Tulisan Beni Setia dikelenceki Saut Situmorang (II)
http://www.facebook.com/
Ruang Putih Jawa Pos [ Minggu, 15 Agustus 2010 ]
Belajar Sentosa dengan Arif
ARIF B. Prasetya -penyair, cerpenis, dan kurator kelahiran Madiun itu- merintis karir kepenulisan di Bengkel Muda, Surabaya, ketika berkuliah di ITS. Dia lantas menikah dan bermukim di Bali. Relatif tenang, tanpa gegar budaya yang menyeruak ke permukaan sebagai teks sastra, tidak seperti Oka Rusmini yang gerah dimarjinalkan oleh lingkungan padahal dirinya hanya mengutamakan cinta.
Sebagai esais Bengkel Muda, Surabaya, pemikirannya tidak berada di lingkaran fisik Bengkel. Sebagai penyair penyuka Neruda dan penyair Amertika Latin lainnya, dia pernah dekat dengan Wahyu Prasetya. Bahkan, dia sering mampir untuk mendiskusikan terjemahan puisi Amerika Latin. Ajaibnya, tidak ada jejak kiri Neruda dalam puisi Arif B. Prasetya, meski ilusi surealisme dan puitika diksi berkonotasi magistik Amerika Latin berpecototan dalam puisinya. Mungkin itu dampak kepekaan, akibat kecondongan terlalu intens membaca teks bergenre sama, karena menandai puisi terbaik sebagai ”yang melampaui apa yang sering dibaca (baca: cakrawala harapan) dan berbeda dari yang telah diketahui”.
Resepsi Jaussian menyebut itu sebagai jarak estetik. Dan, yang mengeksiskan satu teks yang memiliki jarak estetik itu adalah bacaan di satu sisi dan (di sisi lain) komunitas yang membaca teks yang relatif sama. Sebab, itu tiba di konsensus identik. Dan, kalau kritis dan objektif, kita akan menemukan perbedaan ketimbang apriori menekankan kesamaan teks. Meski, perbedaan itu merupakan konsekuensi dari multipersepsi tanpa bersepakat menentukan titik netral sebelum menyebut kiri dan kanan, sehingga yang kanan bisa dianggap codong kiri ketika diapresiasi dengan penolakan. Kenapa saya bilang begitu? Karena Arif B. Prasetya itu ya arek Suroboyo, tapi kok digonggong oleh arek Suroboyo lagi. Aneh!
***
MUNGKIN karena Arif B. Prasetya (kini) di Bali. Yang lebih lucu, amarah kepada Mashuri yang pernah sekampus, sekomunitas diskusi, dan bahkan (kini) sekantor -meski berbeda aplikasi ijazah- yang dianggap amat bersekongkol dengan Jakarta cuma sukses karena mempublikasikan puisi dan novel di Jakarta. Padahal, W yang kuasa menembus Kalam lebih dulu, lalu Mashuri, makin sering tampil di Kalam, Koran Tempo, Kompas, dan Media Indonesia. Kalau konstelasinya begitu, bukan Mashuri, Arif B. Prasetya, Ribut Wiyoto, atau Mardiluhung yang salah. Yang salah itu Jakarta, bahkan kegagalan memuaskan tuntutan cakrawala harapan dan jarak estetik Jaussian Jakarta.
Agus R. Sarjono dan Horison punya lingkaran berbeda dari TUK (Teater Utan Kayu). Satu hari Sitok Srengenge mengeluh, GM (Goenawan Muhammad) dan Kalam dianggap antek Amerika karena menerima dana asing. Tapi, Horison yang juga mendapatkan dana dari Ford Foundation tak diperlakukan sama. Apa memang ada kemarahan pada lobi dan kucuran dana asing atau hanya karena kemarahan personal cq individu yang tidak disukai yang lalu disasar dengan alasan antek (dana) asing?
Dan berbicara tentang estetika TUK, kita tak bisa menelusurinya hanya dari kemunculan Kalam. Sebab, jauh sebelum itu, di akhir 1980-an, di Tempo sering ada diskusi yang intinya ingin melawan lirisme dalam puisi, yang melahirkan pemekatan suasana tanpa ada kepastian objek yang ditunjuk kata.
Anehnya, meski setiap hari, saat itu Afrizal Malna sering bilang: jangan membuat puisi (liris) dalam perbincangan, esei, prosa, dan puisi, sambil dengan gagah mencemooh mantra SCB (Sutardji Colzoum Bachri) dan euphorisme bahasa Orba dengan merujuk ke Paulo Freire yang kiri dan gemar menganalisis kondisioning sosial-budaya yang harus dilawan dengan penyadaran dan pencerahan. Nyatanya, dia bikin kalimat terang yang melulu menjajarkan benda-benda dalam ruang dan kesadaran mental. Tak lagi ada puisi dan melulu fakta, tapi tetap gelap. Bukan lagi puisi liris pekat suasana, tapi traumatika teror benda-benda faktual. Persis Arif B. Prasetya. Penolakan pada suasana yang dominan dalam puisi itu justru menghasilkan surealisme benda-benda faktual yang menghadirkan traumatika.
Penolakan lirisme (puisi) menghasilkan puisi prosaik, fantasi yang meliuk bebas, dan panorama surealistik dan magis. Kenapa bisa begitu?
***
MUSUH dari ihwal yang puitik itu bukan yang prosaik atau faktual, tapi justru yang ilmiah dan hegemonik. Malah, musuh yang puitik itu definisi kaku yang membedakan puisi, prosa, esei, telaah objektif, fakta, fantasi, dan seterusnya itu harus seperti ini. Dan ketika definisi dihancurkan, tidak ada batasan. Ketika kita mengandaikan matahari terbit di nadir dan tenggelam di zenith, apa ada siang dan malam, apa ada timur dan barat? Ada dekonstruksi besar. Dan ketika acuan dihancurkan, maka tidak ada lagi acuan di satu sisi. Hanya ada aku dan komunitasku yang menentukan aturan dan nilai eksklusif.
Ini yang terjadi, tapi banyak pihak luar lingkaran -yang tumbuh oleh kecondongan bacaan yang sama, sehingga punya cakrawala harapan serta obsesi jarak estetik Jaussian yang sama- yang gagap. Gugup dan panik. Marah saat acuan hancur. Padahal, di momen chaos setiap orang bisa membikin acuannya sendiri, berkolaborasi dalam konspirasi shot term, sehingga muncul riak estetika alternatif. Meski tetap sadar, penentu mana sejatining acuan atau hanya pseudo acuan justru karya yang dipublikasikan. Sehingga kreasi si yang tak pernah membikin statement apa pun akan tetap dianggap karya bagus selama karya itu bagus, sekaligus kritikus yang akan membuat acuan referensial dengan membangun teks legitimasi. Jadi, Lucien Goldman itu mengapresiasi karya dulu, lalu menyusun teori, dan mengaplikasikannya pada karya yang sewarna. Bukan bikin teori hampa dan mencari teks yang membenarkan teori.
Persis seperti sebuah cerpen populer gender, yang bercerita tentang si wanita karir tapi jomblo dan selalu diramal tidak akan dapat jodoh sehingga dipaksa pergi dari satu dukun ke dukun lain, sebelum sadar bahwa buku acuan ramalan tangan yang sama dengan yang dibacanya akan menghasilkan kesimpulan yang sama bagi gurat tangan yang sama. Padahal, jodoh itu rahasia Illahi. Arif B. Prasetyo, Mashuri, Ribut Wiyoto, Mardiluhung, dan yang lain berpikiran serta berbicara identik karena bacaannya sama sehingga cakrawala harapan dan obsesi jarak estetika Jaussiannya sama.
Karena itu, cari buku referensial alternatif dan bikin kelompok diskusi yang cerdas sehingga lahir estetika alternatif. Atau, pelajari tren dan jadi penulis yang sesuai tren dengan keunikan orisinal. Dalam tradisi eliotian, Subagyo Sastrowardojo pernah bilang tentang bakat alam yang hanya mengenal tren puisi dan intelektualisme yang mengatasi yang tampak sehingga bisa menulis puisi yang lebih unik dari yang pernah diciptakan si trendsetter. Bacaan membuat penyair yang belakangan, para pengikut, mampu menulis lebih bagus karena leluasa mempelajari semua ciri dan kemungkinan lebih optimal.
Persis kata T. S. Eliot, penyair Jeni merampok puisi penyair lain. Penyair jelek cuma mampu meniru plagiatistik. Saini K. M. bilang, kalau tidak bisa total menerapkan konsepsi objective correlative, berhenti saja berpuisi. Sebab, menjadi penjaja roti pun harus total, tak sekadar sambilan.
***
TOTALITAS berpuisi itu butuh intelektualisme. Harus pintar menambah wawasan, memahami hakikat teks yang dibaca, dan cerdas merampok yang bisa diadopsi sebagai kekayaan pribadi. Dengan begitu, meski menulis dalam gaya serupa, dihasilkan ekspresi personal dan apresiator yang orisinal. Selama masih mentahiah hanya ada plagiatisme, intelektualitas yang membuat keunikan. Dengan itu kita sadar bahwa teks puisi Mashuri itu unik, Mardiluhung lain dari Mutaqien, bahkan Tjahjono Widijanto itu berbeda dari Tjahjono Widarmanto. Saestu, setidaknya bila mau objektif mencari perbedaan. Sebab, mengutip Mark Twain, jangan menjadi anti-Christ fanatik yang agresif menghancurkan semua pagar di jalan, yang tampak bagai sederetan salib ketimbang hanya jejeran kayu tegak melekat di kayu mendatar.
Tarik napas dan tenangkan pikiran, jadi yang sentosa dengan belajar arif. (*)
*) Beni Setia Tirtawinata, pengarang, tinggal di Madiun?
Sumber: http://jawapos.com/mingguan/index.php?act=detail&nid=150461
Komentari · SukaTidak Suka · Bagikan
*
*
Denny Mizhar menyukai ini.
*
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu (Saut Situmorang)
SEKEDAR MASUKAN UNTUK MENUNJUKKAN PRETENSIUSNYA PENULIS BERNAMA “BENI SETIA TIRTAWINATA” DI ATAS TENTANG TS ELIOT DAN HAL-HAL LAIN YANG DIKUTIPNYA DARI KHAZANAH SASTRA BARAT DALAM TULISANNYA DI ATAS. MUNGKIN MAKSUDNYA MAU PAMER BACAAN TAPI …JEBLOK DAH DI DEPAN MATA MEREKA YANG TAHU, HAHAHA…
TS ELIOT TAK PERNAH MENGATAKAN KAYAK APA YANG DITULISKAN BENI SETIA TIRTAWINATA DI ATAS. TS ELIOT ITU TIDAK BEGITU VERBAL. MUNGKIN KERNA BENI SETIA TIRTAWINATA ITU SANGAT VERBAL MAKA DIPAKSANYA TS ELIOT JADI VERBAL. JANGAN-JANGAN DIA BELUM PERNAH BACA TS ELIOT, HAHAHA…
TS ELIOT CUMAK BILANG GINI KOK:
“Immature poets imitate; mature poets steal.”
KAPAN TS ELIOT PERNAH BILANG:
“Persis kata T. S. Eliot, penyair Jeni merampok puisi penyair lain. Penyair jelek cuma mampu meniru plagiatistik.”?
HAHAHA…Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 22:00 · SukaTidak Suka
o
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo judul tulisan itu mengingatkanku pada nama seseorang, hehe. nama siapa hayo? bukan saut situmorang lho, jangan ge-er. kalo ge-er ntar dimarahi sama ts eliot lho…
hihihi…
Minggu pukul 22:04 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
DAN ADALAH SANGAT LUCU UNTUK MENGAMBIL TS ELIOT SEBAGAI CONTOH “PENYAIR ORISINAL” DALAM KONTEKS ARTI KAYAK DIKOAR-KOARKAN TULISAN DI ATAS! CUMAK MENUNJUKKAN BETAPA SI BENI SETI TIRTAWINATA INI TAK NGERTI SAMA SEKALI SIAPA ITU TS ELIOT. COBA…K DIA BACA SAJAK ELIOT BERJUDUL “THE WASTE LAND” DAN ESEINYA YANG SAMA TERKENALNYA YANG BERJUDUL “TRADITION AND THE INDIVIDUAL TALENT”! TS ELIOT JUSTRU ANTI “ORISINALITAS” ALA KAUM ROMANTIK YANG MASIH DIANUT BENI SETIA TIRTAWINATA DI ATAS!!! HAHAHA…
BUKANKAH KUTIPAN TERKENAL DARI TS ELIOT DI ATAS UDAH DENGAN JELAS MENUNJUKKAN TEORI “INTERTEKSTUALITAS” YANG DIA ANUT! TAPI BEGITULAH, BANYAK “IMMATURE POET” DI NEGERI INI MAMPUNYA CUMAK NGUTIP DI LUAR KONTEKS LALU TEREAK-TEREAK SOK PINTER DI LUAR SANA! KASIHAN. HAHAHA…Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 22:05 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat…
o
Rusman H. Siregar HA HA HA… Merdeka !!!
Minggu pukul 22:09 · SukaTidak Suka
o
Halim Hade T.S. ELIOT = TENI SETIA ELIOT, dari nganjuk.
Minggu pukul 22:17 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat…
o
Halim Hade numpang kondang, hahahaha, arief b prasetyo rasanya tahu amerika latina dari gue, hehehehe. 1993-94-95, itulah periodenya dia mengenal, ketika aku baca buku-buku paz, eduardo.
Minggu pukul 22:20 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat…
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
COBAK PERHATIKAN KUTIPAN INI:
“Dan berbicara tentang estetika TUK, kita tak bisa menelusurinya hanya dari kemunculan Kalam. Sebab, jauh sebelum itu, di akhir 1980-an, di Tempo sering ada diskusi yang intinya ingin melawan lirisme dalam puis…i, yang melahirkan pemekatan suasana tanpa ada kepastian objek yang ditunjuk kata.”
BUKANKAH JUSTRU “lirisme dalam puisi, yang melahirkan pemekatan suasana tanpa ada kepastian objek yang ditunjuk kata” INI YANG SAAT INI DITUDUHKAN DILAKUKAN OLEH TUK DAN DIPAKSAKAN MENJADI TREN DALAM PUISI KONTEMPORER INDONESIA LEWAT DUTABESAR TUK DI KOMPAS MINGGU DAN DI KORAN TEMPO!
KE MANA AJA SI BENI SETIA INI SELAMA INI YA! HAHAHA… Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 22:28 · SukaTidak Suka · 1 orangRagil Sukriwul menyukai ini.
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
?”Anehnya, meski setiap hari, saat itu Afrizal Malna sering bilang: jangan membuat puisi (liris) dalam perbincangan, esei, prosa, dan puisi, sambil dengan gagah mencemooh mantra SCB (Sutardji Colzoum Bachri) dan euphorisme bahasa Orba denga…n merujuk ke Paulo Freire yang kiri dan gemar menganalisis kondisioning sosial-budaya yang harus dilawan dengan penyadaran dan pencerahan. Nyatanya, dia bikin kalimat terang yang melulu menjajarkan benda-benda dalam ruang dan kesadaran mental. Tak lagi ada puisi dan melulu fakta, tapi tetap gelap. Bukan lagi puisi liris pekat suasana, tapi traumatika teror benda-benda faktual. Persis Arif B. Prasetya. Penolakan pada suasana yang dominan dalam puisi itu justru menghasilkan surealisme benda-benda faktual yang menghadirkan traumatika.”
BUKANKAH INI SEBUAH BUKTI KETIDAKMAMPUAN MEMBACA AFRIZAL MALNA LALU MENGHAKIMINYA! APA ITU “TRAUMATIKA TEROR BENDA-BENDA FAKTUAL”?! APA PULAK ITU “SUREALISME [SIC] BENDA-BENDA FAKTUAL YANG MENGHADIRKAN TRAUMATIKA”?! APANYA YANG “TRAUMA” DAN KENAPA DIA KENAK “TRAUMA”?!
KEPEKATAN SUASANA PADA TULISAN BENI SETIA DI ATAS TERNYATA CUMAK MAMPU MENGHASILKAN “KETAKPASTIAN OBJEK YANG DITUNJUK KATA” DOANG, HAHAHA…Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 22:34 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat… ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu ?”Tak lagi ada puisi dan melulu fakta”, KATA BENI SETIA TENTANG KARYA AFRIZAL MALNA! WOW! ORANG YANG UDAH BACA STRUKTURALISME LUCIEN GOLDMAN DAN RESEPSI SASTRA JAUSS KOK MALAH GAK BISA BACA AFRIZAL MALNA! CK, CK, CK… HAHAHA…
Minggu pukul 22:38 · SukaTidak Suka ·
o
Muhammad Al-Fayyadl Tulisan yg jujur agak membingungkan, tak jelas logika dan maunya.
Minggu pukul 22:39 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat… ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
?”MUSUH dari ihwal yang puitik itu bukan yang prosaik atau faktual, tapi justru yang ilmiah dan hegemonik. Malah, musuh yang puitik itu definisi kaku yang membedakan puisi, prosa, esei, telaah objektif, fakta, fantasi, dan seterusnya itu ha…rus seperti ini. Dan ketika definisi dihancurkan, tidak ada batasan. Ketika kita mengandaikan matahari terbit di nadir dan tenggelam di zenith, apa ada siang dan malam, apa ada timur dan barat? Ada dekonstruksi besar. Dan ketika acuan dihancurkan, maka tidak ada lagi acuan di satu sisi. Hanya ada aku dan komunitasku yang menentukan aturan dan nilai eksklusif.”
UH! LEBIH SUSAH MEMAHAMI PARAGRAF INI KETIMBANG SATU BAB DARI DERRIDA! AIH! HAHAHA…Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 22:40 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
?”Ini yang terjadi, tapi banyak pihak luar lingkaran -yang tumbuh oleh kecondongan bacaan yang sama, sehingga punya cakrawala harapan serta obsesi jarak estetik Jaussian yang sama- yang gagap. Gugup dan panik. Marah saat acuan hancur. Padah…al, di momen chaos setiap orang bisa membikin acuannya sendiri, berkolaborasi dalam konspirasi shot term, sehingga muncul riak estetika alternatif. Meski tetap sadar, penentu mana sejatining acuan atau hanya pseudo acuan justru karya yang dipublikasikan. Sehingga kreasi si yang tak pernah membikin statement apa pun akan tetap dianggap karya bagus selama karya itu bagus, sekaligus kritikus yang akan membuat acuan referensial dengan membangun teks legitimasi. Jadi, Lucien Goldman itu mengapresiasi karya dulu, lalu menyusun teori, dan mengaplikasikannya pada karya yang sewarna. Bukan bikin teori hampa dan mencari teks yang membenarkan teori.”
UH, TRAUMATIK AWAK SEKARANG ABIS BACA KEGELAPAN PROSAIK INI! TAPI, EH, KOK DIA PAKEK ISTILAH SAUT SITUMORANG, ITU YANG ADA “PSEUDO”-NYA ITU! HAHAHA…Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 22:42 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu ?”Persis seperti sebuah cerpen populer gender….”
WAH, ADA GENRE SASTRA BARU NIH! SASTRA “CERPEN POPULER GENDER”! HUAHAHA…
Minggu pukul 22:44 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu ?”Dalam tradisi eliotian….”
WAH, TRADISI APA INI YA? ELIOTIAN! HM… HAHAHA…
Minggu pukul 22:46 · SukaTidak Suka ·
o
Thendra Malako Sutan
ah, mas ben ini kayaknya mo niru SINTA-JOJO deh, modal komat-kamit dan gerak2 tubuh dikit, lalu jadi terkenal bo, hehe…
tapi, jika dibandingkan dengan tulisan mas ben di atas, kayaknya gw lebih suka SINTA-JOJO, lebih alami bo….hihi….
“d…asar kau keong racun” hihi…
Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 22:46 · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat… ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
?”TOTALITAS berpuisi itu butuh intelektualisme. Harus pintar menambah wawasan, memahami hakikat teks yang dibaca, dan cerdas merampok yang bisa diadopsi sebagai kekayaan pribadi. Dengan begitu, meski menulis dalam gaya serupa, dihasilkan ek…spresi personal dan apresiator yang orisinal. Selama masih mentahiah hanya ada plagiatisme, intelektualitas yang membuat keunikan.”
WAH, NASEHAT PENTING INI! AYO THENDRA, DEA, ROZI, BODE, IIN DAN IRIANTO BOSMU, DENGARKAN NASEHAT INI!!! TOTALITAS DAN ORISINALITAS, MAN! PUIH, KEREN ABIS DAH! HAHAHA…Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 22:49 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu ?”Tarik napas dan tenangkan pikiran, jadi yang sentosa dengan belajar arif.”
AMIIIN…
HAHAHA…
Minggu pukul 22:50 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu al-fayyadl,
sst! HAHAHA…
Minggu pukul 22:52 · SukaTidak Suka ·
o
Thendra Malako Sutan Sori Sori Sori Jek…Sori Sori Sori, Mas Ben…Aku Bukan Penyair Murahan…
Haha…
Minggu pukul 22:52 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu ?”T.S. ELIOT = TENI SETIA ELIOT, dari nganjuk.”
HUAHAHA… HAHAHA…
Minggu pukul 22:52 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu ?”numpang kondang, hahahaha, arief b prasetyo rasanya tahu amerika latina dari gue, hehehehe. 1993-94-95, itulah periodenya dia mengenal, ketika aku baca buku-buku paz, eduardo.”
LOH? KOK?
HUAHAHA…
Minggu pukul 22:54 · SukaTidak Suka ·
o
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
ompu, saya ada usul. drpd hahahaha di sini menertawakan si beni setia, kenapa ompu tidak menulis dan mempublikasikan tulisan di koran, mengkonfrontasi tulisan-tulisan itu?
okelah, kompas dan kortem sdh jd antek tuk dalam pemandangan ompu. t…api kan ada koran lain yg mungkin mau memuat tulisan ompu.
setahu saya, tulisan2 ompu hanya dimuat di jurnal boemiputra. itu pun saya cuma dapat satu eksemplar. saya berpikir, kalau tulisan ompu dimuat di koran2, pasti akan lebih menarik perkembangan kritik sastra di tanah air.
saya jadi bertanya-tanya: apakah ompu memang sudah antipati pada koran? atau ompu memang tak bisa lagi menulis dengan bahasa yang lebih halus (tidak menggunakan bahasa yang kesannya kasar dan penuh huruf kapital) seperti esai2 yang pernah sy baca di buku politik sastra?
saya masih bertanya-tanya. jujur, saya kagum dengan kecerdasan ompu. masalahnya saya ini bodoh, buku2 sastra aja gak punya banyak. bila saya secerdas ompu, saya akan menulis lebih banyak esai dan kritik sastra utk dipublikasikan di koran-koran.
begitu, ompu. maaf kalok ada kata-kata yang salah.
salam sastraLihat Selengkapnya
Minggu pukul 22:55 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka ·
o
Bosman Batubara IKUTAN DONKKKKS…. “Sebagai penyair penyuka Neruda dan penyair Amertika[sic] Latin lainnya, dia pernah dekat dengan Wahyu Prasetya” SIAPA YA WAHYU PRASETYA? TIBA2 MUNCUL DALAM TEKS. SEBAGAI PEMBACA GUA GAK FAHAM. INI YANG BODOH AKU ATAU EDITOR DAN PENULISNYA? MUDAH2AN AKU, SEBAB CELAKA KALAU YANG BODOH EDITOR DAN PENULIS. LOGIKANYA KAYAK JALAN DI SUAMTRA: BANYAK LOBANGNYA!!!! HUAHAHAHAHAHAHAHAHA…..
Minggu pukul 22:57 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu THENDRA,
LIPSYNC! BAGUS ITU BUAT NYEBUT MEREKA YANG NGUTIP TANPA NGERTI APA YANG DIKUTIP, APALAGI YANG KOAR-KOAR NGOMONGIN “ORISINALITAS” SEGALA KAYAK OM BENI SETIA DI ATAS! HAHAHA… PENULIS LIPSYNC! KEREN, MEK! HIHIHI…
Minggu pukul 23:00 · SukaTidak Suka ·
o
Bosman Batubara YANG LAZIM ITU “TUK (Teater Utan Kayu). Satu hari Sitok Srengenge mengeluh, GM (Goenawan Muhammad)” atau “Teater Utan Kayu (TUK)… Goenawan Muhammad (GM)”? HUAHAHAHAHAHAHAHAHA….
Minggu pukul 23:02 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu SIDIK,
AKU UDAH GAK BISA LAGI NULIS! ENTAH KENAPA NIH, MUNGKIN EFEK SAMPINGAN DARI FACEBOOK DAN TWITTER! :-)
Minggu pukul 23:04 · SukaTidak Suka ·
o
Bosman Batubara ?”Padahal, W yang kuasa menembus Kalam” APA ITU W? WESE? HUAHAHAHAHAHA….
Minggu pukul 23:05 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat… ·
o
Thendra Malako Sutan Haha, Kayaknya Emang Tepat Dibilang Begitu, hehehe….PENULIS LIPSYNC! Bingung Mo Ngapain, Nyalain Laptop (kalo Punya), Lalu Komat-kamit (ngutip sana-sini) dan gerak-gerak dikit, hihi…TOTALITAS dan ORISINALITAS, Baunya Kayak Iklan Sewangi Molto: Gerakan Sekali Bilas, Bersih…..hahha
Minggu pukul 23:05 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu BOSMAN,
ITU NAMANYA LONCATAN TELEPATIS! PEMBACA DIHARAP UDAH PAHAM APA YANG DIA MAKSUD, APA YANG ADA DALAM KEPALANYA, JADI GAK PERLU LAGI ADA PENJELASAN. INI NAMANYA “TELEPATHIC READING”, BRO! HAHAHA…
Minggu pukul 23:07 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat… ·
o
Muhammad Al-Fayyadl Beni Setia terlalu membawa isu ini ke problem personal antara Arif B. Prasetyo dan teman2 angkatannya. Lontaran W. Haryanto tempo hari selangkah lebih maju krn berani mengangkat tema yg lebih struktural, yakni soal eksistensi sastra di Jawa Timur dalam relasinya dg pusat2 kuasa sastra di Jakarta. Tulisan ini lebih mundur beberapa senti bahkan dari tulisan Arif sendiri.
Minggu pukul 23:08 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat… ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
SIDIK,
INI KUTIPAN FAVORITKU DARI TS ELIOT:
“Poetry is not a turning loose of emotion, but an escape from emotion; it is not the expression of personality, but an escape from personality. But, of course, only those who have personality and …emotions know what it means to want to escape from these things.”
HAHAHA…Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 23:10 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat… ·
o
Bosman Batubara HUAHAHAHAHAHA, KALO LONCATAN2 TELEPATIS GITU BAKAL KALAH SAMA SOPIR ALS BRO: NGEBUT2 DI JALAN LOBANG2. HAHHAHHAHHAHHAAAA… JADI SOPIR AKAP AJE… JELAS BERKERINGATNYA. HUAHAHAHAHAHA….
Minggu pukul 23:13 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu
BOSMAN,
“Satu hari Sitok Srengenge mengeluh, GM (Goenawan Muhammad) [SIC] dan Kalam dianggap antek Amerika karena menerima dana asing. Tapi, Horison yang juga mendapatkan dana dari Ford Foundation tak diperlakukan sama.”
TAPI MEMANG BENAR K…AN BAHWA GM DAN TUK-NYA ANTEK ASING, DAN MEREKA GAK MAMPU MEMBANTAHNYA! BUKAN CUMAK DARI FORD FOUNDATION AJA SI GM ITU MENGEMIS TAPI DARI BANYAK YAYASAN ASING. LIAT AJA BUKU PERAYAAN “KEMENANGAN” FORD FOUNDATION DI INDONESIA YANG DITERBITKAN BARU-BARU INI! SIAPA AJA YANG JADI PENULISNYA! HAHAHA…Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 23:15 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu SASTRAWAN MOLTO! ORISINAL ABIS, HAHAHA…
Minggu pukul 23:16 · SukaTidak Suka ·
o
Bosman Batubara ?”AKU UDAH GAK BISA LAGI NULIS! ENTAH KENAPA NIH, MUNGKIN EFEK SAMPINGAN DARI FACEBOOK DAN TWITTER! :-) ” kereeeeennnnn…. gak usah nulis2 bro. ngapain. gini2 aja lebih asyik! Ketawa2 hauahahahahahaha….
Minggu pukul 23:17 · SukaTidak Suka ·
o
Raudal Tanjung Banua Permisi, numpang koment dikit, tp maaf agak di luar konteks suroboyoan. Dlm tulisan Mas Beni disebutkn, ‘tdk spt oka rusmini yg gerah krn dimarjinalkn masyarakatnya’. Ini fakta atau imajinasi?
Minggu pukul 23:21 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat… ·
o
Bosman Batubara
?”TAPI MEMANG BENAR KAN BAHWA GM DAN TUK-NYA ANTEK ASING, DAN MEREKA GAK MAMPU MEMBANTAHNYA! BUKAN CUMAK DARI FORD FOUNDATION AJA SI GM ITU MENGEMIS TAPI DARI BANYAK YAYASAN ASING. LIAT AJA BUKU PERAYAAN “KEMENANGAN” FORD FOUNDATION DI INDO…NESIA YANG DITERBITKAN BARU-BARU INI! SIAPA AJA YANG JADI PENULISNYA! HAHAHA…”
TOP BGT!!!. (wah kalo gitu lembaga gua juga antek asing bro. gua juga dapat receh2 dari funding2 asing yang enggak “bermerek”. cuma gua pakai mendemo bakrie. huahahahahahahahahaha… main catur bro, kayak di lopo2 tuak huahahahahahaha….)Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 23:27 · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat… ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu SIDIK,
INI LAGI KUTIPAN ELIOTIAN FAVORITKU!
“The business of the poet is not to find new emotions, but to use the ordinary ones and, in working them up into poetry, to express feelings which are not in actual emotions at all.”
Minggu pukul 23:28 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu BOSMAN,
BAGI-BAGI DONG RECEHNYA DENGAN boemipoetra. KAMI BUTUH DANA UNTUK CACI-MAKI GM DAN TUK-NYA NIH! :-)
Minggu pukul 23:32 · SukaTidak Suka ·
o
Raudal Tanjung Banua
Setahuku, dlm konteks kepenulisan, oka rusmini tdk prnah dimarjinalkn masyrkt bali. Karya2 oka bebas beredar, puisinya dibckn dlm lomba dan dramanya dipentaskn pelbagai komunitas di bali. Bahkn oka menjdi redaktur di bali post, koran ‘utama…’ di bali yg menyokong full konsep ‘ajeg bali’. Yaitu, gerakan mnempatkn adat bali pd tatarannya yg ‘murni’ atau rumusan dg kalimt lain yg maknanya sama. Oka jg bebas menikah dg org luar bali. Jd tdk benar oka rusmini marjinal dlm konteks kesenian, entah dlm kasus lain sy tak tahu. Ini mmg disinggung selintas, tp penting utk diluruskn. Sbb ini jgn2 cerminan referensi mas beni yg lain. Itu saja. Tx n salam.
Lihat Selengkapnya
Minggu pukul 23:33 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka · 2 orangMemuat… ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu RAUDAL,
ISI TULISAN SI BENI SETIA INI DAN YANG DI KOMPAS JATIM KEMAREN ITU MEMANG IMAJINASI DOANG. SI BENI INI KAN PENULIS KREATIF, JADI DOI HARUS KREATIF JUGAK CIPTAIN FAKTA MAGIS. ORISINALITAS, MAN! HAHAHA…
Minggu pukul 23:35 · SukaTidak Suka ·
o
Bosman Batubara BAGI-BAGI DONG RECEHNYA DENGAN boemipoetra. KAMI BUTUH DANA UNTUK CACI-MAKI GM DAN TUK-NYA NIH! :-)
huhahahahahaha…. main catur bro… huahahahaha…. bikin proposal ke GM huahahahahaha…
Minggu pukul 23:46 · SukaTidak Suka ·
o
Ragil Sukriwul
?”menemukan ketenangan jalan dalam wajah debu/ masihkah kecermatan bayang bayang itu menangkap keberanian/ atau kemuliaan dari cinta yang gusar oleh ajakan peradaban/ daya hidupku selalu tak serupa dengan kelembutan di dadamu/… (penggalan… puisi Wahyu Prasetya, More Fool Me*, buat beni setia)
sy membayangkan, bila mas Wahyu membaca esai di atas maka, giliran beni setia lah yg akan dilempari botol whiskey olehnya.
krn itu, mengikuti “logika imajinatif” dari esai di atas, sy merasa bahwa mas Wahyu sperti sdh bisa mmprediksi klo akan jd seperti beginilah teman2nya ini sehingga masih jauh2 hari ia sdh menarik diri dari pergaulan yg selama itu dialaminya bahkan kemudian menolak utk bertemu dengan siapapun, termasuk beni setia.
(tiga jam yg lalu barusan dari rumah mb.ratna n beliau masih bercerita (hal ini lg) tentang kunjungan2 n telepon2 yg ditolak, pun dari, beni setia)Lihat Selengkapnya
Kemarin jam 1:46 · SukaTidak Suka ·
o
Nuruddin Asyhadie aku tak paham sedikitpun apa yang ingin dibicarakan esei ini. omg!
Kemarin jam 9:12 · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu Nuredan,
Sst! Hahaha…
Kemarin jam 14:45 melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka ·
o
Budi Hutasuhut Untuk sebuah tulisan yang diniatkan sebagai esai, sepertinya memang lebih bagus dinikmati saja (meski tak nikmat) daripada memahami imajinasi dan fantasi tentang realitas sastra yang justru membuat saya sama seperti Nuruddin Asyhadie. “Esai ini membicarakan apa sih?”
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Dea Anugrah
Wah, seandainya aku pengarang asal Nganjuk yang tinggal di Madiun, bakal gak bisa tidur tiga harmal nih gara-gara baca esei palsu ini. Haha.
Kata Beni, “Karena Arif B. Prasetya itu ya arek Suroboyo, tapi kok digonggong oleh arek Suroboyo lag…i. Aneh!”
Lho? Lho? Apanya yang aneh? Hahaha.Lihat Selengkapnya
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu sebagai fiksi mini pun dia gagal! aih!
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Nuruddin Asyhadie asyu fiksimini. =))
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu hihihi… ntar, aku lagi nulis Fiksi Twitter nih, nah! :-)
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Nuruddin Asyhadie tapi itu betul. =)) kebanyakan fiksi mini bermain dalam 2 visualisasi dan relasinya diserahkan pembaca, semacam haiku atau Kerouacism, tetapi membaca esai ini, kita tak dapat menarik relasi apapun, hanya kecarutmarutan dan ketidakjelasan proposisi2.
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Ompu Datu Rasta Sipelebegu kalok gicu baiklah kita baptis sebuah genre baru dalam Sastra Indonesia: Esei Telepati. memahaminya pakek telepati, hihihi…
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Budi Hutasuhut Itu yang lebih tepat, ketidakjelasan proposisi. hik!
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Nuruddin Asyhadie Bukannya dari dulu? RASA! RASA! Saking semangatnya: RA SAH! RA SAH! =)) Rasa yang dalam sejarahnya selalu diletakkan lebih tinggi dari akal malah dijatuhkan ke kubangan terendah dari budi. Maka beginilah jadinya.
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Nuruddin Asyhadie Saya usulkan pada DKJT (dan mungkin DK daerah lain) untuk membuat pelatihan menulis tingkat dasar bagi para sastrawannya. Bagaimana?
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat… ·
o
Nuruddin Asyhadie Tak usah bicara pelatihan sastra dululah, angel kuwi. =))
5 jam yang lalu · SukaTidak Suka ·
o
Wawan Eko Yulianto
wiyyyuuuh! cak nur, kalau kenal editornya jawa pos juga dikasih tahu lah, kayaknya dia ini juga gampang silau kutipan, asal bisa nggaya-nggaya ngutip siapa gitu … masuk bos! jawa pos juga punya andil dalam penyebaran penyakit ini. hehehe … lihat tuh, om rasta juga kan yang ketiban sampur jadi sibuk ngoreksi, hehehe …
17 jam yang lalu · SukaTidak Suka · 1 orangMemuat… ·
o
Dea Anugrah ?@Wawan: Justru kita mesti berterimakasih kepada redaktur JP yang memuat esei palsu ini dan beberapa esei palsu lainnya, kalau tidak, mana tahu kita ada pengarang yang bikin kalimat pun tak becus. Hahaha.
11 jam yang lalu · Tidak SukaSuka · 2 orangMemuat… ·
No comments:
Post a Comment