat yang satu lagi, Maria…., mengerikan! Coba bayangkan, pagi-pagi dia datang, langsung ngajak begituan. Masak mau ditolak? Sudah itu kudesak-desak supaya mencuci… apanya itu, Maria? Anunya. Dia tidak melakukannya, Maria. Lemas, memang malas. Terus tidur dan mendengkur!”
Aku anggap istriku berlebihan, menganggap Eric Sullivan mengidap hiperseks hanya karena mengajak ketika hasrat mendesak.
“Dari mana kamu simpulkan itu?” tanyaku.
“Luzia bilang sendiri. Ricki tidak cukup dua hari sekali. Tiap hari, Pa!”
“Duilah. Kok yang begituan diomongkan.”
“Kena depresi barangkali. Masak, nyuci, ngurus suami, momong Larisa, mengantar koran. Lantas siapa bisa diajak bicara? Dia memerlukan teman. Tak ada teman Rusia-nya di sini.”
“Semua orang di Barat hidupnya berat, Ma. Dia bicara apa lagi?”
“Itulah gilanya. Dia tanya, apa kamu sama seperti Ricki, mintanya tiap hari.”
“Buset! Apa jawabmu?”
“Kusuruh dia langsung tanya sendiri.”
“Hah? Gila kau, Ma!” istriku kucerca. “Aku pilih ngumpet di kamar! Bilang saja, hiperseks itu mungkin ciri lelaki mungkin juga perempuan. Bahayanya, apa saja bisa dilanggar bila kebutuhan biologis tak terpenuhi.”
“Melanggar bagaimana maksudmu?”
“Memerkosa. Melacur. Ngeluyur di daerah lampu merah.”
Astaghfirullah! Istriku ternyata menyampaikannya. Perempuan macam Luzia sekali-sekali perlu ditakut-takuti, katanya. Agaknya dia percaya, menelan begitu saja apa-apa yang tak pernah ada di Rusia sejak Lenin hingga Yeltzin: pelacuran, pemerkosaan. Kecuali yang tersembunyi. Saran istriku, “Di Barat ini lain, Luzia. Kebebasan selalu dipertuhan. Jangan biarkan suami kita ketularan.”
Sebodoh itu Luzia tidak. Dia percaya moral suaminya. Dia mencintainya. Kalau tidak, buat apa ikut Eric Sullivan berangkat ke Eropa Barat sebelum Yeltzin diganti Putin. Barangkali suatu saat dia pun ikut Eric Sullivan pulang ke Ethiopia. Lelaki yang malang! Mengestu Heile Mariam memilih pertumpahan darah ketimbang mundur teratur. Perang saudara berkecamuk di negerinya. Kuterka, kira-kira status lelaki itu di negeri ini tidak berbeda dengan kami. Namun, aku terlalu bodoh untuk mengerti seluk-beluk dalam negeri Eric Sullivan, kecuali hadirnya Baret Biru*) dan tumbangnya Mengestu. Addis Ababa kabarnya aman.
Istriku tidak menduga ketika Luzia mengetok pintu. Napasnya gelagepan, suaranya tertekan. Tentu saja aku cepat-cepat ngumpet di kamar, dan kubiarkan istriku menemuinya sendiri.
“Maria! Maria! Mana suamimu?”
“Sudah tidur, Luzia. Ada apa?”
“Aku perlu tanya,” bisik Luzia.
“Soal itu kan? Sehari sekali!?”
“Bukan, Maria, bukan. Aku cuma tanya, sudah tidur?”
“Dia capai. Siang tadi kerja lembur. Bilang saja soalmu apa.”
“Ricki bilang dia bermaksud pulang. Addis Ababa aman. Bagaimana ini? Ada perang saudara di sana.”
“Suamimu lebih tahu.”
“Aku tahu, Mengestu sudah kalah, Maria. Sekarang perempuan terancam. Aku takut, Maria. Ngeri.”
“Kalau Ricki bilang aman, ya aman, Luzia. Jangan khawatir.”
“Aku bilang di sana perempuan mulai terancam.”
“Perempuan tidak diapa-apakan. Mereka dilindungi.”
“Tidak, Maria. Mereka disunat. Pada zaman Kaisar Heile Selassi tidak. Pada zaman Mengestu juga tidak.”
“Disunat? Yang disunat apanya?”
“Suamimu sudah tidur, Maria?” bisik Luzia lagi.
“Aku bilang dia capai, tadi siang kerja lembur. Bilang saja soalmu apa.”
“Anak gadis disunat, klitoris diiris! Pakai silet, Maria. Mengerikan. Kaulihat kemarin malam di Kanal-1?”
“Ha!?”
Aku masih terkurung di kamar. Tak kuduga begitu lama mereka mengobrol sana-sini. Satu jam lebih aku menahan kencing. Ketika tak tahan lagi, aku nekat keluar menuju kamar mandi. Mereka melihat aku lewat.
Luzia kaget, melontarkan protes.
“Kamu bilang dia sudah tidur, Maria. Kalau tadi dia dengar, bagaimana? Malu dong aku!”
“Terkadang dia pura-pura saja tidur.”
Sampai sekarang Eric Sullivan sekeluarga tetap tinggal di flat kami. Anaknya lima. Cuma satu belum sekolah. Anak kami tidak bertambah.
Koeln, awal April 2004
*) Baret Biru , Pasukan Keamanan PBB
Soeprijadi Tomodihardjo
Dari Mana Datangnya Mata
Dari Mana Datangnya Mata
dari mana datangnya lintah
dari sawah turun ke kali
“Lintah itu ada dalam matanya. Lintah itu bukan menggerogoti matanya, tapi lintah itu bersarang dalam matanya. Dalam matanya yang teramat dalam. Lintah itu melata turun dan menggerus hati. Hatiku dia lumatkan. Hatiku terhisap dalam dekapnya. Aku tahu, lintah itu makhluk penghisap-termasuk menghisap darah-tapi hisapan matanya sama sekali tidak membuatku luka. Aku jadi lumpuh, memang, tapi sedotannya penuh pesona dan aku kena pukau karenanya.”
Saban kali lelaki itu menyisir rambutnya dan merapi-rapikan alis matanya, dia tatap wajahnya sendiri dalam cermin. Kornea matanya redup laiknya nyala dian yang berkeredap karena angin senantiasa meniup-niup. Jangankan angin, terhadap cahaya terlemah pun mata itu terasa enggan bersitatap. Karena itu lelaki itu tak pernah yakin jika ada perempuan yang kemudian tertarik padanya, jatuh cinta padanya, dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan guling tidur dan kemudian digulung-gulung.
Lelaki itu hanya menerka-nerka: pastilah ada yang tak mudah dirumuskan, apalagi yang harus dirumuskan adalah sebuah perasaan; jadi jika perempuan itu menjelaskan bahwa yang membuatnya kena pukau adalah pesona matanya, pastilah itu semata sebuah penyederhanaan perumusan alasan. Lelaki itu yakin, berabjad-abjad kalimat tak pernah cukup untuk dijadikan pengikat rumusan dan jabaran perasaan.
dari mana datangnya lintah
jiwa manis indung disayang
“Lintah itu bersarang dalam matanya. Atau…, ukhh… matanya adalah lintah itu sendiri. Aku tak pernah peduli pada lelaki yang kerap lalu-lalang itu. Aku tak pernah memperhatikannya. Ingatanku tentang lelaki hanya selintas-lintas. Begitu suatu waktu aku berhadapan dengannya, karena dia singgah di tempatku, tahulah aku matanya adalah lintah itu sendiri. Matanya adalah sarang itu sendiri. Rasanya, sudah lama aku merindukan istirahat dalam sungkupan sarang. Sudah saatnya aku mengeram. Rasanya, sudah lama kelenjar kelaminku – ya: indungku – teredam diam-diam. Rasanya! Ya, rasanya, karena aku baru menyadari belakangan.”
Lelaki itu kemudian hidup bersama dengan salah satu di antara berjajar perempuan yang terjerembab dalam matanya yang senantiasa berkeredap sebagaimana dian yang dihempas angin yang kerap berkelebat.
Lelaki itu tak ingat pasti perempuan yang akhirnya hidup bersama itu dia jumpai pada ketika apa dan keberapa. Perempuan yang pertama dia hadapi, juga kedua, juga ketiga, tak pernah merasa dia tinggalkan begitu lelaki itu memutuskan untuk memilih hidup bersama dengan salah seorang perempuan. Juga perempuan-perempuan lain yang dia temui sesudah perempuan yang hidup bersamanya, mereka juga tak pernah mendendam pada perempuan yang dipilih lelaki itu untuk hidup bersama.
Mata lelaki itu senantiasa meredam kemungkinan-kemungkinan kemurkaan para perempuan yang awalnya memang menjadi resah karena tak dijadikan pilihan. Kala itu, mereka berniat melabrak lelaki yang telah memilih lain perempuan itu, bahkan perempuan pilihan pun akan mereka terkam jika hendak bersepihak dengan lelaki yang bermata kelam.
Ada yang menyelipkan belati di balik kutang.
Ada yang melilitkan pedang di balik setagen di pinggang.
Ada yang menyembunyikan senapan di balik punggung.
Ada yang menenteng keris dalam cengkeraman.
Ada yang hanya mengepalkan genggam penuh dendam.
Ada yang hanya menggumpalkan kegeraman dalam degup dada yang bergelombang.
Mereka gedor pintu bilik tempat tinggal lelaki itu. Mereka tahu, di balik pintu bilik itu lelaki itu sedang bercinta dengan perempuan pilihan. Ketika kemudian daun pintu berderit karena dibuka dari dalam dan kemudian muncul sesosok lelaki yang matanya senantiasa berkeredap karena cahaya yang mengerjap-ngerjap dan ketika mata lelaki itu memastikan siapa saja yang berdatangan dan menggebrak biliknya, mata lintah itu membilas-bilas wajah-wajah para perempuan yang hendak memuntahkan rasa geram penuh dendam itu. Sekelebat, sekelebat, sekelebat, mata itu menghisap seluruh tenaga para perempuan yang awalnya berkacak pinggang bahkan siaga menantang.
Gemerincing pedang, dentang keris, kelentang kelewang, denting belati, juga senapan, beradu dengan tanah tak jauh dari kaki-kaki para perempuan itu karena terlepas dari genggaman.
Dendam itu pelahan teredam dan terendam. Rasa geram itu diam-diam makin temaram, untuk kemudian dipendam dalam-dalam.
Ketika pintu kembali menyuarakan derit ditutup bersamaan dengan lelaki itu membalikkan badan-menuju biliknya lagi dan meneruskan percintaannya dengan perempuan pilihan-para perempuan itu juga membalik badan, kembali ke masing-masing muasal mereka, sementara belati, kelewang, senapan, dan senjata lainnya mereka biarkan tetap bergeletakan di halaman bilik lelaki dan perempuan pilihan.
Esoknya, lelaki itu mendatangi satu demi satu para perempuan yang melabrak biliknya bersama perempuan pilihan. Tumpukan dendam itu terbasuh hilang di hari-hari kemudian. Itu bukan semata lantaran libasan mata lelaki yang menghunjam, tapi karena sejak saat itu masing-masing menjadi perempuan pilihan.
dari mana datangnya lintah
dari mana datangnya cinta
“Matanya itu telaga. Dalam, tenang, menyejukkan. Aku suka berendam hingga terbenam tanpa aku sadari aku tenggelam. Belatiku jatuh ke dalamnya dan aku tak bisa lagi meranggehnya.”
“Matanya itu matahari. Panas suam-suam menghangatkan. Aku selalu tergoda direnanginya karena dengan begitu seluruh jangatku tersengat dan aku mengejang-ngejang setelah berabad-abad disungkup kedinginan. Senapanku meleleh karena cahayanya.”
“Matanya adalah lazuardi biru membentang. Langitnya menyerapku pada petualangan tak terbataskan. Kelewangku bahkan lebih kecil dari sekadar ujung jarum: tumpul, getas terpatahkan, kehilangan tajam.”
“Matanya adalah lintah: menyedot seluruh darah kotorku, menderaskan segenap darah dalam tubuhku. Aku melayang-layang dalam kepasrahan yang menggairahkan.”
Lelaki itu akhirnya percaya bahwa matanya adalah keberuntungan sekaligus kemalangan. Para perempuan pilihan menjadi berkah sekaligus bencana bagi lelaki itu. Saat dini hari, setelah beberapa belas menit salah seorang perempuan pilihan melahirkan jabang bayi, lelaki itu meninggalkan perempuan pilihan dan bayinya. Bayi perempuan.
“Aku tak boleh saling berhadapan. Anakku perempuan, aku harus menjauhkan mataku dari matanya,” bisik lelaki itu pada perempuan pilihan.
Lelaki itu kemudian menembus dini hari.
Lelaki itu kemudian memasuki pagi.
Lelaki itu kemudian mengembara dari pagi ke pagi, dari dini hari ke dini hari, dan dari malam demi malam.
Lelaki itu kemudian berkelana dari hari ke hari. Kacamata kelam tak pernah lepas dari matanya. Dengan kacamata hitam dia menghindar dari tatapan langsung mata perempuan yang berpapasan.
Ada kalanya kacamata itu berhasil membantu lelaki itu dari kemungkinan bersitatap langsung dengan orang-orang, terutama perempuan. Ada kalanya usaha itu gawal pula, setidaknya itu terjadi pada saat-saat awal. Karena bingkai kacamata itu kian hari kian memberati pelipis dan tulang matanya, dia coba geser kacamata itu. Pada saat yang sama, begitu kacamata itu membukakan matanya, sesosok perempuan sedang menatap di hadapannya. Dan di hadapan perempuan itu terhampar telaga, cakrawala, matahari, lintah….
“Ah, entahlah, aku tak paham apa persisnya di hadapanku. Tubuhku langsung lunglai, darahku langsung tersedot, dan – tahu-tahu – aku sudah telanjang di pembanreingan di sampingnya.”
Lelaki itu, akhirnya terus menerus memejamkan matanya dan kacamata gelap tetap saja menutupi matanya yang terpejam. Sepanjang trotoar orang-orang menganggap lelaki itu buta. Orang-orang yang keluar dari resto dan mendapati lelaki itu terduduk di dekat pintu resto memastikan lelaki buta itu membutuhkan sedekah; itu sebabnya orang-orang yang keluar dari resto atau hendak memasuki resto melemparkan kepingan uang logam uang ke hadapannya.
Ketika dia menyeberang jalan, tetap dalam pejam, dia rasakan ada yang memegang tangannya. Rupanya seseorang itu berniat menuntun lelaki itu menyeberang jalan yang lalulintasnya memang padat kendaraan. Karena terkagetkan, lelaki itu membuka matanya sekaligus membuka kacamatanya dan menoleh ke samping, ke seseorang yang menyeberangkan. Lelaki itu mendadak terhenyak karena seseorang itu adalah seorang perempuan – yang di saat yang sama juga menatap mata telanjang tanpa tabir kacamata.
“Aku tak yakin lagi apakah aku yang menyeberangkannya ataukah aku yang dia seberangkan ke dunia yang sama sekali belum pernah kutapaki. Dan karenanya aku kemudian merasa menjadi seorang perempuan sejati. Dan dia adalah lelaki sejati.”
dari mana datangnya lintah
jiwa manis indung disayang
dari mana datangnya cinta
ooo…
Di tepian dunia, di gigir matahari senja, lelaki itu berjumpa dengan seorang perempuan buta. Di hadapan perempuan buta ini lelaki itu tidak merasa menyandang kayu silang dan memanggul beban. Dia sudah merasa letih terus menerus memejamkan mata atau mengenakan kacamata hitam baik kala siang bahkan malam.
“Kamu butuh jatuh cinta,” kata perempuan buta itu sambil meraba garis-garis wajah lelaki itu.
Lelaki itu tersindir. Selama ini, selalu orang lain yang menyatakan cintanya jatuh pada lelaki itu. Lelaki itu tak memiliki rasa simpati, empati, peduli….
“Kamu butuh terkaing-kaing karena jatuh cinta. Kamu belum pernah melata dan mengemis-ngemis karena asmara….”
Lelaki itu ingat, beberapa perempuan yang jatuh cinta padanya tak hanya menggonggong dan melolong, tapi juga meratap dan memburaikan gerimis air mata.
Malamnya, lelaki itu mendengar suara kaingan, meongan, dan ratapan yang mengiris-iris. Bukan anjing yang terkaing-kaing melolong. Bukan pula kucing yang meradang kesakitan. Juga bukan para perempuan itu yang meratap-ratap karena kehilangan-entah apa yang hilang. Itu suara lelaki. Lelaki itu mendengar, itu suara dari dalam dirinya sendiri. Dia raba dadanya. Ulu hatinya semplak. Dia raba lambungnya. Ususnya terbelit-belit. Dia merasa dadanya merekah hendak pecah.
Lelaki itu mendadak merasakan suara gemuruh yang belum pernah dia rasakan sebelum-sebelumnya. Ada debaran aneh yang tiba-tiba menyelinap dalam rongga dadanya. Lelaki itu merasa, ia jatuh cinta pada pada perempuan buta itu.
Ketika dia menyadari seluruh tubuhnya basah, ternyata dia sedang berada dalam dekapan perempuan buta itu. Langit kelam, memang, tapi sama sekali tak ada hujan. Langit begitu dekat. Mereka tinggal di rumah tanpa atap, rumah tanpa asap. Lelaki itu merasa tenteram dalam sekapan perempuan buta. Dia merasa ada getaran yang menandakan dia tak ingin berjauhan dari perempuan buta. Bahkan dia merasa geletar kepedihan merayapi dadanya saat sedikit saja perempuan buta itu beringksut. Tak bisa dia bayangkan jika perempuan itu tiada dalam dekapnya. Lelaki itu tak tahu perempuan buta itu kini sedang tertidur ataukah terjaga.
“Kamu tak pernah paham berapa usiamu,” suara perempuan buta itu berkata lirih.
Masih juga perempuan ini menyindir-nyindir! Lelaki itu merutuk dalam hati. Lelaki itu paham, perempuan itu hendak mengatakan bahwa usia lelaki itu sudah di ambang waktu sementara perempuan itu berusia teramat muda. Mata lelaki itu menyisiri garis-garis wajah perempuan itu. Tak ada parit dalam wajahnya, kecuali parut-parut kecil di sekitar matanya yang buta. Apakah perempuan ini menyindirku, aku tak tahu diri karena umurku tak sepadan dengan umurnya?
“Tadi, kucabut lima uban,” kata perempuan itu sambil menjumputkan serpihan rambut putih yang kemudian diterbangkan angin yang mendadak melintas.
Lelaki itu meraba kepalanya. Tanpa harus melihatnya siapapun bisa menemukan uban di kepalanya karena semua rambut lelaki sudah putih seluruhnya.
“Kubutakan mataku agar bisa melihat,” lagi-lagi ucapan perempuan itu dianggap lelaki itu sebagai sindiran. Lelaki itu merasa, perempuan itu hendak menegaskan: matanya memang buta tapi dia tak harus mempergunakan matanya untuk memandang.
“Bukan uban di kepalamu yang kubetot,” sambung perempuan itu.
Lelaki itu mendadak merasakan ada yang gatal di sela pangkal pahanya. Dia telanjang. Memang bukan air hujan yang membasahi badannya. Tubuhnya basah keringat. Di kelangkangnya basah bukan hanya karena keringat. Dalam gelap, lelaki itu melihat perempuan buta itu juga tanpa pakaian. Juga basah mengkilap.
dari mana datangnya cinta
darilah mata turun ke hati
“Karena mataku, banyak perempuan ingin menyekapku dan kudekap mereka. Karena perempuan buta yang tak bisa langsung menatap mataku, justru aku yang ingin mendekap dan selalu erat dalam sekapnya. Aku ingin menyudahi perjalanan panjang ini. Aku alangkah letih. Aku berniat menyunting perempuan buta yang telah membangkitkan hasrat. Justru karena kebutaannya dia melihat kedalaman batinku, bukan kedangkalan badan dan mataku.”
kalau ada sumur di ladang
jiwa manis indung disayang….
Di bumi belahan lain, seorang perempuan tua yang sepanjang hidupnya menjaga ladang peninggalan lelakinya sedang menganyam kenangan. Kenangan itu begitu saja membuncah-buncah di saat-saat penyakit makin menggerogoti badannya. Belasan tahun lampau anak gadisnya terpaksa meninggalkan desanya dalam usia yang masih belia. Anak gadisnya diusir penduduk desa karena senantiasa memancing keonaran terutama setelah para lelaki desa bersitatap dengan matanya.
“Mata anak dara itu jahat,” kata penduduk desa.
Sorotan mata dara belia itu bukan saja penuh pesona tapi juga gegap dengan tipu daya sehingga setiap lelaki yang bersitatap dengannya senantiasa ingin lelap dalam peluknya. Karena dara belia itu tak pernah menyambut hasrat berdekap-dekap, para lelaki itu lalu berusaha memperkosanya.
Saat menjelang ajal sebagaimana kini, perempuan tua itu tak tahu adakah dia masih menunggu anak gadisnya kembali. Dulu, belasan tahun lampau, anak gadisnya mencucuk matanya agar buta sehingga tak membuhulkan pukau dan tipu daya yang memancing niat jahat para lelaki untuk memperkosanya. Perempuan tua itu juga tak yakin apakah lelaki yang meninggalkannya di saat beberapa belas menit jabang bayinya lahir itu bakal kembali ke hadapananya untuk menguburkannnya jika ajal benar-benar menjagalnya.
dari mana datangnya…
uggffhhh…
dari mana datangnya Mata!
Yogya, paruh awal 1980
Jakarta, Maret 2004
Veven Sp Wardhana
dari mana datangnya lintah
dari sawah turun ke kali
“Lintah itu ada dalam matanya. Lintah itu bukan menggerogoti matanya, tapi lintah itu bersarang dalam matanya. Dalam matanya yang teramat dalam. Lintah itu melata turun dan menggerus hati. Hatiku dia lumatkan. Hatiku terhisap dalam dekapnya. Aku tahu, lintah itu makhluk penghisap-termasuk menghisap darah-tapi hisapan matanya sama sekali tidak membuatku luka. Aku jadi lumpuh, memang, tapi sedotannya penuh pesona dan aku kena pukau karenanya.”
Saban kali lelaki itu menyisir rambutnya dan merapi-rapikan alis matanya, dia tatap wajahnya sendiri dalam cermin. Kornea matanya redup laiknya nyala dian yang berkeredap karena angin senantiasa meniup-niup. Jangankan angin, terhadap cahaya terlemah pun mata itu terasa enggan bersitatap. Karena itu lelaki itu tak pernah yakin jika ada perempuan yang kemudian tertarik padanya, jatuh cinta padanya, dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan guling tidur dan kemudian digulung-gulung.
Lelaki itu hanya menerka-nerka: pastilah ada yang tak mudah dirumuskan, apalagi yang harus dirumuskan adalah sebuah perasaan; jadi jika perempuan itu menjelaskan bahwa yang membuatnya kena pukau adalah pesona matanya, pastilah itu semata sebuah penyederhanaan perumusan alasan. Lelaki itu yakin, berabjad-abjad kalimat tak pernah cukup untuk dijadikan pengikat rumusan dan jabaran perasaan.
dari mana datangnya lintah
jiwa manis indung disayang
“Lintah itu bersarang dalam matanya. Atau…, ukhh… matanya adalah lintah itu sendiri. Aku tak pernah peduli pada lelaki yang kerap lalu-lalang itu. Aku tak pernah memperhatikannya. Ingatanku tentang lelaki hanya selintas-lintas. Begitu suatu waktu aku berhadapan dengannya, karena dia singgah di tempatku, tahulah aku matanya adalah lintah itu sendiri. Matanya adalah sarang itu sendiri. Rasanya, sudah lama aku merindukan istirahat dalam sungkupan sarang. Sudah saatnya aku mengeram. Rasanya, sudah lama kelenjar kelaminku – ya: indungku – teredam diam-diam. Rasanya! Ya, rasanya, karena aku baru menyadari belakangan.”
Lelaki itu kemudian hidup bersama dengan salah satu di antara berjajar perempuan yang terjerembab dalam matanya yang senantiasa berkeredap sebagaimana dian yang dihempas angin yang kerap berkelebat.
Lelaki itu tak ingat pasti perempuan yang akhirnya hidup bersama itu dia jumpai pada ketika apa dan keberapa. Perempuan yang pertama dia hadapi, juga kedua, juga ketiga, tak pernah merasa dia tinggalkan begitu lelaki itu memutuskan untuk memilih hidup bersama dengan salah seorang perempuan. Juga perempuan-perempuan lain yang dia temui sesudah perempuan yang hidup bersamanya, mereka juga tak pernah mendendam pada perempuan yang dipilih lelaki itu untuk hidup bersama.
Mata lelaki itu senantiasa meredam kemungkinan-kemungkinan kemurkaan para perempuan yang awalnya memang menjadi resah karena tak dijadikan pilihan. Kala itu, mereka berniat melabrak lelaki yang telah memilih lain perempuan itu, bahkan perempuan pilihan pun akan mereka terkam jika hendak bersepihak dengan lelaki yang bermata kelam.
Ada yang menyelipkan belati di balik kutang.
Ada yang melilitkan pedang di balik setagen di pinggang.
Ada yang menyembunyikan senapan di balik punggung.
Ada yang menenteng keris dalam cengkeraman.
Ada yang hanya mengepalkan genggam penuh dendam.
Ada yang hanya menggumpalkan kegeraman dalam degup dada yang bergelombang.
Mereka gedor pintu bilik tempat tinggal lelaki itu. Mereka tahu, di balik pintu bilik itu lelaki itu sedang bercinta dengan perempuan pilihan. Ketika kemudian daun pintu berderit karena dibuka dari dalam dan kemudian muncul sesosok lelaki yang matanya senantiasa berkeredap karena cahaya yang mengerjap-ngerjap dan ketika mata lelaki itu memastikan siapa saja yang berdatangan dan menggebrak biliknya, mata lintah itu membilas-bilas wajah-wajah para perempuan yang hendak memuntahkan rasa geram penuh dendam itu. Sekelebat, sekelebat, sekelebat, mata itu menghisap seluruh tenaga para perempuan yang awalnya berkacak pinggang bahkan siaga menantang.
Gemerincing pedang, dentang keris, kelentang kelewang, denting belati, juga senapan, beradu dengan tanah tak jauh dari kaki-kaki para perempuan itu karena terlepas dari genggaman.
Dendam itu pelahan teredam dan terendam. Rasa geram itu diam-diam makin temaram, untuk kemudian dipendam dalam-dalam.
Ketika pintu kembali menyuarakan derit ditutup bersamaan dengan lelaki itu membalikkan badan-menuju biliknya lagi dan meneruskan percintaannya dengan perempuan pilihan-para perempuan itu juga membalik badan, kembali ke masing-masing muasal mereka, sementara belati, kelewang, senapan, dan senjata lainnya mereka biarkan tetap bergeletakan di halaman bilik lelaki dan perempuan pilihan.
Esoknya, lelaki itu mendatangi satu demi satu para perempuan yang melabrak biliknya bersama perempuan pilihan. Tumpukan dendam itu terbasuh hilang di hari-hari kemudian. Itu bukan semata lantaran libasan mata lelaki yang menghunjam, tapi karena sejak saat itu masing-masing menjadi perempuan pilihan.
dari mana datangnya lintah
dari mana datangnya cinta
“Matanya itu telaga. Dalam, tenang, menyejukkan. Aku suka berendam hingga terbenam tanpa aku sadari aku tenggelam. Belatiku jatuh ke dalamnya dan aku tak bisa lagi meranggehnya.”
“Matanya itu matahari. Panas suam-suam menghangatkan. Aku selalu tergoda direnanginya karena dengan begitu seluruh jangatku tersengat dan aku mengejang-ngejang setelah berabad-abad disungkup kedinginan. Senapanku meleleh karena cahayanya.”
“Matanya adalah lazuardi biru membentang. Langitnya menyerapku pada petualangan tak terbataskan. Kelewangku bahkan lebih kecil dari sekadar ujung jarum: tumpul, getas terpatahkan, kehilangan tajam.”
“Matanya adalah lintah: menyedot seluruh darah kotorku, menderaskan segenap darah dalam tubuhku. Aku melayang-layang dalam kepasrahan yang menggairahkan.”
Lelaki itu akhirnya percaya bahwa matanya adalah keberuntungan sekaligus kemalangan. Para perempuan pilihan menjadi berkah sekaligus bencana bagi lelaki itu. Saat dini hari, setelah beberapa belas menit salah seorang perempuan pilihan melahirkan jabang bayi, lelaki itu meninggalkan perempuan pilihan dan bayinya. Bayi perempuan.
“Aku tak boleh saling berhadapan. Anakku perempuan, aku harus menjauhkan mataku dari matanya,” bisik lelaki itu pada perempuan pilihan.
Lelaki itu kemudian menembus dini hari.
Lelaki itu kemudian memasuki pagi.
Lelaki itu kemudian mengembara dari pagi ke pagi, dari dini hari ke dini hari, dan dari malam demi malam.
Lelaki itu kemudian berkelana dari hari ke hari. Kacamata kelam tak pernah lepas dari matanya. Dengan kacamata hitam dia menghindar dari tatapan langsung mata perempuan yang berpapasan.
Ada kalanya kacamata itu berhasil membantu lelaki itu dari kemungkinan bersitatap langsung dengan orang-orang, terutama perempuan. Ada kalanya usaha itu gawal pula, setidaknya itu terjadi pada saat-saat awal. Karena bingkai kacamata itu kian hari kian memberati pelipis dan tulang matanya, dia coba geser kacamata itu. Pada saat yang sama, begitu kacamata itu membukakan matanya, sesosok perempuan sedang menatap di hadapannya. Dan di hadapan perempuan itu terhampar telaga, cakrawala, matahari, lintah….
“Ah, entahlah, aku tak paham apa persisnya di hadapanku. Tubuhku langsung lunglai, darahku langsung tersedot, dan – tahu-tahu – aku sudah telanjang di pembanreingan di sampingnya.”
Lelaki itu, akhirnya terus menerus memejamkan matanya dan kacamata gelap tetap saja menutupi matanya yang terpejam. Sepanjang trotoar orang-orang menganggap lelaki itu buta. Orang-orang yang keluar dari resto dan mendapati lelaki itu terduduk di dekat pintu resto memastikan lelaki buta itu membutuhkan sedekah; itu sebabnya orang-orang yang keluar dari resto atau hendak memasuki resto melemparkan kepingan uang logam uang ke hadapannya.
Ketika dia menyeberang jalan, tetap dalam pejam, dia rasakan ada yang memegang tangannya. Rupanya seseorang itu berniat menuntun lelaki itu menyeberang jalan yang lalulintasnya memang padat kendaraan. Karena terkagetkan, lelaki itu membuka matanya sekaligus membuka kacamatanya dan menoleh ke samping, ke seseorang yang menyeberangkan. Lelaki itu mendadak terhenyak karena seseorang itu adalah seorang perempuan – yang di saat yang sama juga menatap mata telanjang tanpa tabir kacamata.
“Aku tak yakin lagi apakah aku yang menyeberangkannya ataukah aku yang dia seberangkan ke dunia yang sama sekali belum pernah kutapaki. Dan karenanya aku kemudian merasa menjadi seorang perempuan sejati. Dan dia adalah lelaki sejati.”
dari mana datangnya lintah
jiwa manis indung disayang
dari mana datangnya cinta
ooo…
Di tepian dunia, di gigir matahari senja, lelaki itu berjumpa dengan seorang perempuan buta. Di hadapan perempuan buta ini lelaki itu tidak merasa menyandang kayu silang dan memanggul beban. Dia sudah merasa letih terus menerus memejamkan mata atau mengenakan kacamata hitam baik kala siang bahkan malam.
“Kamu butuh jatuh cinta,” kata perempuan buta itu sambil meraba garis-garis wajah lelaki itu.
Lelaki itu tersindir. Selama ini, selalu orang lain yang menyatakan cintanya jatuh pada lelaki itu. Lelaki itu tak memiliki rasa simpati, empati, peduli….
“Kamu butuh terkaing-kaing karena jatuh cinta. Kamu belum pernah melata dan mengemis-ngemis karena asmara….”
Lelaki itu ingat, beberapa perempuan yang jatuh cinta padanya tak hanya menggonggong dan melolong, tapi juga meratap dan memburaikan gerimis air mata.
Malamnya, lelaki itu mendengar suara kaingan, meongan, dan ratapan yang mengiris-iris. Bukan anjing yang terkaing-kaing melolong. Bukan pula kucing yang meradang kesakitan. Juga bukan para perempuan itu yang meratap-ratap karena kehilangan-entah apa yang hilang. Itu suara lelaki. Lelaki itu mendengar, itu suara dari dalam dirinya sendiri. Dia raba dadanya. Ulu hatinya semplak. Dia raba lambungnya. Ususnya terbelit-belit. Dia merasa dadanya merekah hendak pecah.
Lelaki itu mendadak merasakan suara gemuruh yang belum pernah dia rasakan sebelum-sebelumnya. Ada debaran aneh yang tiba-tiba menyelinap dalam rongga dadanya. Lelaki itu merasa, ia jatuh cinta pada pada perempuan buta itu.
Ketika dia menyadari seluruh tubuhnya basah, ternyata dia sedang berada dalam dekapan perempuan buta itu. Langit kelam, memang, tapi sama sekali tak ada hujan. Langit begitu dekat. Mereka tinggal di rumah tanpa atap, rumah tanpa asap. Lelaki itu merasa tenteram dalam sekapan perempuan buta. Dia merasa ada getaran yang menandakan dia tak ingin berjauhan dari perempuan buta. Bahkan dia merasa geletar kepedihan merayapi dadanya saat sedikit saja perempuan buta itu beringksut. Tak bisa dia bayangkan jika perempuan itu tiada dalam dekapnya. Lelaki itu tak tahu perempuan buta itu kini sedang tertidur ataukah terjaga.
“Kamu tak pernah paham berapa usiamu,” suara perempuan buta itu berkata lirih.
Masih juga perempuan ini menyindir-nyindir! Lelaki itu merutuk dalam hati. Lelaki itu paham, perempuan itu hendak mengatakan bahwa usia lelaki itu sudah di ambang waktu sementara perempuan itu berusia teramat muda. Mata lelaki itu menyisiri garis-garis wajah perempuan itu. Tak ada parit dalam wajahnya, kecuali parut-parut kecil di sekitar matanya yang buta. Apakah perempuan ini menyindirku, aku tak tahu diri karena umurku tak sepadan dengan umurnya?
“Tadi, kucabut lima uban,” kata perempuan itu sambil menjumputkan serpihan rambut putih yang kemudian diterbangkan angin yang mendadak melintas.
Lelaki itu meraba kepalanya. Tanpa harus melihatnya siapapun bisa menemukan uban di kepalanya karena semua rambut lelaki sudah putih seluruhnya.
“Kubutakan mataku agar bisa melihat,” lagi-lagi ucapan perempuan itu dianggap lelaki itu sebagai sindiran. Lelaki itu merasa, perempuan itu hendak menegaskan: matanya memang buta tapi dia tak harus mempergunakan matanya untuk memandang.
“Bukan uban di kepalamu yang kubetot,” sambung perempuan itu.
Lelaki itu mendadak merasakan ada yang gatal di sela pangkal pahanya. Dia telanjang. Memang bukan air hujan yang membasahi badannya. Tubuhnya basah keringat. Di kelangkangnya basah bukan hanya karena keringat. Dalam gelap, lelaki itu melihat perempuan buta itu juga tanpa pakaian. Juga basah mengkilap.
dari mana datangnya cinta
darilah mata turun ke hati
“Karena mataku, banyak perempuan ingin menyekapku dan kudekap mereka. Karena perempuan buta yang tak bisa langsung menatap mataku, justru aku yang ingin mendekap dan selalu erat dalam sekapnya. Aku ingin menyudahi perjalanan panjang ini. Aku alangkah letih. Aku berniat menyunting perempuan buta yang telah membangkitkan hasrat. Justru karena kebutaannya dia melihat kedalaman batinku, bukan kedangkalan badan dan mataku.”
kalau ada sumur di ladang
jiwa manis indung disayang….
Di bumi belahan lain, seorang perempuan tua yang sepanjang hidupnya menjaga ladang peninggalan lelakinya sedang menganyam kenangan. Kenangan itu begitu saja membuncah-buncah di saat-saat penyakit makin menggerogoti badannya. Belasan tahun lampau anak gadisnya terpaksa meninggalkan desanya dalam usia yang masih belia. Anak gadisnya diusir penduduk desa karena senantiasa memancing keonaran terutama setelah para lelaki desa bersitatap dengan matanya.
“Mata anak dara itu jahat,” kata penduduk desa.
Sorotan mata dara belia itu bukan saja penuh pesona tapi juga gegap dengan tipu daya sehingga setiap lelaki yang bersitatap dengannya senantiasa ingin lelap dalam peluknya. Karena dara belia itu tak pernah menyambut hasrat berdekap-dekap, para lelaki itu lalu berusaha memperkosanya.
Saat menjelang ajal sebagaimana kini, perempuan tua itu tak tahu adakah dia masih menunggu anak gadisnya kembali. Dulu, belasan tahun lampau, anak gadisnya mencucuk matanya agar buta sehingga tak membuhulkan pukau dan tipu daya yang memancing niat jahat para lelaki untuk memperkosanya. Perempuan tua itu juga tak yakin apakah lelaki yang meninggalkannya di saat beberapa belas menit jabang bayinya lahir itu bakal kembali ke hadapananya untuk menguburkannnya jika ajal benar-benar menjagalnya.
dari mana datangnya…
uggffhhh…
dari mana datangnya Mata!
Yogya, paruh awal 1980
Jakarta, Maret 2004
Veven Sp Wardhana
Lontarak
Lontarak
Tidak jauh dari tempat memarkir mobil, saya melihat kakak sepupu saya bersama suaminya duduk di atas tumpukan barang bawaannya. Penumpang kapal di Pelabuhan Tanjung Priok yang baru tiba dari Makassar, sepertinya sudah turun semua. Mereka tentu telah pergi ke tujuannya masing-masing di Jakarta ini.
Wajah kakak sepupu suaminya tampak begitu cerah menghampirinya. Kami pun berpelukan, saling melepaskan rindu karena baru bertemu kembali setelah sepuluh tahun lampau, saat terakhir sekeluarga pulang kampung. Kali ini mereka datang, untuk pertama kalinya ke Jakarta, kota yang diidamkan setiap penduduk kampung, seperti juga saya dan lainnya.
“Semula kami tidak mau merepotkan, karena ada teman saya yang sudah sering ke Jakarta bisa mengantar kami ke rumah. Tetapi dia tiba-tiba batal berangkat, dan kami sudah tidak punya kesempatan lagi untuk menelepon, mengabari Ndi,” ujar sepupu saya. Suaminya pun membenarkan.
Belum saya tanggapi, sepupu saya yang memang terkenal cerewet itu nyerocos lagi. “Bagaimana kabar Andi dan anak-anak di rumah. Sehat saja toh,” katanya menanyakan kondisi istri dan anak-anak saya. Ia pun menyampaikan salam orang sekampung, seperti paman, tante, sepupu, nenek, kakek, tetangga, kepada saya dan keluarga. Sementara suaminya yang memang pendiam, hanya tersenyum terus mendengarkan ocehan istrinya.
“Baik, semuanya sehat,” kata saya, sembari meraih sepotong barang bawaannya. Kami pun berjalan menuju mobil saya.
Mereka memperhatikan ketika saya mencabut selembar uang seribu rupiah untuk tukang parkir. Begitu juga ketika memberikan jumlah yang sama lagi di pintu pemeriksaan karcis parkir. Dua lembar seribuan lagi untuk membayar karcis tol. Tak lama kemudian, di pintu tol lain, empat lembar ribuan lagi.
“Eh, de… de… de…. Mengapa kita harus membayar begitu banyak?” tanya dia heran, karena tak pernah menemukan hal-hal semacam itu di kampung. Orang dengan bangga plus ikhlas memandu dan menjaga kalau kita memarkir kendaraan.
“Karena jalan mulus ini dibangun oleh swasta, bukan oleh pemerintah, sehingga kita harus membayar. Kalau tidak mau membayar, kita bisa lewat jalan di bawah yang macet seperti itu. Tetapi, bisa-bisa seharian baru kita sampai di rumah. Ya, begitulah di Jakarta ini. Kencing di toilet saja kita harus bayar. Hanya kentut yang gratis. Seandainya angin busuk itu pun berwujud, pasti sudah dikelola juga oleh orang-orang berduit dan menikmati pembayaran dari kita. Untungnya kentut itu tak bisa dilihat, sehingga tidak bisa dibisniskan oleh mereka yang lihai melihat peluang usaha,” kata saya.
Di rumah, istri saya tak kalah gesitnya, sudah siap dengan jamuan makan siang. Kami pun langsung menuju meja makan karena memang sudah lapar, hampir tiga jam baru sampai di rumah. Suasana menjadi semarak, karena istri saya menanyakan macam-macam tentang kampung halaman. Cerita kakak sepupu saya pun menjadi panjang lebar. Bagai tape recorder yang sedang memutar kaset rekaman cerita sejak sepuluh tahun silam, pada saat kami terakhir kali pulang kampung. Si anu sudah meninggal, si anu sakit-sakitan, dan si anu sudah menikahkan anak, anaknya si anu sudah bekerja di kantor kecamatan, anak si anu menjadi guru, dan si anu menjadi polisi. Semuanya membayar uang pelicin puluhan juta rupiah.
Setelah suasana semakin cair, saya pun mulai menanyakan keperluan mereka datang ke Jakarta.
“Begini… Ndi. Dua bulan lalu, ada tim dari Pusat (begitu biasa orang desa menyebut pejabat atau orang Jakarta) yang datang ke kampung menanyakan kepada kami sekiranya keluarga kita memiliki lontarak. Katanya mereka adalah tim penyelamat naskah kuno, seperti lontarak keluarga kita itu. Ya, saya jawab jujur saja bahwa saya pun menyimpan lontarak sebagai warisan keluarga,” paparnya.
Saya sendiri tak pernah mendengar cerita apa pun dari orangtua saya, sampai mereka meninggal, soal lontarak keluarga itu. Bahwa orang-orang tua, nenek moyang kami sejak dahulu kala sudah mengenal tradisi menuliskan apa pun yang terjadi di kampung, kejadian pada keluarga, di atas gulungan daun lontar yang kemudian disebut lontarak, itu sudah sering saya dengar. Ada lontarak pertanian, adat istiadat, silsilah keluarga, perbintangan, pengobatan. Pendeknya, macam-macam lontarak yang ditulis berdasarkan keperluannya.
Ah, saya teringat waktu kecil, ketika saya belajar memanjat pohon lontar dan kaki saya gemetaran di ketinggian empat meter, lalu saya turun sembari memeluk batang lontar, dan dada saya harus luka-luka tergores batang lontar yang kasar. Celakanya, ternyata ibu saya marah besar. Saya harus menerima hukuman cambuk kuda ayah saya sebanyak tiga kali di betis.
Sepupu saya pun lalu bercerita mengenai wasiat orangtuanya sebelum meninggal. Kata dia, bapaknya sebelum meninggal, berpesan bahwa ada lontarak, naskah kuno nan keramat yang disimpannya. Lontarak itu diselamatkan oleh kakeknya ketika kampung orangtua kami dibakar oleh penjajah Belanda. Penjajah itu membakar kampung karena Arung (raja kecil) di kampung kami termasuk pemberontak yang tidak mau kompromi dengan penjajah. Akan tetapi, lontarak itu baru bisa dibuka kalau wakil dari tujuh orang bersaudara, termasuk ibu saya dan ibunya hadir lengkap. Sebelum dibuka pun lontarak itu harus diupacarakan oleh para bissu dengan memotong tujuh ekor kambing sesuai jumlah saudara kandung ibuku, berikut ayam sejumlah anak-anak orangtua kami. Karena ibuku bersaudara kandung tujuh orang, dan masing-masing memiliki tujuh orang anak, sehingga kami bersepupu sekali sebanyak 49 orang, maka sebanyak itulah ayam harus dipotong saat mengupacarakan lontarak itu.
“Lalu kapan upacaranya?” tanya saya. Terlintas di pikiran saya pasti sepupu saya itu nanti ujung-ujungnya minta bantuan untuk perhelatan upacara membuka lontarak itu.
“Rencananya bulan depan. Tim itu menyanggupi membantu dana untuk keperluan upacara itu. Mereka pun katanya mendapat bantuan dana dari Pemerintah Belanda sebagai upaya melestarikan nilai-nilai budaya kita,” paparnya bersemangat.
Saya lega, ternyata sepupu saya tidak minta bantuan dana pada saya. Saya utarakan kemungkinan saya tidak bisa menghadiri upacara itu. Alasan saya karena anak saya mau ujian akhir di sekolah dasar, dan harus ada persiapan yang baik untuk masuk sekolah lanjutan pertama. “Persaingan di Jakarta ini sangat ketat. Urusan sekolah tidak segampang di kampung. Di sini, sudah urusannya repot, uang sekolah pun cukup besar.”
Mendengar alasan saya itu, wajah kakak sepupu saya itu menampakkan rona kekecewaan. Ia pun membujuk, supaya saya mau datang. Kalau perlu, akan diusahakannya untuk membicarakan soal ini lagi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah agar Tim Pusat dan Mister Belanda itu mau menunda kedatangannya dan menyesuaikan dengan kesempatan saya pulang kampung. Pendeknya, dia ngotot menghadirkan saya, karena dia takut kualat jika membuka lontarak itu tanpa memenuhi wasiat ayahnya. Artinya, saya sebagai anak ibu saya, haruslah datang memenuhi syarat tadi. “Bisa-bisa saya tidak melihat terangnya dunia ini sampai tujuh turunan, kalau melanggar wasiat ayahku itu Andi,” katanya dengan nada memelas, penuh harap.
Istri saya pun menimpali perbincangan. “Kita pergi saja Pa. Toh sudah lama kita tidak pulang kampung,” katanya.
Ketika saya tiba di kampung dengan mobil sewaan dari Makassar, di rumah peninggalan ibu saya yang masih kekar yang bahan bangunannya terbuat dari pohon lontar, tampak sudah banyak orang yang berkumpul. Mereka tak bisa menyembunyikan rasa senangnya dengan kedatangan saya dan istri. Bagai dikomando, mereka serempak berdiri dari tempat duduknya dan bergerak mengerubungi mobil sewaan yang saya tumpangi. Sejumlah orang tua yang saya tidak kenal, bahkan menciumiku sembari berucap pujian betapa terobatinya kerinduan mereka. Menurut mereka, wajahku sama persis dengan ibuku. Bahkan Wa Laima dan anak-anaknya, keluarga yang dulu bertanggung jawab terhadap semua harta orangtuaku dan kini masih menempati dan menjaga rumah itu, silih berganti mencium tangan dan lutut saya, membuatku sangat rikuh. Dahulu, aku pernah melihat kakekku diperlakukan seperti itu, tetapi ayah dan ibuku tak pernah, karena mereka memang menghindari hal-hal semacam itu.
Semalaman saya tak bisa tidur, karena sanak saudara ramai berkumpul, bercerita nyaris tak putus-putusnya. Ada saja cerita yang sambung-menyambung mengenai kondisi kampung. Ada juga yang meminta diceritakan berbagai pengalaman hidup di Jakarta. Tidak sedikit pula yang meminta agar saya membawa anaknya ke Jakarta untuk dicarikan pekerjaan, atau sekadar tinggal di rumah membantu pekerjaan rumah. Tidak satu pun yang saya janjikan, karena bisa berabe. Harapannya sangat tinggi, apalagi kalau mereka menilai seseorang sukses di perantauan. Meski setengah teler karena kurang tidur semalaman, saya tetap berusaha tampak segar esok paginya.
“Upacara pembukaan lontarak yang suci ini akan membuktikan kita ini siapa sebenarnya. Kita adalah keturunan bangsawan yang harus dihormati. Kita akan tercatat dalam sejarah, dan akan terkenal sampai ke negeri Belanda, Andi,” kata kakak sepupuku, ketika mengantarkan aku kopi dan pisang goreng untuk sarapan.
Rupanya itulah tujuan kakak sepupuku itu. Mereka memang dikenal gila hormat. Padahal, tanpa lontarak itu pun orang sekampung juga sudah mengetahui siapa kami, sudah menaruh hormat pada keluarga kami. Namun, saya masih menyimpan pertanyaan, karena kedua orangtuaku, semasa hidupnya, tak pernah sekali pun menceritakan hal-ihwal lontarak warisan keluarga itu, tak pernah melakukan ritual-ritual seperti itu. Tetapi saya memendamnya saja, tak ingin menyinggung perasaan mereka, walaupun ada sedikit rasa penyesalan dan kedongkolan setelah mendengarkan ucapan kakak sepupuku tadi.
Masih pagi-pagi benar, mereka sudah lengkap dan siap menyambut kedatangan tamu yang mereka sebut Tim dari Pusat dan Mister Belanda itu. Benar, tak lama kemudian, tamu yang ditunggu-tunggu itu pun akhirnya muncul. Bau sedap dari masakan yang dimasak di pekarangan belakang rumah, seolah berhamburan naik rumah, bercampur dengan bau asap dupa yang sejak tadi malam dibakar di sudut-sudut rumah sebagai bagian dari ritual membuka lontarak. Sementara sejumlah bissu sejak fajar belum menyingsing, terus melantunkan syair-syair Bugis kuno yang semakin banyak kata-katanya yang tak dapat saya mengerti.
Kakak sepupuku sendiri sibuk luar biasa, menyajikan kopi dan aneka kue tradisional kepada tamunya itu. Setelah istirahat sejenak, Tim dari Pusat dan Mister Belanda itu mulai memasang komputer dan scanner yang mereka bawa. Saya hanya memperhatikan dari jauh. Dan tak lama kemudian, muncullah kakak sepupu saya dengan baju bodo membawa lontarak di atas baki kuningan yang mengkilap bagai emas, karena digosok dengan asam jawa semalaman. Warna baki yang kuning sangat kontras dengan pembungkus lontarak, kain merah dan hitam kusam. Entah sudah berapa puluh tahun tak pernah sekalipun dibuka.
Si Belanda dengan hati-hati dan khusyuk, seolah sudah sangat terbiasa, menerima lontarak itu dari kakak sepupu saya. Semua yang hadir seolah menahan napas. Hanya suara bissu yang melantun naik turun dengan irama nan syahdu, diiringi pukulan gendang dan simbal pelan, memecah kekhusyukan ritual itu. Perlahan-lahan Mister Belanda itu membuka tali pengikat pembungkus lontarak. Setelah gulungan daun lontar yang bertuliskan huruf Bugis terlihat, mulut orang-orang tua yang hadir berdesis. Saya tidak mengerti apa yang mereka ucapkan. Tanpa sadar, saya pun ikut tegang, dan berkeringat.
Mister Belanda itu perlahan melepaskan gulungan dan meletakkannya di atas scanner. Mesin pembaca huruf lontarak itu pun mulai menjalankan fungsinya. Baris demi baris naskah lontarak itu mulai terekam ke layar monitor komputer. Perlahan tapi pasti, dalam beberapa saat saja, sudah ratusan kalimat yang terekam.
Saya melihat Si Bule dan seorang yang diperkenalkan sebagai seorang profesor ahli sejarah dan antropologi, terlihat beberapa kali menggelengkan kepalanya, saling berpandangan, dan sesekali saling bisik. Saya memperhatikan semua gerak-geriknya. Tetapi, lama kelamaan saya semakin menangkap gelagat kurang baik. Keringat terus bercucuran di wajah Si Bule, akibat pengapnya ruangan karena penuh sesak, dan hawa panas yang disemburkan scanner di depannya. Lontarak yang selesai di-scanning terus membentuk gulungan besar di ujung lain. Saya mendengar semua anggota keluarga yang hadir dan membisu sejak tadi, menarik napas panjang, seolah beban berat di pundak mereka lepas seketika, saat proses scanning selesai.
Setelah mematikan mesin scanner-nya, Si Bule mengamati huruf-huruf lontarak di layar monitor komputer, membolak-balik lembar-lembar print-out naskah kuno itu, sembari sesekali menggelengkan kepalanya. Akhirnya ia menutup komputer itu. Para ahli itu pun lalu berdiskusi dengan rombongannya dalam bahasa Inggris campur bahasa Belanda. Tentu saja tujuannya supaya perbincangan mereka tidak ketahuan orang kampung yang hadir. Saya pun pura-pura tidak memperhatikan mereka, tetapi konsentrasi saya pusatkan untuk menangkap betul percakapan mereka.
“Apa yang terjadi?” tanya saya dalam bahasa Inggris, ketika mendengar perkataan yang nyaris saya tak percayai.
Semua yang hadir kaget, seolah tidak menyangka di antara orang kampung lugu dan “bodoh” itu ada yang paham bahasa Inggris. Sekilas, saya melihat rasa heran di wajah sanak saudara saya, melihat tingkah saya menyerbu masuk ke dalam lingkaran kecil tamu terhormat tersebut.
Tim Pusat bersama Si Bule menjelaskan kepada saya dalam bahasa Inggris mengenai apa yang sesungguhnya mereka temukan dalam naskah kuno itu. Saya hanya mengangguk-angguk mendengarkan penjelasannya. Saya sendiri memang bisa membaca huruf lontarak, tetapi tidak paham jika sudah terangkai menjadi kalimat panjang. Apalagi dengan tata bahasa kuno, karena banyak menggunakan kata-kata simbolik.
Mereka meminta saya untuk menjelaskan kepada sanak saudara mengenai temuannya. Sejenak saya berpikir, menimbang pantas-tidaknya saya menyampaikan sekarang, atau nanti setelah tamu itu pulang. Tetapi, saya memilih menjelaskan sekarang saja. Dengan berat hati, akhirnya saya tampil menjelaskan kandungan naskah kuno yang mereka keramatkan itu.
“Saudara-saudaraku yang saya cintai. Menurut bapak-bapak yang sangat ahli ini, naskah yang baru saja kita upacarakan dengan memotong kambing dan sekian banyak ayam, yang menurut kalian keramat, ternyata tidak menjelaskan harta karun. Tidak juga menjelaskan pembagian warisan. Pendeknya, mungkin jauh dari harapan kalian. Naskah tua ini hanyalah catatan sejumlah transaksi kuda, kerbau, sapi, dari sejumlah orang yang juga sudah mati semua.”
Mendengar penjelasan saya itu, semuanya tertunduk. Tak satu pun yang hadir di ruang pengap itu, yang berani mengangkat wajahnya, apalagi menatap saya.
“Kita semua yang hadir di sini harus mengambil hikmah, pelajaran yang sangat berharga. Sekiranya di antara yang hadir di sini masih menyimpan lontarak, janganlah disimpan terus dan dikeramatkan. Tolong dibaca, supaya kalian mengetahui isinya. Kalau cuma catatan jual-beli kuda seperti ini, mengapa harus disimpan, mengapa harus dikeramatkan, tentu tidak ada gunanya. Nah, sekiranya lontarak itu merupakan ilmu pertanian, ilmu perbintangan, ilmu perdagangan, ilmu pengobatan, tentu saja banyak gunanya. Bisa kita amalkan, kalau kita memahaminya. Tentu saja kita harus baca. Bacalah…!” kata saya.
Kakak sepupu saya yang punya hajat, yang sangat bersemangat sampai mengenakan pakaian adat, tak tampak lagi olehku. Bagai kilat, tiba-tiba saja ia menghilang dari tempat duduknya. Dia pasti malu pada saya, pada Tim Pusat dan Si Bule itu. Sementara suaminya hanya tertunduk lesu, tak sekalipun mengangkat wajahnya.
“Inilah kesalahan orang-orang tua yang kita warisi pula, turun-temurun sampai sekarang. Kita bangga sekali memiliki naskah kuno, tetapi apa isinya sama sekali tidak tahu. Orang tua kita menyimpan naskah kuno seperti ini, hanya dijadikan alat legitimasi bahwa dirinya adalah bagian dari kerajaan. Tak lebih dari itu. Ya, begini jadinya. Kita semua membodohi diri kita sendiri…!” kata saya.
Pamulang, 240304
Catatan:
lontarak: naskah yang ditulis dengan huruf-huruf Bugis di atas gulungan daun lontar;
Andi, ndi panggilan akrab buat anggota keluarga yang lebih muda.
Andi Suruji
Tidak jauh dari tempat memarkir mobil, saya melihat kakak sepupu saya bersama suaminya duduk di atas tumpukan barang bawaannya. Penumpang kapal di Pelabuhan Tanjung Priok yang baru tiba dari Makassar, sepertinya sudah turun semua. Mereka tentu telah pergi ke tujuannya masing-masing di Jakarta ini.
Wajah kakak sepupu suaminya tampak begitu cerah menghampirinya. Kami pun berpelukan, saling melepaskan rindu karena baru bertemu kembali setelah sepuluh tahun lampau, saat terakhir sekeluarga pulang kampung. Kali ini mereka datang, untuk pertama kalinya ke Jakarta, kota yang diidamkan setiap penduduk kampung, seperti juga saya dan lainnya.
“Semula kami tidak mau merepotkan, karena ada teman saya yang sudah sering ke Jakarta bisa mengantar kami ke rumah. Tetapi dia tiba-tiba batal berangkat, dan kami sudah tidak punya kesempatan lagi untuk menelepon, mengabari Ndi,” ujar sepupu saya. Suaminya pun membenarkan.
Belum saya tanggapi, sepupu saya yang memang terkenal cerewet itu nyerocos lagi. “Bagaimana kabar Andi dan anak-anak di rumah. Sehat saja toh,” katanya menanyakan kondisi istri dan anak-anak saya. Ia pun menyampaikan salam orang sekampung, seperti paman, tante, sepupu, nenek, kakek, tetangga, kepada saya dan keluarga. Sementara suaminya yang memang pendiam, hanya tersenyum terus mendengarkan ocehan istrinya.
“Baik, semuanya sehat,” kata saya, sembari meraih sepotong barang bawaannya. Kami pun berjalan menuju mobil saya.
Mereka memperhatikan ketika saya mencabut selembar uang seribu rupiah untuk tukang parkir. Begitu juga ketika memberikan jumlah yang sama lagi di pintu pemeriksaan karcis parkir. Dua lembar seribuan lagi untuk membayar karcis tol. Tak lama kemudian, di pintu tol lain, empat lembar ribuan lagi.
“Eh, de… de… de…. Mengapa kita harus membayar begitu banyak?” tanya dia heran, karena tak pernah menemukan hal-hal semacam itu di kampung. Orang dengan bangga plus ikhlas memandu dan menjaga kalau kita memarkir kendaraan.
“Karena jalan mulus ini dibangun oleh swasta, bukan oleh pemerintah, sehingga kita harus membayar. Kalau tidak mau membayar, kita bisa lewat jalan di bawah yang macet seperti itu. Tetapi, bisa-bisa seharian baru kita sampai di rumah. Ya, begitulah di Jakarta ini. Kencing di toilet saja kita harus bayar. Hanya kentut yang gratis. Seandainya angin busuk itu pun berwujud, pasti sudah dikelola juga oleh orang-orang berduit dan menikmati pembayaran dari kita. Untungnya kentut itu tak bisa dilihat, sehingga tidak bisa dibisniskan oleh mereka yang lihai melihat peluang usaha,” kata saya.
Di rumah, istri saya tak kalah gesitnya, sudah siap dengan jamuan makan siang. Kami pun langsung menuju meja makan karena memang sudah lapar, hampir tiga jam baru sampai di rumah. Suasana menjadi semarak, karena istri saya menanyakan macam-macam tentang kampung halaman. Cerita kakak sepupu saya pun menjadi panjang lebar. Bagai tape recorder yang sedang memutar kaset rekaman cerita sejak sepuluh tahun silam, pada saat kami terakhir kali pulang kampung. Si anu sudah meninggal, si anu sakit-sakitan, dan si anu sudah menikahkan anak, anaknya si anu sudah bekerja di kantor kecamatan, anak si anu menjadi guru, dan si anu menjadi polisi. Semuanya membayar uang pelicin puluhan juta rupiah.
Setelah suasana semakin cair, saya pun mulai menanyakan keperluan mereka datang ke Jakarta.
“Begini… Ndi. Dua bulan lalu, ada tim dari Pusat (begitu biasa orang desa menyebut pejabat atau orang Jakarta) yang datang ke kampung menanyakan kepada kami sekiranya keluarga kita memiliki lontarak. Katanya mereka adalah tim penyelamat naskah kuno, seperti lontarak keluarga kita itu. Ya, saya jawab jujur saja bahwa saya pun menyimpan lontarak sebagai warisan keluarga,” paparnya.
Saya sendiri tak pernah mendengar cerita apa pun dari orangtua saya, sampai mereka meninggal, soal lontarak keluarga itu. Bahwa orang-orang tua, nenek moyang kami sejak dahulu kala sudah mengenal tradisi menuliskan apa pun yang terjadi di kampung, kejadian pada keluarga, di atas gulungan daun lontar yang kemudian disebut lontarak, itu sudah sering saya dengar. Ada lontarak pertanian, adat istiadat, silsilah keluarga, perbintangan, pengobatan. Pendeknya, macam-macam lontarak yang ditulis berdasarkan keperluannya.
Ah, saya teringat waktu kecil, ketika saya belajar memanjat pohon lontar dan kaki saya gemetaran di ketinggian empat meter, lalu saya turun sembari memeluk batang lontar, dan dada saya harus luka-luka tergores batang lontar yang kasar. Celakanya, ternyata ibu saya marah besar. Saya harus menerima hukuman cambuk kuda ayah saya sebanyak tiga kali di betis.
Sepupu saya pun lalu bercerita mengenai wasiat orangtuanya sebelum meninggal. Kata dia, bapaknya sebelum meninggal, berpesan bahwa ada lontarak, naskah kuno nan keramat yang disimpannya. Lontarak itu diselamatkan oleh kakeknya ketika kampung orangtua kami dibakar oleh penjajah Belanda. Penjajah itu membakar kampung karena Arung (raja kecil) di kampung kami termasuk pemberontak yang tidak mau kompromi dengan penjajah. Akan tetapi, lontarak itu baru bisa dibuka kalau wakil dari tujuh orang bersaudara, termasuk ibu saya dan ibunya hadir lengkap. Sebelum dibuka pun lontarak itu harus diupacarakan oleh para bissu dengan memotong tujuh ekor kambing sesuai jumlah saudara kandung ibuku, berikut ayam sejumlah anak-anak orangtua kami. Karena ibuku bersaudara kandung tujuh orang, dan masing-masing memiliki tujuh orang anak, sehingga kami bersepupu sekali sebanyak 49 orang, maka sebanyak itulah ayam harus dipotong saat mengupacarakan lontarak itu.
“Lalu kapan upacaranya?” tanya saya. Terlintas di pikiran saya pasti sepupu saya itu nanti ujung-ujungnya minta bantuan untuk perhelatan upacara membuka lontarak itu.
“Rencananya bulan depan. Tim itu menyanggupi membantu dana untuk keperluan upacara itu. Mereka pun katanya mendapat bantuan dana dari Pemerintah Belanda sebagai upaya melestarikan nilai-nilai budaya kita,” paparnya bersemangat.
Saya lega, ternyata sepupu saya tidak minta bantuan dana pada saya. Saya utarakan kemungkinan saya tidak bisa menghadiri upacara itu. Alasan saya karena anak saya mau ujian akhir di sekolah dasar, dan harus ada persiapan yang baik untuk masuk sekolah lanjutan pertama. “Persaingan di Jakarta ini sangat ketat. Urusan sekolah tidak segampang di kampung. Di sini, sudah urusannya repot, uang sekolah pun cukup besar.”
Mendengar alasan saya itu, wajah kakak sepupu saya itu menampakkan rona kekecewaan. Ia pun membujuk, supaya saya mau datang. Kalau perlu, akan diusahakannya untuk membicarakan soal ini lagi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah agar Tim Pusat dan Mister Belanda itu mau menunda kedatangannya dan menyesuaikan dengan kesempatan saya pulang kampung. Pendeknya, dia ngotot menghadirkan saya, karena dia takut kualat jika membuka lontarak itu tanpa memenuhi wasiat ayahnya. Artinya, saya sebagai anak ibu saya, haruslah datang memenuhi syarat tadi. “Bisa-bisa saya tidak melihat terangnya dunia ini sampai tujuh turunan, kalau melanggar wasiat ayahku itu Andi,” katanya dengan nada memelas, penuh harap.
Istri saya pun menimpali perbincangan. “Kita pergi saja Pa. Toh sudah lama kita tidak pulang kampung,” katanya.
Ketika saya tiba di kampung dengan mobil sewaan dari Makassar, di rumah peninggalan ibu saya yang masih kekar yang bahan bangunannya terbuat dari pohon lontar, tampak sudah banyak orang yang berkumpul. Mereka tak bisa menyembunyikan rasa senangnya dengan kedatangan saya dan istri. Bagai dikomando, mereka serempak berdiri dari tempat duduknya dan bergerak mengerubungi mobil sewaan yang saya tumpangi. Sejumlah orang tua yang saya tidak kenal, bahkan menciumiku sembari berucap pujian betapa terobatinya kerinduan mereka. Menurut mereka, wajahku sama persis dengan ibuku. Bahkan Wa Laima dan anak-anaknya, keluarga yang dulu bertanggung jawab terhadap semua harta orangtuaku dan kini masih menempati dan menjaga rumah itu, silih berganti mencium tangan dan lutut saya, membuatku sangat rikuh. Dahulu, aku pernah melihat kakekku diperlakukan seperti itu, tetapi ayah dan ibuku tak pernah, karena mereka memang menghindari hal-hal semacam itu.
Semalaman saya tak bisa tidur, karena sanak saudara ramai berkumpul, bercerita nyaris tak putus-putusnya. Ada saja cerita yang sambung-menyambung mengenai kondisi kampung. Ada juga yang meminta diceritakan berbagai pengalaman hidup di Jakarta. Tidak sedikit pula yang meminta agar saya membawa anaknya ke Jakarta untuk dicarikan pekerjaan, atau sekadar tinggal di rumah membantu pekerjaan rumah. Tidak satu pun yang saya janjikan, karena bisa berabe. Harapannya sangat tinggi, apalagi kalau mereka menilai seseorang sukses di perantauan. Meski setengah teler karena kurang tidur semalaman, saya tetap berusaha tampak segar esok paginya.
“Upacara pembukaan lontarak yang suci ini akan membuktikan kita ini siapa sebenarnya. Kita adalah keturunan bangsawan yang harus dihormati. Kita akan tercatat dalam sejarah, dan akan terkenal sampai ke negeri Belanda, Andi,” kata kakak sepupuku, ketika mengantarkan aku kopi dan pisang goreng untuk sarapan.
Rupanya itulah tujuan kakak sepupuku itu. Mereka memang dikenal gila hormat. Padahal, tanpa lontarak itu pun orang sekampung juga sudah mengetahui siapa kami, sudah menaruh hormat pada keluarga kami. Namun, saya masih menyimpan pertanyaan, karena kedua orangtuaku, semasa hidupnya, tak pernah sekali pun menceritakan hal-ihwal lontarak warisan keluarga itu, tak pernah melakukan ritual-ritual seperti itu. Tetapi saya memendamnya saja, tak ingin menyinggung perasaan mereka, walaupun ada sedikit rasa penyesalan dan kedongkolan setelah mendengarkan ucapan kakak sepupuku tadi.
Masih pagi-pagi benar, mereka sudah lengkap dan siap menyambut kedatangan tamu yang mereka sebut Tim dari Pusat dan Mister Belanda itu. Benar, tak lama kemudian, tamu yang ditunggu-tunggu itu pun akhirnya muncul. Bau sedap dari masakan yang dimasak di pekarangan belakang rumah, seolah berhamburan naik rumah, bercampur dengan bau asap dupa yang sejak tadi malam dibakar di sudut-sudut rumah sebagai bagian dari ritual membuka lontarak. Sementara sejumlah bissu sejak fajar belum menyingsing, terus melantunkan syair-syair Bugis kuno yang semakin banyak kata-katanya yang tak dapat saya mengerti.
Kakak sepupuku sendiri sibuk luar biasa, menyajikan kopi dan aneka kue tradisional kepada tamunya itu. Setelah istirahat sejenak, Tim dari Pusat dan Mister Belanda itu mulai memasang komputer dan scanner yang mereka bawa. Saya hanya memperhatikan dari jauh. Dan tak lama kemudian, muncullah kakak sepupu saya dengan baju bodo membawa lontarak di atas baki kuningan yang mengkilap bagai emas, karena digosok dengan asam jawa semalaman. Warna baki yang kuning sangat kontras dengan pembungkus lontarak, kain merah dan hitam kusam. Entah sudah berapa puluh tahun tak pernah sekalipun dibuka.
Si Belanda dengan hati-hati dan khusyuk, seolah sudah sangat terbiasa, menerima lontarak itu dari kakak sepupu saya. Semua yang hadir seolah menahan napas. Hanya suara bissu yang melantun naik turun dengan irama nan syahdu, diiringi pukulan gendang dan simbal pelan, memecah kekhusyukan ritual itu. Perlahan-lahan Mister Belanda itu membuka tali pengikat pembungkus lontarak. Setelah gulungan daun lontar yang bertuliskan huruf Bugis terlihat, mulut orang-orang tua yang hadir berdesis. Saya tidak mengerti apa yang mereka ucapkan. Tanpa sadar, saya pun ikut tegang, dan berkeringat.
Mister Belanda itu perlahan melepaskan gulungan dan meletakkannya di atas scanner. Mesin pembaca huruf lontarak itu pun mulai menjalankan fungsinya. Baris demi baris naskah lontarak itu mulai terekam ke layar monitor komputer. Perlahan tapi pasti, dalam beberapa saat saja, sudah ratusan kalimat yang terekam.
Saya melihat Si Bule dan seorang yang diperkenalkan sebagai seorang profesor ahli sejarah dan antropologi, terlihat beberapa kali menggelengkan kepalanya, saling berpandangan, dan sesekali saling bisik. Saya memperhatikan semua gerak-geriknya. Tetapi, lama kelamaan saya semakin menangkap gelagat kurang baik. Keringat terus bercucuran di wajah Si Bule, akibat pengapnya ruangan karena penuh sesak, dan hawa panas yang disemburkan scanner di depannya. Lontarak yang selesai di-scanning terus membentuk gulungan besar di ujung lain. Saya mendengar semua anggota keluarga yang hadir dan membisu sejak tadi, menarik napas panjang, seolah beban berat di pundak mereka lepas seketika, saat proses scanning selesai.
Setelah mematikan mesin scanner-nya, Si Bule mengamati huruf-huruf lontarak di layar monitor komputer, membolak-balik lembar-lembar print-out naskah kuno itu, sembari sesekali menggelengkan kepalanya. Akhirnya ia menutup komputer itu. Para ahli itu pun lalu berdiskusi dengan rombongannya dalam bahasa Inggris campur bahasa Belanda. Tentu saja tujuannya supaya perbincangan mereka tidak ketahuan orang kampung yang hadir. Saya pun pura-pura tidak memperhatikan mereka, tetapi konsentrasi saya pusatkan untuk menangkap betul percakapan mereka.
“Apa yang terjadi?” tanya saya dalam bahasa Inggris, ketika mendengar perkataan yang nyaris saya tak percayai.
Semua yang hadir kaget, seolah tidak menyangka di antara orang kampung lugu dan “bodoh” itu ada yang paham bahasa Inggris. Sekilas, saya melihat rasa heran di wajah sanak saudara saya, melihat tingkah saya menyerbu masuk ke dalam lingkaran kecil tamu terhormat tersebut.
Tim Pusat bersama Si Bule menjelaskan kepada saya dalam bahasa Inggris mengenai apa yang sesungguhnya mereka temukan dalam naskah kuno itu. Saya hanya mengangguk-angguk mendengarkan penjelasannya. Saya sendiri memang bisa membaca huruf lontarak, tetapi tidak paham jika sudah terangkai menjadi kalimat panjang. Apalagi dengan tata bahasa kuno, karena banyak menggunakan kata-kata simbolik.
Mereka meminta saya untuk menjelaskan kepada sanak saudara mengenai temuannya. Sejenak saya berpikir, menimbang pantas-tidaknya saya menyampaikan sekarang, atau nanti setelah tamu itu pulang. Tetapi, saya memilih menjelaskan sekarang saja. Dengan berat hati, akhirnya saya tampil menjelaskan kandungan naskah kuno yang mereka keramatkan itu.
“Saudara-saudaraku yang saya cintai. Menurut bapak-bapak yang sangat ahli ini, naskah yang baru saja kita upacarakan dengan memotong kambing dan sekian banyak ayam, yang menurut kalian keramat, ternyata tidak menjelaskan harta karun. Tidak juga menjelaskan pembagian warisan. Pendeknya, mungkin jauh dari harapan kalian. Naskah tua ini hanyalah catatan sejumlah transaksi kuda, kerbau, sapi, dari sejumlah orang yang juga sudah mati semua.”
Mendengar penjelasan saya itu, semuanya tertunduk. Tak satu pun yang hadir di ruang pengap itu, yang berani mengangkat wajahnya, apalagi menatap saya.
“Kita semua yang hadir di sini harus mengambil hikmah, pelajaran yang sangat berharga. Sekiranya di antara yang hadir di sini masih menyimpan lontarak, janganlah disimpan terus dan dikeramatkan. Tolong dibaca, supaya kalian mengetahui isinya. Kalau cuma catatan jual-beli kuda seperti ini, mengapa harus disimpan, mengapa harus dikeramatkan, tentu tidak ada gunanya. Nah, sekiranya lontarak itu merupakan ilmu pertanian, ilmu perbintangan, ilmu perdagangan, ilmu pengobatan, tentu saja banyak gunanya. Bisa kita amalkan, kalau kita memahaminya. Tentu saja kita harus baca. Bacalah…!” kata saya.
Kakak sepupu saya yang punya hajat, yang sangat bersemangat sampai mengenakan pakaian adat, tak tampak lagi olehku. Bagai kilat, tiba-tiba saja ia menghilang dari tempat duduknya. Dia pasti malu pada saya, pada Tim Pusat dan Si Bule itu. Sementara suaminya hanya tertunduk lesu, tak sekalipun mengangkat wajahnya.
“Inilah kesalahan orang-orang tua yang kita warisi pula, turun-temurun sampai sekarang. Kita bangga sekali memiliki naskah kuno, tetapi apa isinya sama sekali tidak tahu. Orang tua kita menyimpan naskah kuno seperti ini, hanya dijadikan alat legitimasi bahwa dirinya adalah bagian dari kerajaan. Tak lebih dari itu. Ya, begini jadinya. Kita semua membodohi diri kita sendiri…!” kata saya.
Pamulang, 240304
Catatan:
lontarak: naskah yang ditulis dengan huruf-huruf Bugis di atas gulungan daun lontar;
Andi, ndi panggilan akrab buat anggota keluarga yang lebih muda.
Andi Suruji
Kyai Sepuh dan Maling
Kyai Sepuh dan Maling
Hujan turun disebar langit merata di seluruh kota. Udara malam terasa lebih dingin masuk ke dalam pori-pori kulit. Bulu tangan berdiri, tengkuk sesekali menggigil. Orang percaya, jika hujan turun di hari malam Jumat, akan lama redanya. Sebenarnya sejak pagi sampai sore udara cerah. Namun seperti ramalan cuaca kita yang sering meleset, selepas magrib, hujan yang seperti tirai benang panjang, ujung-ujungnya menari-nari di bumi. Langit, cendawan raksasa ditutup awan pekat.
Kyai Sepuh mengantar anak sulung perempuannya, suami dan dua orang anak, yang tinggal di sisi kanan rumahnya, sampai di teras, setelah sesore tadi menyediakan nyamikan, kopi dan makan malam, seperti hari-hari sebelumnya. Pak kyai mengawasi anak, menantu dan cucu-cucunya masuk rumah, melihat-lihat sekilas jalanan yang sepi, baru menutup pintu rumahnya. Hujan terdengar mengacak-acak genting, mengiringi langkah duda gaek yang hidup sendiri itu. Kilat sekelebat lewat memamerkan warna tembaganya yang elok. Guntur menggeram dan pecah meledak di atas bubungan. Serpihannya terdengar jauh dan jauh.
Ia duduk di ruang keluarga, tak lupa menyandingkan tongkat jati kesayangannya. Mulutnya komat-kamit berdoa, lalu menyeruput kopi panasnya. Kemudian menoleh ke kiri nonton tayangan TV yang sepanjang hari tadi hidup namun tak digubris. Ia hanya menyenangkan cucu- cucunya menyaksikan film kartun yang hanya setengah jam. Selebihnya anak- anak selama 24 jam program berjalan tak menerima apa-apa. Ia sendiri bising mengikuti ajakan stasiun-stasiun televisi, seperti menjajakan dagangan di pasar loak: Seribu tiga! Sayang anak! Piring tahan pecah! Sisir anti patah! Sebagai orang kuno yang umurnya mendekati 80 tahun, barangkali sudah tak cocok dengan goyang gairah, para penyaji acara yang cengengesan, artis-artis yang jumpalitan di layar media yang bisa memuliakan sekaligus menistakan manusia. Mata tuanya malu menangkap gambar- gambar yang merangsang birahi.
Dengan remote controle di tangan, kakek yang sendiri itu memindah-mindah kanal, mencari tayangan yang disuka. Lagi-lagi ketemu sinetron yang tidak mencerdaskan otak, namun menggembungkan perut pedagang sinetron. Ia sangat bersyukur bila menemukan siaran video dokumenter, yang dirasa menambah ilmu pengetahuan dan sangat bermanfaat bagi kehidupan. Ia serius dan asyik melihat bagaimana seekor tarantula (sejenis kemonggo) raksasa bisa memenangkan pertarungan melawan seekor ular berbisa, panjang tiga meter, besar seukuran menengah tabung pralon. Pertarungan mematikan itu menarik, lantaran tarantula raksasa menggunakan taktik menjebak lawan yang sangat yakin akan cepat membinasakan mangsanya dengan 78 macam racun di badannya. Nyatanya ketika predator melata menuju lubang persembunyian, apa pun tak di temui. Dalam gelap gulita, matanya yang terkenal tajam tak menemukan tanda-tanda kehidupan. Lidahnya terjulur menangkap sinyal-sinyal di sekitar, sia- sia.
Tiba-tiba tarantula yang berkaki dan bermata delapan berbalik dari dinding atas persembunyian, langsung menerkam kepala ular menusukkan kuku-kukunya yang beracun, mengupas habis daging kepala dengan giginya yang amat kuat.
Dalam hitungan detik musuh sudah terkapar. Fantastisnya, seluruh daging ular habis disantap, yang tinggal hanyalah kulit sebagai selongsong badan ular sepanjang tiga meter. Kulit sisa kemudian dibuang depan rumah tarantula, seolah ada maklumat tersembunyi: “Jangan cari mati di sini. Biarkan kami merdeka dan tenteram dengan cara kami sendiri!”
Dari kematian yang tragis ini Kyai Sepuh merenung: “Hidup harus waspada selalu. Berakal. Tidak grusa-grusu. Jangan takabur. Mentang-mentang kuat lalu ingin melenyapkan yang lemah”. Yang belum terjawab adalah pertanyaan, kenapa makhluk yang satu musti membunuh yang lain, meski demi kelangsungan hidup? Inikah yang disebut hukum rimba: siapa kuat dialah pemenangnya. Dengan bahasa lain masa kini orang bertutur tentang “Tujuan menghalalkan cara-cara”.
Kakek yang sendiri itu masih menghidupkan TV, sekadar untuk teman bunyi, menutup kesendiriannya yang sunyi. Sejak isteri meninggal tiga tahun silam, ia memang merasakan kesepian oleh kehilangan yang tak bisa diganti selamanya. Walau lima orang anaknya menantu dan cucu-cucu hampir saban hari datang menghibur, kehilangan yang satu ini lain nilainya. Banyak hal pribadi sekarang tak bisa dibicarakan, meski dengan darah dagingnya sendiri. Sedangkan dengan isteri apa pun bisa disampaikan. Sebaliknya kyai sangat senang mendengar suara isteri yang penuh tata krama menghormatinya dalam glenak-glenik obrolan ringan sampai masalah rumah tangga yang serius. Hal-hal inilah yang akhirnya jadi tumpukan problem yang tak pernah terpecahkan.
Selagi masih didampingi isteri, kyai sangat bahagia bila disapa tetangga yang lewat depan rumahnya: “Wah, kyai dan ibu sangat romantis. Pagi-pagi sudah nyiram tanaman”. Kakek dan nenek tersenyum bangga. “Tuh dengar komentar yang muda-muda. Padahal kalau sudah berantem sering kasar omongan kita,” kata nyai sepuh pelan, sambil meneruskan memotong daun atau kembang yang kering. Kyai senyum dan menghapus keringat di kening nyai. Isteri terus nyapu, membersihkan daun-daun kering, mengangkat pot-pot kecil, memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain. Pemandangan jadi asri lagi. Sementara itu Kyai Sepuh yang mulai lamban jalannya, pindah ke teras belakang membenahi seratus pot kecil dan besar yang ditumbuhi tanaman hias, bunga-bunga kertas, pisang-pisangan, anggrek, perdu berbunga. Dari apa yang dirawat, dia pun bisa belajar pada daun: banyak daun yang seolah tahu diri kapan musti diganti. Daun-daun ikhlas menguning, kering dan gugur, secepat tunas-tunas baru mulai menatap matahari. Memandang daun papaya yang tumbuh di batang, orang kuno itu bertanya dalam batin: Kenapa manusia tak punya malu, rakus berkuasa sampai puluhan tahun, jika akhirnya masuk ke dalam selokan yang sangat kotor? Daun-daun menawarkan moral kekuasaan: Bacalah aku. Renungkanlah kehadiranku!
Apa yang terserak di luar mata bisa jadi adalah lambang, ilham, kebijaksanaan, atau hal tersembunyi lainnya, semisal yang diperhatikan kyai pada tanaman berdaun kecipir, yang batang-batangnya tumbuh berkait. Hampir sepuluh tahun tanaman kait itu hidup dalam pot kecil, tanpa cukup air, pupuk, apalagi vitamin. Tumbuhnya kerdil cuma tiga puluh cm, namun tetap bertahan. Sesudah dipindah di tanah lebih luas, serta-merta batang meninggi sampai dua meter. Di pucuknya bertengger mahkota bunga berwarna merah muda. Sekarang setiap menyiram dan menatap jambul bunga yang cantik itu, datang suara berbisik: “Betapa tabah dan uletnya kamu. Sakit ditahan bertahun tanpa mengeluh dan tak bersedia mati. Aku malu memandangmu!”.
“Pak istirahat dulu. Ibu bikinkan teh kepyur kesukaan kang mas,” tawaran nyai sepuh yang dituruti suaminya. Berdua duduk di meja makan menghadapi minuman, kentang goreng dan telur rebus. Sesudah itu kakek yang kaki-kakinya mulai kaku semutan, napas masih rada ngos-ngosan, masuk ke kamar istirahat.
Kemesraan kakek-nenek masih dirasakan tiga tahun lalu. Sekarang? Yang lewat sudahlah lewat menuju ke alam barzah. Yang masih hidup ditinggal sendiri dibebani khayal, rindu, kenang-kenangan perjalanan pernikahan, sejak malam pertama sampai kawin perak, menembus kawin emas. Lima puluh tahun tak pernah pisah, percaya saling memiliki, saling tak rela kehilangan, seperti luka kering pada daging, sulit dilepas paksa, kalau tak ingin berdarah-darah dan membuat luka baru.
Kyai Sepuh mematikan TV lewat remote. Berdiri bangkit dari kursi di ruang keluarga, yang entah telah berapa jam diduduki, lantas jalan ke ruang tamu, memadamkan lampu. Balik lagi ke tempat semula sesudah mengunci rapat sekat pintu ruang tengah. Rupanya ia cuma ingin mengambil tongkat kesayangan, baru masuk ke kamar tidur berebahan. Matanya menangkap langit-langit rumah yang putih. Kupingnya masih mendengar harmoni musik alam: angin bersuitan memabukkan pohonan, suara hujan krotokan di atas genting, petir menyapa guntur, kilat muncul sedetik seperti fotografer menjepret suatu objek.
Hari sudah di ujung subuh. Pukul 03.30 dini hari, tapi mata sulit diajak tidur. Ia bangun, ke kamar mandi, empat meter di seberang ranjang. Separo langkah berjalan, matanya tiba-tiba melihat cahaya di ruang tengah atau ruang keluarga. Tidak sampai lima detik lampu dimatikan lagi. Kecurigaannya menyimpulkan pasti ada seseorang di sana. Ia balik ke ujung tempat tidur mengambil tongkat dan mengendap sampai depan pintu kamar. Ia kuak sedikit daun pintu dan sedikit lagi. Pendekar silat itu mendengar pelajaran pertarungan tarantula dan ular berbisa: “Hidup harus selalu waspada. Tidak gegabah. Jangan takabur”.
Ketika lampu dinyalakan lagi pendekar tua sudah siap pasang kuda-kuda menjemput lawannya yang bertelanjang dada dan cuma bercelana cawat. Kaget melihat tuan rumah mendekat, maling pasang pisau di tangan kanannya.
“Awas! Jangan maju! Kubunuh nanti!” perintah maling.
“Lakukan! Cepat!!” tantang Kyai Sepuh sang pendekar silat.
Inilah watak maling: lari bila ketahuan, nekat melawan bila terdesak. Karenanya, kalaupun ia melawan, pasti dengan kemampuan asal-asalan. Keduanya sama- sama ambil ancang-ancang.
Kyai pesilat sebenarnya sudah menghitung, pertarungan bakal tak imbang, mengingat rangka dada maling yang seperti gambang Jawa, napas berat ditarik dan dihembuskan, tangan dan kakinya tak berdaging, sebagaimana layaknya orang yang susah hidupnya.
“Buang pisau. Kalau tidak tongkat ini akan menembus pusarmu,” suara sang pendekar yang meski sudah mendekati umur 80 tahun, masih terasa berwibawa. Nyali maling jadi mengerut. Tangannya melemas, pisau pun terjatuh.
“Duduk di sana!” kyai yang sudah di atas angin, menunjuk ke sebuah kursi. Begitu pantat tepos maling melekat di kursi, meja yang cukup berat dipepetkan ke perut maling, sehingga praktis lawan tak bergerak, terjepit.
“Siapa kamu?! Darimana?!”
“Saya Inyong, pak. Warga seberang sana,” jawabnya menggigil, antara kehilangan nyali dan kedinginan.
“Pak, pak. Aku bapakmu? Kapan kawin dengan emakmu?!
“E, maaf, mBah.”
“mBahmu situ! Kapan kawin sama nenekmu?!” kek gaek terus menteror dan menjatuhkan mental. “Aku Kyai Sepuh!”
“Maaf, kyai.”
“Sekarang bicara terus terang, mengapa kamu berani masuk rumah ini?!”
“Saya khilaf, kyai. Saya perlu makan.”
“Khilaf?? Kamu tidak beragama?? Dan kalau lapar, perlu makan, lantas harus jadi maling, menodong, merampok rumah orang? Kamu pikir aku ini siapa? Orang kaya di lingkungan sini? Ya?” Maling terus menggigil ketakutan.
“Matamu terbalik. Kamu mungkin sudah menyelidiki aku punya mobil di garase. Itu mobil tua, hasil jerih payahku selama tiga puluh tahun kerja di Departemen. Tahu?!”
“Saya, kyai.”
“Kamu pikir aku koruptor? Menggerogoti uang Departemen untuk bisa beli mobil, kawin, beranak, makan, menyekolahkan anak?” Kyai Sepuh sejak muda kerja di bengkel mobil. Oleh prestasi kerja dan kejujurannya, sampai pensiun beroleh pangkat sebagai Kepala Bengkel Departemen. Pengalaman praktisnya ia dapat sejak zaman Belanda, ditambah Sekolah Tehnik Mesin.
“Apa yang kamu ingin maling dari sini? Aku tak punya uang. Di sini tak ada barang berlebihan.”
“Maaf, kyai.”
“Aku tinggal di rumah ini atas bakti anak-anakku terhadap orang tua. Hidupku sehari-hari ditopang mereka.”
Maling mengangguk meng”iya”kan.
“Sekarang bagaimana? Kamu mau apa? Terus jadi maling? Pembunuh?!”
“Ampun, Kyai Sepuh.”
“Maksudmu?”
“Saya bertobat, Kyai Sepuh. Saya ingin hidup bersih seperti kyai. Ampun sebesar-besarnya.”
“Baik. Kalau begitu kamu harus kerja! Martabatmu sebagai manusia bukan diukur karena kamu jadi pentolan maling. Jagoan tindak kejahatan. Iri, dengki, cemburu terhadap kekayaan orang lain! Kehormatanmu, derajat kemanusiaanmu satu-satunya ialah jika kamu bekerja!”
Terbaca kembali kemudian kehidupan masa kecil Kyai Sepuh. Umur lima tahun sering ikut ibunya jalan kaki, dagang ayam potong di pasar tradisional daerah pecinan. Ia dibangunkan kokok ayam pukul lima subuh, langsung bergabung dengan bapak, ibu, pembantu, membersihkan ayam yang baru direbus, dari bulu-bulunya. Sebagai upahnya ibu memberi setusuk sate jantung ayam, yang ia bakar sendiri, tanpa bumbu. Rasanya nikmat saja walau dikunyah bersama sedikit debu dapur.
Di zaman pendudukan Jepang, zaman susahnya bangsa, ia menjajakan perkedel singkong, olahan tangan ibunda. Bersama penjual lain di pinggir jalan yang dipagari pohon asam, seingatnya selalu habis tak sebuah pun perkedel yang sisa. Yang tak diingat ialah berapa upah yang diterima dari bunda waktu itu.
Ketika ibunda meninggal, umurnya mungkin baru enam tahun, ia membantu pakdenya, seorang penjahit baju laki-laki. Pakde yang duda itu biasa perlu kancing, benang, kadang gesper. Di terik matahari ia jalan kaki tanpa kasut ke Pasar Besar yang berjarak sekitar satu setengah kilometer arah barat kota.
Hasil kerja masa kanak itu digunakan buat beli es lilin yang bisa diadu dengan milik teman-teman sebaya. Ia pun bisa menikmati bubur delima, rujak delapan cabe rawit yang luar biasa pedasnya, sehingga mulutnya bagai terbakar, pecel kangkung bumbu petis, kolak.
Sepeninggal bunda, bapaknya mengawini seorang janda, yang suaminya pernah sekongsi mendirikan pabrik rokok di kampung. Ia masih ingat betul, semasih di kelas dua Sekolah Rakyat (Sekarang Sekolah Dasar/SD), pulang sekolah lapar dan haus. Sampai di rumah ibu tirinya memberi bubur asin sepiring tanpa sayur apalagi lauk. Meski tidak mengeluh, batinnya menangis. Keadaan seperti itulah yang mendorongnya mengumpulkan buah asam yang pohon-pohonnya jadi pagar tepi jalan kota. Bersama seorang teman sebaya ia naik ke atas pohon. Tangan dan kaki merontokkan asam, disapu dikumpulkan oleh teman yang menunggu di bawah. Hasilnya dijual di warung cina, dijadikan manisan buah asam. Secara tak sadar Kyai Sepuh belajar mandiri.
Merasakan kehidupan getir semasa kecil, kyai yang juga tumbuh sebagai pendekat silat itu, sangat tidak cocok dengan perilaku para preman, penganggur, penjahat, benalu, baik bagi keluarga, apa lagi buat masyarakat.
“Paham sekarang?! Kamu sama sekali tidak terhormat di mata orang, jika kamu jadi pemalas, jadi beban orang lain. Kamu harus pikul tanggung jawabmu sendiri sebagai manusia. Mengerti?!!”
“Saya, kyai.”
“Mulai hari ini tangan-tanganmu musti kasar mengolah pekerjaan. Pundakmu musti berpunuk memikul dagangan. Kepalamu musti disengat matahari sepanas-panasnya. Sanggup?!”
Maling menangis, menyesali hidupnya yang lebih memilih jalan pintas selama ini.
“Kenapa menangis?”
“Saya terharu, kyai. Sesat. Kalau tidak karena Kyai Sepuh saya sudah mati ini hari.”
“Kalau aku mau, kamu sudah jadi bangkai sejak tadi di tanganku.”
“Ampun, kyai. Maaf, saya khilaf. Sesat.”
Meja yang menjepit orang khilaf itu mulai dikendurkan. Bersamaan dengan itu ia tubruk tangan kyai yang sudah melepaskan tongkatnya. Ia ciumi sejadi- jadinya dengan tulus dan rintihan tangis.
“Baik. Kemanusiaanmu sudah meneteskan air mata. Tapi jangan terus lena menangis. Sebentar lagi musim panas tiba dan songsonglah dengan kerja. Pengalamanku waktu kecil, membuat layang-layang bagus penjualannya. Kalau mau cobalah. Modalnya murah: cuma bambu, benang, lem, kertas, gunting, pisau. Aku ikhlas kasi modal pertama.”
“Terima kasih, kyai.”
“Nah tunggu sebentar. Hujan sudah reda. Dan sebelum orang-orang sholat subuh di mesjid depan, sebaiknya kamu sudah pergi dari sini.”
Kyai Sepuh, pendekar silat yang duda, masuk ke kamar akan sedikit menyisihkan uang pensiunnya untuk modal pembuatan layang-layang yang ditawarkan. Tapi betapa kaget Kyai Sepuh tidak mendapatkan Inyong yang sejak tadi patuh terjepit meja. Maling itu lari kabur mengikuti jalan ketika masuk rumah. Ia naik menuju ke tangki air di lantai atas teras belakang, lompat ke pohon rumah kosong, turun dan menghilang di antara semak.
29 Maret 2004
Pamulang-Tangerang
Sandy Tyas
Hujan turun disebar langit merata di seluruh kota. Udara malam terasa lebih dingin masuk ke dalam pori-pori kulit. Bulu tangan berdiri, tengkuk sesekali menggigil. Orang percaya, jika hujan turun di hari malam Jumat, akan lama redanya. Sebenarnya sejak pagi sampai sore udara cerah. Namun seperti ramalan cuaca kita yang sering meleset, selepas magrib, hujan yang seperti tirai benang panjang, ujung-ujungnya menari-nari di bumi. Langit, cendawan raksasa ditutup awan pekat.
Kyai Sepuh mengantar anak sulung perempuannya, suami dan dua orang anak, yang tinggal di sisi kanan rumahnya, sampai di teras, setelah sesore tadi menyediakan nyamikan, kopi dan makan malam, seperti hari-hari sebelumnya. Pak kyai mengawasi anak, menantu dan cucu-cucunya masuk rumah, melihat-lihat sekilas jalanan yang sepi, baru menutup pintu rumahnya. Hujan terdengar mengacak-acak genting, mengiringi langkah duda gaek yang hidup sendiri itu. Kilat sekelebat lewat memamerkan warna tembaganya yang elok. Guntur menggeram dan pecah meledak di atas bubungan. Serpihannya terdengar jauh dan jauh.
Ia duduk di ruang keluarga, tak lupa menyandingkan tongkat jati kesayangannya. Mulutnya komat-kamit berdoa, lalu menyeruput kopi panasnya. Kemudian menoleh ke kiri nonton tayangan TV yang sepanjang hari tadi hidup namun tak digubris. Ia hanya menyenangkan cucu- cucunya menyaksikan film kartun yang hanya setengah jam. Selebihnya anak- anak selama 24 jam program berjalan tak menerima apa-apa. Ia sendiri bising mengikuti ajakan stasiun-stasiun televisi, seperti menjajakan dagangan di pasar loak: Seribu tiga! Sayang anak! Piring tahan pecah! Sisir anti patah! Sebagai orang kuno yang umurnya mendekati 80 tahun, barangkali sudah tak cocok dengan goyang gairah, para penyaji acara yang cengengesan, artis-artis yang jumpalitan di layar media yang bisa memuliakan sekaligus menistakan manusia. Mata tuanya malu menangkap gambar- gambar yang merangsang birahi.
Dengan remote controle di tangan, kakek yang sendiri itu memindah-mindah kanal, mencari tayangan yang disuka. Lagi-lagi ketemu sinetron yang tidak mencerdaskan otak, namun menggembungkan perut pedagang sinetron. Ia sangat bersyukur bila menemukan siaran video dokumenter, yang dirasa menambah ilmu pengetahuan dan sangat bermanfaat bagi kehidupan. Ia serius dan asyik melihat bagaimana seekor tarantula (sejenis kemonggo) raksasa bisa memenangkan pertarungan melawan seekor ular berbisa, panjang tiga meter, besar seukuran menengah tabung pralon. Pertarungan mematikan itu menarik, lantaran tarantula raksasa menggunakan taktik menjebak lawan yang sangat yakin akan cepat membinasakan mangsanya dengan 78 macam racun di badannya. Nyatanya ketika predator melata menuju lubang persembunyian, apa pun tak di temui. Dalam gelap gulita, matanya yang terkenal tajam tak menemukan tanda-tanda kehidupan. Lidahnya terjulur menangkap sinyal-sinyal di sekitar, sia- sia.
Tiba-tiba tarantula yang berkaki dan bermata delapan berbalik dari dinding atas persembunyian, langsung menerkam kepala ular menusukkan kuku-kukunya yang beracun, mengupas habis daging kepala dengan giginya yang amat kuat.
Dalam hitungan detik musuh sudah terkapar. Fantastisnya, seluruh daging ular habis disantap, yang tinggal hanyalah kulit sebagai selongsong badan ular sepanjang tiga meter. Kulit sisa kemudian dibuang depan rumah tarantula, seolah ada maklumat tersembunyi: “Jangan cari mati di sini. Biarkan kami merdeka dan tenteram dengan cara kami sendiri!”
Dari kematian yang tragis ini Kyai Sepuh merenung: “Hidup harus waspada selalu. Berakal. Tidak grusa-grusu. Jangan takabur. Mentang-mentang kuat lalu ingin melenyapkan yang lemah”. Yang belum terjawab adalah pertanyaan, kenapa makhluk yang satu musti membunuh yang lain, meski demi kelangsungan hidup? Inikah yang disebut hukum rimba: siapa kuat dialah pemenangnya. Dengan bahasa lain masa kini orang bertutur tentang “Tujuan menghalalkan cara-cara”.
Kakek yang sendiri itu masih menghidupkan TV, sekadar untuk teman bunyi, menutup kesendiriannya yang sunyi. Sejak isteri meninggal tiga tahun silam, ia memang merasakan kesepian oleh kehilangan yang tak bisa diganti selamanya. Walau lima orang anaknya menantu dan cucu-cucu hampir saban hari datang menghibur, kehilangan yang satu ini lain nilainya. Banyak hal pribadi sekarang tak bisa dibicarakan, meski dengan darah dagingnya sendiri. Sedangkan dengan isteri apa pun bisa disampaikan. Sebaliknya kyai sangat senang mendengar suara isteri yang penuh tata krama menghormatinya dalam glenak-glenik obrolan ringan sampai masalah rumah tangga yang serius. Hal-hal inilah yang akhirnya jadi tumpukan problem yang tak pernah terpecahkan.
Selagi masih didampingi isteri, kyai sangat bahagia bila disapa tetangga yang lewat depan rumahnya: “Wah, kyai dan ibu sangat romantis. Pagi-pagi sudah nyiram tanaman”. Kakek dan nenek tersenyum bangga. “Tuh dengar komentar yang muda-muda. Padahal kalau sudah berantem sering kasar omongan kita,” kata nyai sepuh pelan, sambil meneruskan memotong daun atau kembang yang kering. Kyai senyum dan menghapus keringat di kening nyai. Isteri terus nyapu, membersihkan daun-daun kering, mengangkat pot-pot kecil, memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain. Pemandangan jadi asri lagi. Sementara itu Kyai Sepuh yang mulai lamban jalannya, pindah ke teras belakang membenahi seratus pot kecil dan besar yang ditumbuhi tanaman hias, bunga-bunga kertas, pisang-pisangan, anggrek, perdu berbunga. Dari apa yang dirawat, dia pun bisa belajar pada daun: banyak daun yang seolah tahu diri kapan musti diganti. Daun-daun ikhlas menguning, kering dan gugur, secepat tunas-tunas baru mulai menatap matahari. Memandang daun papaya yang tumbuh di batang, orang kuno itu bertanya dalam batin: Kenapa manusia tak punya malu, rakus berkuasa sampai puluhan tahun, jika akhirnya masuk ke dalam selokan yang sangat kotor? Daun-daun menawarkan moral kekuasaan: Bacalah aku. Renungkanlah kehadiranku!
Apa yang terserak di luar mata bisa jadi adalah lambang, ilham, kebijaksanaan, atau hal tersembunyi lainnya, semisal yang diperhatikan kyai pada tanaman berdaun kecipir, yang batang-batangnya tumbuh berkait. Hampir sepuluh tahun tanaman kait itu hidup dalam pot kecil, tanpa cukup air, pupuk, apalagi vitamin. Tumbuhnya kerdil cuma tiga puluh cm, namun tetap bertahan. Sesudah dipindah di tanah lebih luas, serta-merta batang meninggi sampai dua meter. Di pucuknya bertengger mahkota bunga berwarna merah muda. Sekarang setiap menyiram dan menatap jambul bunga yang cantik itu, datang suara berbisik: “Betapa tabah dan uletnya kamu. Sakit ditahan bertahun tanpa mengeluh dan tak bersedia mati. Aku malu memandangmu!”.
“Pak istirahat dulu. Ibu bikinkan teh kepyur kesukaan kang mas,” tawaran nyai sepuh yang dituruti suaminya. Berdua duduk di meja makan menghadapi minuman, kentang goreng dan telur rebus. Sesudah itu kakek yang kaki-kakinya mulai kaku semutan, napas masih rada ngos-ngosan, masuk ke kamar istirahat.
Kemesraan kakek-nenek masih dirasakan tiga tahun lalu. Sekarang? Yang lewat sudahlah lewat menuju ke alam barzah. Yang masih hidup ditinggal sendiri dibebani khayal, rindu, kenang-kenangan perjalanan pernikahan, sejak malam pertama sampai kawin perak, menembus kawin emas. Lima puluh tahun tak pernah pisah, percaya saling memiliki, saling tak rela kehilangan, seperti luka kering pada daging, sulit dilepas paksa, kalau tak ingin berdarah-darah dan membuat luka baru.
Kyai Sepuh mematikan TV lewat remote. Berdiri bangkit dari kursi di ruang keluarga, yang entah telah berapa jam diduduki, lantas jalan ke ruang tamu, memadamkan lampu. Balik lagi ke tempat semula sesudah mengunci rapat sekat pintu ruang tengah. Rupanya ia cuma ingin mengambil tongkat kesayangan, baru masuk ke kamar tidur berebahan. Matanya menangkap langit-langit rumah yang putih. Kupingnya masih mendengar harmoni musik alam: angin bersuitan memabukkan pohonan, suara hujan krotokan di atas genting, petir menyapa guntur, kilat muncul sedetik seperti fotografer menjepret suatu objek.
Hari sudah di ujung subuh. Pukul 03.30 dini hari, tapi mata sulit diajak tidur. Ia bangun, ke kamar mandi, empat meter di seberang ranjang. Separo langkah berjalan, matanya tiba-tiba melihat cahaya di ruang tengah atau ruang keluarga. Tidak sampai lima detik lampu dimatikan lagi. Kecurigaannya menyimpulkan pasti ada seseorang di sana. Ia balik ke ujung tempat tidur mengambil tongkat dan mengendap sampai depan pintu kamar. Ia kuak sedikit daun pintu dan sedikit lagi. Pendekar silat itu mendengar pelajaran pertarungan tarantula dan ular berbisa: “Hidup harus selalu waspada. Tidak gegabah. Jangan takabur”.
Ketika lampu dinyalakan lagi pendekar tua sudah siap pasang kuda-kuda menjemput lawannya yang bertelanjang dada dan cuma bercelana cawat. Kaget melihat tuan rumah mendekat, maling pasang pisau di tangan kanannya.
“Awas! Jangan maju! Kubunuh nanti!” perintah maling.
“Lakukan! Cepat!!” tantang Kyai Sepuh sang pendekar silat.
Inilah watak maling: lari bila ketahuan, nekat melawan bila terdesak. Karenanya, kalaupun ia melawan, pasti dengan kemampuan asal-asalan. Keduanya sama- sama ambil ancang-ancang.
Kyai pesilat sebenarnya sudah menghitung, pertarungan bakal tak imbang, mengingat rangka dada maling yang seperti gambang Jawa, napas berat ditarik dan dihembuskan, tangan dan kakinya tak berdaging, sebagaimana layaknya orang yang susah hidupnya.
“Buang pisau. Kalau tidak tongkat ini akan menembus pusarmu,” suara sang pendekar yang meski sudah mendekati umur 80 tahun, masih terasa berwibawa. Nyali maling jadi mengerut. Tangannya melemas, pisau pun terjatuh.
“Duduk di sana!” kyai yang sudah di atas angin, menunjuk ke sebuah kursi. Begitu pantat tepos maling melekat di kursi, meja yang cukup berat dipepetkan ke perut maling, sehingga praktis lawan tak bergerak, terjepit.
“Siapa kamu?! Darimana?!”
“Saya Inyong, pak. Warga seberang sana,” jawabnya menggigil, antara kehilangan nyali dan kedinginan.
“Pak, pak. Aku bapakmu? Kapan kawin dengan emakmu?!
“E, maaf, mBah.”
“mBahmu situ! Kapan kawin sama nenekmu?!” kek gaek terus menteror dan menjatuhkan mental. “Aku Kyai Sepuh!”
“Maaf, kyai.”
“Sekarang bicara terus terang, mengapa kamu berani masuk rumah ini?!”
“Saya khilaf, kyai. Saya perlu makan.”
“Khilaf?? Kamu tidak beragama?? Dan kalau lapar, perlu makan, lantas harus jadi maling, menodong, merampok rumah orang? Kamu pikir aku ini siapa? Orang kaya di lingkungan sini? Ya?” Maling terus menggigil ketakutan.
“Matamu terbalik. Kamu mungkin sudah menyelidiki aku punya mobil di garase. Itu mobil tua, hasil jerih payahku selama tiga puluh tahun kerja di Departemen. Tahu?!”
“Saya, kyai.”
“Kamu pikir aku koruptor? Menggerogoti uang Departemen untuk bisa beli mobil, kawin, beranak, makan, menyekolahkan anak?” Kyai Sepuh sejak muda kerja di bengkel mobil. Oleh prestasi kerja dan kejujurannya, sampai pensiun beroleh pangkat sebagai Kepala Bengkel Departemen. Pengalaman praktisnya ia dapat sejak zaman Belanda, ditambah Sekolah Tehnik Mesin.
“Apa yang kamu ingin maling dari sini? Aku tak punya uang. Di sini tak ada barang berlebihan.”
“Maaf, kyai.”
“Aku tinggal di rumah ini atas bakti anak-anakku terhadap orang tua. Hidupku sehari-hari ditopang mereka.”
Maling mengangguk meng”iya”kan.
“Sekarang bagaimana? Kamu mau apa? Terus jadi maling? Pembunuh?!”
“Ampun, Kyai Sepuh.”
“Maksudmu?”
“Saya bertobat, Kyai Sepuh. Saya ingin hidup bersih seperti kyai. Ampun sebesar-besarnya.”
“Baik. Kalau begitu kamu harus kerja! Martabatmu sebagai manusia bukan diukur karena kamu jadi pentolan maling. Jagoan tindak kejahatan. Iri, dengki, cemburu terhadap kekayaan orang lain! Kehormatanmu, derajat kemanusiaanmu satu-satunya ialah jika kamu bekerja!”
Terbaca kembali kemudian kehidupan masa kecil Kyai Sepuh. Umur lima tahun sering ikut ibunya jalan kaki, dagang ayam potong di pasar tradisional daerah pecinan. Ia dibangunkan kokok ayam pukul lima subuh, langsung bergabung dengan bapak, ibu, pembantu, membersihkan ayam yang baru direbus, dari bulu-bulunya. Sebagai upahnya ibu memberi setusuk sate jantung ayam, yang ia bakar sendiri, tanpa bumbu. Rasanya nikmat saja walau dikunyah bersama sedikit debu dapur.
Di zaman pendudukan Jepang, zaman susahnya bangsa, ia menjajakan perkedel singkong, olahan tangan ibunda. Bersama penjual lain di pinggir jalan yang dipagari pohon asam, seingatnya selalu habis tak sebuah pun perkedel yang sisa. Yang tak diingat ialah berapa upah yang diterima dari bunda waktu itu.
Ketika ibunda meninggal, umurnya mungkin baru enam tahun, ia membantu pakdenya, seorang penjahit baju laki-laki. Pakde yang duda itu biasa perlu kancing, benang, kadang gesper. Di terik matahari ia jalan kaki tanpa kasut ke Pasar Besar yang berjarak sekitar satu setengah kilometer arah barat kota.
Hasil kerja masa kanak itu digunakan buat beli es lilin yang bisa diadu dengan milik teman-teman sebaya. Ia pun bisa menikmati bubur delima, rujak delapan cabe rawit yang luar biasa pedasnya, sehingga mulutnya bagai terbakar, pecel kangkung bumbu petis, kolak.
Sepeninggal bunda, bapaknya mengawini seorang janda, yang suaminya pernah sekongsi mendirikan pabrik rokok di kampung. Ia masih ingat betul, semasih di kelas dua Sekolah Rakyat (Sekarang Sekolah Dasar/SD), pulang sekolah lapar dan haus. Sampai di rumah ibu tirinya memberi bubur asin sepiring tanpa sayur apalagi lauk. Meski tidak mengeluh, batinnya menangis. Keadaan seperti itulah yang mendorongnya mengumpulkan buah asam yang pohon-pohonnya jadi pagar tepi jalan kota. Bersama seorang teman sebaya ia naik ke atas pohon. Tangan dan kaki merontokkan asam, disapu dikumpulkan oleh teman yang menunggu di bawah. Hasilnya dijual di warung cina, dijadikan manisan buah asam. Secara tak sadar Kyai Sepuh belajar mandiri.
Merasakan kehidupan getir semasa kecil, kyai yang juga tumbuh sebagai pendekat silat itu, sangat tidak cocok dengan perilaku para preman, penganggur, penjahat, benalu, baik bagi keluarga, apa lagi buat masyarakat.
“Paham sekarang?! Kamu sama sekali tidak terhormat di mata orang, jika kamu jadi pemalas, jadi beban orang lain. Kamu harus pikul tanggung jawabmu sendiri sebagai manusia. Mengerti?!!”
“Saya, kyai.”
“Mulai hari ini tangan-tanganmu musti kasar mengolah pekerjaan. Pundakmu musti berpunuk memikul dagangan. Kepalamu musti disengat matahari sepanas-panasnya. Sanggup?!”
Maling menangis, menyesali hidupnya yang lebih memilih jalan pintas selama ini.
“Kenapa menangis?”
“Saya terharu, kyai. Sesat. Kalau tidak karena Kyai Sepuh saya sudah mati ini hari.”
“Kalau aku mau, kamu sudah jadi bangkai sejak tadi di tanganku.”
“Ampun, kyai. Maaf, saya khilaf. Sesat.”
Meja yang menjepit orang khilaf itu mulai dikendurkan. Bersamaan dengan itu ia tubruk tangan kyai yang sudah melepaskan tongkatnya. Ia ciumi sejadi- jadinya dengan tulus dan rintihan tangis.
“Baik. Kemanusiaanmu sudah meneteskan air mata. Tapi jangan terus lena menangis. Sebentar lagi musim panas tiba dan songsonglah dengan kerja. Pengalamanku waktu kecil, membuat layang-layang bagus penjualannya. Kalau mau cobalah. Modalnya murah: cuma bambu, benang, lem, kertas, gunting, pisau. Aku ikhlas kasi modal pertama.”
“Terima kasih, kyai.”
“Nah tunggu sebentar. Hujan sudah reda. Dan sebelum orang-orang sholat subuh di mesjid depan, sebaiknya kamu sudah pergi dari sini.”
Kyai Sepuh, pendekar silat yang duda, masuk ke kamar akan sedikit menyisihkan uang pensiunnya untuk modal pembuatan layang-layang yang ditawarkan. Tapi betapa kaget Kyai Sepuh tidak mendapatkan Inyong yang sejak tadi patuh terjepit meja. Maling itu lari kabur mengikuti jalan ketika masuk rumah. Ia naik menuju ke tangki air di lantai atas teras belakang, lompat ke pohon rumah kosong, turun dan menghilang di antara semak.
29 Maret 2004
Pamulang-Tangerang
Sandy Tyas
Subscribe to:
Posts (Atom)