Showing posts with label Juni 2003. Show all posts
Showing posts with label Juni 2003. Show all posts

Sunday 20 February 2011

Laki-laki yang Menusuk Bola Matanya…

Laki-laki yang Menusuk Bola Matanya…



Heran, sejak beberapa hari ini mataku sudah tak bisa melihat dengan benar. Kemarin aku yakin sekali melihat seekor kerbau di depan pintu kantor. Tentu saja semua orang tak percaya, termasuk logika pikiranku sendiri. Karenanya, aku tak marah dengan cerca dan gelak tawa mereka yang kuberi tahu bahwa di depan pintu kantor ada seekor kerbau besar dengan tanduk melintang bagai sepasang parang.

Ah lagi, kadang-kadang tanpa kusadari, tiba-tiba mataku pulih seperti sediakala. Entah apa penyebabnya, aku tak benar-benar tahu.

“Halusinasi itu sering terjadi,” begitu ungkap Mas Badri, dokter pribadiku. Dia tahu pekerjaanku yang mengharuskanku mengerahkan segenap tenaga untuk membuat skrip ini “…dan kadang-kadang kita tak menyadari sepenuhnya apakah kita ini sedang berhalusinasi atau tidak.”

“Jadi kamu percaya bahwa ini semua cuma kelelahan otakku? Gitu?”

“Ya, mbuh, Mas. Aku sendiri kadang-kadang bingung. Zaman sekarang ini sudah dikutuk sama Ki Ageng Ranggawarsita… zaman edan! Termasuk cara berpikir kita juga sudah edan.” Kata-kata Mas Badri seperti ditujukan pada sesuatu.

“Wong dokter kok, enggak optimis.”

“Biar dokter, wong aku juga manusia… kaya’ kamu.” Timpalnya sambil mengembuskan rokok kreteknya. Aku cuma menimpalinya dengan gelak tawa. Sumpah mati, rasanya dia dokter paling jujur di dunia ini, setelah dokter Doo Little-yang mewarisi ilmunya Nabi Sulaeman itu.

Karena itu pulalah kadang- kadang aku juga membenarkan pendapat kawan-kawan lain bahwa aku sedang berhalusinasi. Tapi terus terang, aku sendiri tak paham benar apa yang disebut halusinasi itu. Pokoknya, apa yang dilihat oleh mataku dan disampaikan ke otakku belum tentu sama dengan yang diterima otak manusia yang lain di sekelilingku. Itu inti persoalannya. Aku tidak tahu, apakah lensa mataku yang aneh, syaraf-syaraf ini yang mengadakan makar dan menciptakan usulan gambar aneh yang sebaiknya diterima otakku-atau apa? Atau memang otakku yang aneh; yang seharusnya menerima gambar apa adanya, malah dikarang-karang sendiri-entah apa maksudnya.

Seperti tiga hari lalu, misalnya. Waktu itu aku akan ke kamar kecil. Kebetulan karena struktur kantorku yang memang demikian-kamar kecil yang seharusnya ada di belakang, malah ada di depan-aku berpapasan dengan seorang pria bule, berdasi dan berpakaian perlente. Namun, nah… ini lagi… kepalanya ternyata babi!

Terus terang aku terkejut setengah mati. Kebetulan pula malah si bule itu satu tujuan denganku-ke kamar kecil. Yang tadinya aku ingin kencing, akhirnya tak jadi, cuma cuci muka dan mengaca. Masih saja kusaksikan pria berkepala babi itu mengaca dan menyisir rambutnya yang tipis. Mungkin karena aku memperhatikannya dengan pandangan aneh, dia agak tak suka dan akhirnya buru-buru keluar kamar kecil.

Aku masih saja belum memahami benar apa yang sebenarnya terjadi dengan mataku ini, sampai ketika kusaksikan si kepala babi itu ikut berkeliling kantorku-dan belakangan baru kuketahui bahwa dia adalah salah satu manajer perusahaan yang menjadi calon klien kantorku. Tentu saja si kepala babi menatapku dengan pandangan tak suka, ketika oleh bosku aku diperkenalkan kepadanya.

Ketika rombongan itu berlalu, beberapa teman mengomentari betapa kerennya si bule itu. Aku memperhatikan kedua cewek yang berkomentar itu dengan pandangan aneh. Mereka malah mengatakan dengan nada meledek bahwa pasti aku menyangka si bule itu wajahnya seperti babi. “Ya, kan, Mas… dia mirip babi, kan?” ucap si Vita sambil nyengir manja.

“Memang babi, kok.” Jawabku serius.

“Tuh, apa gua bilang, Mas Kris pasti ngatain bule itu seperti babi…” komentar yang satu lagi dengan nada melecehkan. “Orang kok sirik terus sama penampilan orang lain…” tambahnya enteng saja.

“Siapa yang…” aku tak melanjutkan ucapanku, percuma saja, mereka tak melihat apa yang kusaksikan.

Itulah keanehan yang tiba-tiba terjadi pada mataku. Karenanya aku juga tak bisa lagi benar-benar mempercayai lagi apa yang kulihat dan mengatakannya pada orang lain.

“Kita ke dokter mata, yuk.” Ajak istriku setelah mendengar keluhanku tentang keganjilan yang terjadi beberapa hari ini pada diriku.

“Memangnya kamu pikir aku ini minus, apa?”

“Ya, enggak, tapi… paling tidak, kita kan jadi tahu… kenapa sih, mata kamu enggak klop dengan orang lain?” ucap istriku jengkel.

Aku tahu, dia jengkel dengan laporanku. Mungkin, dia pikir ini adalah alasanku saja untuk keluar dari kantor dan berhenti kerja. Entahlah, mungkin saja dia punya pikiran begitu, karena memang aku sudah berkali-kali mengutarakan keinginanku untuk berhenti kerja. Aku ingin jadi penjual tape uli saja yang enggak banyak pikiran. Masalahnya, selain kondisi mataku yang makin seenaknya sendiri ini, pikiranku pun akhirnya ikut-ikutan enggak beres. Di sinilah aku akhirnya menyadari bahwa pertimbangan otakku nyaris ditentukan oleh apa yang dilihat oleh mataku ini. Sebelumnya, aku tak pernah punya pikiran demikian.

“Mas, kok, nglamun lagi, sih?” tiba-tiba suara Dik Tony membuyarkan lamunanku.

Aku menjawabnya dengan tersenyum saja.

“Sulit, ya, brief-nya?” tanyanya lagi. Aku memang sedang mempelajari strategi komunikasi iklan yang diberikan Dik Tony kepadaku.

“Oh, enggak. Enggak sulit, kok, cuma akunya yang lagi enggak mood.” Kilahku sambil menyalakan rokok.

Brief iklan yang sedang kubaca ini tentang sebuah produk pengharum mulut berbentuk semprot. Dalam hati aku tertawa, berapa banyak sih orang Indonesia yang mau pakai produk semacam ini? Ketika kegelianku itu kulontarkan pada orang lain, ada saja jawaban yang mengatakan bahwa aku ini terlalu skeptis memandang sesuatu. Terus terang, aku tak tahu apa maksud jawabannya itu.

Account director-ku malah marah ketika aku berkomentar demikian. “Pokoknya kerjakan sajalah, jangan sok jadi kritikus sosial. Ini kan dagang, dan tugas kita untuk melariskan produk klien kita. Titik!”

“Titik dua, atau titik-koma?” tangkisku sekenanya.

“Dasar copywriter!”

Aku cuma mengepulkan asap rokokku saja menanggapi kemarahannya yang enggak jelas itu.

Duduk di tempatku, aku mulai orat-oret sesuatu di selembar kertas. Tiba-tiba terlintas di otakku sebuah ruang kantor yang bagus. Namun, pada awal film kuperlihatkan ada seorang laki-laki muda perlente yang tampaknya akan melakukan transaksi bisnis di sebuah kantor. Dia datang dengan segala perlengkapannya, termasuk telepon genggam sebagai status simbol orang muda kota yang sibuk dan sukses.

Adegan kemudian dilanjutkan dengan si pria muda menunggu di ruang tunggu. Dia melihat-lihat potret-potret, patung-patung kecil yang menghias kantor tersebut. Lalu cut. Ada suara wanita yang merdu seksi merayu, menyapa si pemuda: “Hhhai… sudah lama, ya?” Lantas cut lagi. Kamera memperlihatkan sepasang sepatu wanita, terus naik, sepasang betis indah dan cut lagi. Wajah si pria muda yang terkejut, lalu buru-buru menutup hidungnya seakan dia mencium bau bangkai.

Ketika kamera mengambil seluruh adegan, tampaklah si lelaki muda tadi berdiri berhadapan dengan seorang wanita berkepala naga! Lalu cut dan muncul produk semprot mulut yang menyemprot sendiri. Lalu tulisan slogannya muncul berbunyi. “Zems. Selamat tinggal bau naga!”

Tepuk tangan riuh di ruangan meeting itu meledak. Aku bingung. Ideku yang baru saja kutuliskan dan hanya kutuangkan dalam bentuk sketsa besar, tentu saja aku minta seorang visualizer untuk menggambarnya, diterima dengan aklamasi. Anjing kurap!

Bukan hanya itu yang membuatku bingung. Bosku dan semua rekan kerjaku yang ada di ruangan itu, semua berkepala naga! Aku tak tahan melihat apa yang kusaksikan. Keringat dingin mengucur deras. Dalam hati kecilku, aku berteriak bahwa aku sudah gila. Bagaimana mungkin ini semua bisa kualami.

Tanpa kusadari, aku berlari keluar dari ruangan. Tanpa kusengaja, tentu saja, aku bertabrakan dengan Miske-sekretaris bosku, dan… aku nyaris saja berteriak ketakutan karena yang kulihat bukanlah wajah Miske, melainkan naga. Tampaknya dia sengaja “memasang” dirinya agar kutabrak dan supaya tanganku seolah tak sengaja menyentuh dadanya… tapi, ah… seekor naga?

Entah sudah di mana aku saat ini, aku tak sepenuhnya mengetahuinya. Yang kurasakan bahwa diriku jauh dari manusia berkepala naga. Aku terduduk di suatu tempat yang terasa tak asing, namun tidak benar-benar kukenali. Seolah-olah aku pernah berada di sini, entah kapan.

Hanya seraut wajah yang akhirnya kukenali dan membuatku percaya bahwa aku masih berada di dunia normal, ketika istriku muncul. Dengan wajahnya yang penuh duka-cita dia mendekatiku. Kemudian dengan belaian lembutnya dia mengusap-usap kepalaku.

Kuperhatikan sepasang bola matanya yang kelihatan cantik itu. Dia menangis.

“Kenapa?”

“Tidak. Tidak apa-apa. Apakah kau melihat naga?”

Aku mengangguk.

“Aku baru pinjam VCD dari Enggar… nonton yuk.”

“Film apa?”

“Dragon Heart.”

Aku terdiam. Apa maksudnya?

“Yang ini, naganya bisa ngomong… suaranya Sean Connery… keren, lho…”

Aku tertawa. Dia tersenyum. Aku tahu, dia telah menganggapku gila karena trauma terhadap naga, dan dengan mengajaknya menonton film tentang naga, dia berharap agar aku bisa melihat bahwa naga hanyalah sebuah film.

“Aku mau nonton,” kataku lembut, “…tapi, kamu harus percaya padaku….”

“Apa?”

“Aku memang melihat manusia berkepala naga….”

Dia menatapku dalam-dalam. Linangan air matanya membeku.

“Aku percaya, kok… Karenanya, aku ingin mengajakmu cuti, atau malah berhenti kerja, lalu kita pindah ke Salatiga… kata orang di sana tenang sekali….”

“Mungkin tak akan ada manusia berkepala naga….”

“Mungkin malah ada manusia berkepala kerbau, atau celeng….” tambahnya riang. Dia memeluk pinggangku, persis ketika kami pacaran dulu.

Aku merasakan tusukan itu kini mengenai jantung kami berdua.

Pinang, 982



Yanusa Nugroho

Abu Jenazah Ayah

Abu Jenazah Ayah


Bandara masih remang ketika aku turun dari taksi. Kutarik koper dari tempat duduk belakang. Menurunkannya di lantai dan memanjangkan alat penarik. Aku melangkah ke ruang keberangkatan, mencari loket boarding pass tujuan Surabaya dengan agak payah karena mataku mulai rabun jauh.

Pintu 6,” kata petugas setelah kubayar airport-service. Aku berjalan lambat-lambat karena masih punya waktu dua puluh menit. Bahkan sempat menulis sms: Sepagi ini aku ke Surabaya, untuk melarung abu jenazah ayahku di Kalimas. Kukirim ke tiga nomor teman-temanku: Agni, Banu, dan Hilman. Ada semacam kenikmatan mengirim berita sepele kepada kawan-kawan melalui layar hp. Kita bercakap-cakap dalam bisu.

Benar dugaanku, mereka membalas dengan reaksi yang berbeda. Dan itulah awal dari percakapan yang menjalar ke mana-mana. Sampai saatnya petugas mengumumkan agar calon penumpang naik pesawat. Kumasukkan kopor ke tempat bagasi tanpa perlu berhati-hati karena abu jenazah ayah tersimpan dalam guci alit yang tertutup rapat. Ayah sudah menjadi debu kelabu muda. Sulit membedakan abu yang berasal dari tulang, daging, atau rambut.

“Bukankah ayahmu meninggal dua belas tahun yang lalu?” tanya Banu.

“Benar. Abu jenazahnya tersimpan di kuil paman. Menunggu kami tumbuh dewasa.”

“Waktu ayahmu dikremasi, bagaimana perasaan kamu?” tanya Hilman. Kawanku yang satu ini sangat menyukai peristiwa yang mengandung rasa takut.

“Usiaku sekitar 16 tahun, tidak terlalu menyedihkan. Apalagi tidak hanya ayah yang dibakar. Di krematorium, waktu itu, ada tiga jenazah yang lain.”

“Kamu sebaiknya mampir ke Jembatan Merah, menyantap lontong kupang. Itu makanan inspiratif, lho!” usul Agni.

“Wah, apakah itu di tepi Kalimas?”

Pesawat melayang ke angkasa biru. Tampak silau matahari pagi dari jendela mungil. Awan berserakan seperti tebaran kapas. Aku berdoa, sebelum membaca surat kabar. Di halaman muka, tampak wajah tersenyum seorang perakit bom. Adakah kawannya, atau siapa pun yang memiliki kemampuan merakit bom, berada di pesawat ini? Katakan, ya; apakah ia memiliki nyali untuk mengaktifkan bom di pesawat ini? Katakan, ya; apakah ia akan memulai aksinya dengan berdiri dan mengatakan sesuatu yang menakjubkan? Katakan, ya; apakah ia akan turut bunuh diri?

Kuputar kepala memandang sekitar. Penumpang di sisi jendela, sebagian besar menatap langit yang membentang. Pagi yang cerah membuat bumi tampak kehijauan, dan sisa laut berkelip perak. Pada gang, beberapa orang sedang membaca, lainnya terpejam. Di bagian tengah juga tidak tampak mencurigakan. Rasanya, gagasanku terlampau berlebihan. Aku pun merasa tenteram, menunggu pramugari mengedarkan hidangan.

Tiba di Juanda, aku mengaktifkan kembali telepon genggam. Berturut-turut kuterima sms, termasuk dari adikku yang tidak bisa turut pada “upacara” ini. Satu sms di antaranya dari Ery Panca, sahabat yang akan menjemputku.

Aku tersenyum. Teringat beberapa perjalanan dengan Ery ke Jember, Bromo, dan Banyuwangi. Memotret tempat dan perilaku masyarakat yang unik. Tapi, kedatanganku ke Surabaya kali ini bermaksud melarung abu jenazah ayah di Kalimas.

“Kenapa harus di Kalimas?” tanya Banu.

“Karena ibuku hanyut di sana. Aduh, aku jadi mau nangis.”

“Bagaimana perasaanmu ketika ibumu hanyut di Kalimas?” tanya Hilman.

Air mataku benar-benar merebak. Kutarik koper seperti Panji Tengkorak menyeret peti berisi jenazah kekasihnya. Dalam kopor itu ada sebuah guci putih bergambar bunga ungu. Di dalamnya bersemayam jutaan butir debu hasil kremasi jenazah ayah. Pada molekul yang melekat, terdapat doa kami yang mencintainya.

“Aku sangat kehilangan. Untuk ziarah pun sulit. Kami tidak menemukan jenazahnya.”

“Aku turut berduka. Kenapa baru cerita?” tanya Agni.

“Karena tak ingin mengingatnya. Tapi, sekarang aku mendapat amanat. Aku tak bisa menghindar dari ingatan itu.”

“Mana lebih dulu wafat? Ayah atau ibumu?” tanya Banu.

“Ketika ibu hanyut dan tak tertolong, aku masih SD, kelas enam.”

“Jam berapa kamu akan melarung abu kremasi itu?” tanya Hilman.

Adakah aku dipesan waktunya? Kemarin, pamanku tidak memberi petunjuk khusus. Ia hanya mengatakan agar kutabur abu itu dari atas jembatan, dan memperhatikan arah angin. Jangan sampai tersebar di luar sungai.

“Biarkan air yang mengalir melahap serbuk jasad ayahmu. Di dalam tubuh sungai itu terentang kedua tangan ibumu yang akan memeluk larut tubuh ayahmu. Biarkan mereka kembali bersatu dalam arus yang abadi. Mempersandingkan mereka di altar dasar sungai, atau hanyut ke arah kerajaan laut.”

“Pamanmu mungkin seorang penyair,” komentar Agni.

“Ia yang menulis sejarah dan kisah-kisah di kuil.”

“Hidupmu, dengan kematian orangtua yang dramatis, juga sebuah kisah,” kata Banu. “Seandainya aku berada bersamamu, ingin kulihat kamu melarung ayahmu.”

Keluar dari ruang kedatangan, disambut udara Surabaya yang hangat. Cuaca cerah membuat perasaan berkabung tidak kentara. Kulihat senyum Ery Panca, yang melambai dengan mata digenangi cahaya kangen. Kami berpelukan.

“Kita makan soto di Ambengan?” Ia menawarkan menu pagi yang merangsang.

“Boleh. Kalau lontong kupang, apakah mudah dijumpai?”

“Tak jauh dari sini.”

Kami naik Karimun, meluncur di tengah lalu lintas Surabaya yang padat merayap. “Apakah setiap hari macet seperti ini?”

“Ini karena kamu datang. Mereka tahu acaramu yang spektakuler.” Ery tertawa.

“Ah, ini hanya peristiwa pribadi. Aku ingin melakukannya diam-diam. Setelah makan, kita mencari posisi paling baik di Kalimas. Jembatan yang tidak terlalu ramai.”

“Sepagi ini?” Ery melihat arloji. “Pukul delapan lewat lima belas.”

Kusisir kembali ingatan terhadap pesan paman. Tidak ada permintaan mengenai waktu. Petunjuk itu lebih bersifat teknis. “Jangan langsung menjungkirkan guci, nanti tumpah ke mana-mana. Coba rasakan abu itu di ujung jari dan telapak tanganmu. Biarkan ia lekat sejenak pada pori-pori sebelum turun ke sungai. Biarkan melewati setiap rajah di tapak tanganmu, menilik nasib anaknya, sebelum terjun menemui ibumu.”

“Mungkin pamanmu seorang seniman. Apakah waktu mengucapkan pesan itu sambil memejamkan mata?” tanya Ery.

Aku tak ingat persis. Tapi, ia seorang yang setia kepada kelenteng. Tiap Jumat malam bermeditasi, dan menerima pasien untuk konsultasi. Ia menyembuhkan dengan sentuhan tangan. Kadang-kadang dengan air putih. Atau semburan asap hio.

“Ia pemuja Dewi Kwan Im?” tanya Hilman.

“Mungkin. Matanya begitu teduh. Ia sangat sabar.”

O, jadi ini yang disebut lontong kupang? Aku memandang ribuan binatang kecil seperti larva, tergenang dalam kuah, bersama potongan lontong. Ery menyeruput, dan puluhan kerang serupa anak ulat itu masuk ke mulutnya. Terisap dan menyerbu ususnya. Aku pun meniru. Bagaimanapun ini usul Agni, yang tak ingin kuulang.

“Habis ini kita jalan-jalan dulu. Menjelang senja kita ke Museum Kapal Selam, mencari lokasi Kalimas yang strategis,” usul Ery.

Aku hanya mengangguk, sambil mencecap sesuatu di lidah. Segera saja kugiring kupang-kupang renik itu ke tenggorokan. Kudorong dengan air kelapa muda. Biarlah mereka berenang-renang di dalam lambung.

“Jangan lupa beri kabar aku saat kamu mulai menabur,” Banu mengingatkan.

“Kukira sore nanti. Ketika matahari mulai surup.”

Boleh jadi, pesan paman seperti itu. “Biarkan matahari sampai teduh. Tunggu sampai angin agak reda. Pandang jatuhnya debu-debu itu, ucapkan doa.”

Setiap kali mataku terasa panas. Tapi, aku tak mau Ery tahu, alangkah cengengnya aku. Kami meluncur ke tengah Kota Surabaya. Dan seperti biasa, Ery membawaku ke tempat favorit. Pusat perdagangan VCD di wilayah Tunjungan. Di sana, kadang-kadang kudapatkan film-film klasik, seperti Last Tango in Paris dan The Guns of Navarone. Kali ini kudapatkan About Last Night, film Demi Moore yang bebas gunting sensor.

“Apakah kawanmu akan memotret saat kautabur abu keramat itu?” tanya Agni.

Gagasan itu bagus juga. Kutanyakan kepada Ery Panca. Rupanya dia bahkan menyiapkan handycam. “Ini sudah lama kurencanakan,” ujarnya serius.

“Apakah kamu menghitung jumlah debu dalam guci itu?” tanya Hilman. Aku terperanjat. Mungkin kawanku, pencinta rasa takut itu, tertawa dengan pertanyaannya sendiri. Paling bijak adalah menjawab sekenanya.

“Dua juta delapan ratus enam puluh empat butir.”

“Apakah roh ibumu sanggup meraup abu sejumlah itu?” tanya Banu.

Aku mencoba mengingat raut muka ibu. Kukira secantik Camelia Malik. Waktu itu, sepulang sekolah, aku masih suka dipeluknya. Meskipun jika aku bertengkar dengan adikku, tak pernah dibela. “Kamu lebih besar, harus mengalah!”

Hardikan ibu betul-betul kurindukan. Karena di dalamnya tersirat perasaan kasih. Aku sempat membisu berpuluh hari sejak ibu hanyut di Kalimas. Ayah mencoba menghibur. Ketika aku berumur enam belas, ayah sekarat oleh paru-paru basah dan wafat. Lantas dikremasi, abu jenazahnya disimpan paman di kuilnya. Menurut paman, ayah ingin dipertemukan dengan ibu kembali. Setelah kedua anaknya tumbuh dewasa.

Aku terkenang sebuah film Meryl Streep, The Bridges of Madison County. Dalam surat wasiat, ia minta abu jenazahnya ditabur di atas sungai, yang pernah mempertautkan hatinya dengan seorang fotografer majalah National Geography. Aku juga seorang anak yang harus menjalankan wasiat.

“Kukira sekaranglah waktunya,” aku mengingatkan Ery.

“Baiklah, kita menuju ke jembatan di Jalan Pemuda.”

Hari mulai redup ketika kami tiba di tempat yang diharapkan. Angin tak terlampau keras. Tetapi, lalu lintas di atas jembatan tidak selengang yang kuduga. Kuambil guci dengan tangan gemetar. Seperti hendak kunikahkan kembali kedua orangtuaku, dengan latar sebuah senja. Ery membidikkan handycam dan mengambil posisi di teras museum. Seperti hendak direkamnya peristiwa paling bersejarah.

Aku berdoa. Lantas kubuka perlahan tutup guci dengan beberapa putaran. Aku mencium wangi tubuh ayahku. Aku tersenyum kepada Ery yang menatapku. Sungguh tak pernah kubayangkan bahwa tatapan Ery berikutnya mengisyaratkan sesuatu yang mencemaskan. Aku sama sekali tak pernah berpikir ke arah itu.

Karena yang kuingat adalah pesan paman: “Jangan menjungkirkan guci. Taburlah abu jenazah ayahmu melalui remasan tanganmu. Tempat itu merupakan pertemuan keluarga bahagia. Ayah dan ibumu. Mungkin juga kamu….”

Suara derit rem mobil disusul dengan benturan keras antarlogam, melintas ke telingaku. Juga jerit panik Ery. Tangannya bagai mengusirku. Persis ketika genggaman tangan kananku terbuka, dan abu tubuh ayahku menebar melayang ke sungai, ada kesiur angin keras. Mobil sedan yang melaju kencang dari arah Gubeng, seperti dikendalikan seorang pemabuk. Meluncur miring ke arah pagar jembatan. Melaju ke tubuhku!

Ah, aku lupa mengirim sms kepada Agni dan Banu bahwa sekaranglah saatnya!

Jakarta, 9 Februari 2003



Kurnia Effendi

Kabar dari Bambang

Kabar dari Bambang



Dini (wartawati di kota ini) masuk ke sembarang tempat praktik dokter (sudah hampir jam sepuluh malam). Dini tidak bisa menanahan gatal, yang sudah menjadi bengkak di seluruh tubuhnya (dokter itu sebetulnya sudah menutup pintu ruang praktiknya).

“Tadi makan udang? Di pernikahan sahabat Anda, berarti alergi udang hindari makan itu, ini resepnya.”

“Saya tidak pernah alergi apa pun termasuk udang. O ya, saya harus mengejar deadline, dokter apa bisa hilang dalam berapa jam lagi?”

“Proses obat biasanya bekerja enam jam setelah diminum, sebaiknya Anda tidur dulu, besok saja mengetiknya.”

“Dokter, sebaiknya Anda memberi saya obat yang mahal, bukan generik, agar cepat sembuh! Saya mengejar deadline untuk berita besok!”

Dokter Bambang tersenyum.

Peristiwa ini diingat Dini pada saat ini, karena pada waktu itulah, dia pertama kali bertemu dengan Bambang (dia sudah menganggap lelaki yang lembut ini cocok menjadi jodohnya). Pertemuan berikutnya, begitu dicari-cari olehnya (waktu itu umurnya sudah 28 tahun). Mama mendesaknya berulang kali, agar secepatnya menikah! Hal itu, akhir-akhir ini memang sering dibicarakan, bukan saja oleh mama, juga oleh papanya yang bisanya tidak pernah membicarakan, “Saya kira ada banyak lelaki yang cukup akrab denganmu, mengapa tidak kamu pilih salah satu dari mereka?”

“Mengapa Papa serius, apakah Mama yang menyuruh Papa berkata begitu?”

“Tidak, saya kira sudah waktunya kamu memilih jodohmu. Kami suka sekali kepada Kemal, apakah tidak ingin serius dengannya?”

Dini membelalakkan mata, “Bagaimana mungkin, masih ada cerita Siti Nurbaya.”

Mama dari tadi diam, menyela pembicaraan mereka, “Kau tahu, adikmu Adit, sudah lama pacaran dan tadi orangtua pacarnya menelepon kami, menanyakan keseriusan adikmu. Kami tidak suka kamu didahului oleh adikmu. Sekarang pilih untuk dirimu sendiri atau kami yang memilihkan. Kau tahu, kami menyukai Kemal! Kami percaya di antara sekian teman laki-lakimu, dia bakal menjadi suami yang baik untukmu. Karena kau begitu keras kepala, sedang Kemal kelihatan bisa sabar kepadamu.”

Dini tercengang dan papanya bicara dari ujung meja sana, “Ini masalah pelik bagi kami. Hal itu tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Buat kami perempuan pada usia 28 tahun, belum menikah dan masih meniti karier bukan masalah. Tapi, ketika adik laki-lakimu akan menikah persoalannya tidak jadi sesederhana itu. Ini memang problem sosial. Kami tidak rela jika orang melihatmu dengan mata penuh kasihan, karena adik laki-lakimu menikah lebih dahulu.”

“Kalau adik mau menikah lebih dahulu, itu bukan masalah bagiku,” kata Dini hampir berteriak.

Mama memeluknya dan malam itu papa, mama, Dini berjalan ke sembaramg arah sampai larut malam!

Waktu itu, kenapa dia memilih Bambang. Dia tahu Bambang tidak memiliki teman dekat dan lelaki itu kelihatannya begitu lembut sekali meskipun kelewat sensitive (Dini tidak akan pernah suka lelaki yang dominan terhadap perempuan mana pun).

Setelah tiga bulan berteman dan jalan bersama, mereka menikah. Lantas, semuanya berjalan baik-baik saja. Mereka baru saja memiliki seorang bayi perempuan, yang matanya sebagus bapaknya.

MEREKA sudah menikah tiga tahun yang kadang-kadang mengherankan Dini, dia sering melihat suaminya sendirian di teras. Dini tidak pernah tahu apa yang membuat suaminya gelisah. Pernah ditanyakannya hal itu, tapi Bambang bilang dia cuma kepingin sendiri sesaat. Dini menghormati privasi suaminya, sepaham dengan pendapat mamanya bahwa suami-istri, masih butuh ruang pribadi yang tidak bisa dimasuki oleh pasangannya masing-masing.

Mereka masih suka ngobrol dengan topik yang melompat-lompat, tetapi tetap dengan interes yang sama. Bambang seorang pembaca koran yang sangat teliti pada bahasa, di sisi lain sebagai wartawati, Dini bisa keliru menuliskan atau mengeksplorasi sebuah bahasa dalam wacana.

Yang lainnya, seminggu dua kali Bambang memang praktik di luar kota, jaraknya 80 km dari kotanya. Bambang selalu bilang, “Bukankah kita bertemu pertama kali di kota itu dan rasanya, aku punya ikatan emosional dengan pasienku.”

Buat Dini itu bukan masalah, Bambang juga tidak pernah melarangnya bekerja, tugasnya sebagai wartawati juga sering berada di luar kota.

Hari ini, dia merasa ingin berbuat sesuatu untuk Bambang (hal yang tidak pernah dilakukan sejak mereka menikah). Dia ingin menata koper kecil, yang selalu dibawa Bambang untuk praktik di luar kota.

Dini merasa bermimpi yang sangat buruk! Dia menemukan di sela-sela jas-lab: baju perempuan berikut alat-alat make up. Seharusnya pada waktu itu, dia mengamuk. Namun, yang dilakukan Dini ingin menyelidiki dulu sebelum memutuskan perceraiannya dengan Bambang. Yang pasti, Bambang sudah berselingkuh dengan perempuan lain! Dia ingin tahu semodel apa perempuan yang bisa merebut hati Bambang (Dini merasa ada ledakan di hatinya). Dia akan bersaing dengan saingannya!

Setelah Bambang menutup praktiknya. Dini mengikuti mobil Bambang yang kini di parkir di sebuh kafe (pasti perempuan laknat itu sudah berada di sana). Apakah, Dini sedang bermimpi? Yang memakai baju perempuan dan wig itu adalah suaminya yang dengan kemayunya, tertawa bahagia bersama beberapa teman se-gengnya!

Dia tidak tahu bagaimana caranya, bisa pulang ke rumah. Cuma keasingan yang menyerbu dirinya dan matanya basah sendiri. Kalau saingannya perempuan, dia sudah menyusun strategi untuk mengalahkan saingannya. Jika, perempuan itu lebih cantik dari dirinya, dia akan mencari potensi yang ada dalam dirinya, dia tahu Bambang melihat kecerdasan adalah bagian yang indah dalam dirinya. Namun, saingannya bukan perempuan! Masalahnya lebih dahsyat dari itu. Bisa jadi, Bambang seorang biseks yang mencintai laki-laki lain. Bambang menangkap kesedihan itu dan berkata pelan, “Apakah, saya sudah menyakiti kamu? Saya tidak pernah ingin menyakiti istriku.”

Semalaman, Dini menangis tanpa bisa menjawab omongan Bambang. Tapi, apakah ini naluri kewartawanan? Dini mengikuti lagi Bambang keluar kota dan berharap itu cuma mimpi! Sebab yang terjadi, dengan bahagia Bambang duduk di pojok kafe memakai baju perempuannya, dia kelihatan begitu cantik! Lebih dari itu, di matanya yang indah terlihat binar-binar kebahagiaan.

Dini merasa limbung, dia ingin menampar Bambang dan memakinya habis-habisan. Dini kepingin segera bercerai. Tapi, ketika pulang ke rumahnya bayangan Bambang yang begitu bahagia tersebar di mana-mana dan tiba-tiba, dia ingat sebuah buku yang sering dianjurkan Bambang untuk membacanya, “Alangkah sulitnya kalau terjebak di tubuh laki-laki, sedang kita adalah perempuan.”

Dini mencoba untuk menghilangkan perasaan jijiknya kepada Bambang. Sebetulnya selama ini, sepanjang pernikahannya dengan Bambang, dia merasa punya sahabat dan seperti layaknya setiap persahabatan, jauh dari pamrih. Selama ini, dia menafsirkan hubungan mereka berdua sebagai simbol dari sebuah keluarga bahagia! Nyatanya ada sesuatu yang begitu salah dan dahsyat di balik itu. Kemarahan semakin tebal setiap hari sehingga sulit baginya untuk berbicara kepada siapa pun, juga pada mamanya (Padahal, dia selalu menceritakan tentang apa pun pada mamanya, juga keanehan-keanehan Bambang). Bodohnya, mereka tidak menganalisa lebih jauh kelakuan Bambang, padahal masalah ini tidak sesederhana itu.

Beberapa minggu berjalan dengan begitu meyedihkan. Dini merasa Bambang tidak bisa lagi jujur lagi! Sekalipun berulang-ulang Bambang berkata, “Saya juga bertemu dengan banyak manusia dan pengetahuan itu membuatku tahu kalau kau sekarang tidak bahagia.”

“Aku selalu ingat waktu pertama kali ketemu kau di ruang praktikku, aku merasa seperti ketemu adik perempuanku yang keras kepala, sensitive dan begitu cantik. Aku segera menyukai kamu.”

“Sebagai adik perempuanmu?”

Bambang menganggukkan kepalanya.

Dini merasa tertekan dan sulit bernapas, dia menampar Bambang berulang-ulang, “Kamu penipu kalau aku tahu kau seorang…, saya tidak pernah mau menikah dengan kau, ini sungguh menjijikkan dan Adnan sebagai pengacara yang akan mengurus perceraianku denganmu.”

Bambang menggelengkan kepalanya, “Aku tidak bermaksud menipumu. Aku sebetulnya kepingin menjadi perempuan seperti kau, tapi keluargaku begitu mencintaimu! Berharap aku segera menikahimu sebagai laki-laki. Aku memang tidak pernah berani mengatakan siapa sebenarnya diriku sejak akte kelahiran, KTP, dan STTB bahkan namaku adalah laki-laki.”

Bambang menangis.

Lama mereka terdiam dan malam itu mereka memutuskan bercerai dengan baik-baik. Sebelum Bambang keluar dari kamar ini, dia berkata pelan, “Kau tahu temanmu yang suka mengantarmu kesini, menyukaimu! Aku selalu takut jika kau akan mendapat suami yang suka kasar kepadamu.”

Dini melihat, “Saya ingin tetap kau menjadi kakakku bukan saja demi anak kita tapi juga demi aku, kau tahu aku tidak pernah bisa care pada orang lain.”

Bambang tersenyum dan menciumnya sekilas.

Beberapa hari kemudian, dia mendapat surat dari Bambang.

Dini, yang saya sayangi,

Saya memutuskan untuk pindah Negara dan saya sangat bahagia sekali karena kau bisa menerima aku seutuhnya dan kau berjanji untuk tidak menceritakan hal ini pada anak kita sampai dia dewasa. O ya, pada sahabatku dokter Kemal (aku tahu dia menyukaimu) aku perlu menceritakan semua tentang kita….

Dini yang baik,

Maaf, aku sudah mengatakan pada Kemal, aku akan merasa bahagia jika dia mau menikahi kau. Mudah-mudahan sebagai kakakmu keinginan ini wajar dan didengar oleh Tuhan. Beberapa tahun yang lampau, bukankah kau dijodohkan dengan Kemal, tapi kau merasa harga dirimu terbanting dan kau juga merasa dirimu Siti Nurbaya yang harus kawin paksa.

My dearest, Dini.

Aku sendiri akan pergi dari satu negeri ke negeri yang lain dan mencoba mengerti tentang diriku sendiri. Berharap di tempat lain akan kutemukan sebuah tempat dimana aku bisa diterima seutuh-utuhnya. Aku selalu ingat kau sebagai perempuan yang aku sayangi dan tentu saja aku akan tetap menyayangi anak perempuanku.

Salamku.

Kadang-kadang Bambang masih mengirim e-mail kepadanya dan setiap menerima surat Bambang dia merasa seperti menerima surat dari orang yang menyayanginya. Dia bayangkan Bambang (yang disayanginya) mengembara dari negeri satu ke negeri yang lain mencari jati dirinya. Dan mencari tempat yang lebih baik, bukan saja bagi dirinya, bisa jadi juga untuk Dini dan anaknya (Dini selalu sedih membaca e-mail-nya).

Akhirnya, Dini menelepon Kemal dan semuanya seperti sudah direncanakan, Dini menikah dengan Kemal!

Sore itu, anak kedua dari hasil pernikahannya dengan dokter Kemal, lahir!

Dini ingin sekali Bambang tahu hal ini!

Malang, Januari-Mei 2003



Ratna Indraswari Ibrahim

3033

3033



(Penjudi Togel dan Warisannya)

Kata-kata tak berdaya untuk melukiskan betapa buruknya nasib penjudi togel yang satu ini. Dan siapakah yang bisa menuturkan dengan saksama perasaan petaruh yang selalu menelengkan kupiahnya ini, yang selama lebih empat puluh tahun terus-menerus menggantungkan sebagian dari nasibnya pada keberuntungan yang dijanjikan oleh angka-angka liar. Dan siapa yang bisa bertahan terhadap kekecewaan seteguh Huripto, yang selama hidupnya mengotak-atik angka, tapi tak sekali pun tebakannya yang mengena.

Dia mulai berangan- angan jadi kaya dengan menebak toto sepak bola awal 1960-an. Ketika padang rumput di bagian barat Stasiun Gambir masih jadi lapangan sepak bola, karena imajinasi yang melambung belum menggoda Presiden Soekarno untuk membangun monumen di situ. Sehingga hampir saban hari di lapangan itu ada pertandingan bola, yang dijadikan penduduk kota sebagai ajang mengadu nasib di meja toto. Sejak zaman itu judi benar-benar menggoda hidup Huripto.

Kata-kata tak kuasa melukiskan kegigihan penjudi kita ini. Dia tak pernah menyesal bahwa sebagian dari keuntungan yang dia petik dari gerobak rokoknya telah terbang ke kantong bandar judi. Huripto selalu berpandangan positif. Dia beranggapan uangnya yang lenyap ditarik bandar merupakan sumbangan yang akan memperbesar kebahagiaan teman-temannya yang beruntung.

Jalan pikiran dan ketulusan hati seperti itu terutama muncul ketika saban minggu dia membeli lembar-lembar Undian Harapan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial. Dia bukannya tak tahu, sebagaimana yang dikatakan berbagai laporan koran, bahwa uang undian itu bukannya mengalir untuk membantu penduduk miskin, tapi ditilap oleh para pejabat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaan. Sekalipun dia seorang penjudi berat, hatinya tetaplah muak mengingat tingkah laku pejabat yang korup. Hanya saja dengan gampang dia bisa berdamai dengan kekesalannya. Yang penting buatnya kesempatan bertaruh selalu terbuka. Menang atau kalah soal belakangan. Dan yang paling utama adalah bahwa dengan secarik kertas taruhan, dia bisa berangan-angan. Dia punya kredo sendiri: Alangkah suntuknya dunia ini kalau berangan-angan saja orang tak bisa.

Angan-angan membuat hatinya sejuk tenteram. Dia merasa regangan sarafnya menjadi kendur. Teman-teman sebayanya sudah banyak yang meninggal disambar stroke, kena serangan jantung, gula, atau pneumonia. Dan dia yakin ketenteraman yang ditawarkan oleh angan-angan yang dipersembahkan kertas judilah yang membuat pembuluh darah jantungnya tetap lentur walaupun tubuhnya gemuk gempal. Sementara gula darahnya, sekalipun lebih tinggi dari ambang batas normal, jadi terkendali. Berkat apalagi kalau bukan angan-angan yang membuai.

Keluhuran hatinya tiada terkira terhadap teman-temannya. Dia berpantang berjudi dengan teman sendiri. Lawan-lawannya dalam perjudian haruslah pihak yang tidak dia kenal, mereka yang ingin membangun kekuasaan dengan uang. Baginya tak ada lagi pekerjaan yang lebih hina daripada hidup di atas nasib buruk handai tolannya sendiri.

Di tepi jalan, sepelemparan batu dari jalan tol yang melayang di atas gerobak rokoknya, Huripto kelihatan mengipas-ngipas wajahnya dengan karton bekas pembungkus rokok, menyedot kreteknya dalam-dalam, dan meningkahi kepulan asapnya dengan seruputan kopi yang sudah dingin. Ada ketegangan yang membawa nikmat yang sedang menguasai perasaannya. Nyata sekali terlihat dari kakinya yang terus dia goyang-goyangkan. Sebentar-sebentar dia menghela napas.

Beberapa saat kemudian, dia menghentikan kibasan karton di tangannya itu. Menatap tajam coretan-coretan angka yang dia buat di situ beberapa jam yang lalu. Seluruh permukaan karton itu berjejalan dengan angka tiga. Tiga! Dalam jumlah yang jauh lebih kecil, berpendar angka nol. Karton itu seperti menampilkan satu sketsa yang acak-acakan, yang melukiskan sekawanan besar burung terbang menutup langit, dengan balon-balon awan tercecer di sana-sini.

Dia menyedot kreteknya lagi. Mengencangkan letak kupiahnya supaya tegak lurus, bukan miring sebagaimana biasanya orang yang kalah berjudi. Pengecer rokok merangkap penjudi yang tekun itu lantas bangkit dan meninggalkan gerobaknya menuju ke gang yang terbentang di belakang. Sesiang seperti itu, tentu belum ada yang berkerumun mengisi togel. Kedatangan Huripto menjadi penglaris bagi agen togel yang menyempil, berkedok pedagang minuman, di perut gang itu.

Huripto mematikan rokoknya, menginjaknya kuat-kuat sampai lumat. Dia ambil bolpen dan dengan mantap dia memasang 3033. Seluruh kekayaan dalam bentuk uang tunai yang dimiliki penjudi bujangan yang sudah bangkotan itu, dia tumpahkan untuk nomor itu. Dia tidak khawatir kalau akan kalah lagi karena stok rokok dan barang dagangan yang lain masih cukup. Dia juga menutup taisen maupun kemungkinan keluarnya “angka setan” dari nomor itu. Dan dia kepung angka itu dengan memasang semua kemungkinan yang bisa muncul dari angka yang dia simpulkan dari tanda-tanda alam yang dia baca tadi pagi. Selepas subuh, entah datang dari mana, seekor angsa tiba-tiba menjadi pengunjung pertama di gerobak rokoknya. Dan yang muncul sebagai pembeli paling awal adalah tiga anak kecil yang baru dididik orangtua mereka untuk berbelanja senilai Rp 3.000. Sementara di jalan tol yang membentang di atas, tiga truk yang bertabrakan tadi malam masih belum juga disingkirkan. Dia ingat betul, menurut primbon hwa-hwe, angka 3, yang bersimbol angsa, juga berarti kematian, kekosongan. Maka tafsir perjudian menasihatinya untuk jangan mengabaikan 0.

Biasanya dia luangkan waktu barang sebentar untuk memperbincangkan angka-angka taruhan dengan penjual kertas togel atau para petaruh yang lain. Tetapi, hari ini mulutnya tersumbat. Dia langsung meninggalkan meja togel dan kembali ke gerobaknya. Agen togel terperangah. Tak pernah dia melihat orang memasang sebesar taruhan Huripto yang menjadi penglarisnya siang itu. Dia mengikuti pelanggan yang selalu bernasib buruk itu dengan mata setengah melotot sampai lenyap di ujung gang.

Bertambah tinggi matahari, bagai semut, satu demi satu para penjudi muncul dan berkerumun di meja togel yang terletak di gang sempit itu. Semua melirik, menatap, memelototi, menafsir rupa-rupa kode yang terhampar di meja.

Penjual togel berupaya membuka pembicaraan dengan menyampaikan keheranannya bagaimana Huripto telah memasang taruhan yang begitu besar. Sejak meja togel dia gelar di situ, tak pernah ada orang yang bertaruh sebanyak itu. Tetapi, cerita pemancing percakapan itu tak bersambut. Huripto sama dengan nasib yang apes. Menjadi pemasok rezeki bandar nomor satu. Seumur hidup tebakannya ngawur. Begitu mereka tahu Huripto memasang 3033, maka tak seorang pun yang mau meletakkan taruhan pada 3, dalam variasi angka yang bagaimanapun.

Menjelang pengumuman nomor sore hari, Huripto menunggu pembeli sambil rebah-rebahan mendengarkan radio dua band. Dia tak perlu datang ke agen hanya untuk mengetahui nomor yang keluar. Cukup menyetel stasiun radio tertentu. Sebagai seorang penjudi yang tekun, maka jarum penunjuk pemancar radionya tak pernah bergeser dari stasiun radio itu. Angan-angannya melayang ke Brebes, ke kampung halamannya. Lebaran tahun kemarin dia tidak mudik. Panen bawang berhasil, tapi harganya anjlok habis-habisan, sampai-sampai para petani membuang hasil panen ke jalan raya untuk menunjukkan rasa kesal terhadap pemerintah yang tidak punya perhatian terhadap petani. Tahun ini dia sudah mantap akan menjenguk kampung halamannya. Sekadar mengenang masa kecil karena seluruh sanak famili dalam garis keturunannya sudah tiada.

Melawan gerah, dia kibas-kibaskan karton bekas pembungkus rokok yang penuh coretan angka. Begitulah selalu. Angin buatannya sendiri itu meninabobokan matanya hingga terpejam. Dia tak pernah menyetel jam weker untuk membangunkannya beberapa menit menjelang pengumuman togel. Saking sudah terbiasanya, bawah sadarnyalah yang akan menyentakkan matanya, persis beberapa menit sebelum semua pecandu togel bagai lebah berkerubung memasang kuping menyimak radio.

Renowo, agen togel di gang sempit itu, mendadak melompat keluar dari ruang depan rumahnya. Dibantingkannya tinjunya ke daun meja yang bertabur kode. Cepat seperti tupai, dia meloncat ke jalan.

“Tiga-nol-tiga-tiga! Tiga-kosong-tiga-tiga…! Jebol dia! Bandar jebooool…. Pakde Ripto menjebol bandar. Jeboool! Jeboool…!” dia melompat-lompat seperti bocah sambil berteriak-teriak di jalan sempit itu dan berlari-lari kecil menuju ke mulut gang di mana gerobak Huripto bertengger. Orang-orang yang bertempat tinggal di kiri-kanan gang pada menjulurkan kepala dari jendela dan pintu rumah, ingin melihat apa yang terjadi dengan agen togel itu.

“Selamat Pakde. Edan tenan (Sungguh gila).”

Renowo menyodorkan kepalanya lewat pintu gerobak. “Jebol, Pak. Panjenengan luar biasa!” katanya lagi, girang bukan main. Di dalam gerobak, kepala Huripto tetap bersender ke dinding. Kupiahnya terjungkal ke depan, menutupi jidatnya. Ada sesuatu, seperti ujung pojok kertas menyembul dari bawah kupiah itu. Sudut mulutnya tampak menahan cairan yang mau muncrat. Perlahan, radio yang terletak dekat ketiaknya terus memainkan lagu-lagu dangdut. Kakinya lurus melonjor.

Perasaan suka cita agen togel yang kesurupan itu jadi tertahan ketika dia sadar bahwa orang yang dia sapa, yang mestinya gembira bukan main karena telah memenangi taruhan dalam jumlah yang belum pernah dia dengar, cuma tergolek kaku.

“Pak…, Pak Ripto…,” dia memegangi kaki tukang rokok itu. Yang diajak bicara cuma diam. Dia raba dan goyang-goyangkan betisnya. Huripto tak menyahut. Dia tetap menyenderkan kepala ke dinding.

“Pak…,” seru Renowo pelan, putus asa. Rona wajahnya dengan cepat berubah menjadi pucat. Lekas dia menarik anggota tubuhnya dari gerobak rokok itu. Lantas dia berlari seraya menjerit-jerit. “Ampun Gusti…. Pak Ripto mati! Bandar jebol. Tapi, Pak Ripto mati. Ooooi…, dengarlah! Bandar curang. Karena jebol, mereka mengirim dedemit untuk membunuh Pak Ripto,” dia berlari-lari dari ujung-ke-ujung gang itu. Mengumandangkan kabar gembira dan kemalangan dalam sekali tarikan napas.

Seorang demi seorang, berdua-dua, atau bertiga-tiga manusia tumpah ke jalan kecil itu, dipikat gerobak rokok yang menunggu di ujung gang. Ketua rukun tetangga di lingkungan daerah padat itu menjorokkan kepalanya ke dalam gerobak. Meraba nadi di kaki Huripto. Tak ada detak. Dia maju lebih menjorok ke dalam. Menempelkan ujung jarinya ke leher penjudi yang membikin gempar itu. Pembuluh darah itu juga diam. Dia menyingkapkan baju dari tubuh tukang rokok yang diam tak bergerak itu. Melekatkan kupingnya beberapa saat ke dada warganya yang tergeletak layu itu. Ah, jantung Huripto sudah berhenti.

“Inna lillaaah…,” orang itu berbisik. Dia memungut kupiah Huripto, meletakkan kertas taruhan di dalamnya, dan memberikannya kepada Renowo.

“Apakah dia tahu nomor yang dia pasang mengena?”

“Saya yakin. Ya…, ya, dia tahu dia menang. Pak RT lihat sendiri tadi kertas nomornya terletak di ubun-ubunnya, di dalam kupiahnya. Biasanya kertas togel dia selipkan di lipatan kupiah,” kata Renowo.

“Syukurlah. Saya kira dia tak tahan menerima kemenangan ini. Jantungnya, gulanya….”

Ketua rukun tetangga memutuskan untuk mengeluarkan jasad Huripto dari gerobak rokok merangkap rumah huniannya itu. Renowo dengan senang hati menyediakan rumahnya sebagai rumah duka. Segala perangkat togel dengan cepat disingkirkan dan sekat di dalam rumahnya dijebol untuk memberikan ruang kepada Huripto dan para pelayat. Jasad penjudi yang gigih itu diletakkan dengan terhormat di tengah ruang dan ditutupi dengan selendang batik, sebelum disembahyangkan.

“Renowo,” sapa ketua rukun tetangga di tengah-tengah mereka yang datang duduk mengerubung. “Bersediakah kamu menguruskan uang almarhum?”

Agen togel itu kelihatan agak gentar. Dia tak pernah melihat uang sebanyak yang “dijebol” Huripto. Mendengarnya saja belum.

“Saya siap. Tetapi, harus dibantu teman-teman. Uangnya terlalu banyak. Takut. Zaman sekarang…,” jawabnya.

“Tak masalah, banyak yang mau menolong. Saya juga bersedia. Tetapi, soalnya mau diapakan uang sebanyak itu?” Ke arah pelayat yang duduk berkerumun, dia berujar, “Apakah ada di antara saudara-saudara yang pernah mendengar Huripto berpetuah, bercita-cita, bernazar, berkeinginan, atau pernah mengatakan, ’Saya akan begini… begitu’ atau semacamnya, apabila dia meninggal?”

Lama tak terdengar suara. Kemudian, seorang berkata agak ragu-ragu, “Kepada saya Pak Huripto pernah bilang kalau dia punya uang banyak dia ingin sumbangkan untuk pembangunan masjid di jalan menuju Brebes. Soalnya, Pak Ripto tidak sudi orang-orang jadi peminta-minta kepada para penumpang bus, truk, atau yang lain, apalagi dengan cara mempersempit jalan di pantai utara Jawa itu. Jalan sudah diperlebar kok malah dipersempit lagi atas nama masjid.”

“Ingat. Uang hasil togel memang tak masalah kalau disalurkan untuk memperlancar lalu lintas. Cuma, apakah uang judi boleh disumbangkan untuk masjid?! Saya hanya ingin mengingatkan, bukan apa- apa,” kata seorang yang dikenal sebagai pedagang keliling pakaian jadi.

Renowo memberanikan diri berbicara dan katanya, “Yang penjudi kan orangnya, bukan uangnya. Apa salahnya uang?”

Tak ada tanggapan. Ketua rukun tetangga yang memimpin pertemuan juga tak bersuara.

Sementara itu, angka togel Huripto dan jumlah uang yang dimenangkannya secepat listrik tersebar sampai ke pojok-pojok kota yang jauh. Sudah tentu banyak yang berangan-angan ketiban nasib serupa dia. Tetapi, banyak pula yang mau memanfaatkan keberuntungan tukang rokok itu sebagai jalan mudah untuk memperoleh uang.

Seorang berbaju hijau agak luntur, setelah mengucapkan salam, langsung masuk ke gelanggang, menempel bahu ketua rukun tetangga. Orang itu membisikkan sesuatu ke kuping pemimpin pertemuan. Ketua rukun tetangga kelihatan mesem dibuat-buat. Ada yang tak rela dia lakukan, tapi harus dia perbuat. Dia merogoh kantong, menempelkan tangannya kepada orang yang baru masuk itu. Orang itu mengucapkan salam, lantas melengos pergi.

“Apakah dia pernah bercita-cita, misalnya, mau berangkat ke Mekkah, atau apa?” pemimpin pertemuan melanjutkan.

Hadirin saling memandang.

“Mana mungkin uang judi dibuat naik haji. Saya ngerti, cita-cita Pakde Huripto naik haji, kalau memang itu niatnya, bisa kesampaian dengan diganti oleh teman-teman dekatnya. Tapi, bagaimana, ini uang hasil judi…,” dari pojok seseorang mengutarakan pikiran.

“Saya pernah dengar dia ingin berbuat baik dengan membiayai mereka yang sudah jadi janda menunaikan ibadah haji,” cetus suara dari dekat pintu.

“Yang berkaitan dengan haji tak bisa kita putuskan. Apakah ada yang pernah mendengar cita-cita, keinginan, atawa kehendak Huripto yang lain?”

“Dia sayang pada anak-anak. Semua kita mengetahui itu. Anak kecil saya sering dia persenin permen, anak-anak remaja dia belikan bola. Dia juga suka memberikan uang jajan kepada anak-anak yang dia sayangi. Jadi, saya kira uangnya itu sebagian bisa disumbangkan untuk sekolah, untuk anak-anak.”

“Baik, usul ini saya catat. Akan saya bawa ke kelurahan.”

Tiba-tiba terdengar beberapa orang mengucapkan salam di bendul pintu. Mereka datang bertiga, mengenakan baju loreng-loreng. Langsung duduk dan merangsek mendekati ketua rukun tetangga. Sama seperti tamu terdahulu, juru bicara geng berbaju loreng ini juga membisikkan kata-kata yang kelihatannya diterima dengan sangat menjijikkan oleh ketua rukun tetangga. Namun, dia berupaya untuk berpura-pura senyum. Sambil berkusip-kusip dia memindahkan isi genggamannya kepada tamu itu. Seperti kucing yang diusir dengan makanan, tiga sekawan itu lantas pergi, lagi-lagi sambil mengucapkan salam.

Setelah orang berbaju loreng itu, muncul pula kelompok berbaju loreng yang lain dengan warna berbeda. Kemudian muncul pula satu-dua orang berpakaian seragam berwarna khaki. Yang paling tidak mengenakkan kelihatannya adalah ketika beberapa orang yang berbadan tegap, berkaus ketat, yang sebentar-sebentar memegangi sesuatu yang terselip di pinggang mereka, memasuki gelanggang yang sedang berkabung.

Ketua rukun tetangga mulai gerah dengan tamu-tamu yang sama sekali tidak bisa menghormati Huripto yang diam terbaring di tengah ruang.

Tiba-tiba pemimpin lingkungan itu berdiri. Matanya melirik ke sekeliling.

“Saudara-saudara lihat tadi berapa banyak John Towel yang datang menginterupsi perkabungan ini,” katanya. John Towel adalah julukan bagi mereka yang hidup dengan menguntit, lantas menowel, dan tanpa malu meminta uang kepada orang-orang yang baru menang berjudi. “Saya tahu, Renowo besok bisa mengganti uang yang sudah saya keluarkan. Tapi, kita harus hentikan ini sampai di sini saja. Manusia macam apa mereka itu semua. Orang yang sudah mati masih mau diperas. Saya kira perkabungan langsung saja kita sudahi setelah sembahyang jenazah. Kita tak usah menunggu mobil jenazah yang akan membawa almarhum ke Brebes, ke kampungnya, untuk dimakamkan. Akan tambah banyak lagi pemeras yang mengganggu. Mari kita sewa kendaraan. Kita bawa saja jasad Huripto langsung ke pangkalan mobil jenazah. Dari sana ke Brebes.”

Seperti mau berbicara kepada Huripto yang sudah terbaring diam untuk selama-lamanya, ketua rukun tetangga itu berkata, “Rip, maafkanlah saya, karena telah mengeluarkan kata-kata yang tak senonoh, mengumpat orang-orang yang saya kira memang pantas dicerca. Orang-orang itu tak pernah tahu berapa lama kau menunggu sampai nasib sebaik hari ini datang kepadamu. Mereka membuat kami tergesa-gesa, kelimpungan dalam mengenang menghormatimu. Maafkan.”

Di jalan raya yang membentang di pantai utara Jawa, mobil jenazah yang membawa Huripto lancar melaju. Lihatlah, di belakangnya puluhan bahkan ratusan motor yang mengiringi. Mereka semua ingin ketularan nasib baik dari orang yang sekarang terbaring dengan tenang di dalam keranda yang mereka kuntiti. Di dalam mobil jenazah, ketua rukun tetangga serta handai tolan almarhum, yang sejak meninggalkan Jakarta tak putus-putusnya berunding dengan suara yang sengaja ditahan supaya tidak mengganggu ketenteraman Huripto, masih belum juga menemukan ilham akan dikemanakan uang dari penjudi yang terbaring berbedung kafan di dalam keranda yang membujur di depan mereka.


Martin Aleida

Sepi Pun Menari di Tepi Hari

Sepi Pun Menari di Tepi Hari



Kabar gembira datang pagi hari.

Selasa, 19 Agustus 1997. Di hadapan lebih dari 500 undangan yang memenuhi Aula Serbaguna RW 18, Kelurahan Pondok Petir, pinggir selatan ibukota, telah dinikahkan secara resmi Ir Gulian Putra Ariandaru, M.A, 29 tahun, dengan Arsih, 22 tahun.

Senyum itu. Misteri.

Daun bibirnya yang penuh, menggurat garis lunak di atas dagunya yang hampir tepat setengah lingkaran. Seperti menyatakan dari kejauhan: hidup itu empuk. Karena itu, salahmu sendiri jika kau tak dapat tidur nyenyak. Lalu, matanya menipis ketika bibir itu terbuka perlahan, seperti tawanya yang mengalun. Selesailah dunia! Dengan garis-garis wajah yang tertarik kuat dan wajar seperti itu, perempuan akan mengisi tatapan kosong setiap lelaki. Perempuan yang menciptakan jarak setiap langkah. Perempuan-perempuan Picasso yang merambati gelap dengan cahayanya.

Namanya Arsih. Kujumpai pertama, kedua, dan ketiga kalinya selalu di pertengahan pertunjukan wayang kulit. Ketika punakawan muncul hanya untuk menihilkan awal dan akhir cerita. Suara tawanya, entah kenapa, mengejutkan dan membuatku segera berpaling ke arahnya. Suara itu mengembang dan mengambang seperti langkah tak berjejak dan memaksaku tersenyum. “Itu, Arsih. Anak Yu Katiyem.” Sudri, informan dalam kerja risetku, menyahut cepat pertanyaanku. “Baru 20 tahun,” sambungnya. Entah dengan maksud apa.

Pertemuan kelima di panggung dangdut. Kami berkenalan. Bapaknya petani palawija, ibunya membuka kios gado-gado. Aku meraih master enam bulan kemudian. Tiga tahun berikutnya, kami, aku dan Arsih, hampir memiliki anak. Kandungannya lemah, ia gugur hanya karena Arsih bersepeda ke pasar.

Dia? Ah, biasa saja. Anak kota. Gayanya. Bajunya selalu putih, mentereng. Jadi, kelihatannya bersih terus. Ngomongnya juga di-sopan-sopanin. Biar lancar kerjaannya. Kerjaannya apa sih? Nyatet melulu, kayak juru tulis kelurahan. Aku tahu dia sering melirik aku. Sejak wayang Petruk Dadi Ratu-nya kiai Sumprit, dalang edan itu. Kenalan? Aku dipaksa Mbakyu Tumi. Kan ndak ada ruginya, kata Mbakyu.

Mauku, mau mbok dan bapakku, kawin di kampung. Cara kawin di kota, aku gak ngerti. Gak kerasa. Tapi, sudahlah. Mas Guli memang baik. Aku mau apa saja dikasih. Kebetulan, kata Mbakyu Tumi. Porotin saja, katanya. Aku gak mau. Bukan ndak setuju, tapi males saja. Tapi, Mas Guli jarang di rumah. Temanku pembantu. Lebih dari teman. Seperti saudara. Lebih dekat dari Mas Guli sendiri.

Aku nonton video porno, diajak Yu Ti, pembantu. Juga gambar-gambar asli. Asli bener. Aku kok jadi pusing. Gak tahan. Minum pil dan tidur. Mimpi ndak? tanya Yu Ti. Enggak tuh. Enak gak tidurnya? Biasa saja, tuh. Mau nonton lagi? Enggak dulu. Tak bikinin jamu, ya? Buat apa, Yu? Perempuan tiga puluhan itu tersenyum. Ke dapur, membuat jamu. Tidak kuminum sampai esoknya. Ini jamu siapa, kata Mas Guli saat datang agak malam. Yu Ti, kataku gugup. Bibir Mas monyong. Dia lihat agak lama gelas jamu itu. Lalu, pergi mandi.

Lebih tiga tahun perkawinan, kami belum sukses memproduksi anak. Dia sudah lima kali keguguran. Dokter bilang, sudah sulit sekali. Dan aku tak menunggu mukjizat. Aku tak percaya keajaiban, terutama kalau berhubungan denganku. Usaha keras, hanya itu prinsip hidupku. Begitu aku bekerja. Entah untuk apa. Karier? Uang? Gengsi? Rasanya bukan. Sekadar kewajiban. Termasuk, utamanya, kewajiban memenuhi hajat dan keinginan istriku. Arsih tidak banya minta, melalui mulutnya. Tapi, lewat sudut mata dan sikap tubuhnya. Aku harus mengerti apa yang ia mau. Selendang biru, tempat tidur baru, piring makan, penyejuk udara, kiriman tambahan orangtuanya, modal dagang mbakyunya, atau sandal jepit dari Jepang, katanya.

Entah dari mana ia tahu itu semua. Hampir sebagian besar permintaannya tak terpakai. Dia tetap Arsih. Daster kembang, rambut digulung atau kepang, dan radio wayang kulit. Juga tentu televisi, melulu dua program: India dan dangdut. Stasiun teve seperti setia meladeninya. Bicara? Hampir seluruh topik adalah keluarga dan tetangganya di desa. Jangan bicara soal pekerjaan, film Dustin Hoffman terbaru, atau roman Vikram Seth yang membuat silau pikiranku. Buku? Satu hal yang, baginya, tak lebih penting dari satu ons bawang putih.

Aku masih terpukau oleh senyumnya. Begitu purba. Seperti waktu berlalu tanpa bekas, masa lalu, hidup senantiasa, hingga di masa nanti. Untuknya, aku harus pandai mencari pergelaran wayang kulit di seantero ibu kota. Atau, sesekali ke Wayang Orang Bharata. Tapi, Arsih tak begitu suka yang terakhir ini. Ia memang berpendirian. Tegas bahkan. Aku betul menyukainya. Aku betul tidak menyukainya ketika pendirian itu tak dapat didiskusikan lagi. Ia boleh diam, seperti mengalah. Tapi tidak sama sekali. Ia menyimpannya sebagai dendam. Untuk diledakkan di saat yang baginya tepat.

Dan saat itu tiba. Bom waktunya meledak!

Mas Guli, gantian ya kamu di bawah.

Cuma itu yang kuminta. Kenapa lalu dia uring-uringan. Sampai pagi tidak tidur. Sampai malam datang lagi, ia tak kerja. Duduk di kebun merokok dan ngopi tiada habisnya. Ada apa? Aku mau arisan dan undangan majelis taklim. Ada yang jual ehmm…apa itu, gelas kristal! Bagus dan keren, katanya.

Pergi saja! Katanya pendek waktu aku minta izin. Ada apa sih, Mas? Tanyaku ketika pulang, menjelang 10 malam. Dia malah pergi tidur. Aku mau minta lagi agar ia mau di bawah. Tapi, kudengar ia mendengkur keras. Bohongan, aku tahu. Ada apa sih? Sengaja bikin aku kesel? Ada apa, Mas? Mas Guli mengecapkan bibirnya seperti ngigau. Dan dengkur lagi. Bohong lagi. Kenapa sih?

Apa-apaan? Dari siapa kau mempelajari itu?

Tak ada jawaban. Ini keistimewaan lain Arsih. Tutup rapat rahasia hati atau pikirannya. Berbalik habis denganku. Semangatku membagi info dan pengetahuan, berbagi hati dan pikiran. Dan Arsih tidak menunduk. Ia tentang mataku dalam bisu. Ia bukan saja merokok, pergi ke kafe, atau mampir ke kabin karaoke, tapi juga membuat kelompok-entah apa namanya-dengan beberapa ibu muda, bahkan yang datang jauh dari kompleks perumahan kami. Aku memergokinya. Ketika semua sudah lebih setahun berlangsung. Kamu juga minum bir? Ndak. Aku tak tahu, ia jujur atau kembali berahasia.

Itu mungkin belum seberapa. Bagiku. Dimulai dengan permintaan aneh agar aku mau bermain di bawah, Arsih melanjutkan dengan beberapa permintaan lain. Dan imajinasiku tak dapat menjangkaunya. Aku yang nungging atau Mas saja? Tanyanya suatu kali. Aku tak mengerti. Dan terasa sangat tolol di depannya. Ia tersenyum. Aku membuang bantal. Senyumnya hilang. Pintu kubanting. Dua malam berikutnya, aku tidur di sofa.

Apa-apan ini ? Dari siapa ia mempelajarinya ?

AKU mau pulang saja, Mas !

Mas Guli memandangku. Seolah aku ini kethek sirkus. Wong mau pulang saja, kok susah. Ditanya ini ditanya itu. Aku gak ngerti pertanyaannya. Katanya apa ? Aku tidak memahami dia, aku keblinger, aku membawa karepku dhewe, aku…wah banyak lagi. Gak aku jawab. Wong gak ngerti.

Kasihan juga Mas Guli lamalama. Ia capek ngomongi aku. Mukanya pucat dan masam. Aku bikinkan ia air jeruk dingin. Dia minum sambil geleng kepala. Aku pulang saja ya, Mas? kataku lagi. Dia menghela napas. Panjang sekali. Kenapa? Tanyanya. Dia ulang lagi. Ya, mau pulang saja. Masak gak boleh tho, Mas.

Sudah lebih setahun aku memang belum pulang. Lebaran cuma ngirimi bingkisan dan uang ke desa. Mas Guli banyak kerjaan. Jujurnya, aku juga mulai bosan dengan teman-temanku, ibu-ibu sekompleks. Dengan Yu Ti. Dengan Romi, kucingku. Dengan Mas Guli. Aku gak tahu, harus bagaimana. Aku ini kenapa. Aku mau pulang, Mas !

Suamiku membanting pintu. Keluar. Jadi, diizinkan ya, Mas?! Tak ada suara. Aku pun berkemas.

Arsih pulang seminggu, aku sakit. Keras, bahkan. Sekonyong kolesterol dan asam uratku meningkat drastis. Aku harus opname, seminggu kemudian, karena mulai ada gangguan jantung. Arsih sudah datang dan langsung mendampingiku, 24 jam di rumah sakit. Aku sangat tertolong. Aku pandang wajahnya dengan seluruh rasa sayang yang paling mungkin dalam imajinasiku. Dan aku tak pandai untuk itu. Arsih tersenyum. Sama seperti dulu, pertama kulihat dia. Tak ada perubahan. Tiga tahun perkawinan, untuknya, seolah waktu bermain yang lepas begitu saja. Tapi, cukuplah senyum itu untukku.

Namun, ternyata tak cukup untuk penyakitku. Sebulan keluar dari rumah sakit, aku malah terkena stroke ringan. Aku mulai panik. Melulu karena pekerjaan yang tak tergarap. Perusahaan tak ikut mengeluh. Tapi, gosip miring mulai mampir di telingaku. Arsih tetap rajin seperti biasa. Dua bulan setelah stroke, aku sudah mulai lancar menggerakkan anggota tubuh. Di tempat tidur, Arsih datang dan bertanya ringan sekali: sudah bisa belum, Mas? Baju tidurnya oranye tipis.

Aku mau tertawa, mungkin juga teriak. Tak bisa keduanya. Besoknya kuterima uang cukup besar dari perusahaan. Bukan santunan. Pensiun dini. Arsih memberi selamat dan bilang, mobil Karimun Bu Wondo, temannya, lucu dan asyik ya Mas. Maksudmu kita ganti Starlet lama kita? Dia tak menjawab. Wajahnya menunduk kecil dengan posisi miring, bibir senyum di sudut, seperti serbuk sari mengintai dan menghisap kumbang yang mendekatinya.

Aku sakit, Sih, kataku. Dan Karimun baru datang seminggu kemudian.

Sudah setengah tahun Mas Guli tak berdaya. Uang sih masih ada. Cukup untuk makan dan kebutuhan beli baju atau vcd baru. Tapi, aku tak bisa lagi mengajaknya pergi. Jalan-jalan di Mal Bintaro kesukaanku, nonton wayang kulit di hotel atau gelanggang remaja, bakar ikan di gunung, atau cuma sekadar makan nasi uduk pagipagi di Kampung Betawi. Mas Guli seperti bisu. Diam saja di kamarnya. Baca, baca, baca. Nulis, nulis, nulis. Kalau ditanya, jawabnya sepatah saja. Dia memang masih sakit.

Tapi anunya kan gak sakit, tho. Aku mau, pengin banget. Mas Guli seperti patung ukiran kalau diminta. Kaku membesi. Kalau lelaki sudah membesi begitu berarti tak lagi bernafsu. Apa…aku sudah gak merangsang lagi? Sering kuladeni tubuh bugilku di kamar mandi. Sehat. Seksi, kata Manto, tetangga sebelah, kata Juri, tukang kebun, kata Dani, teman Mas Guli. Lalu? Seksi, kataku.

Aku suka tubuhku sendiri. Cermin kamar mandi kini jadi temanku. Aku melihatnya, jadi nafsu. Aku merabanya, jadi mau. Aku menciumnya, tak keburu. Ahhh…… Mas Guli masih bergelimang buku. Dani temannya datang dan melirikku. Lengkap setahun sudah aku tak disentuh. Tabungan tipis. Aku mulai utang untuk lipenstip dan fondesyen. Suamiku bisu.

BISA jadi aku sengaja.

Sakitku bertambah berat, memang keinginan bawah sadarku. Ketika segala cara rasional jadi invalid untuk mendapatkan penyelesaian masalah, biarkan intuisi purba yang bekerja. Mungkin emosi ada gunanya. Sesungguhnya badanku baik, tapi dapat kubuat lumpuh. Dengan kursi roda kulaksanakan semua kegiatan. Sendiri. Mang Juri kupecat dan kebun mengganas dengan serangga dan ular satu-dua. Yu Ti bersih rumah dan cuci-cuci. Arsih memasak dan mengelola uang. Sekarang tak ada lagi yang ia kelola.

Apa yang akan dia perbuat? Pulang? Tidak. Ia mulai jual segala barang bahkan tanpa permisiku. Aku tertawa dalam hati. Sampai mana? Berulang kali ia hendak marah dan membentak, demi melihat kelumpuhanku, ia diam. Pergi setengah hari. Entah ke mana. Bagiku, surga adalah saat ia tak ada. Masihkah ada surga? Betulkah aku menyimpan harapan? Sedang mimpi pun aku tak lagi bisa. Arsih, di mana tempatnya ia kini?

Bahkan senyumnya pun tak kuingin (setahun sudah ia tak tersenyum). Kecuali saat ia keluar dari kamar mandi. Wajahnya bersih dan terang. Air memberinya bahagia. Serius jika aku sirik dan cemburu pada air bak mandi. Selebihnya: muak! Aku mau cerai. Aku tak berani. Aku mau ia pergi. Mulutku tak kuasa mengusirnya. Aku mau ia diam saat malam di tempat tidur. Mulutnya tak henti mengeluh. Bahkan membentak. Aku tampar. Pertama kalinya. Ia diam. Sungguh terdiam.

Aku mau bunuh diri. Tak bisa.

Sudah kucoba beberapa kali. Tak enak. Bagaimana bunuh diri yang enak? Dengan pistol di mulut, seperti film-film di teve? Tak ada yang minjami. Pil tidur? Apotek curiga. Apa aku benar mau bunuh diri? Tak tahu. Aku tak tahu apa yang aku mau. Mas Guli tidur di kursi roda, aku lebih banyak di sofa. Aku makan cah kangkung kesukaannya, dia minta jajan warung. Aku ingatkan kewajiban suaminya, pipiku dihajar. Entah kali berapa sudah. Sekali aku gak tahan, kulempar ia dengan piring. Kepalanya bocor. Ia pergi ke puskesmas sendiri. Dengan kursi roda. Aku menangis setengah hari. Dan tidur di kuburan dekat rumah.

Maaf? Minta maaf? Siapa yang harus memulainya? Dan untuk apa? Apa yang harus dimaafkan dari lelaki yang 24 jam menatapmu dengan benci? Yang menyebut seluruh keluargamu dengan caci maki? Yang menggapai dirimu dengan jijik hingga di ujung jari? Maaf? Aku serius gak ngerti arti kata itu. Yang kutahu, sejak sebulan terakhir ini, aku menyimpan satu hal yang menentukan, di hatiku, di mataku, di bibirku, di balik bajuku.

Sudah tak kukenali lagi diriku sendiri. Perkawinan adalah rumah sia-sia ketika tak ada lagi yang dapat atau pantas dikenali. Bukan saja segala menjadi asing, bahkan hidup yang harus dihidupi itu pun mengasingkan diri. Kata-kata jadi seperangkap jala yang menyergap semua mimpi kita. Dan emosi yang tersisa hanya berguna ketika kau selesai dengan upacara buang air kecil dan air besarmu.

Aku tak tahu, apa lagi yang harus kuperbuat dengan rumah tangga ini. Mestinya ia segera selesai. Terutama ketika kudapatkan ia menumpahkan seluruh perbendaharaan makiannya di lembar-lembar kertas, yang ia simpan seperti pusaka. Juga ketika ia menuang air ludahnya pada cangkir teh yang hendak kuminum. Termasuk juga saat ia mengatakan, perceraian tak perlu karena aku punya penyelesaian tersendiri. Satu-satunya pendapat yang sama ada dalam pikiranku.

Dan itu harus terjadi. Hanya karena peristiwa kecil, mungkin. Di kamar mandi. Tidak sengaja aku masuk kamar mandi, yang kebetulan tak terkunci, dan kutemukan ia terengahengah hebat karena onani. Di hadapannya cermin dan sebuah foto ditempel selotip. Aku terdiam. Menatapnya dingin. Ia pun menatapku. Tidak diam. Tidak dingin. Panas sekali. Tubuhnya bergetar. Tangannya kian cepat bergerak. Hingga akhirnya….Cuaahhh!! Kami sama-sama muntah.

Hanya dua hari setelah itu.

Kami tidur bersama lagi. Pertama setelah setahun setengah. Tentu tidak berdekatan. Ia di ujung utara, aku sebaliknya.

Sejak menit pertama, kami tak bicara. Hingga ia mendengkur, aku pun. Hingga malam terlampau larut, aku tercenung. Di luar hening, malam tak suara. Bahkan pun kepak serangga malam tak terdengar. Sepi seperti menari. Hingga hari hampir tiba di tepi. Aku merasa waktuku tiba kini. Mataku terbuka. Bibir mengeras. Kepalanku menggenggam kuat. Aku menarik nafas panjang. Dan sekonyong…aku berbalik. Menancapkan sesuatu di genggamanku, tepat di dada manusia di sampingku. Aaacchhh…. Sesuatu yang tipis dan dingin terasa di dadaku, melesak dalam sekali. Dingin. Dingin sekali.

Aku memandangnya. Begitu pun ia. Kami tersenyum. Untuk kali pertama.

Sepi datang lagi. Dan menari. Hari pun menepi.

Kabar duka datang senja hari.

Kamis, 23 September 2002. Sepasang suami istri ditemukan bunuh diri. Di dada mereka tertancap sebilah belati. Namun satu tangan mereka menggenggam erat jari-jari.

Jakarta, 2003



Radhar Panca Dahana