Friday, 25 February 2011

Berat Hidup di Barat

Berat Hidup di Barat


Siapa takkan terbangun mendengar dering suara bising yang mengganggu telinga di pagi buta? Siapa tak terganggu saat menjelang fajar mendengar tetangga dekat bertengkar? Siapa tahan tinggal di rumah sewa dengan kebisingan yang terjadi tiap hari? Siapa?

Samar-samar, baru setengah sadar, kupencet kenop lampu di meja dekat tempat tidurku. Tampak istriku tetap tidur lelap, seolah tak peduli apakah dunia sedang kiamat. Dengan malas aku kembali menggeliat, menutup telinga dengan sudut selimut, sekadar mau menikmati satu jam lagi sebelum weker berbunyi. Aku tahu, siapa lagi kalau bukan Eric Sullivan, tetangga sebelah kanan, yang tak jarang memencet kenop nama siapa saja di luar sana asal pintu gedung dibuka. Tentu saja itu sangat mengganggu penghuni flat kami, terutama di lantai satu. Lantas terdengar suara perempuan.

“Kamu mau mati, Ricki? Tahu rasa jika levermu bengkak, parumu rusak! Berapa botol nenggak alkohol, hah?”

Itu pertanda perang mulut pagi-pagi sudah mulai. Perempuan yang malang! Eric Sullivan melontarkan makian. Segala kuda betina, sapi blasteran, binatang ternak yang kerjanya cuma beranak, semua lepas berlompatan dari mulut Eric Sullivan. Takkan terbayangkan bahwa Luzia, istrinya, akan begitu ramah membiarkan suaminya mengoceh dengan segala macam hinaan. Sebaliknya perempuan itu akan sesengit singa betina, menampar dan mencakar. Adu mulut hanya reda bila anaknya bangun dan menangis mau nyusu, dan Eric Sullivan tersungkur di tempat-tidur lantas mendengkur.

Agak siang perempuan itu mengetok pintu.

“Maafkan kami, Maria. Dinas malam Ricki mabuk. Sejak dulu sudah kuperingatkan jangan layani anak- anak Lithuania, mereka bukan tandingan di kampus Lumumba. Wodka itu buat mereka air biasa, minuman sehari-hari. Buat Ricki… Ah, Maria, belum pernah kudengar suamimu mabuk. Minum apa sebenarnya kalian di Indonesia?”

Minum apa? Sebuah pertanyaan aneh yang nyleneh. Bila seseorang merasa haus, mau minum apa lagi sih! Istriku lantas menjawab, “Minum sap. Teh. Kopi. Air kendi.”

Itu bukan sekadar kelakar. Tetapi, Luzia melongo, lantas tertawa. Jelasnya, menertawakan.

“Di Rusia, cuma anak-anak kecil minum sap, atau teh, atau susu sapi. Orang dewasa minum wodka, Maria.”

Minum wodka kek, susu sapi kek, itu bukan urusan istriku. Dia cuma tak tahan mendengar ejekan beberapa tetangga di lantai satu yang kebanyakan orang pensiunan, tak mau sedikit terganggu. Sejak hari-hari pertama Eric Sullivan menghuni flatnya, mereka sudah berkeluh-kesah, tetapi tak punya nyali untuk menegur sendiri. Semua kehilangan respek.

“Kampungan. Tak ngerti aturan.”

“Dikira rumah kakeknya.”

“Biasa hidup di hutan sih. Kumpul kera.”

Aku bukan sejenis kera, tetapi langsung ikut tersinggung mendengar cerita istriku. Jangan-jangan kami pun diam-diam pernah dihina seperti mereka menghina Eric Sullivan untuk beberapa kesalahan kecil: jejak sepatu membekas di lantai, pot-pot bunga kekeringan lupa menyiram, teledor giliran mengepel…. Ada yang jengkel, lantas usul mengumpulkan tanda tangan, kirim protes via firma pemilik flat itu. Demi mencegah pengucilan, istriku menolak ikut bertanda tangan.

Pada hari lain pada bulan yang lain, semua penghuni flat kami menerima surat edaran. Firma itu melampirkan fotokopi tata tertib yang dulu pernah juga kami terima, dengan harapan agar diperhatikan. Sebuah edaran yang sangat sopan. Di dalamnya tidak tertera nama Eric Sullivan. Apakah dia merasa disasar, mesti tahu sendiri.

Sebagai tetangga terdekat, istriku merasa perlu mengajak bicara Luzia. Tanpa niat mengumpat.

“Kita sama-sama penyewa, Luzia. Semua membayar mahal buat menghuni flat ini dengan tenteram dan nyaman. Hati-hati, mereka tidak tinggal diam untuk membela haknya. Itu tabiat orang Barat.”

Apa kata Luzia?

“Ricki sungguh terlalu, Maria, dinas malam kunci rumah ketinggalan. Ceroboh itu bakatnya, Maria. Mana bisa aku menunggu. Dia datang terlalu siang. Ah, Maria, baru jam lima sebenarnya, tetapi dia tahu aku harus berangkat pagi-pagi buat mengantar koran. Larisa kan masih kecil, bisanya cuma menyusu, kakaknya tidur di atas, apa mesti turun memanjat tangga, Maria? Lain kali biar saja dia teler di luar, tak perlu bukakan pintu. Manusia harus belajar dari pengalaman sendiri, Maria.”

Seenaknya saja Luzia cari alasan, seolah orang mabuk akan mampu menarik pelajaran mengapa tak seorang sedia bangun membuka pintu baginya. Namun, Luzia berjanji akan mendamprat Ricki bila dia ulangi sekali lagi. Istriku kurang setuju, sebab kemarahan hanya memancing kemarahan. Lebih baik sambil lalu saja diajak bicara dan selalu diingatkan tentang kunci rumahnya. Kami pun percaya, sebagai makhluk sosial tentunya Eric Sullivan punya naluri normal, bisa saling tenggang sebagai sesama penyewa di gedung bertingkat empat itu. Memang benar, dia mulai mengerti keluh-kesah para tetangga dan tak pernah lagi semaunya memencet kenop siapa saja. Tetapi, kesadaran itu punya lain sebab.

Kata Luzia, “Ricki sudah berubah, Maria, lantaran dapat teguran dari bosnya, mabuk waktu dinas malam. Perkara alkohol, teman-teman Jerman bukan tandingan, Maria. Dia diancam pemecatan.”

Ceroboh itu bukan bakat seperti kata Luzia, melainkan penyakit yang tiap saat bisa kumat. Begitulah Eric Sullivan. Tingkah lelaki itu terulang lagi ketika dia datang terlalu pagi dari dinas malamnya. Lelaki yang malang! Bukan salah dia sebenarnya. Dia cuma berniat mengebel istrinya, tetapi dia lakukan berulang-ulang, sepuluh-sebelas kali barangkali! Itu juga mengganggu tetangga di lantai satu. Tentu saja mereka tak ambil pusing apakah dia kebelet kencing. Atau terdesak sesuatu yang mendadak. Mereka cuma mau hidup tenteram tanpa gangguan. Luzia pun enak saja bikin alasan.

“Aku sengaja tak mau membuka pintu, Maria.”

Istriku terperangah.

“Wah, sekarang kamu yang salah! Makanya dia ngebel berulang-ulang.”

“Ya, tetapi lama-lama aku kasihan, Maria. Masuk rumah ternyata kuncinya ada di ransel, bukan di saku mantel. Ceroboh itu bakatnya. Kumat! Tetapi bakat yang satu lagi, Maria…., mengerikan! Coba bayangkan, pagi-pagi dia datang, langsung ngajak begituan. Masak mau ditolak? Sudah itu kudesak-desak supaya mencuci… apanya itu, Maria? Anunya. Dia tidak melakukannya, Maria. Lemas, memang malas. Terus tidur dan mendengkur!”

Aku anggap istriku berlebihan, menganggap Eric Sullivan mengidap hiperseks hanya karena mengajak ketika hasrat mendesak.

“Dari mana kamu simpulkan itu?” tanyaku.

“Luzia bilang sendiri. Ricki tidak cukup dua hari sekali. Tiap hari, Pa!”

“Duilah. Kok yang begituan diomongkan.”

“Kena depresi barangkali. Masak, nyuci, ngurus suami, momong Larisa, mengantar koran. Lantas siapa bisa diajak bicara? Dia memerlukan teman. Tak ada teman Rusia-nya di sini.”

“Semua orang di Barat hidupnya berat, Ma. Dia bicara apa lagi?”

“Itulah gilanya. Dia tanya, apa kamu sama seperti Ricki, mintanya tiap hari.”

“Buset! Apa jawabmu?”

“Kusuruh dia langsung tanya sendiri.”

“Hah? Gila kau, Ma!” istriku kucerca. “Aku pilih ngumpet di kamar! Bilang saja, hiperseks itu mungkin ciri lelaki mungkin juga perempuan. Bahayanya, apa saja bisa dilanggar bila kebutuhan biologis tak terpenuhi.”

“Melanggar bagaimana maksudmu?”

“Memerkosa. Melacur. Ngeluyur di daerah lampu merah.”

Astaghfirullah! Istriku ternyata menyampaikannya. Perempuan macam Luzia sekali-sekali perlu ditakut-takuti, katanya. Agaknya dia percaya, menelan begitu saja apa-apa yang tak pernah ada di Rusia sejak Lenin hingga Yeltzin: pelacuran, pemerkosaan. Kecuali yang tersembunyi. Saran istriku, “Di Barat ini lain, Luzia. Kebebasan selalu dipertuhan. Jangan biarkan suami kita ketularan.”

Sebodoh itu Luzia tidak. Dia percaya moral suaminya. Dia mencintainya. Kalau tidak, buat apa ikut Eric Sullivan berangkat ke Eropa Barat sebelum Yeltzin diganti Putin. Barangkali suatu saat dia pun ikut Eric Sullivan pulang ke Ethiopia. Lelaki yang malang! Mengestu Heile Mariam memilih pertumpahan darah ketimbang mundur teratur. Perang saudara berkecamuk di negerinya. Kuterka, kira-kira status lelaki itu di negeri ini tidak berbeda dengan kami. Namun, aku terlalu bodoh untuk mengerti seluk-beluk dalam negeri Eric Sullivan, kecuali hadirnya Baret Biru*) dan tumbangnya Mengestu. Addis Ababa kabarnya aman.

Istriku tidak menduga ketika Luzia mengetok pintu. Napasnya gelagepan, suaranya tertekan. Tentu saja aku cepat-cepat ngumpet di kamar, dan kubiarkan istriku menemuinya sendiri.

“Maria! Maria! Mana suamimu?”

“Sudah tidur, Luzia. Ada apa?”

“Aku perlu tanya,” bisik Luzia.

“Soal itu kan? Sehari sekali!?”

“Bukan, Maria, bukan. Aku cuma tanya, sudah tidur?”

“Dia capai. Siang tadi kerja lembur. Bilang saja soalmu apa.”

“Ricki bilang dia bermaksud pulang. Addis Ababa aman. Bagaimana ini? Ada perang saudara di sana.”

“Suamimu lebih tahu.”

“Aku tahu, Mengestu sudah kalah, Maria. Sekarang perempuan terancam. Aku takut, Maria. Ngeri.”

“Kalau Ricki bilang aman, ya aman, Luzia. Jangan khawatir.”

“Aku bilang di sana perempuan mulai terancam.”

“Perempuan tidak diapa-apakan. Mereka dilindungi.”

“Tidak, Maria. Mereka disunat. Pada zaman Kaisar Heile Selassi tidak. Pada zaman Mengestu juga tidak.”

“Disunat? Yang disunat apanya?”

“Suamimu sudah tidur, Maria?” bisik Luzia lagi.

“Aku bilang dia capai, tadi siang kerja lembur. Bilang saja soalmu apa.”

“Anak gadis disunat, klitoris diiris! Pakai silet, Maria. Mengerikan. Kaulihat kemarin malam di Kanal-1?”

“Ha!?”

Aku masih terkurung di kamar. Tak kuduga begitu lama mereka mengobrol sana-sini. Satu jam lebih aku menahan kencing. Ketika tak tahan lagi, aku nekat keluar menuju kamar mandi. Mereka melihat aku lewat.

Luzia kaget, melontarkan protes.

“Kamu bilang dia sudah tidur, Maria. Kalau tadi dia dengar, bagaimana? Malu dong aku!”

“Terkadang dia pura-pura saja tidur.”

Sampai sekarang Eric Sullivan sekeluarga tetap tinggal di flat kami. Anaknya lima. Cuma satu belum sekolah. Anak kami tidak bertambah.

Koeln, awal April 2004

*) Baret Biru , Pasukan Keamanan PBB




Soeprijadi Tomodihardjo

No comments: