Sunday 20 February 2011

Sepi Pun Menari di Tepi Hari

Sepi Pun Menari di Tepi Hari



Kabar gembira datang pagi hari.

Selasa, 19 Agustus 1997. Di hadapan lebih dari 500 undangan yang memenuhi Aula Serbaguna RW 18, Kelurahan Pondok Petir, pinggir selatan ibukota, telah dinikahkan secara resmi Ir Gulian Putra Ariandaru, M.A, 29 tahun, dengan Arsih, 22 tahun.

Senyum itu. Misteri.

Daun bibirnya yang penuh, menggurat garis lunak di atas dagunya yang hampir tepat setengah lingkaran. Seperti menyatakan dari kejauhan: hidup itu empuk. Karena itu, salahmu sendiri jika kau tak dapat tidur nyenyak. Lalu, matanya menipis ketika bibir itu terbuka perlahan, seperti tawanya yang mengalun. Selesailah dunia! Dengan garis-garis wajah yang tertarik kuat dan wajar seperti itu, perempuan akan mengisi tatapan kosong setiap lelaki. Perempuan yang menciptakan jarak setiap langkah. Perempuan-perempuan Picasso yang merambati gelap dengan cahayanya.

Namanya Arsih. Kujumpai pertama, kedua, dan ketiga kalinya selalu di pertengahan pertunjukan wayang kulit. Ketika punakawan muncul hanya untuk menihilkan awal dan akhir cerita. Suara tawanya, entah kenapa, mengejutkan dan membuatku segera berpaling ke arahnya. Suara itu mengembang dan mengambang seperti langkah tak berjejak dan memaksaku tersenyum. “Itu, Arsih. Anak Yu Katiyem.” Sudri, informan dalam kerja risetku, menyahut cepat pertanyaanku. “Baru 20 tahun,” sambungnya. Entah dengan maksud apa.

Pertemuan kelima di panggung dangdut. Kami berkenalan. Bapaknya petani palawija, ibunya membuka kios gado-gado. Aku meraih master enam bulan kemudian. Tiga tahun berikutnya, kami, aku dan Arsih, hampir memiliki anak. Kandungannya lemah, ia gugur hanya karena Arsih bersepeda ke pasar.

Dia? Ah, biasa saja. Anak kota. Gayanya. Bajunya selalu putih, mentereng. Jadi, kelihatannya bersih terus. Ngomongnya juga di-sopan-sopanin. Biar lancar kerjaannya. Kerjaannya apa sih? Nyatet melulu, kayak juru tulis kelurahan. Aku tahu dia sering melirik aku. Sejak wayang Petruk Dadi Ratu-nya kiai Sumprit, dalang edan itu. Kenalan? Aku dipaksa Mbakyu Tumi. Kan ndak ada ruginya, kata Mbakyu.

Mauku, mau mbok dan bapakku, kawin di kampung. Cara kawin di kota, aku gak ngerti. Gak kerasa. Tapi, sudahlah. Mas Guli memang baik. Aku mau apa saja dikasih. Kebetulan, kata Mbakyu Tumi. Porotin saja, katanya. Aku gak mau. Bukan ndak setuju, tapi males saja. Tapi, Mas Guli jarang di rumah. Temanku pembantu. Lebih dari teman. Seperti saudara. Lebih dekat dari Mas Guli sendiri.

Aku nonton video porno, diajak Yu Ti, pembantu. Juga gambar-gambar asli. Asli bener. Aku kok jadi pusing. Gak tahan. Minum pil dan tidur. Mimpi ndak? tanya Yu Ti. Enggak tuh. Enak gak tidurnya? Biasa saja, tuh. Mau nonton lagi? Enggak dulu. Tak bikinin jamu, ya? Buat apa, Yu? Perempuan tiga puluhan itu tersenyum. Ke dapur, membuat jamu. Tidak kuminum sampai esoknya. Ini jamu siapa, kata Mas Guli saat datang agak malam. Yu Ti, kataku gugup. Bibir Mas monyong. Dia lihat agak lama gelas jamu itu. Lalu, pergi mandi.

Lebih tiga tahun perkawinan, kami belum sukses memproduksi anak. Dia sudah lima kali keguguran. Dokter bilang, sudah sulit sekali. Dan aku tak menunggu mukjizat. Aku tak percaya keajaiban, terutama kalau berhubungan denganku. Usaha keras, hanya itu prinsip hidupku. Begitu aku bekerja. Entah untuk apa. Karier? Uang? Gengsi? Rasanya bukan. Sekadar kewajiban. Termasuk, utamanya, kewajiban memenuhi hajat dan keinginan istriku. Arsih tidak banya minta, melalui mulutnya. Tapi, lewat sudut mata dan sikap tubuhnya. Aku harus mengerti apa yang ia mau. Selendang biru, tempat tidur baru, piring makan, penyejuk udara, kiriman tambahan orangtuanya, modal dagang mbakyunya, atau sandal jepit dari Jepang, katanya.

Entah dari mana ia tahu itu semua. Hampir sebagian besar permintaannya tak terpakai. Dia tetap Arsih. Daster kembang, rambut digulung atau kepang, dan radio wayang kulit. Juga tentu televisi, melulu dua program: India dan dangdut. Stasiun teve seperti setia meladeninya. Bicara? Hampir seluruh topik adalah keluarga dan tetangganya di desa. Jangan bicara soal pekerjaan, film Dustin Hoffman terbaru, atau roman Vikram Seth yang membuat silau pikiranku. Buku? Satu hal yang, baginya, tak lebih penting dari satu ons bawang putih.

Aku masih terpukau oleh senyumnya. Begitu purba. Seperti waktu berlalu tanpa bekas, masa lalu, hidup senantiasa, hingga di masa nanti. Untuknya, aku harus pandai mencari pergelaran wayang kulit di seantero ibu kota. Atau, sesekali ke Wayang Orang Bharata. Tapi, Arsih tak begitu suka yang terakhir ini. Ia memang berpendirian. Tegas bahkan. Aku betul menyukainya. Aku betul tidak menyukainya ketika pendirian itu tak dapat didiskusikan lagi. Ia boleh diam, seperti mengalah. Tapi tidak sama sekali. Ia menyimpannya sebagai dendam. Untuk diledakkan di saat yang baginya tepat.

Dan saat itu tiba. Bom waktunya meledak!

Mas Guli, gantian ya kamu di bawah.

Cuma itu yang kuminta. Kenapa lalu dia uring-uringan. Sampai pagi tidak tidur. Sampai malam datang lagi, ia tak kerja. Duduk di kebun merokok dan ngopi tiada habisnya. Ada apa? Aku mau arisan dan undangan majelis taklim. Ada yang jual ehmm…apa itu, gelas kristal! Bagus dan keren, katanya.

Pergi saja! Katanya pendek waktu aku minta izin. Ada apa sih, Mas? Tanyaku ketika pulang, menjelang 10 malam. Dia malah pergi tidur. Aku mau minta lagi agar ia mau di bawah. Tapi, kudengar ia mendengkur keras. Bohongan, aku tahu. Ada apa sih? Sengaja bikin aku kesel? Ada apa, Mas? Mas Guli mengecapkan bibirnya seperti ngigau. Dan dengkur lagi. Bohong lagi. Kenapa sih?

Apa-apaan? Dari siapa kau mempelajari itu?

Tak ada jawaban. Ini keistimewaan lain Arsih. Tutup rapat rahasia hati atau pikirannya. Berbalik habis denganku. Semangatku membagi info dan pengetahuan, berbagi hati dan pikiran. Dan Arsih tidak menunduk. Ia tentang mataku dalam bisu. Ia bukan saja merokok, pergi ke kafe, atau mampir ke kabin karaoke, tapi juga membuat kelompok-entah apa namanya-dengan beberapa ibu muda, bahkan yang datang jauh dari kompleks perumahan kami. Aku memergokinya. Ketika semua sudah lebih setahun berlangsung. Kamu juga minum bir? Ndak. Aku tak tahu, ia jujur atau kembali berahasia.

Itu mungkin belum seberapa. Bagiku. Dimulai dengan permintaan aneh agar aku mau bermain di bawah, Arsih melanjutkan dengan beberapa permintaan lain. Dan imajinasiku tak dapat menjangkaunya. Aku yang nungging atau Mas saja? Tanyanya suatu kali. Aku tak mengerti. Dan terasa sangat tolol di depannya. Ia tersenyum. Aku membuang bantal. Senyumnya hilang. Pintu kubanting. Dua malam berikutnya, aku tidur di sofa.

Apa-apan ini ? Dari siapa ia mempelajarinya ?

AKU mau pulang saja, Mas !

Mas Guli memandangku. Seolah aku ini kethek sirkus. Wong mau pulang saja, kok susah. Ditanya ini ditanya itu. Aku gak ngerti pertanyaannya. Katanya apa ? Aku tidak memahami dia, aku keblinger, aku membawa karepku dhewe, aku…wah banyak lagi. Gak aku jawab. Wong gak ngerti.

Kasihan juga Mas Guli lamalama. Ia capek ngomongi aku. Mukanya pucat dan masam. Aku bikinkan ia air jeruk dingin. Dia minum sambil geleng kepala. Aku pulang saja ya, Mas? kataku lagi. Dia menghela napas. Panjang sekali. Kenapa? Tanyanya. Dia ulang lagi. Ya, mau pulang saja. Masak gak boleh tho, Mas.

Sudah lebih setahun aku memang belum pulang. Lebaran cuma ngirimi bingkisan dan uang ke desa. Mas Guli banyak kerjaan. Jujurnya, aku juga mulai bosan dengan teman-temanku, ibu-ibu sekompleks. Dengan Yu Ti. Dengan Romi, kucingku. Dengan Mas Guli. Aku gak tahu, harus bagaimana. Aku ini kenapa. Aku mau pulang, Mas !

Suamiku membanting pintu. Keluar. Jadi, diizinkan ya, Mas?! Tak ada suara. Aku pun berkemas.

Arsih pulang seminggu, aku sakit. Keras, bahkan. Sekonyong kolesterol dan asam uratku meningkat drastis. Aku harus opname, seminggu kemudian, karena mulai ada gangguan jantung. Arsih sudah datang dan langsung mendampingiku, 24 jam di rumah sakit. Aku sangat tertolong. Aku pandang wajahnya dengan seluruh rasa sayang yang paling mungkin dalam imajinasiku. Dan aku tak pandai untuk itu. Arsih tersenyum. Sama seperti dulu, pertama kulihat dia. Tak ada perubahan. Tiga tahun perkawinan, untuknya, seolah waktu bermain yang lepas begitu saja. Tapi, cukuplah senyum itu untukku.

Namun, ternyata tak cukup untuk penyakitku. Sebulan keluar dari rumah sakit, aku malah terkena stroke ringan. Aku mulai panik. Melulu karena pekerjaan yang tak tergarap. Perusahaan tak ikut mengeluh. Tapi, gosip miring mulai mampir di telingaku. Arsih tetap rajin seperti biasa. Dua bulan setelah stroke, aku sudah mulai lancar menggerakkan anggota tubuh. Di tempat tidur, Arsih datang dan bertanya ringan sekali: sudah bisa belum, Mas? Baju tidurnya oranye tipis.

Aku mau tertawa, mungkin juga teriak. Tak bisa keduanya. Besoknya kuterima uang cukup besar dari perusahaan. Bukan santunan. Pensiun dini. Arsih memberi selamat dan bilang, mobil Karimun Bu Wondo, temannya, lucu dan asyik ya Mas. Maksudmu kita ganti Starlet lama kita? Dia tak menjawab. Wajahnya menunduk kecil dengan posisi miring, bibir senyum di sudut, seperti serbuk sari mengintai dan menghisap kumbang yang mendekatinya.

Aku sakit, Sih, kataku. Dan Karimun baru datang seminggu kemudian.

Sudah setengah tahun Mas Guli tak berdaya. Uang sih masih ada. Cukup untuk makan dan kebutuhan beli baju atau vcd baru. Tapi, aku tak bisa lagi mengajaknya pergi. Jalan-jalan di Mal Bintaro kesukaanku, nonton wayang kulit di hotel atau gelanggang remaja, bakar ikan di gunung, atau cuma sekadar makan nasi uduk pagipagi di Kampung Betawi. Mas Guli seperti bisu. Diam saja di kamarnya. Baca, baca, baca. Nulis, nulis, nulis. Kalau ditanya, jawabnya sepatah saja. Dia memang masih sakit.

Tapi anunya kan gak sakit, tho. Aku mau, pengin banget. Mas Guli seperti patung ukiran kalau diminta. Kaku membesi. Kalau lelaki sudah membesi begitu berarti tak lagi bernafsu. Apa…aku sudah gak merangsang lagi? Sering kuladeni tubuh bugilku di kamar mandi. Sehat. Seksi, kata Manto, tetangga sebelah, kata Juri, tukang kebun, kata Dani, teman Mas Guli. Lalu? Seksi, kataku.

Aku suka tubuhku sendiri. Cermin kamar mandi kini jadi temanku. Aku melihatnya, jadi nafsu. Aku merabanya, jadi mau. Aku menciumnya, tak keburu. Ahhh…… Mas Guli masih bergelimang buku. Dani temannya datang dan melirikku. Lengkap setahun sudah aku tak disentuh. Tabungan tipis. Aku mulai utang untuk lipenstip dan fondesyen. Suamiku bisu.

BISA jadi aku sengaja.

Sakitku bertambah berat, memang keinginan bawah sadarku. Ketika segala cara rasional jadi invalid untuk mendapatkan penyelesaian masalah, biarkan intuisi purba yang bekerja. Mungkin emosi ada gunanya. Sesungguhnya badanku baik, tapi dapat kubuat lumpuh. Dengan kursi roda kulaksanakan semua kegiatan. Sendiri. Mang Juri kupecat dan kebun mengganas dengan serangga dan ular satu-dua. Yu Ti bersih rumah dan cuci-cuci. Arsih memasak dan mengelola uang. Sekarang tak ada lagi yang ia kelola.

Apa yang akan dia perbuat? Pulang? Tidak. Ia mulai jual segala barang bahkan tanpa permisiku. Aku tertawa dalam hati. Sampai mana? Berulang kali ia hendak marah dan membentak, demi melihat kelumpuhanku, ia diam. Pergi setengah hari. Entah ke mana. Bagiku, surga adalah saat ia tak ada. Masihkah ada surga? Betulkah aku menyimpan harapan? Sedang mimpi pun aku tak lagi bisa. Arsih, di mana tempatnya ia kini?

Bahkan senyumnya pun tak kuingin (setahun sudah ia tak tersenyum). Kecuali saat ia keluar dari kamar mandi. Wajahnya bersih dan terang. Air memberinya bahagia. Serius jika aku sirik dan cemburu pada air bak mandi. Selebihnya: muak! Aku mau cerai. Aku tak berani. Aku mau ia pergi. Mulutku tak kuasa mengusirnya. Aku mau ia diam saat malam di tempat tidur. Mulutnya tak henti mengeluh. Bahkan membentak. Aku tampar. Pertama kalinya. Ia diam. Sungguh terdiam.

Aku mau bunuh diri. Tak bisa.

Sudah kucoba beberapa kali. Tak enak. Bagaimana bunuh diri yang enak? Dengan pistol di mulut, seperti film-film di teve? Tak ada yang minjami. Pil tidur? Apotek curiga. Apa aku benar mau bunuh diri? Tak tahu. Aku tak tahu apa yang aku mau. Mas Guli tidur di kursi roda, aku lebih banyak di sofa. Aku makan cah kangkung kesukaannya, dia minta jajan warung. Aku ingatkan kewajiban suaminya, pipiku dihajar. Entah kali berapa sudah. Sekali aku gak tahan, kulempar ia dengan piring. Kepalanya bocor. Ia pergi ke puskesmas sendiri. Dengan kursi roda. Aku menangis setengah hari. Dan tidur di kuburan dekat rumah.

Maaf? Minta maaf? Siapa yang harus memulainya? Dan untuk apa? Apa yang harus dimaafkan dari lelaki yang 24 jam menatapmu dengan benci? Yang menyebut seluruh keluargamu dengan caci maki? Yang menggapai dirimu dengan jijik hingga di ujung jari? Maaf? Aku serius gak ngerti arti kata itu. Yang kutahu, sejak sebulan terakhir ini, aku menyimpan satu hal yang menentukan, di hatiku, di mataku, di bibirku, di balik bajuku.

Sudah tak kukenali lagi diriku sendiri. Perkawinan adalah rumah sia-sia ketika tak ada lagi yang dapat atau pantas dikenali. Bukan saja segala menjadi asing, bahkan hidup yang harus dihidupi itu pun mengasingkan diri. Kata-kata jadi seperangkap jala yang menyergap semua mimpi kita. Dan emosi yang tersisa hanya berguna ketika kau selesai dengan upacara buang air kecil dan air besarmu.

Aku tak tahu, apa lagi yang harus kuperbuat dengan rumah tangga ini. Mestinya ia segera selesai. Terutama ketika kudapatkan ia menumpahkan seluruh perbendaharaan makiannya di lembar-lembar kertas, yang ia simpan seperti pusaka. Juga ketika ia menuang air ludahnya pada cangkir teh yang hendak kuminum. Termasuk juga saat ia mengatakan, perceraian tak perlu karena aku punya penyelesaian tersendiri. Satu-satunya pendapat yang sama ada dalam pikiranku.

Dan itu harus terjadi. Hanya karena peristiwa kecil, mungkin. Di kamar mandi. Tidak sengaja aku masuk kamar mandi, yang kebetulan tak terkunci, dan kutemukan ia terengahengah hebat karena onani. Di hadapannya cermin dan sebuah foto ditempel selotip. Aku terdiam. Menatapnya dingin. Ia pun menatapku. Tidak diam. Tidak dingin. Panas sekali. Tubuhnya bergetar. Tangannya kian cepat bergerak. Hingga akhirnya….Cuaahhh!! Kami sama-sama muntah.

Hanya dua hari setelah itu.

Kami tidur bersama lagi. Pertama setelah setahun setengah. Tentu tidak berdekatan. Ia di ujung utara, aku sebaliknya.

Sejak menit pertama, kami tak bicara. Hingga ia mendengkur, aku pun. Hingga malam terlampau larut, aku tercenung. Di luar hening, malam tak suara. Bahkan pun kepak serangga malam tak terdengar. Sepi seperti menari. Hingga hari hampir tiba di tepi. Aku merasa waktuku tiba kini. Mataku terbuka. Bibir mengeras. Kepalanku menggenggam kuat. Aku menarik nafas panjang. Dan sekonyong…aku berbalik. Menancapkan sesuatu di genggamanku, tepat di dada manusia di sampingku. Aaacchhh…. Sesuatu yang tipis dan dingin terasa di dadaku, melesak dalam sekali. Dingin. Dingin sekali.

Aku memandangnya. Begitu pun ia. Kami tersenyum. Untuk kali pertama.

Sepi datang lagi. Dan menari. Hari pun menepi.

Kabar duka datang senja hari.

Kamis, 23 September 2002. Sepasang suami istri ditemukan bunuh diri. Di dada mereka tertancap sebilah belati. Namun satu tangan mereka menggenggam erat jari-jari.

Jakarta, 2003



Radhar Panca Dahana

No comments: