Monday 21 March 2011

Wawancara Saut Situmorang dengan majalah Mahasiswa Sastra UI

Wawancara Saut Situmorang dengan majalah Mahasiswa Sastra UI


“Recup Budaya” (Edisi Pertama 2007)

http://sautsitumorang.multiply.com/

Universitas Indonesia, khususnya Fakultas Ilmu Budaya sebagai ranah sastra mahasiswa, yang sebagian kecil masyarakatnya adalah penikmat sastra akademis, mungkin belum membaur ke dalam fase politik sastra (bukan kekuasaan) atau pun pembacaan jarak dekat.

Sebagian kecil darinya pula tentu ada yang merasa kritis terhadap desas-desus yang terjadi di luar sana. Untuk itu kami terus menangkap kejadian-kejadian sastra yang terjadi di Indonesia sebab ternyata permasalahan sastra bukan hanya pertunjukan dan karya tapi idealisme dan polemik. Majalah kami, Recup Budaya, mungkin berangkat dari tugas mata kuliah, namun kekuatan berpikir dan hasrat mengaromakan sastra dan sendinya kepada mahasiswa lain adalah semacam batu asah untuk meningkatkan kepekaan kami

WAWANCARA DENGAN SAUT SITUMORANG

TENTANG PERANG SASTRA boemipoetra vs TEATER UTAN KAYU (TUK)

1. Anda menyebut diri sebagai politisi sastra. Kami baru dengar istilah itu. Apa tugas sentral profesi tersebut, tentunya dalam eksternal sastra dan internal sastra?

SS: Hahaha… Istilah sebenarnya adalah “politikus sastra” dan aku pakai sebagai keterangan-diri di eseiku yang berjudul “Politik Kanonisasi Sastra” – yang merupakan makalahku untuk Kongres Cerpen Indonesia V di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 26-28 Oktober 2007 lalu – yang kusebar di Internet sebagai salah satu dari rangkaian seranganku terhadap Teater Utan Kayu (TUK). Istilah itu sebenarnya sebuah istilah ironis yang tongue-in-cheek, dimaksudkan untuk memberi nuansa kepada isi eseiku itu. Tapi reaksi pembaca macam-macam. Hudan Hidayat yang konon seorang novelis itu, misalnya, menyebutku “politisi sastra” di Internet. Aku lebih suka istilah “politikus sastra”. “Politisi” itu istilah apa?! Apa ada “kritisi” sastra?! Hudan Hidayat memang seorang penulis bakat alam par excellence! Hahaha…

2. Jurnal Boemipoetra yang terbit beberapa bulan lalu, semacam aksi propaganda demonstratif sastrawan Ode Kampung terhadap perlawanan terhadap Komunitas Utan Kayu (KUK). Namun sebagian masyarakat menyatakan itu bukan jurnal yang semestinya ilmiah sebab kata-kata yang “kasar”?

SS: Coba perhatikan, kalimat macam apa yang kau tuliskan ini! Membingungkan! Hehehe… Jurnal sastra boemipoetra (pake huruf kecil semua!) adalah jurnal sastra paling keren dan cool sepanjang sejarah sastra Indonesia karena fungsinya cuma satu: menghancurkan Teater Utan Kayu (TUK)! Dan sudah terbit (tanpa mengemis dana ke Amerika Serikat dan sekutu neo-kolonialnya) sampai empat edisi. Hahaha… Satu-satunya “little magazine” sastra kita yang berani memakai apa yang kau sebut sebagai “kata-kata yang ‘kasar’” itu! Mengutip Clark Gable dalam Gone with the Wind, aku katakan kepada mereka-mereka yang tiba-tiba (menjadi) moralis linguistik itu padahal konon sudah beyond morality dalam kasus Sastra Porno Sastrawangi, seperti Manneke Budiman dosen Universitas Indonesia itu: Frankly, my dear, I don’t give a damn! Hahaha… Benar, jurnal boemipoetra memang bukan jurnal ilmiah kayak Oxford Literary Review, Critical Inquiry, New German Review, New Left Review, Social Text, atau Representations dan tidak punya pretensi untuk menjadi jurnal ilmiah. Tapi apa memang (pernah) ada jurnal “ilmiah” seperti yang aku sebutkan barusan di Indonesia? Nenek moyang boemipoetra adalah majalah-majalah kecil yang diterbitkan kaum Dada dan Surrealis di Eropa di awal abad 20 lalu, yang berisi baik manifesto-manifesto gerakan-gerakan tersebut maupun serangan-serangan keras mereka terhadap apa-apa yang pada saat itu mereka anggap menjajah pemikiran budaya orang-orang Eropa. Dan bahasa yang mereka gunakan bahkan jauh lebih “vulgar” dibanding “kata-kata kasar” boemipoetra! Ada catatan penting: boemipoetra bukan sastrawan Ode Kampung! Ode Kampung itu adalah kegiatan rutin yang dilakukan oleh komunitas sastra Rumah Dunia di Serang, Banten. Secara ideologis dan praktis boemipoetra justru sangat radikal dibanding Rumah Dunia dan Ode Kampungnya itu. Juga kalau kalian pelajari komposisi redaksi boemipoetra maka akan terlihat jelas keberagaman ideologi di dalamnya. Kerancuan informasi ini memang sudah universal di dunia kangouw sastra Indonesia dan ini cuma menunjukkan betapa parahnya orang kita membaca persoalan, betapa tidak canggihnya imajinasi orang-orang sastra kita dalam menafsirkan silsilah sebuah persoalan seperti Perang Sastra antara boemipoetra vs TUK. Manneke Budiman adalah lagi-lagi contohnya. Yang harus disadari lagi adalah bahwa Teater Utan Kayu (TUK) yang dikuasai orang-orang sastra itu yang menjadi fokus dari serangan-serangan kami, bukan Komunitas Utan Kayu (KUK) secara umum dan yang macam-macam isinya itu. Makanya perang kami ini adalah Perang Sastra! Musuh kami adalah Goenawan Mohamad dan segelintir penulis muda yang berlindung di balik bayangannya yang tua. Segelintir penulis-sekedar yang merasa sudah mencapai satori atau pencerahan sastra padahal rata-rata masih medioker kemampuannya, baik kreatif maupun kritis! Segelintir megalomaniak!

3. Letak keburukan TUK sehingga Anda begitu gencar untuk mengutuk mereka?

SS: Harus diakui bahwa pada awalnya mereka itu oke, kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan termasuk penerbitan majalah ikon mereka itu, Kalam, merupakan angin segar dalam kondisi jenuh sastra kita yang diakibatkan hegemoni majalah Horison dan Taman Ismail Marzuki (TIM). Tapi itu hanya sebentar! Mereka kemudian merasa sudah menjadi mainstream baru, sang dominan baru dalam sastra kita. Mereka sampai merasa begini tentu saja tak dapat dilepaskan dari “pesona” yang memang telah mereka timbulkan dalam kepala para sastrawan kita, terutama di kota-kota besar kita. Mereka telah menjadi mitos baru yang menggantikan mitos-mitos lama Horison dan TIM bagi para sastrawan yang mulai dikenal publik sastra kita di periode 1990an, apa yang saya sebut sebagai Sastrawan 90an itu, dan yang sedang merajai penerbitan buku sastra saat ini. Mitos baru tentang TUK ini dimanfaatkan dengan sangat canggih oleh Goenawan Mohamad dan segelintir penulis-sekedar yang aku sebutkan di atas. Dominasi-tunggal atas dunia sastra kita adalah ambisi ekstra-literer mereka. Ini dimulai dengan skandal menangnya novel jelek berjudul Saman di Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Memakai istilah salah seorang penulis-sekedar TUK bernama Eko Endarmoko yang berpretensi keras mencari kelemahan esei saya “Politik Kanonisasi Sastra” tapi gagal dengan mengenaskan itu (karena kurang imajinasi tekstual dan miskinnya pengetahuan sejarah sastra), menurut “kabar angin” naskah Saman itu sebenarnya sudah lewat deadline pengiriman naskah tapi salah seorang juri menerimanya juga. “Kabar angin” lain adalah bahwa salah seorang juri Sayembara Roman DKJ 1998 itu menerima naskah Saman dari seorang tukang sapu gedung dimana para juri sedang memeriksa naskah-naskah yang masuk dan naskah tersebut didapatkan tukang sapu itu di dalam tong sampah! Siapa saja tentu saja bebas menafsirkan legenda yang diciptakan seputar Saman ini sama seperti para penilai Prince Claus Award yang memenangkan Ayu Utami pada tahun 2000 untuk novel satu-satunya itu dengan alasan bahwa “karyanya dianggap meluaskan batas penulisan dalam masyarakatnya”! Bagaimana para juri Prince Claus Award bisa menilai kedahsyatan novel tersebut padahal tak satupun terjemahan bahasa asingnya sudah ada pada waktu itu hanya Goenawan Mohamad yang tahu. Coba baca prosa-pendek Ayu Utami (yang diklaim sebagai “kolom” itu) di media massa cetak seperti koran Seputar Indonesia Minggu. Masuk akalkah seseorang yang diklaim oleh sebuah institusi internasional sejenis Prince Claus Award sebagai “meluaskan batas penulisan dalam masyarakatnya” cuma mampu menghasilkan cakar-ayam yang bahkan lebih jelek dari medioker seperti itu! Aku kasih sebuah “kabar angin” lagi. Kalau Saman itu sebuah fragmen dari karya panjang (yang sekarang kita tahu adalah Saman dan Larung) lantas kenapa Saman bisa begitu sensasional legendanya sementara Larung sunyi senyap?! Karya Pramoedya Ananta Toer yang jauh lebih panjang aja, yaitu Tetralogi Buru, tidak begitu jauh jarak “mutu”nya antara satu fragmen dengan fragmen lainnya. Bicara tentang Pram, bukankah komentar Pram di sampul belakang Saman itu adalah sebuah manipulasi tekstual paling brengsek dalam sejarah promosi sebuah karya sastra di negeri ini! Kalau memang benar Saman yang memenangkan Sayembara Roman DKJ 1998 dan Prince Claus Award 2000 itu begitu “dahsyat” seperti yang diklaim Sapardi Djoko Damono, Faruk dkk, untuk apa lagi dia mesti memelintir komentar Pram yang pada dasarnya menganggap novel itu jelek!

Kejahatan TUK semacam ini, yaitu manipulasi informasi, berkali-kali mereka lakukan. Yang langsung bersentuhan dengan aku adalah “laporan” di majalah-berita Tempo yang konon ditulis oleh Ags Dwipayana (aku tak ingat nama lengkapnya tapi orang ini orang teater, menurut “kabar angin”) tentang Temu Sastra Internasional 2003 yang diselenggarakan TUK di Solo. “Laporan” yang pada dasarnya mengelu-elukan program sastra TUK itu dan mengejek aku dan kawan-kawan Solo yang memprotesnya dengan keras karena tidak melibatkan seorangpun sastrawan Solo kecuali sebagai pembawa acara, hahaha…, ternyata tidak ditulis berdasarkan pandangan mata langsung “pelapor”nya! Si penulisnya tidak pernah hadir di Solo sama sekali selama dua-hari acara TUK itu dan menurut “kabar angin” semua infonya diberikan oleh Yang Mulia Goenawan Mohamad! Kasus Solo ini menjadi penting dalam “arkeologi dusta TUK”, hahaha…, kalau kita kaitkan dengan Kasus Chavchay Syaifullah, wartawan budaya Media Indonesia yang dipecat bosnya sebagai wartawan budaya karena pengaduan langsung Goenawan Mohamad. Chavchay menulis di korannya tentang acara Utan Kayu International Literary Biennale yang diadakan di TIM bulan Agustus 2007 lalu dan Goenawan Mohamad tersinggung atas laporan pandangan mata langsung Chavchay itu. Alasan Goenawan Mohamad, Chavchay dalam laporannya itu telah melakukan “fitnah” karena tidak menjalankan asas “cover both sides”, yaitu “tak mencoba mendapatkan dan memuat versi panitia dan TIM” paling tidak tentang diusirnya penyair Geger dari tempat acara. Padahal Chavchay punya rekaman pernyataan Geger bahwa dia diusir! Sontoloyo, itulah komentarku! Kekuasaan sipil yang sudah mulai menjadi diktatorial!

Masih mau lagi? Hahaha… Coba perhatikan jaringan kekuasaan yang sudah dibentuk TUK saat ini untuk menguasai dunia sastra kita: Hasif Amini di koran Kompas Minggu, keikutsertaan TUK dalam menyeleksi sastrawan lokal untuk Ubud Writers and Readers Festival, Ayu Utami di DKJ, dan “kabar angin” lagi Sitok Srengenge bakal menjadi redaktur sastra koran Media Indonesia Minggu! Sitok ini juga yang menurut “kabar angin” lain pernah sesumbar bahwa “Sastrawan Indonesia” itu adalah cuma mereka yang pernah diundang ikut acara sastra TUK! Megalomaniak gak, hahaha… Dulu waktu dia dan Medy Loekito dari komunitas kami Cybersastra ada di Iowa mengikuti program menulisnya, si penyair rima-dalam ini, hahaha…, pernah berkata bahwa dalam berbahasa Inggris, dia kalah dengan Medy, tapi dalam menulis puisi, dia lebih unggul! Uh, hebatnya, hahaha… Kalau dia tak bisa berbahasa Inggris, kok bisa dia mewakili Sastra(wan) Indonesia ke Iowa? Saat ini yang mewakili Sastra(wan) Indonesia ke Iowa adalah, you guess it!… monsieur Nirwan Dewanto, hahaha… Sejak kapan redaktur koran ini jadi sastrawan dan mana karya sastranya? Mestinya kan penyair dan politikus sastra Saut Situmorang dong yang mewakili TUK, dan sastra Indonesia, ke Iowa, iya kan, hahaha…

O iya, sebelum aku lupa dan ada juga kaitannya sedikit dengan soal majalah “ilmiah” yang kita singgung di atas. Pernah baca buku kumpulan esei Goenawan Mohamad berjudul Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (AlvaBet, 2001)? Coba baca kata pengantar buku itu berjudul “Ke-Lain-an Goenawan Mohamad” yang ditulis oleh Hamid Basyaib! Atau baca ringkasannya di blurb sampul belakang buku! Dengan tidak ada rasa malu sama sekali dia mengklaim Goenawan Mohamad sebagai “esais terbaik Indonesia”, “orang Barat yang lahir di Batang” dan dalam kumpulan eseinya itu “ia membahas Brecht, Derrida, Adorno, Habermas, Nietcszhe [sic], Camus, Benjamin dan banyak nama penting lain dalam jagat pemikiran Barat bagai berbincang akrab dengan teman dekat”, “semuanya disorotinya dengan perangkat kritik sastra, yang digunakannya dengan kemahiran tak tertara”! Nah pertanyaan sederhanaku ini aja: Kalau Goenawan Mohamad itu memang begitu hebat, kok dia gak nulis di jurnal-jurnal ilmiah seperti yang kusebutkan di atas tadi aja? Kita kan bisa jadi sangat bangga kalau ada seorang penulis hebat kita yang tulisan kritiknya bisa muncul di jurnal ilmiah standar internasional ketimbang sekedar di media lokal doang! Inilah contoh megalomania narsisistik Teater Utan Kayu par excellence, hahaha…

4. Sudah tentu TUK, menganggapnya sebagai angin lalu. Bahkan fitnah?

SS: Jelas dong. Mana ada yang suka kebusukannya diekspos, apalagi sekelompok megalomaniak.

5. Manifesto Boemipoetra telah kami pelajari. Rasa sosial dan solidaritas tinggi serta anti-Liberalisme, rupanya tertanam kuat di diri sastrawan Ode Kampung. Berangkat dari kemanusian, apakah Anda tidak takut pengecaman Anda dkk. justru menjadi bumerang?

SS: Sekali lagi, jangan samakan boemipoetra dengan Ode Kampung. Tahu kan apa itu bumerang? Bumerang itu adalah senjata tradisional bangsa Aborijin Australia yang dipakai dengan melemparkannya ke objek yang ingin dilumpuhkan. Karena bentuknya melengkung dan cara melemparkannya khas, bumerang bisa kembali ke pemiliknya kalau tidak mengenai sasarannya. Kalau seseorang tidak sigap atau pandai menangkap bumerang yang terbang kembali itu, maka bocorlah kepalanya, hahaha… Maka ketahuan pula kalau dia bukan pemilik sebenarnya! Nah apa yang terjadi sekarang adalah bumerang itu tak bisa ditangkap kembali oleh Goenawan Mohamad dan para penulis-sekedarnya maka bocorlah kepala mereka, hahaha…

6. Menurut Anda mengapa setelah terbitnya Jurnal Boemipoetra, TUK tidak membalas sama sekali serangan Anda?

SS: Karena mereka itu cuma mitos belaka, tak ada esensinya. Karena isi boemipoetra tak bisa mereka bantah. Karena mereka takut kalau merespons maka semua kebusukan mereka akan jadi terbuka. Lebih baik didiamkan saja kan. Atau seperti “kabar angin” tentang apa yang dikatakan Goenawan Mohamad: apa Saut itu masih tahan menyerang sampai enam bulan lagi? Kalau tak salah, aku sudah menyerang TUK sejak tahun 2003 dan sekarang makin asyik aja, hahaha…

7. Seorang millist bernama Radityo yang disinyalir sebagai tangan kanan TUK, menyerang Anda habis-habisan. Anda bisa jelaskan ini?

SS: Hahaha… Radityo Djadjoeri itu adalah keponakan Goenawan Mohamad. Dia sendiri yang ngaku begitu di Internet dan aku pun pernah mempostingkan data yang kudapat di Internet tentang keluarga besar mereka yang keturunan Arab-Kurdi itu. Radityo yang konon tamatan FE-UII Jogja ini memang seorang cyberpsikopat! Dulu dia juga pernah punya problem besar dengan Farid Gaban dari Republika dan melakukan teknik pencemaran nama yang sama, yaitu dengan menciptakan tokoh-tokoh cyber fiktif yang menyerang dengan alamat email buatan. Untuk menghadapi aku yang memang jauh di atas kelas intelektualnya ini, hahaha…, dia bahkan menciptakan milis-milis baru seperti yang bernama “sautisme@yahoogroups.com” itu. Tapi manalah pulak awak bisa dikerjainnya! Buktinya, justru dia sekarang yang dicekal dari begitu banyak milis Indonesia di Internet, hahaha…

TUK diperkirakan sebagai benih-benih sastra imperialis, yang secara general pernah disembulkan Taufik Ismail. Apakah kelahiran Jurnal Boemipoetra berangkat dari pernyataan Taufik?

SS: Harus disadari lagi bahwa boemipoetra tak ada hubungan apa-apa dengan Taufiq Ismail atau jelasnya dengan Kasus Taufiq Ismail vs Hudan Hidayat. Dan boemipoetra lahir bukan karena Taufiq Ismail ataupun pernyataan publiknya!!! Kami bertujuan membabat utan kayu, titik. Aku sendiri secara pribadi bertentangan dengan Taufiq Ismail soal Marxisme dan Lekra. Aku ini Marxist tapi Marxisme seperti yang diejek-ejek Taufiq Ismail tak pernah ada dalam Marxisme! Dia tak bisa membedakan antara politik partai dan sebuah isme pemikiran. Dalam sejarah peradaban manusia, isme yang paling kritis dan paling membela harkat orang banyak hanyalah Marxisme! Dan lawan utama Marxisme bukan Agama Monotheis seperti yang dirancukan Taufiq Ismail dkk, tapi Liberalisme-Kapitalisme yang justru telah menyebabkan matinya agama Kristen di Barat dan timbulnya kolonialisme di Asia, Afrika, Australia, Pasifik dan benua Amerika! Bagi boemipoetra, TUK adalah agen imperialisme Liberalisme-Kapitalisme terutama Amerika Serikat di sastra Indonesia, lewat program-program sastranya. Mudahnya akses bagi orang-orang TUK dan sekutunya ke program-program di Amerika Serikat, seperti program menulis Iowa itu misalnya, sementara orang-orang yang non-TUK ditolak visa mereka oleh Kedutaan Amerika Serikat, adalah bukti nyata.

9. Seks dan agama adalah keberlainan bahkan kebertentangan, Ayu Utami, yang selanjutnya diikuti Nukila Amal, dan Dewi Lestari sebagaimana Taufik yang menyatakan mereka bagian dari Fiksi Alat Kelamin (FAK) dan (GSM). Apakah Anda menyerang lini ini dengan berpusar pada pijak agama?

SS: Gawat! Siapa yang bilang bahwa “seks dan agama” itu bertentangan! Apa ada “agama” yang melarang seks! Gereja Katolik yang melarang pastor untuk kawin itu aja tidak melarang seks bagi yang non-pastor!!! Ketidakhati-hatian orang kita dalam berbahasa memang sudah fenomenal. boemipoetra tidak anti-seks malah sangat suka seks! Yang dilawan boemipoetra adalah eksploitasi seks (seksploitasi) sebagai standar estetika sastra (paling) bermutu, yang mengorbankan estetika sastra non-seks seperti nilai-nilai Islami pada Forum Lingkar Pena misalnya. Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu dan Dinar Rahayu adalah para penulis perempuan Indonesia yang mengeksploitasi seks dalam tulisan mereka dan menjadi terkenal karenanya. Menjadi dibaca tulisannya karenanya. Itu saja alasannya kenapa mereka dibaca. Lucu ya bahwa ketiga perempuan tukang eksploitasi seks perempuan ini punya nama sama, yaitu “Ayu”. Mungkin nama Sastrawangi musti diganti jadi “Sastrayu”, hahaha…

10. Sastra TUK jelas berbeda, mereka mengakomodir tulisan dengan kualitas tinggi. Bahkan mereka tidak akan menerbitkan karya yang dianggap “tidak layak” di jurnal Kalam. Berarti Sastra TUK punya pagar untuk menyempitkan dunianya(red). Eksklusivitas ini rupanya yang tidak diterima oleh Anda dkk. Mengapa?

SS: Hahaha… Itulah mitos yang berhasil dibangun TUK tentang dirinya dan dikunyah bulat-bulat oleh banyak sastrawan muda termasuk fakultas sastra yang seharusnya lebih kritis daripada sastrawan sendiri!

Kalam itu kan cuma majalah budaya umum dan “kekuatan”nya terletak lebih pada esei-esei budaya yang dimuatnya, bukan pada puisi atau cerpennya. Kolom puisi Kompas Minggu sewaktu ditangani Sutardji Calzoum Bachri jauh lebih tinggi reputasinya bagi para penyair Indonesia ketimbang Kalam. Bukankah cerpen yang dimuat di koran Kompas yang dianggap cerpen nyastra yang bermutu? Sastra TUK itu apa? Yang “sastrawan” di TUK itu kan cuma Goenawan Mohamad, Sitok Srengenge dan Ayu Utami. Ini kan sastra TUK itu.

Soal “kualitas tinggi” TUK. Apa tinggi kualitasnya puisi Sitok, bahkan Goenawan Mohamad sekalipun? Apa tinggi kualitasnya esei-esei Nirwan Dewanto atau Hasif Amini? Terjemahan Hasif atas cerpen-cerpen Jorge Luis Borges (dari terjemahan bahasa Inggris) aja jelek tapi dipuji-puji setinggi langit oleh sesama orang TUK! Apa tinggi kualitasnya program biennale sastra TUK yang mengklaim Avi Basuki dan Laksmi Pamuntjak sebagai “sastrawan internasional Indonesia” itu? Apa yang pernah ditulis Laksmi Pamuntjak dalam “sastra Indonesia”? Yang benar adalah bahwa manipulasi informasi TUK memang berkualitas tinggi, hahaha…

11. Apa perjuangan Anda dkk. sudah selesai?

SS: Apa TUK sudah hancur? Hahaha…

12. Dengan duduknya Hasif Amini di Kompas dan Nirwan Dewanto di Tempo, sudah tentu makin melambungkan sastra TUK yang Anda sinyalir sebagai kelompok yang berambisi menoreh sejarah sastra. Benarkah?

SS: Sudah aku jawab di atas.

13. Mahasiswa, sebagai akademisi sastra yang belum terbaluri pengaruh ini, sebaiknya ada di posisi mana?

SS: Masak mahasiswa sastra belum terkena pengaruh mitos TUK! Yang benar aja ah.

Pertanyaan No.10 di atas kan jelas menunjukkan betapa kalian sudah sangat dalam dipengaruhi oleh “pesona” mitos TUK itu! Sadarlah dan kembalilah ke jalan yang benar! Hahaha…

14. Anda tidak meluaskan propaganda ke kalangan mahasiswa. Mengapa?

SS: Lha wawancara ini apa namanya kalau bukan propaganda demitologisasi TUK, hahaha…

15. Kanonisasi Sastra dapatkah Anda jelaskan secara singkat?

SS: Kanon adalah sekelompok karya yang, minimal, selalu ada dalam kurikulum pengajaran sastra di sekolah dan perguruan tinggi. Sebuah karya yang bisa masuk jadi anggota kanon sastra tentu saja akan terangkat reputasi sastranya, dan pengarangnya, dalam hierarki kelas “kedahsyatan” artistik dalam sejarah sastra. Dan bisa dipastikan akan terus menerus dicetak-ulang sekaligus dibahas-ulang dalam skripsi, tesis dan disertasi.

Tentu saja semua pengarang ingin semua karyanya bisa masuk dalam kanon sastra, paling tidak sebuah bukunya. Tapi kenyataannya cuma segelintir saja pengarang yang bernasib mujur begini. Ketidakmujuran nasib banyak pengarang dalam peristiwa kanonisasi sastra inilah yang menimbulkan pertanyaan: Kok karya S Takdir Alisjahbana bisa masuk kanon sementara cerita silat Kho Ping Hoo nggak? Kenapa puisi Goenawan Mohamad, bukan Saut Situmorang? Masak cerpen Seno Gumira Ajidarma masuk tapi cerpen Hudan Hidayat kagak? Apakah karena cerpen Seno punya “substansi” sementara cerpen Hudan cuma begitu-begitu aja? Puisi Goenawan Mohamad “sublim” tapi Saut Situmorang cuma bermain-main dengan intertekstualitas dan tidak tertarik pada “kedalaman” simbolisme pasemon puitis? Apa sebenarnya yang menjadi “kriteria” dalam seleksi kanon (canon formation)? Apakah “substansi” sastra atau “sublimitas” sastra seperti yang diyakini Hudan Hidayat dan para pengarang bakat alam lainnya itu? Apakah estetika satu-satunya standar dalam menilai mutu karya? Kalau benar, lantas apakah “estetika” itu? Adakah karya sastra yang an sich benar-benar “dahsyat” dan “universal”? Apakah karya sastra itu memang otonom, bebas nilai, tidak tergantung pada hal-hal di luar dirinya untuk menentukan baik-buruk mutunya? Atau ada hal-hal lain di luar teks karya – mulai dari komentar para “pengamat” sampai ekspose di media massa atas sosok sang pengarang – yang menjadi faktor dominan dalam terpilih-tidaknya sebuah karya sastra menjadi anggota kanon sastra?

Sastra kontemporer kita rusak karena dilettante sastra, petualang sastra seperti TUK, Kompas dan Richard Oh dengan sensasi duit Katulistiwa Literary Award-nya itu merajalela membuat kanon-kanon sastra baru tanpa kriteria yang bisa dipertanggungjawabkan dan para sastrawan pada cuek aja. Inilah efek apolitisasi sastra Orde Baru!

Bang Saut setiap jawaban Abang akan kami publikasikan. Silahkan menambahkan sesuatu yang perlu Abang uraikan. Tapi kami tetap menjaga etika jurnalisme.

Terima kasih banyak.

Salam untuk Wowok dkk.

SS: Terimakasih juga. Wawancara kalian ini adalah wawancara pertama yang dilakukan dengan boemipoetra untuk mendengarkan perspektif boemipoetra tentang Perang Sastra boemipoetra vs TUK. Selama ini cuma Goenawan Mohamad dan anggota TUK lainnya aja yang diberikan kesempatan bicara secara formal dalam sebuah wawancara. Kalian sudah bertindak adil! Bravo! Aku juga mengharapkan kalian berani memuat semua yang aku nyatakan di sini. Berani seperti boemipoetra! Kalau mahasiswa aja sudah gak berani mengeluarkan pendapatnya dalam media kampusnya sendiri, apalagi dengan alasan mitos “etika jurnalisme” yang cuma menguntungkan kekuasaan status quo itu, untuk apa kita punya universitas di negeri ini! Mitomania harus dilawan oleh semua mahasiswa yang menganggap dirinya berbudaya dan kritis, terutama oleh mahasiswa sastra. Ingat apa yang dikatakan George Orwell: During times of universal deceit, telling the truth becomes a revolutionary act!

HIDUP MAHASISWA!

No comments: