Tuesday, 15 February 2011

SUDISMAN TIDAK SUKA MENANGIS

SUDISMAN TIDAK SUKA MENANGIS



Sudisman, anggota Polit biro CC PKI, dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Mahmilub tahun 1967 dengan tuduhan terlibat peristiwa 1965. Di tahun itu juga ia dieksekusi. Hanya Sudisman yang menjalani proses pengadilan dari 5 pucuk pimpinan PKI. Yang lain lenyap tak tentu rimbanya. Bagaimana mati dan kuburnya pun tak terpastikan. Di samping itu ratusan ribu warganegara Indonesia yang tak pernah diadili dan dibuktikan bersalah: baik anggota, simpatisan maupun yang diduga ada hubungan dengan PKI, dibantai, dipenjarakan, atau dibuang ke Pulau Buru. Pada minggu pertama Oktober 1965, 5 dari pucuk pimpinan PKI, cuma Sudisman yang berada di Jakarta sementara 3 orang ada di Jawa Tengah : Aidit, Lukman dan Sakirman sedangkan Nyoto di Sumatra Utara.

Sudisman sendiri sempat melewati masa pelarian dan sembunyi. Pada masa pelarian inilah, ia berhasil membuat Pledoi atau KOK partai. Pledoi Sudisman yang mengatasnamakan Polit Biro CC PKI sendiri diselesaikan di Jawa Tengah, Bulan September 1966. Pledoi Sudisman ini juga dianggap telah mengakhiri pertentangan dalam faksi-faksi PKI akibat G 30 S yang gagal.
Dalam Pledoi itu Sudisman menyatakan:

Malapetaka yang telah menimbulkan kerugian berat kepada PKI dan gerakan revolusioner rakyat Indonesia sesudah terjadi dan gagalnya “Gerakan 30 September” telah menyingkapkan tabir yang dalam waktu cukup lama menutupi kelemahan-kelemahan berat PKI. Pimpinan PKI telah menjalankan avonturisme yaitu dengan mudah saja tanpa mengindahkan ketentuan-ketentuan organisasi melibatkan diri ke dalam “Gerakan 30 September” yang tidak berdasarkan kesadaran dan keyakinan yang tinggi massa rakyat. Dan karena itu telah menyebabkan terpencilnya partai dari massa rakyat. Sebaliknya sesudah kalahnya “Gerakan 30 September” pimpinan partai menjalankan garis oportunisme kanan yaitu menyerahkan nasib partai dan gerakan revolusioner pada kebijaksanaan Presiden Sukarno. Ini adalah puncak kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan berat PKI baik di bidang ideologi, politik dan organisasi”

Sudisman, akhirnya tertangkap di daerah terpencil Tomang pada tanggal 6 Desember 1966. Katanya: “Dalam juang terkepung lawan, tepat setahun sesudah Kawan Njoto tertangkap”. Untuk penangkapannya ini ia mengungkapkannya secara puitik:

DISERGAP
Seisi rumah lagi enak nyenyak,
mendadak terperanjat,
bangun terbentak,
oleh gedoran pintu dibarengi derap sepatu,
todongan pistol bernikel menuding-nuding,
mengabakan, ayo jongkok dipojok,
dengan baju celana dalam thok,
alangkah berkesan bagiku adegan ini,
disergap sesaat mentari merekah pagi.

Selama dalam tahanan, anehnya Ia sendiri, tak mengalami siksaan fisik yang berarti seperti yang lain-lain walau seharusnya dialah yang paling bertanggung-jawab. Sudisman menyatakan:

Dari persoalan penangkapan saya menjurus ke pemeriksaan. Saya ingin mengemukakan bahwa saya pribadi tidak pernah mengalami pukulan selama pemeriksaan, malahan hubungan antara pemeriksa dan yang diperiksa berdasarkan saling menghormati dan saling mengerti akan keyakinan masing-masing titik tolaknya, saling menghormati walaupun menganut perbedaan politik. Tetapi tidak demikian halnya jang dialami oleh kawan-kawan saya, sampai-sampai kawan Anwar Sanusi, calon anggota Politbiro CC-PKI dan bekas wakil Sek.Jen. Front Nasional pusat masih dipukul juga, apalagi yang lain. Ragam pukulan hampir menyerupai siksaan sewaktu zaman fasis Jepang, hanya digantung sajalah yang tidak digunakan. Sungguh mengerikan kalau melihat derita akibat pukulan yang dialami kader-kader PKI dan mereka yang dituduh tersangkut dengan G.30.S., padahal ke salahan mereka belum terbukti, dan belum tentu mereka itu bersalah. Belum tentu bersalah tetapi badannya sudah rusak akibat pukulan dan diselomoti (dibakar) dengan nyala rokok, sandal karet yang dibakar, sampai distrom.

Ia pun menyadari ini. Karenanya dalam pembelaannya di mahmilub ia mengemukakannya sebagai Uraian Tanggung Jawab bukan pidato pembelaan karena menurutnya suatu pembelaan harus memiliki persenjataan yang lengkap baik di bidang teori Marxisme-Leninisme maupun di bidang-bidang lainnya. Persenjataan itulah yang justru tidak dia miliki karena persediaan perpustakaan tidak dia miliki dan tidak ada di tangannya.
Pada pengadilan mahmilub itu, sebagai seorang komunis yang bersandar pada pengetahuan Ilmiah, ia pun menolak di sumpah atas nama agama apapun. Dengan rendah hati, ia pun menyatakan bertanggung jawab atas peristiwa 1965, karena kawan-kawannya lain sudah lebih dulu menempuh “jalan mati”. Untuk ini ia menyatakan:

Mereka berempat telah mati tertembak tanpa “jalan-justisi”. Mereka berempat adalah saya, dan saya adalah mereka berempat, sehingga solidaritas Komunis mengharuskan saya untuk menunggalkan sikap saya dengan mereka berempat dan memilih “jalan mati”. Saya dengan mereka berempat telah berpanca-kawan, artinya, berlima telah bersama-sama membangun kembali PKI sejak tahun 1951, dari kecil menjadi besar, dari berpolitik salah menjadi berpolitik benar, dari terisolasi menjadi berfront luas, dari kurang belajar teori menjadi mulai belajar teori Marxisme – Leninisme, dan karena tidak menguasai teori Marxisme – Leninisme secara kongkrit kemudian berakhir terpelanting dalam kegagalan’ G-30-S yang membawa kerusakan berat pada PKI. Saya pribadi terlibat dalam G-30-S yang gagal. Kegagalan ini berarti pula kegagalan saya dalam memimpin PKI, sehingga mendorong menjadi unggulnya pihak lawan politik PKI.

Di hadapan pengadilan Mahmilub ini juga ia mengungkapkan kondisi yang senasib antara Bung Karno dan PKI.
Ia menyatakan:

Saya dan PKI tidak pernah memberikan gelar ini atau itu kepada Bung Karno, tidak pernah memberikan agung ini, atau agung itu, sebab gelar satu-satunya jang tepat adalah “Bung Karno” sehingga nama Bung Karno berkembang dari Sukarno (ada kesukaran) ke Bung Karno (artinja bongkar kesukaran). Sebagai sesama orang revolusioner, justru dalam keadaan sulit seperti sekarang inilah saya terus membela dan mempertahankan Bung Karno, sebab sesuatu mengatakan bahwa “in de nood leert men zijn vrien den kennen” (dalam kesulitan kita mengenal kawan) dan “jo sanak, jo kadang, jen mati aku sing kelangan” kata Bung Karno untuk PKI. Sebagai arek Surabaya, saya sambut uluran tangan Bung Karno dengan: “ali-ali nggak ilang, nggak isa lali ambek kancane”. (artinya tidak bisa lupa sama kawannya).

Kenapa saya bela dan pertahankan Bung Karno? Sebabnya ialah sepanjang sejarahnya Bung Karno konsekwen anti Imperialis sampai berani menyemboyankan “go to hell with your aid” terhadap imperialis Amerika Serikat; Bung Karno setuju mengikis sisa-sisa feodal dengan mengadakan landreform terbatas; dan Bung Karno setia pada persatuan tenaga-tenaga revolusioner. Inilah dasar daripada instruksi saya pada anggota-anggota PKI, untuk masuk dan bentuk “Barisan Sukarno”.

Dalam kesulitan seperti sekarang ini berlakulah pepatah Pavlov bagi Bung Karno “a discovery begins where an unsuccessful experiment ends” (suatu penemuan mulai pada saat pengalaman yang tidak sukses berhenti).
Sebagai perpisahannya dan kesiapannya menatap pelaksanaan hukuman baginya, Disman mengutip perkataan penulis Andrew Carve: No tears for Disman – Tiada airmata bagi Disman. Sedangkan bagi para petugasnya, ia sampaikan: You had done the world a service – Kalian telah berbuat bakti bagi dunia. Sebagai orang Jawa, ia menyatakan dalam bahasa Jawa yang bernada miris:
Pertama: matur nuwun, terima kasih kepada semua pihak yang telah merasa membantu saya selama berjuang;
Kedua: nyuwun gunging pangaksomo, minta seribu maaf, terutama kepada massa progressif revolusioner jang merasa saya rugikan selama dalam perjuangan;
Ketiga: nyuwun pangestu, minta restu terutama pada semua keluarga istri dan anak-anak dalam saya melaksanakan putusan hukuman.
Ben Anderson yang hadir pada persidangan itu kemudian mengungkapkan:

Dari kesaksian Sudisman saya dapat kesan bahwa dia merasa diri dalam keadaan di mana partai yang ikut dia pimpin itu dihancurkan secara mengerikan. Ratusan ribu yang mati. Dan dia sebagai seorang pemimpin dan sebagai seorang Jawa merasa bertanggung-jawab. Bagaimanapun, kalau pimpinannya baik dan beres seharusnya hal seperti itu tidak terjadi. Karena itu dia menamakan pembelaannya itu “Uraian Tanggung Jawab.” Dia tidak mau debat tentang soal ini-itu. Dia cuma bilang, “Bagaimanapun juga, sebagai pimpinan tertinggi yang masih hidup, saya memakai kesempatan ini untuk meminta maaf atas apa yang terjadi.” Sudisman tidak pernah bilang bahwa dia ikut merencanakan G-30-S. Dia cuma bilang bahwa rupanya ada unsur-unsur PKI yang terseret. Dia tidak membicarakan soal Biro Khusus. Tidak membenarkan dan juga tidak membantah adanya. Waktu Syam memberi kesaksian, Sudisman tidak mau melihat mukanya dan tidak mau menjawabnya. Yang jelas, untuk sebagian besar dari saksi-saksi waktu itu informasi tentang adanya Biro Khusus itu sesuatu yang mengejutkan sekali. Jelas mereka sama sekali tidak tahu menahu.

***
Sudisman, pejuang yang telah melewati pasang-surut revolusi Indonesia dengan berani itu dilahirkan di Jember, 1920. Sejak mudanya, ia telah berlaku berani menempuh hidup: sebagaimana Sayuti Melok menempelkan Ijazah AMS-nya (SMA) pada blek untuk jual dendeng, demikianlah pula Sudisman, begitu tamat HBS Surabaya tanpa ragu bersumpah di depan seorang gurunya bahwa ia tak akan menggunakan ijazah kolonial itu untuk mencari makan. Ia pun lantas terlibat dalam pengorganisiran buruh.

Sudisman juga dikenal sebagai organisator yang jitu dan cerdik. Seorang jurnalis Soeryono (1927-2000), yang pernah bekerja di Penghela Rakyat di Magelang dan juga anggota Pesindo menjuluki Sudisman sebagai “the King Maker” yaitu Amir Syarifuddin dan DN Aidit. Ia juga seorang intelektual yang tekun dan teliti begitulah minimal di mata Joesoef Ishak dan Joesoef pun mengenalnya sebagai orang yang rajin membawa catatan ke mana-mana, dan kebiasaannya tak lain dari mencatat apa-apa yang dikatakan lawan bicaranya. Ia tak ubahnya sebagai “kamus berjalan” yang bisa dimintai bantuannya bila seseorang lupa atau tak mampu mengingat-ingat suatu hal penting yang ingin dikemukakan.

Sejak sebelum pecah perang kemerdekaan 1945, dia aktif di Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) bersama Amir Syarifuddin, Moh. Yamin,Wikana, A.K.Gani Pada masa Jepang, pada Januari 1943, Sudisman bersama Amir Syarifuddin dan 53 kawannya pun ditangkap. Menurut AM Hanafi, Sekretaris Jendral Barisan Pemuda GERINDO sejak masa di zaman Belanda dan masa pendudukan Jepang, Sudisman adalah Ketua Barisan Pemuda GERINDO Cabang Surabaya. Di penjara di Sragen. Kemudian bebas. Adalah pemuda Sidik Arselan, anggota Pemuda GERINDO, bekas PETA, dengan sepasukan Pemuda P.R.I. (yang ketuanya adalah Sumarsono) yang mendatangi penjara Sragen itu. Selain telah membebaskan Amir Sjarifudin dan Sudisman, mereka juga telah membebaskan semua tahanan lainnya yang ada di situ. Sudisman, menurut AM Hanafi juga, adalah anggota PKI, kadernya Pamudji yang dibunuh Jepang di penjara Sragen. Dari penilainan Hanafi, Sudisman adalah seorang yang tahu menghormati kaum Sukarnois. Karena itu sebagai pejuang Sudisman dikenal sebagai seorang nasionalis yang militan.

Bagaimana situasi revolusi yang bergolak itu? F.C. Fanggidaej, ketika Mengenang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke 50 menulis:

Kota Yogya mendidih dari semangat dan tekad juang pemuda. Pekik dan salam MERDEKA memenuhi ruang udara kota. Jalan-jalan dikuasai pemuda: kebanyakan berambut gondrong, mereka bersenjatakan pestol, senapang, brengun sampai kelewang panjang Jepang, dan sudah tentu bambu-runcing. Kepala mereka mereka ikat dengan kain merah …. Yah, semangat juang, rasa romantisme dan kecenderungan kaum muda untuk berlagak dan bergaya bercampur dengan sikap serius dan tenang dengan tekad pantang mundur yang terpancar dari mata dan wajah mereka — itulah gambaran pemuda Indonesia Revolusi Agustus 1945. Di dalam gedung Kongres tampak pemuda-pemuda yang baru dibebaskan atau membebaskan diri dari penjara Kenpeitai Jepang Sukamiskin di Bandung, antara lain: Sudisman, Tjugito, Sukarno. Juga Sumarsono, Ruslan Wijayasastra, Soepeno dan Chaerul Saleh. Sambutan Amir Syarifuddin menggambarkan ciri khas suasana politik pada awal Revolusi. Kata Bung Amir: “Hai Pemuda, jika kamu memegang bedil di tangan kananmu, haruslah kamu memegang palu di tangan kirimu. Dan jika kamu memegang pedang di tangan kananmu, peganglah arit di tangan kirimu!”

Selama awal-awal revolusi fisik itu, Sudisman adalah figure pemimpin dalam organisasi para militer pemuda kiri: Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Pada tahun 1947, ketika FC Fanggidaej, hendak berangkat ke pertemuan pemuda di Praha, Sudisman sebagai Ketua Pesindo berpesan kepadanya agar dirinya hanya banyak berbicara tentang tuntutan perjuangan. Hanya tentang perjuangan dan situasi perjuangan saja. Tidak ada soal soal lain. Tentang situasi sosial, ekonomi dan sebagainya, itu semua tugas tugas negara. Tugas Pemuda satu saja: yaitu memberitakan dan menjelaskan kepada dunia luar, apa itu Republik Indonesia, apa dan kapan itu Proklamasi Kemerdekaan RI, dan mengapa rakyat Indonesia mengangkat senjata melawan Belanda dan Sekutu. Fanggidaej juga harus menyerukan ajakan dan tuntutan Republik Indonesia pada Dunia : “Stop the War!”

26 Februari 1948, Sayap Kiri menyelenggarakan kongres di Solo. Front Demokrasi Rakyat (FDR) pun terbentuk. Sudisman, Aidit, Njoto dan Lukman lantas mengisi Sekretariat FDR. Sejak masa sekretariat FDR inilah mulai dikenal kesatuan empat serangkai: Aidit, Lukman, Njoto, Sudisman. Di antara mereka, Sudismanlah yang paling senior. “Kekuatan baru” atau “generasi baru” begitulah keempat serangkai bersama sejumlah pemuda lain menyebut dirinya dan seterusnya akan memimpin PKI pasca peristiwa Madiun 1948 sampai dihancurkannya tahun 1965. Ditambah Ir. Sakirman, Sudisman di sidang Mahmilub tahun 1967 mengatakan: Saya dengan mereka berempat telah berpanca-kawan, artinya, berlima telah bersama-sama membangun kembali PKI sejak tahun 1951. FDR sendiri mengandalkan kekuatannya pada kaum buruh yang tergabung dalam SOBSI. Sudisman sendiri berakar kuat di kaum buruh. Di samping itu FDR juga mengandalkan kekuatan bersenjata seperti Pesindo dan simpati dari sejumlah besar perwira kunci di dalam TNI (tentara resmi Pemerintah) dan TNI-Masyarakat.

1 September 1948 diumumkan susunan Politbiro CC PKI yang baru. Sudisman pun memimpin departemen Organisasi. Susunan lengkapnya sendiri sebagai berikut: Sekretariat Umum: Musso, Maruto Darusman, Tan Ling Djie, Ngadiman; Departemen Buruh: Harjono, Setiadjit, Djokosudjono, Abdul Madjib, Achmad Sumadi, Departemen Tani: A.Tjokronegoro, D.N.Aidit, Sutrisno; Departemen Pemuda: Wikana dan Suripno, Departemen Wanita: sementara dipegang oleh Sekretariat Umum; Departemen Pertahanan: Amir Sjarifoeddin, Departemen Agitasi dan Propaganda: Alimin, Lukman dan Sardjono; Departemen Organisasi: Sudisman; Departemen Luarnegeri: Suripno; Departemen Perwakilan: Njoto; Departemen Daerah-Daerah Pendudukan: dipegang oleh Sekretariat Umum; Departemen Kader-Kader Partai: sementara dipegang oleh Sekretariat Umum; Departemen Keuangan: Ruskak. Ketika terjadi pembersihan yang dilakukan Kabinet Hatta pada semua tokoh-tokoh penting PKI akibat peristiwa Madiun 1948, 9 orang dari total 21 orang anggota CC PKI terbunuh. Sudisman, Aidit bersama Lukman dan Nyoto berhasil lolos dari pembunuhan.

Sudisman juga anggota Dewan Harian Angkatan 45. Tanggal 19 Desember 1953 bersama Chaerul Saleh, A.M. Hanafi, Harjoto Judoatmodjo, Bambang Suprapto, Pandu Kartawiguna, Moh. Imamsjafi’ie (Bang Piti) dan Amir Murtono, Sudisman pun terlibat dalam persiapan Musyawarah Besar Angkatan 45 (Mubes ke-II).
Karenanya tak dapat disangkal, Sudisman telah memberikan hidupnya dengan berani. Sudisman pun memberikan kepada rakyat gambaran bagaimana hidup yang bertanggung-jawab dan konsisten. No Tears for Disman.

Sumber:
http://www.scribd.com/doc/77619790/SUDISMAN-TIDAK-SUKA

No comments: